Senin, 19 September 2011

Cerita Silat : Pendekar Super Sakti [Kho Ping Ho] 5

kalau Sukong mengijinkan, biarlah teecu pergi menyusul lima orang Suhu untuk diundangke sini."

Ceng San Hwesio mengangguk. "Memang, semua murid Siauw-lim-pai harus berkumpul. Terutama sekali para Gurumu yang tinggal lima orang itu….." Kakek gundul ini menarik napas duka teringat akan dua orang muridnya yang tewas. "Apakah engkau tahu di mana mereka itu kini merantau?"

“Teecu mendengar bahwa para Suhu merantau ke Telaga Barat, tentu masih berada di sana. Teecu akan menyusul mereka dan menyampaikan berita duka tentang kematian Liok-suhu clan Jit-suhu (Guru ke Enam dan ke Tujuh)."

"Baiklah, Lian-ji (Anak Lian), berangkatlah sekarang juga. Pinceng amat membutuhkan bantuan guru-gurumu."

Pada hari itu juga, berangkatlah Lauw Sin Lian pergi menyusul guru-guru nya untuk menyampaikan berita kematian dua orang gurunya dan undangan ketua Siauw-lim-pai, dan selain Sin Lian, berangkat pula murid-murid Siauw-lim-pai yang diutus oleh Ceng San Hwesio untuk mengundang tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang kebetulan melakukan perjalanan, atau yang memang tidak lagi bertempat ting-gal di pusat ini



*

***



Beberapa hari kemudian semenjak para murid Siauw-lim-pai pergi melakukan tugas masing-masing menghimpun tenaga yang diundang ke pusat, para hwesio penjaga pintu gerbang Siauw-lim-pai menyambut datangnya dua- orang tamu dengan pandangan mata penuh kecurigaan. Tamu ini bukan lain adalah Han Han dan Lulu. Seperti biasa, pemuda ini tenang-tenang saja menghampiri pintu gerbang, diikuti dari belakang oleh Lulu yang juga bersikap tenang. Dara ini makin cantik jelita saja, apalagi kini di punggungnya tampak sebatang pedang yang amat indah gagangnya, yaitu pedang pusaka Cheng-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Kong Seng-cu tokoh Hoa-san-pai. Biarpun di luarnya kelihatan tenang, namun di sebelah dalam dada gadis ini terjadi ketegangan karena ia ingin sekali segera bertemu dengan Sin Lian untuk bertanya di mana adanya Lauw-pangcu, musuh besarnya.

SembiIan orang hwesio penjaga yang segera datang ke pintu gerbang itu mengangkat tangan sebagai tanda penghormatan dan seorang di antara mereka ber-tanya.

"Ji-wi (Tuan Berdua) hendak mencari siapakah?"

Dengan sikap tenang akan tetapi membalas penghormatan itu, berbeda dengan Lulu yang memandang ke kanan kiri penuh perhatian, Han Han lalu menjawab.

"Saya ingin bertemu dengan Nona Lauw Sin Lian, dan dengan ketua dari Siauw-lim-pai.”

Para hwesio penjaga itu saling pandang. Keadaa:n pemuda yang aneh Ini mencurigakan. Pakaian pemuda ini sederhana dan bersih, akan tetapi rambutnya dibiarkan riap-riapan begitu saja, sungguh mencurigakan, dan lebih-lebih sepasang-mata itu yang amat tajam mengerikan.

“Nona Lauw Sin Lian tidak berada disini, sedangkan keinginan Kongcu (TuanMuda) untuk berjumpa dengan Ketua, agaknya hal ini tidaklah mudah dilaksanakan. Hendaknya Kongcu berdua suka memberitahukan nama dan keperluan barulah kami akan menyampaikan keatasan apakah permohonan Kongcu, menghadap dapat dikabulkan." ,

Han Han mengerutkan alisnya yang tebal, masih dapat menahan kesabarannya, akan tetapi Lulu yang mendengar bahwa Sin Lian yang dicarinya itu tidak -berada di kuil itu, sudah kehilangan kesabarannya dan ia membentak.

"Wah-wah, seorang pendeta biarpun sudah menjadi ketua, masa lagaknya melebihi seorang raja saja? Orang mau berjumpa saja sukarnya setengah mati!"

Para hwesio penjaga itu memandang dengan muka tidak senang dan wakil pembicara mereka segera menjawab, "Nona, kalau yang kau maksudkan raja penjajah, memang ketua kami jauh lebih tinggi dan terhormat! Ada perkumpulan ada pula peraturan, dan Siauw-lim-pai adalah perkumpulan besar yang memegang teguh peraturannya, siapa pun tidak berhak melanggarnya!"

"Waduh-waduh, galaknya! Eh, hwesio-gundul, apakah engkau ini ber-liamkeng (membaca doa) dan bersembahyang, memantang makanan berjiwa yang enak-enak, bertapa susah payah, hanya untuk belajar galak kepada orang lain? Kalau sikapmu masih galak dan tidak ramah-tamah terhadap orang, tidak baik budi,percuma saja dong rambutmu dibuang! Ternyata kepalamu menjadi bertambah panas!" .,

Sikap dan omongan Lulu yang ugal-ugalan ini membuat para hwesio menjadi merah mukanya, akan tetapi karena kata-kata itu tepat menusuk hati dan merupakan sindiran bagi mereka, sejenak mereka tak mampu membantah. Kalau mereka menuruti nafsu kemarahan, hal ini hanya membuktikan betapa tepatnya ucapan gadis nakal itu, kalau tidak marah, hati yang tidak kuat!

"Heiii, dia inilah bocah setan itu! Dia yang membunuh saudara-saudara kita, dia yang membela orang-orang Hoa-san-pai!" Tiba-tiba terdengar suara dua orang anggauta Siauw-lim-pai yang bukan lain adalah LiongTik dan seorang sutenya, dua orang di antara sembilan murid Sauw-lim-pai yang tidak tewas ketika mengeroyok Han Han.

"Kepung, jangan sampat dia lari!" Liong Tik yang marah sekali melihat musuh besarnya ini telah mengeluarkan senjatanya, sepasang tombak cagak dan para hwesio lainnya telah pula siap dengan senjata masing-masing. Dua oranghwesio sudah berlari masuk memberi laporan.

Han Han masih bersikap tenang, dan Lulu sudah berkata lagi, " Wah, tidak hanya galak, malah agaknya para pendeta Siauw-lim-pai terkenal sebagai tukang mengeroyok orang. Apakah kalian masih belum kapok, hendak mengeroyok Kokoku?"

Han Han berdiri dengan kedua kaki terpentang, tegak dan matanya melirik ke kanan kiri ketika kini berdatangan belasan orang hwesio yang sudah me-ngurungnya. Ia tidak ingin berkelahi karena kedatangannya lni hendak men-jelaskan persoalan yang timbul antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai.

"Bocah iblis, apakah engkau datang hendak mengacau Siauw-lim-pai?" Liong Tik membentak, masih ragu-ragu untuk menyerang karena ia maklum akan kepandaian pemuda itu yang amat menggiriskan hati.

"Cu-wi sekalian harap sabar. Aku datang sama sekali bukan hendak mengacau, bukan pula hendak menimbulkan perkelahian. Aku datang untuk bicara dengan Nona Lauw Sin Lian, dan dengan ketua Siauw-lim-pai untuk menjelaskan persoalan yang baru-baru ini terjadi."

"Engkau sudah membunuh saudara-saudara kami, masih datang hendak bicara dengan ketua kami?" Pertanyaan ini timbul dari hati yang terheran-heran.

Alangkah beraninya pemuda ini! Ataukah karena sombongnya maka sengaja datang hendak menantang ketua Siauw-lim-pai?”

Han Han tersenyum dingin. " Kalau aku tidak datang memberi penjelasan, bagaimana urusan dapat dibereskan? Semua terjadi karena salah faham….."

"Jahanam! Sudah membunuh banyak orang, enak saja mengatakan bahwa semua terjadi karena salah faham! Saudara-saudara, mari kita basmi iblis ini!” Liong Tik berkata marah, akan tetapi sebelum mereka turun tangan, terdengar bentakan halus.

"Para murid Siauw-Lim-pai, minggir-lah!"

Mendengar suara ini, para murid yang tadinya mengurung Han Han serentak minggir dan membentuk lingkaran kipas yang lebar. Han Han memandang mereka yang datang dan ternyata dari dalam kuil keluarlah lima orang hwesio yang usianya .rata-rata sudah lima puluh tahun lebih. Sikap mereka agung dan keren, dan seorang di antara mereka pincang kakinya sehingga jalannya dibantu sebatang tongkat. Pakaian mereka sederhana, namun menyaksikan gerak-gerik mereka yang tenang dan keren, dapat diduga bahwa mereka ini merupakan tokoh-tokoh penting dari Siauw-lim-pai. Dan dugaan Han-Han ini memang benar karena lima orang hwesio itu adalah murid-murid kepala dari Ceng To Hwesio, sute dari ketua Siauw-lim-pai itu. Tingkat kepandaian lima orang hwesio ini sudan tinggi, bahkan tugas mengajar semua murid yang menjadi tugas Ceng To Hwesio, diwakili oleh lima orang ini. Biarpun tingkat mereka masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan tingkat Siauw-lim Chit-kiam, namun karena mereka terhitung adik-adik seperguruan Siauw-lim Chit-kiam, maka mereka merupakan tokoh-tokoh tingkat tiga di Slauw-tim-pai.

Han Han yang dapat mengenal orang-orang pandai segera rnengangkat kedua tangan depan dada dan berkata, " Saya Sie Han dan adik saya Lulu mohon perkenan Losuhu sekalian agar dapat bertemu dan bicara dengan ketua Siauw-tim-pal dan dengan Nona Lauw Sin Lian."

Lima orang hwesio itu tadi sudah mendapat laporan bahwa yang datang ini adalah pemuda lihai yang membantu Hoa-san-pai dan yang telah membunuh tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai, bahkan yang mungkin juga menjadi pembunuh dua orang suheng mereka, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek. Kini, melihat betapa pemuda itu masih amat muda, mereka sudah terheran-heran sekali, apa lagi menyaksikan sikap pemuda ini yang sopan santun, mereka menjadi ragu-ragu dan hampir tidak percaya bahwa seorang pemuda seperti ini dapat memiliki kepandaian yang tinggi.

Mereka segera membalas penghormatan Han Han karena biarpun tamu itu masih muda, adalah menjadi kewajiban para hwesio untuk bersikap hormat dan lemah lembut kepada siapa saja.

"Sicu hendak bertemu dengan murid kami Lauw Sin Lian?" berkata seorang diantara mereka yang mukanya kurus. "Sayang sekali, Nona Lauw sedang melaku-kan tugas keluar kota, tidak berada disini. Akan tetapi Supek kami, ketua Siauw-lim-pai, berada di dalam. Kalau Sicu berdua hendak menghadap Supek, silakan masuk."

Han Han mengangguk dan hatinya lega. Kiranya tokoh-tokoh Siauw-lim-pal adalah orang-orang gagah yang mudah diajak urusan, tidak seperti anak buahnya tadi yang bersikap kasar, sungguhpun ia dapat memaafkan kekasaran mereka kalau ia ingat bahwa dia telah membunuh tujuh orang saudara mereka. Dengan langkah lebar dan tenang ia memasuki pintu gerbang didahui oleh lima orang hwesio itu. lulu menyentuh tangan Hanl Han dari belakang sehingga pemuda itu menengok dan memandang-nya. Gadis itu berbisik,

"Koko, aku merasa khawatir sekali. Jangan-jangan kita masuk perangkap mereka.”

“Nona, kami menjunjung tinggi kegagahan dan kebenaran, anti akan segala kejahatan dan kecurangan. Tidak perluk hawatir!" terdengar jawaban dari hwesio pincang bertongkat yang masih berjalan di depan, tanpa menengok. Dapat mendengar bisikan Lulu yang begitu perlahan cukup membuktikan betapa tajam pendengaran para hwesio ini.

Rombongan lima orang hwesio yang mengantar Han Han dan Lulu itu kini

memasuki ruangan depan kuil besar yang menjadi pusat perkumpulan Siauw-lim-pai itu. Bersih dan luas sekali ruangan itu dan dari situ tampak meja sembahyang di sebelah dalam yaitu di dalam ruangan sembahyang yang kelihatan tenang dan sunyi, yang mengebulkan asap tipis berbau harum dari mana terdengar lirih suara hwesio bemyanyi dan berdoa. Adapun para hwesio lain yang menjadi anak buah dan bertugas menjaga hanya berkumpul di pekarangan depan tidak diperkenankan masuk karena kini dua orang tamu itu telah berada di dalam tangan lima orang hwesio kepala ini

Dengan slkap tenang akan tetapi alis berkerut karena dapat menduga bahwa para hwesio Siauw-lim-pai ini menyambut nya dengan penuh kecurigaaan dan sikap bermusuhan, Han Han memasuki ruangan depan yang bersih ltu, diikuti oleh Lulu yang sikapnya biasa saja bahkan gadis itu seperti biasa tidak dapat menahan rasa ingin tahunya dan menonton ke kanan kiri memandangi keadaan di situ.

"Sicu dan Nona, silahkan masuk ruangan disebelah, para pimpinan Siauw-tim-pal telah menanti di sana. Pinceng berlima hanya bertugas mengantar Ji-wi (Anda Berdua) sampai di luar pintu sidang pengadilan," berkata hwesio pengantar, sedangkan ernpat orang hwesio lainnya hanya berdiri dan rnengangkat tangan memberi hormat. Han Han mengerutkan alisnya yang hitam dan hatinya merasa tidak enak mendengar bahwa ia dipersilakan rnasuk "ruangan sidang pengadilan" ini.

"Koko, jangan percaya kepada mereka ini!" kata Lulu. "Biar kita menanti disini saja dan suruh mereka panggil keluar Lauw Sin Lian dan ketua mereka!"

"Mengapa mesti takut? Kita adalah tamu dan tamu harus tunduk akan peraturan tuan rumah. Kalau mereka menghendaki dengan peyambutan besar besar-an, biarlah, Adikku. Mari kau ikut aku,tak usah taku

“Siapa takut?" Lulu menjebikan bibir-nya. "Aku hanya berhati-hati, bukannya takut!"

.Dengan langkah lebar dan dada terangkat, Han Han dan lulu memasuki

pintu yang menembus ke ruangan samping yang sesungguhnya adalah ruangan

terbesar karena ini adalah ruangan lian-bu-thia (belajar silat) yang luas sekali.

Begitu Han Man dan Lulu memasuki ruangan ini, tampak oleh mereka sepasukan hwesio muda berdiri berbaris di tengah ruangan. Mereka terdiri dari tiga belas orang, berdiri dengan sikap berbaris,bertangan kosong .dan nampaknya kuat-kuat. Lengan baju mereka digulung sampai ke siku dan, mereka berdiri dengan bhesi (kuda-kuda) yang amat kuat, yaitu kuda-kuda Ji-ma-she dengan kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk, kedua kepalan tangan di kanan kiri lambung.

Tiga belas orang hwesio muda itu hanya berdiri dalam keadaan siap sarnbil memandang ke arah Han Han, tanpa mengeluarkan kata-kata, tanpa bergerak. Han Han tidak tahu harus berbuat apa karena barisan ini menghalang di jalan. Akan tetapi terdengarlah suara keren dari mulut seorang hwesio tua yang berdiri di sudut, hwesio tua yang bermata tajam dan suaranya nyaring

."Khong-jiu-tin (Barisan Tangan Kosong) Siauw-lim-pai merupakan ujian pertama bagi orang yang berani minta berjumpa dengan ketua Siauw-lim~pai!"

Mendengar ini, Lulu meloncat maju dan menudingkan telunjuknya yang kecil runcing kepada hwesio tua ini sambil memaki, "Hwesio busuk Orang mau berjumpa dengan ketua Siauw-lim pai pakai diuji segala macam! Peraturan apakah ini? Hayo suruh minggat barisan yang tiada gunanya ini, dan panggil ketuamu ke sini untuk bicara dengan Kokoku!"

Hwesio tua itu yang sesungguhnyaadalah Ceng To Hwesio, mengerutkan keningnya dan matanya memandang marah. "Nona, pernah ada jaman di mana wanita dilarang masuk ke ku.il Siauw-lim-si dengan ancaman hukum mati. Pinceng akan senang sekali kalau peraturan itu kini masih berlaku. Sayang kini peraturan diperlunak dan kalau kalian tidak berani menghadapi ujian kami, lebih baik pergi saja dari sini.”

"Eh, hwesio sombong, siapa yang tidak berani? Biar ditambah lima kali ini, aku tidak takut!" Lulu sudah bergerak maju hendak menerjang barisan itu. Tiba-tiba tiga betas hwesio itu menggerakkan kaki dan menggeser kaki, kiri ke belakang mengubah kuda-kuda. Gerakan mereka itu mantap dan kuat juga amat rapi sehingga Han Han yang melihat ini cepat berkata.

"Lulu, mundurlah. Kalau memang begini peraturan Siauw-lim-pai, biar ku

coba menghadapi tin (barisan) ini."

Lulu melangkah mundur dan mengomel, "Hemmm. hwesio-hwesio sial Sekali ini agak baik nasib kalian sehingga tidak jadi mati ditanganku. Kakakku terlalu baik hati untuk membunuh kalian sehingga kalian hanya akan luka-luka ringan saja. Katau aku yang maju sendiri……hemmm, jangan tanya-tanya lagi tentang dosa!"

Biarpun sikapnya masih kekanak-kanakan namun Lulu sebetulnya adalah seorang yang cerdik dan dapat menyembunyikan kecerdikannya di balik sikap kekanak-kanakannya. Ia sudah mengenal watak kakaknya yang setiap kali berhadapan dengan lawan-lawan tangguh dalam sebuahah pertandingan lalu timbul watak beringas dan kejam seolah-olah haus darah dan ia tahu pula bahwa fihak lawan tentu akan toboh tewas kalau bertemu dengan kakaknya yang luar biasa. Dia tidak menghendaki kakaknya menjadi seorang kejam yang membunuhi manusia seperti membunuh semut saja, maka tadi ia sengaja berkata demikian untuk mengingatkan Han Han agar tidak membunuh lawan. Han Han mengerti akan sindiran Lulu maka ia berkata.

"Lulu, tewas atau luka dalam pertandingan adalah hal biasa. Yang penting, kalau sampai terjadi pertandingan, hal itu bukanlah kehendak kita, melainkan dikehendaki oleh para hwesio ini.Minggirlah !".

Lulu minggir dan Han Han lalu melangkah lebar menghampiri barisan yang sudah siap menyambutnya. Dengan sinar matanya, Han Han menyapu barisan itu dan diam-diam ia merasa amat kagum karena sikap dan kedudukan pasangan kuda-kuda tiga belas orang hwesio yang rata-rata berusia tiga puluh tahun itu amatlah kuat dan kokoh seperti batu karang. Dari pasangan kuda-kudanya saja dapat diketahui bahwa Siauw-lim-pai memiliki murid-murid yang baik-baik dan ilmu silat Siauw-lim-pai bukanlah omong kosong belaka.

" Majulah!" Han Han berseru dan menerjang maju, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dilambaikan ke depan dari kanan kiri. Ia tidak ingin menyerang lebih dulu dan ingin sekali menyaksikan bagaimana kehebatan Khong-jiu-tin ini.Setelah belajar ilmu di Pulau Es, Han Han amat suka melihat ilmu silat dan ingin sekali meluaskan pengalamannya dengan menyaksikan ilmu-ilmu silat didunia kang-ouw.

"Sambut serangan!" Tiba-tiba bentakan ini keluar dari tiga belas buah mulut secara serentak dan bergeraklah tiga belas orang hwesio itu menyerang Han Han. Gerakan mereka amat cepat dan langkah-langkah mereka teratur, pukulan-pukulan yang dilancarkan mantap dan kuat.

Han Han menggunakan ginkangnya,tubuhnya bagaikan tubuh seekor wallet saja ringannya dan dengan kecepatan yang mengagumkan ia telah mengelak dari setiap pukulan yang menyerangnya. Akan tetapi betapapun cepat gerakannya, ia tidak dapat mengatasi kecepatan gerakan tiga belas orang sekaligus. Apalagi ketika tiga belas orang itu ternyata bukan sembarangan bergerak mengandalkan kepandaian perorangan, melainkan bergerak menurut ilmu barisan yang aneh dan hebat. Ke manapun Han Han mengelak, di situ telah menanti pukulan tangan kosong lain hwesio yang disusul dengan pukulan-pukulan lain dari segala jurusan sehingga bagi Han Han seolah-olah tidak ada jalan keluar lagi. Terpaksa pemuda ini menggunakan lengannya menangkis. Beberapa kali saja menangkis, terdengar seruan-seruan kesakitan daripara hwesio yang tertangkis lengannya,dan segera gerakan para hwesio itu berubah, kini tidak pernah mereka membiarkan lengan mereka tertangkis lagi! Tiap kali lengan meereka ditangkis, mereka sudah menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan lain pukulan dari lain jurusan oleh hwesio lain.

Han Han makin kagum. Sudah beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk ketika beberapa buah pukulan para pengeroyoknya tak dapat ia elakkan dan terpaksa ia terima dengan tubuhnya yang sudah kebal. Ia maklum bahwa andaikata ia tidak memiliki sinkang yang jauh lebih tinggi sehingga ia dapat mengandalkan kekebalan tubuhnya yang dilindungi sinkang dan mengandalkan pula kecepatan gerakannya mengandalkan ginkang, kira-nya ia akan celaka di tangan tiga belas orang ini. Kalau hanya mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sukarlah menandingi barisan yang hebat ini. Ia mulai memperhatikan gerakan mereka dan mengertilah ia bahwa sesungguhnya Khong- jiu-tin yang terdiri dari pada tiga belas orang itu adalah dua macam barisan yang digabung menjadi satu. Pertama barisan Pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang, ke dua barisan Ngo-heng-tin yang terdiri dari lima orang. Kedua barisan itu kadang-kadang melakukan gerakan terpisah saling membantu, kadang-kadang membentuk lingkaran dengan Pat-kwa-tin di sebelah luar dan Ngo-heng-tin di sebelah dalam.

Karena dalam hal ilmu silat Han Han memang belum dapat dikatakan mahir, menghadapi kedua barisan yang digabung merupakan Khong-jiu-tin yang mengandung jurus-jurus Ilmu Silat Lo-han-kun yang amat hebat dari Siauw-lim-pai ini, tentu saja Han Han tidak mampu melawannya dan terpaksa ia harus mengandalkan sinkangnya yang membuat tubuhnya kebal dan menerima belasan kali pukulan-pukulan keras sebelum ia sempat melihat jalannya barisan yang amat mengagumkan itu. Karena khawatir kalau-kalau pukulan-pukulan yang makin berbahaya melanda tubuhnya, Han Han mengerahkan khikangnya, mengeluarkan suara melengking nyaring dan kedua lengannya mendorong ke arah lawan yang mengeroyok dengan pengerahan tenaga sakti Im-kang. Dapat dibayangkan betapa hebatnya dorongan-dorongan tenaga Im-kang ini kalau diingat bahwa bertahun-tahun pemuda ini melatih diri di Pulau Es yang amat dingin, sehingga ia telah dapat menyedot inti sari hawa dingin, membuat Im-kangnya yang dipelajari menurut kitab-kitab Ma-bin Lo-mo menjadi hebat, lebih hebat dari Swat-im Sin-ciang milik Ma-bin Lo-mo sendiri!

Terdengar keluhan-keluhan ketika tiga belas orang itu terhuyung-huyung dan roboh semua dengan muka pucat dan tubuh menggigil kedinginan! Untung bahwa Han Han teringat akan sindiran Lulu tadi sehingga ia tidak menurunkan tangan maut, membatasi tenaga dorongannya sehingga darah tiga belas orang itu tidak membeku.

"Omitohud….., luar biasa……!" terdengar Ceng To Hwesio berseru. Tiga belas orang hwesio anggauta barisan Khong-jiu-tin itu saling bantu can mundur. Tempat mereka kini diganti oleh sebuah barisan lain yang terdiri dari sembilan orang hwesio-hwesio tua berusia antara lima puluh tahun, rata-rata bertubuh kurus kering dan kelihatannya lemah sekali.

"Eh, hwesio curang! Sudah jelas barisan tadi tidak mampu menahan Kakakku, sekarang hwesio-hwesio tua kurus kering ini mau coba lagi?" bentak Lulu yang menghampiri kakaknya dan mengusap-usap leher kanan Han Han yang agak merah karena tadi terpukul, bahkan sebelah kanan bibirnya pecah dan berdarah sedilkit, bajunya robek-robek. "Koko tidak sakitkah?"

Han Han menggeleng kepala dan dengan halus mendorong tubuh adiknya kepinggir sambil berkata, "Lulu ,tenanglah barisan yang datang ini lebih berat."

"Apa? hwesio-hwesio kurus kering ini? Jumlahnya pun hanya sembilan orang, Sekali dorong saja roboh Tak usah di dorong kautiup saja mereka akan roboh semua Koko! Mereka ini hanyalah penderita-penderita penyakit encok dan batuk!"

Ceng To Hwesio tldak rnempedulikan ulah dan kata-kata kakak beradik itu lalu berkata dengan suara nyaring. "Ujian pertamaa dapat di lalui, ujian ke dua menyusul. Lo-han-tin (Barisan Orang Tua) dari Siaw-lim-pai, hadapilah, orang muda !"

Barisan ini jauh sekali bedanya dengan barisan Khong-jiu-tin tadi. Kalau barisan pertama tadi terdiri dari hwesio hwesio yang bertubuh tegap dan gerakan mereka mantap mengandung tenaga kuat barisan ke dua ini terdiri dari hwesio-hwesio tua yang lemah sedangkan gerakan mereka pun kelihatan tak bertenaga. Namun Han Han yang biarpun belum berpengalaman namun sebagai seorang ahli sinkang dan karena sudah banyak membaca kitab-kitab ilmu silat tinggi, dapat menduga bahwa barisan ini terdiri dari ahli-ahli sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Dugaannya memang benar. Sembilan orang ini adalah murid-murid kepala dari Ceng To Hwesio dan tingkat mereka hanya sedikit lebih rendah daripada tingkat lima orang hwesio murid utama Ceng To Hwesio yang tadi menjadi pengantar kedua orang muda itu dan yang kini tidak tampak lagi.

"Hemmm, beginikah peraturan Siauw-lim-pai? Kurasa hanya ditujukan kepada tamu-tamu yang tak dikehendaki saja," kata Han Han sambil tersenyum mengejek. "Para Losuhu, kalau tidak malu mengeroyok seorang muda, majulah!"

Sembilan orang hwesio itu adalah sebuah barisan yang hanya mentaati perintah, maka tentu saja tidak mengandung perasaan pribadi dan ucapan Han Han itu tidak membuat mereka menjadi rikuh, bahkan kini mereka bergerak maju dan mulai mengurung lalu mengirim serangan-serangan yang kelihatannya lambat, namun sesungguhnya cepat dan dahsyat sekali, jauh lebih berbahaya dari pada penyerangan Khong-jiu-tin karena kini setiap pukulan mengandung tenaga lweekang yang hebat

Melihat pukulan-pukulan yang berbahaya ini Han Han cepat meloncat ke atas dan ia pun mengerahkan sinkang ditubuhnya, berjungkir balik di udara dan kini tubuhnya menukik ke bawah dengan kedua tangan didorongkan, lalu ditarik kekanan kiri untuk menangkis sambutan para pengeroyoknya yang sudah mengirim pukulan-pukulan pula. Begitu hawa pukulan itu bertemu dengan hawa sinkang yang keluar dari kedua lengan Han Han sembilan orang kakek itu terhuyung dan mereka berseru heran. Akan tetapi mereka sudah menerjang lagi maju dan kini gerakan tangan mereka mengeluarkan angin sebagai tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sakti yang ada pada diri mereka.

Seperti juga tadi ketika menghadapi pengeroyokan Khong-jiu tin, Han Han tidak dapat melawan IImu silat Lo-han-kun yang dimainkan sembilan orang Ahli itu. Biarpun ia sudah mempergunakan ginkangnya sehingga kadang-kadang tubuhnya lenyap dari pengurungan sembilan orang hwesio Itu, dan sudah mempergunakan kecepatannya untuk mengelak atau menangkis, namun tetap saja masih ada bebera buah pukulan yang "mampir" dl tubuhnya. Dan kali Ini pukulan-pukulan yang mengenal tubuhnya sama sekali tidak boleh disamakan dengan pukulan-pukulan barisan pertama tadi karena pukulan-pukulan kali ini adalah pukulan yang mengandung tenaga lweekang. Biarpun tubuh Han Han amat kebal karena kuatnya sinkangnya, dan memang ternyata bahwa tenaga dalamnya jauh lebih kuat dari pada para pengeroyoknya, namun pukulan-pukulan itu masih menggetarkan isi dada dan isi perutnya sehingga sebuah pukulan yang cukup keras pada dadanya membuat darah keluar mengucur dari mulutnya! Dia tidak terluka, akan tetapi getaran dan goncangan itu ditambah pukulan yang mampir dl lehernya membuat mulut dan hidungnya berdarah. Marahlah Han Han, kemarahan yang tidak dibuat-dibuat, yang timbul dengan sendirinya, yang meembuat , mukanya tampak bengis, sepasang mata nya menyorotkan pandang mata seperti kilat, penuh kebencian penuh nafsu membunuh. Seolah olah semua wajah para pengeroyoknya berubah menjadi wajah wajah tujuh orang perwira Mancu yang membasmi keluarganya sehingga menimbulkan kebencian yang meluap luap di dalam hatinya, mendatangkan nafsu membunuh. Ia mengeluarkan suara teriakan melengking yang terdengar mengerikan, lalu tubuhnya digoyang seperti seekor harimau menggoyang tubuh untuk mengeringkan bulu, kemudian ia menerjang maju dengan kedua tangan menyambar-nyambar kedepan.

"Koko…… jangan……!!” Lulu berteriak ngeri menyaksikan keadan kakaknya itu. Han han dapat mendengar jerit ini dan untunglah demikian, karena kedua tangannya yang menyebar maut dengan pukulan-pukulan Swat-im Si-ciang dan Hwi-yang Sin-cian secara berganti-ganti itu dapat ia tahan kekuatannya sehingga sembilan orang hwesio itu hanya terjenkang dan muntah-muntah darah terluka arah akan tetapi tidak ada yang tewas

“Omitohud…..!” Ceng To Hwesio berseru marah. “ Kejam sekali engkau…..!”

Pada saat itu dari luar menyambar sinar-sinar berkeredapan dan ternyata lima orang hwesio murid utama Ceng To Hwesio sudah muncul sambil menyambitkan senjata rahasia mereka ke arah Han han. Hal ini mereka lakukan bukan sekali-kali untuk bermain curang, melainkan terdorong oleh kekhatiran dan karena mereka ingin menolong para sute mereka agar jangan sampai dipukul lagi oleh Han han. Mereka mengira bahwa pemuda itu tentu akan membunuh semua sute mereka yang sembilan orang itu

"Hwesio-hwesio curang!" Lulu sudah mencabut pedangnya. Sinar' hijau menyilaukan mata berkelebat dan semua senjata rahasia yang disambar sinar ini menjadi patah-patah seperti buah-buah mentimun bertemu pisau yang amat ta-jam. .

"Cheng-kong-kiam !" teriak hwesio pincang bertongkat ketika melihat pedangitu.

"Omitohud kiranya benar-benar murid Hoa-san-pai yang mengacau!- Tang-kap!" bentak Ceng To Hwesio ketika mengenal Cheng-kong-kiam sebagai pedang pusaka Hoa-san-pai. Memang pedang ditangan Lulu itu adalah Cheng-kong-kim yang dirampasnya dari tangan Kong Seng-cu dan pedang ini sudah amat terkenal di dunia kang-ouw sehingga para hwesioSiauw-lim-pai juga mengenalnya.

Lima orang hwesio itu menyerang dengan hebat, mengurung Han Han dan mereka mempergunakan senjata mereka. Si Pincang mempergunakan tongkatnya, dua orang hwesio mempergunakann. Toya yang sudah mereka pegang ketika mereka,muncul, sedangkan yang tertua dan yang nomor dua memegang pedang. Serangan.mereka Itu birarpun tidak sehebat ilmu pedang Siauw-lim Chit-kiam. namun karena mereka adalah tokoh tokoh Siauw-Lim-pai tingkat tinggi, tentu saja serangan mereka ini hebat bukan main. Boleh jadi dalam hal kekuatan singkang, Han Han yang telah memiliki tenaga mujijat itu sukar ditandingi para hwesio yang mendapat sinking secara latihan wajar, tidak seperti Han Han yang berlatih dengan cara-cara golongan sesat akan tetapi dalam hal IImu silat, Han Han sunguh ketingalan jauh kalau dibandingkan dengan lima orang hwesio murid Ceng To Hwesio itu. Adapun Lulu yang juga memiliki tenaga sinkang yang tidak lumrah kalau dibandingkan dengan gadis

seusia yang sejak kecil belajar silat, dan telah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali, namun dia kurang mendapat bimbingan yang benar sehingga ilmu pedangnya yang amat indah dan tinggi mutunya itu kekurangan isi. Tentu saja diapun bukan lawan tokoh-tokoh Siaw-lim—pai itu.

Si hwesio tua yang pincang kakinya menghadapi Lulu dengan tongkatnya. Ternyata hwesio ini bukan main ketika bergerak menerjang Lulu dengan tongkat di tangan. Gerakanya gesit dan biarpun kakiknya melebihi kecepatan orang yang tidak cacad. Ketika Lulu menangkis dengan pedangnya terdengar suara keras, ujung tongkat kayu Itu terbacok putus sedikit saking tajmnya pedang pusaka Hoa-san-pai Itu, akan tetapi telapak tangan Lulu tergetar hebat saking kuatnya tongkat di tangan hwesio pincang.

"Nona muda, lebih baik engkau menyerah saja. Siauw-lim-pai adalah perkumpulan besar yang adil dan tentu akan mengadakan sidang pengadilan yang tidak sewenang-wenang. Melawanpun tiada gunanya,” hwesio pincang ltu berkata dengan suara halus. Dia seorang tokoh Siuw-lim-pai yang berilmu tinggi, sudah puluhan tahun malang-melintanl di dunia, kang-ouw sehingga kini merasa sungkan untuk bertanding melawan seorang gadis remaja yang menjadi cucu muridnya!

"Hwesio sombong, apa kaukira akan dapat mengalahkan, aku? Lihat pedang!" Lulu berteriak marah dan pedangnya sudah berkelebat menyambar lagi, merupakan segulungan sinar hijau yang tebar dan panjang.

"Omitohud, orang muda yang bersemangat baja!" Hwesio pincang itu berseru, tidak marah karena sebagai seorang hwesio tentu saja ia telah memiliki kesabaran besar, bahkan ia merasa kagum menyaksikan sepak-terjang gadis cantik ini. Cepat ia menggerakkan tongkatnya dan sekejap kemudian bertandinglah mereka dengan hebat. Biarpun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, namun hwesio pincang itu harus bersilat dengan amat hati-hati karena ginkang gadis itu sudah mencapai tinkat yang tinggi pula,membuat tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet. dan tenaga sinkang yang tersembunyi di tangan halus. Yang memegang pedang pun tak boleh dipandang ringan.

Sementara itu, Han Han juga mengamuk, dikeroyok oleh empat orang hwesio lain. Agaknya para hwesio itu tidak ingin gagal untuk memenuhi perintah suhu mereka, yaitu menangkap Han Han, maka mereka berempat maju serentak dengan tangan kosong, membiarkan hwesio pincang seorang diri menghadapi. Lulu yang mereka pandang rendah. Mereka:sudah mendengar akan kelihaian Han Han ini dan karena Han Han telah membunuh orang-orang Siauw-lim-pai secara mengerikan, bahkan disangka membunuh dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, tentu saja mereka maklum bahwa pemuda ini amat lihai, maka mereka maju mengeroyok dan berlaku hati-hati sekali.

Pening rasa pandang mata Han Han ketika ia melihat geakan para pengeroyoknya yang selain cepat juga amat mantap itu. Ke manapun ia menggerakkan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang atau Swat-im Sin-ciang, selalu serangannya dapat dihindarkan keempat orang hwesio itu yang cepat mengelak dan sama sekali tidak berani menangkis. Memang dahsyat mengerikan sekali sambaran kedua tangan Han Han ini, kadang-kadang mengandung hawa yang panas seperti api membara kadang-kadang dingin seperti es

Ilmu silat yang dimainkan oleh, empat orang hwesio itu adalah ilmu silat tinggi Siauw-lim-pai yang amat terkenal dengan ilmu silat tangan kosongnya. Dibandingkan dengan Ilmu Silat Lo-han-kun yang dimainkan oleh barisan Khong-jiu-tin yang tadi mengeroyoknya, memang tidak ada bedanya, akan tetapi kini dimainkan dengan tenaga yang jauh lebih kuat dan gerakan yang lebih mantap. Seperti juga tadi, Han Han tidak dapat mempertahankan dirinya, tidak dapat menghindarkan diri dari gebukan-gebukan dan tendangan-tendangan yang tentu akan membuatnya roboh pingsan sekiranya dia tidak memiliki tubuh yang penuh dengan hawa sinkang amat kuatnya. Beberapa kali ia kena dijotos dadanya sampai tubuhnya terjengkang dan roboh bergulingan, namun setiap kali ia bangkit lagi dan mengamuk leblh hebat lagi. Setelah berkelahi, hawa yang aneh memenuhi tubuh Han Han dan matanya berubah beringas, wajahnya merah menyeramkan, mulutnya yang berdarah Itu membayangkan kekejaman dan nafsu membunuh, hidungnya yang jga berdarah itu berkembang-kempis, matanya seperti meta harimau gila, kerongkongannya mengeluarkan suara rnengereng-gereng dan kadang-kadang melengking-lengking.

Ernpat orang hwesio murid Ceng To Hwesio kagum bukan main dan berkali-kali mereka mengeluarkan seruan terkejut saking herannya melihat betapa pemuda itu dapat menerima hantaman mereka tanpa mengalami cedera atau terluka sedikit pun, hanya sedikit darah mengalir dari mulut atau hidungnya setiap kali menerima pukulan. Hampir mereka tak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda remaja memiliki kekebalan seperti itu!

Sungguhpun tubuh Han Han tidak sampai terluka di sebelah dalam, namun sesungguhnya Han Han menderita bukan main. Seluruh tubuhnya terasa nyeri dan tidak karuan, kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan telinganya mendengar suara mengiang-ngiang tiada hentinya. Kemarahannya memuncak. Ketika empat orang hwesio itu untuk ke sekian kalinya menerjang. maju dari empat jurusan, ia sengaja tidak mau mengelak lagi, juga tidak menangkis hanya menanti sampai pukulan mereka tiba. Mendadak Han Han mengeluarkan suara melengking tinggi, tangan kirinya menghantam ke kiri dengan pengerahn tenaga sakti Swat-im Sin-ciang sedangkan tangan kanan menghantam ke kanan dengan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Karena pemuda ini sengaja mengorbankan tubuhnya menjadi sasaran dan berbareng pada detik itu mengirim pukulan-pukulan, maka terdengar jerit mengerikan ketika pukulan-pukulannya mengenai sasaran. Hwesio di sebelah kirinya roboh dengan muka biru dan darah membeku sedangkan yang berada di sebelah kanannya roboh pula dengan muka menjadi hitam gosong seperti terbakar! Akan tetapi dia sendiri pun menerima pukulan-pukulan yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang dan tiba-tiba ia muntahkan darah segaryang banyak juga!

"Koko…..!" Tiba-tiba Lulu menjerit dan Han Han cepat menengok. Ternyata bahwa pedang adiknya itu telah terpukul tongkat dan terlepas dari pegangan tangan adiknya itu. Ia melihat Ceng To Hwesio menggerakkan tangan seperti melambai dan……pedang adiknya itu terbang ke arah tangan Si Hwesio yang membentak marah.

"Bocah setan, engkau kembali membunuh dua orang murid pinceng! Kau tidak boleh dibiarkan hidup lagi!”

Kini mereka semua menyerbu mengeroyok Han Han. Ceng To Hwesio dan muridnya yang tinggal tiga orang karena hwesio pincang itu setelah melihat dua orang sutenya tewas lalu meninggalkan Lulu dan ikut mengeroyok Han Han.

Tidak seperti tadi ketika dilkeroyok empat orang hwesio bertangan kosong, kini Han Han dikeroyok empat orang hwesio yang semuanya bersenjata. Hwesio pincang memegang tongkat, dua orang hwesio lain memegang toya dan Ceng To Hwesio memegang pedang Ceng-kong-kiam dari Hoa-san-pai,

Dalam kemarahanya, Han Han tldak takut menghadapi bahaya apapun juga. Ia menjadi nekat dan memutar kedua lengannya mengirim pukulan-pukulan dengan hawa sakti Hwi-yang Sin-ciang yang dahsat sehingga empat orang hwesioa itu tidak berani terlalu mendekatinya.

"Omltohud…..keji sekali….!" Ceng To Hweslo berseru dan pedangnya berubah menjadi sinar hijau menuju pusar Han Han, Pemuda itu terkejut, cepat ia melompat ke atas seperti terbang saja dan pada saat itu, tongkat hwesio pincang menyambar kakinya. Namun Han Han menggerakkan kaki menendang sehingga tongkat itu hampir terlepas dari tangan pemeganya. Pada saat itu, sinar hijau berkelebat ke lehernya. Han Han membuang tubuh ke belakang, namun masih saja pedang itu menyerempet pundaknya sehingga bajunya berikut kulit dan sedikit daging pundak robek den berdarah.

"Koko……!" Lulu menjerit dan menubruk Han Han, matanya melotot memandang empat orang hwesio itu dan mulutnya memaki-maki

"Hwesio....hwesio jahat! Beginikah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai Tukang keroyok dan tukang bunuh?

Melihat gadis itu yang melindungi tubuh Han Han, empat orang hwesio itu menjadi sungkan untuk menyerang. Han Han tldak, lngin melihat adiknya terancam bahaya, maka ia lalu meraih pingang adiknya dibawa meloncat sambil membentak.

"Minggir kalian!!”

Bentakan Han Han Ini mengandung suara aneh yang memiliki pengaruh mujijat. Tanpa mereka ketahui mengapa, empat orang hwesio itu segera mundur ke pinggir dan membiarkan Han Han lewat bersama Lulu. Setelah pemuda itu berlari ke depan, memasuki kuil, barulah Ceng To Hwesio berseru.

"Omitohud….., mengapa kita diam saja…..?" Ia amat terkejut, demikian pula tiga orang muridnya dan serentak mereka mengejar ke dalam kuil.

Han Han berkelebat cepat memasuki kuil sampai ke ruangan belakang. Ternyata kuil itu luas sekali dan mempunyai banyak ruangan. Melihat betapa para hwesio kosen itu mengejar, Han Han berlari terus sambil menarik tangan Lulu Karena para pengejarnya yakin bahwa pemuda itu tidak dapat meloloskan diri, apalagi kalau dilihat kenyataannya bahwa Han Han malah lari memasuki kuil, maka mereka ini agaknya tidak mau ribut-ribut, dan mengejar seenaknya saja.

Han Han yang menggandeng Lulu terus lari sampai di ruangan belakang yang amat luas. Tampak banyak daun-daun pintu tertutup dan ketika Han Han tiba di ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara halus namun penuh wibawa.

"Orang muda yang diperalat iblis berlututlah dan menyerah!"

Han Han dan Lulu mengangkat muka ke atas karena suara jtu seperti datang dari atas, akan tetapi diatas tidak tampak apa-apa kecuali langit-langit rumah. Ketika mereka menoleh ke kiri, ternyata di situ telah berdiri seorang hwesio tua bermuka kurus bertubuh kecil jangkung yang berwajah angker penuh wibawa. Hwesio kurus ini kepalanya gundul kelimis, alisnya tebal dan kumis jenggotnya jarang, tangan kirinya memegang seuntai tasbih dan pakaiannya sungguhpun sederhana namun masih jelas berbeda dengan pakaian para hwesio lain, juga kepalanya diikat tali dengan “hiasan” benda kecil runcing seperti jimat di atas kepala. Hwesio ini adalah Ceng San Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang memandang Han Han dengan sinar mata penuh teguran.

Han Han menarik tangan Lulu hendak lari keluar lagi. Melihat hwesio tua itu, Han Han maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi begitu ia membalikkan tubuhnya, Ceng To Hwe-sio dan tiga orang muridnya sudah tiba di situ dan berdiri memenuhi ambang pintu yang menuju keluar. Mereka berempat ini memandang dengan sinar mata penuh kemarahan.

"Suheng, dia inilah bocah yang telah membunuh murld-murid Siauw-lim-pai, bahkan di luar tadi telah membunuh dua orang muridku. Mohon keputusan ketua !" berkata Ceng To Hwesio sambil menahan kemarahannya. Kalau menurutkan kemarahan hatinya, ingin ia turun tangan terus membunuh bocah itu, akan tetapi karena yang berkuasa memutuskan sesuatu adalah Ceng San Hwesio sebagai ketua Siauw-lim-pai, ia menahan kemarahannya dan menyerahkan keputusannya kepada Ceng San Hwesio.

"Omitohud, malapetaka menimpa Siauw-lim-pai tiada henti-hentinya…….semoga Tuhan mengampuni kita sekalian……!” Ceng San Hwesio menekan kemarahannya dan berdoa, kemudian memandang kepada Han Han sambil berkata, "Orang muda, engkaukah yang bernama Sie Han, pemuda yang telah membunuh murid-murid pinceng Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, kemudian membunuh pula beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dan kini bahkan membunuh dua orang murid keponakanku? Heh, orang muda yang berhati kejam, apakah sebabnya engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Apakah enskau murid Hoa-san-pai?”

Han Han menjura penuh hormat setelah kini la tahu bahwa hwesio itu adalah ketua Siauw-lim-pai. "Harap Locianpwe sudi mempertimbangkan dan tidak tergesa-gesa sepertl yang lain menjatuhkan tuduhan yang bukan-bukan. Saya bukanlah murid Hoa-san-pai, juga tidak mempunyal hubungan apa-apa dengan Hoa-san-pai. Adapun tentang pembunuhan yang saya lakukan terhadap anak murid Siauw-lim-pai ketika mereka bentrok dihutan dengan murid-murid Hoa-san-pai tidak perlu saya sangkal, dan memang saya melakukan pembunuhan itu sunggupun hal itu bukan menjadi kehendak saya. Juga tewasnya dua orang hwesio yang mengeroyok saya di luar itu terjadi bukan atas kehendak saya. Akan tetapi tentang kematian dua orang murid Locianpwe, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, saya tidak tahu-menahu dan justeru kedatangan saya ini hendak menjelaskan semua duduknya perkara sehingga timbul bentrokan antara Hoa-san-pai, dan Siauw-lim-pai, kemudian yang me-, nyeret diri saya sebagai orang luar karena kebetulan saja dan karena salah pengertian sebagai korban dari tipu muslihat keji seorang Puteri Mancu."

"Orang muda, setelah membunuh sekian banyaknya murid-murid Siauw-lim-pai, engkau datang ke sini dengan alasan hendak memberi penjelasan, akan tetapi sambil membunuh pula dua orang murid Siauw-lim-pai lainnya. Begitukah caramu hendak memberi penjelasan? Apakah engkau hendak menghilangkan dosa dengan pembunuhan lain lagi?"

"Maaf, Locianpwe. Sudah kukatakan tadi bahwa tewasnya Losuhu di luar itu bukanlah kehendak saya. Saya dikeroyok dan mereka berkeras menolak keinginan saya bertemu dengan Nona Lauw Sin Lian dan dengan Locianpwe sebagai ketua untuk memberi penjelasan, akan tetapi mereka menggunakan kekerasan. Terpaksa saya melawan untuk membela diri dan akhirnya dua di antara para losuhu tewas….."

"Suheng! Setan cilik ini telah menginjak-injak kehormatan .Siauw-lim-pai telah membunuh dengan cara keji tujuh orang murid-murid Siauw-lim-pai kemudian sekarang membunuh pula dua orang murid tingkat pertama, bahkan kematian Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek tentu akibat perbuatannya pula karena memang dia memiliki ilmu setan. Harap Suheng sekarang memberi keputusan agar saya dapat turun tangan menangkap atau membunuhnya," kata Ceng To Hwesio yang merasa marah sekali atas kematian dua orang muridnya yang tersayang.

Tidak hanya Ceng To Hwesio yang merasa sakit hatinya oleh kematian para murid Siauw-lim-pai. Biarpun ketua Siauw-lim-pai sendiri, Ceng San Hwesio, juga merasa sakit hati. Akan tetapi sebagai seorang ketua yang berpikiran luas dan berpemandangan jauh ia tidak mau bertindak sembrono. Urusan Siauw-lim-pai dengan Hoa-san-pai jauh lebih penting dan lebih besar dari pada urusan dendam terhadap orang muda ini, pikirnya. Maka ia menindas perasannya dan berrtanya.

"Orang muda she Sie, engkau hendak menyampaikan penjelasan tentang sebab-sebab bentrokan antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. penjelasan yang kauawali dengan pembunuhan baru lagi. Penjelasan apakah gerangan? Coba kausampaikan kepada pinceng untuk dlpertimbangkan."

Han Han maklum bahwa keadaannya terhimpit dan terancam. la malah merasa pening dan seluruh tubuhnya sakit-sakit, sedangkan Lulu yang memegang lengannya dari belakang kelihatan pucat dan tangan gadis itu agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang dan takut. Kenyataan bahwa kedatangannya ini menimbulkan pembunuhan-pembunuhan baru membuat perkara menjadi makin ruwet. Akan tetapi karena memang hatinya tidak mengandung pamrih apa-apa, tidak pula mempunyai niat untuk menonjolkan atau menguntungkan diri sendiri, melainkan hanya bertindak untuk membela diri dari serangan-serangan maut, dengan suara tenang ia lalu berkata.

"Locianpwe, semua peristiwa yang terjadi sehingga mengakibatkan korban-korban yang tewas di antara murid-murid Siauw-lim-pai dan juga Hoa-san-pai, adalah disebabkan oleh siasat adu domba yang amat licin dari seorang puteri Mancu yang bernama Puteri Nirahai. Mula-mula terjadi pembunuhan atas diri dua orang Locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam yang merupakan rahasia, akan tetapi yang pertama kali membawa datang kedua jenazah itu adalah Puteri Nirahai itulah." Kemudian dengan tenang Han Han menceritakan semua peristiwa yang didengarnya dari fihak Hoa-san-pai tentang pengiriman peti oleh puteri Mancu, dan betapa peti-peti itu dikawal oleh murid Hoa-san-pai kemudian di tengah jalan dihadang oleh murid-murid Siauw-lim-pai sehingga terjadi pertempuran.

"Saya dan adik saya kebetulan lewat di tempat pertempuran dan karena saya mengira bahwa murid-murid Siauw-lim-pai adalah perampok-perarnpok yang hendak merampas kereta yang dikawal Pek-eng-piauwkiok, saya lalu membantu Pek-eng-piauwkiok dan dalam pertandingan itu saya dikeroyok dan akibatnya tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang saya kira perampok ltu tewas. Setelah muncul Nona Lauw Sin Lian yang saya kenaI diwaktu kecil, yang membuka dua peti terisi jenazah, barulah saya menjadi kaget dan kembali saya salah sangka, mengira bahwa fihak Hoa-san-pai yang jahat dan turun tangan membunuh dua orang pimpinan Pek-eng-piauwkiok yang menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Saya sudah menjelaskan persoalan ini kepada pimpinan Hoa-san-pai, dan biarpun hasilnya, tidak begitu memuaskan, saya tetap mendatangi Siauw-lim-si untuk memberi penjelasan pula kepada ketua Siauw-lim-pai dan kepada Nona Lauw Sin Lian. Sungguh menyedihkan bahwa kedatangan saya dikeroyok dan akibatnya dua orang murid Siauw-lim-pai tewas. Sekarang terserah kepada keputusan Locianpwe."

Ceng San Hwesio diam-diam terkejut sekali dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bohong tidaknya cerita yang ia dengar dari mulut pemuda aneh ini. Kalau tidak bohong, benar-benar Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai terancam kehancuran kalau melanjutkan permusuhan yang dijadikan umpan perpecahan oleh fihak penjajah. Akan tetapi siapa tahu kalau cerita itu hisapan jempol belaka? Pemuda ini amat aneh dan lihai, siapa dapat menjenguk isi hatinya?

"Suheng, harap jangan percaya dia! Masih ingat pinceng akan cerita Sin Lian bahwa bocah ini adaJah murid Kang-thouw-kwi Gak Liat dan tadi pun dia mengeluarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang! Tentu kedua orang murid Suheng dia pula yang membunuhnya!" Ceng To Hwesio berkata. bukan untuk memanaskan hati suhengnya, melainkan karena ia menduga keras bahwa Han Han adalah seorang musuh besar.

Sinar mata Ceng San Hwesio berkilat. “Hemmm, Gak Liat manusia yang keji dan jahat. Sekarang muridnya lebih kejam lagi……, omitohud! Sie Han, kau lebih baik menyerahkan diri, jangan melawan. Kau harus menjadi tawanan kami untuk kemudian diperiksa lebih lanjut.”

" Locianpwe, sebagai seorang ketua perkumpulan besar, apakah Locianpwe tidak dapat menggunakan kebijaksanaan? Kakakku tidak bersalah, memaksa diri datang kesini untuk memberi penjelasan agar jangan terjadi permusuhan berlarut-larut antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Akan tetapi sampai disini malah hendak ditawan. Hayo kembalikan pedangku dan biarkan kami berdua pergi dari sini kalau Locianpwe tidak suka mendengarkan penjelasan Kakakku!" Lulu yang tadinya kelihatan takut-takut itu kini melangkah maju dan bicara dengan suara membentak-bentak kepada ketua Siauw-lim-pai .

Jari-jar itangan kiri Ceng San Hwesio menggerak-gerakkan tasbihnya ketika ia memandang Lulu ,alisnya berkerut dan ia bertanya halus, "Nona muda, siapakah namamu?"

"Namaku Lulu dan aku adalah adik Kakakku Han Han ini."

"Nona bukan murid Hoa-san-pai?"

"Bukan, juga Kakakku bukan murid Hoa-san-pai, bukan pula murid Gak Liat.”

Bibir hwesio tua itu tersenyum. "Hem, Nona bicara tidak karuan. Kalau bukan murid Hoa-san-pai, bagaimana pedang Cheng-kong-kiam bisa berada di tangan-mu? Pedang itu adalah pedang pusaka Hoa-san-pai dan biasanya hanya dipergunakan oleh fihak pimpinan Hoa-san-pai."

"Ohhh, itu? Pedangku yang dirampas oleh hwesio jahat ini? Sama saja dengan hwesio itu, Locianpwe, aku merampas dari tosu Hoa-san-pai?”

"Hemmm, merampas dari tosu Hoa-san-pai?"

"Apa bedanya dengan hwesio ini? Dia pun merampas pedangku! Aku diserang tosu Hoa-san-pai dan aku merampas pedangnya."

Tiba-tiba Ceng To Hwesio maju dan berkata, "Nona muda yang lancang mulut. Benarkah engkau Adik pemuda ini? Pinceng tidak percaya!"

Lulu membelalakkan matanya kepada hwesio yang dibencinya itu, yang telah memegang pedangnya. "Kau percaya atau tidak bukan urusanku! Aku adalah adik angkat Kakakku ini dan aku tidak membutuhkan kepercayaanmu!"

"Suheng, gadis ini adalah keturunan Mancu!" tiba-tiba Ceng To Hwesio berkata. "Lihatlah matanya, lihat hidungnya dagunya Dia berdarah Mancu!”

" Memang aku gadis mancu, habis engkau mau apa?" .

" Omitohud……kalau begitu benar. Mereka ini adalah mata-mata penjajah yang dipergunakan untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Bocah kejam, terpaksa pinceng. Turun tangan kepadamu!" Ceng San Hwesio berseru dan tiba-tiba dia menggerakkan kaki maju dua langkah dan tangan kanan-nya mendorong ke depan, mencengkeram ke arah pundak Han Han.

Pemuda yang sudah sakit-sakit rasa tubuhnya ini ketika mendengar suara mencicit keluar dari tangan ketua Siauw-lim-pai, terkejut bukan main. Cepat ia miringkan tubuh, agak merendah dan dengan nekat ia mengangkat tangan menangkis ke arah tangan hwesio yang terulur itu.

" Plakkk!”

" Omitohud…..,mentakjubkan!" CengSan Hwesio berseru dan meloncat ke

belakang untuk mematahkan daya dorong yang dapat. merusak kuda-kuda kakinya. Akan tetapi Han Han terpental ke belakang dan roboh terguling-guling. Ternyata bahwa dalam hal tenaga, bahkan kakek ketua Siauw-lim-pai ini sendiri tak mampu mengatasi Han Han, akan tetapi karena kakek ini amat lihai, ketika tangan mereka bertemu tadi Ceng San Hwesio telah menggerakkan pergelangan tangan sehingga Han Han terdorong dari samping dan kena dilontarkan ke belakang!.

"Kalian benar-benar menghendaki nyawaku? Hemmm…….majulah, aku Sie Han bukannya orang yang takut mati!" bentak Han Han, kemarahannya membuat wajahnya menjadi merah sekali dan kelihatannya beringas menyeramkan, sinar maut terpancar dari sepasang matanya. Ceng San Hwesio maklum bahwa anak muda ini benar-benar merupakan bahaya dan bahwa kalau dia sendiri tidak turun tangan, tentu akan sukar bagi murid-muridnya menundukkan Han Han tanpa mengorbankan nyawa banyak anak murid Siauw-lim-pai lagi. Sebagai ketua Siauw-lim-pai, tentu saja dia berpantang membunuh, akan tetapi karena maklum bahwa pemuda ini sukar dikalahkah dan memiliki sinkang yang amat luar biasa, ia lalu melangkah maju, siap menurunkan tangan menyerang. Juga Ceng To Hwesio bersama tiga orang muridnya sudah maju mengurung Han Han yang beringas dan marah sedangkan Lulu masih berdiri terbelalak penuh kekhawatiran memandang kakaknya.

Keadaan itu amat menegangkan, terutama sekali bagi Lulu yang seolah-olah melihat betapa kakaknya yang tercinta itu hendak disembelih, hendak dibunuh di depan matanya. Ia amat bangga dan yakin akan kelihaian kakaknya, akan tetapi kini ia mengerti bahwa kakaknya bukanlah lawan hwesio-hwesio yang saktii ini. Ia pun bersiap-siap untuk menyerbu untuk membela kakaknya, karena kalau sampai kakaknya tewas, ia pun tidak mau hidup lebih lama lagi ingin mati disamping kakaknya. Dalam detik seperti itu terasa benar di hati Lulu betapa ia mencinta kakaknya, betapa di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa lagi, betapa hidupnya akan kosong dan hampa kalau Han Han mati. Perasaan ini seperti duri-duri menusuk jantungnya, membuat Lulu tanpa disadarinya memekik nyaring.

"Koko……! Aku ingin mati bersamamu……!”

Jeritan melengking yang keluar dari mulut Lulu ini langsung keluar dari hatinya, maka mengandung getaran hebat. Ceng San Hwesio bersama sutenya dan tiga orang muridnya itu, sudah siap menerjang maju membinasakan Han Han tergetar oleh jeritan ini. Mereka adalah hwesio-hwesio y.ang berilmu, hwesio-hwesio yang mengutamakan kebajikan yang penuh dengan welas asih dan cinta kasih terhadap sesama hidup. Mereka sama sekali bukanlah orang-orang kejam, bahkan mereka telah berhasil mengusir jauh-jauh nafsu kebencian. Kalau mereka hendak turun tangan membunuh Han Han, hal ini dilakukan dengan perasaan demi menjaga keutuhan den kelangsungan Siauw-lim-pai yang terancam kedudukannya. Kini mendengar lengking itu, hati mereka tertusuk dan sejenak mereka berdiri melongo memandang Han Han yang berdiri dengan muka beringas dan darah mengalir dari pundak, hidung dan ujung bibirnya.

Pada detik-detik yang sunyi itu terdengarlah suara halus yang seolah-olah terbawa asap dupa yang mengepul keluar dari balik daun pintu tertutup sebelah kiri, suara yang penuh getaran pula.

"Siancai…..,hidupnya belum terisi, mengapa ingin mati? Aduhai, sebentar lagi tubuh itu terbujur di dalam tanah, busuk menjijikkan, tanpa kesadaran, tidak ada, gunanya seperti kayu habis dimakan api….! Omitohud….,Ceng San…., apa yang hendak kaulakukan di luar? Kesinilah segera!"

Mendengar suara ini, lima orang hwesio yang mengurung Han Han itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dengan muka menghadap daun pintu tertutup dari mana mengepul keluar asap dupa harum itu. Kemudian Ceng San Hwesio lalu melompat sambil berlutut dan tubuhnya yang masih berlutut itu melayang ke arah daun pintu, tangan kanan mendorong daun pintu terbuka dan tubuhnya terus meluncur masuk ketika daun pintu itu tertutup kembali. Han Han memandang penuh kagum. Mengertilah ia bahwa kepandaiannya masih amat jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan hwesio-hwesio tokoh Siauw-lim-pai ini. la maklum bahwa biarpun Ceng San Hwesio sudah pergi, namun tetap saja ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari maut kalau ia melawan Ceng To Hwesio, apalagi jika hwesio sakti ini dibantu oleh tiga orang muridnya. Maka ia lalu menggandeng tangan Lulu dan berlarilah Han Han menuju ke pintu yang tadi dimasuki Ceng San Hwesio.

"Hei, berhenti kau….!” Ceng To Hwesio membentak dan ketika Han Han tidak mempedulikannya, Ceng To Hwesio mengirim pukulan jarak jauh dari belakang. Kembali Han Han mendengar suara bercuit dari belakang dan ia maklum bahwa ia dipukul dengan hawa sakti yang amat kuat. Maka ia cepat menarik tubuh Lulu agar berlindung di belakang, kemudian. ia membalik sambil menggerakkan tangan menangkis. Namun tetap saja tubuhnya terlempar bersama tubuh Lulu, menabrak dinding akan tetapi malah dekat dengan pintu itu yang cepat ia buka sambiI melompat masuk dan menarik tangan adiknya. Kepalanya pening sekali, napasnya sesak dan kemarahannya makin memuncak.

"Koko, kita ke mana ?" tanya Lulu terengah-engah.

"Biarlah…..akan kucari Ceng San Hwesio….kalau perlu aku mati bersama dia! Aku akan mengadu nyawa dengan ketua Siauw-lim-pai….,mati di tangannya tidak penasaran.”

"Koko…..!" Lulu menjadi pucat akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya tidak berani mengejar, bahkan sudah berlutut lagi menghadapi pintu, hatinya menjadi lega. Memang tidak seorang pun hwesio Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya, berani memasuki kamar-kamar yang daun pintunya berjajar diruangan luas sebelah belakang kuil ini. Itulah kamar-kamar yang disebut "ruangan penyiksaan diri" dan merupakan tempat terlarang bagi para hwesio lainnya. Kalau tadi tidak medengar suara supek-nya memanggil, Ceng San Hwesio sendiri tidak akan berani memasuki kamar melalui daun pintu itu. lnilah sebabnya mengapa Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya tidak berani mengejar Han Han dan Lulu yang memasuki kamar terlarang ini.

Dengan alis berkerut dan wajah masih beringas darah masih menetes-netes dari hidung dan mulut sebagai akibat gempuran pukulan terakhir Ceng To Hwesio tadi, mata masih berkunang dan kepala berdenyut-denyut, Han Han memasuki lorong yang menembus pintu tadi, dipegang lengannya oleh Lulu yang memandangnya penuh kekhawatiran. Han Han seperti terbetot asap dupa harum karena kakinya bergerak melangkah maju menempuh asap dupa dan menghampiri kamar dari mana dupa itu mengepul keluar. Ia melangkah ke ambang pintu kamar itu dan berdiri tertegun sambil memegangi pundaknya yang terasa perih karena darahnya keluar lagi ketika terbanting tadi. Seperti terpesona. Han Han memandang ke dalam kamar sedangkan Lulu yang juga memandang ke dalam kamar dan melihat tiga orang hwesio di .kamar itu, memandang kakaknya dengan hati gelisah. Dengan sinar matanya ia seolah-olah hendak melarang kakaknya turun tangan, karena betapa mungkin kakaknya melawan tiga orang hwesio tua itu?

Ternyata Han Han tidak turun tangan, bahkan berdiri seperti arca, terpesona oleh pemandangan den pendengaran di dalam itu. Di atas sebuah dipan bamboo sederhana duduk seorang hwesio yang amat tua, begitu tua dan kurusnya seperti rangka terbungkus kulit. Kepalanya gundul halus mengeluarkan sinar, alis, kumis dan jenggotnya Seperti menjadi satu berjuntai ke bawah berwarna putih, mukanya tunduk dan matanya terpejam, tubuhnya terbungkus kain kuning yang kasar dan tangan kanannya memegang sebuah kipas daun. Hwesio ini duduk bersi!a dan di sebelah kirinya, di dekat kaki dipan, duduk bersila sambil menundukkan muka pula seorang hwesio lain yang keningnya selalu berkerut, mulutnya cemberut dan matanya terpejam. Hwesio ini pun sudah tua sekali, dan agaknya dialah yang melayani segala keperluan hwesio tua di atas dipan. Sebuah pedupaan berada di dekat hwesio pelayan ini dan agaknya dia pula yang membakar dupa bubuk di pedupaan itu. Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai tampak duduk berlutut di depan hwesio tua renta itu dengan sikap penuh hormat. Kamar itu sendiri kosong dan buruk tua, tidak ada hiasan apa-apa kecuali dipan itu dan sebuah meja kayu di mana terdapat sebuah guci air.

Terdengar oleh Han Han suara yang halus seperti suara tadi yang keluar dari daun pintu bersama asap dupa dan sungguhpun bibir kakek tua itu tidak bergerak, namun ia dapat menduga bahwa itulah suara hwesio tua yang bersila diatas dipan.

"Jangan menilai perbuatan orang lain yang tidak patut maupun dosa-dosa dan kejahatan orang lain, melainkan perbuatan dan penyelewengan diri sendirilah yang harus selalu diperhatikan. Harum semerbaknya bunga-bunga tagara, malika dan kayu cendana tak dapat tersebar melawan arahnya angin, akan tetapi harum semerbaknya nama baik seseorang bahkan sampai tersebar melawan arahnya angin. Sama seperti dionggokan sampah kotor tumbuh bunga teratai yang bersih dan indah, demikian pula seorang murid Buddha tetap bijaksana seperti teratai diantara orang-orang sesat. Wahai, Ceng San, apakah engkau sudah melupakan semua pelajaran itu?"

Han Han terpesona, tak berani bergerak dan tak berani berkedip, memandang kakek tua itu dan mendengarkan kata-katanya. Ia pernah membaca kata-kata yang keluar dari dalam mulut kakek itu, mengenal kata-kata itu dari kitab-kitab Agama Buddha yang pernah dibacanya. Akan tetapi entah bagaimana dia sendiri tidak mengerti, mendengar kata-kata bersajak itu keluar dengan suara getaran aneh dari tubuh hwesio ini, terasa dingin sejuk dan sekaligus membuka mata batinnya, membuatnya terpesona dan ingin mendengarkan terus.

"Teecu selalu ingat akan semua pelajaran dan tidak pernah melupakannya. Akari tetapi, Supek, urusan yang melanda Siauw-lim-pai ini adalah urusan besar sekali. Teecu bukan bertindak berdasarkan dendam kebencian melainkan karena ingin menjaga nama besar Siauw-lim-pai. Siauw-lim-pai yang didirikan ratusan tahun yang lalu oleh Couwsu kita, kalau tidak dijaga dan dipertahankan, bukankah hal itu merupakan dosa besar terhadap Couwsu? Siauw-lim-pai diadu domba dengan Hoa-san-pai, murid-murid Siauw-lim-pai pilihan telah dibunuh orang, kini pembunuhnya muncul pula di kuil kita dan membunuh pula murid-murid Siauw-lim-pai, bahkan mengajak datang seorang gadis Mancu mengotori kuil kita. Mohon petunjuk, Supek. Apakah teecu bersikap dungu kalau teecu hendak membasmi manusia sesat dan keji itu dari permukaan bumi agar perbuatan-perbuatannya tidak menimbulkan mala petaka yang lebih hebat lagi? Tidak benarkah perbuatan teecu seperti itu?"

Terdengar suara halus itu keluar dari balik jenggot tanpa pergerakan bibir dan kini suara itu mengeluarkan nyanyian halus yang ternyata adalah ayat-ayat kitab suci dari Agama Buddha yang pernah pula dibaca Han Han:



"Si dungu dengan perbuatannya

mencipta diri sendiri

menjadi musuh banyak manusia

di mana pun dia melakukan kejahatan

yang menimbulkan banyak penderitaan.



Tidak benarlah perbuatan

yang menimbulkan duka nestapa

penyesalan, ratap tangis dan air mata.

Benarlah perbuatan

yang mendatangkan manfaat

kegembiraan dan kebahagiaan.”



Biarpun ucapan itu ditujukan kepada Ceng San Hwesio, namun secara aneh sekali meresap ke dalam sanubari Han Han dan pemuda ini merasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada dirinya sehingga menimbulkan pertanyaan di hatinya apakah selama ini perbuatannya itu benar? Ia mengangapnya benar, akan tetapi melihat akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya, setelah mendengar ucapan kakek itu, ia menjadi ragu-ragu. Betapa banyaknya kekacauan dan keributan timbul sebagai akibat perbuatan-perbuatannya itu! Siapakah yang untung, gembira dan bahagia oleh perbuatannya? Tidak ada? Siapa yang rugi! Yang jelas saja, Hoa-san-pai memusuhi nya karena dia telah membunuh beberapa orang anak muridnya, kini Siauw-lim-pai juga memusuhinya, belum lagi diingat Sin Lian yang begitu baik kepadanya kini menjadi sakit hati dan membencinya!

Dengan hati perih seperti ditusuk pedang dan perasaan penuh keharuan, Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah kakek di atas dipan itu sambil berkata.

"Aduh, Locianpwe yang mulia……., boanpwe Sie Han merasa menyesal sekali atas segala kejahatan yang boanpwe lakukan……mohon Locianpwe segera turun tangan menghukum……"

Lulu juga berlutut, bukan berlutut untuk menghormat kakek itu melainkan untuk merangkul pundak kakaknya dengan penuh kekhawatiran. "Koko, mengapa begini? Kita tidak bersalah apa-apa, engkau tidak melakukan kejahatan. Mari kita pergi saja, Koko….., kalau mereka tidak sudi mendengarkan penjelasanmu, mari kita pergi saja !" Suara Lulu terdengar begitu menyedihkan dan sepasang mata yang lebar itu mengucurkan air mata.

"Diamlah, Lulu, diamlah……biarkan Kakakmu mendengarkan wejangan Locianpwe yang mulia ini, dan kau juga…..perlu mendengarkan, Lulu….." kata Han Han tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah kakek tua renta yang masih menunduk.

Sementara itu, tanpa mempedulikan kehadiran Han Han dan Lulu, Ceng San Hwesio berkata pula dengan suara penasaran, "Mohon maaf, Supek. Kalau Supek menganggap bahwa keputusan teecu untuk membunuh pemuda jahat itu tidak benar, habis bagaimanakah teecu harus berbuat menurut pendapat Supek? Teecu mengambil keputuan berdasarkan pertimbangan yang masak dan adil. Pertama, bocah ini adalah murid Gak Liat dan mengingat betapa Gak Liat telah merusak hidup cucu murid teecu sendiri, Bi-kiam Bhok Khim maka berarti bahwa muridnya ini pun bukan manusia baik-baik……”

Tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding tebal di sebleah kanan jebol dan berlubang besar, kemudian muncullah seorang wanita dari dalam lubang itu, seorang wanita yang memondong seorang anak laki-laki berusia kurang lebih enam tahun, dan keadaan wanita itu sungguh mengerikan. Pakaiannya hitam compang-camping, rambutnya panjang riap-riapan sampai ke pinggul, wajahnya yang masih jelas membayangkan kecantikan itu kotor dan menyeramkan sekali karena pandang matanya berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek. Anak laki-laki itu tampan dan mukanya putih, juga memakai pakaian hitam yang tidak karuan bentuknya, kaki nya telanjang dan rambutnya pun panjang.

"Hi-hi-hik! Biar gurunya jahat, murid-nya mungkin baik. Biar gurunya baik, banyak sekali muridnya yang jahat. Kang-thouw-kwi adalah setan neraka jahanam, akan tetapi bocah ini tidak jahat. Sama sekali tidak……dia berani menentang setan itu dahulu untuk menolongku."

Sementara itu, Ceng San Hwesio memandang wanita itu dengan mata terbelalak, dan setelah wanita itu mengeluarkan kata-kata tadi, barulah ketua Siauw-lim-pai ini agaknya dapat menekan kekagetannya dan berkata, "Bhok Khim...!Kau…. kau…. dan anak itu…."

Wanita itu membalikkan tubuhnya menghadapi ketua Siauw-lim-pai yang masih berlutut, wajahnya berseri aneh ketika ia berkata, "Hi-hi-hik, Sukong, engkau heran melihat anak ini? Dia ini anakku! Hi-hik, engkau ketua Siauw-lim-pai pun tidak tahu bahwa di dalam kamar penyiksa diri aku melahirkan anakku ini. Hi-hik! Selama ini Siauw-lim-pai tidak mampu membasmi Kang-thouw-kwi, biarlah aku sendiri yang akan membunuhnya." Sambil berkata demikian,tubuhnya membalik dan berkelebat cepat sekali pergi dari ruangan itu.

"Supek, apakah artinya itu? Mengapa Bhok Khim menjadi seperti itu….?” Ceng San Hwesio bertanya kepada supeknya.

Hwesio tua itu menarik napas panjang lalu terdengar suaranya, "Kehendak Thian tak dapat diubah oleh siapapun juga. Dia telah mencuri belajar ilmu yang pinceng berikan kepada Siauw Lam, dan keadaan jiwanya yang tertekan membuat ia keliru mempelajari ilmu-ilmu itu. Dunia akan bertambah seorang tokoh yang akan membikin geger. Ceng San muridku, orang muda ini seorang yang menderita, sama halnya dengan Bhok Khim tadi. Betapun juga, pinceng tidak melihat dasar-dasar jahat. Menurut pinceng, sebaiknya membebaskan orang muda ini, akan tetapi karena engkau yang menjadi ketua Siauw-lim-pai, keputusannya terserah kepadamu. Nah, cukuplah pinceng bicara."

Ceng San Hwesio memberi hormat lalu bangkit berdiri, mukanya agak keruh ketika ia berkata, "Mendengar perintah Supek, bagaimana teecu berani membantahnya? Biarlah sesuai dengan perintah supek, teecu akan membebaskan. Dia dan gadis Mancu itu untuk sekali ini. Akan tetapi, mengingat akan kematian para murid-murid, teecu tidak mungkin dapat membebaskan dia untuk seterusnya dan lain kali dalam lain kesempatan, tentu teecu akan memerintahkan untuk menangkap dan kalau perlu membunuh dia." Setelah berkata demikian, kembali Ceng San Hwesio memberi hormat kepada supeknya, lalu membalikkan tubuh keluar dari kamar itu dengan wajah muram.

"Siancai……, siancai……, lahir dan batin memang selalu bertentangan, betapa mungkin disatukan? Siauw Lam, tahukah engkau, apa yang harus dilakukan manusia yang hidup di tengah antara dua kekuatan raksasa lahir dan batin?" Kakek itu bertanya tanpa menoleh

Hwesio pelayan yang bernama Siauw Lam Hwesio, masih duduk bersila. Dan kini terdengar suaranya yang pertama kali, suara yang kasar dan serak seperti kaleng diseret.

"Karena sifatnya bertentangan, menyatukannya berarti menghentikan hidup karena justeru keadaan hidup yang membuat keduanya bertentangan. Yang seyogianya dilakukan manusia adalah menyesuaikan dan menyelaraskan keduanya sehingga berimbang."

"Baik sekali pendapatmu, Siauw Lam. Eh, orang orang muda, engkau masih di sini? Apakah yang kaukehendaki?"

Han Han yang sejak tadi masih berlutut, lalu menjawab, "Boanpwe yang banyak melakukan hal-hal yang menimbulkan malapetaka bagi orang lain, boanpwe merasa bingung sekali dan mohon peunjuk Locianpwe apa yang harus boanpwe lakukan selanjutnya dalam hidup yang penuh pertentangan ini."

Kini tubuh hwesio tua itu bergerak sedikit, mukanya diangkat menghadapi Han Han dan mata yang terpejam itu bergerak-gerak, terbuka sedikit, menyipit, akan tetapi kagetlah Han Han ketika dari balik garis mata itu menyambar keluar sinar mata yang lembut dan tenang sekali, setenang lautan yang luas.Sejenak mereka saling pandang dan kalau sinar mata Han Han yang pada saat itu masih dikuasai kemarahan itu dapat di umpamakan api bernyala-nyala, maka.sinar mata kakek itu seperti air yang tenang dan dingin. Di dalam sinar mata Han Han terdapat pengaruh mujijat yang membawa isi pikirannya dengan tenaga batin yang luar biasa kuatnya sehingga kakek itu merasa betapa dia dipaksa oleh tenaga gaib untuk memberi petunjuk kepada orang muda itu. Kakek yang puluhan tahun lamanya mengasingkan diri dan bertapa ini, mengeluarkan suara halus penuh kekaguman.

"Siancai……patut dikasihai orang muda yang malang. Pinceng hanya dapat memberi dua nasihat kepadamu. Pertama ambillah pedang dan potonglah kaki kiri mu. Dan ke dua, belajarlah mengalah terhadap siapapun juga. Nah, pergilah orang muda."

Han Han masih berlutut, mukanya pucat dan matanya terbelalak, hampir ia tidak percaya akan ucapan kakek itu.Tadinya ia amat terpesona dan terpengaruh oleh semua ucapan kakek itu, akan tetapi bagaimana kini kakek itu memberi nasihat seperti ini kepadanya? Disuruh membuntungi kakinya sendiri! Kalau disuruh belajar mengalah ia masih dapat menerimanya, akan tetapi disuruh membuntungi kaki sendiri?

"Eh, hwesio tua, kiranya engkau pun sarna saja, sama jahatnya dengan yang lain-lain! Apakah semua orang di sini sudah begitu palsu sehingga perlu menyembunyikan sifat jahat dan dengkinya di balik kepala gundul dan pakaian pendeta? Hanya orang gila yang menasihati orang disuruh membuntungi kakinya, dan hanya orang gila pula yang akan menuruti nasihat gila itu!" Lulu membentak dan kini bangkit berdiri, menarik tangan kakaknya sehingga Han Han pun bangkit berdiri pula. Akan tetapi kakek. Yang dimakinya itu telah bersamadhi pula dan sama sekali tidak terpengaruh, wajah yang seperti tengkorak terbungkus kulit itu seperti telah mati. Hanya hwesio pelayan itu yang kini mengangkat mukadan tiba-tiba matanya terbuka sambil berkata.

"Nona, memang dunia ini seperti panggung orang-orang gila bermain komidi, gila oleh nafsu mereka sendiri. Harap kalian pergi dan jangan mengganggu kami.

"Lulu menjadi makin marah. Ia kaget melihat sinar mata hwesio pelayan itu seperti dua bola api menyerangnya, akan tetapi gadis itu memiliki keberanian luar biasa kalau dia merasa benar. " Memang penuh orang-orang gila dan kalian lebih gila daripada orang-orang gilla!” teriaknya. "Apa artinya hidup kalian ini? Apakah gunanya bertapa mengasingkan diri di sini? Apa untungnya bagi dunia? Apa manfaatnya bagi manusia lain? Paling-paling berguna dan bermanfaat bagi diri kalian sendiri. Phuhhh, berlagak suci dan……”

“Lulu, diam…..!" Han Han terkejut sekali mendengar keberanian adiknya yang memaki-maki seorang hwesio tua yang dijadikan junjungan oleh para murid Siauw-lim-pai. Ia sudah menarik tangan adiknya diajak berlari keluar dari kamar itu. Mereka berdua terus berlari keluar melalui ruangan belakang, ke ruangan tengah kemudian terus ke ruangan luar. Mereka melihat para hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi mereka semua seolah-olah tidak melihat dua orang muda yang berlari keluar itu. Yang membersihkan kuil tetap bekerja, yang membaca doa tidak menghentikan tugas mereka, Dan yang menjaga di luar pun seolah-olah tidak melihat mereka.

Han Han menggandeng tangan Lulu, berlari terus sampai jauh meninggalkan kuil dan setelah mereka memasuki sebuah hutan, barulah Han Han melepaskan tangan Lulu, kemudian ia duduk bersila dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaganya dan menenangkan batinnya yang terguncang. Akan tetapi, biarpun ia tidak menderita luka parah, tubuhnya terasa sakit-sakit, sungguhpun rasa nyeri di tubuhnya tidak seperti rasa perih dihatinya kalau ia terkenang akan ucapan-ucapan hwesio tua di datam kamar penyiksa diri yang seolah-olah membuka mata batinnya betapa sepak terjangnya selama ini mendekati perbuatan sesat, betapa mudahnya ia membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, membunuhi orang-orang gagah murid-murid Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Hatinya merasa menyesal sekali dan pikirannya menjadi bingung.

*

***

Sebuah negara betapa kecil pun, tak kan mungkin dapat ditundukkan dan di jajah negara lain yang lebih besar apa bila rakyatnya bersatu-padu dan berjiwa patriotik, memiliki rasa cinta kasih dan setia bakti kepada tanah airnya. Sebaliknya, betapapun besarnya negara itu, kalau rakyatnya tidak bersatu, dan banyak pula yang berjiwa pengkhianat, negara besar ini mudah saja dijajah oleh negara.yang jauh lebih kecil. Sebagaimana tercatat dalam sejarah,Tiongkok merupakan negara amat besar yang rakyatnya selalu bertentangan sendiri satu kepada yang lain. Perang saudara tak pernah berhenti karena oknum-oknum yangi memperebutkan kedudukan. Apabila ada negara asing yang datang menyerbu dan menjajah barulah bersatu, melupakan permusuhan antara saudara sendiri den bersama-sama menghadapi musuh asing. Sayang sekali, begitu musuh asing dapat diusir keluar dari tanah air pertentangan satu sama lain timbul kembali, memecah-mecahah kekuatan mereka sehingga memungkinkan masuknya kekuatan asing lain lagi ke dalam negeri.

Ketika bangsa Mongol menyerbu Tiongkok, negara ini pun sedang dalam keadaan kacau dan rusak oleh perang saudara sehingga menjadi lemah dan mudah saja ditaklukkan dan dijajah bangsa Mongol.

Setelah seluruh negeri dijajah bangsa Mongol, barulah rakyat bersatu-padu dan tentu saja rakyat yang luar biasa besar jumlahnya itu tidak sukar merobohkan kekuasaan Mongol dan mengusir penjajah ini. Akan tetapi, begitu penjajah Mongol terusir, timbul kembali perang saudara yang tak kunjung henti, susul-menyusul yang melemahkan negara itu sendiri. Karena perang saudara inilah maka kekuasaan Mancu mulai menyelundup memasuki Tiongkok. Dengan dukungan para oknum penjilat yang tidak segan-segan menjual negara dan bangsa demi sekelumit kesenangan duniawi bagi diri pribadi, cepat sekali bangsa Mancu menguasai Tiongkok. Cerita ini dimulai pada tahun 1645 di mana tentara Mancu menyerbu ke selatan dan sekarang, delapan tahun kemudian, hampir seluruh Tiongkok dikuasai bala tentara Mancu yang mempunyai kaisar baru, yaitu Kaisar Kang Hsi, kaisar ke empat dari Kerajaaan Ceng-tiauw atau kerajaan bangsa itu.

Di bawah pimpinan Kaisar Kang His inilah diadakan pembersihan secara besar-besaran terhadap para pejuang yang mempertahankan tanah air menentang penjajah Mancu. Para pejuang melakukan perlawanan mati-matian dan sebagai pusat perjuangan, atau sebagai pucuk pimpinan gerakan para pejuang ini bersumber di Se-cwan di mana Bu Sam Ki menjadi raja muda yang tak pernah mau tunduk terhadap penjajah Mancu.

Seperti lajim dalan jaman perang seperti itu, golongan-golongan terpecah dua, juga golongan kaum kang-ouw. Banyak di antara mereka yang terjun ke dalam perjuangan menentang kekuasaan Mancu, akan tetapi tidak sedikit pula yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan, kemuliaan dan kemewahan secara mudah, yaitu menjadi pembantu pemerintah Mancu dan menen­tang bangsa sendiri yang oleh fihak me­reka disebut pengacau dan pemberontak.

Tanpa disadari oleh manusia sendiri, kehidupan manusia semenjak masih kanak-kanak dan mulai memiliki pengertian tentang perbedaan, tentang baik buruk, senang susah, rugi untung, enak tidak enak, sepenuhnya dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi, nafsu mencari kesenangan duniawi bagi diri pribadi. Namun, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat kebajikan, maka terjadilah perang di dalam hati nurani manusia sendiri. Satu fihak merupakan dorongan nafsu yang mendorong manusia memperebutkan kesenangan bagi diri pribadi, di lain fihak merupakan kesadaran manusiawi yang mencegah manusia melakukan perbuatan­-perbuatan yang tidak benar. Maka lahirlah perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya merupakan hamba nafsu namun yang berkedok kebenaran! Perbuatan yang dilakukan demi dorongan nafsu mementing­an diri pribadi terhibur oleh anggapan bahwa perbuatan itu demi kebenaran. Otak dan akal manusia tidak kekurangan bahan untuk mencari “kebenaran” yang menopengi perbuatan menghamba nafsu ini. Ada saja alasan, yang diperaya pula oleh diri sendiri, bahwa perbuatan ini adalah benar dan demi kebenaran! De­ngan demikian, setiap perbuatan di dunia ini selalu dianggap benar oleh si pembuat sendiri, dan terciptalah pertempuran-pertempuran dalam memperebutkan ke­benaran! Benarnya sendiri-sendiri! Benarnya masing-masing! Benar bagi diri sen­diri yang belum tentu benar bagi fihak lain. Dan terciptalah KEBENARAN NAF­SU, yaitu bahwa apa saja yang menda­tangkan enak, senang dan untung bagi AKU, maka itu adalah BENAR!

Negara adalah wadah sekumpulan manusia yang dipimpin deh manusia pula, oleh karena itu, kebenaran nafsu itu pun dianutnya. Bangsa Mancu yang men­jajah itu pun menganggap mereka benar! Mudah saja! Negara Tiongkok kacau-balau, perang saudara tiada hentinya, rakyat hidup sengsara, ditindas oleh raja-raja muda dan oleh mereka yang berkuasa, terjadi hukum rimba! Kami, bangsa Man­cu, datang untuk membebaskan rakyat daripada jurang kesengsaraan, kami da­tang untuk berusaha mendatangkan kebahagiaan bagi rakyat. Karena itu, serbuan bangsa Mancu ke selatan adalah benar pula! Sungguhpun harus diakui bah­wa akal budi membuat mereka mencari alasan yang cukup kuat dan memang kenyataannya demikian, namun pada ha­kekatnya yang bersembunyi di balik se­mua itu adalah keuntungan! Keuntungan yang didapat dalam penjajahan ini, yang sekaligus membuat bangsa Mancu me­miliki negara yang amat besar dengan penghasilan yang melimpah-limpah serta harta benda yang amat banyak.

Perasaan benar ini bukan dibuat-buat dan memang setulusnya mereka itu me­rasa dirinya benar. Nafsu-nafsu telah menyelubungi kesadaran batin manusia, seperti mendung-mendung hitam tebal menyelubungi sinar matahari. Kegelapan menyelimuti kesadaran sehingga mereka itu tidak sadar lagi bahwa mereka men­jadi permainan dan hamba-hamba nafsu. Banyak sekali orang yang menjadi korban seperti ini, menganggap bahwa apa yang diperjuangkan itu benar dan suci sehingga rela dibela mati-matian.

Demikian pula, di dalam Kerajaan Ceng, banyak terdapat orang-orang gagah yang membela gerakan Mancu ini mati-matian karena merasa bahwa apa yang diperjuangkannya itu adalah demi ke­benaran. Terutama sekali bagi mereka yang menjadi anggauta bangsa Mancu, tentu saja menganggap bahwa berjuang membasmi para “pemberontak” adalah pekerjaan yang semulia-mulianya, peker­jaan orang-orang gagah yang patut dipuji. Banyak sekali tokoh-tokoh kang-ouw yang ternama membantu Kerajaan Ceng-tiauw ini karena mereka itu menganggap bahwa bangsa Mancu yang gagah perkasa telah berhasil mendatangkan kemakmuran di Tiongkok, meredakan perang saudara dan mereka ini mempunyai harapan besar bahwa pemerintah baru ini benar-benar akan dapat mengangkat nasib rakyat jelata. Tentu saja ini hanya alasan mereka, karena banyak sekali di antara mereka melihat “nasib baik” mereka sendiri yang terutama sebagai landasan ban­tuan mereka. Banyak pula datuk-datuk golongan hitam yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi membantu dan hal ini adalah hasil kecerdikan Pangeran Dorgan yang memegang tampuk pimpinan sebagai pengganti Kaisar Abahai karena putera kaisar itu masih sangat muda. Pangeran Dorgan memang cerdik sekali. Pandai mengambil hati para orang pan­dai dan tidak regu-ragu untuk mengeluar­kan biaya besar dalam usaha ini. Di antara tokoh pandai yang terus merupa­kan pengawal-pengawal pilihan dan yang masih terus membantu setelah Kaisar Kang Hsi naik tahta, adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat yang merupakan jago yang diajukan oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok, seorang di antara para pangeran bangsa Han yang telah menghambakan diri kepada Kerajaan Mancu.

Pada suatu hari, para tokoh yang menjadi pengawal-pengawal istana dan penasihat-penasihat mengenai usaha Ke­rajaan Mancu membasmi para pemberon­tak, mengadakan pertemuan atas undang­an Pangeran Ouwyang Cin Kok. Pangeran ini telah banyak jasanya terhadap Kerajaan Mancu, telah terbukti kesetiaannya ketika berkali-kali pangeran ini dengan pengaruh­nya yang besar dan para pembantunya yang pandai menghancurkan golongan pemberon­tak. Karena kepercayaan yang amat besar ini, Pangeran Dorgan pada beberapa tahun yang lalu menghadiahkan seorang puteri Mancu kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok, bahkan setelah Kaisar Kang Hsi menduduki tahta kerajaan, Pangeran Ouwyang Cin Kok yang kini telah dianggap “keluarga kaisar” telah diangkat menjadi panglima bagian ke­amanan yang bertugas melakukan operasi pembasmian terhadap para pemberontak. Dan untuk merundingkan tugas inilah maka pada pagi hari ini Ouwyang Cin Kok meng­undang semua pembantunya dan pembantu para pembesar lain, termasuk pengawal-pengawal kaisar sendiri ke dalam istananya. Dengan pakaian kebesaran sebagai seorang pangeran Kerajaan Ceng-tiauw, Pa­ngeran Ouwyang Cin Kok duduk di atas se­buah kursi yang terukir indah sekali. Pange­ran ini usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi masih tampak tampan dan gan­teng, tubuhnya tinggi besar mukanya me­rah, pakaiannya indah rapi dan rambut ser­ta jenggot kumisnya juga terpelihara baik-baik. Di sebelah kirinya duduk seorang wa­nita Mancu yang cantik, bermata tajam lin­cah, usianya tiga puluh tahun lebih, tubuh­nya montok dan menggairahkan. Itulah pu­teri Kerajaan Mancu, puteri selir Pangeran Dorgan yang diberikan sebagai hadiah kepada Ouwyang Cin Kok dan kini menjadi selir terkasih pangeran ini. Selir ini paling dikasihi, bukan hanya karena cantik mon­tok dan mudanya, melainkan juga terutama sekali karena selir ini menjadi “lambang” kekuasaannya, sebagai pangeran mantu Kerajaan Mancu! Dan untuk mem­perlihatkan kedudukannya yang tinggi ini pulalah maka ketika menyambut datang­nya tokoh-tokoh berilmu yang membantu kerajaan baru, Ouwyang Cin Kok di­temani oleh sang selir.

Dengan dikipasi kebutan terbuat dari bulu-bulu indah burung dewata, dilayani oleh para pelayan wanita muda-muda dan cantik-cantik, Ouwyang Cin Kok dan selirnya itu duduk menanti kunjungan para tokoh berilmu. Berturut-turut mereka datang menghadap dan dipersilakan duduk di ruangan itu yang telah diatur untuk menerima kunjungan mereka.

Yang pertama kali muncul adalah putera Sang Pangeran sendiri, Ouwyang Seng murid terkasih dari Kang-thouw-kwi Gak Liat, se­orang pemuda tinggi tegap yang berwajah tampan berpakaian indah, pesolek dan amat tinggi ilmu kepandaiannya karena dia telah mewarisi Hwi-yang Sin-ciang gurunya. Ber­sama pemuda ini datang pula Nirahai yang segera disambut oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok dengan ramah, karena Nirahai adalah puteri kaisar sendiri dari selir. Tentu saja sebagai puteri kaisar, Nirahai amat dihormat. Puteri Nirahai segera berangkulan dengan selir Ouwyang Cin Kok karena selir Mancu itu masih ter­hitung bibinya, sungguhpun bibi yang sudah jauh. Kemudian mereka berdua ini bercakap-cakap dengan asyiknya yang sama sekali tidak ada hubungannya de­ngan tugas membasmi kaum pemberontak, melainkan percakapan antara wanita yang sudah lama tidak bertemu.

Pangeran Ouwyang Cin Kok dan pute­ranya lalu sibuk menyambut para tokoh berilmu yang berdatangan. Kang-thouw-kwi Gak Liat datang bersama tiga orang muridnya yang lain, yaitu Hiat-ciang Ma Su Nio yang cantik dan genit, dan kedua kakak beradik Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Ketiga orang murid Setan Botak ini merupakan tenaga-tenaga yang penting dan berjasa pula karena ilmu kepandaian mereka sudah amat tinggi. Selain empat orang ini, muncul pula beberapa panglima-panglima yang berpangkat tinggi, di an­taranya adalah dua orang perwira Mancu yang terkenal berjasa dan berpengaruh. Mereka ini adalah orang-orang Mancu aseli, akan tetapi seperti juga kaisar dan para panglima dan menteri yang ber­pangkat tinggi, mereka ini pun meng­gunakan nama Han, dan berpakaian se­perti pembesar-pembesar Han. Seorang di antara mereka adalah seorang panglima tinggi besar gagah menyeramkan, jeng­gotnya yang rapi memenuhi mukanya dari rambut terus melalui pipi bersam­bung ke dagu. Panglima ini bernama Giam Cu, nama baru. Adapun panglima ke dua juga memakai she Giam, namanya Kok Ma. Giam Cu adalah panglima golok besar, sedangkan Giam Kok Ma adalah panglima berkuda bertombak panjang, keduanya memiliki kepandaian tinggi dalam mengatur barisan, juga memiliki ilmu silat yang lihai. Kemudian muncul pula dua orang tokoh kang-ouw yang namanya menggemparkan, yaitu kakak beradik she Bhong. Mereka ini terkenal dengan julukan Tikus Kuburan, karena dahulu pekerjaan mereka adalah mem­bongkar-bongkar kuburan baru untuk men­curi perhiasan-perhiasan yang dipakai mayat-mayat yang dikubur dan dalam hal membongkar kuburan, juga membongkar rumah, mereka adalah ahli-ahli yang sukar dicari keduanya. Yang tua bernama Bhong Lek, mukanya kaya tikus, ram­butnya panjang riap-riapan, kumisnya jarang seperti kumis tikus, adapun Bhong Poa Sik, adiknya, mempunyai ciri yang aneh pa­da kepalanya, yaitu bagian ubun-ubun ke­palanya menonjol seperti telur besar.

Semua tamu dipersilakan duduk, ke­cuali seorang yang datang paling akhir. Orang itu biarpun dipersilakan duduk, namun tetap berdiri, bahkan berdirinya aneh sekali, yaitu hanya dengan kaki kiri, sedangkan kaki kanannya diangkat menempel pada lutut kiri, persis seperti seekor burung bangau berdiri di tengah sawah! Hebatnya, orang ini pun mem­punyai kepala yang bentuknya seperti kepala burung, bukan kepala burung yang indah, melainkan kepala burung yang diberunduli bulunya sehingga kelihatan buruk, lucu dan juga mengerikan. Lehernya panjang kecil, kepalanya kecil lonjong, kedua telinganya memakai anting-anting emas, matanya agak juling, mulutnya selalu menyeringai, tampak giginya yang panjang-panjang karena bibirnya cupet, kumisnya meruncing ke depan menyerupai paruh burung, kepalanya botak dan hanya ada beberapa helai rambut saja menambah keburukannya. Tubuhnya kecil kurus, akan tetapi perutnya gendut seperti perut anak menderita cacingan. Akan tetapi tangan kirinya memegang sebuah senjata yang menakutkan orang, bergagang panjang yang melengkung se­perti gendewa dan ujungnya dipasangi sabit yang amat tajam. Ia berdiri di sudut seperti seekor burung mengintai katak, matanya yang juling tak berkedip-kedip, mulutnya yang menyeringai tidak bergerak-gerak, seolah-olah dia telah berubah menjadi arca yang mati!

Hanya seorang yang aneh inilah yang agaknya tidak dikenal oleh sebagian be­sar mereka yang hadir. Yang mengenal­nya hanyalah Puteri Nirahai, Pangeran Ouwyang Cin Kok, dan selir pangeran itu. Bahkan Ouwyang-kongcu sendiri ti­dak mengenalnya dan pemuda ini meman­dang tokoh itu dengan penuh keheranan.

Melihat betapa para tamunya, termasuk puteranya, memandang ke arah manusia aneh itu dengan pandang mata penuh keheranan dan pertanyaan, Pange­ran Ouwyang Cin Kok tertawa dan memberi isyarat dengan tangan agar para pelayan yang cantik-cantik dan sedang mengeluarkan hidangan dan arak itu mun­dur. Mereka ini menyelesaikan tugas menghidangkan makanan dan minuman, kemudian mengundurkan diri dari ruangan yang lebar itu.

“Cu-wi sekalian agaknya belum me­ngenal tokoh ini,” kata pangeran itu sambil memandang kepada manusia berkepala seperti burung itu, “Padahal se­menjak bangsa Mancu yang jaya bergerak ke selatan, hasil yang baik dari gerakan itu sebagian mengandalkan kelihaian tokoh ini.”

Kang-thouw-kwi Gak Liat mengerutkan alisnya sambil memandang tokoh itu dengan pandang mata merendahkan. Hatinya tidak senang mendengar betapa majikannya menyanjung-nyanjung nama orang lain. Siapakah adanya tokoh yang jasanya lebih besar daripada dia? Maka ia segera berkata sambil tertawa.

“Bangsa Mancu yang jaya adalah bangsa yang besar dan yang sudah ditakdirkan untuk menguasai seluruh dunia, semua itu berkat jasanya rakyat seluruhnya, bukan jasa perorangan. Harap Paduka sudi mem­perkenalkan hamba kepada orang gagah ini.”

“Ha-ha-ha, Gak-lo-sicu, apa yang Lo-sicu ucapkan sungguh tepat. Bukan mak­sud kami untuk menonjolkan jasa sese­orang dan mengurangi jasa lain orang, karena masing-masing memiliki jasanya sendiri-sendiri. Losuhu ini adalah tokoh berasal dari Khitan yaag amat terkenal akan tetapi karena selalu menyembunyikan diri, tidak mengheranken apabila orangnya tidak dikenal, hanya namanya saja. Nirahai, keponakanku yang manis, tolonglah engkau yang memperkenalkan Ciam-losuhu kepada para Lo-sicu yang hadir.” Ucapan terakhir ini ia tujukan kepada Nirahai dengan suara yang halus dan ramah, sehingga dalam kesempatan itu, Pangeran Ouwyang Cin Kok sekalian memperlihatkan kepada yang hadir bahwa dia adalah sanak dekat kaisar dan berhak menyuruh seorang puteri kaisar begitu saja karena, bukankah puteri kaisar itu terhitung keponakan selirnya.

Nirahai adalah seorang gadis yang selain memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah, juga memiliki kecerdikan melebihi kebanyakan orang. Melihat sikap tuan rumah, ia tersenyum manis dengan hati penuh maklum. Ia lalu bangkit ber­diri, senyum menghias wajahnya menam­bah gemilang, gerakan tubuhnya ketika bangkit begitu lemah gemulai seperti seorang penari, sama sekali tidak mem­bayangkan kesaktian seorang ahli silat.

“Tidaklah terlalu mengherankan apa­bila Gak-cianpwe dan saudara-saudara lainnya belum mengenal Si Burung Hantu karena memang dia jarang sekali keluar di dunia ramai.”

“Apa? Sin-tiauw-kwi Ciam Tek?” Se­tan Botak Gak Liat berseru kaget, juga para panglima dan tokoh-tokoh pengawal yang berada di situ terkejut sambil me­mandang kakek yang memegang senjata mengerikan itu. Nama ini, terutama se­kali julukan Sin-tiauw-kwi (Burung Raja­wali Hantu) atau lebih terkenal lagi Si Burung Hantu, terkenal sebagai tokoh dalam dongeng di Khitan! Maka begitu kini mereka diperkenalkan dengan tokoh­nya, biar Gak Liat sendiri memandang dengan sinar mata tidak percaya.

Nirahai mengerti akan pandang mata mereka itu, maka ia tersenyum dan ber­kata, “Tentu cu-wi menghubungkan nama julukan itu dengan burung hantu yang kabarnya dipelihara Kaisar Khitan di jaman dahulu, bukan? Hendaknya dike­tahui bahwa memang Ciam-locianpwe ini adalah seorang tokoh Khitan. Cu-wi ten­tu maklum bahwa Khitan menjadi sum­bernya orang-orang pandai. Pendekar besar tanpa tanding. Suling Emas sendiri adalah suami seorang Ratu Khitan, dan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam adalah puteri mereka! Di samping keluarga kaisar yang memiliki kesaktian luar biasa itu, banyak pula ponggawa dan Panglima Khitan yang memiliki ilmu kepandaian hebat-hebat. Sin-tiauw-kwi Ciam Tek ini adalah satu-satunya orang yang beruntung mewarisi ilmu kepandaian peninggalan Hek-giam-lo (Raja Maut Hitam) yang amat terkenal di jamannya Pendekar Suling Emas enam tujuh abad yang lalu. Karena Khitan dan Mancu bersekutu dan berkeluarga, tentu saja semua tokoh Khitan membantu gerakan Mancu sekarang ini.”

Kang-thouw-kwi Gak Liat dan yang lain-lain mengangguk-angguk. Tentu saja mereka pernah mendengar nama-nama besar yang disebutkan gadis itu. Gak Liat lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek sambil berkata dalam bahasa Khitan dengan lancar karena Si Botak ini paham hampir semua bahasa daerah.

“Selamat berjumpa, Saudara Ciam Tek. Mudah-mudahan di antara kita akan terdapat kerja sama yang erat.”

Si Burung Hantu itu memandang Gak Liat dengan mata julingnya, kemudian mengeluarkan suara seperti burung men­cicit akan tetapi hanya dapat dimengerti oleh Gak Liat karena hanya suaranya saja yang mencicit namun sesungguhnya merupakan kata-kata dalam bahasa sela­tan yang pelo dan menggelikan hati para pendengarnya.

“Sudah lama aku mendengar nama Setan Botak, kiranya begini saja orangnya!” Setelah berkata demikian, Si Burung Hantu berdiri diam lagi dengan satu kaki, acuh tak acuh! Gak Liat tidak menjadi marah, sudah biasa ia meng­hadapi sikap dan watak aneh-aneh dari tokoh-tokoh besar, maka ia malah ter­tawa bergelak dan berkata.

“Ha-ha-ha, lain kali aku ingin sekali merasai lihainya patukanmu dan cakaran­mu, Burung Hantu!”

Pangeran Ouwyang Cin Kok tertawa pula. Biarpun dia sendiri bukan termasuk golongan kang-ouw, akan tetapi sudah terlalu banyak pembesar ini mengenal tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw se­hingga ucapan Gak Liat yang seolah-olah menantang itu dianggapnya biasa saja dan tidak mengkhawatirkan. “Cu-wi sekalian kami kumpulkan saat ini karena kami hendak membicarakan hal-hal yang amat penting. Berkat bantuan-bantuan cu-wi sekalian, pemerintah kita dapat memperoleh kemajuan-kemajuan di selatan dan kini, sungguhpun tak dapat dikatakan bahwa fihak pemberontak telah terbasmi semua, namun mereka itu sudah kehilangan kekuatan dan hanya bergerak secara sembunyi-sembunyi dan dalam ke­lompok kecil atau malah secara perorang­an. Yang penting kita harus mencurahkan perhatian ke Se-cuan, karena Bu Sam Kwi merupakan kekuatan terakhir yang merongrong kita. Bala tentara kita sudah menghimpit dan mengurung, lambat-laun tentu pertahanannya dapat dijebolkan pula. Tugas kita yang terpenting seka­rang adalah mencegah agar sisa pemberontak di sini tidak mengadakan hubung­an dengan Se-cuan agar kekuatan mereka tetap terpecah-pecah. Usaha yang ditaku­kan Puteri Nirahai dan puteraku Ouwyang Seng untuk memecah belah persatu­an antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, menemui kegagalan. Akan tetapi ada pula untungnya, yaitu timbulnya ganjalan hati antara mereka sehingga tidak me­mungkinkan mereka itu akan bekerja sama. Pula, kedua partai besar itu pun tidak melakuan perlawanan dan pembe­rontakan secara terang-terangan.”

“Akan tetapi, mengapa tidak kita gempur saja Se-cuan sampai hancur? Setelah kita dapat menguasai seluruh da­ratan, mengapa wilayah sebesar Se-cuan saja tidak dapat segera dikalahkan? Beri­lah hamba lima laksa perajurit berkuda, akan hamba hancur lumatkan Bu Sam Kwi dan seluruh anak buahnya!” Panglima brewok tinggi besar berkata dengan sikap gagah.

“Betul apa yang dikatakan oleh Giam-ciangkun,” kata Bhok Lek orang pertama dari kakak beradik Tikus Kuburan. “Kabarnya benteng Se-cuan amat kuat, akan tetapi kalau benteng itu dikurung dan hamba berdua dibantu tenaga-tenaga ahli melakukan penyusupan ke dalam dengan menggali terowongan, akan mudah menghancurkan pertahanan mereka!”

“Tidak begitu mudah,” bantah Puteri Nirahai. “Saya mendengar bahwa di sana banyak terdapat orang-orang yang me­miliki kepandaian tinggi.”

“Hemmm, kalau ada jago di fihak musuh, serahkan saja kepada hamba. Hamba sanggup menghadapi lawan yang bagaimana lihai pun!” Setan Botak Gak Liat menyombong sambil tersenyum.

Ouwyang Cin Kok mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat agar se­mua orang yang sedang ribut-ribut me­ngemukakan pendapat bulat untuk me­nyerang Se-cuan itu tenang, kemudian sambil tersenyum ia berkata.

“Tidak dapat kita membawa kehendak sendiri dan bertindak sesuka hati. Setiap gerakan kita harus disesuaikan dengan taktik dari Hongsiang (Kaisar). Dengarlah baik-baik, cu-wi sekalian, agar tahu apa yang menjadi siasat negara pada saat ini, menghadapi Bu Sam Kwi di Secuan.”

Semua orang mendengarkan penuh perhatian, termasuk Nirahai karena biar­pun dia ini puteri selir kaisar sendiri, namun tentang urusan politik ia tidak sepaham pangeran yang menjadi pena­sehat kaisar ini.

“Kalau kita ingin berhasil menangkap semua ikan di kolam, kita harus mengacaukan air dan mengejar ikan-ikan itu dengan membiarkan sebagian tempat itu tetap tenang sehingga semua ikan akan melarikan diri sembunyi di bagian air yang tak terganggu itu. Baru setelah semua ikan berkumpul di tempat kecil itu, kita tutup jalan keluar dan kita sergap di tempat kecil itu sehingga tak ada ikan yang dapat lolos. Demikian pula dengan para pemberontak yang tersebar di empat penjuru. Kita harus kejar-kejar mereka, melakukan operasi-operasi pem­bersihan dengan teliti sehingga para pemberontak itu kehilangan tempat bersem­bunyi dan terpaksa mereka akan ber­sembunyi semua ke Se-cuan. Hal ini lebih mudah bagi kita daripada kalau kita hancurkan Se-cuan sehingga para pem­berentak itu melarikan diri tersebar di mana-mana sehingga sukar untuk ditumpas karena daerah Tiongkok luas sekali. Inilah sebab pertama mengapa kita tidak boleh memukul Se-cuan pada sekarang ini.”

Semua orang yang mendengarkan mengangguk-angguk, kagum akan siasat ini, siasat menggiring ikan-ikan supaya berkumpul di suatu tempat.

“Adapun sebab ke dua adalah karena Kaisar dengan secara bijaksana memutuskan bahwa rakyat sudah terlalu lama menderita akibat perang, karena itu se­mentara ini tidak perlu lagi mengadakan perang karena Se-cuan tidak begitu pen­ting artinya bagi kita. Sekarang rakyat perlu ditenangkan hatinya dengan pem­bangunan-pembangunan, bukan dengan perang baru yang akan membikin rakyat mendapat kesan buruk terhadap pemerin­tah baru. Tidak perlu dengan kekerasan, cukup dengan dikepung dan dimatikan jalan hubungan mereka ke timur, mereka di Se-cuan akan hidup serba kekurangan dan sengsara, akhirnya akan menjadi lemah dan kalah tanpa diserang.”

Kembali Gak Liat menjadi kagum. Dalam soal taktik perang dan siasat pemerintahan tentu saja dia tidak mengerti apa-apa.

“Sekarang sebab ke tiga yang timbul dari kebijaksanaan Kaisar,” terdengar pula suara Ouwyang Cin Kok. “Pemerin­tah baru menghadapi tugas membangun negara dan menciptakan suasana adil makmur bagi rakyat jelata, mendatang­kan kehidupan damai dan tenteram sehingga dengan demikian tidak sia-sialah bangsa Mancu yang jaya telah mengor­bankan banyak nyawa untuk mengusir raja-raja lailm dari bumi Tiongkok. Un­tuk pekerjaan pembangunan yang amat besar itu, kita amat membutuhkan bantu­an tenaga-tenaga orang pandai. Harus diakui bahwa di antara para pemberontak banyak terdapat orang-orang pandai. Sungguh amat sayang kalau mereka itu dibunuh demikian saja. Karena ini pula, bentrokan perang dengan Se-cuan harus diundurkan agar kita mendapat banyak waktu untuk menarik orang-orang pandai itu agar membantu kita. Untuk keperluan itulah Kaisar menyediakan biaya yang amat besar, kemungkinan-kemungkinan pangkat dari mereka, dan di samping itu tentu saja mengandalkan kepandaian cu-wi untuk menundukkan mereka. Makin banyak orang pandai membantu Kerajaan Ceng, makin baik. Mengertikah cu-wi sekarang mengapa kita tidak diperbolehkan menyerbu Se-cuan secara kasar?”

Semua orang mengangguk, bahkan dari mulut Sin-tiauw-kwi Ciam Tek terdengar suaranya yang pelo memuji, “Hebat sia­sat ini! Hidup Kaisar!”

Biarpun pelo, namun ucapannya itu membangkitkan semangat semua orang dan terdengarlah seruan mereka, “Hidup Kaisar!”

Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah se­orang datuk hitam yang tidak bercita-cita untuk negara maupun untuk kaisar, melainkan untuk diri sendiri. Karena itu, di dalam hatinya mana ada kesetiaan terhadap pemerintah Mancu? Namun, dia seorang cerdik dan tidak mau ketinggalan pula ia ikut mengucapkan kata-kata itu.

“Biarpun kita tidak menyerbu Se-cuan, akan tetapi untuk keperluan menarik orang-orang pandai ke fihak kita dan mencegah mereka berhubungan dengan Se-cuan, maka pekerjaan kita bukanlah ringan. Kita harus dapat menguasai seluruh dunia kang-ouw, dapat mengetahui keadaannya dan hal ini kami serahkan ke dalam pimpinan keponakanku Puteri Ni­rahai yang sudah cu-wi ketahui akan kecerdikannya dan juga akan kepandaian­nya yang tinggi.”Kembali Si Burung Hantu mengangguk, berkata polos, “Puteri Nirahai mewarisi kepandaian Puteri Mutiara Hitam, dia hebat....”

Juga Gak Liat mengangguk berkata, “Aku sudah mengetahui kelihaian Puteri Nirahai.”

Gadis cantik itu mengelilingkan pandang matanya dan girang bahwa tidak ada yang menentang pengangkatannya sebagai pimpinan. Siapakah yang berani menen­tang? Selain dia memiliki ilmu kepandai­an tinggi, juga amat pandai bersiasat, cerdik dan banyak akal, juga dia adalah puteri kaisar sendiri!

“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi kepadaku yang muda. Tentu saja aku tidak dapat bekerja sendiri dan mengan­dalkan bantuan dari cu-wi sekalian, baru tugas kita akan dapat berhasil baik. Di dunia kang-ouw ini banyak terdapat to­koh-tokoh besar yang belum membantu kita. Di antara mereka itu adalah Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee.”

“Hemmm, Si Muka Kuda itu sejak dahulu menentang Kerajaan Ceng-tiauw!” kata Gak Liat sambil mengeluarkan suara menghina.

“Itulah sebabnya mengapa kita harus berdaya upaya agar dia tertarik kepada kita dan suka membantu, Gak-locianpwe. Karena kalau dia sudah mau membantu, tentu para muridnya yang kudenger ada banyak sekali yang pandai, akan suka menjadi sekutu kita pula. Kita harus menyelidiki ke In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san yang dijadikan pusat perguruannya. Bahkan aku mendengar bahwa Si Nenek sakti Toat-beng Ciu-sian-li juga berada di sana.”

“Iblis betina itu berbahaya sekali, akan tetapi agaknya akan lebih mudah dibujuk untuk bekerja sama. Dia tidak sesukar dan sekokoh Ma-bin Lo-mo pendiriannya. Biarlah persoalan mereka itu serahkan saja kepadaku, aku akan ber­usaha mendekati mereka.”

Puteri Nirahai berseri wajahnya dan ia menjura ke arah Gak Liat. “Terima kasih banyak. Bantuan Gak-locianpwe dalam hal ini benar-benar amat kami harapkan.” Gadis itu lalu mengerutkan keningnya dan berkata, “Ada sebuah hal yang amat memusingkan, dan membutuhkan perhatian. Menurut hasil penyelidikan para mata-mataku yang kusebar di mana-mana, sekarang aku telah mendapatkan keterangan jelas tentang sebab-sebab kegagalan siasatku mengadu domba an­tara Siauw-lim-pai dan keterangan itu amat mengejutkan dengan munculnya seorang tokoh muda yang luar biasa se­kali.”

“Hemmm, siapakah dia dan apa yang telah dia lakukan?” Ouwyang Seng ber­tanya dengan hati tak senang mendengar betapa gadis yang dicinta dan dipujanya ini agaknya merasa kagum terhadap se­orang “tokoh muda”.

“Siasatku gagal karena pemuda aneh itu,” kata Nirahai. “Ketika dua peti ber­isi jenazah dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang dikawal Pek-eng-piauwkiok itu dihadang oleh murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah kuberi kabar secara diam-diam dan bentrokan hebat antara murid-murid kedua partai sudah hampir terjadi, tiba-tiba muncul orang muda itu bersama adiknya perempuan, menggagalkan ben­trokan itu dengan mengalihkan permusuh­an kepada dirinya sendiri!”

“Eh, apakah maksudmu, Adik Nirahai?” Ouwyang-kongcu bertanya heran.

“Pemuda itu yang mengira bahwa murid Siauw-lim-pai hendak merampok, sekali turun tangan membunuh tujuh murid Siauw-lim-pai. Kemudian, ketika mengetahui kekeliruannya, ia turun ta­ngan pula membunuh murid-murid Hoa-san-pai!”

“Ihhh, hebat sekali!” Gak Liat ber­seru. Bagi datuk hitam ini, setiap per­buatan kejam amat mengagumkan hati­nya, makin kejam makin tinggi dalam penilaiannya.

“Kemudian pemuda itu bahkan men­datangi Pek-eng-piauwkiok, dan di sana dia mengamuk, mengalahkan tokoh-tokoh Hoa-san-pai.”

“Luar biasa....!” Bhong Poa Sik, si Tikus Kuburan Kecil, berseru kaget.

“Kemudian, tahukah cu-wi apa yang ia lakukan? Ia pun mendatangi Siauw-lim-si dah di sana mengamuk, membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai pula, me­robohkan banyak yang lain dan dapat keluar lagi dari Siauw-lim-si dengan se­lamat.”

“Sukar dipercaya!” kini Gak Liat berseru. Kakek ini maklum akan keadaan kuil Siauw-lim-si, maklum pula akan lihainya tokoh-tokoh di situ. Sedangkan dia sendiri tentu akan berpikir sepuluh kali sebelum berani menyerbu seorang diri ke Siauw-lim-si!

“Memang sukar dipercaya, akan tetapi para penyelidikku adalah orang-orang yang berpengalaman puluhan tahun dan keterangan mereka selalu boleh dipercaya. Keadaan pemuda itu amat meng­herankan. Selain ilmunya yang tinggi luar biasa dan keadaannya yang seperti tidak normal, juga dia mempunyai adik seorang gadis Mancu.”

“Ah, kalau begitu dia Sie Han....!” Gak Liat berseru. “Kalau dia sudah berkepandaian begitu aneh dan tinggi se­hingga berani mengacau Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, tentu dia telah berhasil menemukan Pulau Es!”

Mendengar ucapan ini, semua tokoh yang berada di situ menjadi terkejut dan tertarik sekali. Disebutnya Pulau Es ten­tu saja menarik perhatian semua orang karena semenjak bala tentara Mancu menguasai daratan Tiongkok, pemerintah baru ini pun selalu berusaha untuk me­nemukan pulau itu dan mendapatkan pusaka yang berada di sana. Bahkan usa­ha pencarian ini dipimpin Gak Liat sen­diri.

“Aiiih, kalau benar-benar dia menjadi pewaris pusaka di Pulau Es, tentu dia memiliki ilmu yang hebat dan orang seperti itu patut kita tarik untuk mem­bantu kita,” kata Puteri Nirahai. “Atau kalau tidak mungkin dia membantu kita, dia akan merupakan lawan yang berbahaya dan perlu dibinasakan. Terutama sekali gadis Mancu itu harus diselamatkan dan diselidiki puteri siapakah dia dan mengapa sampai bisa menjadi adik pemuda yang bernama Sie Han itu.”

“Jangan khawatir, hamba akan dapat membujuknya. Setidaknya dia pernah ikut dengan hamba dan dengan bantuan Ouwyang-kongcu, hamba tentu akan dapat menyelamatkan pula puteri Mancu itu,” kata Gak Liat. Dia menawarkan diri ini sebetulnya adalah dengan mengandung niat yang lain. Begitu mendengar bahwa Han Han telah muncul, ia ingin sekali menemui pemuda itu dan kalau perlu hendak memaksa pemuda itu menyerahkan pusaka-pusaka Pulau Es, atau kalau mungkin mengantarkannya ke Pulau Es!

Puteri Nirahai mengangguk-angguk. “Mendengar pelaporan yang kuterima, memang pemuda itu mencurigakan dan lihai sekali, kiranya hanya Gak-locianpwe saja yang cukup kuat untuk menghadapi­nya. Baiklah, urusan membujuk tokoh-tokoh di In-kok-san dan mencari pemuda itu kuserahkan kepada Gak-locianpwe dan Ouwyang-twako. Aku sendiri mempunyai rencana lain yang boleh cu-wi ketahui. Aku akan pergi ke utara, mendatangi tanah kuburan Kduarga Suling Emas....”

“Eh, Nirahai, bukankah itu berbahaya sekali?” Pangeran Ouwyang Cin Kok berseru kaget. Tanah kuburan keluarga Suling Emas merupakan tempat keramat dari bangsa Khitan dan kabarnya tak seorang asing pun boleh memasukinya. Biarpun Puteri Nirahai termasuk keturun­an Khitan, namun belum tentu dia diper­bolehkan masuk oleh penjaganya yang kabarnya amat galak dan memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.

“Memang berbahaya, akan tetapi ka­lau tidak saya sendiri yang mendatangi, siapakah orang lain akan mampu melaku­kannya? Saya ingin membujuk penjaga kuburan, untuk meminjam suling emas yeing disimpan di situ sebagai pusaka. Dengan suling emas peninggalan pendekar sakti Suling Emas, kiranya akan lebih mudah mempengaruhi para tokoh-tokoh kang-ouw untuk membantu Kerajaan Man­cu. Senjata suling emas itu amat dihormati di seluruh dunia kang-ouw, dan dengan senjata itu tentu akan dapat dicapai hasil yang lebih besar dalam membujuk tokoh-tokoh kang-ouw.”

Pangeran Ouwyang Cin Kok dan yang lain-lain mengangguk-angguk menyatakan setuju sungguhpun hati mereka merasa ngeri mendengar bahwa puteri jelita itu hendak mengunjungi tempat keramat yang sukar dikunjungi sembarangan orang itu. Setelah membagi-bagi tugas, pertemuan itu dibubarkan. Ouwyang Seng lalu pergi bersama gurunya untuk me­lakukan tugas mereka yang tidak ringan. Demikianpun yang lain-lain bubaran dan melakukan tugas masing-masing. Pange­ran Ouwyang Cin Kok sendiri lalu ber­siap untuk pergi menghadap kaisar menyampaikan pelaporan mengenai pelak­sanaan tugas-tugasnya.

****

Han Han dan Lulu duduk mengaso di dalam hutan. Melihat kakaknya iiu duduk bersamdhi, Lulu juga tidak berani meng­ganggu, bahkan ia pun lalu duduk bersila dan siulian untuk memulihkan tenaga dan menekan kekecewaan hatinya karena kehilangan pedang yang terampas di Siauw-lim-pai.

Han Han tidak dapat menyatukan panca inderanya. Dia sudah dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya, dan mengobati akibat-akibat guncangan pukul­an-pukulan yang ia terima di Siauw-lim-pai, akan tetapi pikirannya bekerja keras. Hatinya terkesan oleh wejangan-wejangan yang didengarnya dari mulut Kian Ti Hosiang, supek dari ketua Siauw-lim-pai tadi. Mengenangkan semua wejangan itu, terjadi perang tanding yang hebat dalam pikirannya sendiri. Perasaan me­nyesal menggumuli perasaannya, menye­sal kalau ia kenangkan betapa sepak terjangnya selama ini hanya mendatang­kan malapetaka dan keributan belaka. Ia sendiri tidak mengerti mengapa kalau datang perasaan marah akan sesuatu yang dianggapnya jahat dan tidak adil, lalu timbul kemarahan yang tak terta­hankan dan seolah-olah ia baru akan merasa puas, terhindar dari himpitan nafsu amarah kalau sudah ia lampiaskan dengan pukulan-pukulan sakti dari kedua tangannya, kalau sudah ia hajar banyak orang dan membunuhi lawannya! Pemuda ini tidak tahu bahwa sesungguhnya terjadi konflik atau pertentangan hebat dalam dirinya.

Mula-mula pertentangan ini terjadi karena ia mempelajari dua macam sin-kang yang berlawanan yaitu inti sari Hwi-yang Sin-ciang dan inti sari Swat-im Sin-ciang. Pertentangan ini mempe­ngaruhi jiwanya, ditambah lagi ketika ia membaca kitab-kitab peninggalan peng­huni Pulau Es yang sifatnya bersih dan berbareng ia mempelajari kitab-kitab Ma-bin Lo-mo dan Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) yang bersifat kotor. Ter­jadilah pertentangan hebat sekali dari aliran bersih ditambah kesadaran watak aselinya yang baik berlawanan dengan pelajaran aliran kotor yang ditambah oleh nafsunya, membuat ia kadang-kabang merasa tersiksa sekali. Kini ia mendapat nasihat yang amat aneh dari kakek sak­ti di Siauw-lim-pai itu. Dia disuruh membuntungi kaki kirinya! Nasihat apa­kah ini? Betul-betulkah kaki kirinya yang mendatangkan perasaan tersiksa seperti itu?

Makin dipikirkan makin bingunglah hatinya. Kebingungan ini makin memuncak kalau ia pikirkan bahwa semua ma­lapetaka yang timbul akibat sepak ter­jangnya itu sama sekali terjadi bukan karena kesalahannya! Dia memang telah membunuh murid-murid Siauw-lim-pai dan murid-murid Hoa-san-pai di hutan dahulu itu, akan tetapi bukankah hal itu terjadi karena salah faham? Bukankah hal itu terjadi bukan karena memang dia bermaksud jahat dan membunuhi mereka? Kemudian kekacauan yang timbul karena perlawanannya menghadapi tokoh-tokoh Hoa-san-pai di gedung Pek-eng-piauwkiok. Dia telah diserang, dituduh yang bukan-bukan, dituduh mata-mata Mancu! Ter­jadi pertempuran, akan tetapi salahkah dia dalam hal itu? Dan akhirnya peris­tiwa keributan di Siauw-lim-si. Dia da­tang dengan iktikad baik, dengan maksud memberi penjelasan kepada para pimpin­an Siauw-lim-pai untuk melenyapkan kesalahfahaman. Akan tetapi dia disam­but dengan kekerasan, bahkan seolah-olah dipaksa untuk bertanding. Dia hanya membela diri, karena bukankah itu hak­nya? Ataukah dia harus membiarkan saja dia ditawan, dipukul, atau dibunuh, juga ­Lulu ditangkap? Karena membela diri, kembali dia melakukan pukulan-pukulan dan pembunuhan-pembunuhan.

Teringat akan ini semua, timbul kemarahannya. Tidak! Dia tidak bersalah! Akan tetapi kalau ia ingat akan nasihat kakek di Siauw-lim-pai itu dia menyesal karena kenyataannya, apa pun alasannya, sepak terjangnya menimbulkan keributan dah malapetaka, bahkan pembunuhan. Salah kaki kirinyakah?

Tiba-tiba Han Han meloncat bangun, tidak kuasa lagi menahan tubuhnya yang digetarkan dua hawa yang bertentangan, sebagai akibat perang dalam hatinya. Ia mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh seperti orang gagu, tubuhnya bergoyang-goyang, kaki tangannya bergerak-gerak seolah­-olah ia bertanding melawan dirinya sendiri! Kedua tangannya seperti hendak saling pukul, atau lebih tepat, kalau tangan kiri hendak memukul tubuhnya sendiri penuh penyesalan dan hendak menghukum, tangan kanannya bergerak menangkis dengan keyakinan membela karena dia tidak bersalah. Demikian pula kedua kakinya bergerak menurutkan sua­ra hati yang berlawan!

Entah berapa lamanya Han Han ber­hal seperti itu, tubuhnya bergerak-gerak aneh dan kelihatan lucu sekali, padahal ia merasa amat tersiksa baik tubuh mau­pun batinnya. Tiba-tiba Lulu datang men­dekatinya, dan melihat keadaan kakaknya ini Lulu segera menyentuh lengan Han Han. Akan tetapi gadis ini menjerit ka­rena lengan yang disentuhnya itu menge­luarkan getaran yang membuat tangan yang menyentuhnya seperti lumpuh. Ia meloncat ke belakang dan menjerit.

“Han-koko.... sadarlah....! Celaka, ada orang merampas kantung surat-surat itu....!”

Sebelum gadis itu menjerit, Han Han sudah sadar. Sentuhan tangan yang halus dari adiknya itu sudah menyadarkannya dan seolah-olah menariknya kembali ke dunia dari alam khayal yang menakutkan. Ada sesuatu dalam sentuhan dan dalam suara Lulu yang amat mempengaruhi jiwa Han Han sehingga kini dia sadar, menghentikan gerakan-gerakan tubuhnya dan memandang adiknya itu.

“Apa? Apa yang dirampas orang?”

“Karena kau bersamadhi tidak sadar-sadar, aku lalu pergi mencari air untuk mandi. Kemudian aku pergi ke sebuah kuil tua tak jauh dari sini, duduk di depan kuil dan mengeluarkan kantung surat-surat dari Pulau Es untuk kubersih­kan. Akan tetapi tiba-tiba kantung itu terbang dari tanganku dan ketika aku meloncat dan membalik, ternyata kan­tung itu telah dipegang oleh seorang kakek yang menyeramkan. Aku minta kembali, bahkan memukulnya, akan te­tapi ia tidak menjawab, dan ketika ku­pukul, ia tidak mengelak atau menangkis, bahkan bergoyang pun tidak ketika menerima pukulanku. Aku takut....!”

Merah wajah Han Han mendengar bahwa kantung surat-surat itu dirampas orang. Kantung itu ia anggap sebagai barang yang amat berharga berisi surat-surat penghuni Pulau Es yang ia bawa dan akan ia sampaikan kepada siapa yang berhak menerimanya. Dan kini dirampas orang!

“Hemmm, kenapa aku selalu diganggu orang? Siapakah dia yang merampas kan­tung kita itu? Mari kita temui dia.”

Lulu memegang tangan kakaknya dan menarik kakaknya itu, diajak lari menuju ke kuil tua yang hanya setengah li jauh­nya dari situ, di pinggir sebuah sungai kecil. “Tuh dia masih berdiri depan kuil, Koko. Untung dia belum lari!” kata Lulu menuding ke arah tubuh seorang laki-laki tinggi kurus berambut panjang yang berdiri membelakangi mereka.

“Hemmm, kurang ajar, biar kuminta kembali kantung itu!” Han Han meloncat ke depan kakek itu, memandang dan alis matanya bergerak karena kaget.

“Ma-bin Lo-mo....!” teriaknya ketika mengenal kakek penghuni In-kok-san itu.

Kakek itu memang Ma-bin Lo-mo si Iblis Muka Kuda! Dengan wajah bengis ia memandang Han Han dan tidak meng­ucapkan sepatah pun kata, hanya meman­dang dengan penuh perhatian, manik ma­tanya bergerak-gerak meneliti Han Han dari kepala sampai ke kaki.

“Siangkoan-locianpwe, harap suka mengembalikan kantung itu kepadaku. Kantung itu hanya terisi surat-surat pri­badi yang tidak ada gunanya bagi orang lain,” kata Han Han penuh ketenangan setelah ia berhasil menekan hatinya yang kaget.

“Hemmm, murid apakah engkau ini? Tidak menyebut suhu lagi kepadaku?”

Han Han tersenyum pahit. “Lupakah locianpwe bahwa Locianpwe hendak membunuh saya di perahu itu dahulu? Sikap locianpwe bukan seperti guru yang menyayang murid, bagaimana saya bisa menjadi murid yang menghormat guru?”

Bekas guru dan murid ini saling memandang dan delam pertemuan sinar mata itu diam-diam Ma-bin Lo-mo menjadi kecut hatinya dan cepat ia mengalihkan pandang matanya. Ia menghendaki sesuatu dari pemuda itu, maka ia lalu berganti siasat, bersikap lunak dan manis.

“Han Han, kaukembalikan dulu kitab-kitabku.”

Han Han teringat akan kitab-kitab Ma-bin Lo-mo yang ia bawa ke Pulau Es. Tanpa ia sengaja, bahkan ia telah mem­pelajari ilmu dari kitab-kitab itu yang ia gabung dengan ilmu dari kitab-kitab pe­ninggalkan Siang-mo-kiam. Ia tidak me­rasa mencuri kitab-kitab itu, maka ia memperingatkan.

“Saya tidak mencuri kitab-kitab locianpwe.”

Kini Lulu teringat akan Ma-bin Lo-mo, maka ia berkata, “Koko, bukankah dia ini orang jahat yang menangkap kita di perahu dan meninggalkan kita dalam keadaan terikat? Koko, dia jahat, jangan percaya dia!”

Ma-bin Lo-mo tidak memperhatikan gadis Mancu yang dibencinya itu, dan berkata lagi kepada Han Han, “Han Han, kitab-kitabku itu tertinggal di perahu, dan melihat betapa engkau berhasil me­nyelamatkan diri, tentu kitab-kitab itu berada padamu. Akan tetapi tidak apalah, bukankah engkau juga muridku yang berhak mempelajari ilmu dari kitab-kitab­ku? Sesungguhnya sudah terlalu banyak kesalahan yang kaulakukan terhadapku, Han Han. Pertama, engkau bersaudara dengan seorang gadis Mancu. Ke dua, engkau mengambil kitab-kitabku. Akan tetapi aku mengampunimu akan semua kesalahan itu, bahkan kantung ini yang hanya berisi surat-surat cinta, kukembalikan kepadamu.” Sambil berkata demikian Ma-bin Lo-mo melemparkan kantung ke arah Han Han. Pemuda itu menggerakkan tangan menyambut kantung itu dan menyimpannya dalam baju setelah melihat bahwa isinya tidak lenyap. Ia melakukan hal ini seenaknya dan sewajarnya saja, dan Ma-bin Lo-mo terkejut. Ketika melemparkan kantung tadi, ia sengaja me­ngerahkan tenaga untuk menguji. Kalau hanya memiliki ilmu kepandaian tinggi biasa saja, tentu pemuda itu akan roboh menerima lontaran kantung itu, atau se­tidaknya terhuyung. Akan tetapi pemuda itu menerima seenaknya seolah-olah pelemparan kantung itu tidak disertai pe­ngerahan sin-kang yang amat kuat. Tadi­nya, kalau melihat pemuda itu roboh atau terhuyung saja tentu Ma-bin Lo-mo sudah menerjang maju untuk menangkapnya, akan tetapi melihat sikap Han Han menerima kantung seenaknya itu amat mengejutkan hatinya, maka kakek ini berlaku cerdik sekali dan tidak menyerang.

“Han Han, mengingat akan hubungan lama antara kita, aku tidak akan meng­ganggumu, hanya akan bertanya kepada­mu tentang Pulau Es. Engkau tentu telah mendarat di Pulau Es, bukan?”

“Jangan katakan sesuatu kepadanya, Koko!” Lulu yang di dalam hatinya masih menaruh dendam kepada kakek yang pernah hendak membunuh mereka itu, cepat berkata mencegah. Akan tetapi, tanpa dicegah pun Han Han tidak akan bercerita kepada siapa juga tentang pu­lau rahasia itu.

“Saya tidak dapat bicara apa-apa tentang pulau itu, locianpwe.”

“Jadi engkau telah menemukan pulau itu?”

Han Han tidak menjawab, hanya meng­geleng kepala tanda bahwa ia tidak mau bicara tentang itu.

“Han Han, ingatlah. Aku hanya ingin engkau menceritakan tentang Pulau Es. Kalau aku menggunakan kekerasan, engkau tentu takkan kuat melawanku. Ingat, dosamu sudah terlalu besar terhadap perguruan kami dan kalau aku menyerah­kan ergkau kepada Toat-beng Ciu-sian-li, nyawamu tentu tidak akan diampuni lagi. Akan tetapi kalau kau suka bicara denganku tentang Pulau Es, aku yang menanggung agar engkau diampuni.”

“Maaf, sia-sia saja engkau membujuk atau mengancam, locianpwe. Saya tidak bisa bicara tentang pulau itu. Hendaknya locianpwe membiarkan saya dan Adik saya pergi. Saya tidak hendak memusuhi locianpwe sungguhpun locianpwe pernah menyiksa dan hendak membunuh kami berdua. Marilah kita mengambil jalan kita masing-masing dan tidak saling mengganggu, locianpwe.”

Muka Ma-bin Lo-mo menjadi merah saking marahnya. Ucapan Han Han itu cukup sopan, akan tetapi nadanya seperti ucapan seorang yang setingkat saja! Pa­dahal dia adalah seorang di antara datuk-datuk yang ditakuti orang, sedangkan Han Han adalah seorang muda yang ma­lah menjadi bekas muridnya!

“Han Han, sungguh engkau keras ke­pala! Akan tetapi betapapun kerasnya kepalamu, apakah cukup keras untuk menerima pukulanku?” Ia membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam sekali.

Namun Han Han tetap bersikap tenang. “Terserah kepada locianpwe, tapi.... tapi.... harap locianpwe ingat bahwa kalau sampai terjadi bentrokan, hal itu bukanlah kehendak saya, melain­kan locianpwe yang memaksaku.”

“Uwaaahhhhh, sembongnya bocah ini. Tidak bisa dibujuk dengan omongan halus, agaknya perlu dihajar dulu!” Setelah ber­kata demikian, Ma-bin Lo-mo menerjang maju mengirim pukulan. Karena dia tidak ingin membunuh mati anak itu yang dia butuhkan untuk memberi petunjuk ten­tang Pulau Es, maka ia tidak mengirim pukulan Swat-im Sin-jiu, melainkan me­nampar dengan tangan kanan ke arah pundak disusul cengkeraman tangan kiri ke arah dada. Biarpun tidak menggunakan tenaga Swat-im Sin-ciang, namun daya pukulan kakek ini bukan main.

Han Han mengelak ke kiri dan biar­pun angin pukulan kakek itu mengenai pundaknya, sedikit pun ia tidak merasai­nya dan ia berkata penuh rasa menyesal, “Engkau sungguh jahat, Ma-bin Lo-mo, tidak patut menerima penghormatan orang muda.”

“Heh, Han Han. Apakah kau benar tidak mau bicara tentang Pulau Es? Ingat, tebusannya adalah nyawamu dan nyawa bocah Mancu ini. Aku bahkan mau mengampuni bocah ini asal engkau suka memberi penjelasan tentang Pulau Es.”

“Tidak! Dan kalau engkau memaksa, terpaksa aku melawanmu, Ma-bin Lo-mo!”

“Bedebah! Baru memiliki sedikit ke­pandaian saja engkau sudah berani me­lawan aku?” Ma-bin Lo-mo mencelat maju dengan gerakan cepat sekali sambil mencengkeram pundak Han Han, namun gerakan Han Han tidak kalah cepatnya, tahu-tahu ia sudah mengelak ke kanan dan cengkeraman itu kembali luput. Ma-bin Lo-mo menjadi penasaran sekali, begitu tubrukannya luput dan kakinya menginjak tanah, tubuhnya sudah melesat lagi ke kanan dan kedua lengannya me­nyambar dari kanan kiri, membuat gerak­an menyilang mengarah kepala Han Han. Bukan main cepat dan lihainya serangan ini sehingga Han Han terkejut dan cepat merendahkan diri untuk menghindarkan kedua tangan yang menghimpit kepalanya dari kanan kiri itu. Akan tetapi dengan gerakan susulan, tahu-tahu kaki Ma-bin Lo-mo menendang ke perut pemuda itu.

Selama melatih diri di Pulau Es, se­sungguhnya Han Han hanya memperoleh inti sari tenaga sin-kang yang amat hebat saja, yang tidak diperoleh ahli lain da­lam latihan biasa selama puluhan tahun. Akan tetapi dalam hal ilmu silat, diban­dingkan dengan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee, tentu saja ia masih kalah jauh. Kini menghadapi gerakan serangan tokoh hi­tam yang hebat ini, tentu saja ia tidak menyangka sama sekali dan tendangan itu tahu-tahu telah mengenai perutnya! Akan tetapi gerakan hawa sin-kang secara otomatis telah melindungi perutnya, dan ia menangkap kaki itu sambil mendorong ke depan seperti membuang sesuatu yang menjijikkan.

“Dukkk! Aihhhhh....!” Tendangan mengenai perut, akan tetapi tubuh Ma-bin Lo-mo terlempar sampai jauh sekali. Kalau bukan kakek sakti ini tentu tubuh­nya akan terbanting ke bawah, akan tetapi kakek ini malah melompat ke atas sehingga tenaga dorongan itu terpatahkan dan ia turun lagi ke atas tanah de­ngan mata terbelalak merah karena he­ran, kagum dan penasaran.

“Huh, kiranya engkau sudah mem­pelajari sedikit ilmu, ya?” Hati Ma-bin Lo-mo makin tertarik untuk memaksa Han Han bicara tentang Pulau Es, karena tentu saja ia ingin sekali mengetahui rahasia itu dan memiliki pusaka dari Pulau Es. Melihat betapa Han Han sang­gup menerima tendangannya, dan melihat tenaga hebat ketika pemuda itu men­dorong kakinya, hatinya makin yakin bahwa pemuda ini tentu telah mewarisi kepandaian dari tempat rahasia itu, maka ia makin tidak ingin membunuhnya dan hanya ingin menangkap dan memaksanya.

Kepalanya yang penuh dengan akal dan muslihat itu bekerja dan tiba-tiba sambil tertawa tubuhnya melesat, bukan me­nyerang Han Han, melainkan meloncat ke arah Lulu yang berdiri menonton. Dia mendapat akal untuk menangkap Lulu dan menggunakan gadis itu untuk me­maksa Han Han!

“Ihhh, mau apa engkau?”

Kembali Ma-bin Lo-mo kecelik karena gadis yang ditubruk dan hendak ditang­kapnya itu, biarpun tergesa-gesa, dapat melesat pergi dengan gerakan yang amat ringan dan tak tersangka-sangka, sehing­ga ia menubruk angin! Ketika ia mem­balik dan hendak mengejar sambil me­ngirim pukulan jarak jauh untuk meroboh­kan gadis itu, tiba-tiba dari samping terdengar bentakan Han Han, “Jangan ganggu Adikku!” Bentakan ini disusul dengan bertiupnya angin yang hawanya dingin memukul ke arah lambungnya!

Ma-bin Lo-mo cepat menggerakkan tangan menangkis, sekali ini karena pe­nasaran ia menggunakan tenaga Im-kang untuk membuat pemuda itu roboh.

“Desss!” Dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya kedua orang itu terjeng­kang ke belakang!

“Eh, eh.... tenaga Im-kang....” Ma-bin Lo-mo yang sudah meloncat bangun lagi berkata penuh keheranan.

“Ma-bin Lo-mo, perlukah pertempuran ini dilanjutkan? Aku tidak ingin bermusuh denganmu!” Han Han berkata lagi.

“Sambutlah ini....!” Ma-bin Lo-mo membentak dan sekali ini ia tidak ragu-ragu lagi untuk menggunakan Swat-im Sin-ciang, menyerang lagi dengan gerakan lambat namun malah amat berbahaya karena setiap gerakannya mengandung hawa dingin yang dahsyat.

Han Han mengenal gerakan itu. Dia telah mempelajari kitab-kitab yang di­tinggalkan di dalam perahu oleh Iblis Muka Kuda ini, maklum bahwa lawannya telah menggunakan Swat-im Sin-ciang. Ia mulai menjadi marah, bukan saja karena kakek itu mendesaknya terus, terutama sekali karena ia melihat kelicikan kakek ini yang hendak memaksanya dengan berusaha menawan Lulu. Maka ia pun lalu menggerakkan kedua tangannya, dengan gerakan yang sama dan ketika Ma-bin Lo-mo mendorong, ia pun men­dorong dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang pula!

“Wuuutttt.... desssss!”

Tubuh kedua orang itu bergoyang-goyang, kemudian keduanya mundur ter­huyung. Han Han dapat mengerahkan tenaga Yang-kang sehingga seketika hawa dingin yang luar biasa itu lenyap, akan tetapi Ma-bin Lo-mo membutuhkan lon­catan ke atas dan menggoyang-goyang tubuhnya baru ia pulih kembali. Ia me­mandang dengan mata terbelalak kemudi­an ia berseru marah.

“Bocah celaka! Engkau telah mencuri Swat-im Sin-ciang!” Akan tetapi sesungguhnya ia merasa heran dan kaget se­tengah mati mendapat kenyataan bahwa tenaga Swat-im Sin-ciang dari pemuda itu tidak berselisih jauh dengan tenaga­nya sendiri! Ia sama sekali tidak mimpi bahwa sesungguhnya tenaga Han Han jauh lebih kuat dan hebat daripada tenaga sendiri. Sebaliknya, Han Han maklum betapa lihai dan kejamnya kakek ini dan bahwa sekali lagi, setelah terlepas dari­pada ancaman maut di Siauw-lim-si, kini ia terancam oleh kakek yang amat sakti ini. Maka timbullah kemarahannya lagi dan ia mengambil keputusan untuk me­lindungi Lulu dan dirinya sendiri, kalau perlu dengan taruhan nyawa.

Kembali Ma-bin Lo-mo sudah menyerang, kini serangannya hebat sekali kare­na kakek ini tidak lagi menganggap Han Han seorang lawan ringan. Tubuhnya seperti berpusing dan kedua tangannya seperti berubah banyak ketika ia me­lancarkan serangan ke arah dada dan pusar pemuda itu. Han Han tetap tenang, namun juga bergerak cepat. Ia memutar kedua lengannya dari kanan kiri menjaga tubuh depan dan kembali ia berhasil menangkis pukulan-pukulan maut Ma-bin Lo-mo. Akan tetapi kakek itu me­nerjang terus dengan gerakan-gerakan aneh dan cepat dengan perubahan yang tak tersangka-sangka sehingga dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya tanpa dapat dielakkannya lagi terpaksa Han Han menerima hantaman-hantaman yang mengenai pundak dan lambungnya. Akan tetapi tubuhnya hanya terpental saja dan sama sekali tidak terluka sehingga diam-diam Ma-bin Lo-mo makin penasaran dan terkejut. Ketika melihat kakek itu me­ngejarnya, Han Han yang sudah bangkit kembali sehabis terbanting, cepat me­ngerahkan tenaganya dan menyambut kedatangan lawan dengan pukulan de­ngan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang. Ia sudah marah sekali maka ke­kuatan sin-kangnya dapat dibayangkan hebatnya. Angin menderu keras dan hawa dingin melebihi saiju menyambar ke de­pan. Ma-bin Lo-mo tentu saja tidak ta­kut menghadapi pukulan yang menjadi keahliannya sendiri itu. Ia menangkis dengan tenaga Swat-im Sin-ciang juga dan sekali ini dua tenaga sakti bertemu. Hanya bedanya dengan tadi, kini Han Han yang menyerang dan Ma-bin Lo-mo yang menangkis.

“Wesssss....!”

Tubuh Ma-bin Lo-mo tergetar hebat, seolah-olah tubuhnya kemasukan aliran kilat dan sejenak tubuhnya kaku mem­beku! Kakek ini mengeluarkan seruan aneh, kemudian melempar tubuh ke bela­kang dan bergulingan sampai lama baru dapat melompat bangun kembali, wajahnya pucat dan matanya terbelalak merah.

“Luar biasa....!” Ia menggumam karena kini ia mendapatkan kenyataan pahit yang amat hebat, yaitu bahwa tenaga Swat-im Sin-ciang pemuda itu jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri!

Didorong oleh kemarahannya yang timbul dari rasa penasaran, kini tubuh Ma-bin Lo-mo menerjang maju seperti badai mengamuk saking hebatnya. Tentu saja Han Han menjadi sibuk sekali dan sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan dia yang kalah jauh ilmu silatnya tak mungkin dapat menghindarkan diri dari serangan yang bertubi-tubi itu dan hanya dapat mengelak dan menangkis, melindungi diri­nya di bagian-bagian yang berbahaya dan membiarkan bagian-bagian yang dapat menahan pukulan untuk menerima han­taman-hantaman dahsyat dari lawannya!

Ia menjadi bulan-bulanan dan biarpun tubuh yang tidak berbabaya itu mengandung sin-kang kuat sehingga tidak terluka, namun kerasnya pukulan-pukulan itu membuat tubuhnya berkali-kali terlempar dan bergulingan. Melihat betapa pemuda itu dapat menahan pukulan-pukulannya yang cukup kuat untuk merobohkan lawan tangguh, Ma-bin Lo-mo menjadi makin marah dan penasaran, serangannya makin diperhebat.

Lulu berdiri dengan wajah tegang dan penuh kegelisahan. Seperti ketika ia me­nyaksikan kakaknya menghadapi tokoh-tokoh Hoa-san-pai di gedung Pek-eng-piauwkiok, dan kemudian menyaksikan kakaknya menghadapi tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai, kini pun ia hanya dapat menonton saja karena ia maklum bahwa untuk membantu kakaknya tingkat kepandaiannya masih jauh daripada cukup sehingga ia bukan membantu malah membahayakan diri sendiri dan mengacaukan pertahanan kakaknya. Kedua orang itu memang bertanding dengan amat seru dan hebat. Keduanya mempergunakan hawa sakti Im-kang sehingga dari tubuh mereka keluar hawa yang amat dingin yang seolah-olah membikin beku keadaan sekeliling mereka, bahkan Lulu yang sudah biasa tinggal di tempat dingin seperti Pulau Es sekalipun kini merasa betapa hawa dingin menyerangnya dan otomatis sin-kang di tubuhnya bekerja sehingga hawa yang hangat timbul me­lenyapkan rasa dingin.

Han Han tidak berani mencoba untuk menggunakan Yang-kang atau hawa sakti panas. Ia maklum bahwa tingkat kakek ini sudah tinggi sekali, sehingga kalau ia mengeluarkan Yang-kang, berarti ia meng­hadapi lawan dengan keras lawan keras yang tentu saja resikonya amat besar karena kalah sedikit saja kekuatannya dapat merenggut nyawa. Ia pun maklum bahwa biarpun dalam ilmu silat ia kalah jauh namun dengan pengerahan inti sari dari Im-kang ia masih dapat bertahan karena kekuatan sin-kangnya tidak kalah oleh lawan.

Selagi Han Han terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak disambung kata-kata nyaring penuh ejekan, “Ma-bin Lo-mo si Setan Kuda benar-benar sekarang tak tahu malu, mendesak orang muda dan tidak malu-malu mengeluarkan Swat-im Sin-ciang!”

Han Han melirik sebentar dan hatinya kecut ketika mengenal orang yang muncul dan mengeluarkan kata-kata itu ka­rena orang itu bukan lain adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat si Setan Botak ber­sama seorang pemuda tampan pesolek yang ia kenal sebagai Ouwyang Seng! Celaka, pikirnya. Ma-bin Lo-mo jahat, akan tetapi dua orang yang muncul ini tidak kalah jahat dan sama sekali tidak boleh diharapkan bantuannya!

Akan tetapi, selagi ia menangkis pukulan Ma-bin Lo-mo yang masih mendesaknya tiba-tiba Gak Liat meloncat maju dan memukul Iblis Muka Kuda dengan dorongan kedua lengan yang menimbulkan hawa panas. Itulah Hwi-yang Sin-ciang!

“Eh, Setan Botak, mau apa engkau?” Ma-bin Lo-mo membentak dan cepat ia meloncat jauh ke belakang untuk menghindarkan pukulan itu. Karena loncatannya yang jauh itu kini Han Han berada di tengah, di antara dua orang tokoh hitam itu. Pemuda itu menghadapi Gak Liat dan memandang dengan mata berapi. Kemarahannya sudah membakar hatinya dan kini melihat kakek yang juga amat jahat ini, ia memandang penuh kecurigaan.

“Han Han, lupakah engkau kepadaku? Aku Owyang-kongcu, sahabat lamamu. Kami datang untuk membantumu!” Ouw­yang Seng sudah cepat berteriak untuk mengambil hati pemuda itu. Tadi ia melihat betapa Han Han dapat menghadapi Ma-bin Lo-mo, biarpun terdesak namun juga tidak dapat dirobohkan. Hal ini saja sudah menyatakan bahwa Han Han se­karang benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi. Biarpun di dalam hatinya ia sama sekali tidak suka kepada Han Han, namun demi tugasnya ia harus men­taati perintah Puteri Nirahai untuk “menarik” Han Han menjadi kawan, bukan lawan.

“Ouwyang-kongcu, saya tidak mem­butuhkan bantuan apa-apa darimu atau dari Gak-locianpwe.”

Ouwyang Seng menghela napas pan­jang dengan muka menyatakan penyesal­annya, lalu menghampiri Lulu dan men­jura sambil berkata, “Nona, bukankah Kakakmu itu keliru sekali? Dia diserang dan didesak orang, masa tidak mau di­bantu?”

Lulu sejenak memandang Ouwyang Seng, kemudian berkata kepada kakaknya, “Koko, kalau mereka memang benar-benar hendak membantu, mengapa kau menolak?”

“Lulu, jangan mencampuri. Mereka itu pun bukan orang-orang yang dapat dipercaya!”

Akan tetapi Lulu memandang wajah Ouwyang Seng yang tampan dan ter­senyum-senyum itu dan ia merasa heran akan ucapan kakaknya karena dalam pandangannya, pemuda tampan ini sama sekali tidak jahat.

“Han Han, betapapun juga, engkau bukanlah lawan Iblis Muka Kuda. Biarlah aku membantumu mengusir iblis itu, kemudian kita bicara sebagai kenalan-kenalan lama. Bagaimana?”

“Gak-locianpwe, apakah locianpwe juga seperti Ma-bin Lo-mo ini, hendak bertanya tentang Pulau Es kepadaku setelah locianpwe membantuku meng­enyahkan Ma-bin Lo-mo?”

Pertanyaan yang tiba-tiba dari Han Han ini tepat menusuk hati Gak Liat yang memang ingin sekali mendengar tentang Pulau Es itulah, sehingga ia lupa akan tugasnya dan penuh gairah berteriak, “Ah, jadi engkau sudah berhasil sampai ke sana? Anak baik, mari kubantu eng­kau membinasakan Iblis Muka Kuda, baru kita bicara tentang Pulau Es!”

Kemarahan hati Han Han meluap. “Kang-thouw-kwi, engkau setali tiga uang (sama saja) dengan Ma-bin Lo-mo. Aku tidak sudi akan bantuanmu!”

Mendengar jawaban ini dan karena mereka yakin bahwa Han Han tak dapat dibujuk, Ouwyang Seng sudah cepat turun tangan untuk melakukan siasat yang ke dua. Yaitu, merampas Lulu terlebih da­hulu untuk menyelamatkan gadis Mancu itu dan juga untuk dijadikan umpan me­mancing Han Han ke kota raja, bahkan kelak akan dapat dipergunakan untuk memaksa Han Han tunduk akan perintah Puteri Nirahai. Ia maklum bahwa sekali ini ia tidak boleh menurutkan nafsu be­rahinya yang berkobar begitu ia melihat gadis Mancu yang cantik molek tidak kalah oleh Puteri Nirahai sendiri itu, karena Lulu adalah seorang gadis Mancu dan keadaan gadis ini sudah menjadi perhatian Puteri Nirahai dan sudah di­umumkan kepada para pembantunya. Cepat ia menubruk untuk menangkap Lulu, akan tetapi alangkah kaget dan herannya kelika tubuh gadis itu seperti seekor kupu-kupu yang hendak ditangkap saja, telah melesat dan mengelak dari kedua tangannya! Itulah gerak otomatis yang sudah ada pada diri Lulu sebagai hasil latihan-latihannya selama berada di Pulau Es bersama Han Han.

Melihat Ouwyang-kongcu tidak ber­hasil dan gadis itu berkelebat dekat de­ngannya, Gak Liat lalu menggerakkan tangan kanannya mendorong perlahan. Lulu mengeluh dan roboh dalam pelukan Ouwyang Seng yang sudah cepat me­nyambar, menotoknya dan memondong tubuhnya.

“Koko....!”

Han Han marah bukan main. “Keparat! Lepaskan Adikku!” Ia mengejar maju akan tetapi dihadang oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Melihat ini, dengan muka merah dan pandang mata beringas Han Han menerjang Gak Liat dan memukul dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!

Gak Liat terkejut bukan main melihat ini dan cepat menangkis.

“Bressss!” Tubuh Kang-thouw-kwi Gak Liat seperti yang dialami oleh Ma-bin Lo-mo tadi tergetar oleh pukulan Hwi-yang Sin-ciang, keahliannya sendiri. Ia tergetar dan terhuyung ke belakang sedangkan Han Han hanya tergetar saja.

“Ha-ha, Setan Botak! Bocah ini se­karang tak boleh dibuat main-main, dia telah mewarisi pusaka Pulau Es!” Ma-bin Lo-mo mentertawakan Gak Liat.

“Kita berdua harus menundukkannya!” Gak Liat yang amat cerdik berkata. Dari pada memperebutkan bocah itu dan kedua-duanya tidak berhasil, lebih baik menangkapnya bersama dan kelak mem­bagi-bagi hasilnya. Melihat betapa dalam waktu lima enam tahun saja bocah ini sudah dapat menggunakan Hwi-yang Sin-ciang sedemikian hebatnya, dapat di­bayangkan betapa luar biasa dan amat berharga pusaka Pulau Es.

Ma-bin Lo-mo bukan seorang bodoh. Ia maklum akan isi hati Gak Liat, maka­ ia berkata, “Baiklah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup!”

Gak Liat berteriak ke belakangnya, “Kongcu, lekas bawa pergi Nona itu!”

Ouwyang-kongcu sudah mengempit tubuh Lulu dan menotoknya sehingga kini Lulu menjadi lemas tak dapat bergerak atau berterlak lagi, kemudian ia melari­kan diri secepatnya meninggalkan tempat itu sambil mengempit tubuh Lulu dengan lengan kirinya.

“Heiiiii, Ouwyang Seng keparat kurang ajar! Lepaskan adikku.... anjing keparat, kulumatkan tubuhmu, kuhancurkan ke­palamu!” Han Han menerjang ke depan hendak mengejar Ouwyang Seng, akan tetapi ia disambut oleh pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat, bahkan dari belakang ia diserang pula oleh Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Han Han mengeluar­kan suara menggereng seperti biruang es, wajahnya merah dan matanya mengeluarkan sinar beringas. Kemarahan hebat membuat ia menjadi mata gelap dan kebuasannya timbul kembali. Dua pukulan dari depan dan belakang hampir berba­reng mengenai tubuhnya, akan tetapi seolah-olah tidak dirasakannya dan ia mengamuk, menggunakan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang berganti-ganti tanpa aturan lagi sehingga dua orang kakek itu berkali-kali mengeluar­kan seruan heran dan kaget.

Andaikata lawan-lawannya hanyalah orang-orang yang memiliki kepandaian tidak terlalu tinggi, tentu amukan Han Han ini akan melumatkan tubuh mereka dan tentu kebuasannya sudah mengorban­kan banyak nyawa-nyawa lagi. Akan te­tapi sekali ini yang mengeroyoknya ada­lah dua orang di antara datuk-datuk hitam yang ilmu kepandaiannya luar bia­sa sekali dan pada jaman itu sukar di­cari tandingnya, maka betapapun ia meng­amuk, tetap saja ia tidak dapat memukul lawannya, bahkan tubuhnya berkali-kali harus menerima hantaman-hantaman yang amat berat.

Hantaman-hantaman itu amat kuat dan membuat dada Han Han terasa se­sak, kepalanya pening dan hal ini menambah kemarahannya melihat adiknya diculik Ouwyang Seng. Ia menjadi nekat dan ketika dua orang kakek itu kembali menyerangnya dari kanan kiri, ia menge­luarkan pekik melengking dan mengerah­kan seluruh sin-kangnya menyalurkan Hwi-yang Sin-ciang di tangan kiri menghantam Ma-bin Lo-mo sedangkan tangan kanannya dengan hawa Swat-im Sin-ciang menghantam Gak Liat. Ia balas memukul tanpa mempedulikan datangnya pukulan kedua lawan itu. Karena ia menyalurkan sin-kang secara terbalik dan dengan de­mikian sekaligus menghadapi kedua lawan itu dengan dua macam tenaga yang ber­lawanan sehingga keras bertemu keras, terjadilah tabrakan tenaga sakti yang luar biasa sekali.

“Desssss....!”

Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo seketika muntahkan darah segar dari mulut mere­ka akan tetapi Han Han sendiri yang terhimpit oleh dua tenaga raksasa itu roboh pingsan!

Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee cepat duduk bersila untuk mencegah terluka di da­lam dada mereka. Sepuluh menit kemudi­an mereka sudah bergerak kembali dan keduanya memandang Han Han sambil menggeleng-geleng kepala.

“Dia luar biasa sekali, Setan Botak,” Ma-bin Lo-mo berkata perlahan.

“Hemmm, kalau tidak mengalami sendiri mana aku bisa percaya?” jawab Gak Liat dan keduanya cepat mengham­piri Han Han yang masih rebah pingsan.

Mereka berdua lalu turun tangan me­notok jalan darah Han Han. Ditotok oleh dua orang ahli dengan dua cara menotok yang berlainan dan amat lihai, seketika tubuh Han Han menjadi lemas dan tak lama kemudian ia siuman kembali. Be­tapa kaget dua orang kakek itu ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak mengalami luka sama sekali, padahal mereka berdua nyaris terluka parah di sebelah dalam dada!

Biarpun tidak terluka parah, akan tetapi setelah siuman kembali Han Han merasa betapa seluruh tubuhnya lemas sekali saking lelahnya. Dia tahu bahwa dia telah tertotok dan dia tidak ingin mencoba untuk membebaskan diri, mak­lum bahwa di tangan kedua orang kakek itu percuma saja baginya untuk melawan. Namun, menyerahkan pun tidak ada se­dikit juga di dalam hatinya. Ia memandang kakek-kakek yang duduk di dekat­nya lalu berkata.

“Kalian telah mengalahkan aku, tidak lekas bunuh mau apa lagi?” Suaranya terdengar dingin sekali dan sedikit pun tidak kelihatan gentar sehingga kedua orang kakek datuk golongan hitam itu menjadi kagum.

“Han Han, mengapa engkau amat keras kepala? Kami tidak ingin mem­bunuhmu.”

“Benar, Han Han. Engkau masih amat muda, tidak sayangkah kalau membuang nyawa secara sia-sia?”

Mendengarkan ucapan kedua orang kakek ini yang halus dan seolah-olah menyayangnya, rasa dada Han Han men­jadi makin sesak karena marah. Ia me­ngerti betul bahwa dua orang kakek itu adalah datuk-datuk golongan hitam yang amat kejam, yang kini bersikap halus kepadanya karena ada pamrihnya, sikap yang palsu seperti desis dua ekor ular.

“Sudahlah, bosan aku mendengarnya. Kalian sama-sama menghendaki aku bi­cara tentang Pulau Es, bukan? Sudahlah, percuma saja bicara. Aku tidak mau bicara dan kalau kalian mau bunuh, ker­jakan saja. Aku tidak takut mati!”

Gak Liat dan Siangkoan Lee saling memandang. Dalam bertemu pandang itu keduanya bersepakat cara apa yang harus mereka pergunakan. Membujuk bocah yang berhati baja ini akan sia-sia, jalan satu-satunya adalah paksaan dengan jalan penyiksaan.

“Baiklah, hendak kulihat apakah eng­kau akan kuat mempertahankan kekeras­an hatimu!” bentak Ma-bin Lo-mo dan jari telunjuknya menotok punggung Han Han di tiga tempat. Han Han tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan Iblis Muka Kuda ini ketika menotoknya, akan tetapi seketika ia merasa betapa seluruh tu­lang-tulang di tubuhnya nyeri, seperti ditusuk-tusuk jarum! Ia mempertahankan diri agar tidak mengeluh, rasa nyeri makin menghebat, sampai berdenyut-denyut di ubun-ubunnya, akan tetapi ia tetap mengeraskan hatinya sehingga mu­kanya penuh keringat dan mukanya men­jadi pucat.

“Engkau tidak mau bicara tentang pulau itu?” Ma-bin Lo-mo membentak marah, akan tetapi Han Han diam saja, hanya memandang dengan mata mendelik, sedikit pun tidak mau menjawab.

“Ha-ha, agaknya dia tetap berkeras. Biar kutambah sedikit!” Gak Liat lalu menggunakan tangannya mengurut tengkuk Han Han dan seketika Han Han merasa betapa seluruh tubuhnya gatal-gatal. Bukan main hebatnya penderitaan ini. Rasa tulang tertusuk-tusuk menimbulkan nyeri yang sampai terasa di ubun-ubun, akan tetapi rasa gatal yang tidak nyeri sekali malah ternyata lebih hebat lagi karena merangsang syaraf-syaraf, terasa di bawah kulitnya. Ingin sekali kedua tangannya menggaruk, akan tetapi dia masih tertotok lumpuh kedua kaki tangannya! Hampir ia tak dapat menahan lagi dan ingin menjerit-jerit sekerasnya, namun kekerasan hatinya yang tidak ingin mengeluarkan keluhan membuat ia tidak suara sedikit pun, bahkan ia memejamkan kedua matanya. Begitu kedua matanya dipejamkan, terbayanglah wajah Lulu dan teringatlah ia betapa adiknya itu terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada yang dihadapinya sendiri. Kekhawatiran dan kemarahan yang bergelombang hebat dalam dirinya mendatangkan kekuatan kemauan yang tidak lumrah dan seketika ia mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergerak den seketika itu juga ia telah melompat bangun! Hebat sekali memang keadaan tubuh Han Han, kehebatan yang tidak wajar lagi. Semenjak kepalanya dibenturkan oleh perwira yang memperkosa ibunya, terjedi ketidakwajar­an dalam tubuhnya, menimbulkan kekuat­an kemauan yang depat mengalahkan kekuatan jasmani dan dengan sendirinya juga dapat memaksa jasmaninya melakukan hal-hal yang tidak semestinya dapat dilakukan manusia biasa. Dalam keadaan tertotok tadi, dia sama sekali tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu mengerahkan sin-kang. Akan tetapi ke­kuatan kemauannya yang luar biasa, ter­dorong oleh kemarahannya dan kekhawa­tirannya memikirkan Lulu, membuat ia mampu mengerahkan sin-kangnya sehingga ia dapat membebaskan totokan pada tubuhnya dan sekaligus juga membebas­kan totokan dan pencetan yang menimbulkan rasa nyeri-nyeri dan gatal-gatal tadi. Begitu dapat bergerak lagi, Han Han lalu meloncat hendak pergi dari situ mengejar Ouwyang Seng yang membawa lari adiknya. Melihat ini, Setan Botak dan Iblis Muka Kuda yang tadinya bengong dan kesima saking kagetnya me­lihat pemuda itu tiba-tiba dapat bebas, cepat meloncat dan melakukan pengejaran. Han Han tidak terluka parah di dalam tubuhnya, namun seluruh tubuhnya sakit-sakit akibat pertandingan tadi, maka larinya tidaklah secepat biasanya. Andaikata tidak demikian sekalipun, tentu sukar baginya untuk dapat melarikan diri dari dua orang datuk hitam itu.

“Kau hendak lari ke mana?” Gak Liat mengejek.

“Hemmm, jangan harap dapat melari­kan diri!” Ma-bin Lo-mo juga mengejek.

Mendengar suara mereka amat dekat di belakangnya, Han Han maklum bahwa lari pun memang tiada gunanya. Ia ter­ingat akan sesuatu, teringat akan pengalaman-pengalamannya ketika kecil, betapa suaranya kadang-kadang dapat mem­pengaruhi orang. Hal itu dahulu ia anggap tak masuk akal dan hanya kebetulan saja, akan tetapi dalam keadaan tersudut seperti ini, tiada salahnya mencoba-coba. Ia mengumpulkan seluruh kekuatan ke­mauannya, kemudian tiba-tiba membalik dan membentak.

“Berhenti kalian!”

Dua orang kakek yang sama sekali tidak menyangka akan dibentak seperti itu, kaget sekali dan mereka berhenti seperti arca, memandang sepasang mata Han Han yang mengeluarkan sinar kilat ketika pemuda itu membalikkan tubuh. Melihat keadaan mereka, Han Han “mendapat hati” dan ia berkata lagi dengan suara penuh wibawa karene didasari kemauan yang amat kuat.

“Gak Liat dan Siangkoan Lee, bukankah kalian saling bermusuhan? Siapa tidak menyerang dulu akan celaka!”

Gak Liat den Siangkoan Lee seperti kemasukan kilat, mereka membalik, sa­ling pandang dengan mata penuh kema­rahan.

“Setan Botak. Engkau musuhku!”

“Iblis Muka Kuda, aku harus membunuhmu!”

Kedua orang tokoh besar dalam golongan kaum sesat itu segera saling han­tam sendiri! Karena Gak Liat memper­gunakan Hwi-yang Sin-ciang sedangkan Siangkoan Lee mempergunakan Swat-im Sin-ciang tentu saja baku hantam an­tara dua orang datuk hitam itu amatlah hebatnya dan dua kali gebrakan saja mereka berdua terjengkang ke belakang. Karena mereka berdua memang telah memiliki kekuatan sin-kang dan kekuatan batin yang tinggi, maka pengaruh luar biasa dari pandang mata dan bentakan Han Han itupun hanya sebentar saja menguasai mereka. Setelah terjengkang barulah mereka terheran-heran mengapa mereka saling serang sendiri, dan ketika mereka memandang ternyata pemuda itu telah lari agak jauh! Tentu saja tergopoh-gopoh dua orang kakek itu mengejar sambil menyumpah-nyumpah. Mereka menjadi penasaran den marah, dan tanpa bicara keduanya mengambil keputusan untuk menangkap den menyiksia bocah itu sampai mati kalau tidak mau bicara tentang Pulau Es.

Han Han maklum bahwa kembali dua orang kakek itu sudah mengejar dekar. Ia tidak berani lagi mencoba kekuatan mu­jijat bentakannya, karena terbukti bahwa mereka itu kini sudah tidak terpengaruh lagi. Ia berlari terus dan tiba di sebuah lereng gunung yang banyak jurang-jurang dalam di kanan-kirinya. Celaka, pikirnya, ke mana lagi harus melarikan diri? Ah, melarikan diri pun tidak ada gunanya dan ia tidak tahu ke mana Lulu dibawa pergi Ouwyang Seng. Daripada berlari yang akhirnya tentu tersusul pula, lebih baik melawan mati-matian. Pikiran ini mem­buat ia nekat lalu membalikkan tubuhnya dan begitu dua orang lawannya datang dekat, dialah yang mendahului mener­jang maju dan mengirim pukulan dengan kedua tangannya. Pukulannya ampuh se­kali dan terpaksa dua orang kakek itu meloncat ke samping sambil mengibaskan lengan menangkis. Kembali Han Han dikeroyok dua dan betapapun ia melawan mati-matian, sebentar saja ia sudah ter­desak lagi.

Kedua orang kakek itu selain berke­pandaian tinggi, juga merupakan orang-orang cerdik dan banyak pengalaman. Mereka segera mengerti bahwa dalam hal ilmu silat, Han Han masih belum mahir, dan pemuda ini hanya memiliki sin-kang yang benar-benar amat hebat di samping kekuatan mujijat yang menimbulkan wi­bawa dan dapat mempengaruhi orang lain. Karena itu, mereka segera memper­gunakan ilmu silat untuk mendesak dan kini tubuh Han Han montang-manting karena harus menerima hantaman-hantam­an yang tak dapat ia elakkan atau tangkis lagi. Ia terhuyung ke sana ke mari, dijadikan seperti sebuah bola dipermain­kan dua orang anak-anak atau seekor tikus dipermainkan dua ekor kucing yang tidak segera membunuhnya, melainkan hendak menyiksanya. Memang orang-orang seperti Setan Botak dan Iblis Muka Kuda ini memiliki watak sadis yang luar biasa. Mereka itu tak pernah memiliki hati jujur, tidak pernah memiliki rasa kasihan, bahkan melihat orang lain menderita dan tersiksa, timbul semacam rasa puas dan gembira, sebaliknya menyaksikan orang lain senang dan bahagia, hati mereka tidak senang, iri hati dan dengki. Karena inilah maka mereka itu menjadi datuk-datuk golongan hitam, orang-orang yang sudah tidak mengenal lagi baik atau buruk, atau tidak mempedulikannya, yang berbuat semata-mata demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri saja.

Han Han yang merasa betapa tubuh­nya seperti akan pecah, rasa nyeri membuat kepalanya pening berdenyut-denyut tetap membungkam dan tidak mau bicara sama sekali, apalagi bicara tentang Pulau Es. Dia malah menggigit bibir sampai berdarah menahan rasa nyeri, dan masih terus melakukan perlawanan sejadinya yang tentu saja tidak ada artinya bagi kedua orang kakek itu.

Sebuah pukulah Kang-thouw-kwi Gak Liat yang mengenai leher Hen Han mem­buat pemuda ini terpelanting dan sesaat tak dapat bangun karena pandang mata­nya berkunang-kunang dan segala sesuatu seperti berpusingan. Terpaksa Han Han memejamkan mata dan menanti pukulan maut.

“Masihkah engkau berkeras tidak mau memberi tahu tentang Pulau Es?” Ma-bin Lo-mo membentak dan tubuhnya sudah mendoyong ke depan untuk memberi pukulan maut yang akan menghancurkan kepala Han Han yang kini sudah tak mampu melindungi dirinya lagi itu.

Han Han tidak mau menjawab, bahkan kini ia membuka kedua matanya, terbelalak memandang kepada dua orang kakek itu karena ia hendak menghadapi kematiannya dengan mata terbuka agar depat melihat bagaimana caranya dia mati! Dua orang kakek yang sudah hilang harapan dan kesabaran untuk mem­bujuk Han Han itu menggerakkan tangan, seolah-olah hendak berlumba pula me­nikmati kesenangan membunuh pemuda keras kepala itu. Kedua tangan mereka bergerak memukul ke arah kepala Han Han dan.... tubuh mereka terpental ke belakang dan terbanting cukup keras ke atas tanah.

Han Han terbelalak penuh keheranan dan kekaguman ketika ia melihat searang kakek tua renta yang berambut panjang terurai tidak diurus, pakaian sederhana bukan seperti pakaian lagi, berkaki telan­jang, berdiri tak jauh dari tempat itu. Kakek tua renta itu patutnya seorang yang hidupnya terlantar, seorang jembel tua, dan yang membuat Han Han kagum adalah wajah kakek itu yang masih ke­lihatan tampan dan mencerminkan ke­tenangan dan kedamalan hati yang mujijat. Kakek itu berdiri dan tersenyum memandang dua orang datuk golongan hitam itu.

Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo yang juga terkejut sekali meloncat bangun dan ketika mereka melihat kakek tua renta yang bertubuh tinggi besar itu, mereka mengeluarkan seruan tertahan, sejenak tubuh mereka menegang seolah-olah hendak menerjang kakek tua renta itu, akan tetapi ternyata tidak demikian karena mereka membalikkan tubuh dan.... lari cepat meninggalkan tempat itu. Han Han menjadi heran sekali, akan tetapi tidak sempat bertanya karena kakek tua renta itu pun sudah melangkah pergi perlahan-lahan dari tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah pun kata-kata.

Han Han baru mengeluarkan rintihan perlahan setelah dua orang iblis itu pergi dan tidak ada orang lain di tempat itu. Seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, tu­lang-tulangnya seperti remuk rasanya. Akan tetapi lebih sakit lagi karena me­mikirkan Lulu. Ia bangun dan bersila, mengerahkan sin-kangnya sehingga hawa yang hangat menjalar di seluruh tubub­nya mengurangi rasa sakit. Akan tetapi karena teringat akan adiknya, tidak lama kemudian ia bangkit berdiri, agak ter­huyung dan pening. Mulutnya berbisik.

“Ouwyang Seng, awas engkau kalau mengganggu Lulu....” Ia tahu bahwa Ouwyang Seng tinggal di kota raja. Ten­tu adiknya itu dibawa ke kota raja. Ia harus mengejar secepatnya ke kota raja. Pikiran ini membuat ia melompat ke depan, agaknya ingin ia dengan sekali lompatan dapat menyusul Ouwyang Seng. Akan tetapi ia mengeluh dan terguling, menggeletak pingsan di pinggir jurang, nyaris tubuhnya terguling ke jurang ka­lau saja tidak ada sebuah batu meng­halang tubuhnya yang menelungkup.



***



Setelah Kaisar Kang Hsi naik tahta Kerajaan Mancu pada tahun 1663, me­mang terjadilah perubahan besar-besaran menuju ke arah perbaikan. Kaisar ini menggunakan tangan besi untuk menyapu para pemberontak, juga melakukan usaha keras untuk membasmi korupsi dan pe­nyuapan. Dengan cara radikal mengganti para pembesar tua yang korup dengan tenaga-tenaga muda, bukan hanya diambil dari bangsa-bangsa di utara, yaitu bangsa Mancu, Mongol atau Khitan, akan tetapi juga tidak pantang mempergunakan te­naga bangsa Han sendiri yang sudah jelas mendukung pemerintah baru itu. Bahkan dengan sikap yang manis dan jujur, kai­sar ini membuka kesempatan bagi kaum muda terpelajar untuk menduduki jabatan-jabatan penting di kota raja melalui ujian yang jujur, bebas daripada pengaruh suapan. Hal ini disambut dengan gem­bira oleh kaum terpelajar yang semenjak dahulu bernasib sengsara kareng dahulu, betapapun pandainya seseorang, kalau tidak dapat memberi suapan kepada pem­besar yang bertugas, tak pernah dapat lulus ujian. Sikap kaisar ini memang tepat sekali sehingga pemerintahnya mendapatkan simpati daripada kaum terpelajar.

Namun, di samping sikap lunak dan baik untuk menarik sebanyak mungkin kaum cerdik pandai membantu roda pe­merintahannya, Kaisar Kang Hsi juga bersikap bengis dan keras terhadap rak­yat yang tidak tunduk kepada pemerintah Mancu. Pembersihan dilakukan di mana-mana, dan terutama sekali kaum kang-ouw mendapat pengamatan keras. Tepat seperti yang diceritakan oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok kepada para pembantu­nya, bagaikan ikan-ikan para tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah penjajah ini dikejar-kejar sehingga terpaksa mere­ka yang dapat menyelamatkan diri lari ke Se-cuan untuk menggabung pada Bu Sam Kwi, raja muda yang merupakan kekuatan terakhir yang menentang pe­merintah Mancu.

Sudahlah lazim di dunia ini bahwa perubahan-perubahan selalu mendatangkan korban dan selalu menimbulkan ekses-ekses yang kadang-kadang merupakan malapetaka besar. Sudah biasa pula bah­wa perintah yang dikeluarkan dengan kebijaksanaan dan mempunyai dasar yang baik, sering kali berbeda dengan pelak­sanaannya, atau disalahgunakan oleh si pelaksana demi kesenangan dirinya sen­diri. Demikian pula dengan perintah kai­sar. Kaisar memberi perintah untuk mem­bersihkan kaum pemberontak, dengan maksud agar pertentangan segera ber­akhir dan dapat segera menujukan se­luruh kekuatan dan perhatian kepada pembangunan agar kehidupan rakyat men­jadi tenteram dan jauh daripada perbuat­an yang mengandung kekerasan.

Akan tetapi bagaimanakah pelaksana­an daripada perintah ini? Ketika perintah turun sampai ke tangan Ouwyang Cin Kok dan yang menyerahkannya kepada Puteri Nirahai dan para pembantunya, perintah itu masih murni dan dilaksana­kan dengan baik pula. Akan tetapi se­telah perintah itu tersebar kepada pasu­kan-pasukan yang ditugaskan melakukan pengejaran dan pembersihan terhadap orang-orang kang-ouw yang masih me­nentang, terjadilah penyelewengan-penye­lewengan dan penyalahgunaan. Pasukan-pasukan Mancu yang beroperasi jauh dari kota raja, jauh dari pengawasan para pembesar, hanya dipimpin oleh perwira-perwira rendahan yang dalam keadaan demikian seolah-olah menjadi raja-raja kecil yang berkuasa penuh, segera me­lakukan hal-hal yang sama sekali tidak menenteramkan rakyat, bahkan sebalik­nya! Apalagi kalau ada di antara mereka yang tewas oleh sergapan kaum pem­berontak kang-ouw yang berkepandaian. Kemarahan dan dendam mereka yang tak dapat mereka lampiaskan kepada para pemberontak lalu mereka timpakan ke­pada rakyat dusun-dusun yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Terjadilah pe­rampokan, perkosaan, pembunuhan dan perampasan tanah untuk diberikan kepada mereka yang dapat mengeluarkan perak dan emas sebagai sogokan!

Bermacam-macamlah peristiwa yang terjadi di jaman sengsara bagi rakyat jelata itu. Kedatangan pasukan-pasukan Mancu yang berdalih melakukan pem­bersihan terhadap kaum pemberontak itu jauh-jauh sudah didengar oleh penduduk dusun-dusun sebagai kedatangan segerombolan serigala-serigala kelaparan yang haus darah. Ada yang bergegas lari mengungsi, akan tetapi sebagian besar hanya menerima nasib dan menyandarkan nasib keluarga mereka kepada Tuhan. Mau lari mengungsi lari ke mana? Di rumah pun setiap harinya sudah sukar mendapatkan makan, kalau mengungsi tanpa tujuan, tanpa bekal, sama dengan mencari mati kelaparan di perjalanan!

Dan setelah pasukan Mancu memasuki sebuah dusun, benar-benar nasib mereka yang menjadi penghuni dusun itu berada di tangan Tuhan. Tidak ada seorang pun dapat membela mereka. Tuhan yang me­nentukan siapa di antara penghuni dusun itu yang akan ditimpa malapetaka, siapa yang dibakar rumahnya, dibunuh, diram­pok, atau diperkosa anak isterinya, siapa pula yang secara aneh terhindar dari malapetaka seolah-olah para pasukan yang berubah ganas melebihi perampok-perampok itu melewati atau tidak melihat rumah itu.

Manusia adalah mahluk yang berakal budi, yang katanya merupakan mahluk-mahluk yang tertinggi tingkat dan de­rajatnya di antara segala mahluk hidup yang bergerak. Akan tetapi justeru ka­rena akal budi itulah maka tidak ada mahluk yang lebih kejam dan buas daripada seorang manusia yang menyombong­kan akal budinya. Sebagian besar manusia menyalahgunakan akal yang dianuge­rahkan khusus kepada manusia oleh Tuhan. Akal bukan dipergunakan untuk kebaikan, untuk kemanfaatan bagi manu­sia umumnya dan dunia, melainkan se­mata-mata akal dipergunakan sebagai alat untuk mencapai kepuasan nafsu-nafsunya yang tak kunjung habis. Akal dipergunakan untuk mengakali (menipu) orang lain, budi dipergunakan sebagai bahan utang-piutang!

Kalau manusia sudah diperhamba nafsunya sendiri, benar-benar mengerikan sekali akibat daripada perbuatan-perbuat­annya. Mata sudah menjadi gelap oleh nafsu, yang ada hanyalah mengejar ke­nikmatan dan kepuasan nafsu, tanpa mempedulikan lagi apa yang disebut baik dan buruk, tidak lagi sadar bahwa perbuatannya menyengsarakan orang lain bahwa perbuatannya adalah amat jahat.

Dengan dalih pembersihan dan me­numpas kaum pemberontak, rakyat yang tidak berdosa disembelih, hanya untuk dapat menyita barang-barangnya atau memperkosa isteri dan gadisnya. Di da­lam sebuah dusun, seorang ibu muda melihat suaminya disembelih di depan matanya, kemudian karena diancam anak­nya akan disembelih, ibu muda ini ter­paksa menyerahkan kehormatannya di­nodai secara bergantian oleh tiga orang tentara Mancu yang menyebut diri me­reka pahlawan-pahlawan Kerajaan Mancu yang jaya! Setelah ibu muda itu tergolek pingsan, tiga orang manusia itu mem­bunuhnya, juga membunuh bayinya! Ada pula gerombolan pasukan yang memper­kosa isteri dan gadisnya di depan tuan rumah yang diikat pada tiang rumah dan dipaksa menyaksikan betapa isteri dan anaknya menjerit-jerit diperkosa seperti dua ekor domba diterkam harimau-harimau buas! Banyak lagi kekejian-kekejian yang kalau diceritakan seakan-akan tidak ma­suk akal, akan tetapi hal-hal semacam itu banyak terjadi di masa itu, dan terjadi pula di mana-mana di bagian dunia ini, terutama sekali di waktu perang mengamuk. Perang mengubah manusia-manusia beradab menjadi buas melebihi binatang yang paling buas, menjadi jahat melebihi iblis yang paling jahat. Dan semua perbuatan ini mereka lakukan dengan memaksakan pendirian di dalam hati sendiri bahwa yang mereka lakukan itu adalah benar, karena mereka menjatuhkan hukuman bagi musuh-musuh mereka. Mungkin ada, di antara mereka yang setelah tenang kembali menyadari betapa kejinya perbuatan mereka, namun mereka akan menghibur hati sendiri bah­wa banyak orang menemani mereka da­lam perbuatan itu, bukan mereka sendiri, maka berkuranglah penyesalan hati mere­ka, sungguhpun kadang-kadang hati nurani mereka membuat mereka itu tersiksa batin mereka selama hidup mereka.

Di sebuah dusun, sebelah selatan kota raja, hanya sejauh tiga ratus mil saja dari kota raja, terjadilah geger ketika pasukan-pasukan Mancu melanda dusun-dusun di sekitarnya dalam “operasi” mereka.

Memang ada juga hasilnya operasi yang dilakukan pasukan itu demi tugas mereka yang semestinya, yang membasmi peram­pok-perampok dan mereka yang masih menentang kekuasaan pemerintah Mancu. Di dalam hutan di luar dusun itu sebuah pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang telah berhasil membasmi segerombolan perampok yang selain sering meng­ganggu penduduk dan orang lewat, juga terkenal memusuhi pemerintah Mancu dan sering kali menghadang dan meram­pok kereta-kereta pembesar Mancu yang lewat dan yang tidak begitu kuat pengawalannya. Sarang perampok dibasmi, banyak yang dibunuh dan ada pula yang melarikan diri. Kepala perampok dibunuh, akan tetapi seorang di antara isteri-isteri perampok itu, yang muda cantik dan genit, tidak dibunuh oleh perwira yang mengepalai pasukan, karena perempuan ini amat pandai mengambil hati dan pandai pula merayu. Perempuan ini men­ceritakan bahwa dia bukanlah perampok, bahwa dia adalah puteri seorang guru silat yang diculik perampok dan diperkosa. Akhirnya ia dapat jatuh ke tangan kepala rampok itu dan dijadikan selirnya. Karena perwira itu dan pembantu-pembantunya puas dengan rayuan wanita ini, maka dia dibawa sebagai teman penghibur dalam tugas pembersihan yang mereka lakukan. Apalagi ketika wanita itu membuktikan bahwa dia pun pandai silat dan ikut pula melakukan gerakan pembersihan, mem­bantu para pasukan, dia makin disayang. Hebatnya, perempuan ini mempunyal kesenangan yang amat aneh, yaitu ia paling suka menyaksikan wanita-wanita diperkosa oleh para anak buah pasukan! Bahkan dialah yang sering kali menang­kapi gadis-gadis dan wanita-wanita muda yang cantik untuk diberikan kepada para anak buah pasukan kemudian dengan ter­senyum puas ia menyaksikan betapa me­reka itu diperkosa seperti domba disem­belih! Hal ini timbul dalam hatinya, me­rupakan semacam penyakit sebagai akibat daripada pengalamannya sendiri. Ketika masih gadis remaja, dia sebagai gadis terhormat seorang guru silat, diculik perampok dan diperkosa oleh banyak orang. Semenjak itu, nasibnya selalu seperti itu, diperkosa ganti-berganti ta­ngan sampai akhirnya ia jatuh ke tangan kepala rampok dan dijadikan selirnya. Karena penderitaan batin yang amat hebat itulah maka dia akhirnya ingin melihat setiap orang wanita diperkosa seperti yang pernah ia alami sendiri! Ketika pasukan memasuki dusun di selatan kota raja itu dan si wanita cabul dan genit ini mendengar bahwa di situ tinggal seorang guru silat dengan seorang isteri dan seorang gadisnya, timbul kegai­rahan hatinya untuk menimpakan mala­petaka kepada guru silat dan keluarganya ini seperti yang pernah dialami keluarga ayahnya sendiri. Maka ia lalu berbisik-bisik kepada komandan pasukan yang tertawa terbahak, kemudian menjelang senja wanita itu bersama perwira dan tiga orang pembantunya keluar dari ge­dung yang dijadikan markas sementara pasukan. Empat orang perwira itu mengenakan pakaian biasa, tidak seperti pakaian yang mereka pakai kalau men­jalankan dinas, sehingga mereka itu kelihatan seperti tokoh-tokoh persilatan atau pembesar-pembesar sipil karena pakaian yang dipakai secara tiru-tiru oleh orang-orang Mancu ini memang lucu. Namun gerakan mereka ketika ber­jalan Jelas menunjukkan bahwa mereka adalah tentara-tentara Mancu.

Guru silat pemilik rumah yang agak terpencil itu menyambut kedatangan empat orang laki-laki tinggi besar dan seorang wanita cantik itu dengan hati gelisah. Dari sikap mereka itu ia sudah mengenal bahwa empat orang itu tentulah orang-orang Mancu, maka cepat ia menyambut mere­ka dengan hormat dan bertanya.

“Cu-wi mencari siapakah?”

Empat orang perwira Mancu itu belum pandai benar berbahasa Han, maka Si Wani­ta yang menjawabnya. “Mereka ini adalah perwira-perwira Mancu yang memimpin pasukan mengadakan pembersihan.”

Wajah guru silat itu menjadi berubah dan ia bertanya hati-hati, “Ada keperluan apakah cu-wi datang mengunjungi saya?”

Wanita cabul itu tertawa dan berkata, “Hanya ada sedikit keperluan yaitu mereka ini hendak meminjam sebentar iste­rimu yang kabarnya cantik dan anak gadismu!” Empat orang perwira itu ter­tawa bergelak dan mengangguk-anggukkan kepala.

“Keparat!” Guru silat itu marah sekali dan cepat menyambar goloknya dari atas meja sambil berteriak ke dalam, “A-bwee, ajaklah anakmu lari!”

Empat orang perwira itu tertawa bergelak, dan pemimpinnya lalu berkata. “Bunuh anjing pemberontak ini!” Kemudi­an ia bersama wanita cabul itu melom­pat ke dalam den mengejar ibu dan anak yang melarikan diri melalui pintu bela­kang.

Kauwsu (Guru Silat) itu mengamuk, dikeroyok tiga oleh tiga orang pembantu perwira. Akan tetapi dia adalah guru silat yang kepandaiannya biasa saja sedangkan tiga orang lawannya adalah per­wira-perwira muda yang kasar dan ber­tenaga besar, juga hampir setiap hari bertempur, maka begitu dikeroyok dengan serangan-serangan dahsyat, ia hanya da­pat bertahan belasan jurus saja. Tiga batang golok di tangan lawannya menyambar-nyambar dan guru silat itu ro­boh mandi darah dan tewas seketika. Sambil tertawa-tawa tiga orang perwira itu menancapkan golok mereka di atas meja lalu berlari menyusul pemimpin mereka ke belakang. Mereka sudah mendengar jeritan-jeritan wanita dan hal ini menambah gairah hati mereka.

Kasihan sekali nasib isteri dan anak guru silat itu. Belum jauh mereka me­larikan diri sudah disusul oleh perwira dan si perempuan cabul dan cepat mere­ka itu ditawan. Melihat bahwa isteri guru silat yang berusia kurang lebih tiga puluh itu benar-benar amat cantik, jauh lebih menarik dan lebih matang daripada gadisnya yang berusia lima enam belas tahun, perwira itu langsung menubruk isteri guru silat itu, memeluknya dan menciuminya sambil tertawa-tawa. Akan tetapi isteri guru silat itu meronta, me­lawan dan mencakar. Adapun gadis itu dengan mudahnya dirobohkan si wanita cabul yang menyambar sabuknya. Gadis itu bangkit berdiri dan lari, akan tetapi sabuknya terlepas dan sabuk yang panjang itu membuat tubuhnya berputaran dan ia roboh kembali, sabuknya yang panjang berada di tangan wanita cabul yang tertawa-tawa. Wanita itu membuat laso di ujung sabuk dan mengalungkannya di leher gadis itu. sehingga setiap kali gadis itu meronta, sabuk itu mengikat dan menjerat lehernya dan dia roboh kembali.

Pada saat itu, tiga orang pembantu perwira yang berhasil membunuh si guru silat muncul dan melihat gadis yang meronta-ronta itu, mereka tertawa ber­gelak. Si wanita cabul memotong sabuk menjadi empat dan berkata, “Nih, ikat kaki tangannya, kita permainkan dia, hi-hik!”

Laki-laki yang buas sebanyak tiga orang itu tertawa-tawa dan dua orang mengikatkan sabuk potongan itu pada kedua tangan Si Gadis, dan seorang lagi mengikatkan sabuknya pada kaki kanan gadis itu. Ketika mereka menarik sabuk, dan si wanita cabul menarik pula sabuk­nya yang menjerat leher, gadis itu terpentang kaki tangannya dan berdiri de­ngan kaki kiri, berloncatan dan berteriak-teriak, “Jangan bunuh aku...., jangan bunuh aku....!”

Sementara itu, perwira yang sudah bangkit nafsunya setelah menggumuli isteri guru silat dan mendapat perlawan­an, bahkan pipinya kena dicakar, men­jadi marah. Ia menampar muka wanita itu sehingga terpelanting, kemudian ber­kata marah, “Hemmm, apakah engkau masih menolak? Lihat, anakmu akan kusuruh robek menjadi empat kalau kau menolak. Manis, mengapa kau menolak? Bukankah aku lebih gagah daripada sua­mimu yang kurus kering itu?”

“Ibu.... Ibu.... tolonggggg....!” Gadis itu menjerit-jerit.

“Akhiuuu.... anakku....!” Si ibu menjerit, kemudian sambil terisak-isak ia berkata, “Baiklah.... baikiah.... lakukanlah sesuka hatimu terhadap aku.... akan tetapi bebaskan anakku.... lepaskan anakku....!”

Sambil menangis terisak-isak isteri guru silat itu tidak meronta lagi, membiarkan saja apa yang dilakukan oleh perwira yang menjadi buas itu dengan pakaian dan tubuhnya. Sementara itu, Si Gadis yang melihat keadaan ibunya, ce­pat berkata kepada tiga orang dan wa­nita cabul yang mengikatnya dengan sabuk. “Lepaskan aku...., ah, lepaskan aku. Lihat, Ibuku sudah mau.... lepaskan aku....!” Anak gadis itu yang hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri, agaknya lupa akan keadaan ibunya, lupa betapa ibunya diperkosa orang secara buas, dan lupa betapa ibunya terpaksa mau menerima penghinaan ini hanya demi keselamatannya.

“Lepaskan aku! Ibu sudah tidak menolak lagi....!” Kembali ia menjerit.

Wanita cabul itu tertawa terkekeh-kekeh. “Aduh.... puas hatiku, persis seperti aku dahulu. Hi-hi-hik, alangkah lucunya, hi-hik!” Ia menuding-nuding ke arah isteri guru silat yang menggeliat-geliat dan merintih dalam tangisnya, kemudian me­ngedipkan matanya kepada tiga orang perwira. “Kita main kucing dan tikus. Lepaskan dia!”

Tiga orang perwira itu maklum dan sambil tertawa-tawa, mereka melepaskan sabuk. Gadis itu jatuh, kemudian bangkit berdiri dan tanpa mempedulikan ibunya ia lalu melarikan diri. Akan tetapi ia menjerit lagi karena tiba-tiba tubuhnya terpelanting dan kiranya sabuk yang mengikat kakinya telah ditarik dari belakang! Ia bangkit lagi, akan tetapi ketika lari ke depan, di situ telah menghadang seorang perwira dan sekali renggut bajunya robek sebagian! Si gadis menjerit dan lari ke kiri, hanya untuk bertubrukan dengan seorang perwira lain yang juga merobek bajunya sambil tertawa-tawa. Gadis itu menjadi panik, lari ke sana ke mari, akan tetapi selalu bertemu perwira yang sengaja menghadangnya dan merobeki bajunya sedikit demi sedikit sehingga hampir telanjang. Wanita cabul yang menonton pertunjukan ini tertawa-tawa penuh kepuasan.

Setelah pakalan gadis itu habis koyak-koyak, seorang perwira menubruk maju dan memeluknya. Gadis itu menjerit, dan pada saat itu, jeritnya diikuti jerit Si Perwira yang menciumnya. Mereka, perwira dan gadis itu, roboh terguling dan masih berpelukan karena sebatang ran­ting telah menembus tubuh mereka berdua, membuat tubuh mereka seperti dua ekor ikan disate! Dari atas pohon me­layanglah turun seorang pemuda berpa­kaian putih sederhana yang bukan lain adalah Han Han! Ketika pemuda ini yang kebetulan tiba di dusun itu dalam pengejarannya kepada Ouwyang Seng, melihat peristiwa yang terjadi di belakang rumah guru silat, kemarahannya tak dapat ia tahan lagi. Dia tidak tahu, bahwa empat orang laki-laki itu adalah perwira-perwira Mancu, akan tetapi melihat perbuatan mereka, dalam pandang matanya wajah mereka berubah seperti wajah perwira-perwira yang telah memperkosa ibunya dan cicinya. Maka ia menjadi mata ge­lap. Lebih-lebih ketika menyaksikan sikap gadis itu sama sekali tidak patut, se­orang anak yang puthauw (tak berbakti), yang membiarkan ibunya menjadi korban asal dia sendiri selamat. Dalam kema­rahannya dan kemuakannya, ia melontarkan ranting pohon dari atas pohon, se­kaligus membunuh perwira dan gadis itu! Kemudian ia melayang turun dan sekali tangannya menampar, perwira yang se­dang memperkosa isteri guru sliat itu terguling dengan kepala remuk! Dua orang pembantu perwira dan wanita cabul menjadi kaget sekali. Cepat mereka menerjang maju, akan tetapi sekali saja menggerakkan kedua tangemnya, Han Han membuat mereka bertiga roboh puia dengan kepala remuk dan dada pecah! Isteri guru silat sudah bangkit dan lari menghampiri mayat puterinya sambil me­nangis, kemudian lari memasuki rumah dan terdengar jeritnya. Han Han menyu­sul masuk dan melihat isteri guru silat itu menggeletak mandi darah di samping mayat suaminya. Kiranya wanita yang kehilangan suami dan anak ini mengambil keputusan nekat, membunuh diri! Han Han meninggalkan tempat itu cepat-cepat dan menghela napas. Ia me­mikirkan perbuatan wanita tadi. Salahkah kalau dia membunuh diri? Salah pulakah kalau dia menyerahkan kehormatannya kepada perwira untuk menyelamatkan puterinya? Ah, betapa malang nasibnya. Suaminya dibunuh. Puterinya juga tewas, dan dia sendiri sudah diperkosa. Harapan apalagi dalam hidup? Memang, agaknya kematianlah jalan terbaik.

Ketika Han Han mendengar bahwa yang dibunuhnya itu adalah perwira-per­wira yang memimpin pasukan Mancu yang berada di dusun itu, ia terkejut dan juga marah. Kiranya di mana-mana pasu­kan Mancu mendatangkan malapetaka! Bukan hanya Han Han saja yang terkejut mendengar akan kematian empat orang perwira Mancu di belakang rumah guru silat itu. Juga semua penduduk dusun itu terkejut sekali, bukan terkejut bercam­pur marah seperti Han Han, melainkan terkejut dan ketakutan. Mereka semua maklum apa artinya peristiwa itu, apa yang akan menjadi akibatnya. Tentu pa­sukan Mancu akan mengamuk, mengang­gap dusun itu sebagai sarang pemberontak! Maka berbondonglah malam hari itu juga semua penduduk lari mengungsi.

Mendengar bahwa penduduk lari mengungsi, pasukan yang kehilangan pimpinan­nya itu menjadi makin marah dan meng­anggap bahwa tentu dusun itu menjadi sarang gerombolan pemberontak. Maka mereka lalu keluar dari gedung yang dijadikan markas, mulai mengamuk dan membakari rumah-rumah yang sudah kosong, lalu melakukan pengejaran terhadap para penduduk yang mengungsi. Akan tetapi, sebelum keluar dari pintu dusun, mereka dihadang oleh Han Han yang berdiri tegak sambil bertolak ping­gang menghadapi tiga puluh orang pasu­kan Mancu itu. Malam itu bulan telah keluar sore-sore, dan langit tanpa men­dung sehingga keadaan cukup terang. Pasukan itu heran menyaksikan ada se­orang pemuda yang rambutnya riap-riap­an menghadang di tengah jalan. Mereka maklum bahwa tentu pemuda itu seorang pemberontak, karena hanya para pem­berontak atau para tokoh petualang kang-ouw saja yang tidak menguncir rambut­nya. Menguncir rambut ke belakang me­rupakan peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah Mancu, yaitu peraturan yang berlaku bagi rakyat bangsa Han. Di samping peraturan menguncir rambut, juga ada peraturan bahwa bangsa Han atau rakyat pedalaman tidak diperbolehkan membawa senjata tajam!

“Berhenti semua!” Han Han memben­tak. “Mengapa kalian hendak mengejar rakyat tak berdosa yang ketakutan dan melarikan diri mengungsi dari dusun mereka?”

“Heh, pemberontak cilik, masih ber­pura-pura lagi! Pemberontak-pemberontak telah membunuh perwira-perwira Mancu, dan semua penduduk ini tentu pemberon­tak, termasuk engkau dan mereka semua harus dibasmi habis!” bentak seorang perajurit yang brewok.

“Kalian ingin tahu yang membunuh mereka di belakang rumah guru silat itu? Akulah orangnya! Pimpinan kalian telah melakukan perbuatan keji membunuh tuan rumah dan memperkosa ibu dan anak. Aku yang melihat hal itu tentu saja tidak tinggal diam dan turun tangan membunuh mereka. Sekarang, kalau kali­an hendak membunuh rakyat yang tidak berdosa, aku pun tidak akan tinggal diam dan akan membunuh kalian semua.”

“Wah, keparat, sombongnya! Pimpinan kami memeriksa orang-orang yang dicuri­gai, menghukum atau membunuh sudah menjadi haknya. Kau.... pemberontak cilik sungguh berani mati. Kawan-kawan, tangkap dan seret ke kota raja!”

Han Han diserbu oleh puluhan orang anak buah pasukan itu. Namun Han Han sudah siap sedia dan dia sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kedua kakinya tetap terpentang lebar, tubuhnya berdiri tegak, dan hanya kedua lengannya yang bergerak ke sekeliling tubuhnya. Setiap sambaran tombak dan golok yang bertemu dengan tangannya tentu mem­buat senjata-senjata itu patah atau ter­lempar, dan setlap kali tangannya menyambar dan mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu orang itu roboh de­ngan napas putus!

Bagaikan sekumpulan nyamuk mener­jang api lilin, pasukan itu menyerang untuk roboh sendiri. Bertumpuk-tumpuk mayat para pengeroyok bergelimpangan di sekeliling Han Han dan kedua lengan baju pemuda ini sudah mandi darah para pengeroyoknya. Setelah ada dua puluh orang perajurit roboh binasa, barulah sisanya menjadi gentar dan tanpa diko­mando lagi, karena pemimpin mereka memang tidak ada, mereka itu membalikkan tubuh dan melarikan diri melalui pintu dusun sebelah utara, berlawanan dengan arah yang ditempuh penduduk dusun yang lari mengungsi.

Han Han menghela napas menyaksikan tumpukan mayat-mayat itu. Kembali hatinya dipenuhi rasa penyesalan karena kembali begitu ia turun tangan melaku­kan sesuatu, tentu akibatnya banyak nyawa melayang. Apakah hidupnya sudah dikutuk sehingga tindakannya selalu hanya akan menimbulkan malapetaka dan pembunuhan belaka? Ia menarik napas dan mukanya murung. Ia sampai tidak tahu bahwa ada beberapa orang men­datangi tempat itu dan menghampiri dari jarak jauh.

Ketika akhirnya ia mendengar langkah mereka dan menoleh, kiranya yang datang adalah lima orang laki-laki setengah tua, penduduk dusun itu. Mereka berlima itu segera menjatuhkan diri berlutut dan berkatalah seorang di antara mereka.

“Taihiap telah menolong kami, menyelamatkan orang sedusun. Akan tetapi taihiap telah membunuh banyak orang perajurit, bahkan membunuh empat orang perwira. Hal ini hebat sekali, harap tai­hiap cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum barisan besar datang dan melakukan pembersihan di sini.”

“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?”

“Kami adalah penduduk dusun ini pula, taihiap.”

“Jangan sebut aku taihiap, aku hanya seorang muda yang sudah banyak mem­bunuh orang. Mengapa kalian tidak ikut pergi mengungsi?”

“Kami merupakan pengungsi-pengungsi yang paling akhir, yaitu laki-laki yang siap mengorbankan diri menghambat pe­ngejaran agar anak isteri kami dapat lari selamat. Akan tetapi melihat taihiap menghadang, kami bersembunyi dan menonton. Taihiap telah menyelamatkan kami, harap taihiap suka mendengar nasihat kami untuk meninggalkan tempat ini sekarang juga.”

“Tidak, kalian bantu aku menguburkan semua jenazah ini dan yang berada di belakang rumah guru silat, baru kita pergi. Bagaimana? Ada yang suka mem­bantuku?”

Lima orang laki-laki itu saling pandang dengan mata heran. Pemuda ini sudah bersusah payah menolong penduduk dan melawan para tentara Mancu, ber­hasil membunuh, akan tetapi kini tidak lekas-lekas pergi menyelamatkan diri malah mengajak mereka untuk mengubur jenazah-jenazah itu! Akan tetapi, tentu saja mereka tidak berani menolak dan tanpa banyak cakap mereka itu lalu membantu Han Han menggali lubang-lubang kuburan untuk mengubur sekian banyaknya mayat-mayat itu.

Menjelang pagi barulah pekerjaan itu selesai dan Han Han segera berkata, “Sekarang harap kalian suka pergi cepat-cepat dari tempat ini. Aku akan bersembunyi dan melihat apa yang akan ter­jadi sebagai akibat dari kejadian ini.”

Setelah kelima orang itu pergi cepat-cepat dengan ketakutan kalau-kalau ada pasukan besar Mancu yang akan datang menyerbu ke situ, Han Han lalu meng­ambil sebuah daun pintu rumah yang ter­bakar, daun pintu yang lebar dan ia menggunakan telunjuknya dengan kekuat­an sin-kangnya mencoret-coret beberapa huruf besar yang berbunyi:



“Sie Han membasmi pasukan yang merampok, memperkosa dan mem­bunuh rakyat yang tidak berdosa. Pe­merintah yang baik melindungi rakyat, bukan menindas mereka.”



Ia memasang papan pintu itu di tengah dusun yang kini sudah kosong, ke­mudian ia bersembunyi di pohon-pohon, menanti datangnya pasukan Mancu yang diduga pasti akan datang ke dusun itu. Sambil duduk di atas dahan pohon dan makan kue kering yang ia ambil dari sebuah rumah kosong, Han Han melamun dan mengenangkan semua peristiwa yang dialaminya akhir-akhir ini dengan hati merana. Hanya ada dua hal yang ber­kesan sekali di hatinya. Pertama, tentu saja terculiknya Lulu oleh Ouwyang Seng yang kini dicarinya dan merupakan tugas pokok dan terpenting baginya di saat itu. Ke dua adalah kakek tua renta berambut panjang yang aneh, yang muncul ketika ia diancam maut di tangan Setan Botak dan Iblis Muka Kuda. Mengapa dia tidak jadi dibunuh? Mengapa dua orang itu roboh dan mengapa pula mereka lalu lari ketakutan? Apa yang telah dilakukan kakek aneh itu? Ia tidak melihat kakek itu melakukan sesuatu! Dan anehnya, ia merasa seperti pernah bertemu dengan kakek itu, hanya ia lupa lagi, entah ka­pan dan di mana.

Tak lama kemudian tampaklah oleh­nya berbondong-bondong rakyat dusun melarikan diri dengan wajah ketakutan dan dari sebelah belakang para pelarian ini terdengar derap kaki kuda dan suara-suara makian.

“Pemberontak keparat! Pembunuh-pembunuh keji!”

Makian-makian ini disusul dengan munculnya dua orang penunggang kuda dan melihat pakaian mereka, tahulah Han Han bahwa mereka itu adalah dua orang pengawal. Dua orang pengawal itu me­megang gendewa dan beberapa kali me­reka melepas anak-anak panah ke depan. Kiranya yang menjerit tadi adalah para pengungsi yang menjadi korban anak panah mereka itu.

Han Han memandang dengan mata terbelalak dan muka merah saking ma­rahnya. Ia melihat sendiri betapa seorang laki-laki muda dan seorang gadis yang melarikan diri roboh oleh anak panah, bahkan seorang ibu setengah tua yang menggendong bayi dan yang lewat di bawahnya, menjerit ketika sebatang anak panah menancap di punggungnya. Ibu ini roboh terguling, mendekap anaknya yang menangis. Seorang laki-laki setengah tua berteriak kaget dan ternyata dia adalah suami ibu itu. Sambil menangis bapak ini lalu menyambar tubuh anaknya yang masih kecil, kemudian melarikan diri dan terpaksa meninggalkan mayat isterinya untuk menyelamatkan dirinya dan anak­nya karena kalau tidak lari tentu mereka berdua menjadi korban keganasan dua orang perwira pengawal itu pula.

Han Han tak dapat mengekang kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya sudah melayang turun, langsung menerjang dua orang perwira pengawal yang lewat di bawah­nya. Dua orang pengawal itu kaget, na­mun ternyata bahwa mereka pun bukan orang lemah, karena mereka dalam kegugupan diserang secara tiba-tiba itu menghantamkan busur mereka kepada Han Han yang sudah menggerakkan ran­ting di tangannya.

“Krak-krakkk!” Kedua buah busur dua orang pengawal itu hancur berkeping-keping sehingga mereka terkejut sekali. Akan tetapi Han Han sudah menggunakan kedua tangannya memukul. Dua orang lawannya cepat melempar tubuh sendiri ke belakang, meloncat dari atas pung­gung kuda.

“Bluk! Krokkk!” Dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik keras dan ro­boh terguling, berkelojotan tak mampu bangun kembali karena tulang punggung mereka patah terkena pukulan kedua tangas Han Han! Dua orang pengawal yang sudah meloncat bangun memandang dengan mata terbelalak.

“Keparat! Siapakah engkau yang mem­bantu para pemberontak keji?” Seorang di antara perwira pengawal itu sudah mencabut goloknya diikuti oleh kawan­nya, dan mereka memandang pemuda berambut panjang itu dengan hati gen­tar.

“Hemmm, di dunia ini penuh dengan orang gila yang memaki orang lain gila, penuh dengan maling yang berteriak ma­ling. Rakyat lari mengungsi pasti ada sebabnya dan apalagi sebabnya kalau bukan karena kekejian orang-orang ma­cam kalian? Rakyat mengungsi mencari tempat aman, kalian mengejar dan mem­bunuhi mereka. Sekarang kalian masih memaki mereka sebagai pemberontak keji! Sungguh menjemukan!”

“Eh, orang muda. Apakah engkau termasuk seorang pemberontak?”

“Aku bukan pemberontak, akan tetapi aku menentang setiap kekejaman seperti yang kalian lakukan terhadap para pengungsi tadi! Mereka adalah orang-orang lemah yang tertindas, yang membutuhkan bantuan orang-orang yang mengaku diri­nya gagah.”

“Ha-ha! Mereka orang-orang lemah katamu? Hemmm, dengarlah orang muda. Kami adalah dua di antara para penga­wal yang mengawal Giam-tai-ciangkun bersama isterinya. Tahukah engkau bahwa hampir saja kereta Tai-ciangkun hancur dan ada beberapa orang teman pengawal tewas oleh pengungsi-pengungsi yang kau­katakan lemah itu? Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang menyelinap di antara rakyat jelata!”

“Tidak percaya! Apakah ibu yang menggendong anak ini pun seorang pemberontak?”

Dua orang perwira pengawal itu ke­lihatan agak malu dan seorang di antara mereka menjawab, “Memang, kurasa bu­kan. Akan tetapi dalam pembersihan terhadap para pemberontak, bukanlah hal aneh kalau ada rakyat yang terkena aki­batnya, karena para pemberontak ber­sembunyi di antara rakyat jelata.”

“Huh, alasan kosong! Para pemberon­tak berada bersama rakyat, hal itu ha­nya berarti bahwa rakyatlah yang mem­berontak? Mengapa rakyat memberontak? Karena rakyat tidak suka akan pemerintah yang menguasainya! Kenapa tidak suka? Karena pemerintahnya tidak benar. Daripada membunuhi rakyat, lebih baik membersihkan diri sendiri agar dapat disuka oleh rakyat!”

“Wah-wah, bicaramu seperti pemberontak pula. Sombong!” Dua orang perwira itu mendengar suara roda kereta dan derap kaki kuda mendatangi, mak­lum bahwa rombongan panglima yang dikawalnya sudah tiba. Hal ini berarti bahwa kawan-kawan mereka sudah tiba pula, maka timbullah keberanian mereka dan serentak mereka berdua menerjang Han Han dengan golok. Kini Han Han sudah membuang tongkat ranting pohon tadi dan menghadapi kedua orang pengeroyok dengan tangan kosong. Ia melihat betapa gerakan mereka itu baginya lam­bat sekali, maka dengan tenang ia me­loncat ke kiri, kemudian dari samping ia menggunakan tangan kanan menampar ke arah mereka. Tamparan yang kelihatan perlahan saja, dipandang sebelah mata oleh kedua orang perwira pengawal yang cepat memutar tubuh menggerakkan go­lok lagi, bukan saja menangkis tamparan lengan itu akan tetapi juga akan dilan­jutkan dengan bacokan-bacokan memati­kan. Tentu saja kedua orang perwira bangsa Mancu ini sama. sekali tidak tahu bahwa tamparan itu mengandung hawa pukulan maut Hwi-yang Sin-ciang! Mere­ka hanya melihat golok mereka terbang dari tangan mereka, kemudian terasa hawa panas luar biasa menembus dada dan selanjutnya mereka tidak tahu apa-apa lagi karena mereka telah roboh de­ngan dada gosong dan tubuh tak bernyawa lagi!

Robohnya kedua orang perwira ini tampak oleh rombongan pengawal yang mendahului sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda. Rombongan pengawal di depan kereta berjumlah dua puluh orang, mereka ini adalah anak buah dari dua orang perwira tadi, maka melihat betapa dua orang pimpinan mereka roboh di tangan seorang laki-laki muda berambut panjang yang tidak memegang senjata, mereka menjadi marah dan membalapkan kuda ke depan sambil berteriak-teriak dan tombak serta golok mereka diacung-acungkan ke atas.

Kereta itu cukup indah, ditarik empat ekor kuda, dan dikawal ketat. Rombongan pengawal di depan tadinya berjumlah dua losin orang dikepalai dua orang perwira. Empat orang pengawal telah tewas di perjalanan sehingga tinggal dua puluh orang. Di belakang kereta juga dijaga pengawal dua losin orang dikepalai dua orang perwira.

Melihat adanya gangguan di depan, kereta dihentikan dan dua losin pengawal di belakang telah mengurung kereta dan melindunginya, tidak membantu dua puluh orang pengawal depan yang menerjang Han Han. Juga dua orang pengendara kereta tidak turun dari tempatnya dan karena tempat duduk mereka itu tinggi, mereka dapat menyaksikan pertandingan di sebelah depan. Mata kedua pengendara itu melotot dan wajah mereka pucat penuh keheranan dan kengerian. Mereka melihat bahwa yang menghadang jalan hanyalah seorang pemuda rambut panjang yang tidak memegang senjata, dan yang kini dikeroyok oleh dua puluh orang pengawal itu. Dua orang pengendara ini tadinya sudah merasa yakin bahwa kem­bali mereka akan melihat seorang pem­berontak dicincang hancur tubuhnya oleh para pengawal yang kuat itu. Akan te­tapi ternyata apa yang terjadi di depan itu jauh berlawanan dengan apa yang mereka duga. Pemuda itu dengan sikap tenang sekali hanya menggerakkan kedua tangan mendorong ke kanan kiri, dan para pengawal yang mengeroyoknya seperti semut mengeroyok jangkerik itu roboh bergulingan tak dapat bangkit kem­bali! Dua orang pengendara itu melihat jelas dari tempat duduk mereka yang tinggi betapa ada tombak yang menusuk punggung pemuda rambut panjang itu, ada pula golok yang membacok pundak dan leher. Akan tetapi, tombak itu patah-patah dan golok itu rompal, terlepas dari tangan pemegangnya, kemudian sekali tangan pemuda itu berkelebat ke belakang, agaknya tidak menyentuh kulit para pengawal, namun mereka yang gagal menyerang ini roboh pula tak dapat ba­ngun!

Juga para pengawal yang menjaga kereta di sebelah belakang memandang peristiwa yang terjadi di depan dengan mata terbelalak. Jendela kereta terbuka, sebuah kepala yang besar dan muka yang penuh brewok, muka yang gagah perkasa, muka si panglima yang berada di dalam kereta, muncul dan bertanya kepada dua orang perwira pimpinan pengawal bela­kang mengapa kereta lama berhenti di situ.

“Ada gangguan pemberontak, Tai-ciangkun.” Perwira-perwira itu melapor­kan.

“Banyak?” Sang panglima brewok ber­tanya tak acuh, memandang rendah ka­rena dia sudah biasa mengalami gangguan para pemberontak.

“Hanya seorang saja, Tai-ciangkun.”

“Kalau hanya seorang saja mengapa begitu lama?” Panglima itu membentak tak sabar.

Suara si perwira yang melapor kini agak gemetar, “Dia lihai bukan main, Tai-ciangkun.... wah, seluruh pasukan pengawal depan hampir semua roboh di tangannya....”

Kagetlah panglima itu. “Rombonganmu jangan meninggalkan kereta!” katanya sambil menutupkan jendela dari dalam.

“Ada terjadi apakah?” Seorang wa­nita cantik yang duduk dalam kereta di depan panglima itu, sambil memangku seorang anak perempuan yang mungil, bertanya. Wanita ini berusia kurang lebih dua puluh enam tahun dan dia adalah isteri panglima itu.

“Ah, hanya gangguan seorang pembe­rontak,” kata Panglima Giam Cu dengan suara tenang. “Jangan khawatir, isteriku. Kau tenang-tenanglah di sini, para pe­ngawal sudah menjaga kita, pula, kalau perlu, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya,” Panglima Giam Cu me­raba gagang pedangnya.

Isterinya menggerakkan tangan menyentuh lengannya. “Jangan....! Sudah berkali-kali kuminta kepadamu agar eng­kau jangan membunuh orang. Kalau hal itu perlu sekali dilakukan, biarlah para pengawal yang melakukannya.”

Panglima itu tertawa, lalu membung­kuk dan mencium pipi isterinya, kemudian berkata, “Tentu.... tentu.... apa kaukira aku suka menjadi algojo setelah memiliki isteri seorang dewi seperti eng­kau ini?”

Akan tetapi biarpun mulutnya berkata demikian, hati panglima ini mulai merasa tidak enak dan dia lalu mengungkapkan tirai di jendela depan kereta dan mengintai ke depan. Dapat dibayangkan be­tapa terkejut hatinya ketika melihat bahwa dua puluh orang pengawal dan dua orang perwira yang memimpin pengawal pasukan depan telah roboh semua, kuda-kuda tunggangan mereka lari cerai-berai dan kini ia melihat seorang laki-laki muda yang rambutnya riap-riapan ber­pakaian putih sederhana, berwajah beringas dan bermata menyeramkan, melang­kah perlahan menghampiri kereta yang terjaga oleh dua losin pengawal, dua orang perwira dan dua orang pengendara kereta!

Han Han memang sudah marah sekali, ketika ia dikeroyok dua puluh orang pe­ngawal tadi, kemarahannya memuncak. Hujan senjata ke arah tubuhnya tidak ia pedulikan karena ia sudah mengerahkan sin-kang melindungi tubuh dan pada saat para pengeroyok menerjangnya, ia meng­gunakan kedua tangannya memukul ke kanan kiri ke depan belakang menggunakan Swat-im Sin-ciang. Setiap orang pengawal yang terkena hawa pukulan ini tentu roboh dengan darah membeku dan jantung mereka berhenti bekerja seketika. Tentu saja yang jatuh terus mati tak dapat hidup kembali! Setelah semua pengeroyoknya roboh, Han Han memandang ke arah kereta yang terjaga oleh sepasu­kan pengawal lain. Pakaiannya robek di sana-sini terkena senjata tajam, dan dia melangkah maju menghampiri kereta. Para pengawal hanyalah anak buah, ha­nya alat, pikirnya. Yang duduk di kereta itu adalah pembesarnya dan dialah biang keladinya yang harus ditumpas, pikirnya.

Sejenak sunyi sekali ketika pemuda itu dengan langkah satu-satu dan lambat-lambat menghampiri kereta. Setelah de­kat, meledaklah suara teriakan-teriakan para pengawal mengeroyok Han Han, didahului oleh dua orang perwira. Kini rombongan pengawal ini mengeroyok Han Han setelah meloncat turun dari atas kuda dan segera terdengar suara hiruk-pikuk, suara teriakan marah bercampur aduk dengan suara senjata patah dan jatuh ke atas tanah, disusul pula jerit-jerit mengerikan ketika Han Han mulai dengan amukannya.

Giam-hujin (Nyonya Giam) mendekap puterinya dan mukanya menjadi pucat mendengar suara hiruk-pikuk di luar ke­reta. Giam-ciangkun kembali mengintai dan panglima tinggi besar brewokan ini mengeluarkan suara menggeram marah ketika menyaksikan betapa dua orang perwira pengawal itu sudah tewas pula, dan kini orang muda yang aneh itu sudah merobohkan para pengawal dengan setiap gerakan tangan seperti orang membabat rumput saja!

“Si keparat....!” Giam-ciangkun mencabut pedangnya dan hendak keluar dari kereta. Akan tetapi isterinya memegang lengannya dan menariknya kembali.

“Jangan.... jangan tinggalkan aku....”

“Hemmm, isteriku. Pemberontak itu lihai, para pengawal bukan lawannya. Aku sendiri yang harus melawannya.”

“Tidak.... jangan tinggalkan aku. Aku takut....” Giam-hujin menahan dan anaknya mulai menangis.

Giam-ciangkun duduk kembali, menghela napas dan memangku pedangnya. “Baiklah, aku menjaga di sini dan kalau dia berani masuk, kupenggal lehernya!”

Suara hiruk-pikuk di luar makin gaduh dan tubuh Giam-hujin menggigil. Giam-ciangkun diam-diam juga merasa gelisah sekali, apalagi ketika ia mendengar jerit-jerit kematian para anak buahnya. Ia mengintai dan alangkah kagetnya ketika pemuda itu telah mengamuk dekat kereta dan para pengawal yang mengeroyoknya hanya tinggal enam orang lagi. Mereka itu pun mengeroyok dari jarak jauh, menggunakan senjata tombak yang pan­jang, seperti enam orang pemburu yang menyerang seekor harimau dengan takut-takut terpaksa dan hanya menakut-nakuti dengan ujung tombak saja!

Han Han yang melihat tidak ada lagi pengeroyok yang mendesaknya, segera meloncat ke dekat kereta. Ia menggerak­kan tangan mencengkeram daun pintu dan merenggut.

“Braaaakkkkk!” Daun pintu itu ter­lepas dan pecah-pecah. Pada saat itulah Giam-ciangkun menerjang keluar dengan loncatan dan dengan tusukan pedangnya ke arah dada Han Han. Han Han yang mendengar bersuitnya angin tusukan pe­dang, maklum bahwa orang yang me­nyerangnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia cepat meng­geser kaki ke kiri, tangannya menyam­pok pedang itu dan kakinya menendang.

“Bukkkkk!” Tubuh Giam-ciangkun yang tinggi besar itu terlempar sampai empat meter jauhnya! Pada saat Han Han hen­dak mengejar, dari atas melompat dua orang pengendara dengan golok di ta­ngan. Han Han menyambut mereka de­ngan kedua tangannya, tidak mempeduli­kan dua batang golok yang membacok leher dan pundak. Tangannya herhasil mencengkeram baju mereka dan sekali kedua tangannya bergerak, terdengar suara keras dan pecahlah dua buah ke­pala yang diadukannya itu, darah mun­crat bersama otak!

Han Han menghampiri panglima yang ditendangnya tadi. Giam-ciangkun ber­tubuh kuat dan ia sudah bangun kembali dengan pedang di tangan. Ketika Han Han melihat wajah Giam-ciangkun, ter­lepaslah pekik melengking dari mulutnya seperti teriakan seekor biruang marah, dan ia melangkah lagi sambil berkata.

“Engkau....? Engkaukah ini....? Si keparat jahanam.... kebetulan sekali, kubeset kulitmu.... kuminum darahmu....!”

Suara Han Han perlahan dan mendesis, wajahnya beringas seperti bukan wajah manusia. Dia mengenal perwira brewok yang dahulu memperkosa encinya!

Giam-ciangkun merasa ngeri melihat wajah Han Han yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia berteriak, “Serang....!”

Dan enam orang sisa pengawal itu de­ngan nekat menerjang maju, mengguna­kan tombak mereka yang datang seperti hujan ditusukkan ke arah tubuh Han Han.

Han Han yang menemukan musuh besarnya, sudah menjadi marah sekali. Ia menggereng, membiarkan tombak-tombak itu menusuknya, kedua tangannya ber­gerak, yang kanan memukul dengan ilmu sakti Hwi-yang Sin-ciang, yang kiri menggunakan Swat-im Sin-ciang dan.... enam orang pengawal itu roboh, yang tiga orang hangus seluruh tubuh mereka, yang tiga orang lagi kaku membeku, keenam­nya tewas di saat itu juga.

“Kau.... iblis brewok.... tibalah saatnya aku membalas dendam. Ha-ha-ha-ha!” Baru sekali ini selama hidupnya Han Han tertawa seperti itu, suara ketawa yang tidak sewajarnya, seperti bukan suaranya sendiri, seperti ketawa di luar kehendak­nya dan memang suara ketawa ini ter­dorong oleh nafsu dendam yang me­nyesak di hati.

Giam-ciangkun merasa bulu tengkuk­nya berdiri, akan tetapi dia sudah menerjang maju lagi dengan pedangnya, membacok ke arah kepala pemuda yang menyeramkan itu.

“Siuuuuuttttt.... plak-kreeek!” Pedang yang kena ditampar tangan Han Han itu patah menjadi dua! Giam-ciangkun kini melempar gagang pedangnya, meman­dang pemuda itu dengan mata terbelalak, dan otomatis kakinya mundur-mundur ke arah kereta. Han Han masih tertawa-tawa dan melangkah maju.

“Rebahlah!” bentaknya dan tangannya melakukan gerakan mendorong. Biarpun Giam-ciangkun sudah mengerahkan te­naganya bertahan, namun tetap saja tubuhnya terjengkang oleh hawa dorongan yang luar biasa kuatnya. Ia jatuh ter­lentang dan pemuda itu melangkah maju perlahan-lahan!

Tiba-tiba terdengar jerit dari dalam kereta dan Giam-hujin sudah turun dari kereta memondong puterinya yang me­nangis keras sejak tadi. “Jangan bunuh dia.... ah, jangan bunuh suamiku.... mohon taihiap sudi mengampuni nyawa suamiku....”

Han Han tertegun memandang wanita memondong anak yang berlutut di depan kakinya. Kemarahannya tak mungkin dapat dihapus oleh ratap tangis seorang wanita yang tidak dikenalnya.

“Dia jahat, aku harus membunuhnya....!” Ia menjawab, suaranya dingin.

“Ahhh.... ampunkan dia.... ampunkan kami.... taihiap, ampunkan suamiku....” wanita itu meratap-ratap sambil ber­lutut, kemudian menangis dan seolah-olah menciumi ujung kaki Han Han.

Tergeraklah hati Han Han dan ia menjadi marah kepada wanita ini yang telah menimbulkan keraguan di hatinya. Dia harus membunuh perwira brewok ini! Apa pun yang terjadi, dia harus mem­bunuhnya! Si Brewok ini telah memper­kosa encinya, memperkosanya di depan matanya! Dialah orang ke dua di antara tujuh orang perwira Mancu yang harus dibunuhnya. Harus! Yang pertama adalah perwira muka kuning yang telah memperkosa dan membunuh ibunya, yang ke dua perwira ini yang memperkosa encinya, kemudian yang lima orang lainnya, mere­ka yang telah menghina keluarganya, harus dia balas dan tumpas semua!

“Dia orang busuk, kau tahu?” Han Han tiba-tiba membungkuk, memegang kedua pundak Nyonya Giam dan menarik­nya berdiri agar mereka dapat bertemu pandang. “Dia manusia berhati iblis! Dia telah memperkosa....” Tiba-tiba Han Han berhenti bicara, matanya terbelalak dan lehernya seperti dicekik rasanya. Mereka berpandangan, seorang wanita cantik dan pemuda perkasa itu, yang hampir sama bentuk mukanya, keduanya terbelalak dan Nyonya Giam seolah-olah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri, berkedip-kedip, mukanya pucat, matanya terbelalak, tangisnya terhenti seketika.

“Han Han....!”

“Leng-cici....!”

Nyonya Giam itu memang encinya, Sie Leng, gadis yang dahulu diperkosa kemudian dilarikan oleh perwira brewok yang bukan lain adalah Giam Cu yang kini telah menjadi panglima. Sie Leng terkulai lemas, roboh pingsan di dalam pelukan adiknya!

Han Han juga lemas seketika. Getaran-getaran yang menguasai dirinya, yang membuat ia buas dan haus darah, se­ketika lenyap, meninggalkan tubuhnya yang terasa lemas dan lelah sekali. Ia duduk di atas sebuah akar menonjol, me­mangku encinya yang masih pingsan, memandang jauh ke depan dengan pandang­an kosong. Ia tidak mendengar dan tidak melihat betapa anak perempuan kecil itu memeluki ibunya dan memanggil-manggil, “Ibu.... Ibu.... Ibu....” sambil menangis. Dia tidak sadar pula bahwa kini Giam Cu merangkak dan berlutut di depannya, sambil berusaha mendiamkan puterinya.

Sampai lama Han Han termangu dan melamun. Memangku tubuh encinya yang pingsan membuat ia teringat akan segala hal ketika ia masih kecil. Bagaikan tam­pak di depan matanya segala peristiwa di waktu ia masih kecil dan hampir ia tidak percaya bahwa encinya yang tadinya disangka mati itu kini berpakaian mewah dan indah, disebut ibu oleh seorang anak perempuan, dan agaknya menjadi isteri dari Si Brewok yang akan dibunuhnya tadi!

Sie Leng sadar dari pingsannya dan ia merasa seperti dalam mimpi ketika men­dapatkan dirinya dipangku seorang pe­muda tampan berambut riap-riapan. Han Han! Pemuda ini adalah Han Han, adik­nya! Ia melihat Kwi Hong, puterinya masih menangis dan suaminya berlutut di depan Han Han!

“Han Han....!” Ia berseru dan merangkul adiknya. “Han Han, engkau tidak boleh membunuh suamiku. Dia iparmu....! Han Han, engkau ampunkanlah dia....!” katanya sambil berlutut pula di samping suaminya.

“Taihiap, saya mengaku berdosa, akan tetapi demi encimu dan keponakanmu ini, saya mohon ampun....” terdengar pula suara Giam Cu yang besar.

Han Han menjadi bingung, akhirnya menarik napas panjang dan berkata, sua­ranya dingin dan sakit hatinya masih belum dapat ia hilangkan sama sekali, “Enci Leng, apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau malah mintakan ampun kepadaku untuk orang ini?”

“Han Han adikku, dengarlah penutur­anku.” Sie Leng lalu menceritakan pe­ngalamannya semenjak dia dibawa pergi oleh Giam Cu. Mula-mula memang ia merasa sakit hati dan benci kepada Giam Cu yang memperkosanya. Berkali-kali ia hendak membunuh diri, akan tetapi digagalkan selalu oleh Giam Cu yang men­jaganya dan ternyata bahwa perwira itu jatuh cinta kepada gadis ini. Dengan penuh kasih sayang Giam Cu membujuk, bahkan tidak lagi ia memperkosa gadis itu, diperlakukan dengan sikap halus dan dihujani kemewahan. Mula-mula Sie Leng tidak mempedulikan sikap baik perwira itu, ia terlalu benci kepadanya dan lebih baik mati daripada menjadi isterinya. Akan tetapi, Giam Cu membujuk, bahkan mengenyahkan semua selirnya. Kemudian, setelah Sie Leng mendapatkan dirinya dalam keadaan mengandung akibat perkosaan itu, ia menyerah!

“Dan ternyata bahwa dia amat mencintaku, Han Han. Mencinta sungguh-sungguh dan sampai sekarang pun terbukti cinta kasihnya kepadaku. Setelah dia naik pangkat terus sampai menjadi panglima, dia tetap mencintaku, tidak mempunyai isteri lain dan akhirnya aku pun mencintanya sebagai suamiku yang baik.” Sie Leng terisak, kemudian melanjutkan ceritanya, “Kandunganku yang pertama gugur dan hal itu malah menggirangkan hati kami karena kalau anak itu terlahir, tentu hanya akan menimbulkan kenangan pahit dari peristiwa jahanam yang terjadi di rumah kita dahulu. Kemudian aku mengandung lagi dan ter­lahirlah keponakanmu ini, Kwi Hong. Dia anak kami yang syah, yang lahir dari cinta kasih antara kami. Han Han, setelah engkau mendengar penuturanku, maukah engkau mengampuni suamiku?”

Han Han meragu. “Akan tetapi dia dan kawan-kawannya terlampau jahat, Enci. Lupakah engkau akan keadaan keluarga kita yang terbasmi habis?”

“Han Han, kalau engkau tidak bisa mengampuninya dan memaksa hendak membunuhnya, terserah. Akan tetapi engkau harus membunuh aku dan kepona­kanmu ini lebih dulu!” Sie Leng memon­dong anaknya dan menghadapi Han Han dengan sinar mata menantang.

Han Han terbelalak memandang enci­nya dan melihat bahwa ucapan dan tan­tangannya itu berhasil, Sie Leng lalu memegang tangan Han Han dan berkata, “Jangan menilai orang lain secara se­pintas lalu, Adikku. Apakah engkau tidak tahu bahwa kita pun bukan keturunan orang baik-baik? Kakek kita seribu kali lebih ganas dan jahat daripada suamiku. Dia ini hanya menjadi buas karena tugas­nya yang diharuskan membasmi musuh. Sebaliknya Kakek kita.... hemmm, orang sedunia mengutuknya!”

“Apa.... apa maksudmu, Enci?”

“Ohhh, engkau tidak tahu, Han Han? Apakah dahulu, Ayah atau Ibu tidak pernah bercerita tentang Kakek kita yang bernama Sie Hoat?”

Han Han menelan ludah ketika meng­angguk. Teringat ia betapa Setan Botak pernah mentertawakan kakeknya. Kalau Setan Botak mengenal kakeknya, tentu­lah kakeknya bukan sembarang orang!

“Kakek kita itu adalah seorang Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw ka­rena jahatnya! Pekerjaannya hanyalah mengganggu anak isteri orang, entah telah mencemarkan berapa ribu orang wanita di dunia ini! Dan lebih banyak pula yang telah dibunuhnya! Nah, kau dengar sekarang? Apa yang dialami Ibu dan aku sendiri, boleh dikatakan hukum karma sebagai pembalasan atas dosa-dosa Kong-kong kita itu. Nasibku masih baik. Biarpun aku diperkosa, akan tetapi ternyata kemudian bahwa yang memper­kosaku menjadi suamiku yang mencinta dan kucinta, menjadi Ayah puteriku. Na­sibku masih jauh lebih baik daripada nasib ribuan orang wanita yang menjadi korban Kakek kita.”

Han Han mendengarkan dengan mata terbelatak. “Ah, benarkah itu, Len cici? Kalau begitu, Kakek kita itu memiliki kepandaian yang luar biasa?”

“Tentu saja! Dia ditakuti oleh seluruh tokoh di dunia pada jamannya.”

“Kalau begitu, mengapa Ayah kita begitu lemah....?”

“Ayah kita bukanlah anaknya yang sah, melainkan anak yang terlahir dari seorang di antara wanita-wanita yang diperkosanya....”

“Aihhhhh....!” Han Han menutupi mukanya. Hukum karma? Kedosaan ka­keknya mengakibatkan hancurnya keluarga ayahnya?

“Sudahlah, Adikku. Keturunan Ayah tinggal kita berdua, marilah engkau ikut bersamaku, Adikku. Kakak iparmu ini amat mencintaku, dia seorang yang baik. Kalau dia melakukan hal yang mengeri­kan terhadap keluarga Ayah, hal itu adalah tidak mengherankan karena hal-hal semacam itu selalu terjadi dalam perang. Engkau telah membunuhi semua pengawal kami, ah, mengapa, Adikku?”

Han Han mengangkat muka, memandang kepada cihu-nya (kakak iparnya) yang masih menundukkan muka. “Meng­apa? Tanya saja kepada suamimu ini, Leng-cici! Para pengawal itu membunuh-bunuhi rakyat yang tidak berdosa. Tentu saja aku tidak mau mendiamkannya saja melihat penyembelihan orang-orang tak berdosa, melihat para pengawal itu se­perti serigala-serigala buas berburu manusia!”

“Hemmm, kauanggap begitukah, Han Han? Lihatlah ini!” Sie Leng menyingkap bajunya dan memperlihatkan pundaknya yang terluka, luka baru.

“Mengapa pundakmu, Cici?”

“Akibat serangan mendadak dari orang-orang tak berdosa itu! Mereka pura-pura menjadi rakyat jelata, menonton kereta pembesar lewat. Tiba-tiba menyerang dengan senjata rahasia, mengenai pundak­ku dan hampir membunuh keponakanmu kalau saja tidak cepat ditangkis Cihu-mu. Masih banyak hal terjadi, Han Han. Hal-hal mengerikan yang dilakukan oleh rakyat tak berdosa itu. Pembunuhan-pembunuhan mengerikan terhadap orang-orang yang bekerja kepada pemerintah baru. Akan tetapi semua itu sudah wajar terjadi dalam perang.”

Han Han termenung dan terbayanglah wajah Lulu. Adik angkatnya itu pun pu­teri seorang Mancu yang terbasmi se­keluarganya oleh “rakyat”, oleh Lauw-pangcu dan teman-teman yang menyebut diri mereka kaum pejuang. Bahkan oleh mereka yang menganggap diri sendiri orang-orang gagah itu, Lulu disuruh ber­pakaian seperti jembel dan dibiarkan hidup seorang diri. Apakah dosa Lulu? Berdosakah kalau dia kebetulan oleh Thian dilahirkan sebagai anak keluarga Mancu? Salahkah sekarang kalau cicinya mencinta pembesar Mancu yang mem­perkosanya? Ia menjadi bingung memikirkan hal ini, lebih bingung lagi mendengar keterangan cicinya bahwa kakeknya, ayah dari ayahnya, adalah seorang pentolan kaum pemerkosa wanita sehingga berjuluk Dewa Pemetik Bunga!

Tiba-tiba Han Han berseru, “Awas....!” Tubuhnya bergerak mendorong cicinya ke samping dan empat buah senjata piauw runtuh ke bawah. Giam-ciangkun kaget sekali, cepat merangkul isteri dan anak­nya, berlindung di dekat kereta, di bela­kang Han Han yang sudah berdiri tegak memandang ke depan.

“Pembesar Mancu keparat, bersiaplah untuk mampus!” terdengar seruan nyaring sekali sehingga Han Han diam-diam ter­kejut. Yang datang adalah seorang wa­nita yang berkepandaian tinggi. Buktinya, dari jauh sudah dapat menyambit piauw yang ketika ia sampok tadi membayang­kan tenaga besar, dan sebelum tampak orangnya sudah terdengar suaranya yang nyaring. Tak lama kemudian muncullah tiga orang muda yang gerakannya tang­kas dan gesit, berloncatan dengan gerak­an ringan sekali membayangkan gin-kang yang tinggi tingkatnya. Mereka itu ada­lah dua orang gadis dan seorang pemuda. Dua orang gadis yang amat cantik dan seorang pemuda yang tampan. Usia me­reka sebaya dengan Han Han, dan pakai­an mereka, dapat diduga bahwa mereka adalah orang muda dunia kang-ouw.

Han Han memandang mereka dengan sinar mata penuh selidik. Jantungnya berdebar dan ia mengingat-ingat karena merasa yakin bahwa dia mengenal tiga orang muda yang perkasa ini. Tiga orang itu melihat seorang pemuda berpakaian putih robek-robek dan berambut panjang riap-riapan berdiri tegak melindungi pembesar Mancu dan anak isterinya segera meloncat ke depan Han Han, memandang dengan penuh kemarahan dan penuh selidik pula.

“Sute....!” Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu, yang cantik dan berpakai­an kuning yang memiliki mata bening dan sikap jujur, berseru dan melangkah maju. “Benar, engkau Han Han! Engkau Han-sute....!”

Han Han tersenyum. Tentu saja! Mengapa ia hampir melupakan mereka ini, terutama sekali gadis berpakaian kuning ini? Mereka ini adalah sahabat-sahabat­nya dahulu, bukan hanya sahabat, malah suci-sucinya dan suhengnya, karena dia bersama mereka inilah yang dipilih oleh Toat-beng Ciu-sian-li sebagai murid! Gadis manis berpakaian kuning ini siapa lagi kalau bukan Kim Cu! Dan gadis ke dua yang pendiam dan bermata tajam berwajah serius itu adalah Phoa Ciok Lin, sedangkan pemuda tampan itu adalah Gu Lai Kwan!

“Wah, kiranya kedua suci dan suheng dari In-kok-san!” Ia menatap wajah Kim Cu dan sampai agak lama mereka saling bertemu pandang. Betapa cantiknya Kim Cu sekarang, pikir Han Han dengan pan­dang mata mesra. Di antara semua mu­rid Ma-bin Lo-mo tentu saja Kim Cu merupakan murid yang paling dekat de­ngannya. Bahkan, takkan pernah ia dapat melupakan kebaikan Kim Cu pada per­temuan terakhir mereka, Kim Cu yang semestinya menangkapnya, bahkan mem­bebaskannya, dan menbiarkannya pergi bersama Lulu, bahkan memberi pakaian dan sepatu kepada Lulu!

“Kim Cu suci, bagaimanakah keadaan­mu selama ini? Kuharap engkau baik-baik saja, dan sampai kini aku belum pernah melupakan budi kebaikanmu.”

Tiba-tiba kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali dan terpaksa ia menunduk­kan mukanya. Untuk melenyapkan rasa jengah bahwa kenyataannya Han Han hanya memperhatikan dia seorang, Kim Cu segera bertanya.

“Sute, kenapa kau berada di sini? Dan siapakah yang membunuhi banyak pe­ngawal anjing-anjing Mancu itu?” Kim Cu menudingkan telunjuknya yang kecil run­cing ke arah mayat yang berserakan.

“Akulah yang membunuh mereka,” kata Han Han perlahan penuh keraguan akan benar tidaknya semua yang telah ia lakukan. Ia teringat akan wejangan kakek di Siauw-lim-si itu dan kini ia kembali telah menyebabkan kematian banyak sekali manusia, sampai puluhan banyaknya. Puluhan orang manusia yang sama sekali tidak dikenalnya dan yang ia sungguh tidak tahu untuk apa ia bunuh!

“Engkau....?” Seruan ini terdengar dari mulut tiga orang muda perkasa itu dan mata Kim Cu yang bening terbelalak memandang wajah Han Han. Seruan yang disertai perasaan tidak percaya. Mereka sudah sering kali bentrok dengan para pengawal dan andaikata mereka bertiga. dikeroyok oleh empat puluh lebih orang pengawal itu, tentu saja mereka akan mampu membunuh mereka semua. Akan tetapi Han Han? Seorang diri pula? Be­tapa mungkin dapat dipercaya!

“Han-sute, kalau engkau yang telah membunuh semua pengawalnya, mengapa tidak lekas membunuh pembesar Mancu ini?” tanya Phoa Ciok Lin, mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik.

“Bahkan engkau tadi telah menyampok piauw-piauw yang kulepaskan!” kata pula Gu Lai Kwan. “Apa artinya semua ini?”

Sedangkan Kim Cu tidak bertanya sesuatu, hanya memandang penuh ke­khawatiran kepada pemuda yang sejak dahulu amat disukanya dan amat dika­guminya itu. Ia sudah mengenal watak Han Han yang aneh. Dahulu saja sudah mengambil seorang gadis Mancu sebagai adik! Siapa tahu setelah kini dewasa, apa saja yang akan dilakukannya!

Han Han menarik napas panjang lalu mengangguk perlahan. “Sesungguhnya, akulah yang membunuh para pengawal itu dan aku pula yang menangkis sambaran piauw yang kaulepaskan tadi.”

“Han Han, engkau tentu melakukan tangkisan piauw karena salah faham, mengira kami menyerangmu. Dan tadi Gu-suheng juga salah sangka, dari jauh tidak mengenalmu maka mengirim se­rangan langsung!”

Han Han menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak demikian, Kim Cu suci, aku memang menangkis piauw-piauw itu untuk melindungi keluarga ini.”

“Apa....?” Kembali seruan ini keluar dari tiga mulut dengan berbareng. Kalau mereka melihat Han Han menjadi pelindung pembesar Mancu, hal ini tidak akan mengherankan hati mereka. Akan tetapi setelah mendengar bahwa Han Han membunuh sekian banyaknya pengawal Mancu, mayat-mayat mereka pun masih belum dingin benar, bagaimana sekarang orang aneh ini malah melindungi pembesar Mancu yang dikawal oleh para pengawal yang dibunuhnya? Sungguh mem­bingungkan!

“Han-sute, minggirlah dan biarkan aku membunuh anjing Mancu ini bersama anak isterinya!” Gu Lai Kwan membentak tidak sabar lagi.

Akan tetapi Han Han tetap berdiri tegak menghadang. “Tidak boleh, Gu-suheng. Kalian tidak boleh membunuh mereka.”

“Han Han! Mengapa begini? Engkau sudah membunuhi pengawalnya, mengapa melindungi mereka ini?” Kim Cu ber­tanya dengan suara kecewa dan pena­saran.

“Karena dia adalah Ciciku dan anak­nya adalah keponakanku!” jawab Han Han tegas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar