Rabu, 14 Mei 2014

cersil terbaru rhp 6

"Jangan ngelantur! Hunuslah senjatamu!” bentaknya.

"Crang” sekali, Kim-liong-cee-hwee-kiam keluar dari serangkanya.

"Ya, tapi baik2lah sekali ini!"

Pertarungan mengadu senjata melanjuti pertarungan bertangan kosong, lebih hebat dan berbahaya sepuluh kali.

Pedang Kiu Heng memutar bulat memancarkan sinar berkilauan, sedangkan si orang tua memainkan huncwenya dengan gapah.

Sewaktu Kiu Heng melancarkan jurus Sin Liong Cut Hay (naga sakti keluar dari laut), si orang tua membalas dengan jurus Tui Cong Bong Goat (mendorong jendela menatap rembulan), dengan demikian, serangan Kiu Heng kandas tak berbekas. Menyusul terlihat si orang tua mengebutkan huncwenya menotok ke timur, membabat ke barat, tampaknya seperti sedang mabuk arak, dan kesurupan pula yang sering disebut kelakuan orang yang angin2an, gerak lengannya tidak tampak terlalu cepat tapi gaya kekuatannya bukan main kerasnya, membuat orang kaget dan bergidik.

Menghadapi ilmu lawan yang luar biasa aneh ini, Kiu Heng tidak menjadi gentar, dengan cepat lengan kirinya mengebut, si orang tua berjingkrak2an seperti kelabakan. Tapi setiap jepitan jarinya dapat memecahkan serangan si orang tua sehingga luput dari bahaya.

Tu Pei Lojin merasa kagum dan heran, tapi tidak bisa berpikir terlalu lama karena serangan Kiu Heng kembali datang.

Pertarungan berlangsung terus penuh kehebatan dan mendebarkan jantung. Tiga ratus jurus berlalu tanpa dirasai mereka.

"Kalau begitu terus, aku tidak bisa menang!" pikir Kiu Heng, "aku harus menggunakan llmu yang terlihay dari pelajaran yang terdapat di Bu Lim Tiap!"

Begitu habis berpikir, segera ia berseru: "To Cianpwee, awas!" seiring dengan peringatan nya, jurusnya segera berubah, tubuhnya merapung ke udara, lalu menukik turun dengan deras, lengan kiri dan lengan kanan yang berpedang dipergunakan berbareng dengan jurus Siang-ma-in-coan (sepasang kuda minum di mata air), langsung menikam dan mengeprak si orang tua.

Tanpa ragu si orang tua melancarkan keahliannya dengan jurus Hoo I.ui Wan Tie (burung Hoo menangis, orang hutan menjerit), memecahkan serangan dahsyat lawannya.

Kiu Heng membarengi lagi dengan serangan Keng Liong Cin Kau yang ampuh, memaksa si orang tua mundur beberapa langkah, dengan demikian ia menang di atas angin, sampai To Pei Lojin hanya bisa menangkis tanpa bisa menyerang lagi.

Sungguhpun demikian, benteng pertahanan To Pei Lojin luar biasa ampuhnya, huncwenya diputar demikian macam, niscaya setitik air pun tidak bisa tembus. Serangan ber-tubi2 yang ampuh maupun yang ganas dari Kiu Heng tak berdaya menjebolkan benteng pertahanan musuh, sehingga berkutet terus menerus tanpa sudah-sudahnya.

Beberapa jam kembali berlalu, parkelahian berubah dari gencar dan seru menjadi lambat dan ayal, tak ubahnya seperti hujan ribut yang sudah reda.

To Pei Lojin melawan terus dengan alot dan gerakan lambat seperti kecapaian. Sebaliknya Kiu Heng yang sudah menerima tenaga luar biasa dari pedang peninggalan Cie Yang Cinjin, dan separuh tenaga Kong Tat serta tenaga Ang Hou Kek dari batu hijau, ditambah sering meminum madu lebah hitam yang berkasiat, tenaganya tetap kuat.

"Mungkinkah bocah ini terbuat dari besi dan baja? Kenapa ia kuat betul dan tidak terlihat letih?” pikir To Pei Lojin dengan heran.

"To Cianpwee, terimalah serangan ini!"seru Kiu Heng.

Suara tiba pedang sampai, menjurus lurus ke arah dada dengan kecepatan kilat. To Pei Lojin tidak berani menangkis dengan kekerasan, tubuhnya miring menghindarkan ujung pedang. Begitu serangannya mengenai angin, Kiu Heng mengubahnya dengan cepat, Kim-liong-cee-hwee-kiam tidak ditarik, melainkan dipakai menyerang terus, seperti bayangan mengikuti tubuh si orang tua.

Dengan cepat To Pei Lojin menangkis, lalu mencelat pergi beberapa tambak dengan gerak ayal2an. Tiba2 si orang tua merasakan di bawah ketiaknya hawa yang dingin, sewaktu menundukkan kepala menegasi, bajunya sudah pecah tergores pedang.

"To Locianpwee, bagaimana? Apakah mengaku kalah? Kalau masih penasaran mari kita lanjutkan lagi!” tantang Kiu Heng sambil ber-gelak2.

"Siau-ko mempunyai tenaga yang sakti sekali, aku menyerah kalah! Pepatah mengatakan, gelombang Sungai Tiang Kang yang belakang mendorong yang di depan, yang baru menggantikan yang tua, aku menyerah kalah!"

"Benar2kah kau mengaku kalah atau pura-pura kalah?" tanya Kiu Heng sambil menyimpan pedangnya ke dalam serangka.

"Kecil2 sudah mengetahui banyak istilah, aku tidak mengerti apa yang dinamai benar2 menyerah dan apa yang dinamai pura2 menyerah!" kata To Pei Lojin.

"Lagipula kalau benar2 menyerah bagaimana? Sebaliknya bagaimana?”

"Kalau pura2 menyerah perkelahian ini cukup sampai di sini, kemudian hari siapa pun tidak boleh mencoba merintangi atau mengganggu satu sama lain, lagi pula aku tidak ingin menerima seorang murid setua dirimu," kata Kiu Heng.

”Sebaliknya, kalau kau benar2 menyerah kalah, aku bisa menuturkan asal usuhmu, dan sejak hari ini kau harus mendengar kataku bagaimana?"

Kiranya To Pei Lojin sejak bertemu dengan Kiu Heng sudah mengandung niatan menjadikan si anak muda sebagai muridnya, karena itu dalam pertarungan ia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya, karena ia tahu pemuda yang dihadapi berhati keras, bilamana tidak menang tidak akan mengerti, sengaja Ia memberikan lowongan dan pura2 kalah.

Kini Ia mendengar Kiu Heng ingin menyebutkan asal usulnya, sehingga membuatnya ketarik, karena Ia tahu pasti tiada orang kedua di atas dunia ini terkecuali suhunya yang mengetahui peladiaran silat apa yang dipelajarinja.

"Ya, coba kau katakan!" katanya.

"Orang lain tidak mengetahui dirimu dari golongan mana, tapi aku bisa mengetahui dengan jelas. Kau adalah murid dari Hui Hui Ho-siang dari Pek Tok Bun. Disebabkan Hui Hui Hosiang melihat sepak terjang Pek Tok Bun tidak senonoh, Ia meninggalkan pintu perguruan itu dan berdiam di atas gunung empat puluh lahun lamanya. Ia mengumpulkan berbagai macam ilmu dari perguruan silat dan mengubahnya menjadi satu gabungan silat yang luar biasa, lalu diturunkan kepadamu, sehingga merasa sombong dan menganggap paling pintar mengenali ilmu silat dari golongan manapun. Ya atau tidak?"

"Aku benar2 tunduk! Apa yang kau katakan benar semua, aku tidak menyangka dan mengira di otak monyet seperti dirimu bisa menyimpan pengetahuan yang maha tinggi!" kata To Pei Lojin sambil ter-bahak2.

---ooo00oo---














Bu Lim Tiap (Pusaka Rimba Hijau)

Dituturkan Oleh : TSE YUNG

SCAN IMAGE : Lunjuk's Corner dan Arman
jVU : Dewi KZ

JILID III


"Nah, sejak hari ini kau harus turut denganku dan mendengar kata2ku, kuyakin kau akan memperoleh banyak kemajuan," kata Kiu Heng.

"Bagus! Aku berusia tujuh puluh tahun mengangkat guru seorang bocah yang masih ingusan dan berbulu seperti monyet. bukankah hal ini akan menjadi berita yang menggemparkan dunia Bu Lim. Siluman monyet, kau jangan mengimpi, kau.....”

Ia tidak melanjutkan kata2nya, tangannya keluar dan ditotokkan dengan perlahan, inilah ilmu yang luar biasa dari dunia persilatan yang bernama Pit Kiang Tiam Hiat (menotok terhalang tembok), tahu2 Kiu Heng kena tertotok urat gagunya, sehingga diam saja tidak bisa menjawab ejekan si orang tua.

To Pei Lojin sengaja mempertunjukkan kepandaiannya ini dengan tujuan mematikan kecongkakan dan keangkuhan Kiu Heng, agar di kemudian hari tidak menderita kerugian dari sifat buruknya itu.

Kiu Heng merasa gusar tak alang kepalang, pedangnya dihunus untuk mengadu jiwa mati2an. To Pei Lojin tetap duduk tak bergerak begitu ia melihat si pemuda menghampiri, lengannya kembali menotok, membuat Kiu Heng seperti patung, tinggal matanya melarak-lirik dengan gusar tanpa bisa berbuat sesuatu apa.

"Kepandaianku sudah cukup sempurna, kenapa kena totok tidak berdaya untuk memecahkannya?" pikir Kiu Heng,

"Kalau si bungkuk ini tidak bermain sihir pasti menggunakan ilmu menotok Pit Kiang Tiam Hiat yang lihay luar biasa. Ilmu ini menurut suhu sudah hilang dari dunia persilatan, kenapa bisa dimiliki si bungkuk ini?"

Dengan wajah serius To Pei Lojin berkata: "Bocah, kau harus tahu dunia ini luas dan mengandung berbagai keanehan, orang2 berilmu tinggi tidak terhitung jumlahnya, dengan kepandaianmu yang tidak seberapa, segera menganggap diri sangat lihay, akibatnya bisa mencari binasa sendiri. Sadarlah, gunung yang tinggi masih ada yang tinggi! Ilmu dan pelajaran tidak habis untuk dipelajari! Sudah beberapa kali aku mencoba kepandaianmu dan tabiatmu, dan yakin kau adalah bibit yang baik untuk dipupuk! Aku sudah tua dan mengharap mencari seorang murid guna mewariskan kepandaianku. Bocah, kalau kau mendengar kata2ku yang kuucapkan sejujurnya ini, kau bisa menjadi seorang yang berguna di kemudian hari."

Sehabis berkata si orang tua menggoyangkan lengannya, Kiu Heng terbebas dari totokan, cepat ia bertekuk lutut di hadapan To Pei Lojin, kedua matanya berlinang air mata haru, kepalanya tunduk, seperti menyesal sekali.

"Anak yang baik, kutahu kau seorang murid yang berbakti pada gurumu yang terdahulu. Karena itu akupun tidak mau mempersukar dirimu. Kalau kau tidak memandang hina kepadaku, boleh kau memanggil Giehu atau Kan-tia (ayah angkat) pada diriku !"

Kiu Heng terharu, tanpa disuruh kedua kali Ia berkata: Gihu! terima hormat anakmu!"

"Kiu Heng menghormat pada diriku dan mengakui aku sebagai Giehu,” kata si orang tua sambil memimpin bangun, "tapi aku belum mengetahui namamu, bukankah hal yang lucu? Kan jie-cu (anak angkat) sebutkanlah namamu!”

"Kiu Heng!"

"Bagus," jawab To Pei Lojin, "sedangkan kau pun harus tahu, aku she Siauw nama Siong, bergelar Tohiap (pendekar bungkuk). Kini aku berusia berapa, aku sendiri lupa menghitungnya, ya kira2 tujuh puluh tahun lebih!"

Siauw Siong tertegun sejenak sambil ber-batuk2, parasnya menunjukkan tengah terpekur, per-lahan2 Ia bertanya: "Menurut namamu yang demikian ganjil, mungkin kau hidup mempunyai sakit hati yang hebat, kuharap kau bisa menuturkan, agar kubisa membantumu memecahkan kesulitan ini!"

Kiu Heng ragu2 sejenak, achirnya menceriterakan kejadian waktu kecilnya, dengan jujur dan jelas.

"Baiklah! Nanti aku men-dengar2 siapa pembunuh diri ayahmu dan keluargamu itu!' kata Siauw Siong.

"Atas bantuan Giehu, aku mengucapkan terima kasih, tapi biar musuh itu berkepala tiga dan bertangan enam, harus beres di tanganku sendiri!”

"Oh, sudah pasti!" jawab Siauw Siong.

Lengannya merogo saku mengeluarkan semacam benda yang bercahaya dan diserahkan kepada Kiu Heng. "Kini kau sudah menjadi anak angkatku, terimalah pemberianku ini sebagai tanda mata.”

"Ah!" seru Kiu Heng terkejut karena ia mengenali benda itu.

"Bukankah ini yang dinamakan Sam-cun-giok-cee? Dari mana Giehu mendapatkannya?”

"Kau tentu ingat kejadian di Pek Tio Hong, dari salah seorang yang kau binasakan, aku mendapatkan benda ini!” jawab Siauw Siong.

Kiu Heng terdiam meng-ingat2.

"Kalau begitu, salah seorang di antara mereka adalah pencuri Sam-cun-giok-cee dari Pek-bu-siang Siang Siu, kini ia sudah binasa, bebanku menjadi ringan!" kata Kiu Heng seraya menuturkan pesan2 dari Pek-bu-siang.

"Aku mengenal Pek-bu-siang maupun Ang Hoa Kek," kata Siauw Siong, "mereka merupakan tokoh2 Kang Ouw yang aneh dan sudah lama mengasingkan diri, tak kira kedua2nya sudah meninggal dunia!"

Mereka tertegun sejenak, keadaan menjadi sunyi: "Fajar hampir menyingsing, kau masih memakai pakaian malam, mari kita pulang,” kata Siauw Siong.

Dengan secepat kilat mereka turun dari atas gunung, Kiu Heng bermalam di sebuah hotel yang bernama Huay Yang Lauw, sedangkan Siauw Siong baru beberapa hari dalang di Hang Ciu, ia belum mempunyai tempat tinggal yang tetap, kini ia mengikuti ke tempat, bermalamnya si anak.

Malam berganti siang, mereka tidak tidur lagi, melainkan duduk bersemadi menjalankan pernapasan untuk menghilangkan seluruh kelelahannya.

Tengah hari Kiu Heng dan Siauw Siong pergi belanja, mereka membeli baju2 yang indah dan menanggalkan bajunya yang buruk, sehingga ayah dan anak angkat seperti seorang saudagar kaya raya saja. Dengan pakaian yang ganteng, mereka pesiar beberapa hari di telaga See Ouw dan aksi2an, sambil makan dan minum sepuas2nya.

Malamnya mereka tidur sekamar. Sewaktu kentongan berbunyi tiga kali, tiba2 Siauw Siong berbalik badan dan turun dari ranjang, Kiu Heng pun mengguling tubuh mengikuti turun.

"Ha, ada apa?"

"Di genteng ada orang," bisik Siauw Siong dengan perlahan.

"Kenapa aku tidak mengetahuinya?” kata Kiu Heng dengan heran.

"Karena kurang pengalaman dan latihan, semalaman suntuk kau tak tidur, sampai ada orang di atas genteng tidak mengetahuinya! Bagaimana jadinya kalau pendatang itu untuk menuntut balas, bukankah kau akan dicelakakan dengan mudah?”

Kiu Hong merasa jengah, wajahnya merah, untung waktu malam, sehingga tidak terlihat Siauw Siong.

"Yang datang hanya seorang!" kata Siauw Siong.

Kiu Heng manggut menyusul kakinya menotol bumi dan mencelat keluar melalui jendela. Sesampainya di atas, ia tidak melihat bayangan maupun sesuatu yang mencurigakan.

"Jangan2 Giehu sudah pikun, pendengarannya tak tajam lagi!' pikir Kiu Heng.

Sebelum ia turun, berkelebat sesosok bayangan hitam yang cepat sebagai meteor! Tahu2 di depan mukanya berdiri seorang pemuda ganteng.

"Kau menyusahkan diriku saja, lekas kau keluarkan barangmu!" kata si pemuda dengan aseran.

"Aku tidak berhutang maupun meminjam barangmu, apa yang harus kukeluarkan?"

"Apakah kau tidak mengerti?"

"Bertanya pada dirikukah?”

"Ya, kalau tidak pada siapa?"

"Aku tak mengerti!”

"Kau jangan berlagak pilon! Lekas kau keluarkan kotak Bu Lim Tiap, perkara menjadi beres. Bilamana tidak jangan sesalkan aku berlaku kurang ajar!”

Kiu Heng baru sadar pemuda itu menjadi Bu Lim Tiap.

"Kenapa ia bisa tahu, aku memiliki Bu Lim Tiap?" pikirnya.

"Apakah kau tetap bersikap keras tak mau menyerahkan?" desak si pemuda.

"Di dunia hanya ada perampok yang memaui barang orang dengan kekerasan, kau manusia macam apa berani berlaku keras padaku?"

"Aku Gui Wie, putera dari Pek-tok-thian-kun bagaimana?" jawab si pemuda.

"Ku kira siapa, kiranya puteranya binatang beracun!"

"Kau sudah dijadikan musuh seluruh kaum Bu Lim, berani betul memaki pemegang Bu Lim Tiap, sudah bosan hidupkah?"

"Segala binatang beracun, dimaki apa salahnya, bilamana kau masih gila2an, aku pun bisa memakimu!"

Pemuda itu menjadi gusar dengan cepat, Ia mengebut kepada mata Kiu Heng memakai jurus Tek Cee Kie Goat (memetik bintang meraih bulan).

Dikata cepat memang cepat, begitu Kiu Heng mengegos, serangan Gui Wie mengenai angin. Ia penasaran, tapi sebelum bisa memberikan serangan susulan, punggungnya merasakan angin dingin, sehingga menjadi terkejut. Untung ia bukan manusia biasa, kakinya menotok genteng dan mencelat beberapa tombak dengan ilmu Goan Yau Ca Liu (membungkukkan tubuh menancapkan pohon liu).

Gui Wie yang muda berpenyakit memandang ringan kepada musuh, akibatnya hampir menderita kerugian besar. Kini Ia tak berani ber-lambat2an lagi begitu turun, lengan bajunya mengebut lagi, tahu2 ia sudah menghunus pedangnya. Dengan cepat melakukan penyerangan deras ke arah dada musuhnya.

Kiu Heng pun menghunus pedangnya, dengan cepat diputarkan, sehingga serangan musuhnya kembali kandas! Gui Wie menjadi cemas atas serangan2nya yang gagal, keringatnya mengucur deras, ia sadar bukan menjadi tandingan si pemuda cepat2 mencelat keluar gelanggang.

"Jangan bertarung sudah, aku mengaku kalah!” serunya.

Kiu Heng merasa heran kepada pemuda itu.

"Kau yang mengajak berkelahi, kini kau pula yang mengajak sudahan," pikirnya.

"Aku memukulmu dan menggertakmu dengan aseran, tak lain untuk me-nakut2i saja, sekadar mencoba ketabahan dan ilmu kepandaianmu!" kata Gui Wie.

"Aku tak menginginkan kotak Bu Lim Tiap milikmu, tapi menginginkan persahabatan denganmu!"

Kiu Heng diam tidak menjawab seketika lamanya.

"Apakah kau sudah memakan obat bisu sehingga tidak mau bicara?”

"Aku heran atas kelakuanmu yang tidak keruan. Kau harus tahu, ayahmu adalah musuhku dan kubenci dengannya, kenapa kau ingin bersahabat denganku?"

"Lain bapak lain anak!" jawab Gui Wie dengan tegas.

”Aku menghormati mendiang gurumu yang jujur dan baik budi. Di samping itu aku tidak senang atas kelakuan ayahku yang tidak patut, karena itulah aku meninggalkan rumah secara menggelap untuk mengabarkan kepadamu soal bahaya yang mengancam jiwamu! Kau harus tahu ayahku sudah membagikan selebaran ke seluruh dunia persilatan dan menitahkan mereka mencarimu dan membunuhmu, sebab kau sudah dijadikan musuh bersama kaum Bu Lim atas tindakanmu yang tidak menghargai Bu Lim Tiap.

Kiu Heng meng-angguk2kan kepala.

"Pedangmu itu terlalu menyolok dan mudah dikenali, sebaiknya kau simpan saja terlebih rapi!"

"Terima kasih atas kebaikanmu, lain kali kita bertemu pula!" kata Kiu Heng.

Sambil merangkapkan kedua tangannya, Gui Wie segera berlalu dengan cepat.

Begitu Kiu Heng kembali ke kamar, Siauw Siong segera berkata:

"Apa yang kamu ucapkan sudah kudengar, sesungguhnya kota Hang Ciu terlalu ramai dan bukan merupakan tempat yang baik untuk ditinggali terus!”

"Tia, mengandalkan kepandaianmu dan kepandaianku, mungkinkah takut pada Pek Tok Thian Kun?"

"Bukan soal takut pada Pek Tok Thian Kun, tapi ia sudah menyebarkan undangan pada berbagai golongan Bu Lim untuk memusuhi dirimu! Kau boleh merasa tak takut tapi harus ingat, di luar langit masih terdapat langit. Dapatkah kau menghadapi mereka yang berjumlah banyak? Barusan kumendengar soal Bu Lim Tiap, benar2kah kau memilikinya?

"Ah, ini kesalahanku, sampai lupa memberi tahu pada Giehu,” kata Kiu Heng sambil mengeluarkan Bu Lim Tiap dari dalam sakunya.

"Ah, ini adalah Bu Lim Tiap yang sesungguhnya. Sewaktu kukecil, pernah melihat Sucou memegang Bu Lim Tiap ini. Dari mana kau dapat?"

Kiu Heng menuturkan bagaimana didapatnya pusaka rimba hijau itu.

"Heng-jie, dengan kepandaianmu yang sekarang ini belum cukup kuat untuk melindungi Bu Lim Tiap dari rongrongan kaum Bu Lim yang menghendakinya!"

"Habis harus bagaimana?”

"Untuk sementara kita harus menyingkir dari dunia yang ramai dan harus mengumpet dulu. Bukan berarti takut, tapi untuk melatih diri terlebih lihay! Kau mungkin tahu Kay-hiap sedang dihukum di Tay San, tak halangannya kita ke sana! Bagaimana? Apa kau setuju?"

"Aku menurut pada Giehu!” jawab Kiu Heng.

***

Sementara itu kita menengok kepada Cui-jie dan Ping Ping yang meninggalkan Pek Tio Hong. Sepanjang jalan mereka bergurau dan mengobrol dengan asyik, sehingga tidak merasa sepi.

Pada suatu hari, Cui-jie mengingat gurunya pernah mengatakan, bilamana ada waktu ia akan merantau lagi di dunia Kang Ouw, tempat pertama yang akan dikunjungi adalah Bu Kong San di Kiang Say. Karena itulah mereka menuju ke sana untuk menemukan Na Wan Hoa.

Beberapa bulan kemudian mereka tiba di Tie-cui di Propinsi An Hui, lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu menuju Kiang Say.

Perahu yang mereka pakai tidak terlalu besar, tapi cukup menyenangkan, se-olah2 mereka tengah piknik di atas air untuk menikmati pemandangan alam.

Beberapa hari kemudian tiba di sebuah pelabuhan kecil yang bernama Tang Liu Sian. Sebelum perahu bisa melanjutkan perjalanan, angin besar dan keras menghalangi perjalanan. Mereka terpaksa berdiam beberapa hari menantikan angin reda. Penumpang2 banyak yang mendarat untuk mencari hiburan dan jalan2.

"Adik Ping, kenapa kau tampaknya lesu dan lemas?" tanya Cui-jie.

"Angin sangat besar, perahu ber-goyang2, entah bagaimana kepalaku menjadi pening dan ingin muntah2!" jawab Ping Ping.

"Sebaiknya kita mendarat beristirahat sambil membeli obat, bagaimana?"

"Aku tak bisa berjalan lagi, kepalaku bukan main peningnya."

"Baiklah, kau tunggu sebentar, aku akan mencari obat untukmu," kata Cui-jie seraya mendarat, sehingga di atas perahu tertinggal jurumudi dan Ping Ping berdua.

Belum lama Cui-jie pergi, angin keras tiba2 menyampok, air bergelombang dahsyat, tali pengikat perahu menjadi putus di-koyak2 angin yang menggila. Si pengemudi perahu mencoba sekuat tenaga mempertahankan perahunya, tapi kekuatannya sangat terbatas, ia kena disampok ombak dan jatuh ke air, sehingga perahu terombang-ambing.

Sedangkan Ping Ping yang tengah mabuk kapal dan pening menjadi pingsan lupa daratan.

***

Menurut tukang2 perahu yang sering melintasi pulau Ce Cu To, menganggap sebagai pulau iblis yang menakutkan. Setiap kali kapal atau perahu yang terkena angin ribut pasti tersampok ke pulau itu. Se-olah2 pulau itu sebagai juga kawa2 yang berjaring kuat, sedangkan perahu2 dan kapal2 merupakan korban2 dari kawa2 itu. Karena itulah pulau ini bernama Cee Cu To.

Di atas pulau itu terdapat gunung yang indah dan permai. Anehnya, setiap kali hujan lebat dan angin dahsyat bergelombang tinggi, dari puncak gunung itu sering terdengar irama merdu yang menawan hati.

Dalam anggapan tukang2 perahu yang sederhana, suara itu dianggapnya sebagai nyanyian dewa. Banyak juga di antara tukang2 perahu yang bernyali besar datang ke atas pulau sewaktu terjadi malapetaka atas diri kawan2nya dan sanak saudaranya, guna menolong. Sayang sekali, setiap yang pergi belum pernah terlihat pulang, lama kelamaan penduduk yang mencari nafkah sebagai nelayan atau tukang perahu, menganggap dewa yang berdiam di gunung itu sangat gusar dan sengaja menghukum orang-orang ini, sebagai peringatan jangan berlaku gegabah lagi berani datang menyatroni tempat kediamannya.

Kini Ping Ping yang malang berada di dalam perahu dan terhempas ke atas pulau itu. Sewaktu siuman, ia merasa heran berada di atas perahu yang kandas di tepi pulau. Ia merasakan peningnya sudah hilang. Tanpa mengenal takut ia turun dari perahu itu sambil memandankan matanya keempat penljuru.

Saat ini ia baru ingat pada Cui-jie, dan mengingat dirinya yang malang, sehingga air matanya bercucuran.

Saat ini hari hampir malam, Ping Ping kembali ke perahunya mencari sisa makanan Kala malam mendatang, angin ribut men-jadi2 lagi, kilat meng-gelugur2, perahu tergoyang2 dibuatnya.

Ping Ping takut kalau2 angin ribut itu membawa lagi perahunya ke tengah lautan, cepat2 ia naik ke darat. Lalu berlari-larian ke atas gunung. Ia dibesarkan di atas gunung, dengan sendirinya sudah merasa biasa berjalan di tempat yang sukar untuk orang biasa.

Tiba2 ia terhenti sejenak, karena mendengar irama seruling yang tajam dan merdu.

"Untung terdapat orang, aku bisa bermalam juga," pikirnya tanpa curiga barang sedikit pun.

Ia menelusuri jalanan yang ber-liku2 menuju ke atas. Untung hujan sudah berhenti sehingga sinar bulan yang terang keluar menerangi jagat, atas bantuan sinar yang redup ini, Ping Ping melanjutkan perjalanan terus.

Semakin lama jalanan semakin lebar, di kiri kanan terlihat tengkorak2 manusia berserakan.

Ia terkesiap ketakutan. Tubuhnya menggigil, kakinya menjadi lemas. Ia jatuh duduk sambil memeramkan mata.

Keadaan menjadi sunyi, keresekan pohon dan air berkerucukan terdengar tegas, waktu berlalu tanpa terjadi apa2.

Ping Ping memberanikan diri membuka mata, dengan hati ber-debar2 Ia mengawasi tengkorak2 yang berjumlah besar itu. Anehnya, di samping tengkorak2 itu terdapat juga emas2 balokan yang besar2. Tengkorak2 itu setiap tangannya memegang harta itu erat2 sampai matinya.

Ping Ping seorang gadis yang tidak tertarik kepada segala emas intan, melihat harta yang berserakan itu, sedikitpun tidak menggoncangkan hatinya.

"Emas2 ini diambil orang tapi tidak bisa dibawa pergi, pasti mengandung racun yang maha dahsyat! Agar orang2 yang berani datang kemari dan kemaruk harta2 menjadi mati konyol," pikirnya.

Lalu Ia berdiri dan meninggalkan tempat yang menyeramkan itu.

Tiba2 dari balik batu terlihat seorang yang tengah borjongkok, kedua lengannya memegang kepalanya yang sudah berambut putih, ia tengah menangis dengan menyedihkan. Ping Ping tergerak, ia menghampiri kepada orang tua itu.

"Popo (nenek), kenapa kau menangis di malam hari, siapa yang mengganggumu?” tegurnya.

Agaknya si orang tua sangat tajam pendengarannya. Begitu kaki Ping Ping mendekati, Ia sudah bangun, matanya memancarkan sinar tajam. Orang tua itu seperti gusar. Ping Ping tidak kenal gelagat. Ia tersenyum manis pada si nenek.

"Kau datang dari mana?" tegur si nenek dengan galak.

"Aku mendapat nasib malang, naik perahu terkena topan dan terdampar kemari!”

"Kau murid siapa, menghantarkan kematian ke sini?"

"Kenapa kau mengatakan demikian, aku adalah orang malang. mati hidup tidak kupikirkan. Mengenai siapa aku, tak perlu kau tahu!”

Ping Ping mengatakan demikian karena berpikir tengah menghadapi orang jahat.

"Dilihat dari parasmu belum terlihat tanda mati, kenapa datang kemari. Apakah kau tidak melihat tengkorak2 yang berserakan itu?" kata si nenek terlebih lunak.

"Sudah kukatakan aku datang karena mengalami kecelakaan, bila tidak aku pun tidak mau datang kemari! Kini hari sudah malam, begitu siang tanah dan ada perahu yang lewat, aku akan pergi meninggalkan pulau yang menyeramkan ini!"

"Aku tak percaya, kau pasti menghendaki emas dan harta2 dari pulau ini!"

"Harta2 itu di pandangan mataku tak ubahnya dengan kotoran yang menjijikkan. Percayalah padaku, aku datang karena menderita kesialan!”

"Kini kau sudah datang kemari, kematian berada di depan mata, karena itu sebelum kau mati, kau harus mengerti agar mati dengan puas!"

Sehabis berkata, si nenek tua segera mengajak Ping Ping menuju sebuah terowongan tanah yang lebarnya beberapa tombak.

"Hai, anak gadis, apa yang kau lihat tak perlu merasa heran dan jangan berkata. Jika tidak, dirimu segera mati seketika juga.”

Ping Ping merasa heran, tapi Ia sebal dan tidak mau banyak bicara, sesudah menjawab "Ya" segera mengikuti si nenek.

Per-lahan2 dari dalam terowongan itu terdengar bunyi air yang berkerucuk, lalu terdengar pula suara angin yang masuk, disusul suara tajam seruling. Sebenarnya bukan seruling, tapi lubang2 terowongan yang berliang terkena tiupan angin sehingga bersuara seperti seruling.

Suaranya demikian keras dan terdengar jauh.

Segala yang dialami ini membuat Ping Ping heran, tapi Ia tidak mau bertanya, karena sudah dipesan si nenek.

Sesudah melalui terowongan yang aneh, di depan terlihat sebuah kolam yang bening dan jernih, di tepian kolam penuh dengan pohon teratai yang berbunga lebat. Wewangian harum semerbak menerjang hidung, keindahan alam luar biasa, seumur hidupnya Ping Ping belum pernah melihat keadaan yang demikian mempesona, tanpa terasa ia diam sejenak menikmati keindahan ini.

Tengah asyiknya ia menikmati keindahan itu, tiba2 mendengar suara seorang perempuan yang halus dan merdu.

"Hei anak gadis, kau datang dari mana?"

Ping Ping celingukan, Ia tidak melihat siapa2 terkecuali si nenek yang cuci kaki di tepian kolam. Ia heran dan bingung, tahu2 di tepian telinganya mendengar lagi suara tadi.

"Hei anak gadis, kau datang dari mana?"

Ping Ping kaget dan bertambah bingung, pikirnya kini bukan berada di dunia lagi, pasti di suatu tempat dewa atau bangsa roh2 berada. Karena ada suara tanpa terlihat wujud merupakan hal yang terlalu gaib untuknya.

"Mungkinkah yang bicara itu setan?" pikirnya.

Tapi ia tidak menjawab pertanyaan itu hanya meng-angguk2an kepala.

"Anak gadis, kau jangan takut, aku menggunakan suara Cian Li Toan Im (berkata dan terdengar ribuan li). Kau tentu tak akan melihat aku, sebaliknya aku dapat melihatmu dengan tegas.”

Ping Ping hampir2 berkata, Tapi keburu dicegah si nenek tua.

"Kau tidak boleh berkata-kata, sebab bisa dipagut ular2 berbisa dan mati seketika."

Ping Ping menarik lagi kata2nya yang sudah sampai dikerongkongannya.

Si nenek cepat menarik lengan Ping Ping dan dibawa lari dengan cepat. Ping Ping hanya mendengar suara angin keras berkesiur di telinganya dan terasa pedih mukanya. Sebelum Ia bisa membuka mulut, si nenek sudah berkata: "Sudah tiba!'

Tampak sinar terang berkilas di depan mata, Ping Ping tahu tadi masih malam dan terlihat bulan, kenapa tahu2 sudah menjadi siang?

Sewaktu matanya mengawasi sekeliling, kembali ia terpesona oleh keindahan alam. Pohon2 bunga banyjak terlihat di sekelliing lereng gunung. Pohon2 besar yang sudah berusia tua penuh meneduhi sekeliling. Daunnya yang hijau bergoyang tertiup angin, sedangkan wewangian terendus lebih harum lagi dari yang pernah dilihatnya.

Saat ini Ping Ping merasakan otaknya menjadi bening dan segar, napasnya lapang, sesuatu kerisauan seperti tersapu bersih dari kalbunya melihat taman indah yang seperti di kahyangan adanya.

Di tengah2 pohon2 bunga yang menebarkan harum terlihat sebuah gedung indah serupa mahligai. Pintunya terbentang lebar, di dalam ruangan terlihat perabotan yang indah2. Dinding2 bersinar terang dan berkilauan karena bertatahkan mutu manikam. Tiang2 rumah yang terbuat dari emas murni berkelerep-kelerep dengan angkernya.

Ping Ping menggigit jarinya. Ia ingin mengetahui benar2 masih hidupkah atau sudah berada di alam baka?

Ia merasakan sakit dan percaja masih hidup di dunia yang fana ini.

Si nenek dengan laku hormat, membungkuk ke hadapan mahligai, sesudah itu membisiki telinga Ping Ping:

"Di hadapan majikanku, kau jangan banyak bicara, sebab beliau sedang risau terus2an. Asal kau tidak menyenangkan dirinya pasti akan dibunuh mati."

Setelah itu ia membuka mulut ke dalam.

"Cujin, ada tamu dari tempat jauh!"

"Aku sudah tahu!" jawab dari dalam.

"Silahkan bawa masuk!”

Ping Ping mengenali suara itu adalah yang tadi bertanya.

Si nenek segera membawa Ping Ping ke dalam mahligai yang mentereng.

Di tengah ruangan terdapat kursi yang mengkilap, di situ duduk seorang wanita pertengahan umur yang berpakaian putih.

Ping Ping membungkukkan tubuh memberi hormat. Begitu ia mendongak memandang menjadi terpesona sekali, karena wajah wanita yang sudah setengah tua itu masih tetap cantik dan manis, hingga seperti juga seluruh kecantikan dari yang terdapat di dunia ini berkumpul di parasnya, tak ubahnya seperti gadis kahyangan yang hanya bisa dijumpai dalam impian.

Di samping wanita cantik itu terdapat pula seorang gadis yang cantik. Raut wajahnya sangat mirip satu sama lain, bedanya yang satu berusia setengah umur. yang satu lagi gadis belasan tahun.

Si nenek masuk ke dalam, dan kembali lagi membawa air teh yang mengepul dan harum.

"Kau datang dari mana, nak?” tegur wanita cantik berbaju putih.

Ping Ping mengatakan hal yang dialaminya dengan jujur.

Agaknya si wanita sangat sayang pada Ping Ping, dipersilahkan duduk sambil disuruhnya minum teh dan tak lupa ia memperkenalkan dara manis yang bukan lain dari anaknya.

"Ini adalah puteriku namanya Soat jie," katanya.

Ping Ping pun memperkenalkan dirinya tanpa segan2.

"Oh, kalau begitu kau pun terhitung sebagai orang Kang Ouw," kata wanita berbaju putih.

"Dapatkah kau menceriterakan sesuatu kejadian di Tionggoan setahun belakangan ini? Terus terang aku sudah setahun lebih menyekap diri di dalam gunung yang sunyi ini. Kini kau datang, membuat aku terkenang lagi pada masa mudaku.... ah,” katanya sambil menghela napas.

"Sungguhpun aku dibesarkan dalam keluarga Kang Ouw, tapi sebegitu lama belum pernah menerjunkan diri dan hidup sebagai orang Kang Ouw. Karena itu, maafkanlah jika aku hanya bisa menceriterakan sekelumit apu yang pernah kualami,” kata Ping Ping, seraya menuturkan kejadian di Oey San dan bagaimana keluarganya mengalami malapetaka hebat, dan bagaimana ia meninggalkan gunung dan berpisah dengan Kiu Heng serta Cui-jie.

Si wanita baju putlih merasa tertarik pada penuturan Ping Ping yang sederhana. Sedangkan Ping Ping sendiri menjadi berlinang-linang sesudah menuturkan nasib malangnya.

"Kau tak perlu bersedih hati nak, kini rumah kau sudah tidak punya, saudara pun tidak, sebaiknya tinggallah di sini. Di samping menemani aku dan Soat-jie, aku pun bisa membantumu dalam ilmu pelajaran silat.”

Ping Ping seorang gadis yang pintar, cepat2 Ia bertekuk lutut menghaturkan terima kasih.

Sejak itulah Ia hidup di pulau Cee Cu To menuntut pelajaran silat sebagai murid si wanita cantik.

Pada suatu hari sewaktu Ping Ping dan Soat-jie ber-main2 di sekeliling gunung, dikejutkan suara keras dari udara. Ping Ping merasa kaget, Ia dongak ke atas, tampak seekor bangau putih menukik turun dan hinggap di dekat Soat-jie.

Dengan aleman, burung itu meng-gosok2an kepalanya di tubuh Soat-jie.

"Cici Ping, apakah kau senang dengan bangau ini?” tegur Soat-jie.

"Ya,” jawab Ping Ping.

"Ia mengerti betul, apakah kau sendiri yang memeliharanya?”

"Bukan! Tapi kutahu, sejak aku ingat, bangau ini sudah ada, entah ibuku atau nenekku yang memelihara."

Bangau itu seperti mengerti perkataan majikannya, Ia diam saja mendengari.

Sewaktu Soat-jie menyuruhnya mendekati Ping Ping, bangau itu dengan patuh melompat dan menghampiri.

Ping Ping sangat girang dan tak henti2nya meng-usap2 dengan kasih sayang.

"Cici Ping, kau belum pernah terbang barang kali?”

"Sudah tentu, orang mana bisa terbang?”

"Mari ikut denganku!"

Soat-jie segera menumplak bangau itu, dan diajaknya Ping Ping duduk dibelakangnya, dengan cepat bangau itu menerjang angkasa dan ber-putar2 sambil memperdengarkan suaranya yang tajam.

Suara bangau ini membuat Sian Popo kaget, cepat2 Ia keluar dari dalam rumah dan segera memperdengarkan siulan panjang. Bangau yang tengah ber-putar2 itu segera turun begitu mendengar suara panggilan.

Ping Ping dan Soat-jie berlompatan turun menghampiri si nenek.

"Sian Popo,” kata Soat-jie, "kenapa kau panggil turun bangau ini sehingga mengganggu kesenangan kami? Dan aku heran, kenapa setiap kali naik bangau ini, kau panggil turun?”

Sebenarnya Sian Popo adalah bekas budaknya neneknya Soat-jie, tapi sejak nenek itu meninggal, Soat-jie memanggilnya Sian popo.

"Sudah kularang kau naik bangau terbang ke sebelah timur, kenapa kau membandel terus? Nanti kalau Ibumu tahu, aku yang kena maki. Kau jangan menanyakan sebabnya itu kepadaku, aku hanya menurut perintah yang diberikan ibumu!"

Sehabis berkata, Sian Popo segera masuk ke dalam rumah. Dari parasnya tampak benar ia sangat berduka. Hal ini dibenarkan oleh suara tangisannya yang kedengaran kemudian.

"Soat-jie, pertama kali aku datang, kulihat Sian Popo tengah nangis seorang diri di bawah rembulan," kata Ping Ping.

"Ya, akupun heran, setiap bulan purnama Ibuku menangis. Sian popo pun menangis, hal ini terjadi setahun lebih. Setiap kali aku bertanya selalu tak mendapat jawaban yang memuaskan," kata Soat-jie sambil terpekur.

Kejadian ini merupakan hal yang aneh untuk Ping Ping, ia pun turut berpikir apa sebabnya mereka berlaku demikian, walaupun tidak pernah mengetahui sebab2nya.

Dengan uring2an Soat-jie menemukan ibunya. Didapatkan Ibunya dan Sian Popo di dalam kamar tengah bertangis-tangisan. Karuan saja ia menjadi terlebih heran, sehingga turut2an menangis. Sedangkan Ping Ping yang cetek air matanya turut pula menangis, sehingga keadaan kamar yang mewah dan mentereng itu banjir air mata. Mereka nangis secara ber-sama2 dengan se-puas2nya Sedangkan burung bangau di luar rumah pun men-jerit2 keras, tak ubahnya sedang menangis pula.

Saking asyiknya menangis, satu persatu jatuh tertidur. Sedangkan waktu yang tidak menantikan orang berjalan terus, tahu2 siang sudah berganti malam

Per-lahan2 rembulan yang bulat naik ke cakrawala.

Wanita berbaju putih bangun terlebih dulu menyusul yang lainnya. Dengan lemah lembut ia menyuruh Sian Popo menyediakan meja di pelataran.

Si nenek agaknya sudah mengerti kehendak majikannya, dengan cepat meja sudah tersedia. Di situ terletak barang sesajian.

Begitu wanita baju putih memasang hio bersembahyang, disusul oleh si nenek dan Soat-jie.

Ping Ping mengawasi heran

"Nak, kalau kau tidak keberatan, tak halangannya bersembahyang juga. Kami bersembahyang pada orang yang dicintai, sedangkan kau hitung2 bersembahyang kepada seorang jago bulim yang luar biasa."

Ping Ping menurut, Ia melakukan sembahyang tapi hatinya ber-tanya2, siapakah yang disembahyangi itu?

Tampak wanita berbaju putih mengajak pelayan dan anak serta Ping Ping menuju ke gunung sebelah timur.

Soat-jie merasa girang karena sudah setahun lebih tidak diijinkan ke sana, padahal ia tahu di situlah letak makam neneknya.

Perjalanan mereka tidak terlalu lama, tempat yang dituju sudah dekat. Dari jauh terlihat sebuah kuburan indah. Di samping itu terdapat pula kuburan lain.

Soat-jie merasa heran, karena ia tahu, di samping kuburan neneknya tidak pernah ada kuburan lagi. Ia ber-lari2 ke depan diikuti Ping Ping dari belakang.

Di kuburan yang pertama terlihat, tulisan: Di sinilah tempat beristirahatnya Lie Siu Lan. Sedangkan di kuburan yang baru itu tertulis: Di sinilah mengaso dengan tenang Cie Yang Tojin dari Bu Tong Pay.

Ping Ping menjadi kaget melihat nama itu, karena ia sering mendengar nama besar Cie Yang Tojin, dan iapun mengetahui betul bahwa nama itu adalah nama gurunya Kiu Heng. Cepat2 Ia berlutut memberi hormat di hadapan batu nisan itu, lalu memberi hormat pula pada kuburan neneknya Soat-jie.

"Soat-jie, berlututlah di hadapan nisan nenekmu dan ayahmu!" kata wanita berbaju putih.

Dengan heran Soat-jie memandang ibunya, karena baru pertama kali ini ia mendengar tentang ayahnya. Kakinya tertekuk dengan patuh, diikuti ibunya dan Sian Popo. Sesudah mereka menghaturkan hormat, kepada orang2 yang sudah meninggal, segera duduk di tepian nisan itu.

"Kini kau sudah dewasa, kau sudah boleh mengetahui semua yang ku ketahui,” kata wanita berbaju putih.

"Kejadian dan peristiwa ini sudah berselang puluhan tahun. Saat itu, aku masih muda remaja sebaya dengan dirimu. Penuh angan2 dan cita2, tanpa memperdulikan larangan nenekmu, aku men-colong2 menunggangi burung bangau. Aku menyeberangi lautan berkeliling se-puas2nya menikmati tanah Tiong Goan yang kaya raya. Hal ini sering2 kulakukan di luar tahu nenekmu, dan sebegitu jauh hanya Siau Popo ini yang mengetahui, tapi ia sangat sayang kepadaku, dan membiarkan aku pergi.

Akupun bertambah berani karena sebegitu jauh belum pernah mengalami sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi karma seseorang itu rupanya sudah ditentukan oleh alam yang maha kuasa.

Aku masih ingat sewaktu pulang ber-jalan2 menemukan seorang pemuda yang terkapar di dalam terowongan tanah. Ia terluka digigit ular berbisa yang dipelihara nenekmu. Untung aku membawa obat dan menyembuhkan penderitaannya. Nenekmu mengetahui kejadian ini, dan merasa heran kenapa seorang muda bisa datang ke tempat kediamannya tanpa tertarik barang berharga yang berserakkan di sekitar pulau ini. Atas dasar inilah ayahmu diterima berdiam di sini. Akibat dari perhubungan yang erat di antara kami, timbullah benih cinta yang tidak dapat dirintangi segala kekuatan apa pun. Memang sudah dasarnya bahwa ayahmu itu memiliki sifat kejantanan yang luar biasa. Pendeknya mempesonakan kaum gadis, lebih2 aku seorang yang dibesarkan di dalam pegunungan sunyi, sebegitu jauh belum pernah berhubungan dengan laki2. Sebentar saja hatiku sudah goncang dan jatuh cinta. Kami saling cinta mencintai satu sama lain, tahu2 darah muda yang kurang pikir mengakibatkan soal yang memalukan. Aku hamil sebelum kawin.

Nenekmu mengetahui ini merasa gusar, segera me-maki2 aku dan ayahmu. Yang paling hebat, aku dilarang melakukan pertemuan lagi. Ayahmu yang bukan lain dari Cie Yang Cinjin mengetahui perbuatannya salah, lalu meninggalkan Cee Cu To. Ia bertobat atas kelakuannya terdorong oleh napsu itu, lalu menjadi tojin di Bu Tong Pay.

Dengan men-colong2 aku sering datang ke Bu Tong Pay dengan burung bangau itu. Pertemuan kami ini mengharukan sekali, ayahmu tetap dengan pendiriannya, yakni mencuci bersih dulu keburukannya yang dikeram di dalam hatinya, hitung2 mencuci noda yang pernah dilakukannya.

Aku menjelaskan bahwa perbuatannya itu sudah menghasilkan seorang anak yang bukan lain dari kau adanya. Ia tetap membisu. Dan akupun pulang kembali lagi ke sini.

Belakangan aku mendatangi lagi ayahmu, ia mengatakan akan merebut dulu Bu Lim Tiap, sesudah itu baru mau pulang lagi berkumpul denganku. Jika tidak demikian, ia tidak akan menemui aku lagi.

Aku sedih dan berputus asa, tahun demi tahun kulalui merawatmu sambil menanti kedatangannya yang tak kunjung tiba. Tahu2 pertandingan untuk merebut Bu Lim Tiap tiba, inilah yang pertama kali, ayahmu gagal, berikutnya Ia mengikuti lagi pertandingan yang kedua, kembali gagal, demikian pula dengan pertandingan yang ketiga kembali ia mengalami kegagalan. Padahal kalau ia mau dengan mudah bisa mengalahkan lawan2nya, tapi nenekmu sewaktu menurunkan ilmu kepandaian kepadanya, sudah berjanji tidak boleh dipergunakan untuk menjatuhkan lawan bilamana tidak terpaksa. Ia mematuhi larangan nenekmu.

Aku datang terlambat, sewaktu terjadi pertarungan yang ketiga kali, ayahmu sudah dilukai Gui Sam Seng. Padahal lukanya tidak berat, tapi, begitu aku datang ia membunuh diri dengan menggigit lidahnya sendiri. Ia malu menemui aku lagi dan membunuh diri. Aku menjadi kalap dan bersedih hati. jenasahnya kubawa pulang dan kukubur di samping makam nenekmu yang sudah terlebih dulu meninggalkan dunia ini."

Sehabis menuturkan riwayatnya wanita baju putih itu bersedu-sedan.

"Suhu,” kata Ping Ping. "akupun cukup mengenal Cie Yang Cinjin, karena beliau adalah gurunya kawanku yang bernama Kiu Heng.”

"Di mana kini anak itu berada?" tanya si wanita.

"Entahlah.”


Cepat2 wanita cantik berbaju putih itu mengeluarkan seikat kain dari dalam pinggangnya.

cersil terbaru rhp 8 tamat

Sesungguhnya Pek Tok Sin Kuay adalah saudara seperguruan dari Pek Tok Thian Kun, hanya saja sudah lama sekali tidak menampilkan diri di dunia Kang Ouw sehingga untuk golongan yang lebih muda tidak mengenalnya.

Tempo dulu sewaktu terjadi pertandingan silat, ia kena dikalahkan Siang Siu dengan Ilmu Pai Kut Sin Kang, sehingga menyembunyikan diri puluhan tahun untuk melatih ilmu Han Peng Im Hong Ciang (pukulan angin negatif yang dingin). Kini sesudah rampung mempelajari ilmunya itu, kembali Ia terjun ke Sungai Telaga untuk mencari Pek Bu Siang. Sayang musuhnya itu sudah meninggal dunia, tapi ia mendapat tahu dari Ciok It Hong buku Pai Kut Sin Kang yang pernah mengalahkan dirinya itu berada di tangan Kiu Heng. Bertepatan dengan itu, Gui Sam Seng sudah mengirimkan undangan, memanggil seluruh kaum Bu Lim berkumpul, untuk menyeterukan Kiu Heng dan To Hiap.

Berkat penyelidikan mereka yang seksama, tempat kediaman Kiu Heng diketahuinya, Pek Tok Sin Kuay mencapaikan diri untuk memanggil penghianat Bu Lim Tiap itu ke suatu tempat, di mana berkumpul kaum2 Kang Ouw.

Begitu Tohiap keluar pintu, Pek Tok Sin Kuay memberi hormat dengan angkuh.

"Aku Pek Tok Sin Kuay," katanya, "dan siapa Cunhe ?"

"Oh, kukira siapa tidak tahunya pecundang Pek Bu Siang, ha... ha... ha... Mengenai aku sendiri adalah seorang penangkap Sin Kuay (Iblis sakti) Tohiap, Siauw Siong!”

"Oh, kau si penghianat perguruan Pek Tok Bun! Orang lain tak tahu riwayat busukmu, tapi mana mungkin mengelabui aku!?"

Tohiap mempunyai pantangan, Ia paling gusar bilamana diungkat2 bekas murid Pek Tok Bun. Dengan gusar dan mata mendelik ber-api2 ia menyerang dengan tiba2.

Pek Tok Sin Kuay mengetahui musuhnya lihay, dengan cepat berkelit, tapi serangan susulan dari Tohiap kembali datang. Sekali ini dengan terpaksa ia menggulingkan tubuh ke belakang, tapi serangan susulan Tohiap lagi2 datang, ia benci dan tidak memberikan kesempatan pada musuhnya untuk memperbaiki diri.

Pek Tok Sin Kuay tahu dengan berkelit terus bukan jalan yang terbaik, lengannya yang mengandung racun diangkat untuk menangkis dengan keras. Tak kira begitu dua lengan saling bentrok, Ia merasakan lengannya menjadi kaku, sehingga tidak dapat digunakan sekehendak hati lagi. Tohiap berpikir untuk menghabiskan riwayat musuhnya seketika juga. Tapi musuhnya sudah melakukan serangan membabi buta dengan nekat sekali. Diseruduknya Tohiap sekuat tenaga.

Demi dilihat jurus mengadu jiwa yang ganas, Tohiap menjadi kaget, dengan tangkas ia melompat pergi. Pek Tok Sin Kuay tidak mau mengerti, Ia merangsang terlebih gila. Saking jengkelnya, Tohiap sambil melompat sambil mengebutkan lengannya menghajar ke pundak musuh dengan ilmu menotok yang ampuh. Pek Tok Sin Kuay sudah tak memikirkan lagi dirinya, serangan musuh yang lihay dibiarkan terus, Ia menyergap dengan penuh harapan luka bersama, mati berdua!

"Gila kau, mana mau aku mampus bersamamu?" pikir Tohiap seraya menarik serangan dan melompat keluar gelanggang.

Pek Tok Sin Kuay gagal dalam serangan, tubuhnya berputar cepat, tahu2 iapun sudah keluar gelanggang dan merat ter-birit2.

Tohiap tidak mau mengejar, ia membiarkan musuhnya kabur.

Sebaliknya Kiu Heng yang sudah berada di depan pintu beserta yang lain2 merasa gusar melihat musuh kabur.

Dengan ginkangnya yang luar biasa ia melakukan pengejaran. Saling kejar ini berlaku seru sekali, karena dua2nya mempunyai ilmu ginkang yang lihay.

Sementara itu Tohiap, Kayhiap, Liauw Tim Sutay dan kedua gadis pun turut mengejar dari belakang, karena mereka takut kalau2 Kiu Heng mengalami kecelakaan seorang diri.

Keadaan kota yang ramai sudah dilewati, mereka memasuki daerah luar kota yang agak sepi, achirnya tibalah di tepian sungai Ngo Tian yang sunyi sepi.

Pek Tok Sin Kuay menuju ke sebuah rumah, Kiu Heng mengejar terus sebelum musuhnya masuk ke rumah, berhasil Ia mencandaknya.

"Siapa kau!" bentak Pek Tok Sin Kuay sambil berbalik badan.

"Aku Kiu Heng!"

"Oh, kau si penghianat kaum Bu Lim, kebetulan sekali menghantarkan diri ke sini. lekas bertekuk lutut untuk menghadap kepada pemegang Bu Lim Tiap!”

"Apa katamu?" tanya Kiu Heng, sedangkan pedang Kim-liong-cee-hwee-kiam sudah dihunus.

Pek Tok Sin Kuay pun merasa gusar, cepat menghunus senjatanya.

Dengan cepat perkelahian berlangsung dengan serunya.

Kiu Heng melancarkan ilmu Kie-hwee-liau-tian (Mengangkat sauh menerangkann jagat), pedangnya menyerosot keras ke bawah mengarah sepasang kaki musuhnya.

Pek Tok Sin Kuay mula pertama tidak memandang mata pada musuhnya yang masih muda, cepat ia mencelat ke atas, lalu kembali turun dengan ilmu Hui-lim-to-niau (burung terbang hinggap di pohon). Pedang berikut dirinya menukik keras dari udara sambil menikam musuh.

Untuk menghindarkan serangan maut ini, Kiu Heng mengangkat pedangnya ke atas, Pek Tok Sin Kuay terkejut heran mendapat tangkisan lihay, cepat serangannya ditarik, dirinya membalik ke kiri dan turun ke bumi, lalu menjerosot keras menyerang dengan mendadak.

Kiu Heng mengetahui musuh bisa menyerang lagi, cepat2 melancarkan ilmu silatnya yang dipelajari di gua dan dimatangi di Thaisan. Tubuhnya mencelat ke kiri dan ke kanan, pedangnya ke-atas ke bawah, tak ubahnya dengan seekor harimau gagah yang tengah jongkok bangun mempermainkan mangsanya.

Biarpun Pek Tok Sin Kuay seorang Kang Ouw yang berpengalaman luas, belum pernah menyaksikan ilmu kepandaian yang demikian aneh dan tak teraba jalannya. kedudukan dirinya perlahan-lahan terdesak dan berada di bawah angin, sedangkan Kiu Heng semakin galak dan bersemangat.

Pek Tok Sin Kuay yang sudah menderita cedera sewaktu menghadapi Tohiap tak berdaya lagi menghadapi tekanan2 maut. ilmu kepandaiannya tak kuasa dikembangkan lagi. Keringatnya mengucur memenuhi tubuhnya.

"Mampus kau!” bentak Kiu Heng seraya menyepak keras.

Pek Tok Sin Kuay berikut pedangnya terpental ke udara dan jatuh terbanting di halaman rumah batu. Kiu Heng mengejar untuk menghabiskan jiwa musuh. Sebelum pedangnya ditabaskan dengan cepat ia merasakan angin sambaran, tahu2 pedangnya kena ditangkis. Ia berbalik badan, kaki-kakinya mundur2 saking kaget, lalu maju lagi ke depan sambil bertekuk lutut !

Air sungai bergelombang tinggi dan men-deru2, pasir2 berterbangan tinggi, Kiu Heng tetap bertekuk lutut di hadapan seseorang dengan patuhnya.

Sementara itu, Tohiap dan kawan2 sudah tiba juga di rumah batu itu. Mereka menjadi heran menyaksikan Kiu Heng yang bertekuk lutut, cepat2 menghampiri.

Keheranan mereka bertambah karena orang itu bukan lain dari pada Suhengnya Cie Yang Cinjin yang bernama Cee Sie Tojin!

Kenapa Cee Sie Tojin bisa berada di rumah yang sunyi itu dan tidak di Bu Tong San? Kiranya Pek Tok Thian Kun sudah memanggilnya datang dengan kekuatan Bu Lim Tiap!! Sebegitu jauh Cee Sie Tojin sangat sayang kepada Kiu Heng, ia tahu kepergiannya bisa menimbulkan kerugian pada Kiu Heng, tapi Bu Lim Tiap yang diakui sebagai pusaka rimba hijau itu biar bagaimana harus dipatuhinya juga.

"Heng-jie, kenapa kau tidak mematuhi peraturan Bu Lim Tiap? Mungkinkah kau tidak mengetahui buku itu sebagai pusaka rimba hijau yang harus dipatuhi seluruh kaum Bu Lim?" kata Cee Sie Tojin dengan lembah lembut, seraya memasukkan pedangnya lagi ke dalam serangka.

Perkataan dari Cee Sie Tojin, mengandung makna yang membela kepada si anak, se-olah2 mengatakan bahwa Kiu Heng masih muda dan tidak mengetahui apa2, sehingga melanggar Bu Lim Tiap.

Tengah mereka bicara dari dalam rumah terdengar suara memanggil.

"Kuminta Totiang bicara di dalam!"

Cee Sie Totiang mengenali suara itu bukan lain dari pada Pek Tok Thian Kun. Dengan wajah keren ia berkata: "Siau-heng, Buheng, Sutay dan jiwie Kouwnio, Ikutlah aku ke dalam!"

Yang turut masuk hanya Tohiap dan Kiu Heng, sedang yang lain menjaga di luar.

Rumah batu yang sepi itu sangat luas dan besar, pekarangan bunga di kiri kanan sangat indahnya. ruangan2 di dalam rumah pun sangat Iuas2, sesudah melalui beberapa ruangan, akhirnya tibalah mereka di ruangan tengah yang besar.

Di situ sudah banyak orang dari berbagai golongan, mereka datang atas panggilan Bu Lim Tiap.

Di tengah ruangan terdapat sebuah meja, yang berlilin besar, di tengah2 meja tampak Bu Lim Tiap disandarkan miring. Di kiri meja tampak Gui Sam Seng, di samping kanan terlihat seorang tojin yang memakai jubah panjang, mukanya demikian kering dan hijau, alisnya keren dan panjang, sekali lihatpun dapat mengetahui tojin itu berilmu tinggi.

Di sebelah depan mereka tampak berbaris dengan rata jago2 Bu Lim lainnya, antaranya terlihat Ciok It Hong, Cun Cu Taysu dari Siauw Lim Sie, juhiap Kong Tat, Siu-cee-kong Say Lam San yang sudah mengasingkan diri. Kesemua ini sudah dikenal Kiu Heng.

Antaranya tampak seorang pertengahan umur yang berjanggut Indah dan keren, di sisinya berdiri pula seorang yang gagah, kedua orang ini Kiu Heng tidak mengenalnya.

Tampak Pek Tok Thian Kun seperti tertawa seperti bukan, dengan angkuh dan congkaknya berkata per-lahan2: "Bangsat yang bernyali besar, sewaktu di Oey San berani betul kau menghina Bu Lim Tiap, dan barusan kau membunuh saudara seperguruanku Pek Tok Sin Kuay, kebandelanmu kini masih tetap tegas, lekas kau bertekuk lutut menerima hukuman!"

Kiu Heng sudah gatal untuk membalas memaki, tapi kurang leluasa, karena Supeknya berada di situ, tapi untuknya menerima dosa tanpa beralasan sudah tentu tidak mau pula. Dengan gusar Ia diam saja, dan tidak mengetahui harus berbuat apa. Saking cemasnya, mukanya menjadi merah sendiri.

Dalam suasana yang gawat ini, tiba2 Tohiap membuka mulut:

"Gui Sam Seng, kau jangan mengandalkan Bu Lim Tiap dengan se-wenang2 demi kepentingan diri sendiri. Ketahuilah soal Bu Lim Tiap adalah satu urusan, sedangkan soal kematian Pek Tok Sin Kuay pun satu urusan lain, kenapa kau jadikan dua urusan menjadi satu secara kacau balau?"

Begitu perkataan ini keluar, sekalian hadirin menatap ke arah Tohiap dengan heran.

"Kau tahukah bahwa saudara seperguruanmu melatih llmu Han Peng Im Hong Ciang yang beracun? Kau tahu sendiri ilmu itu diyakininya harus memakai tubuh gadis2 cilik yang dibeset kulitnya. Karena itu perbuatannya yang jahat ini harus mendapat hukuman yang setimpal. Kenapa dosanya dijatuhkan kepada Kiu Heng?"

Pek Tok Thian Kun mengetahui salah omong, seketika diam saja.

Tampak parasnya menjadi jengah sendiri, cepat Ia melirik kepada kawannya yang memakai jubah, agaknya ia meminta pendapat Tojin itu, agar kedudukannya yang kejepit ini menjadi terbebas.

Tojin itu yang bernama Tiang Bie Cinjin agaknya mengetahui maksud kawannya, segera berkata: "Di sini bukan tempatmu untuk bicara, yang diperiksa adalah Kiu Heng, ada urusan apa denganmu?"

Gui Sam Seng seperti mendapat angin.

"Kami rnengadakan rapat kaum Bu Lim ini untuk mengadili seorang pendurhaka Bu Lim Tiap, karena itu kau jangan banyak bicara. Kalau kau melanggar peraturan, aku berhak menjatuhkan hukuman!”

Kiu Heng jadi berani melihat ayah angkatnya membela dirinya, dengan bertolak pinggang ia menunjuk kepada si tojin: "Kau manusia apa? Berani betul mencampuri urusan orang?"

Cee Sie Cinjin, kuatir timbul onar yang tidak diinginkan, lekas ia mencegah: "Heng-jie, kau harus patuh dan jangan berlaku kurang sopan !"

Si tojin yang kena maki Kiu Heng mukanya berubah pucat, sambil bersenyum dingin ia berkata: "Bilamana Pinto tidak menerangkan kau pasti tidak mengetahui, aku adalah tuan rumah dari gedung ini yang bergelar Siang Bie Cinjin!"

Tiang Bie Cinjin sepatah demi sepatah menyebutkan namanya dengan tegas, dengan tujuan melunakkan kegarangan orang dan menghargai dirinya.

Tohiap Siauw Siong tiba2 bergelak-gelak.

"Kukira siapa, tidak tahunya Tiang Bie Cinjin yang sudah mengasingkan diri dari puluhan tahun, tak heran aku tak mengenalnya. Tiang Bie Cinjin, kuyakin ilmu kepandaianmu yang diyakini selama bersembunyi puluhan tahun pasti sudah maju dengan pesat! Ilmu apa yang kau sudah yakini, dapatkah kau perlihatkan kepadaku?"

Sesungguhnya Tohiap bukan tidak kenal kepada Tiang Bie Cinjin, tapi Ia pura2 tidak mengenalnya, sewaktu melihat Cinjin itu duduk di bagian atas dengan angkuh dan congkaknya, kini mendapat kesempatan untuk "ngeledek" dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Gui Sam Seng tahu bahwa Tohiap sengaja memancing keributan, bilamana tidak lekas2 dicegahnya, urusan bisa meluas dan rnenyimpang dari tujuan pokok pembicaraan. Cepat ia bangun.

"Cuwie kuminta menghentikan kata2! Dan Kiu Heng lekas2 bertekuk lutut menerima hukuman !”

Begitu kata2 ini keluar, keadaan di dalam ruangan menjadi sunyi sepi.

Kiu Heng menjadi mendelik saking gusarnya.

"Apa yang kau andalkan menyuruh aku bertekuk lutut dengan sesuka hatimu? Dan apa dosaku pula harus menerima hukuman?"

"Anakku, kau tidak berdosa! jangan mau berlutut!" empos Tohiap dari samping,

"Heng-jie, kau jangan berlaku kurang ajar, kenapa tidak lekas berlutut!” bentak Cee Sie Tojin dengan cepat.

"Bukannya aku tak dengar kata, tapi aku tak mengetahui harus berlutut pada siapa?" jawab Kiu Heng.

Wajah Pek Tok Thian Kun menjadi hijau saking gusarnya, lengannya menunjuk ke atas. meja. "Berlutut ke arah meja!’’

"Kenapa harus berlutut pada meja? Ini permainan apa?" kata Kiu Heng.

"Buku itu mempunyai khasiat apa harus dihormati?" sambung Tohiap.

Cee Sie Tojin berjiwa jujur, Ia mengira Kiu Heng sesungguhnya tidak mengetahui benda yang harus dihormati itu adalah Bu Lim Tiap.

"Heng-jie! Yang harus kau hormati itu adalah Bu Lim Tiap, lekaslah kau lakukan!" suruhnya.

Kiu Heng mempermainkan matanya, menunjukkan perasaan curiga.

"Tapi aku tidak mengetahui bahwa, Bu Lim Tiap itu yang palsu atau yang tulen? Bilamana kena yang palsu, bukankah sia-sia dan sayang kehormatan yang kuberikan dengan percuma ini?"

Agaknya Tiang Bie Cinjin sudah tak sabaran lagi.

"Bu Lim Tiap di dunia ini hanya satu, kenapa ada yang palsu dan yang tulen Kalau begitu, terang kau yang bersalah dan berkeras kepala, tanpa mempunyai alasan!"

"jatuhkan saja hukuman yang setimpal, kalau Ia membangkang, kita hajar!” kata si orang pertengahan umur yang berjanggut indah.

”Akur! Aku setuju pendapat saudara Yo Goat Tong!" kata Ciok It Hong.

"Diam!" bentak Kiu Heng, "kalian tidak berhak untuk bicara."

Sedangkan hatinya menjadi ber-debar2 sewaktu mendengar nama Yo Goat Tiong, tapi ia masih bisa mengendalikan hatinya.

"Sungguhpun aku belum pernah melihat Bu Lim Tiap, tapi kau tidak berhak menjatuhkan hukuman dengan se-wenang2, sedikitpun kau harus memanggil datang tiga orang Ciang Bun jin dari tiga partai untuk mengadili diriku!"

Kiu Heng mempunyai Bu Lim Tiap dan pernah membacanya berulang kali, sehingga mengerti betul peraturan2 yang berada di dalamnya.

Kini Ia meminta agar Pek Tok Thian Kun memanggil datang tiga Ciang-bun-jin untuk mengadili dirinya, se-mata2 mengingatkan pada musuh, bahwa ia pun mengerti peraturan yang terdapat di Bu Lim Tiap.

Sekaitan yang mendengar menjadi kaget atas permintaan Kiu Heng.

Mereka tidak menyangka anak muda itu dapat menimbulkan pertanyaan yang demikian tepat dan sempurna. Orang2 di dalam ruangan sudah mulai ber-bisik2 satu sama lain, ada yang girang ada juga yang kesal.

Yang bergirang adalah Cee-Sie Tof.jin, Kong Tat, Say Lam San dan Cun-cu Taysu.

Sebaliknya Tohiap Siauw Siong mempunyai pikiran lain; bagaimanapun Bu Lim Tiap yang tulen harus diperlihatkan. Kalau tidak, kegawatan yang meruncing ini tak mungkin dapat diatasi, sehingga pikirannya terbenam di dalam keraguan.

"Sudah terang berdurhaka pada Bu Lim Tiap, masih tetap berani menggoyang lidah untuk membela kesalahan,"bentak Pek Tok

Thian Kun.

"Gui-heng,” kata Cee Sie Tojin yang mempunyai kesempatan untuk membela Kiu Heng.

"Dalam hal ini kau yang salah, Pinto mengakui belum pernah memegang Bu Lim Tiap, tapi sudah terang mengetahui peraturan yang terdapat di dalamnya! Apa yang dikatakan Kiu Heng memang betul, setiap orang yang berbuat salah harus diadili ber-sama2 tiga orang Ciang-bun-jin dari tiga partai yang dikehendaki si terdakwa! Sedangkan kau kini berlaku menurut kehendak sendiri, sehingga membuat aku pusing dan melupakan peraturan yang tertera di dalam Bu Lim Tiap. Kini aku sudah sadar, bilamana kau tetap melaksanakan kekerasan kepada Kiu Heng, jangan sesalkan tindakanku yang kurang sopan!"

"Apa yang dikatakan Cee Sie Toyu memang benar." kata Cuncu Taysu membenarkan.

Pek Tok Thian Kun terdiam sejenak lalu tertawa bergelak-gelak.

"Kau boleh mengatakan demikian, tapi apa yang dilakukan Hui Kong Taysu terhadap Kayhiap Bu Tie? Bukankah ia menjatuhkan hukuman dengan seorang diri, padahal di situ terdapat Cie Yang Cinjin, Liauw Tim Sutay, dan aku sendiri, tapi sedikit pendapat pun tidak dimintanya!”

"Kalau begini sudah terang Cee Sie Totiang, membela murid durhakanya tanpa mengindahkan lagi Bu Lim Tiap, aku sebagai pemilik rumah ini mana mungkin membiarkan kau berlaku gila di sini?" kata Tiang Bie Cinjin.

"Hei, orang tua, kau jangan bicara sekehendak hati, bilamana kau berani lagi menghina Supekku, aku tak segan2 menghajar dirimu!" kata Kiu Heng.

Seumur hidupnya Tiang Bie Cinjin belum pernah mendapat dampratan yang demikian keras di muka umum, matanya mendelik lebar.

"Sudah tiga puluh tahun lebih aku belum pernah menggerakkan kaki tanganku, kini kau menantang aku? Baiklah, aku bisa mengirim kau dan Supekmu menemui Giam Lo Ong!”

Tohiap tidak bicara lagi, ia maju dua langkah, mulutnya mesem2 geli: "Hei Lo-tau, rupanya kau sudah tak sabar lagi hidup di dunia ini. Inginkah mati dengan cepat?” ejeknya.

"Kuyakin ilmu yang kau pelajari puluhan tahun itu tidak bisa menunda kematianmu terlebih lama lagi! Semoga kau bisa tinggal di alam baka dengan senang dan gembira!"

"Hai, bungkuk, kau jangan berkata sembarangan,” kata Pek Tok Thian Kun.

Sehabis berkata ia bersiap untuk menerjang.

Kiu Heng tidak tinggal diam dengan tangkas ia melangkah maju. Tahu2 Pek Tok Thian Kun melangkah miring dan menjamberet Bu Lim Tiap dari atas meja, dimasukkannya ke dalam sakunya, perubahan dari gerakannya yang di luar perkiraan ini membuat Kiu Heng tersenyum simpul.

Keadaan tegang yang memenuhi isi ruangan menjadi gelak tertawa riuh atas kelakuan Pek Tok Thian Kun yang kesusu.

"Kau si manusia berhati cupet, mengaku sebagai seorang Kuncu, tak tahunya orang rendah yang tidak tahu malu. Kau kira aku kepengen segala buku itukah?" bentak Kiu Heng. "Lihat apa ini?"

"Bu Lim Tiap!" seru sekalian yang hadir dengan terkejut.

Agaknya Tiang Bie Cinjin yang paling tak sabaran, kembali ia bicara:

"Kita adalah golongan persilatan, untuk menyelesaikan persoalan gawat takkan selesai dengan lidah, dan takkan beres dengan Bu Lim Tiap. sejujurnya adalah: kekuatan senjata adalah cara terbaik memecahkan persoalan!”

"Kau jangan banyak bicara!” bentak Tohiap seraya mencabut huncwenya dan menyerang kepada musuh.

"Bagus," kata Tiang Bie Cinjin, tubuhnya mundur berkelit, lalu menghunus pedangnya.

Tohiap jadi gusar begitu sadar serangannya tidak membawa hasil. Serangannya berubah dengan cepat, senjatanya tak ubahnya merupakan titik2 air hujan yang deras, mengurung kepala musuhnya!

Tak malu Tiang Bin Cinjin meyakinkan ilmu puluhan tahun lamanya, karena pedangnya pun bisa berubah dengan cepat, menghalau seluruh serangan2 musuhnya.

Menghadapi musuh yang lihay, Tohiap menjadi girang. Dengan tertawa mengejek ia mencoba membuyarkan perhatian musuh.

"Tiang Bie Cinjin, sudah puluhan tahun kau belajar silat, mungkinkah hanya belajar menangkis melulu dan berkelit?"

Tanpa menjawab Tiang Bie Cinjin, membentangkan pedangnya, jurusnya kembali berubah, dari bertahan menjadi menyerang.

Gerakannya yang lincah dan matang luar biasa cepatnya, sehingga tubuhnya seperti hilang di dalam lingkungan sinar putih yang ber-kilat2 dari pedangnya.

Dalam beberapa jurus ia berhasil mendesak musuhnya terus2an. Hal ini membuat keberaniannya semakin menjadi2. Seluruh kepandaianya yang diyakini dari puluhan tahun dipergunakan dengan ganas mencecar terus musuhnya, sehingga pertarungan benar2 hebat dan rnenggidikkan.

Kepandaian silat Tohiap sesungguhnya tidak berada di sebelah bawah musuhnya, sayang senjatanya tidak sebaik pedang musuh yang lebih panjang. Di samping itu, iapun harus mengakui ilmu rangsakan musuhnya yang sudah terlatih matang.

Perhatiannya dicurahkan seratus persen melawan musuh. tak berani untuknya mengganggu atau mengejek lagi.

Cee Sie Tojin dan Kiu Heng mengucurkan keringat dingin untuk keselamatan Tohiap.

Tiba2 terdengar bentrokan senjata yang nyaring, disusul lelatu api membujar ke empat penjuru, sinar pedang segera sirna, apa yang tampak ialah pedang Tiang Bie Cinjin, tengah menikam ke depan dan tepat mengarah kerongkongan musuhnya.

"Celaka!” teriak Kiu Heng tanpa disadari.

Tapi sebelum kata2nya keluar dari mulut, perubahan di medan pertarungan sudah berubah.

Kiranya Tohiap yang tengah mundur2 terangsak lawan, tiba2 kesandung sesuatu benda, sehingga keseimbangan tubuhnya tak baik lagi. Kesempatan ini dipergunakan musuhnya, sehingga ujung pedang hampir menembus kerongkongan musuhnya. Tapi Tohiap bukan seorang yang lemah, sungguhpun dalam keadaan bahaya, pertahanannya masih tetap tak kalut.

Tubuhnya dengan cepat kembali seperti sedia kala, sedangkan kakinya ditendangkannya ke muka, sehingga ia berjungkir balik ke belakang, pedang Tiang Bie Cinjin dengan ganas lewat dari sasaran beberapa senti.

"Celaka!” pikir Tohiap di dalam hati.

Tubuhnya begitu berdiri tetap, langsung menyerobot ke depan, huncwenya seperti kilat menyerampang. Tiang Bie Cinjin melompat, membiarkan senjata musuh lewat dari bawah sepatunya.

Sementara itu, Pek Tok Thian Kun sudah mengeluarkan perintah untuk menghajar Kiu Heng.

Akan tetapi anjuran yang berupa perintah ini hanya menarik sebagian orang, sedangkan Cuncu Taysu dan Cee Sie Tojin serta Kong Tat membela pihak Kiu Heng. Say Lam San sendiri mengambil jalan tengah, ia menonton tanpa mengeluarkan pendapat,

Ciok It Hong, Yo Goat Hong dan seorang lagi yang bukan lain dari Lie Keng, tanpa menunggu perintah dua kali sudah menghunus — senjatanya. Hal ini diikuti orang2 Bu Lim lain yang kurang “ kenamaan tapi sealiran dengan Pek Tok Thian Kun.

Pertarungan kalang kabut berkobar dengan cepat. Kiu Heng menghadapi Yo Goat Tiong, Ia ingin melampiaskan sakit hatinya pada musuhnya yang membasmi keluarganya.

"Apakah kau yang bernama Yo Goat Tiong?" tegurnya.

"Memang aku Yo Goat Tiong seorang Piausu yang kenamaan....”

"Tutup mulutmu, apakah kau ingat nama Wie Bu Piaukiok? Ingatkah perbuatan terkutukmu itu? Aku adalah sisa dari keluarga Kiu itu yang tertinggal hidup dan kini berhadapan denganmu untuk menagih hutang!"

Yo Goat Tiong tahu banyak cakap tidak ada gunanya, cepat menangkis serangan Kiu Heng yang sudah datang.

Lalu melancarkan ilmu kepandaiannya dari puluhan tahun, pedangnya lincah dan tangkas, ber-putar2 seperti seekor walet mengitari gunung.

Sepuluh jurus Kiu Heng merangsek keras, tapi tidak membawa hasil, karena dalam perkelahian ini Ia terlalu napsu. Hampir2 kecerobohannya mendatangkan luka. Kiu Heng semakin bernapsu dan gusar, pedangnya dibulang-baling tiga kali membabat musuh dengan telengas. Tapi sedikitpun tidak membawa hasil, karena musuhnya cukup berpengalaman dan tangguh.

Sesudah melihat musuh dalam keadaan kalap, Yo Goat Tiong menyerang dengan cepat, ujung pedangnya bergetar, ilmu Ban-hong Cut-cau atau sepuluh ribu tawon keluar sarang, dilancarkan dengan hebat, ujung pedang se-olah2 berubah menjadi banyak, kekuatannya luar biasa dan mengejutkan yang menyaksikan.

Kiu Heng kesal serangannya dipatahkan terus, kini dilihatnya musuh menyerang dengan llmu yang indah dan luar biasa, hatinya merasa heran.

Ketenangan dirinya pun terkendalikan lagi, dengan cepat. Ia melancarkan ilmu pedang Cit-cuat-kiam dari Kong Tat, pedangnya menggulung seperti pelangi, mengurung jurus Ban-hong-cut-cau musuhnya, sedangkan lengan kirinya mendorong keras dengan jurus Geledek Membelah Gunung.

Yo Goat Tiong tak mengira serangannya kena dibendung. di samping itu serangan lengan lawan pun memberikan ancaman keras. Ia mundur sambil menarik pedangnya. Tak kira Kiu Heng membarengi dengan serangan lain, pedangnya menikam tajam ke pergelangan musuhnya sedangkan kakinya menyepak pula ke arah ke mana lengan yang berpedang itu mengegos. Inilah jurus dari Bu Lim Tiap yang dilancarkan.

Yo Goat Tiong tak menduga perubahan musuhnya berjalan dengan cepat dan di luar dugaan, ia tak bisa melakukan egosan lagi, tahu2 lengannya tertusuk pedang dan lemas.

Senjatanya jatuh, berbareng dengan itu tendangan musuh berkelebat di samping tubuhnya. Pertahanannya berantakan seketika.

"Hutang darah bayar darah, dosa tidak berampun!" teriak Kiu Heng sambil mengerjakan pedangnya.

Yo Goat Tiong menjerit keras, ia mandl darah dan mati seketika juga.

Akibat dari kematian Yo Goat Tiong mempengaruhi medan pertarungan. Ciok It Hong yang berhadapan dengan Cuncu Taysu dari Siauw Lim Sie, segera merat keluar, karena ia tahu bahwa Pek Tok Thian Kun tidak bisa membela dirinya lagi.

"Jangan kasih lolos!” teriak Kiu Heng, karena ia sangat benci pada Ciok It Hong yang pernah mencelakakan dirinya.

Atas seruan ini, Cuncu Taysu mencoba mengejar, tapi kena dihalangi beberapa orang2 lain.

Lie Keng menghadapi Cee Sie Tojin, tapi Ia bukan lawan dari si jago Bu Tong, dalam sekejap sudah berada di bawah angin. Sungguhpun demikian, Ia tidak mau merat seperti Ciok It Hong yang licik. Kiu Heng yang sudah berhasil paling pagi membereskan musuhnya, kini dihadang empat orang Bu Lim lainnya, sehingga tidak bisa mengejar Ciok It Hong.

Pek Tok Thian Kun sendiri tengah sengit melawan Kong Tat, menilik dari ilmu mereka masing2 sama2 kuat, tapi Kong Tat menang di hati. Sedangkan Pek Tok Thian Kun sudah bimbang menghadapi keadaan yang gawat ini. Tak heran begitu Ia mendapatkan kesempatan segera menerjang jendela dan kabur.

Ia ber-lari2, pikirannya sudah aman. Tak kira baru keluar dari rumah dari depannya mendatang seorang nikoh. dan dua gadis.

"O Mi To Hud, tak diduga kita bertemu lagi di sini!" kata nikoh itu yang bukan lain dari Liauw Tim Sutay.

"Sesudah berpisah dari See Ouw, Sutay baik2kah?’’ tegur Pek Tok Thian Kun.

Ia merasa heran si nikoh yang tidak mempunyai ganjelan dengannya bisa mengeluarkan perkataan yang mengandung tantangan, tapi ia tenang dan tidak mengentarakan di wajahnya.

"Aku tidak bersangkutan denganmu, karena itu tak perlu kuatir atas diriku ini. Sedangkan yang akan meminta berurusan adalah kedua Kounio ini," kata Liauw Tim Sutay.

Ping Ping dengan mata berlinang menatap musuhnya dengan gusar, sedangkan Soat-jie pun mengetahui orang yang mencelakakan ayahnya adalah Pek Tok Thian Kun juga.

"Gui Sam Seng, masih ingatkah kau kejadian di Oey San, dimana keluargaku habis kau bantai?" tegur Ping Ping.

"Oh, kau si bocah, kukira sudah mati menjadi setan!" kata Gui Sam Seng dengan heran.

"Ping Cici, untuk apa banyak bicara dengan manusia iblis yang kejam,” kata Soat-jie.

"Siapakah kau?”

"Aku puteri dari Cie Yang Cinjin!"

"Ha?” Gui Sam Seng heran, "jadinya kau ingin melawan aku?"’

"Ya," jawab kedua gadis itu hampir berbareng.

"Tahukah bahwa kau berhadapan dengan pemilik Bu Lim Tiap?”

Liauw Tim Sutay menjadi tertawa mendengar keterangan itu.

”Gui Sam Seng, kau tak perlu menimbulkan Bu Lim Tiap yang kau peroleh secara licik! Hadapilah kedua Kounio ini dengan jantan, aku pasti tidak campur tangan!"

Perkataan ini memang yang diinginkan Gui Sam Seng karena Ia takut si nikoh melawannya. Tapi ia pura2 bersikap lain: "Biar siapapun aku tak takuti, apa lagi cuma dua bocah ini,” katanya.

Ping Ping menghadapi musuhnya di depan mata, dan saatnya untuk turun tangan sudah tiba, hatlnya menjadi ber-debar2. Pada saat inilah kesiuran angin keras tiba menyerang dirinya, cepat ia menggeser kaki dan memutar tubuh menghindarkan serangan lewat. Lalu Ia mencurahkan 'perhatian pada musuhnya sambil menantikan serangan selanjutnya.

Pek Tok Thian Kun melakukan serangan sewaktu musuh tak bersiaga, tapi kena diegoskan Ping Ping dengan mudah, tanpa berkata lagi Ia maju mendekat dan mengayunkan lengannya menabas, kelihayan dari pukulannya ini tak ubahnya dengan kekuatan badai di laut.

Ping Ping tahu kekuatan lengan musuh yang sebelah itu cukup berbahaja, Ia menggeserkan kakinya dan mundur per-lahan2.

Pek Tok Thian Kun merasa heran melihat musuhnya yang mundur2 terus, segera mengubah pukulannya dari membabat menjadi mendorong, seiring dengan itu tubuhnya pun seperti angin topan cepatnya menyergap ke muka.

Ping Ping seperti sudah menduga musuhnya akan berbuat demikian, begitu musuh mendekat segera memutarkan tubuh di atas sebuah kakinya, keadaan sangat berbahaya, hampir Ia tertotok jari musuh. Tapi perhitungannya cukup matang, sewaktu ia memutar tubuh, jurus yang dilancarkan bukan main indahnya, inilah pelajaran rahasia yang diperolehnya selama tiga tahun di pulau Cee Cu To.

Pek Tok Thian Kun tahu jurus dan gerakan musuh sangat dahsyat, tapi Ia menang pengalaman, sebelum serangan datang sudah menduga lebih dulu, tak heran sewaktu Ping Ping melancarkan tangan kena dipatahkan secara mudah.

Kedua tubuh mereka dari merapat tiba2 berpisah, lalu saling tatap dan bersiaga, sesudah itu saling serang lagi, kembali dari berpisah bergumul lagi menjadi satu. Tubuh Pek Tok Thian Kun di bawah baju hitamnya yang besar ber-putar2 seperti gulungan asap yang luar biasa lincah.

Ping Ping didesak terus, sehingga gugup dan kalang kabut, maklumlah seumur hidupnya Ia pertama kali menghadapi musuh, lagi pula musuhnya sangat tangguh.

Segala kepandaiannya yang diperoleh dalam tiga tahun agaknya belum bisa mengimbangi daya kekuatan musuh yang diyakini puluhan tahun. Biar pun demikian Ia melakukan terus perlawanan dengan gigih.

Soat-jie mengetahui saudara seperguruannya berada di bawah angin, maka itu ia mengambil sikap siap sedia, begitu dilihatnya Ping Ping terdesak terus, Ia menghampiri.

Sewaktu perkelahian berpisah dengan cepat. tubuhnya menggantikan kedudukan Ping Ping.

Pek Tok Thian Kun merasa heran atas gerakan si gadis yang lincah dan cepat. Di samping itu ia tidak habis mengerti kenapa Ping Ping sudah demikian lihay sekali, ia merasa penasaran tidak bisa menjatuhkan seorang gadis dalam waktu singkat.

Kini dilihatnya Soat-jie menggantikan Ping Ping. sehingga kegusaran Gui Sam Seng ditumplakkan pada si gadis.

Biarpun digenjot pulang pergi dengan tekanan2 keras, Soat-jie tidak menunjukkan paras gusar, ia memusatkan seluruh perhatiannya pada gerakan2 musuh. Lalu menghindarkan diri dengan indahnya, tubuhnya yang ramping dengan gerakannya yang lincah, ber-putar2 mengimbangi musuh, sehingga seperti uap putih dan asap hitam tengah ber-putar2. Bukan saja kecepatannya luar biasa dan mengagumkan juga sangat indah di pandangan mata yang menyaksikan.

Seorang Ciang-bun-jin dari Pek Tok Bun melawan seorang gadis dari Cee Cu To, dua2 sama2 kuat, masing2 ia memamerkan ilmu golongan atas yang jarang dilihat di dunia persilatan. Mereka seperti mempertaruhkan jiwa masing2 yang satu merasa penasaran tidak berdaya menghancurkan seorang gadis, sedangkan si gadis merasa benci dan ingin membalas dendam.

Ilmu kekuatan Pek Tok Thian Kun sudah lihay, sedangkan Soat-jie yang masih mudapun cukup lihay, dan kalau dinilai ilmu kepandaiannya tidak berada di bawah kekuatan Cie Yang Cinjin sewaktu merebut Bu Lim Tiap yang ketiga kali.

Sesudah perkelahian berjalan satu jam, Pek Tok Thian Kun masih belum berhasil menjatuhkan puterinya Cie Yang Cinjin, keadaan tetap berimbang. Sehingga Pek Tok Thian Kun mem-bentak2 dengan nyaring, tegas ia merasa cemas belum memperoleh kemenangan sesudah bertarung demikian lama. Di samping itu iapun kuatir kalau kawan2-nya di dalam rumah kalah dan datang ke tempat mereka bertarung, dirinya pasti akan terkurung dan mati di bawah kepungan musuh.

Tengah hebatnya mereka bertarung, tiba2 tendengar jeritan keras dari jarak beberapa tombak. Pek Tok

Thian Kun berkesempatan melihat juga ke arah suara. Di sana ia melihat sesosok tubuh jatuh bermandikan darah dan berkerejetan lalu mati.

Di samping mayat itu berdiri seorang pengemis yang bukan lain dari Kayhiap Bu Tie.

Kiranya sewaktu Ciok It Hong sipat kuping melarikan diri, kena dihadang Bu Tie, sehingga pertarungan seru tak dapat dihindarkan. Mereka bertarung ber-puluh2 jurus, tapi kemenangan akhir diperoleh Bu Tie juga. Sesudah menyelesaikan perkelahian berat, Bu Tie mendekat pada Liauw Tim Sutay sambil menyaksikan perkelahian antara Soat-jie dan Pek Tok Thian Kun.

Sementara itu keadaan di dalam rumah batu masih tetap ramai, pertarungan berjalan semakin seru. Masing2 ingin menjatuhkan musuh dalam waktu sesingkat mungkin.

Sedangkan Tohiap yang saling hantam dengan Tiang

Bie Cinjin, sudah melancarkan ilmu simpanannya yang terdiri dari dua puluh empat jurus dengan gencar, tampak huncwenya ke atas menyangsot enam kali, lalu ke bawah menotok enam kali, kiri kanan enam kali, seluruhnya dua puluh empat serangan dilancarkan dalam waktu singkat.

Tiang Bie Cinjin sesudah menghadapi dua puluh empat serangan hatinya merasa gentar, sehingga tertekan habis2an, tak heran senjatanya begitu beradu segera terpental, dirinya sendiri tergempur mundur beberapa langkah dengan terhuyung. Sebelum sempat memperbaiki dirinya serangan susulan dari Tohiap membuatnya terkapar di lantai dan mati seketika.

Kekuatan musuh sudah berkurang, banyak yang sudah lari sipat kuping, hanya Lie Keng tetap melakukan perlawanan, tapi dalam waktu tak seberapa lama Ia pun menyusul Tiang Bie Cinjin di bawah tekanan maut Cee Sie Tojin. Tempat perkelahian yang seram dan menegangkan urat saraf kini menjadi sunji sepi, di samping yang terbunuh mati terdapat pula yang terluka parah sambil merintih kesakitan.

Yang tidak sempat melarikan diri dilucuti senjatanya dan disuruh mengurus jenazah2, sesudah itu rumah itu dibakar.

Tohiap dan kawan2 segera meninggalkannya, mereka menjadi terkesiap sewaktu menyaksikan perkelahian yang masih berlangsung antara Soat-jie dengan Pek Tok Thian Kun. Tapi sebagai jago2 mereka tidak mau turun tangan mengerubuti musuhnya yang tinggal seorang diri.

Dua manusia bertarung terus, seperti me-nari2 agaknya, membuat pandangan mata kabur.

Tiba2 Soat-jie berteriak keras dan garing, tubuhnya merapung ke atas, lalu bergeliat sejenak dan menukik dengan kecepatan kilat, kaki dan tangannya dibentangkan demikian macam, seperti seekor elang menyergap anak ayam, langsung menghajar ubun2 musuhnya. Inilah salah satu jurus dari Cee Cu To yang bernama Elang Saktl Menerkam Ayam.

Saat ini Pek Tok Thian Kun tengah risau, sebab melihat api berkobar dan datangnya kawan2 pihak musuh. Sehingga tak ampun lagi Ia terkena serangan tangan si gadis, tubuhnya terhuyung2, untung Ia masih bisa berlaku tangkas kalau tidak jiwanya pasti mati seketika juga.

Kekalahan agaknya sudah terbayang di depan mata Pek Tok Thian Kun, serangan2 musuh yang semakin lama semakin aneh dan belum pernah dilihatnya membuatnya semakin repot. Untuk menyelamatkan jiwa ia mencoba "modalnya" yang ampuh yakni ilmu tertawa yang bernama Li-seng-tuan-hun-im. Begitu mendengar suara tertawa yang dahsyat ini sekalian jago menjadi bergolak hatinya, untunglah mereka terhitung ahli2 kelas satu. Sesudah menenangkan hati seketika sudah tak terganggu lagi suara aneh itu. Sedangkan Soat-jie mula pertama merasa tak kuat mendengar suara itu, tapi sesudah menyalurkan Lui-kangnya ia bisa menahannya, dan per-lahan2 suara tertawa musuh yang bisa melukakan orang di dalam jarak beberapa ratus meter itu, tak ubahnya seperti tertawa biasa. Saat inilah Ia melancarkan ilmunya yang terlihay.

Tampak tangannya mencabut belati lalu melontarkan keras.

Pek Tok Thian Kun melihat sinar putih yang berkilauan, ia kaget dan mengingat lagi sewaktu serangan Cie Yang Cinjin di See Ouw, kipasnya cepat dicabut dan dipakai menangkis.

Pisau itu berkekuatan luar biasa, kipas ditembus langsung menikam ke depan. Dengan jeritan keras yang memilukan, Pek Tok Thian Kun rebah di bumi. Tubuhnya berkelejetan sejenak, lalu tampak sepasang kakinya menjadi lurus, seorang jago tamat riwajatnya secara demikian.

Tiba2 tampak berkelebat seseorang muda yang langsung menubruk mayat Gui Sam Seng sambil ter-sedu2.

Sekalian yang menyaksikan merasa kasihan juga melihat nasib Gui Sam Seng, tapi kalau mengingat kejahatannya, semua merasa gusar dan ingin menelannya hidup-hidup.

Pemuda itu bukan lain dari pada Gui Wie, sesudah menangis seketika diangkatnya tubuh ayahnya dan dibawa pergi.

"Saudara Gui!” kata Kiu Heng sambil mengejar. "Kau tentu merasa benci pada kami bukan?"

"Ayahku berlaku jahat dan sudah seharusnya menerima ganjaran serupa ini, tapi untukku ia tetap seorang ayah. Karena itu aku harus mengurus jenazahnya sebaik mungkin!"

"Bagaimana dengan Cui-cici?" tanya Kiu Heng.

"Ia baik2 saja, dan kalau kau sempat di kelak kemudian hari mampirlah di Bu Kong San, kami hidup di sana mendampingi suhunya yang sudah tua!" jawab Gui Wie sambil pergi dan tidak menoleh lagi.

Sesudah berkumpul sejenak, Say Lam San pun mohon pamit untuk bertapa lagi, sedangkan Kayhiap dan Tohiap yang sudah ada umur ingin melewatkan hari dengan tenang jauh di pegunungan.

"Heng-jie kau masih muda, masih penuh cita2 untuk menempuh hidup, sedangkan aku sudah tua, karena itu ingin mengasingkan diri. Kuharap kalau sempat kunjungilah aku di Thai San," kata Tohiap.

"Giehu,” kata Kiu Heng dengan terharu.

Kong Tat datang menepak-nepak pundak Kiu Heng.

"Kau anak yang baik, bagaimana dengan Pai-kut-sin kang, apakah kau tidak pelajari?" kata Kong Tat.

Kiu Heng tersenyum.

"Hai, pengemis dan orang bungkuk, kau pergi masa berdua saja, akupun sudah jemu luntang lantung di dunia Kang Ouw, karena itu ajaklah aku bersama2,” kata Kong Tat.

Sekalian yang mendengar tersenyum.

"Heng-jie, kalau sempat datanglah ke Bu Tong San," pesan Cee Sie Tojin.

"Baik," jawab Kiu Heng Tohiap, Kayhiap, juhiap pergi serombongan ke Thai San, Liauw Tim Sutay kembali ke Hoa San, Cee Sie Tojin seiring dengan Cuncu Taysu meninggalkan medan pertarungan yang sudah menjadi mati.

Kiu Heng berlinang air matanya, sedangkan Ping Ping dan Soat-jie memegang lengan kanan dan kiri si pe muda sambil menatap kepergian jago2 Bu Lim.

"Kiu Koko, sejak hari ini kita, harus pergi kemana?" tegur Ping Ping.

"Tidak tahu, aku tak akan berpisah darimu lagi!"

"Kiu Koko," kata Soat-jie dengan likat. "Aku sudah meminta pada ibu untuk membawamu ke Cee Cu To. Mula pertama ia tidak mengizinkan, sesudah kudesak pulang pergi, kau dibolehkan juga datang ke sana."

Kiu Heng menganggukkan kepala tanda setuju. Mereka segera meninggalkan tempat itu dan pulang Cee Cu To.

Sejak itu, Kiu Heng hidup bahagia di pulau kecil yang aneh didampingi dua gadis cantik.



TAMAT