Jumat, 09 Mei 2014

Mustika Gaib Tamat

Matahari semakin siang, semakin memancarkan sinarnya. Di dalam ruangan besar kelenteng Su tay-ong bio mengepul asap hio, diringi dengan suara tetabuhan suci. Dari bagian cim cee kelenteng Su-tay ong-bio, berbaris beberapa orang bangsawan tangan mereka masing-masing memegang sebatang hio, mereka mulai sembahyang di depan meja sembahyang. Di belakang meja sembahyang tampak tujuh orang tosu memakai pakaian pertapaan, di tangan mereka memegang perabot untuk melakukan upacara sembahyang, mereka mulai membaca doa untuk mengundang malaikat. Di bagian bawah cim cee, terdapat tidak kurang tiga puluh ribu orang penduduk kampung yang juga turut sembahyang. Suasana di dalam kelenteng Su tay ong bio jadi hening, kecuali suara membaca doa dan alat-alat tetabuhan suci. Tidak lama, dari dalam kamar di sebelah kiri meja sembahyang keluar seorang tosu mengenakan jubah kuning berkembang Pat-kwa, itulah Hoan Sek totiang dari gunung Bong-san yang pada dua tahun yang lalu datang ke kelenteng Su-tay ong bio. Kang Hoo yang turut berjejalan di antara ribuan penduduk Cie-yang, memperhatikan semua upacara sembahyang itu. Dengan rupa yang dibikin-bikin dan rambut riap-riapan, Hoan Sek totiang jalan mondar-mandir di depan meja sembahyang, tangannya memegang pedang. Setelah Hoan Sek totiang jalan mondar-mandir di depan meja sembahyang, mendadak saja ia seperti kemasukan rokh halus, ia melompat lompat setinggi lima sampai enam kaki, kemudian duduk di atas kursi berukiran naga. Penduduk Cie-yang yang datang bersembahyang bisa melihat Hoan Sek totiang sudah mulai kemasukan setan, dan mereka tampak tak berani mengeluarkan suara, tidak terkecuali kaum bangsawan yang berada di atas cim cee dekat meja sembahyang, mereka juga tak berani bicara apa-apa memandang wajah si tosu yang sudah kemasukan rokh halus. Sementara itu Hoan Sek totiang yang sudah duduk di atas kursi kebesarannya dengan suara rokhnya berseru, “Aku adalah malaikat Kim liong su-tay ong yang mengepalai tiga ribu empat ratus lie sepanjang sungai Hong hoo karena penduduk dari bagian bawah sungai Hong hoo memiliki sifat-sifat jahat, maka telah membuat aku jadi gusar, dan akan menurunkan banjir, tapi mengingat kalian penduduk Cie-yang yang taat dan telah melakukan sam-seng, maka aku membatalkan niatku untuk membuat di sekitar tepi sungai jadi banjir. Tapi ingat, kalian harus segera mengumpulkan sebanyak seratus dua puluh ribu uang emas guna bikin betul kelenteng Siok-kok koan yang berada di atas gunung Bong-san, semua derma kalian tentu akan diketahui Thian!” Setelah mengucapkan perkataan itu, Hoan Sek totiang mendadak lompat dari atas kursinya, lalu roboh di bawah. Sesaat kemudian, baru Hoan Sek totiang bangkit bangun, ia menghela napas lalu duduk lagi di atas kursinya dan berkata seorang diri, “Aku kenapa mesti dapatkan ini siksaan. Setelah kemasukan rokh suci aku seperti orang mati, tidak bisa bernapas, aib, aku mesti minta malaikat buat pilih lain orang saja.” Penduduk kampung yang hadir dalam ruangan itu mendengar ucapan Hoan Sek totiang yang minta lain orang mewakilinya, mereka jadi kaget, lalu ramai-ramai membujuk si orang agar ia saja yang meneruskan pemimpin upacara sembahyang itu. Akhirnya upacara diteruskan. Selesai mengadakan upacara sembahyang, maka orang-orang kampung kembali ke rumah masing-masing. Menyaksikan ketololannya penduduk Cie-yang. Kang Hoo hanya bisa tertawa di dalam hati, meskipun ia tahu semua itu adalah tipu muslihatnya si tosu Hoan Sek untuk mengelabui orang bodoh guna mencari uang, tapi karena ia menjaga dalam perjalanan agar jangan sampai timbul bentrokan dari pihak manapun, lebih-lebih di badannya membawa Angsa Emas Berkepala Naga maka tindak tanduknya ia batasi. Setelah berkeliling kampung, maka ia menginap di satu losmen. Malampun tiba. Kang Hoo rebah di atas pembaringan, seruling perak dan bungkusan Angsa Emas Berkepala Naga diletakkan di bawah bantal. Api lilin menerangi ruangan kamar. Besok pagi aku harus melanjutkan perjalanan ke laut Pok hay, melihat keadaan sungai demikian rupa, maka terpaksa aku jalan darat. Lebih cepat lebih baik. Semoga dengan kuserahkannya Angsa Emas maka permusuhan antara suhuku dan suhu Hong Pin, bisa didamaikan hingga tidak akan merembet-rembet kepada muridnya, kalau dendam ini tidak akan dihabiskan sampai di sini, sampai kapan manusia harus saling bunuh untuk melampiaskan dendam masing-masing......?” Ketika Kang Hoo rebah, dengan pikiran menerawang tidak keruan, mendadak saja telinganya mendengar suara angin yang santer di atas genteng. Kang Hoo kaget, ia cepat lompat bangun dari tempat tidurnya, tangannya segera mengambil bungkusan Angsa Emas dan seruling perak di bawah bantal. Kemudian ia mendongakkan kepala ke atas memperhatikan suara kesiuran angin. Ia tahu kesiuran angin yang lewat di atas genteng itu bukanlah angin biasa, itulah angin dari gerakan seseorang yang memiliki kepandaian berlari di atas genteng, dan setelah sekian saat ia tidak mendengar ada tanda-tanda yang mencurigakan, maka cepat Kang Hoo membuka jendela, ia ingin melihat suara lari di atas genteng itu suara siapa, tapi setelah jendela dibuka keadaan di luar gelap, maka dengan membawa bungkusan Angsa Emasnya ia lompat ke atas genteng. Suasana gelap, langit hitam, bintang tak tampak, hanya sinar seruling menerangi di sekitarnya. Sepasang mata Kang Hoo memperhatikan ke arah mana bayangan tadi lewat, dan tidak lama ia bisa melihat berkelebatnya bayangan hitam di atas wuwungan kelenteng. Kang Hoo ingin tahu apa yang akan dikerjakan bayangan hitam itu, ia sudah lari mengejar, tapi baru saja tiba di tempat bayangan hitam tadi. Di sana ia tidak melihat bayangan apapun. Kembali Kang Hoo dibuat jadi heran, gerakan bayangan hitam tadi sangat gesit luar biasa. Sebentar saja sudab lenyap dari pandangan matanya. Selagi ia mencari-cari kemana lenyapnya bayangan hitam tadi, mendadak saja dari sebelah kirinya terdengar suara teriakan. Kemudian suara teriakan tadi lenyap ditelan angin malam. Mendengar suara teriakan itu, Kang Hosi segara lompat ke arah kiri, jelas kalau suara teriakan tadi keluar dari bawah wuwungan kelenteng. Maka ia segera lompat turun. Begitu Kang Hoo sampai di tanah, ia melihat di depannya sebuah jendela terbuka dan api penerangan keluar dari sana. Buru-buru Kang Hoo menghampiri jendela dan melongok ke dalam, “Aaaa.......” Begitu Kang Hoo melihat apa yang ada di dalam ruangan kamar tadi, ia jadi kaget, karena di dalam kamar di atas ranjang menggeletak sesosok tubuh yang sudah terpisah kepala dan badannya, darah berceceran di sana. Melihat dari wajah kepala orang yang sudah berpisah dari lehernya Kang Hoo mengenali itulah kepala Hoan Sek totiang. Selagi Kang Hoo bengong melihat kepala Hoan Sek totiang dari dalam kamar lain terdengar suara langkah orang mendatangi, Kang Hoo kaget cepat ia lompat ke atas genteng, lalu lari kabur. Dalam perjalanan menuju kamarnya. Kang Hoo kembali melihat bayangan hitam di sebelah selatan. Ia berniat mengejar, tapi mendadak saja entah bagaimana timbul sifat masa bodohnya, ia lalu lari ke losmen. Dan setelah masuk ke dalam kamar, cepat ia menutup jendela. Setelah mematikan api lilin, lalu merebahkan dirinya di atas ranjang. “Siapa bayangan hitam itu!” Pikir Kang Hoo. “Apa anggota golongan Kalong? Dan siapa pula yang membunuh Hoan Sek totiang keterlaluan. Memang benar Hoan Sek totiang telah menipu penduduk Cie-yang dengan segala macam akal busuknya, tapi itu juga tidak perlu harus membunuh dirinya.” Seribu satu macam pertanyaan berkelebat dalam otak Kang Hoo tanpa jawab, akhirnya ia memejamkan sepasang matanya. Kang Hoo yang sudah tidur pulas di dalam kamar, tidak mengetahui kalau sejak ia masuk ke dalam kamarnya, gerak geriknya telah diintip oleh orang. Si pengintip bukan lain adalah bayangan hitam yang pernah dilihatnya di atas wuwungan kelenteng. Bayangan hitam tadi mengenakan pakaian ringkas untuk jalan malam, mukanya menggunakan topeng hitam. Di pinggangnya terselip sebatang pedang. Begitu ia mendengar suara napas Kang Hoo yang sudah tidur pulas, bayangan hitam tadi dengan mengaitkan kakinya di atas genteng, dan kepala ke bawah, ke arah jendela, sesaat ia mendengarkan suara dengkurnya Kang Hoo. Setelah yakin kalau Kang Hoo sudah tidur pulas, dengan masih menggelayut bagaikan binatang kalong, tangan bayangan hitam itu bekerja, mencongkel jendela, dan sebentar kemudian daun jendela sudah terpentang lebar. Berbarengan dengan terpentangnya daun jendela, bayangan hitam tadi lalu lompat masuk ke dalam kamar. Gerakannya sangat enteng dan ringan. Suasana di dalam kamar sangat gelap, di sana hanya terdengar suara dengkur Kang Hoo yang tidur pulas. Diiringi suara hembusan angin malam yang masuk menerobos lubang jendela. Belum lama bayangan hitam itu masuk ke dalam kamar, mendadak saja terdengar suara benda jatuh, kemudian terdengar suara keluhan tertahan yang keluar dari mulut bayangan hitam tadi. Kemudian kamarpun menjadi terang. Apa yang terjadi? Rupanya bayangan hitam tadi begitu masuk ke dalam kamar, ia lalu melakukan serangan pukulan ke arah Kang Hoo yang masih tidur terlentang. Sedang tangan kirinya, menyambar bawah bantal Kang Hoo dimana disimpan Angsa Emas. Tapi begitu serangan kepalan tangan bayangan hitam itu meluncur ke dada Kang Hoo, belum lagi mengenai sasaran, mendadak saja bayangan hitam tadi terpental dan jatuh bersandar di bawah dinding. Kang Hoo yang tidak mengetahui kalau sudah ada musuh gelap melakukan serangan dan hendak mencuri Angsa Emas, sebenarnya ia tidak sadar kalau dirinya sudah diserang lawan. Dan ia baru terjengkit kaget ketika di dalam kamarnya terdengar suara gedebrukan dari benda yang jatuh. Ia buru-buru meraba bawah bantalnya. Dan Angsa Emas masih berada di sana. Lalu ia lompat bangun dan menyalakan api lilin. Begitu kamar menjadi terang. Tampaklah sesosok bayangan hitam yang sedang duduk bersandar di bawah dinding di pojok ruangan. Dengan penerangan sinar lilin Kang Hoo bisa melihat bagaimana bentuk perawakan bayangan hitam itu, itulah seorang berseragam hitam dan berselubung muka hitam, di dada kiri orang itu terlukis sebuah lukisan Kalong Merah. “Kalong merah,” bentak Kang Hoo. “Apa kehendakmu masuk ke dalam kamar ini?' Topeng hitam tidak menjawab, dengan lemah ia bangun berdiri, kemudian sepasang matanya tampak berputaran memperhatikan seluruh ruangan. Kemudian mendadak saja tubuhnya lompat ke arah jendela. Gerakan lompatan si topeng hitam sangat gesit, tapi gerakan Kang Hoo lebih cepat lagi, begitu topeng hitam lompat ke jendela hendak kabur, ia sudah bergerak dan menarik sebelah kaki kanan dari orang itu, lalu dilemparkan ke atas pembaringan. Kalong merah mati kutu. Ia meringkuk di atas pembaringan, Hanya sinar matanya yang menatap wajah Kang Hoo. Gerakan Kang Hoo tidak sampai di situ saja, begitu si topeng hitam sudah terbanting di atas tempat tidurnya, ia menubruk datang, dan dengan ujung serulingnya ia mencongkel tutup kerudung muka orang itu, maka kain hitam penutup wajah itu jatuh di lantai. Dan ketika wajah topeng hitam tadi sudah tak berselubung muka lagi, mendadak saja Kang Hoo lompat mundur dua tindak, kemudian berseru, “Kau...kau.... Nona Siong In...?” Topeng hitam yang sudah dibikin tak berdaya bahkan tutup topeng mukanya telah dicongkel oleh seruling Kang Hoo, bukan lain adalah Siong In dengan lesu ia bangun dan duduk di atas pembaringan, menatap wajah Kang Hoo, kemudian katanya, “Kau hebat. Tak kusangka setelah beberapa tahun tidak bertemu, kau sudah memiliki ilmu kepandaian luar biasa.” “Beberapa tahun,” seru Kang Hoo. “Di bawah lembah, aku pernah melihatmu. Dan eh bagaimana malam ini kau menggunakan pakaian seragam hitam itu. Dan apa maksudmu masuk ke dalam kamar ini?” Dengan masih duduk di atas pembaringan Siong In menghela napas, kemudian katanya, “Aku membutuhkan Angsa Emas itu!” Kang Hoo melengak, serunya, “Untuk apa? Benda ini sudah kujanjikan untuk kuserahkan pada Hong Pin.” “Aaaaah .... Aku butuh untuk menolong ayahku,” jawab Siong In. “Ayahku menjadi tawanan dari kauwcu perkumpulan Kalong.” “Eh,” Kang Hoo kaget. “Tapi ayahmu di dalam lembah, bukankah memimpin rombongan orang-orang Kalong hitam, mengapa ia bisa menjadi tawanan kauwcu? Apa maksudmu?” Siong In menghela napas, kemudian katanya, “Ayahku hanyalah seorang pemimpin salah satu cabang. Di atas dia masih ada seorang yang lebih berkuasa dan memiliki kepandaian tinggi. Karena ayah mendapat fitnah gara-gara aku mengenal dan pernah menolong dirimu, maka ia telah ditahan, dan sebagai tebusan aku harus mencari Angsa Emas itu. Nah sekarang pinjamkan aku benda yang ada pada dirimu itu.” Kang Hoo dibuat bingung dengan permintaan si nona yang hendak meminjam Angsa Emasnya, benda itu sudah dijanjikan untuk Hong Pin, tapi mengingat kalau si nona di depannya ini pernah melepas budi menolong dirinya pada beberapa tahun yang lewat, maka dengan lesu ia berkata, “Mengingat budi nona, maka aku bersedia menyerahkan benda ini. Tapi ingat, setelah kau serahkan pada kauw-cu perkumpulan Kalong, sebaiknya nona jangan turut campur urusan itu lagi. Aku akan datang untuk merebut kembali benda ini.” Siong In mengangguk, katanya, “Setelah aku membebaskan ayah, maka aku sesera pulang ke Hong-san. Tidak mau tahu lagi urusan rimba persilatan.” Kang Hoo mengangguk-anggukkan kepala, lalu menyerahkan Angsa Emas Berkepala Naga pada Siong In. Siong In menyambuti benda tadi, ia masih tetap duduk di atas pembaimgan, lalu katanya, “Budimu ini tak akan kulupakan.” “Sudahlah,” seru Kang Hoo, “Malam ini kau datang mengenakan seragam hitam di dadamu terdapat lukisan Kalong Merah. Bisakah kau memberi tahu sedikit tentang golongan ini?” Siong In tidak segera menjawab, ia bangkit dari pembaringan, menuju jendela, daun jendela ditutupinya, kemudian balik lagi dan duduk di atas pembaringan kemudian baru berkata dengan suara perlahan, “Golongan ini berpusat d gunung Bong san. Di istana Kalong setiap anggota diwajibkan mengenakan seragam hitam, dan lukisan kalong yang berlainan warna pada dada setiap orang, menunjukkan tinggi rendahnya tingkat kepandaian mereka. Kalong Putih berkepandaian paling rendah, kemudian Kalong Kuning memiliki kepandaian lebih tinggi dari Kalong Putih. Dan Kalong Merah memiliki kepandaian lebih tinggi dari Kalong Kuning.” “Ngg. Jadi nona orang yang berkepandaian tertinggi dari golongan Kalong.” Potong Kang Hoo. “Tidak, masih ada Kalong warna Hitam.” jawab Siong In. Mendengar jawaban itu Kang Hoo manggut-manggut, kemudian tanyanya, “Apa nona tahu, apa sebabnya setiap orang dari golongan Kalong, bila mati selalu mencair jadi cairan biru?” “Hmmm. Kauw-cu selalu ingin menutup rahasia perkumpulannya, Dan setiap anggota yang terluka ia harus tutup rahasia. Maka sebelum orang menjalankan tugas, ia harus mandi dulu dalam air mengandung racun hingga tubuh orang itu dilapisi racun yang sangat jahat, bilamana bagian tubuh itu terluka, maka luka itu dengan segera menjadi keracunan, dan dengan cepat berubah mencair hingga mereka dengan seketika tak dapat buka mulut membuka rahasia perkumpulan Kalong.” “Apa nona tahu siapa kauw-cu mereka?” Tanya Kang Hoo. Siong In ragu-ragu, ia jalan ke arah jendela. Membuka jendela memperhatikan keluar, tapi keadaan di luar gelap, tak tampak bayangan sesosok manusiapun, maka ia cepat menutup daun jendela, lalu jalan menghadap Kang Hoo, ia membisiki di telinga si pemuda, katanya, “Pek-kut Ie su!” Mendengar nama itu, Kang Hoo terjengkit kaget. Ia melompongkan mulut memandang Siong In, mulutnya menggerutu, “Pek-kut Ie su .... Apa orang tua berambut putih?” “Aku belum penuh lihat bagaimana rupanya.” jawab Siong In. “Dari mana nona tahu?” Tanya Kang Hoo. “Ayahku yang memberi tahu,” jawab Siong In. “Eh, apakah kau kenal dia?” Kang Hoo bungkam. Ia tidak bisa menjawab. Bukankah manusia misterius yang melakukan teror pembunuhan terhadap ayahnya adalah orang-orang seragam hitam dari golongan Kalong, ternyata ketua golongan ini adalah Pek kut Ie su. Dan Pek kut Ie-su itu pernah melatih ia ilmu Karakhter. Kalau di piker-pikir, kepalanya bisa jadi pusing. Seorang musuh besar telah menjadi gurunya tanpa ia ketahui sebelumnya. Dan karena urusan Pek-kut Ie-su ini ia juga sampai bentrokan dengan pemuda buta Hong Pin murid dari Cui Ngo Kho. Sementara Kang Hoo bengong terlongong-longong, Siong In bertanya lagi, "Apa kau mengenal kauw-cu?” Kang Hoo bingung, bagaimana ia harus membari jawaban, tapi akhirnya ia berkata, “Nona, sebaiknya kau cepat pergi ke Istana Kalong, serahkan Angsa Emas pada kauw-cumu, aku akan segera menyusul ke sana!” “Baguslah,” seru Siong In. Setelah Siong In menunjukkan di mana letak Istana Kalong dari gunung Bong san, maka ia lalu melangkah ke arah jendela, tapi mendadak saja ia membalikkan badan dan berkata, “Orang yang membunuh Hoan Sek totiang adalah aku. Ia adalah salah seorang mata-mata dari istana Kalong di gunung Bong San setelah mengetahui kau berada di sini dan tosu keparat itu mengeruk keuntungan dari menipu rakyat, maka aku turun tangan membunuh dirinya. “Mengapa harus dibunuh?” Tanya Kang Hoo. “Dan bagaimana mayatnya tidak mencair?” “Ia seorang mata-mata yang mendapat kepercayaan penuh dari kauw-cu, maka bebas dari mandi air beracun.” “Nggg. Penduduk kampung ini memang terlalu bodoh,” gumam Kang Hoo. Berbarengan dengan gumaman si pemuda, Siong In sudah melesat lompat keluar jendela, bayangannya lenyap ditelan kegelapan malam. Kang Hoo cepat lari ke lubang jendela, ia melongok keluar, suasana di luar sana gelap. Bayangan Siong In sudah tak tampak. Dengan lesu Kang Hoo kembali membaringkan dirinya di atas pembaringan, ia tidak memadamkan api lilin. Otaknya berpikir, “Aku harus pergi ke Cin hong-to memberi tahu Hong Pin dan gurunya tentang Pek-kut Ie su, memang aku menjadi murid dari orang tua aneh itu, tapi itu karena aku dalam keadaan terpaksa. Hai, bagaimanapun, aku telah berhasil menerima gemblengan ilmu Karakhter. Tapi aku tidak mengerti bagaimana Sahu mendidikku ia melarang aku bergerak sembarangan agar tidak mencelakai orang, tapi ia sendiri telah memerintahkan anak buahnya melakukan teror. Bahkan salah seorang mata-matanya telah menipu penduduk kampung tentang kepercayaan kepada takhyul. Soal air sungai banjir setelah musim hujan, tentu saja sering terjadi, karena air yang mengalir dari pegunungan semua terjun ke sungai dan terbawa hanyut ke laut. Tapi penduduk yang bodoh sudah begitu percaya akan segala ucapan si tosu palsu itu.” Lama Kang Hoo berpikir sendiri dalam otaknya, akhirnya ia tertidur. Keesokan paginya, ia sudah bangun dan begitu ia keluar halaman losmen, di tanah sudah terjadi kegemparan, karena tosu yang memiliki kesaktian bisa mengundang rokh itu sudah binasa dibunuh orang di dalam kamarnya kepala dan badannya terpisah. Kang Hoo tidak mau perduli tentang keributan di pagi hari itu. Ia jalan menyusuri tepi sungai. Tapi mendadak saja, ia jadi memandang melongo ke arah belokan sungai, karena di sana tampak dua sosok bayangan sedang meluncur melawan arus air menuju dirinya. Penduduk kampung yang kebetulan sedang memeriksa keadaan membanjirnya air sungai Hong hoo, mereka juga pada membelalakkan mata memandang dua sosok manusia yang jalan meluncur di tengah sungai melawan arus air. Dan tepi sungai sebentar saja sudah jadi ramai. Kedua orang yang meluncur di atas permukaan air melawan arus air itu sudah tiba di tempat orang-orang ramai di tepi sungai. Kemudian kedua orang tadi lompat ke tepi. Kang Hoo berjejalan diantara rombongan orang-orang yang menonton, ia bisa melihat ketika kedua sosok badan orang itu lompat naik ke darat, dari bekas injakan kaki kedua orang tadi terdapat empat potong papan, papan itu setelah lepas dari injakan kaki kedua orang tadi lalu hanyut dibawa arus sungai. Rupanya kedua orang tadi berlayar dengan menggunakan ilmu ringan tubuh di atas arus sungai dengan bantuan empat bilah keping papan. Tapi penduduk kampung yang menonton tidak melihat akan adanya kepingan-kepingan papan itu, mereka telah dibuat heran, dan ketika kedua orang itu lompat ke darat, mereka pada lompat mundur lalu berbareng pada berlutut. Orang yang datang adalah seorang nenek dan seorang pemuda. Kang Hoo mengenali si pemuda adalah pemuda buta Hong Pin, dan si nenek tentunya adalah guru dari si pemuda, itulah Cui Ngo Kho. Cui Ngo Kho yang melihat orang-orang berlutut, mereka jadi melengak dan terdengar suara Cui Ngo Kho membentak, “Bangun, jangan ganggu perjalananku!” Tapi orang-orang yang benutut tidak mau berdiri, kemudian terdengar salah seorang berkata, “Dua malaikat, harap maafkan, kami tidak tahu kedatangan malaikat hingga tidak keburu menghaturkan sam-seng!” “Gila!” seru Cui Ngo Kho. “Aku bukan malaikat. Nah kalian bangun.” “Tuan malaikat tolonglah. Tolonglah!” Terdengar salah seorang lain. “Kami terancam bahaya banjir, sedang tosu yang bisa mengundang malaikat Kim-liong su tay-ong dan Ngo-ciang kun telah binasa dibunuh orang malam tadi. Hingga bahaya banjir sulit untuk di atasi.” “Manusia tolol!” bentak Cui Ngo Kho, “Urusan kalian tidak ada sangkut paut dengan diriku, kalain sendirilah yang harus mencegah banjir ini. Nah bangunlah, aku akan memberi jalan bagaimana harus mengatasi banjir ini!” Mendengar itu, serentak orang-orang yang berlulut bangun berdiri, kemudian mereka menunggu ucapan Cui Ngo Kho. Sementara itu, Cui Ngo Kho lantas berkata, “Kalian dengar, air banjir ini disebabkan jalannya air terganggu, karena belokan-belokan sungai Hong hoo terlalu patah, hingga air tertunda mengalirnya ke laut, kalau kalian hendak mencegah banjir, kumpulkan tenaga yang ada, galilah belokan-belokan patah pada tepi sungai yang berliku itu, buatlah belokan sungai menjadi lebar. Maka aliran air sungai Hong hoo tak akan tertahan. Nah, sekarang kalian bubar!” Setelah berkata begitu Cui Ngo Kho mengajak Hong Pin berlalu. Kang Hoo yang melihat Hong Pin dan gurunya sudah berada di depannya, segera ia berteriak, “Hong Pin!” Hong Pin kaget, tadi ia tak tahu kalau Kang Hoo berada di sana, karena sepasang matanya buta, tapi mendengar suara panggilan itu, ia segera lari ke arah Kang Hoo lalu katanya, “Apa kau sudah dapatkan Angsa Emas?” “Sudah!” jawab Kang Hoo. “Tapi dipinjam orang!” “Tolol!” bentak Hong Pin. Tongkatnya diangkat akan mengemplang kepala Kang Hoo, tapi mendadak saja ia menarik serangannya memandang sang guru. Cui Ngo Kho juga sudah berada di depan Kang Hoo, tanyanya, “Apa kau yang bernama Kang Hoo?” “Benar!” “Bagus. Sekarang jangan banyak bicara, kau bawa aku ke Hong tong san menemui gurumu!” “Guruku tidak di Hong tong san,” jawab Kang Hoo, “Ia berada di istana Kalong di gunung Bong san.” “Ayo berangkat!” seru Cui Ngo Kho, “Aku akan hancur leburkan istana setan itu!” “Cian-pwee.” seru Kang Hoo. “Jangan banyak mulut!” bentak Cui Ngo Kho, “Beruntung muridku pernah bertemu dengan Beng Cie Sianseng, kau juga murid si Pedang Kitiran. Kalau tidak memandang muka si Pendekar Pedang Kitiran, eh…hari ini kau sudah kubikin mampus!” Mendengar itu Kang Hoo memandang Hong Pin, katanya, “Dimana kau bertemu dengan guruku?” “Dalam perjalanan pulang ke Cin Hong to!” jawab Hong Pin. “Ia mencari dirimu. Aku ceritakan semuanya, dan setelah mendengar keteranganku, ia pergi ke Hong tong san untuk membuat perhitungan dengan Pek kut Ie-su.” “Ah, jadi suhu Beng Cie Sianseng juga menaruh dendam terhadap Pek-kut Ie-su,” gumam Kang Hoo. “Tapi Pek-kut Ie-su tidak berada di Hong tong san lagi.” “Ayo jalan!” Bentak Cui Ngo Kho. Maka tiga orang itupun lari melesat bagaikan bayangan setan. Penduduk tepi sungai Hong hoo yang melihat gerakan bayangan itu, mereka melompongkan mulut, karena ketiga bayangan tadi bergerak bagaikan tiga bayangan setan.

GUNUNG BONG-SAN. Tiga sosok bayangan berkelebat, menuju Istana Kalong di puncak gunung. Sebentar saja mereka sudah tiba di depan pintu gerbang istana. Kehadiran mereka disambut oleh serangan berpuluh-puluh orang seragam hitam. Tapi serangan puluhan seragam hitam itu, tidak sanggup menahan terjangannya tiga orang yang menerobos masuk. Sebentar saja mereka sudah roboh bergelimpangan mampus dan mencair jadi biru. Kang Hoo melihat bagaitaana sepak terjang Hong Pin dan gurunya, tidak memberi kesempatan pada lawan untuk bernapas, ia jadi tergidik, karena dalam hati si pemuda tak ada niat untuk membunuh orang, maka ia hanya lompat sana lompat sini mengelakkan datangnya serangan orang-orang dari istana Kalong, meskipun begitu, mereka tak sanggup melukai Kang Hoo, karena mereka bermentalan mundur dengan sendirinya terkena pukulan dari ilmu Karakhter. “Cianpwe,” teriak Kang Hoo pada Cui Ngo Kho yang terus mengamuk. “Aku ambil jalan belakang.” “Persetan!” seru Cui Ngo Kho yang terus menggerakkan kaki dan tangannya merobohkan puluhan orang-orang seragam hitam yang terus berdatangan menyerang. Gerakan Cui Ngo Kho disusul dengan gerakan tongkat Hong Pin yang luar biasa dimana tongkat berkelebat, maka di situlah manusia berbaju hitam roboh terjengkang dan binasa. Kang Hoo mengambil jalan belakang, maksudnya ia tidak mau turut campur membunuh, maka dengan berlarian di atas batu-batu gunung akhirnya si pemuda tiba di pintu belakang dari istana Kalong. Penjagaan di pintu belakang kurang kuat, meskipun ada beberapa orang yang datang menghadang Kang Hoo, tepi mereka dengan mudah terpukul mundur tanpa mendapat luka. Melihat gerakan Kang Hoo, para penjaga pintu belakang yang terpelanting jatuh mereka jadi terlongong-longong dan tidak berani bergerak. Kang Hoo berhasil masuk ke dalam Istana melalui pintu belakang. Tanpa ia sadari, akhirnya ia tiba di sebuah ruangan, itulah ruangan penjara dari Istana Kalong. Beberapa kamar berjeruji besi berderet di sana. Para penjaga penjara begitu melihat munculnya seorang gembel, mereka segera melakukan serangan, tapi serangan mereka cuma-cuma saja karena mendadak tubuh mereka berpentalan ke dinding penjara. Ketika Kang Hoo hendak lari menuju ke dalam ruangan besar, mendadak dari salah satu kamar penjara terdengar suara teriakan, “Hai! Kang Hoo.” Kang Hoo kaget ia menoleh ke arah datangnya suara panggilan, dan di salah satu kamar penjara berjerji besi tampak seraut wajah yang ia kenal, itulah wajah Siong In. “Nona Siong In,” seru Kang Hoo lari menghampiri. “Kau ambil kunci dari orang itu,” seru Siong In, menunjuk salah seorang penjaga, yang duduk numprah di lantai akibat roboh terbentur dinding. Kang Hoo tepat menghampiri orang tadi, ia meminta kunci penjara. Orang tadi sudah begitu ketakutan pada Kang Hoo, tanpa banyak bicara ia menyerahkan kunci penjara. Dan setelah mengeluarkan Siong In dari dalam penjara, kemudian Kang Hoo membebaskan ayah Siong In yang dikurung di kamar sebelah kirinya. “Bagaimana kau bisa ditahan?” tanya Kang Hoo. “Sialan!” jerit Siong In. “Kauw-cu bangsat itu manusia liar, setelah menerima Angsa Emas ia menjebloskan aku ke dalam penjara, katanya aku adalah komplotannya golongan agama baru yang mesti dibasmi.” “Ayo cepat antar aku ke kamar kauw-cumu.” Seru Kang Hoo, “Aku akan mengambil pulang itu Angsa Emas.” “Mari,” seru Siong In. “Tunggu dulu,” kata Lo Siauw Houw, “Kita harus mandi dulu di telaga penawar.” Ayah Siong In lebih tahu soal-soal yang terjadi di dalam golongan Kalong. “Ah, ya.” seru Siong In. “Tubuh kami sudah dilumuri racun pelumer, harus mandi dulu di telaga penawar. Kau jalan dulu, di sebelah kanan dari jalan ini kau akan menemukan ruangan besar di mana Kauw-cu bersama para penasehatnya sedang berusaha memecahkan rahasia Angsa Emas.” Mendengar itu, Kang Hoo segera lari ke dalam ruangan besar, dan begitu ia tiba di sana, di dalam ruangan besar sudah terjadi pertempuran hebat. Rupanya Cui Ngo Kho yang menerobos dari pintu depan sudah berhasil masuk ke dalam ruangan besar, ia sedang bertempur dengan seorang tua berambut putih, itulah Pek-kut Ie-su alias Kong sun But Ok, dan Hong Pin sedang dikeroyok oleh tiga orang tua seragam hitam. Melihat dari jalan pertempuran dapat diduga sempal dimana kekuatan meraka. Cui Ngo Kho yang menghadapi Pek-kut Ie-su seringkali mundur ke belakang. Itu membuktikan kalau kekuatan Cui Ngo Kho masih kurang setingkat di bawah Pek-kut Ie-su, sedang pukulan-pukulan Pek-kut Ie-su selalu mengeluarkan uap beracun. Kang Hoo kini tahu, uap yang keluar dari pukulan Pek-kut Ie-su itulah yang telah membuat sepasang mata Hong Pin pada beberapa belas tahun yang lewat menjadi buta. Setelah memperhatikan jalannya pertemparan, dan melihat bagaimana Hong Pin juga terdesak mundur menghadapi serangan keroyokan tiga orang. Kang Hoo memperhatikan sekitar ruangan. Begitu ia melihat di atas meja sembahyang terdapat sebuah benda emas berbentuk Angsa Berkepala Naga yang berada di atas sebuah piring porselen, cepat ia lompat ke sana. Dan mencomot Angsa Emas Berkepala Naga dari atas meja. Pek kut Ie-su, Cui Ngo Kho dan Hong Pin, serta tiga orang tua yang mengeroyok si buta, melihat gerakan Kang Hoo. Tapi mereka tidak sempat berbuat apa-apa, karena harus menghadapi serangan-serangan maut dari lawan masing-masing. Hingga dengan mudah Kang Hoo berhasil mengambil Angsa Emas Berkepala Naga dari atas piring porselen yang berada di atas meja sembahyang. Setelah ia mengambil Angsa Emas, Kang Hoo berteriak, “Hentikan pertempuran!” Suara teriakan Kang Hoo menggema di sekitar ruangan besar. Dan saat itu mereka yang sedang bertempur sudah melompat mundur, mereka serentak mengurung Kang Hoo. “Bocah gila,” seru Pek-kut Ie su. “Kau serahkan Angsa Emas itu, kalau tidak jangan sesalkan aku.” Kang Hoo yang berada di dalam kurungan orang-orang itu, ia jadi bingung, didepannya kini ia sedang menghadapi gurunya sendiri itulah Pek-kut Ie-su, dan orang itu adalah pimpinan dari manusia-manusia yang menteror ayahnya. Mendadak saja hatinya jadi panas. Ia mencabut seruling perak pemberian gurunya, kemudian dilemparnya ke depan Pek kut Ie-su, lalu katanya, “Terimalah kembali serulingmu. Angsa Emas takkan kuserahkan kepadamu. Kau telah banyak membuat dosa. Membunuh ayahku dan juga membutakan seorang pemuda yang tak berdosa, maka Angsa Emas ini akan kuserahkan pada Hong Pin. Apa kau mengerti?” “Eh kau berani mati?” seru Pak-kut Ie-su. “Kematian bukan apa-apa bagiku,”' jawab Kang Hoo “Nah kau ambillah serulingmu.'' “Apa?” Tanya Pek kut Ie-su. “Seruling apa? Kau memang anak gila, mana aku punya seruling, seumur hidup aku belum pernah memiliki seruling.” Mendengar jawaban itu Kang Hoo jadi melompongkan mulut memandang sang guru. Bukankah seruling itu pemberian gurunya ketika ia melatih ilmu karakhter di dalam goa Hoa-ie tong, bagaimana kini engkau sudah melupakannya, saking bingungnya Kang Hoo bergumam. “Bukan serulingmu? Kau siapa?” “Aku, haaa. Haaaa….” Tertawa Pek kut Ie-su, “Bocah bau sambel, mana kau ke¬nal, aku adalah Pek kut Ie-su. Haaaa.” “Kau kenal aku siapa?” Tanya Kang Hoo. “Kau, kau .... Siapa kau.....?” Seru Pek kut Ie-su. Mendengar itu Kang Hoo jadi bingung lagi, apakah gurunya ini sudah gila hingga tak mengenalnya sebagai muridnya. Maka jawabnya, “Aku muridmu. Kang Hoo. Penerima ilmu Karakhter, apa suhu masih ingat?” “Eh, apa hari ini aku bertemu anak gila, aku belum pernah mengangkat murid. Dan ilmu Karakhter itu ilmu apa? Ayo serahkan patung Angsa Emas itu!!” Kang Hoo jadi kelabakan. Bagaimana seorang guru yang memilik ilmu kepandaian tinggi, dan memahami dua aliran agama itu bisa melupakan muridnya. Dan ketika mendengar Pek kut Ie-su meminta Angsa Emas, tanpa disadari Kang Hoo berkata, “Aku akan serahkan benda ini, asalkan kau bisa membunuh diriku.” Ucapan Kang Hoo demikian rupa membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu jadi kaget, lebih-lebih Cui Ngo Kho, ia tahu sendiri sampai dimana tingginya ilmu kepandaian Pek-kut Ie-su, hampir saja ia berteriak mencegah tapi sebagai jago tua rimba persilatan cepat ia sadar, bocah ini berani mengeluarkan ucapan begitu pastilah ada yang diandalkan, dan bukankah orang yang dihadapi juga merupakan gurunya sendiri. Maka dengan wajah heran Cui Ngo Kho menantikan perkembangan selanjutnya. Sedang Hong Pin segera mendekati gurunya membisikkan sesuatu di telingan sang suhu. Mendengar bisikan Hong Pin, Cui Ngo Kbo hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu Pek-kut Ie-su yang mendengar suara tantangan Kang Hoo, ia tersenyum masam. Katanya, “Baik! Inilah kehendakmu sendiri, kau akan mampus dengan mata mendelik.” Berbarengan dengan akhir ucapannya, Pek-¬kut Ie-su segera mengangkat tangan tinggi-tinggi ke atas, kepalan tangannya diarahkan ke atas batok kepala Kang Hoo. Kang Hoo memperhatikan gerakan tangan Pak kut Ie-su di depannya. Ia juga sudah siap dengan jurus kunci dari ilmu Karakhter yang diturunkan oleh gurunya, maka ilmu ini akan segera memakan penciptanya sendiri. Selagi Kang Hoo siap, dengan ilmu Kara k h teraya, mendadak terdengar suara teriakan Psk-kut I» su yang loaapai melambung ke atas, kepalan tangan kanannya mangeLiarkaa uap patih mengarah ke atas batok kepala Kang Hoo. Berbarengan mana, dengan masih memegang Angsa Emas Berkepala Naga di tangan kanan. Kang Hoo segera menyilangkan kedua tangannya ke atas, kemudian ia berteriak dan menggebrak bumi dengan kaki kanannya. Suara teriakan Pek-kut Ie-su disusul dengan suara teriakan Kang Hoo yang melakukan gerak kunci ilmu Karakhter dan saat itu badan Pek-kut Ie-su masih berada di tengah udara, tangannya hampir saja membentur batok kepala Kang Hoo. Cui Ngo Kho yang menyaksikan kejadian itu, ia menghela napas. Tidak berani menduga nasib apa yang akan dialami Kang Hoo. Sepasang mata Hong Pin tidak bisa digunakan, tidak bisa melihat jalannya pertempuran, tapi sepasang telinganya mendengar bagaimana suara teriakan saling susul. Kejadian ternyata di luar dugaan semua orang. Karena badan Pek kut Ie-su yang melambung melakukan serangan ke arah batok kepala Kang Hoo, mendadak terpental ke atas hingga membentur langit-langit ruangan besar, genteng dan kayu berlompatan ditubruk tubuh Pek kut Ie-su yang mental ke atas. Semua mata memandang ke arah nyeplosnya Pek kut Ie-su keluar genteng, dan ia langit-langit ruangan tadi mendadak menjadi bolong. Sedang waktu itu Kang Hoo menggebrakkan kakinya ke bumi sudah menyilang tangan di depan dadanya. Itulah gerak dari kunci ilmu Karakhter. Mekipun Pek kut Ie-su sudah terpental ke atas menubruk langit-langit ruangan dan baberapa pecahan genteng menimpa badan Kang Hoo. Tapi Kang Hoo belum berani bergerak, ia terus melakukan gerak kunci dengan menyilang tangan di depan dada, berdiri seperti seorang yang sedang melakukan gerak jurus pembukaan dari salah satu aliran ilmu silat. Cui Ngo Kho yang menyaksikan kejadian itu, ia melompongkan mulutnya. Seorang murid merobohkan gurunya sendiri. Dan tak lama badan Pek-kut Ie-su yang mental ke atas jatuh kembali, lalu ambruk di lantai. Kedua tangan dan kaku Pek-kut Ie-su seperti melekat satu sama lain di lantai, ia berkutet guna melepaskan dirinya, tapi bagaimanapun mengamuknya Pek kut Ie-su, ia tak berhasil melepaskan kekangan tadi, tubuhnya terus berkutet di lantai. Sementara itu Kang Hoo vang melihat kalau Pek-kut Ie-su sudah roboh. Ia baru bergerak maju, memperhatikan wajah sang guru yang terkunci oleh ilmu Karekhternya, kemudian terdengar ia berkata, “Suhu, apa ingat itu jurus apa?” Pek kut Ie-su yang menggeletak tak berdaya di bawah lantai mendelikkan matanya, membentak, “Anak setan! Siapa suhumu. Ilmu apa yang kau gunakan terhadap diriku? Huh tentunya ilmu setan.” “Ah.” Kang Hoo mundur lagi selangkah. “Apakah kau bukan guruku?” Berbarengan dengan kata-kata Kang Hoo, mendadak saja Hong Pin yang berdiri di samping Cui Ngo Kho jalan menghampiri Kang Hoo, katanya, “Kau minggirlah! Aku akan membuka tabir rahasia ini.” Kang Hoo bingung, ia mundur ke belakang membiarkan Hong Pin maju mendekati Pek-kut Ie su. Dengan ujung tongkat Tiok-ciat-pian, Hong Pin menggores wajah Pek-kut Ie-su. Maka kulit wajah itu jadi terbelah, sedang sepasang mata Pek-kut Ie-su terbelalak keluar. Tapi dari kulit wajah yang terbelah dua itu tak mengeluarkan darah. Hong Pin terus bekerja merusak wajah Pek kut Ie-su. Hingga wajah itu menjadi potongan-potongan daging. Kang Hoo yang melihat kejadian itu, ia melototkan matanya, wajah itu mengapa tak mengeluarkan darah. Dan ketika kulit muka tadi sudah hancur, maka kini tampaklah satu wajah yang sangat menyeramkan. Itulah seraut wajah yang sudah rusak. Sampai di situ Hong Pin melangkah mun¬dur, ia menoleh ke arah gurunya, serunya, “Suhu, bagaimana?” Cui Ngo Kho juga membelalakkan mata, karena wajah Pek-kut Ie-su yang ia kenal itu adalah wajah palsu. Dan di balik wajah itu, terdapat wajah lain, itulah wajah manusia yang menyeramkan. Pada bagian mulut wajah tadi tak terdapat daging. Itulah wajahnya Tengkorak hidup. Melihat itu Cui Ngo Kho bergumam, “Setan lembah. Kau setan lembah. Kau memalsu wajah Pek kut Ie-su!” Setelah berkata demikian Cui Ngo Kho menoleh ke arah Hong Pin, katanya, “Bunuh setan tua itu!” Dengan tongkat Tiok ciat-pian Hong Pin melaksanakan perintah gurunva, ia menekan ujung tongkat di atas dada Setan lembah dengan perlahan-lahan, maka darah menyembur keluar Setan Lembah yang mendapat tikaman di dadanya, ia berkelejetan tapi tak terdengar suara teriakannya. Kang Hoo yang menyaksikan kejadian itu hatinya jadi lega, ternyata manusia yang jadi pemimpin pembunuhan terhadap ayahnya bukanlah Pek-kut Ie-su asli, itulah pemalsuan Setan Lembah, orang yang menjalani kematiannya di ujung tongkat Tiok-cita-pian Hong Pin, Baru saja Kang Hoo bernapas lega dari pintu ruangan besar berlari masuk seseorang, orang itu berteriak memanggil, “Kang Hoo......” “Suhu .. suhu .... “ Teriak Kang Hoo. Cui Ngo Kho menoleh ke arah pintu, lalu ia berteriak, “Aaaaa .... Pendekar Pedang Kitiran Beng Cie sianseng. Apa kau sudah bertemu dengan Pek-kut Ie-su?” Sambil jalan menghampiri Kang Hoo, Beng Cie sianseng menghela napas, ia berkata, “Pek kut Ie-su sudah binasa, ia sudah mati di dalam goa Hoa-ie-tong di atas gunung Hong tong san. Aku tak sempat membalas dendam.” “Hmmm. Kau ingin balas dendam?” Kata Cui Ngo Kho tersenyum. “Nah kau cincanglah orang yang menggeletak di sana. Muridmu Kang Hoo yang berhasil merobohkannya.” Beng Cie sianseng memandang ke arah orang yang sedang ditusuk perlahan-lahan oleh tongkat Tiok ciat pian Hong Pin ia mengkerutkan kening. Katanya, “Dia Setan Lembah?” “Ya. Dialah Pek kut Ie-su tetiron!” jawab Cui Ngo Kho. “Lihatlah wajahnya itu rusak akibat pukulan tulang putih Pek kut Ie-su asli pada tiga puluh tahun berselang dan untuk melampiaskan dendamnya ia telah mengganti rupa menyaru Pek kut Ie-su dan membuat teror, hingga orang-orang menyangka kalau Pek kut Ie-su asli yang melakukan keja¬hatan.” Berbarengan dengan akhir ucapan Cui Ngo Kho kembali datang ke dalam ruangan itu dua orang, itulah Siong In dan Lo Siauw Houw. Tapi waktu itu si ketua golongan Kalong sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan di ujung tongkat Hong Pin. Dan tiga orang anggota golongan Kalong, sudah tak tampak di sana, mereka sudah lari kabur entah kemana. Hong Pin setelah menbunuh Setan Lembah, ia jalan menghampiri Kang Hoo yang berdiri di samping Beng Cie sianseng, di depan jago tua pedang kitiran Hong Pin merangkapkan kedua tangan memberi hormat, katanya, “Terimalah hormat siauwte.” Beng Cie Sianseng tersenyum. “Bagaimana tentang janjimu?” Tanya Hong Pin pada Kang Hoo. Kang Hoo tersenyum, ia menyerahkan Angsa Emas pada Hong Pin. Dengan girang Hong Pin segera menerima Angsa Emas tadi, diletakkannya di atas telapak tangannya, dicium-ciumnya. Semua orang yang hadir dalam ruangan itu berkerumun ingin melihat benda mustika yang berada di atas telapak tangan Hong Pin hingga tubuh Hong Pin dikurung oleh empat orang jago rimba persilatan yang melihat dengan kagum benda mustika di tangan pendekar buta. Tapi mendadak saja timbul satu keanehan, karena Angsa Emas yang sedang dicium di atas telapak tangan Hong Pin mendadak mencelat ke atas. Angsa Emas itu bagaikan terbang melesat menuju langit-langit ruangan yang bobol kemudian lenyap. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu jadi melompongkan mulut, mata mereka memandang ke arah lenyapnya Angsa Emas, sedang Hong Pin yang sepasang matanya buta ia tidak melihat gerakan terbang mustika itu, tapi dari kesiuran anginnya ia bisa tahu kalau benda tadi terbang ke arah lubang di langit-langit ruangan. Ia membalikkan badan menubruk tapi terlambat karena gerakan terbang si benda mustika terlalu cepat. Setelah benda tadi lenyap, maka di sana terdengar Cui Ngo Kho berteriak, “Mustika Gaib!” “Ah ya....Mustika Gaib,” teriak Beng Cie sianseng. Cui Ngo Kho setelah mengeluarkan teriakan Mustika Gaib, ia segera membentak Hong Pin, “Kau apakah?” “Suhu! Aku lupa. Hari ini mendadak aku datang bulan,” Seru Hong pin. Mendengar itu, Beng Cie sianseng, Siong In, Kang Hoo dan Lo Siauw Houw jadi melengak kaget mendengar pengakuan Hong Pin yang sedang datang bulan, bagaimana seorang pemuda bisa datang bulan? Dan Beng Cie sianseng menoleh ke arah Cui Ngo Kho, katanya, “Eh, Cui Ngo Kho, bagaimana murid laki¬-lakimu ini bisa datang bulan?” Cui Ngo Kho tersenyum lalu berkata kepada Hong Pin, “Hong Pin, bersihkan wajahmu.” Dengan malu-malu Hong Pin membersihkan wajahnya dengan obat pelumer, maka wajah itu berubah menjadi wajah seorang gadis manis bermata buta. Kang Hoo yang melihat perobahan wajah Hong Pin, ia jadi mundur selangkah. Ia tidak menyangka kalau Hong Pin itu adalah seorang gadis. Tidak terkecuali Siong In, ia juga jadi melompongkan mulut. Sementara itu, Cui Ngo Kho sudah berkata lagi, “Angsa Emas Berkepala Naga itu sebenarnya barang suci, ia tak boleh dipegang oleh seorang perempuan yang sedang datang bulan, tadi muridku lupa hingga dengan girang ia telah menyentuh benda itu, kini benda itu sudah lenyap. Apa mau dikata. Mata muridku akan tetap buta.” “Mustika Gaib!” Terdengar suara ramai menggema di dalam ruangan itu. Dan dengan terdengarnya suara Mustika Gaib menggema di dalam ruangan itu maka para jago rimba persilatan itu kembali ke gunung masing-masing. Tahun berganti tahun, sepuluh tahun dilewatkan. Di rimba persilatan tersiar berita tentang munculnya Tiga Gabungan Pendekar Pembela Keadilan dan Kebenaran, mereka adalah Kang Hoo si jago Karakhter, Hong Pin si gadis buta dan Siong In jago betina dari Hong-san. Di samping mengembara menyumbangkan tenaga dan kepandaiannya untuk menolong si lemah dan menghancurkan si jahat. Tiga Gabungan Pendekar, terus berusaha mencari kembali Angsa Emas Berkepala Naga yang telah lenyap secara mendadak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar