KANG HOO mengucap “Bismillah...........” lari kabur menerobos semak-semak belukar dalam rimba itu di bawah sinarnya rembulan sabit.
Meskipun ia melarikan diri dari kepungan orang-orang seragam berselubung muka hitam itu, bukanlah berarti ia seorang pemuda pengecut, sebenarnya sebelum munculnya si nona baju merah dari aliran Budha itu, ia telah nekad untuk adu jiwa dengan musuh-musuhnya, tapi entah bagaimana mendengar suara halus nyaring bernada bambu pecah dari bibir mungilnya si nona baju merah, hati Kang Hoo jadi lemah, dan seperti ia kena hipnotis menurut saja apa yang diucapkan nona baju merah tadi. Ia lari kabur meninggalkan mereka.
Dalam melarikan diri di dalam semak belukar itu, hati kecil Kang Hoo yakin kalau nona baju merah dari aliran Budha itu dapat mengatasi keroyokan orang-orang seragam hitam, mengingat kalau ilmu silat nona itu memang lebih tinggi beberapa kali lipat dari dirinya sendiri, dengan matanya sendiri ia menyaksikan hanya dalam beberapa gerakan tangan saja nona itu berhasil merobohkan lawan. Kang Hoo tidak mengerti, dengan senjata apakah nona itu merobohkan lawan. Dalam hatinya juga menuji kecerdikan otak nona baju merah.
Sambil lari itu otak Kang Hoo, berputar terus mengenang peristiwa-peristiwa yang menimpa diri dan keluarganya. Di samping itu ia juga merasakan betapa seluruh tubuhnya dirasa sakit. Dan napasnya juga mulai tersengal sengal. Akhirnya, ketika ia memasuki gerombolan rumput alang-alang, langkah larinya tak secepat semula, ia sudah seperti orang mabuk, sempoyongan diantara tingginya rumput alang-alang. Kemudian dirinya ambruk di tanah.
Meskipun keadaan jasmaniahnya sudah begitu lemah, tapi otak si pemuda masih bisa berpikir, ia harus bisa menyembunyikan dirinya dari kejaran lawan. Dengan menggulingkan dirinya, ia berusaha menyesapkan badannya di bawah alang-alang yang tumbuh lebat di tengah hutan itu. Dan tak lama kemudian Kang Hoo pingsan karena lelahnya.
Haripun berganti pagi, sinarnya sang surya menguning keemas-emasan di ufuk timur, siliran angin basah berembun menyegarkan badan.
Embun-embun masih terotolan di atas batang-batang rumput alang-alang digoyang angin.
Tubuh Kang Hoo menggeletak di dalam semak-semak alang-alang. Sinar matahari pagi dan angin basah sejuk berbareng menerpa wajah si pemuda dalam timbunan batang alang-alang.
Mendapat siraman sinarnya matahari pagi dan hembusan angin basah pada wajahnya mendadak Kang Hoo membuka matanya, ia sadar dari pingsannya, tapi keadaan tubuh itu masih lemah. Belum bisa digerakkan.
Begitu sepasang mata si pemuda terbuka, ia belum bisa melihat apa-apa, karena keadaan sekelilingnya tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi, tapi sepasang telinganya mendadak mendengar suara gerengan-gerengan bina-tang buas, dan suara mendesisnya binatang berbisa, mengurung tempat dimana ia menggeletak rebah.
“Ya Allah, mati aku....” keluh Kang Hoo.
Rupanya nasib sial selalu membawa diri Kang Hoo, baru saja malam tadi ia berhasil lari dari kepungan orang-orang seragam hitam, kini mendadak di sekitar hutan itu sudah dipenuhi oleh suara gerengan binatang buas dan binatang-binatang berbisa.
Meskipun keadaan dirinya masih sangat lemah, ia berusaha bangkit duduk, untuk melihat dari arah mana munculnya suara gerengan binatang buas itu.
Begitu ia berhasil duduk di dalam timbunan rumput alang-alang itu, matanya melihat tetesan darah beku berceceran di tanah itulah darah beku yang semalam keluar dari luka-luka di badannya. Melihat darah tadi, kembali ia merasakan betapa perihnya bekas luka-luka bacokan pedang lawan, bahkan pundak tangan kanan tampak mulai membengkak, tangan itu sudah tak bisa digerakkan.
Setelah memperhatikan di sekitar rimba alang-alang itu, ternyata di sana tak tampak seekorpun binatang buas. Tapi suara binatang itu masih terdengar menggereng-gereng di telinganya.
Kang Hoo menengadahkan kepala ke atas, di sana tampak lima ekor burung besar, sayapnya selebar beberapa tombak terpentang-lebar, burung-burung itu terbang berputaran, seekor tampak kecil bagaikan tilik hitam di atas langit. Melihat pemandangan itu hatinya tambah heran.
Selagi ia terheran-heran, mendadak Kang Hoo mendengar suara bentakan-bentakan diantara suara gerengan binatang buas itu. Suara tadi ternyata datangnya dari arah belakang. Maka cepat ia menoleh ke belakang, dan di belakang sana merupakan bukit pegunungan. Di lereng bukit itu tampak bergerak beberapa bayangan berseragam hitam, bayangan-bayangan tadi laksana berlompatan, mereka rupanya sedang melakukan pertempuran. Entah mereka sedang bertempur dengan siapa?
“Gila . . .” pikir Kang Hoo “Dimana-mana selalu ada itu manusia-manusia berseragam dan berselubung hitam. Apakah isi dunia ini sudah dihuni oleh manusia-manusia biadab?”
Kang Hoo berusaha bangkit bangun ia ingin melihat apa yang sedang dikerjakan oleh orang-orang seragam hitam berselubung muka itu. Tapi begitu badan Kang Hoo berhasil berdiri dengan lemahnya, mendadak ia jatuh kembali duduk di atas semak belukar. Matanya terbelalak lebar, badannya jadi gemeteran.
“Aneh mengapa hutan ini mendadak penuh binatang buas dan binatang berbisa?” pikir Kang Hoo, “Bukankah malam tadi aku datang ke tempat ini tak tampak seekorpun binatang buas. Tapi bagaimana pagi ini di sekitar gerombolan rumput alang-alang penuh dengan binatang buas? Dan itu gadis baju merah, yang semalam menolong diriku juga sedang menghadapi tiga orang seragam hitam berselubung muka. Melihat gerakan ilmu silat tiga orang seragam hitam tadi, mereka rupanya memiliki kepandaian lebih tinggi dari kawan-awan mereka semalam. Dan aneh, mengapa di dada kiri mereka mengenakan lukisan Kalong Kuning, mengapa tidak mengenakan lukisan Ka-long Putih? Apakah di sini telah muncul lain golongan.”
Ternyata begitu Kang Hoo berdiri, ia menampak sekeliling gerombolan rumput alang-alang dimana ia mendekam, sudah dikurung oleh binatang-binatang buas, dan diluar kurungan binatang-binatang buas, di sana terjadi satu pertempuran antara si nona baju merah dengan tiga orang seragam hitam berlambang Kalong Kuning.
Rupanya ketika malam tadi Kang Hoo lari menerobos hutan, ia tidak sempat memperhatikan medan sekelilingnya lebih-lebih keadaan badannya yang sudah penuh luka, hingga ketika ia memasuki gerombolan rumput alang-alang, ia tidak mengetahui kalau rumput alang-alang itu, hanya seluas beberapa tombak saja, karena diluar gerombolan rumput alang-alang itu merupakan dataran rumput hijau. Di sana tumbuh beberapa batang pohon kayu. Sedang di sebelah utara terdapat itu bukit pegunungan, dimana beberapa orang seragam hitam berlompatan melakukan gerak-gerak serangan. Sedang di bawah bukit, si nona baju merah menghadapi keroyokan tiga orang Kalong Kuning.
Lama Kang Hoo duduk terpekur, kemudian ia kembali menengadahkan kepala memandang ke atas, di atas udara sana, lima ekor burung-burung besar masih berputar melayang layang. Mata Kang Hoo yang sayu itu terus memandang burung-burung yang berputaran di atas kepalanya, saat itu mendadak saja dari arah atas bukit dimana orang orang berseragam hitam berlompatan, terdengar suara halus merdu,
“Ui-jie, kau bawa orang itu!”
Kang Hoo mendengar jelas suara tadi, lagi-lagi suara seorang perempuan, tapi nada suara itu berbeda dengan suara gadis baju merah yang sedang bertempur dengan tiga orang seragam hitam. Entah kini jago perempuan dari mana lagi yang muncul?
Kang Hoo membalik badan memandang ke arah bukit lereng gunung dari mana suara perempuan tadi datang. Di sana tampak orang-orang berseragam hitam sedang mengeroyok seorang gadis. Itulah seorang gadis berkulit hitam manis.
Selagi Kang Hoo memandang heran atas munculnya gadis yang sedang menempur orang-orang berselubung hitam itu, mendadak terdengar suara bentakan dari salah seorang Kalong Putih yang membentak si gadis hitam manis tadi,
“Perempuan Biauw, jangan kau turut campur urusan ini!”
“Hmmm. Kalian minggirlah, aku ingin membawa anak itu, ia telah mengganggu usahaku. Akan kubawa dirinya ke perkampungan suku bangsa Biauw.” Seru si gadis hitam manis yang rupanya gadis dari suku bangsa Biauw.
Terdengar lagi suara teriakan si gadis Biauw,
“Ui-jie, cepat bawa anak itu!”
Kang Hoo bisa melihat dan mendengar pembicaraan tadi, tapi tidak mengarti apa yang dimaksud dengan kata Ui-jie, (kuning). Ia jadi heran.
Selagi Kang Hoo terheran-heran, mendadak saja, dari sebelah kirinya mendatangi seekor orang hutan berbulu kuning, tubuh orang hutan itu hampir setinggi dirinya, penuh bulu, matanya bersinar kuning, dengan lenggang lenggok menghampirinya.
Kang Hoo kebingungan, ia menyelusup mundur masuk ke dalam rumput alang-alang, tapi di belakangnya terdengar suara ular mendesis.
Dalam keadaan demikian rupa, maju menghadapi binatang hutan, di belakang bertemu ular berbisa, Kang Hoo jadi timbul nekadnya, beberapa hari ini ia selalu mengalami penderitaan dan gangguan-gangguan dari manusia, kini binatang-binatang ini hendak berbuat apa terhadap dirinya. Maka dengan nekat, ia mengempos seluruh sisa tenaganya bangkit menerjang si orang hutan.
Orang hutan bulu kuning tadi mengetahui kalau orang di depannya datang menyerbu, ia merentangkan kedua kaki depannya, dan sekali pukul saja tubuh Kang Hoo yang sudah kehilangan tenaga itu, roboh terguling, dan jatuh pingsan.
Setelah orang hutan merobohkan Kang Hoo dengan tangannya yang penuh bulu mengangkat tubuh si pemuda, lalu dipanggulnya pergi.
Binatang-binatang buas yang mengurung gerombolan rumput alang-alang, sejak tadi mengerang-erang, begitu mereka melihat si orang hutan berbulu kuning memondong Kang Hoo, mereka pada seliweran meninggalkan tempat itu, lari ke arah orang hutan bulu kuning, dengan sikap melindungi orang hutan bulu kuning, mereka pada berlalu dari tempat itu. Berbarengan mana lima burung-burung besar yang terbang di atas udara melayang meninggalkan udara dimana tadi Kang Hoo bersembunyi, burung-burung itu melayang ke arah lereng gunung. Dan salah seekor menukik ke bawah, menghampiri si perempuan Biauw. Sedang yang lainnya dengan cekatan melakukan serangan udara pada orang-orang berseragam hitam berselubung muka tadi.
Si perempuan Biauw menunggu burung besar itu menukik ke arahnya, ia mengenjot badannya dan lompat ke atas, kemudian duduk di atas punggung burung besar itu, lalu sang burung kembali terbang naik ke atas, melayang terbang ke arah rombongan binatang-binatang buas yang mengurung melindungi orang hutan bulu kuning.
SIONG IN sedang menghadapi keroyokan tiga orang seragam hitam, orang-orang itu berselubung muka dan berlambang Kalong Kuning di dada, merasa kewalahan menghadapi mereka, kenyataan orang-orang ini memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari mereka yang mengenakan lambang Kalong Patih.
Ketika Siong In mendengar suara teriakan dari perempuan Biauw memerintahkan orang hutan bulu kuningnya untuk membawa Kang Hoo, hati si nona lebih bingung lagi, ia coba lompat untuk menerjang barisan binatang-binatang buas yang mengurung Kang Hoo, tapi gerakan Siong In tidak leluasa, karena di depannya ia mesti menghadapi keroyokan tiga orang berlambang Kalong kuning dan juga ia mesti menghadapi barisan kurungan binatang-binatang buas.
Waktu itu dilain bagian pertempuran antara si perempuan Biauw dengan enam orang seragam hitam berselubung muka masih berlangsung, perempuan Biauw itu mendapat keroyokan dari mereka yang mengenakan lukisan kalong Hitam dan Kalong Kuning, Dan ketika seekor burung raksasa meluncur datang mengangkat terbang perempuan Biauw tadi. Mereka pada melempar pedang ke atas untuk membunuh burung tadi, tapi senjata-senjata pedang itu tak dapat mendekati sang burung, karena angin kipasan sayap burung yang besar itu berhasil membuat pedang-pedang tadi kembali jatuh ke tanah.
Di atas punggung burung raksasanya di tengah udara, gadis Biauw bersiul panjang. Berbarengan dengan suara siulannya dari atas udara, melayang satu titik hitam mendatangi, ternyata itulah seekor burung aneh yang turun meluncur ke bawah, burung tadi turun mendapatkan oraug hutan bulu kuning yang sedang memondong Kang Hoo.
Menampk seekor burung aneh mendatangi, si orang hutan mendongakkan kepala ke atas, kemudian mengeluarkan suara jeritan.
Burung aneh itu memiliki bulu berwana hijau biru, berbuntut panjang, lebar sayapnya beberapa tombak, kedua sinar matanya memancarkan warna kuning emas meluncur terus merendah.
Begitu terkena sambaran angin dari bulu burung aneh itu, rumput alang-alang bergoyang-goyang keras, sedang itu binatang orang hutan bulu kuning yang membawa Kang Hoo merundukkan kepala, seperti tak tahan menerima sambaran angin bulu burung tadi.
Begitu burung aneh tadi tiba di atas kepala si orang hutan bulu kuning, sepasang kakinya bagaikan capitan besi, diluruskan kebawah, ke arah kepala si orang hutan bulu kuning, sambil mengeluarkan suara pekikan.
Orang hutan bulu kunng terus menunduk ke bawah, sepasang tangannya yang penuh bulu mengangkat tubuh Kang Hoo ke atas. Rupanya ia mengerti kalau gadis Biauw, memerintahkan burung tadi mengambil tubuh Kang Hoo, kini tangannya berbulu itu ia menyerahkan Kang Hoo pada sang burung.
Burung tadi melongok ke bawah, matanya bermain memperhatikan keadaan Kang Hoo, kemudian sepasang kakinya mencapit tubuh Kang Hoo, lalu meluncur ke atas.
Setelah sang burung aneh warna hijau biru meluncur ke atas, baru orang hutan bulu kuning berani berdiri tegak, ia mendongakkan kepala.
Saat itu kembali terdengar suara siulan dari atas udara, maka seluruh binatang buas mundur dan meninggalkan tempat tadi.
Orang-orang seragam hitam berselubung muka, berdiri melongo, memandang berlalunya si gadis Biauw yang telah membawa kabur Kang Hoo.
Sementara itu Siong In yang menghadapi serangan tiga orang berlambang Kalong Kuning, ia masih berkutet. Menggerakkan pedangnya. Diiringi berkelebatnya sinar-sinar hitam menyerang jalan darah orang-orang seragam hitam tadi. Tapi mereka ternyata dengan mudah dapat mengelakkan serangangan senjata piauw si nona.
Siong In semakin penasaran, ia mempergencar serangannya, sekali-sekali mata si nona juga mendongak ke atas, melihat lenyapnya bayangan burung yang membawa Kang Hoo.
Pertempuran telah berlangsung empat puluh jurus, belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah dan menang.
Waktu itu, orang-orang seragam hitam yang tadi bertempur di atas bukit menghadapi si gadis Biauw, sudah pada berlari ke arah pertempuran antara Siong In, dan tiga kawan mereka yang mengenakan lukisan Kalong Kuning, tapi mereka tidak berani turun tangan, dengan sikap mengurung memperhatikan jalannya pertempuran tersebut.
Sampai matahari naik tinggi pertempuran belum juga berakhir.
Bagaimanapun tingginya ilmu silat si nona baju merah, tapi ia masih kurang pengalaman tempur. Saat itu napasnya sudah tersengal- sengal, sedang senjata piauw besinya sudah habis terbuang tanpa mengenai sasaran, kini masih tinggal piauw-piauw pemberian suhunya itulah piauw emas Kim chi-hui-piauw, tapi ia merasa sayang untuk menggunakan piauw itu. Kalao tidak terpaksa si nona tidak akan menggunakan senjata tadi.
Selagi Siong In kewalahan menghadapi keroyokan tiga orang tadi, mendadak di tengah udara terdengar suara batuk-batuk serak.
Tiga orang seragam hitam yang berlambang Kalong Kuning masih menempur Siong In, begitu mereka mendengar suara batuk-batuk, mereka lompat mundur menarik serangan, memandang ke arah datangnya suara batuk tadi.
Begitu pula orang-orang seragam hitam berlambang Kalong Putih mereka juga pada lompat mundur mengikuti gerakkan kawan-kawan mereka, memandang pada orang yang datang.
Siong In mulai kewalahan, begitu serangan tiga orang lawannya mengendur dan mereka lalu pada lompat mundur ia juga memperhatikan ke arah datangnya suara batuk-batuk tadi. Dan begitu ia melihat orang yang mengeluarkan suara batuk-batuk serak itu, ia berdiri melengak mulutnya menganga, lalu Siong In lari memburu dan berteriak,
“Ayah . . . Ayah ....!”
Orang tadi masih terus terbatuk-batuk, usianya empat puluh lima tahunan, rambutnya sudah banyak yang putih. Wajahnya klimis tak selembar rambutpun tumbuh di sana.
Siong In terus berlari ke arah orang tua itu, sedang si orang tua dengan langkah kalem menyambut datangnya Siong In.
“Oh...... Ayah ..... Ayah.....!” Seru Siong In menubruk sang ayah. Orang tua tadi dipeluknya erat-erat, ia menangis sesenggukan. “Ayah.....! Kemana saja kau selama ini . . . Ibu . . . Ibu ..... Menunggu di rumah . . .”
Orang tua itu terbatuk-batuk kemudian katanya serak,
“Anak ... Aiii.....”
Hanya itulah yang keluar dari mulut si orang tua. Tangan orang tua itu terus mengelus-elus rambut Siong In.
“Ayah, mari pulang .... Ibu menunggu di rumah, ia kesunyian . . .” Kata Siong In sedih.
“Anak...... Anak . . .” seru si orang tua tadi.
Air mata si nona meleleh membasahi kedua pipinya, ia menangis sedih, perpisahan sepuluh tahun itu membuat hati si nona begitu sedihnya.
Keadaan orang tua itupun tak ubahnya seperti keadaan Siong In, tampak kedua matanya menggenang air mata. Tapi ia berusaha menahan jatuhnya air mata itu, katanya,
“Anak . . . Kau sudah besar . . . Waktu ayah meninggalkan rumah kau masih kecil, itu waktu kau masih ingusan . . . Hari ini sepuluh tahun sudah lewat, kau sudah menjadi seorang gadis cantik jelita lagi gagah, eh, kau sudah mewarisi ilmu silat ibumu, tak kusangka kau sanggup menghadapi mereka.”
Begitu mendengar ucapan sang ayah yang terakhir itu, hati si nona jadi kaget, ia melepaskan pelukannya, kemudian membalik badan, pedangnya siap di depan dada.
Tapi begitu ia melihat ke tempat mana tadi terjadi pertempuran, di sana sudah tak tampak lagi seorangpun seragam hitam.
Mata Siong In masih basah digenangi air mata, pipinya licin mengkilap digenangi lelehan air mata itu, biji mata si nona membelalak, ia jadi heran, kemana perginya orang-orang seragam hitam tadi?
Setelah menggosok wajahnya dengan lengan baju, Siong In bertanya pada sang ayah,
“Ayah, apakah melihat mereka tadi?”
Sang ayah mengangguk, katanya,
“Bukan saja aku lihat, tapi juga sudah menyaksikan bagaimana tadi kau menempur keroyokan mereka!”
“Eh, aneh, bagaimana mereka takut kepadamu?” Seru Siong In.
“Anak ....” Seru si orang tua menghela napas. “Kau jangan campuri urusan mereka. Lebih-lebih tentang anak muda itu. Jangan sekali-kali kau mau tahu urusannya, dan ingat jangan sampai kau jatuh cinta padanya...!”
“Ayah!'' potong Siong In. “Mengapa? Pemuda itu tokh tidak berbuat jahat padaku, juga itu orang-orang seragam hitam bukan orang baik. Aku telah melihat sendri, perbuatan terkutuk mereka!”
“Diam!!!” Bentak sang ayah. Mendapat bentakan tadi Siong In kaget ia lompat mundur, matanya memandang wajah si orang tua, kembali air mata menetes turun di pipinya.
Kesedihan itu datang bertambah, mengapa sang ayah setelah sepuluh tahun tidak bertemu, kini berubah sikap terhadap dirinya, bukankah tempo dulu belum pernah ayahnya membentak demikian rupa. Ia sangat dimanja oleh ibu dan ayah itu, tapi setelah sepuluh tahun tidak jumpa dan pada perjumpaan pertama kali dalam sepuluh tahun itu, sang ayah telah membentaknya.
Orang tua itu, yang menampak keadaan putrinya demikian sedihnya, ia menghela napas, katanya, “Anak, kau jangan salah mengerti, ayahmu sangat sayang padamu, karena memikir keselamatan dirimu maka aku larang kau mencampuri urusan mereka!”
“Ayah . . . Tapi . . .”
“Sudahlah, sudahlah, mereka tokh telah berlalu. Jangan bicarakan lagi.” Seru sang ayah sambil berjalan maju menghampiri Siang In. Kedua tangan orang tua tadi, diletakkan di atas pundak Siong In, katanya, “Kau sudah besar, nah, pulanglah, beritahukan pada ibu, aku masih hidup, tidak kurang suatu apa, waktu ini aku belum bisa pulang ke rumah ....”
“Ayah, mengapa?” Tanya Siong In.
“Apa tidak bisa ayah pulang sebentar, menengok ibu?”
“Anak, sampaikan pesanku padanya, tenang tenanglah ia, suatu hari pasti aku akan segera pulang,” jawab sang ayah.
“Tapi.. . . Sebaiknya ayah pulang dulu,” kata Siang In. “Bukankah ayah tadi mendapat serangan penyakit batuk-batuk?”
Orang tua itu mendadak seperti kaget, serunya,
“Eh . . . Akh ... Ya...” Katanya sambil terbatuk-batuk. “Batuk ini tidak berbahaya, ayahmu bisa mencari obat untuk menyembuhkannya.”
Setelah berkata begitu sang ayah batuk-batuk terus menerus.
Siong In yang melihat ayahnya mendadak kumat penyakit batuknya, ia jadi menyesal mengucapkan kata-kata tadi, bukankah dengan ucapannya itu telah membuat sang ayah teringat akan penyakit batuknya? Hingga si orang tua mesti terbatuk-batuk terus.
“Ayah, maafkan anakmu,” kata Siong In sedih. “Seharusnya aku tidak mengingatkan ayah tentang penyakit batuk itu.”
Sang ayah teras batuk-batuk serak katanya,
“Penyakit ini memang aneh, kalau sekali batuk, terus-terusan saja, tapi kalau ia berhenti maka lama tak akan kumat. Kau jangan kuatir, nah pulanglah, beritahu ibumu kalau aku dalam keadaan sehat walafiat.”
Siong Ia jadi bingung, mengapa sang ayah ini bersikap begini aneh, maka dengan manjanya ia bertanya,
“Ayah sebenarnya sedang menghadapi urusan apa?”
“Anak tidak ada urusan apa-apa yang mesti dikuatirkan, beritahukan saja pada ibumu, ia akan mengerti. Dan dalam perjalanan pulang kau jangan bertindak sembarangan. Sebaiknya jangan mencampuri urusan orang lain!”
“Tapi . , . Bagaimana kalau orang-orang seragam hitam itu mengejar dirku, memusuhi aku.” Tanya Siong In.
Orang tua tadi terbatuk-batuk, kemudian ia memasukkan tangannya ke dalam saku baju, dari sana mengeluarkan sebuah benda, katanya sambil menunjukkan benda itu pada Siong In,
“Kau pakailah benda ini di dadamu. Dan selanjutnya kau tidak perlu kuatir terhadap orang-orang seragam hitam.”
Mata Siong In terbelalak, memperhatikan benda di tangan sang syah. Itulah sebuah perhiasan emas berbentuk buah Tho, di atas buah itu terdapat dua lembar daun.
Selagi Siong In memperhatikan dengan terheran-heran benda tadi, tangan sang ayah telah menusukkan benda tadi di baju dada kiri Siong In.
Siong In membiarkan saja ayahnya menyematkan benda tadi, matanya memperhatikan bagaimana tangan sang ayah memasukkan peniti emas ke bajunya.
“Nah, perhiasan ini banyak gunanya,” kata sang ayah setelah selesai menyematkan benda tadi. “Kau pulanglah, ayahmu tak bisa lama-lama di sini.”
Setelah berkata begitu, orang tua tadi membalikkan badan, tanpa menambah ucapannya ngeloyor pergi.
Siong In bengong terlongong-longong menyaksikan sikap aneh sang ayah itu. Mulutnya ingin berteriak memanggil, hatinya ingin mengejar berlalunya sang ayah, tapi sang mulut dan sang kaki tidak menurut perintah hatinya. Ia berdiri di situ terbengong-bengong, melihat belakang tubuh sang ayah, yang lenyap di balik lebatnya gerombolan pohon.
Begitu orang tua itu telah lenyap di balik pohon, mendadak saja badan Siong In melejit, ia lari mengejar ke arah lenyapnya sang ayah.
Di dalam gerombolan pohon, si nona mencari bayangan ayah itu, tapi di sana sudah tak terdapat bayangan orang tua tadi.
Siong Io terus ubek-ubekan mencari di dalam rimba. Tapi tetap saja ia tak menemukan jejak ayahnya
“Heran!” Pikir Siong In. “Bagaimana ayah bisa bergerak begitu cepat? Bukankah gerakannya tadi sangat lemah? Ia seperti tidak bertenaga, tapi bagaimana kini bisa lenyap mendadak?”
Di dalam hutan itu Siong In dibuat heran atas lenyapnya sang ayah. Ia tidak mengerti bagaimana ayahnya bisa bergerak begitu cepat. Dan saat itu mendadak saja ia teringat pada orang-orang seragam hitam berselubung muka. Ketika orang-orang itu mendengar suara batuk-batuk sang ayah, mendadak mereka pada tersentak kaget, menghentikan serangan. Dan meninggalkan Siong In yang menubruk ayahnya. Kejadian-kejadian itu membuat hati si nona tambah bingung. Manusia-manusia yang ia temui semua serba misterius.
Kini kemana harus mengejar ayah itu, apakah ia harus kembali ke kampungnya memberitahukan pada sang ibu, kalau ayah itu masih hidup, dan pernah ia jumpai di dalam rimba ini. Tapi bagaimana ia mesti menceritakan pada ibunya tentang sikap ayahnya yang berubah misteri itu?
Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya Siong In mengambil keputusan. Katanya dalam hati,
“Dalam dunia ini ternyata banyak sekali orang-orang aneh, baru saja belum lama aku mengembara dalam rimba persilatan, telah menemukan tiga macam keganjilan, yang pertama, munculnya pemuda aneh yang mengucapkan kata-kata yang aku tidak mengerti apa maksudnya, ketika ia melarikan diri dari keroyokan orang-orang seragam hitam dimalam kemarin. Kedua dari hasil penguntitan terhadap orang-orang berseragam hitam lambang Kalong itu, aku mendapat kesimpulan, rupanya mereka terdiri dari dua tingkatan, tingkatan yang rendah itulah mereka yang mengenakan lambang Kalong Putih, ilmu kepandaian mereka tidak ada artinya. Dan tingkatan yang lebih tinggi mereka yang pada pagi ini kuhadapi, mereka cukup tangguh, di dada mereka terlukis lambang Kalong warna Kuning, selanjutnya, itu perempuan Biauw mau apa lagi dengan membawa lari pemuda itu. Ia juga memiliki kepandaian sangat aneh, binatang-binatang buas dan binatang-binatang berbisa begitu pula burung-burung aneh, mengapa bisa tunduk dibawah siulannya? Ilmu kepandaian yang sangat luar biasa!”
Setelah hatinya berkata begitu, Siong In, meraba itu perhiasan buah Tho terbuat dari emas yang disematkan di dada kirinya oleh sang ayah, kemudian, katanya lagi,
“Ini lagi . . . urusan ayah, mengapa aneh begitu, aku disuruh pulang memberi tahu pada ibu, dan dilarang mencampuri urusan orang. Apa maksud benda emas ini? Apakah ini pemberian ibu? Kalau begini, sebaiknya aku pulang dulu ke gunung Hong-san memberi tahu sama ibu. Baru kemudian dengan diam-diam aku menyelidiki kemisteriusan ayah.”
Setelah berpikir demikian, ia masukkan pedang ke dalam serangka. Lalu melesat dari gerombolan pohon. Tapi baru berlari beberapa tombak, mendadak pikiran si nona berubah lagi, pikirnya,
“Aku tokh janji pada ibu paling lama setengah tahun, sedang aku meninggalkan rumah belum cukup dua bulan. Baiknya aku menyelidiki itu perempuan Biauw, apa maksudnya membawa lari pemuda aneh itu?”
Pikiran nona baju merah Siong In jadi kacau tidak keruan, ia dibingungkan dengan keanehan-keanehan yang baru saja dihadapinya. Berdiri mematung di antara lebatnya pohon dalam hutan tadi
Sementara kita tinggalkan dulu keadaan, si nona baju merah Siong In yang kebingungan, maka marilah kita mengikuti pengalaman Kang Hoo yang dibawa terbang oleh burung aneh mengikuti si perempuan Biauw.
Bab 8
HARI MULAI GELAP, lima ekor burung aneh meluncur menembusi kegelapan awan. Ratusan binatang buas dan binatang berbisa saling menggereng dan mendesis, berlompatan maju ke muka, mengikuti arah meluncurnya lima ekor burung menembusi awan.
Kang Hoo yang tercapit di kedua kaki burung warna hijau biru bermata emas, masih belum sadarkan diri, angin langit menderu-deru membawa hawa dingin, mengibar-ngibarkan bajunya yang sudah pada robek. Beberapa tetesan darah masih jatuh menetes.
Lambat laun haripun menjadi gelap. Tak tampak lagi kegiatan di atas dunia. Begitu pula kelima burung aneh di langitpun tak kelihatan bayangan tertelan oleh kegelapannya suasana. Suara gerengan binatang buaspun lenyap tiada terdengar.
Begitu sang surya kembali memancarkan sinarnya di timur, di atas alam raya terjadi keramaian, burung-burung bernyanyi menari berterbangan kian kemari. Binatang-binatang hutan berlompatan kian kemari mencari makan. Terotolan embun di atas daun menguap tersedot hangatnya sang surya pagi.
Di bawah kaki gunung, di dalam rimba belantara, di dalam sebuah goa, menggeletak sesosok tubuh berdarah. Wajahnya pucat pasi, pakaiannya merah dinodai darah, tubuhnya penuh luka-luka bacokan.
Tubuh berdarah itu seorang pemuda, bukan lain Kang Hoo adanya, keningnya yang lebar mengkilat ditimpa sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam goa.
Diantara kesiuran angin gunung dan suara keresekannya daun pohon bergoyang keras, terdengar langkah kaki ringan memasuki goa. Itulah langkah kaki seorang gadis berkulit hitam manis. Di tangan kiri gadis tadi membawa sebuah timba kayu, di tangan lainnya membawa bermacam-macam dedaunan.
Gadis hitam manis itu melangkah tenang memasuki goa, mendatangi Kang Hoo yang masih rebah pingsan di atas kasur rumput di lantai goa.
Begitu berada di samping pemuda tadi, gadis itu meletakkan timba kayu yang berisi air, disamping begitu pula bermacam-macam warna daun di tangan lainnya diletakkan di samping timba.
Dengan bantuannya sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam goa itu, gadis hitam manis memeriksa keadaan luka-luka Kang Hoo.
“Delapan luka ringan, satu luka berat,” gumam gadis hitam manis tadi setelah memeriksa keadaan Kang Hoo.
Setelah bergumam begitu, ia mengambil itu tumpukan daun-daun berwarna warni, lalu dipilihnya batu persatu, yang tidak perlu disingkirkan, kemudian kumpulan daun-daun yang telah dipilih tadi, dibasahi dengan air dalam timba kayu, setelah mana daun-daun tadi diremas-remasnya dengan kedua tangan hingga menjadi hancur dan mengeluarkan busa.
Kalau melihat dari cara meremas daun-daun tadi nyatalah gadis hitam itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, karena beberapa daun masih terdapat duri-duri pada rantingnya, tapi gadis tadi seperti tidak mendapat gangguan dari duri-duri itu, ia terus menggilas daun-daun hingga hancur mengeluarkan busa.
Busa-busa yang keluar dari remasan gilingan campuran daun itu, diolesinya pada luka-luka di tubuh Kang Hoo, hingga semua luka tadi tertutup rata oleh busa-busa itu.
Luka terberat yang diderita Kang Hoo, di bagian punggung kanan, hingga tangan kanannya lumpuh tak dapat digerakkan, pada bagian luka itu, gadis tadi seteliti memeras daun-daun itu, busa-busanya diteteskan pada luka tadi, kemudian luka itu ditutupi oleh ampas daun-daun remasan.
Setelah selesai mengobati luka Kang Hoo dengan daun-daun itu. Kembali ia melakukan pilihan pada daun-daun yang tadi dipisahkan, daun itu terdiri dari tiga warna, kemudian dimasukkan ke dalam timba kayu, di sana daun-daun tadi dihancurkannya.
Daun-daun yang sudah dihancurkan dalam timba kayu tadi, dibawanya keluar goa, di luar goa itu, ia menuangkan air timba yang sudah bercampur dengan ramuan daun-daun itu ke dalam kuali tanah, yang terletak di atas dua buah batu.
Setelah menuang air ramuan daun ke dalam kuali tanah, ia menjejalkan ranting-ranting kering ke dalam dapur batu tadi, lalu, menggosokkan dua ranting kayu, tak lama kemudian kedua ranting kayu kering yang digosok itu mengeluarkan api.
Di dalam dapur itulah gadis hitam manis itu menggodok daun-daun ramuannya.
Tak lama berselang air dalam kuali tadi mendidih, dari sana keluar bau wangi ramuan daun-daun itu. Hidung si nona hitam kembang kempis menyedot-nyedot bau wangi godokan tadi.
Setelah sekian lama hidungnya kembang kempis, ia lalu mengangkat kuali tanah, isinya dituang ke dalam timba kayu lalu dibawanya kembali ke dalam goa.
Di dalam goa itu Kang Hoo masih rebah, ia belum sadarkan diri.
Gadis tadi meletakkan timba kayu, kemudian ia memeriksa denyut-denyut nadi tangan Kang Hoo.
Setelah memeriksa denyut-denyut nadi Kang Hoo, gadis itu menggeleng kepala. Lalu mengambil selembar daun, daun tadi digosok-gosoknya sebentar pada bajunya, lalu dengan daun tadi, ia menyendok air godokan ramuan dari dalam timba kayu. Lalu ditiup-tiupnya beberapa kali agar air itu menjadi dingin.
Dengan menggunakan daun itu, tetes demi tetes air godokan ramuannya dimasukkah ke dalam mulut Kang Hoo.
Karena mulut Kang Hoo tertutup rapat tetesan-tetesan ramuan tadi, meleleh di bibir si pemuda mengalir ke pipinya dan jatuh ke atas kasur rumput.
Gadis hitam manis itu kembali menyendok air godokan dalam timba kayu, ia mengulangi perbuatannya.
Hasilnya kembali seperti apa yang semula ia kerjakan. Nihil. Air obat godokan itu meleleh ke atas tanah.
“Hmmm.....” Gadis itu kembali menyedok air obat dalam timba kayu, tapi kali ini tangan kirinya menjepit kedua rahang si pemuda, hingga mulut Kang Hoo terbuka bibirnya sedikit menganga.
Setelah itu baru ia meneteskan cairan godokan ramuan itu ke dalam mulut Kang Hoo. Berulang ulang ia melakukan demikian, hingga dalam mulut Kang Hoo sudah dipenuhi oleh cairan obat itu, sampai luber ke bibirnya. Tapi Kang Hoo masih juga belum siuman. Jangankan siuman, air obat itu rupanva belum bisa masuk ke dalam perut si pemuda. Seakan di dalam tenggorokan si pemuda terdapat benda yang menyumbat.
Si gadis jadi heran, pikirnya,
“Bukankah, air dalam mulut bisa masuk dalam perut, tapi mengapa ini bisa tertahan lama tidak mau masuk? Apakah kau sudah mau mampus?”
Setelah berpikir begitu gadis hitam manis tadi, menepuk-nepuk pipi Kang Hoo, tapi air dalam mulut tidak mau turun juga ke dalam perut si pemuda.
“Harus kutiup ke dalam.” Pikir gadis hitam manis tadi.
Setelah berpikir demikian, kemudian ia menundukkan kepalanya ke muka Kang Hoo lalu menempelkan kedua bibirnya di bibir si pemuda. Ia meniup mulut Kang Hoo mendorong air obat itu masuk ke dalam perut.
Begitu ia meniup mulut Kang Hoo, mendadak saja air godokan dalam mulut si pemuda kembali nyemprot keluar, dibarengi dengan suara batuk-batuk si pemuda.
Gadis hitam yang mendadak mendapat semprotan jadi kaget, mengangkat mukanya, wajah hitam manisnya basah dengan cairan obat godokannya sendiri yang menyembur wajah manis itu.
Dengan menggunakan tangannya, ia mengusap cairan yang memenuhi wajahnya. Sepasang mata gadis itu memperhatikan wajah Kang Hoo.
Kang Hoo masih diam tertelentang, matanya tetap meram, hanya dadanya tampak bergerak lebih keras dari semula.
Menyaksikan perobahan itu, perempuan hitam manis tadi tersenyum. Lalu kembali ia memasukkan cairan obat sodokannya ke dalam mulut Kang Hoo tetes demi tetes.
Kali ini usaha si gadis berhasil, karena begitu tetesan air godok dedaunan itu masuk ke dalam mulut Kang Hoo tampak tenggorokan si pemuda bergerak, seakan ia menelan cairan yang masuk ke dalam mulutnya.
Setelah beberapa kali gadis itu meminumkan obat godokannya, tampak bulu-bulu mata Kang Hoo mulai bergerak-gerak, kemudian sepasang mata itu perlahan-lahan terbuka.
Berbarengan terbukanya mata Kang Hoo, mulut si pemuda berkata,
“Ya Allah. . . .”
Gadis hitam manis itu kembali jadi kaget, ia tidak mengerti apa yang diucapkan Kang Hoo, bahasa apakah itu? Seumur hidup gadis itu belum pernah mendengar.
“Apakah ini anak gila?” Pikir si gadis akhirnya.
Setelah berpikir demikian gadis hitam manis itu dibikin kaget lagi. Karena Kang Hoo, kembali sudah jatuh pingsan lagi.
Cepat-cepat gadis hitam manis itu memeriksa jalan nadi si pemuda.
“Kau memang banyak mengeluarkan darah.” Gumam si gadis hitam manis. “Mungkin karena banyak mengeluarkan darah itu otakmu jadi rusak, hingga kau berkata yang bukan-bukan. Ramuan daun ini berkhasiat luar biasa, ia bisa mengembalikan tenaga dan menambah darah, tapi kalau kau terus-terusan pingsan begitu, bagaimana aku bisa mencekok kau dengan jamu ramuanku. Inilah ramuan obat mujarab orang Biauw. Dan sebagai gadis Biauw aku telah menyentuh bibirmu, ini berarti aku telah jadi istrimu. Kalau tidak, aku tidak ada muka untuk hidup di atas dunia ini. Aku juga tidak mau jadi janda kembang aku harus menyembuhkanmu.”
Setelah berguman begitu, kembali si gadis Biauw memasukkan cairan godokan obat ke dalam mulut Kang Hoa, karena ia ingin cepat menyadarkan si pemuda, maka dengan mulutnya gadis Biauw tadi kembali menempelkan bibirnya di bibir si pemuda ia meniup mulut Kang Hoo. Tapi cepat ia mengangkat mukanya dari sana kuatir kalau Kang Hoo batuk lagi dan menyemburkan godokan obat ke wajah hitam manisnya.
Tapi kali ini Kang Hoo tidak menyemburkan godokan tadi. Air ramuan tadi berhasil didorong masuk ke dalam perut si pemuda.
Mengetahui kalau usahanya berhasil kembali, ia memasukkan air godokan ke dalam mulut si pemuda dan membantu mendorong dengan tiupan mulutnya.
Karena mengetahui kalau Kang Hoo tidak lagi menyemburkan godokan tadi, si gadis Biauw tidak segera menarik mukanya dengan menempelkan bibirnya di bibir si pemuda perlahan-lahan ia meniup.
Selagi bibir gadis Biauw hitam manis tadi masih menempel d bibir si pemuda, mendorong ramuan obat ke dalam tenggorokan pemuda itu dengan perlahan-lahan, mendadak saja ia merasakan bibir Kang Hoo bergerak, terasa bagaimana bibir itu menyedot, membantu menelan godokan obat ke dalam tenggorokannya.
Si gadis Biauw merasakan sedotan bibir Kang Hoo, ia kaget, matanya terbelalak ke atas menatap mata Kang Hoo, tapi mata si pemuda masih meram, sedotan bibir Kang Hoo terasa lembut menyedot-nyedot bibir si gadis, mendapat sedotan demikian rupa gadis tadi menghentikan meniupnya, ia menarik bibirnya dari bibir Kang Hoo, tapi tiba-tiba saja entah bagaimana, mendadak ia juga menyedot bibir Kang Hoo, melakukan satu kecupan.
Berbarengan kecupan gadis tadi, mata Kang Hoo terbuka, dan si gadis Biauw jadi merah wajahnya, cepat ia menarik mukanya dari atas wajah Kang Hoo.
Kang Hoo terbelalak kaget, seluruh badannya dirasa sakit, lengan kanannya masih belum bisa digerakkan, ia memperhatikan sekujur tubuhnya, tubuh itu penuh diolesi ramuan terasa luka pada badannya berdenyut-denyut menerima pengaruh ramuan yang melekat pada tubuhnya. Lebih-lebih keadaan pada luka di bahu kanan, luka mana terasa berdenyut keras.
Mulut dan tenggorokannya terasa sepat-sepat manis asam, rasa itulah tadi yang membuat Kang Hoo menggerakkan kedua bibir menyedot rasa asam manis sepat tadi, begitu ramuan obat itu didorong oleh tiupan si gadis Biauw.
“Eh ..... . Kau...... Siapa?” Tanya Kang Hoo lemah. “Mengapa berbuat begitu?”
Dengan wajah merah gadis Biauw itu, menyendok lagi ramuan dalam timba kayu, kemudian dimasukkan ke dalam mulut Kang Hoo.
Kang Hoo mengelak, ia memiringkan kepala ke kiri.
“Minumlah!” Seru si gadis Biauw. “Inilah ramuan obat guna mempercepat penyembuhan luka-lukatmu.”
Mendengar kata-kata tadi, mata Kang Hoo memandangi wajah gadis hitam manis yang duduk di sampingnya, katanya,
“Kau? Apa maksudmu?”
Si gadis Biauw tidak menjawab, ia menjejalkan itu ramuan godokan ke dalam mulut Kang Hoo.
Kang Hoa merasakan bagaimana cairan ramuan tadi menyentuh bibirnya, terasa asam sepat manis. Mengetahui kalau ramuan itulah yang tadi ia rasakan dalam tenggorokkannya, maka ia membiarkan gadis Biauw itu mencekok dirinya dengan obat godokannya.
“Cukup!” Seru Kang Hoo.
“Hmmm. Lukamu belum sembuh. Kau jangan bergerak dulu “ Kata gadis Biauw.
Tapi Kang Hoo mana mau mengerti, perlahan-lahan ia bangkit duduk. Rupanya luka-luka pada badannya sudah mulai sembuh, hanya luka pada pundak kanannya yang agak parah itu, masih terasa sakit luar biasa.
Setelah berhasil duduk, ia mencoba menggerakkan tangan kanannya perlahan-lahan.
Tampak wajah si pemuda meringis menahan sakit. Tapi ia sudah bisa menggerakkan tangan kanan itu.
Gadis Biauw itu menyaksikan gerakan Kang Hoo, ia memandangi dengan penuh perhatian, ketika si pemuda menggerakkan tangannya dengan meringis, gadis tadi berkata,
“Luka pada punggungmu tidak ringan, memerlukan waktu dua hari untuk menyembuhkannya, baru kau bisa leluasa bergerak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar