Senin, 19 September 2011

Pendekar Super Sakti [Kho Ping Ho] 4

dan siapa gerangan gadis aneh itu. Kemudian Tan-piauwsu mengumpulkan lima orang sutenya yang lain dan diajaknya masuk ke ruangan dalam untuk berunding.

"Sute sekalian, gadis Mancu tadi amat mencurigakan. Aku dapat merasa yakin bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres. Tentu dia mengandung maksud tertentu di balik pengiriman ini."

"Aku pun berpikir demikian, Suheng. Mengapa Suheng tidak menolak saja tadi?" berkata sutenya yang tertua, seorang berusia lima puluh tahun lebih, berjenggot panjang dan bertubuh kecil pendek, namun bermata tajam. Dia ini adalah seorang Hoa-san-pai yang bernama Lie Cit San dan dialah merupakan orang ke dua di Pek-eng-piauwkiok karena tingkat kepandaiannya pun paling tinggi di antara para sute dari Tan-piauwsu.

"Tidak bisa menolak, Sute. Dia sudah sengaja memilih kita dan kalau aku menolak, dia memiliki alasan untuk mengecap kita sebagai pemberontak-pemberontak yang tidak mau mengawal barang milik seorang Puteri Mancu. Aku khawatir kalau-kalau rahasia perjuangan kita tercium oleh mereka dan sekarang ini mereka menggunakan ujian di balik pengiriman barang."

"Dugaanmu bagaimana, Suheng?"

"Ada dua kemungkinan. Kalau dia mau mengganggu kita, mungkin dia sendiri yang akan mempersiapkan orang-orangnya untuk merampas peti-peti itu di tengah jalan sehingga dengan mudah akan menghancurkan kita."

"Keji sekali! Akan tetapi kita akan lawan dia, Suheng!" kata Ok Sun, sutenya yang berangasan, seorang berusia tiga puluh lebih yang bertubuh kekar dan di pinggangnya tergantung sebuah golok besar.

"Tentu saja akan kita lawan, akan tetapi ada kemungkinan lain yang lebih melegakan hati. Yaitu mungkin ini hanya merupakan ujian bagi kesetiaan kita terhadap Pemerintah Mancu. Kalau benar demikian, kita akan selamat."

"Jangan-jangan dua peti itu terisi peralatan untuk menghancurkan kawan-kawan seperjuangan kita!" kata seorang sute lain.

"Hal itu tidak penting dan kurasa tidak demikian. Untuk menjaga kemungkinan pertama, yaitu gadis aneh itu mengerahkan orang-orang untuk mengganggu kita di jalan, aku sendiri akan mengawalnya!" kata Tan-piauwsu sambil mengepal tinju. Dia harus unjuk gigi, dan untuk menjaga nama baik Pek-eng-piauwkiok, akan dia lawan mati-matian setiap usaha untuk merampas dua buah peti itu.

Tiba-tiba Kwee Twan Giap, sutenya yang paling muda akan tetapi terkenal paling cerdik, berkata.

"Suheng, justeru inilah yang ku khawatirkan. Agaknya justeru pemikiran dan keputusan Twa-suheng ini yang sudah diperhitungkan mereka!"

“Apa maksudmu, Kwee-sute?"

"Bukan lain, tipu muslihat memancing harimau keluar dari sarang!"

Tan-piauwsu dan empat orang sutenya yang lain terkejut dan membelalakkan mata. Tan-piauwsu meninju meja di depannya. "Ah, tepat sekali, Sute! Mengapa hal yang mungkin sekali ini kulupakan? Memancing harimau keluar dari sarang! Ah, bisa jadi itulah inti dari rahasia pengiriman aneh ini. Kita harus bersiap-siap untuk kemungkinan itu!”

"Sebaiknya begini saja, Twa-suheng," kata pula sute termuda yang cerdik itu. "Pengawalan barang ini diserahkan saja kepada seorang di antara kami, karena untuk menghadapi gangguan di jalan, kurasa tidaklah amat berat. Apalagi kalau diingat bahwa perjalanan itu menuju ke Nam-keng. Daerah sepanjang perjalanan ke selatan penuh dengan sahabat-sahabat kita, sehingga kalau terjadi sesuatu, banyak sahabat yang dapat membantu. Adapun Suheng sendiri bersama para Suheng lainnya menjaga di sini untuk menghalau setiap gangguan dan juga untuk dapat melihat perkembangan, kalau perlu merundingkan dengan kawan-kawan seperjuangan yang datang dan lewat di kota ini."

Usul ini dapat diterima dan akhirnya Tan Bu Kong menetapkan Lie Cit San dan Ok Sun sebagai wakilnya mengawal dua buah peti itu, membawa pasukan piauwsu pilihan sebanyak lima belas orang. Berangkatlah hari itu juga dua orang piauwsu dan lima belas orang anak buahnya, mengawal dua buah peti yang dimasukkan ke dalam kereta yang ditarik empat ekor kuda besar.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, di dalam hutan, rombongan piauwsu ini bertemu dengan Han Han dan Lulu. Ketika dari jauh mereka melihat seorang pemuda dan seorang pemudi berjalan di hutan yang liar dan sunyi itu, Lie Cit San sudah menjadi curiga dan berbisik.

"Awas, semua siap sedia! Dua orang di depan itu mencurigakan!"

Demikianlah, rombongan piauwsu itu lewat dan ketika mereka melihat bahwa yang mereka curigai itu hanyalah seorarg pemuda sederhana dan seorang gadis remaja yang cantik, mereka tertawa-tawa dan memandang ke arah Lulu dengan kagum dan tentu saja timbul sifat-sifat kurang ajar mereka, sungguhpun di depan Lie Cit San dan Ok Sun para anak buah itu tidak berani mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan.

Ketika rombongan ini tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu, mendadak muncul sembilan orang laki-laki yang gagah sikapnya dan mereka ini sengaja menghadang di tengah jalan. Usia sembilan orang ini dari dua puluh sampai empat puluh tahun dan melihat pakaian mereka yang rapi dan seperti biasa dipakai orang-orang yang pandai ilmu silat, mereka itu seperti bukan golongan perampok. Seorang di antara mereka, yang paling tua, sudah mengangkat tangan ke atas dan berseru.

"Pek-eng-piauwsu yang mengawal kereta, berhenti dulu!"

Lie Cit San yang menunggang kuda, segera mengajukan kudanya, mengerutkan kening dan matanya yang tajam memandang penuh selidik, kemudian bertanya.

"Sahabat-sahabat yang berada di depan siapakah dan apa maksudnya menghentikan kami? Hendaknya diketahui bahwa kami mewakili Suheng kami Hoa-san Pek-eng untuk mengawal barang-barang dalam kereta menuju ke Nam-keng. Harap sahabat-sahabat suka minggir dan membiarkan kami lewat!"

Sembilan orang laki-laki itu mengeluarkan suara marah dan yang tertua di antara mereka segera mengangkat tangan memberi isyarat agar teman-temannya bersikap tenang. Kemudian ia berkata kepada Lie Cit San.

"Orang-orang Hoa-san-pai amat sombongnya sehingga seperti buta, tidak membedakan orang! Kami bukanlah golongan perampok rendah yang menjadi sahabat para piauwsu! Kami adalah anak-anak murid Siauw-lim-pai yang sengaja mencegat kalian di sini untuk membalas dendam!"

Lie Cit San terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Dia memang tahu bahwa beberapa bulan yang lalu terjadi bentrokan antara beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dengan anak murid Hoa-san-pai, akan tetapi bentrokan itu terjadi antara orang-orang muda yang masih kurang pengalaman dan hal itu telah dibereskan oleh golongan tua. Urusannya hanya kecil karena terjadi hubungan cinta antara seorang murid wanita Hoa-san-pai dengan seorang murid pria Siauw-lim-pai. Hubungan cinta ini menimbulkan rasa iri pada saudara-saudara seperguruan lain sehingga terjadilah bentrokan itu. Dalam bentrokan itu pun hanya mengakibatkan luka-luka tak berarti di kedua fihak. Mengapa hal yang sudah padam itu kini hendak digali dan dipanaskan kembali oleh sembilan orang anak murid Siauw-lim-pai yang tidak dapat dikatakan orang-orang muda ini?

Lie Cit San bukan seorang anak muda yang berdarah panas, maka ia menyabarkan hatinya dan mengangkat kedua tangan setelah meloncat turun dari atas kuda. Sutenya, Ok Sun yang tadinya berada di atas kereta, juga meloncat turun dengan gerakan gesit, berdiri di dekat suhengnya dalam keadaan siap-siap. Tokoh Hoa-san-pai yang berangasan ini sudah meraba-raba gagang senjata.

"Maafkan kalau kami salah menyangka," kata Lie Cit San. "Kiranya Gu-wi adalah para Enghiong dari Siauw-lim-pai! Lebih baik lagi kalau begitu. Hendaknya Cu-wi suka memberi tahu apakah sebabnya Cu-wi sekalian menahan kami?"

Ok Sun yang marah menyambung, "Biarpun anak-anak murid Siauw-lim-pai namun lagaknya seperti perampok, menghadang perjalanan orang. Suheng, kurasa mereka ini telah menjadi antek-antek Mancu dan sekarang mereka diperalat oleh gadis Mancu itu!"

"Tutup mulutmu!" bentak seorang pemuda diantara sembilan orang murid Siauw-lim-pai itu.

Lie Cit San dan pemimpin rombongan Siauw-lim-pai segera menghardik saudara masing-masing agar suka diam. Kemudian orang Siauw-lim-pai itu berkata, "Aku Liong Tik adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai yang menjunjung kebenaran dan keadiIan! Maksud kami sembilan orang murid Siauw-lim-pai menahan kalian tidak lain hanya untuk bertanya apa isinya kereta yang kalian kawal!"

"Ada sangkut-paut apakah hal itu dengan kamu orang-orang Siauw-lim-pai yang sombong?" bentak Ok Sun yang memang berangasan dan sebagai seorang murid Hoa-san-pai tentu saja masih panas hatinya oleh bentrokan antara murid-murid keponakannya dengan murid-murid Siauw-lim-pai beberapa bulan lalu. Akan tetapi kembali Lie Cit San yang masih sabar itu menyambung.

"Mengapakah para sahabat gagah dari Siauw-lim-pai ingin mengetahui hal itu? Hendaknya Cu-wi sekalian tahu bahwa kami sendiri hanya bertugas untuk mengawal barang dan sama sekali tidak tahu apa isinya dua buah peti yang kami kawal, bahkan kami pun tidak ingin mengetahui barang milik orang lain."

“Dua buah peti….?” Sembilan orang Siauw-lim-pai itu saling pandang penuh arti, kemudian memandang marah ke arah kereta.

Liong Tik yang tertua di antara saudara-saudaranya mengimbangi kesabaran Lie Cit San dan kini ia berkata, suaranya masih halus namun nadanya memaksa, "Kami percaya bahwa dua orang saudara Hoa-san-pai yang gagah tidak mengetahui isinya, akan tetapi kami minta agar kedua buah peti itu dibuka agar kita bersama dapat melihat isinya!"

"Perampok-perampok berkedok Siauw-Jim-pai! Kalau ternyata isinya emas permata tentu kalian akan merampoknya!" bentak Ok Sun sambil mencabut golok besarnya. Para anak murid Siauw-lim-pai juga sudah mencabut senjata masing-masing dengan sikap marah.

Lie Cit San menggeleng kepala. "Tidak mungkin hal itu dilakukan,” katanya. “Kami harus menjaga nama baik kami sebagai piauwsu, tidak akan membuka peti kiriman barang orang lain, juga tidak memperbolehkan siapa juga membukanya."

"Twa-suheng, sudah jelas bahwa mereka hendak menyembunyikan. Kalau tidak lekas turun tangan, mau menanti apa lagi?" bentak seorang di antara anak murid Siauw-lim-pai yang paling berangasan sambil meloncat maju dengan pedang di tangan. Ok Sun menggereng dan kedua orang itu sudah bertanding dengan sengit. Melihat ini, Lie Cit San dan Liong Tik maklum bahwa bentrokan tak dapat dielakkan lagi, terpaksa mereka pun maju. Lie Cit San mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang cambuk besi yang kecil panjang, sedangkan Liong Tik mengeluarkan senjata sepasang tombak bercagak dan kedua orang ini pun sudah bertanding hebat. Tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai yang lain sudah menyerbu ke arah kereta dan mereka disambut oleh lima belas orang anak buah piauwsu sehingga sebentar saja di situ terjadi pertandingan yang seru, terdengar bunyi senjata-senjata bertemu diseling teriakan marah mereka. Pertandingan antara dua orang murid Hoa-san-pai melawan dua orang murid Siauw-lim-pai terjadi seru dan berimbang, akan tetapi lima belas orang anak buah rombongan piauwkiok itu segera terdesak hebat oleh tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai dan setelah lewat belasan jurus, mulailan fihak piauwkiok terdesak dan empat orang sudah roboh terjungkal mandi darah.

Tiba-tiba terdengar bentakan yang amat keras, "Semua berhenti!!"

Aneh sekali. Bentakan itu selain keras dan penuh wibawa, juga mengandung tenaga mujijat yang membuat mereka yang sedang bertempur itu serentak meloncat mundur dengan kaget dan gentar, menahan senjata masing-masing dan memandang terbelalak kepada seorang pemuda rambut riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada di tengah antara mereka. Pemuda ini bukan lain adalah Han Han yang segera dapat memilih fihak karena melihat betapa tadi rombongan piauwsu itu terdesak, bahkan ada empat orang di antara mereka yang roboh dan tewas. Kini ia memutar tubuh, membelakangi para piauwsu, menghadapi para murid Siauw-lim-pai dan membentak marah.

"Perampok-perampok laknat, berani kalian mengganggu orang lewat? Orang-orang jahat macam kalian ini patut dibasmi!"

Para piauwsu yang mengenal Han Han sebagai pemuda yang tadi mereka lewati, memandang heran namun juga geli. Pemuda hijau macam ini mana mungkin dapat menakuti hati para anak murid Siauw-lim-pai yang lihai itu. Dan betul saja dugaan mereka, murid-murid Siauw-lim-pai marah sekali karena mengira bahwa pemuda liar yang bermata setan ini pasti seorang anak murid Hoa-san-pai pula. Maka seorang di antara mereka yang termuda, yang tidak memandang mata kepada Han Han, sudah menerjang sambil membentak.

"Bocah setan, mampuslah!" Pemuda Siauw-lim-pai itu bersenjata sebuah toya dan senjata toya ini memang merupakan sebuah di antara senjata kaum Siauw-lim-pai yang ampuh. Begitu tara digerakkan terdengar bunyi mengaung dan ujung toya itu tergetar menimbulkan bayangan belasan batang banyaknya. Kini toya itu rneluncur ke arah tubuh Han Han, menyodok ke dadanya. Han Han sama sekali tidak bergerak.

"Krakkk!!" Toya itu dengan tepat menyodok ulu hati Han Han, akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak bergeming, sebaliknya toya itu patah-patah rnenjadi tiga potong! Anak murid Siauw-lim-pai itu terdorong tenaganya sendiri sehingga menubruk tubuh Han Han. Pemuda ini mengangkat tangan kiri yang terbuka, memukul ke arah tengkuk lawannya.

"Krekkk!" Murid Siuw-lim-pai roboh dengan batang leher patah dan tewas seketika!

Peristiwa ini menirnbulkan geger. Delapan orang anak murid Siauw-lim-pai menjadi marah sekali dan mereka maju dengan senjata mereka menerjang Han Han. Saking marahnya menyaksikan seorang saudara mereka tewas, mereka itu lupa akan sifat kegagahan dan delapan orang jagoan Siauw-lim-pai dengan senjata di tangan kini menerjang dan mengeroyok seorang pemuda tanggung yang tak terkenal dan bertangan kosong!

Pada saat itu, Lulu juga sudah tiba di situ dan gadis ini dengan mata berkilat dan muka berseri berteriak-teriak, "Han-ko, sikat saja perampok-perampok itu!"

Akibat pengeroyokan itu sungguh hebat! Han Han kaku sekali gerakannya dan ia tidak mempunyai ilmu silat tertentu untuk dimainkan menghadapi pengeroyokan itu. Biarpun ia sudah mempelajari gerak kaki, namun gerak tangannya hanya ia pelajari sepintas lalu saja karena selama enam tahun ini ia hanya memusatkan ketekunannya untuk memupuk tenaga sinkang. Ia memasang bhesi dengan kuda-kuda Chi-ma-se, kedua kakinya terpentang dan lutut ditekuk, akan tetapi kedua lengannya dikembangkan dan diputar-putar menghadapi setiap serangan para pengeroyok. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya kedua fihak yang bermusuhan melihat akibat pertandingan ini. Setiap kali ada senjata datang menyerang, Han Han memapakinya dengan dorongan atau kibasan tangannya dan…. si penyerang terguling, senjatanya patah-patah dan orangnya roboh tewas, ada kalanya tewas dengan muka kebiruan seperti membeku, ada kalanya pula tewas dengan tubuh hitam seperti hangus terbakar! Dalam keadaan tidak sadar akan kekuatan sendiri, Han Han telah "mengisi" lengan kiri dengan tenaga inti Im-kang, sedangkan tangan kanannya mengandung tenaga inti Yang-kang. Kekuatan dan kedahsyatan setiap gerak tangannya tidak kalah oleh ilmu pukulan Swat-im Sin-kang maupun Hwi-yang Sin-kang! Karena dia tidak menyerang hanya memapaki mereka yang menyerang saja, maka dalam gebrakan-gebrakan itu robohlah tujuh orang murid Siauw-lim-pai dalam keadaan tak bernyawa lagi, sedangkan Liong Tik dan seorang sutenya yang lebih tinggi ilmunya dapat meloncat ke belakang sehingga terhindar dari bahaya maut, akan tetapi juga senjata mereka itu remuk oleh hantaman hawa pukulan yang keluar dari tangan Han Han.

Pada saat itu keadaan Han Han benar-benar mengerikan sekali. Ia masih berdiri seperti tadi karena ia telah merobohkan tujuh orang murid Siauw-lim-pai dalam keadaan tak mengubah kedudukan kaki sama sekali. Ia berdiri menghadapi Liong Tik dan sutenya, siap menerima serangan, matanya mengeluarkan cahaya yang tajam sekali, mulutnya tersenyum mengerikan seperti senyum setan mengejek sehingga wajahnya yang tampan itu kelihatan menyeramkan, kedua lengannya dikembangkan ke kanan kiri. Karena fihak lawan yang tinggal dua orang itu terbelalak dan tidak menyerangnya, maka ia pun diam tak bergerak dan sesaat keadaan di situ menjadi sunyi karena Lie Cit San, Ok Sun dan semua anggauta piauw-su juga terbelalak dengan hati ngeri.

Derap kaki kuda terdengar jelas di saat yang sunyi itu dan Lulu menengok ke kanan. Seekor kuda hitam datangseperti terbang cepatnya dan di atas kuda itu duduk seorang gadis cantik. Bukan duduk, lebih tepat berdiri karena gadis itu memang berdiri dengan kaki di kanan kiri perut kuda, di atas tempat kaki. Dapat berdiri seperti itu selagi kuda membalap dengan miring membuktikan betapa pandainya gadis cantik ini menunggang kuda. Akan tetapi wajah gadis itu diliputi kedukaan dan kegelisahan. Melihat betapa anak murid Siauw-lim-pai banyak yang tewas dan kereta yang membawa dua buah peti berada di situ dalam keadaan ditinggalkan karena para piauwsu tadi menyambut penyerbuan para murid Siauw-lim-pai, gadis itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya meluncur cepat sekali mendahului kuda dan tahu-tahu ia telah berada di belakang kereta. Para piauwsu terkejut, akan tetapi sebelum ada yang sempat bergerak, gadis itu sudah menggerakkan tangan dua kali.

"Brakkkkk! Brakkkkk!!"

Dua buah peti itu terpukul bagian atasnya oleh dua tangan yang kecil halus, akan tetapi seketika bagian tutupnya remuk dan terbukalah kedua peti itu. Si gadis cantik menjenguk ke dalam peti-peti itu dan terdengar teriakannya menyayat hati.

"Liok-suhu…..! Chit-suhu….!!" Dan gadis itu menangis tersedu-sedu.

Para piauwsu tercengang keheranan, apalagi setelah Liong Tik dan seorang sutenya berlari menghampiri kereta, menjenguk isi peti dan menjatuhkan diri berlutut pula sambil menangis. Lie Cit San dan Ok Sun, diikuti para piauwsu lari pula mendekat dan ketika mereka melihat isi peti, mereka terbelalak.

"Aihhhhh….!!" Lie Cit San dan Ok Sun terhuyung ke belakang dengan muka pucat sekali. Kiranya di dalam dua buah peti itu terisi dua sosok mayat orang yang bukan lain adaiah Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam!

Gadis cantik itu sudah menghentikan tangisnya lalu bangkit berdiri. Sikapnya dingin sekali, penuh hawa amarah meluap-luap, penuh dendam sakit hati yang harus dilampiaskan. Ia bertanya kepada Liong Tik dan sutenya.

"Siapa yang membunuh saudara-saudaramu itu?"

"Sukouw (Bibi Guru)….. mohon bantuan…. para Sute dibunuh oleh bocah iblis itu….!" Liong Tik menuding ke arah Han Han yang masih berdiri seperti arca. Tadi ia seperti kemasukan pengaruh yang aneh, terdapat rasa gembira sekali ketika kedua tangannya merobohkan para pengeroyoknya. Akan tetapi kini Han Han memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu dengan bengong. Ia baru sadar ketika ada suara wanita membentak di depannya.

"Siapa engkau yang begini kejam telah membunuh tujuh orang murid keponakanku?"

Tiba-tiba Lulu yang berdiri di belakang Han Han tertawa geli sehingga suasana tegang itu menjadi terpecah.

"Hi-hi-hi, aneh sekali! Melihat muka dan tubuhmu, usiamu tidak akan banyak selisihnya dengan usiaku, akan tetapi engkau mempunyai keponakan-keponakan yang sudah tua-tua. Aneh dan lucu, hi-hi-hik!"

Akan tetapi gadis itu tidak mempedulikannya, bahkan seperti tidak mendengarnya karena gadis itu kini sedang memandang Han Han penuh perhatian, bahkan wajahnya yang cantik kini menjadi agak pucat, sinar matanya penuh keheranan dan tidak percaya.

Han Han yang sadar akan teguran suara wanita, mengangkat muka dan begitu ia memandang wajah gadis cantik di depannya itu, ia terbelalak dan sampai lama tidak dapat menge1uarkan suara. Kedua orang ini saling pandang, kadang-kadang meragu, kemudian merasa yakin dan Han Han berkata lirih.

“…. Suci….!!”

"Engkau….? Engkau….. Han Han….? Dan engkau membantu Hoa-san-pai, menjadi anjing penjajah Mancu….?”

“Suci…., sama sekali tidak….”

"Kau bukan Suteku 1agi! Kau musuh yang harus mati di tangankuI" Gadis itu menyerang dengan dahsyat sekali. Biarpun dia menyerang dengan pukulan tangan ke arah dada Han Han, namun tangan kosong gadis cantik ini jauh lebih berbahaya daripada serangan senjata para murid Siauw-lim-pai tadi. Datangnya antep, cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat.

"Dukkkkk…!” Han Han yang tidak menangkis itu terpukul dadanya, terhuyung mundur dua langkah. Akan tetapi gadis itu sendiri terbanting roboh! Gadis itu yang sesungguhnya adalah Lauw Sin Lian, terkejut dan meloncat bangun. Tangan kanannya yang memukul itu menjadi kebiruan dan tubuhnya menggigil kedinginan! Cepat-cepat ia menahan napas dan mengerahkan hawa dari pusarnya sehingga rasa dingin itu dapat diusir. Ia memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak, kemudian ia menoleh kepada dua orang murid keponakannya sambil berkata, suaranya mengandung isak tertahan.

"Naikkan jenazah para Sute itu ke at as kereta." Dua orang murid Siauw-lim-pai itu segera melaksanakan perintah ini dengan air mata bercucuran. Lauw Sin Lian meloncat ke atas kereta, diikuti dua orang murid keponakannya, kemudian setelah sekali lagi menoleh ke arah Han Han dengan pandang mata penuh kebencian, ia lalu memekik nyaring dan menarik kendali kuda. Empat ekor kuda itu meringkik dan meloncat ke depan, lalu membalap. Para piauwsu tidak ada yang berani berkutik. Mereka masih terkejut dan bingung menyaksikan kenyataan yang amat mengerikan tadi.

"Suci…..!" Han Han mengeluh perlahan, kemudian ia membalikkan tubuhnya perlahan-lahan, menghadapi anak murid Hoa-san-pai yang masih berdiri pucat. Pandang mata Han Han mengandung sesuatu yang membuat dua orang ini bergidik.

“Kalian…. Kalian…… manusia-manusia iblis! Kiranya kalianlah yang jahat, dan kalian membuat aku membunuh mereka yang tak berdosa….!" Suara Han Han

perlahan seperti mendesis, namun hal ini bahkan menambah keseramannya. Dua orang murid Hoa-san-pai itu menggeleng kepala. "Tidak…. tidak…..!"

Akan tetapi kedua tangan Han Han sudah menyambar, melakukan gerakan menampar ke deparn. Jarak antara mereka masih jauh, ada dua meter, namun tamparan ini mengandung hawa sinkang yang hebat, mengandung hawa pukulan yang biasa ia latih di Pulau Es, pukulan-pukulan yang dapat membuat air membeku menjadi bongkah-bongkah es sebesar anak lembu!

Dua orang murid Hoa-san-pai itu roboh tanpa dapat bersambat lagi, roboh dengan tubuh kaku membeku dan tewas seketika! Para anak buah piauwsu menjadi putat sekali, akan tetapi Han Han sudah menghadapi mereka dan berkata.

"Kalian hanya anak buah, tidak tahu apa-apa…. !" Tanpa berkata apa-apa lagi Han Han lalu menyambar tangan adiknya dan ditariknya lalu diajak pergi cepat-cepat dari tempat itu. Sebentar saja kedua orang muda ini lenyap dari tempat itu dan barulah para anggauta piauwkiok itu sibuk mengurus jenazah kedua orang pimpinan mereka dan empat orang jenazah itu, dengan penuh duka dan masih menggigil kalau teringat kepada pemuda yang mereka anggap iblis itu, mereka kembali ke Kwan-teng untuk melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.

“Eh-eh, berhenti dulu, Han-ko….!" Lulu merenggut tangannya dan terpaksa Han Han berhenti. Wajah pemuda ini keruh tanda bahwa pikirannya kalut dan hatinya terganggu oleh peristiwa dalam hutan tadi.

"Han-ko, semua peristiwa tadi amatlah mengherankan hatiku. Siapakah gadis cantik yang kau sebut Suci tadi? Benarkah dia itu Kakak Seperguruanmu?"

Han Han yang masih kalut pikirannya itu mengangguk. "Dia Suciku, dia P uteri guruku yang pertama. Dia puteri Lauw-pangcu…" Baru Han Han teringat dan kalau bisa ia hendak menelan kembali semua kata-kata yang sudah dikeluarkan. Namun terlambat karena Lulu sudah mendengar semua dan gadis itu tiba-tiba menjerit, lalu membalikkan tubuh dan lari secepatnya.

“Eh, Moi-moi…., tunggu dulu….!!” Han Han meloncat dan cepat mengejar. Sebentar saja ia dapat menyusul dan memegang tangan Lulu. Akan tetapi Lulu merenggutkan tangannya dan dengan cemberut memandang Han Han dengan muka merah dan air mata memmbasahi pipinya.

"Jangan dekat-dekat! Jangan pegang-pegang! Kau kiranya murid musuh besarku! Apakah kau hendak membelanya? Mulai sekarang aku tidak sudi berdekatan denganmu!"

"Eh, Lulu jangan begitu. Aku tetap Kakakmu, dan aku tidak akan membela siapapun juga kecuali engkau Adikku…."

"Bohong! Mana mungkin membelaku kalau musuh besarku adalah Gurumu sendiri? Kakek jahat she Lauw itu adalah Gurumu, baru puterinya saja sudah kau bela tadi! Sudahlah, karena kau murid musuh besarku, berarti engkau musuhku juga. Nah, kau lekas serang dan bunuh aku……, lekas bunuh aku….. tak mungkin aku dapat membalas kematian keluargaku karena engkau murid musuhku. Bunuh aku, engkau murid musuh besarku!" Saking berduka dan marah, omongan Lulu menjadi kacau-balau tidak karuan dan bercampur dengan isak yang ditahan-tahannya. Sepasang matanya yang lebar dan yang biasanya bersinar seperti sepasang matahari kembar itu kini menyuram, dan dua butir air mata jernih seperti mutiara menggantung di bulu matanya yang lentik.

Han Han melangkah maju dan memegang kedua pundak Lulu, tersenyum duka dan berkata, "Baiklah, lulu. Engkau menganggap aku musuhmu, nah, ini dadaku sudah terbuka di depanmu. Kauhantamlah aku sampai mati, kalau kau menganggap aku musuhmu."

Sepasang mata yang lebar indah itu memandang ke arah dada Han Han, dada kakaknya yang selama ini menjadi tempat ia bersandar, dan ia bergidik, akan tetapi mulutnya masih mencela.

"Kau mengejek! Kau tahu bahwa betapapun keras aku memukul, takkan melukai dadamu, engkau kuat dan kebal….."

"Adikku yang manis. Sekali ini aku tidak akan melawan, dan aku akan senang mati di tanganmu, kalau hal itu memang kaukehendaki dan akan menyenangkan hatimu. Apakah kau akan senang hatimu kalau kau dapat memukul mati Kakakmu ini, Moi-moi?"

Lulu menengadahkan mukanya, mereka berpandangan dan Lulu terisak menangis sambil menubruk kakaknya, menyembunyikan mukanya di dada yang ditawarkan untuk ia pukul itu. Air matanya membasahi baju dan dada Han Han yang mengelus-elus kepala adiknya penuh kasih sayang.

"Lulu, sudahlah jangan menangis. Aku bukan musuhmu melainkan Kakakmu."

"Akan tetapi kau murid Lauw-pangcu musuh besarku."

"Sekarang tidak lagi, Lulu. Itu dahulu ketika aku masih kecil. Engkau mendengar sendiri betapa puterinya tadi mengatakan demikian pula, bahwa dia bukan Suciku dan aku bukan Sutenya. Puterinya itu pun kini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang hebat….."

Lulu mengangkat mukanya memandang. Mukanya masih agak basah, kulit muka yang halus itu kemerahan dan kemarahan sudah menghilang dari pandang matanya yang kini menatap wajah kakaknya penuh selidik dan juga penuh kekhawatiran. "Koko, engkau….. mencinta dia…?"

"Siapa?"

“Dia, puteri musuh besarku itu….”

"Aha! Kaumaksudkan Lauw Sin Lian tadi? Dia bekas Suciku, ahhh….. tidak, aku tidak tahu tentang cinta, jangan bertanya yang bukan-bukan!"

"Syukurlah, aku akan bingung sekali kalau sampai engkau mencinta puteri musuh besarku. Akan bagaimanakah sikapku? Dia puteri musuh besarku akan tetapi juga….. eh calon So-so (Kakak Ipar), kan merepotkan hati namanya!"

"Hussh, kau memang nakaI, Moi-moi. Apakah lupa baru saja kau mengamuk dan menangis? Sekarang sudah menggoda orang!"

Lulu tersenyum, giginya yang rapi dan putih berkilat di balik kemerahan bibirnya. "Tapi aku girang, tak mungkin kau menikah dengan Lauw Sin Lian. Dia sudah marah dan benci kepadamu karena kau telah membunuh murid-murid keponakannya!"

Han Han menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Lulu, jangan menganggap hal itu seperti main-main! Aku tadi telah salah membunuh orang. Kusangka tadinya orang-orang Siauw-lim-pai itu yang jahat dan menjadi perampok, kiranya piauwsu-piauwsu anak murid Hoa-san-pai itu yang jahat, menyembunyikan dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang mereka bunuh di dalam peti-peti itu."

Seketika wajah Lulu menjadi serius dan membayangkan kekhawatiran. "Wah, kalau begitu engkau akan dimusuhi oleh Siauw-lim-pai, Koko?"

Han Han tersenyum dan pandang matanya membayangkan ejekan. "Aku tidak takut! Mengapa mesti takut karena memang aku membunuh mereka karena salah sangka? Juga sikap mereka itu sendiri yang mendorongku membunuh mereka. Bahkan aku akan pergi ke Siauw-lim-pai, mencari Sin Lian untuk menjelaskan peristiwa itu."

"Bagus sekali! Mari kita ke sana, Koko. Engkau ingin memberi penjelasan kepada Sin Lian dan aku akan bertanya di mana adanya Ayahnya agaraku dapat membalas dendam! Engkau tentu akan membantuku membunuh Lauw-pangcu, bukan?"

Han Han merasa serba salah, akan tetapi dengan sungguh-sungguh ia berkata, "Kurasa sekarang engkau telah cukup lihai untuk mengalahkan Lauw-pangcu, Lulu. Bagaimana mungkin aku dapat turun tangan terhadap dia yang dahulu amat baik kepadaku? Aku hanya berjanji akan melindungimu jika kau sekiranya kalah, akan tetapi untuk membantumu membunuhnya….., wah, berat juga."

"Tidak apalah tidak kaubantu juga! Kalau aku kalah, aku dapat belajar lagi darimu dan lain kali kucari lagi dia dia. Mari kita ke Siauw-lim-pai mencari Sin Lian, Koko!"

Akan tetapi Han Han menggeleng kepala. "Tidak sekarang, Moi-moi. Aku akan pergi dulu mencari pusat Pek-eng-piauwkiok itu! Aku telah kesalahan tangan membunuh murid Siauw-lim-pai dan semua itu hanya karena kejahatan dan kepalsuan orang-orang Pek-eng-piauwkiok. Mungkin dua orang piauwsu yang mengawal dua peti terisi mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam itu pun hanya petugas saja. Tentu ketua piauwkiok itu yang menjadi biang keladi dan yang bertanggung jawab. Dia yang harus menebus semua kesalahan ini. Setelah aku menghukum orang yang menjadi biang keladi peristiwa di hutan itu, yang menjadi pembunuh dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, barulah aku akan mengajakmu pergi ke Slauw-lim-pai."

'Tapi, ke mana kau akan mencari Pek-eng-piauwkiok, Koko? Kita tidak mengenal mereka….."

"Wah, kau bodoh sekali, Lulu! Kita pergi saja ke jurusan dari mana mereka datang, kemudian kita bertanya-tanya orang, apa sukarnya?" Tanpa memberi kesempatan kepada adiknya yang cerewet itu membantah lagi, Han Han menyambar tangan Lulu dan digandengnya, kemudian mengajak dara itu pergi meninggalkan tempat itu. Biarpun lama berada di Putau Es, namun Han Han masih belum kehilangan kecerdikannya kalau tak dapat dikatakan dia makin cerdik karena ada sesuatu yang aneh dalam dirinya, yang membuat otaknya dapat bekerja, lebih cepat. Tepat seperti yang diduganya, dengan mudah mereka dapat mencari keterangan tentang Pek-eng-piauwkiok. Piauwkiok yang besar dan terkenal ini berada di kota Kwan-teng, dan dua orang muda itu segera pergi ke kota Kwan-teng, tidak peduli akan tatapan pandang mata keheranan dan kagum dari orang-orang yang berjumpa dengan mereka. Heran melihat Han Han yang aneh dan rambutnya riap-riapan, kagum menyaksikan Lulu yang cantik jelita. Pandang mata heran dan kagum ini lama-lama terbiasa bagi mereka. Di dalam hatinya, Han Han mengambil keputusan untuk menebus semua pembunuhan. yang ia lakukan di hutan tadi, pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan seakan-akan di luar kesadarannya. Entah bagaimana, sekali bertemu tanding, ia mendapat perasaan gembira dan senang sekali merobohkan para lawannya tanpa dasar apa-apa! Dan begitu keluar pulau, dia telah melakukan pembunuhan terhadap orang-rang Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dua partai persilatan yang besar! Karena itu, dia harus membereskan urusan ini, mencari siapa yang bersalah dan siapa yang menjadi biang keladinya.

***

Memang tidak salah pendapat Han Han bahwa Hoa-san-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar dan terkenal, sungguhpun tidaklah sebesar partai Siauw-lim-pai yang seolah-olah menjadi sumber partai persilatan di Tiongkok. Hoa-san-pai yang berpusat di puncak Gunung Hoa-san itu mempunyai banyak sekali anak murid yang pandai-pandai dan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh anak murid Hoa-san-pai adalah tokoh-tokoh persilatan yang gagah perkasa dan terkenal sebagai pendekar-pendekar pembela keadilan.

Pek-eng-piauwkiok dipimpin oleh Hoa-san Pek-eng Tan Bu Kong, seorang tokoh Hoa-san-pai yang tinggi ilmu silatnya. Di dalam anak tangga tingkat Hoa-san-pai, Tan Bu Kong menduduki tingkat lima. Di samping para sutenya yang tentu saja lebih rendah tingkatnya, dia telah berhasil membuat nama besar, tidak hanya mengakibatkan kemajuan dan keuntungan piauwkiok yang ia pegang, akan tetapi juga sekaligus mengangkat nama besar Hoa-san-pai. Apalagi karena di samping perusahaannya ini diam-diam Pek-eng-piauwkiok menjadi tempat pertemuan tersembunyi di antara para patriot yang melakukan gerakan menentang pemerintah penjajah Mancu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pek-eng-piauwkiok didatangi seorang gadis Mancu yang cantik jelita dan juga aneh, yang mengirimkan dua buah peti panjang dengan biaya amat mahal itu. Setelah dua buah peti itu diberangkatkan, hati Tan Bu Kong yang menjaga di rumah menjadi amat tidak enak dan selalu gelisah. Dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan hatinya makin tidak enak ketika sampai sore sutenya yang ia suruh mengikuti dan menyelidiki gadis Mancu itu belum juga kembali. Sutenya itu, Teng Lok, memiliki kepandaian yang boleh diandalkan dan terutama sekali ginkangnya amat tinggi, tidak kalah oleh dia sendiri. Mengapa sampai sore belum juga sutenya itu kembali?

Menjelang malam, Tan-piauwsu mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia, meloncat dan berlari keluar dengan jantung berdebar, siap menghadapi segala kemungkinan karena agaknya para anak buahnya ribut-ribut oleh sesuatu yang tentunya tidak beres. Ketika ia tiba di luar dan memandang, wajahnya menjadi pucat dan cepat ia menyongsong ke depan dan berseru.

"Teng-sute…..!"

Adik seperguruannya itu sedang digotong oleh anak buahnya dan agaknya begitu tiba di depan gedung piauwkiok, adik seperguruannya itu roboh pingsan. Tidak aneh kalau melihat keadaannya yang demikian mengerikan. Lengan kanannya buntung sebatas siku dan lehernya terluka mengeluarkan darah. Cepat orang she Teng ini digotong masuk direbahkan di atas dipan dalam kamar. Setelah menerima perawatan, akhirnya dia mengerang dan siuman. Luka di lehernya tidak membahayakan, hanya lengannya yang bunltung itu benar-benar mengerikan. Ketika ia menengok dan memandang suhengnya duduk di situ menjaganya, ia mengeluh.

"Ahhh, Suheng….. untung siauwte masih hidup….. dan dapat bercerita kepada Suheng……"

Tan Bu Kong menekan pundak sutenya dan dengan terharu berkata, "Tenanglah, Sute dan ceritakan perlahan-lahan dan seenaknya, engkau masih amat menderita….”

"Tidak, harus sekarang juga Suheng dengar. Gadis Mancu itu bukan manusia! Dia seperti iblis! Ketika aku mengikuti keretanya, kusangka tidak ada yang tahu dan aku terus membayanginya sampai kereta itu berhenti di luar kota raja di mana terdapat sebuah gedung peristirahatan yang mewah, entah punya siapa, yang jelas tentu milik seorang pembesar Mancu. Diam-diam aku lalu menyelidik dan akhirnya aku dapat membekuk seorang pelayan, kuseret keluar dan di bawah ancaman, dia mengaku bahwa gedung itu tempat peristirahatan Puteri Nirahai yang katanya adalah puteri Kaisar Mancu dari selir. Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan gadis Mancu itu telah berada di situ tanpa kuketahui sama sekali. Dia menyindir bahwa aku sejak tadi membayangi keretanya dan untuk kelancangan itu aku harus dihukum. Aku menyatakan bahwa sebagai pimpinan piauwkiok, aku wajib mengetahui alamat pengirim barang. Dia tidak peduli dan minta supaya aku membuntungi lengan kananku dengan pedang sendiri!"

“Ah….., terang dia bersikap tidak baik terhadap kita!" kat a Tan Bu Kong marah.

"Bukan hanya tidak baik, bahkan telah direncanakannya, Suheng! Aku tentu saja tidak mau dan hendak pergi, akan tetapi aku selalu terguling roboh setiap kali tangannya bergerak mendorongku. Agaknya dia memiliki sinkang yang luar biasa dan dengan pukulan jarak jauh selalu merobohkan aku setiap aku hendak pergi. Aku menjadi marah, mencabut pedang dan menyerang gadis penjajah laknat itu!" Muka Teng Lok menjadi merah karena ia masih penasaran dan marah terhadap gadis bangsa Mancu itu.

"Lalu bagaimana, Sute?"

"Dia lihai sekali. Entah bagaimana aku sendiri tidak tahu, tiba-tiba pedangku telah dirampasnya dan di lain saat, lenganku telah terbabat buntung dan leherku terluka. Hanya dengan mengandalkan ginkang saja aku dapat melarikan diri untuk melapor kepadamu, Suheng."

Pucat wajah Tan Bu Kong, pucat karena kaget dan marah. Dia maklum akan gawatnya persoalan. Andaikata gadis itu bukan puteri Mancu, apalagi puteri kaisar sendiri, tentu dia akan mengerahkan tenaga untuk mendatangi dan membalas semua ini. Akan tetapi gadis itu adalah puteri Mancu, kalau diganggu, tentu berarti merupakan perang terbuka menentang Pemerintah Mancu dan hal ini akan menyeret pula Hoa-san-pai!

“Itu belum semua, Suheng," kata pula Teng Lok sambil memandang wajah suhengnya yang berkerut. "Ketika aku lari, aku tahu bahwa jika dia menghendaki, tentu dia akan dapat mengejar dan membunuhku. Akan tetapi dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa kita harus bersiap-siap menanti serbuan orang-orang Siauw-lim-pai. Entah apa maksudnya, akan tetapi aku khawatir sekali, Suheng. Gadis itu seperti iblis betina yang entah pekerjaan terkutuk apa yang sedang dia lakukan….."

"Hemmm….., tentu ada hubungannya dengan peti-peti itu. Baik kitat unggu saja dan engkau beristirahatlah, Sute sambil merawat diri. Kelak, karena lengan buntung, tentu Suhu akan dapat memberi ilmu yang khusus untukmu. Sementara ini, aku akan memperkuat penjagaan, bersiap menanti datangnya bahaya yang terasa benar olehku sedang mengancam kita."

Semenjak sore hari itu, sampai tiga hari tiga malam lamanya, Tan Bu Kong makin gelisah, duduk salah berdiri pun tak enak, makan tak sedap tidur tak nyenyak, dan selalu menanti-nanti kembalinya rombongan sutenya yang pergi mengawal dua buah peti itu ke selatan. Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika pada suatu sore, sepekan kemudian, rombongan anak buahnya berlari-lari datang dengan wajah kusut, tanpa membawa kereta piauwkiok dan tanpa dipimpin oleh dua orang sutenya yang bertugas mengantar dua buah peti itu. Tan-piauwsu membentak para anak buahnya yang bercerita simpang-siur dan amat gaduh, lalu memerintahkan seorang di antara mereka, yang tertua, menceritakan semua pengalamannya.

Piauwsu tua itu bercerita sambil mencucurkan air mata, menceritakan semua peristiwa yang terjadi, betapa kereta mereka dihadang oleh serombongan anak murid Siauw-lim-pai yang hendak memaksa membuka dua buah peti itu, kemudian betapa mereka bertanding meJawan anak-anak murid Siauw-lim-pai dan munculnya seorang pemuda aneh yang rambutnya riap-riapan bersama seorang dara remaja jelita yang secara mengerikan telah merobohkan dan menewaskan tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai, kemudian betapa muncul seorang gadis anak murid Siauw-lim-pai yang lihai dan yang membuka dua buah peti dengan secara paksa.

"Dibuka? Apa isinya…..?" Tan-piauwsu bertanya dengan suara keras saking tegang hatinya.

"Isinya adalah dua mayat manusia, mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam….”

"Hayaaa…..!!!" Tan Bu Kong mencelat bangun dari kursinya dengan muka pucat sekali. “Celaka….!"

Piauwsu itu lalu melanjutkan ceritanya. Betapa gadis murid Siauw-lim-pai itu menyerang Si Pemuda aneh namun dapat dikalahkan dan kemudian gadis itu membawa pergi jenazah-jenazah dalam peti dan jenazah para anak murid Siauw-lim-pai. Kemudian, dengan suara terengah-engah dia menceritakan betapa pemuda aneh itu menjadi marah kepada para piauwsu, dan dengan sekali gerakan telah membunuh Lie Cit San dan Ok Sun!

"Ahhh! Siapakah pemuda yang ganas dan kejam itu?" Tan-piauwsu berseru dengan alis berdiri.

"Entahlah, hanya kami mendengar gadis murid Siauw-lim-pai yang lihai itu mengenalnya dan pemuda itu malah menyebut Suci kepada murid Siauw-lim-pai itu, dan gadis itu menyebut namanya Han Han….."

Akan tetapi, biarpun kedua orang sutenya tewas, hal ini tidak mengurangi kekhawatiran hati Tan-piauwsu dan kemarahannya terhadap Si Puteri Mancu. Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa fihaknya, yaitu Pek-eng-piauwkiok yang tentu saja dapat juga dianggap mewakili Hoa-san-pai, telah diadu domba secara licin dan keji sekali oleh Puteri Mancu yang lihai itu! Pantas saja puteri itu menyindir kepada sutenya, Teng Lok bahwa Hoa-san-pai harus bersiap-siap untuk menghadapi penyerbuan Siauw-Hm-pai! Kini jelaslah sudah bahwa dua orang tokoh Siauw-Hm-pai itu, kedua orang dari Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh oleh puteri Mancu yang kemudian memasukkan dua jenazah itu ke dalam peti dan sengaja menyuruh Pek-eng-piauwkiok mengawalnya ke selatan. Dan ia dapat menduga pula bahwa tentu fihak Siauw-lim-pai secara diam-diam diberi tahu oleh puteri iblis itu sehingga mereka menghadang kereta dan minta lihat isi peti! Hal ini kalau dipikirkan amat sederhana, sebuah tipu muslihat yang mudah, akan tetapi betapa kejinya! Tentu saja fihak Siauw-lim-pai berkeyakinan bahwa dua orang tokoh mereka itu terbunuh oleh Hoa-san-pai dan tentu akan timbul dendam dan bentrokan hebat antara kedua partai besar ini.

Tan-piauwsu termenung. Si pembuat urusan ini adalah puteri Mancu itu, tak salah lagi, sungguhpun ia bergidik kalau mengingat betapa dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam sampai dapat terbunuh! Padahal dia tahu bahwa Siauw-lim Chit-kiam adalah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang sakti, yang memiliki tingkat ilmu kepandaian amat hebatnya, masing-masing merupakan tokoh Siauw-lim-pai tingkat tiga! Kalau biang keladinya adalah puteri Mancu, dan yang menjadi korban adalah Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, dua buah partai yang menentang Mancu, maka mudah saja diduga sebabnya! Tentu fihak Pemerintah Mancu sengaja mengadu domba Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai agar dua partai yang me musuhi Mancu ini menjadi lemah dan saling gempur sendiri. Dan hal ini amatlah berbahaya!

Malam hari itu juga Tan Bu Kong menyuruh seorang sutenya untuk pergi keHoa-san, miengabarkan peristiwa hebat ini kepada pimpinan Hoa-san-pai agar dapat mengambil langkah-langkah seperlunya untuk-mencegah terjadinya pertentangan hebat antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang akan timbul sebagai akibat taktik adu domba yang amat keji itu. Juga mengundang tokoh-tokoh sakti Hoa-san-pai untuk diajak mengambil tindakan terhadap puteri Mancu yang amat sakti dan aneh itu, karena dia maklum bahwa dia sendiri takkan mungkin dapat mengalahkan puteri Mancu yang telah berhasil membunuh dua orang sakti seperti dua di antara Siauw-lim Chit-kiam. Atau, andaikata bukan puteri itu yang membunuh, karena dia masih tidak percaya seorang puteri remaja seperti itu akan sanggup membunuh dua di antara Siauw-lim Chit-kiam, tentu ada orang sakti di belakang puteri itu yang tentu akan melindungi Sang Puteri.

Pada keesokan harinya, tanpa. disangka-sangka muncullah seorang pemuda tinggi besar yang gagah dan tampan bersama seorang gadis baju kuning yang cantik manis. Kedatangan dua orang in sedikit menghibur hati Tan Bu Kong karena mereka itu, biarpun terhitung sute dan sumoinya, namun murid-murid dari supeknya ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampauinya! Sutenya itu adalah seorang pemuda yang tampan dan tinggi besar, usianya dua puluh tahun lebih, gerak-geriknya halus, wajahnya periang dan peramah, namun sesungguhnya dia inilah pendekar muda Hoa-san-pai yang berjuluk Hoo-san Gi-hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san)! Adapun gadis cantik manis berusia antara delapan belas tahun itu pun bukan sembarang orang karena dialah tokoh kang-ouw yang amat terkenal yang berjuluk Hoa-san Kiam-li (Dewi Pedang Hoa-san)! Biarpun masih muda, dua orang pendekar Hoa-san ini telah membuat nama besar dengan perbuatan-perbuatan mereka yang menggemparkan dalam membela kebenaran dan keadilan.

Ketika melihat wajah suheng mereka yang keruh, pemuda dan dara ini cepat bertanya apa yang terjadi sehingga menyusahkan hati Tan-piauwsu.

"Kami berdua menerima pesan Suhu untuk datang membantu usaha Suheng menghimpun orang-orang gagah yang bergerak menentang kekuasaan penjajah Mancu," kata pemuda tampan itu. "Mengapa Suheng kelihatan tidak bersemangat dan berduka?”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati dua orang muda perkasa itu ketika tiba-tiba Tan-piauwsu mengeluh, menarik napas panjang dan matanya menjadi basah dengan air mata! Suheng mereka, yang gagah perkasa dan banyak penga.laman di dunia kang-ouw itu, menangis! Tentu terjadi sesuatu yang amat hebat!

"Sute dan Sumoi, kedatangan kalian ini merupakan cahaya penerang bagi hatiku yang sedang gelap, akan tetapi aku membutuhkan bantuan para Lo-cian-pwe, para Susiok dan Suhu kita di Hoa-san-pai karena tanpa mereka, kiranya sukar untuk membikin terang perkara yang amat gelap in!" Tan Bu Kong lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi semenjak puteri Mancu itu menitipkan dua buah peti untuk dikirim ke selatan.

Mendengar semua itu, Hoa-san Gihiap mengepalkan tinjunya. "Ah, jelas. Puteri Mancu itulah yang mengatur semua rencana terkutuk itu! Biarlah aku akan pergi menangkapnya, kemudian menyeretnya ke Siauw-lim-pai, memaksanya mengaku akan semua perbuatannya. Hanya dengan jalan itu, semua perkara dapat dlbereskan, Suheng."

"Betul pendapat Wan-suheng!" kata Hoa-san Kiam-li penuh semangat. "Biar aku membantu Wan-suheng menangkap iblis betina yang palsu itu!"

Tan Bu Kong mengangkat tangan dan menggeleng kepala. "Bukan aku kurang percaya akan kesanggupan Sute dan Sumoi, akan tetapi sungguh sembrono sekali kalau hal itu dilakukan. Pertama, ada kemungkinan puteri itu memiliki kelihaian yang amat luar biasa kalau benar dia yang membunuh dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam. Kelihaiannya telah dirasakan oleh Suheng kalian Teng Lok, akan tetapi akan lebih hebat lagi kalau dia dapat membunuh dua orang Locian-pwe dari Siauw-lim-pai itu. Selain itu, mungkin dia mempunyai kawan-kawan yang berilmu tinggi dan hal ini tidak mengherankan kalau diingat betapa datuk-datuk besar golongan hitam banyak yang menghambakan diri kepada penjajah Mancu. Hal itu saja sudah menjadi sebab yang harus kita perhatikan dan sama sekali tidak boleh dianggap ringan. Ada lagi hal yang harus dipikirkan masak-masak sebelum kalian mengambil keputusan untuk menangkap puteri itu. Dia adalah puteri dari Kaisar Mancu sendiri, sungguhpun puteri selir namun kedudukannya amat tinggi sehingga kalau sampai dia kita tawan, tentu akan timbul geger dan Hoa-san-pai tentu akan diserang secara terang-terangan oleh bala tentara Mancu. Dalam hal ilmu kepandaian, tentu Sute dan Sumoi jauh melampaui aku, namun dalam hal pengalaman, aku jauh lebih tua dan lebih banyak mengalami hal-hal yang sulit. Sehaiknya, Sute dan Sumoi secara diam-diam melakukan penyelidikan terhadap Puteri itu. Tentu saja kalian harus berhati-hati, jangan sampai terjadi hal yang menimpa diri Sute Teng Lok. Cukup kalau Sute dan Sumoi mengetahui latar belakang puteri itu, apakah ada orang-orang sakti di sana, dan siapa sesungguhnya puteri yang aneh dan lihai itu."

Mau tidak mau kedua orang muda perkasa itu harus tunduk dan merasa kagum akan pandangan yang luas dari suheng mereka itu. Mereka menyanggupi dan pertemuan antara murid-murid seperguruan itu dilanjutkan dengan makan minum dalam suasana prihatin.

"Sebaiknya Sute dan Sumoi melakukan penyelidlkan di waktu siang saja agar tidak berbahaya. Kita menanti kembalinya utusanku ke Hoa-san, dan setelah para Locianpwe dari Hoa-san tiba, barulah kita mengambil keputusan berdasarkan pendapat beliau-beliau itu, agar sepak terjang kita tidak simpang-siur." Demikian pesan Tan Bu Kong yang dipatuhi oleh dua orang adik seperguruannya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang muda perkasa itu sudah meninngalkan piauwkiok dan melakukan penyelidikan ke tempat yang ditunjuk oleh teng Lok, yaitu di luar kota raja yang tidak begitu jauh dari situ, hanya dalam jarak perjalanan seperempat hari saja.

Pada sore harinya menjelang senja, selagi Tan-piauwsu dan para anak buahnya duduk menanti kedua orang sutenya itu, juga menanti berita dari Hoa-san, tiba-tiba muncul dua orang muda di depan pintu gerbang piauwkiok. Melihat mereka ini, para pengawal yang tempo hari ikut mengawal dua peti jenazah, menjadi pucat dan gugup. Ada yang berbisi-bisik.

“Dia datang…! Dia datang….!!”

Ketika Tan Bu Kong menengok dan melihat seorang pemuda yang berambut panjang riap-riapan, berwajah tampan dan aneh, sinar matanya tajam sekali dengan sikap tenang muncul di depan pintu menggandeng tangan seorang dara remaja yang cantik jelita, kemudian mendengar suara orang-orangnya, hatinya berdebar dan ia dapat menduga bahwa tentu inilah pemuda aneh yang telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai dan membunuh pula dua orang sutenya, yaitu Lie Cit San dan Ok Sun. Sejenak Tan-piauwsu terbelalak keheranan, sama sekali tidak mengira bahwa orang yang dikabarkan amat aneh dan amat lihai itu hanyalah seorang pemuda remaja yang kelihatannya terlalu tenang dan terlalu lemah, bahkan terlalu sederhana mendekati tidak normal! Yang membiarkan rambutnya terurai seperti itu biasanya hanyalah kaum pertapa yang tidak peduli lagi akan keadaan dirinya!

"Apakah di sini Pek-eng-piauwkiok?" Han Han, pemuda itu, bertanya sambil memandang ke arah Tan-piauwsu yang baru muncul dari dalam dengan langkah lebar.

Tan Bu Kong mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan sambil menjawab, "Benar, di sini adalah kantor Peng-eng-piauwkiok. Kalau Siauw-enghiong (Pemuda Gagah) ada keperluan, silakan masuk, kita bicara di dalam!"

Betapapun juga, Han Han yang sudah hafal akan sopan santun dan belajar tentang kebudayaan dan kesusastraan semenjak kecil, menjadi kikuk juga dan terpaksa ia pun membalas dengan mengangkat kedua tangan depan dada sambil melangkah masuk, diantar oleh tuan rumah memasuki ruangan dalam yang luas. Di belakang Tan-piauwsu, para pengawal mengikuti dengan wajah tegang. Teng Lok masih beristirahat di dalam kamarnya dan di situ hanya terdapat empat orang sute Tan-piauwsu yang tingkat kepandaiannya belum dapat diandalkan, sungguhpun tentu saja sebagai murid-murid Hoa-san-pai jauh lebih lihai daripada semua pengawal yang bekerja di Pek-eng-piauwkiok.

"Siauw-enghiong dan Lihiap, silakan duduk," kata Tan-piauwsu.

Akan tetapi Han Han tetap berdiri dan Lulu juga berdiri karena melihat kokonya tidak duduk. Gadis ini hanya memandang ke kanan kiri, mengagumi perabot rumah yang biarpun tidak seindah perabot di Istana Pulau Es, namun jauh berbeda. Han Han berkata dengan kening dikerutkan.

"Harap tidak usah repot-repot karena saya datang untuk mencari pemimpin Pek-eng-piauwkiok."

Tan-piauwsu memandang tajam, lalu menjawab, “Saya Tan Bu Kong adalah pemimpin Pek-eng-piauwkiok. Enghiong siapakah dan ada keperluan apa mencari saya?" Sebagai seorang yang berpengalaman, piauwsu ini tidak langsung menyatakan mengenai pemuda ini, melainkan pura-pura bertanya akan maksud kedatangan pemuda itu yang, memang belum dapat ia menduganya.

"Bagus sekali! Jadi engkau pemimpin piauwkiok ini? Tan-piauwsu, tidak perlu main sandiwara lagi! Tentu orang-orangmu telah menceritakan betapa aku telah membunuh kedua orang pembantumu. Engkau tentu yang bertanggung jawab tentang pengiriman dan pembunuhan dua orang tokoh Siauw-lim-pai, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Karena itu, aku datang untuk membunuhmu sebagai tebusan kejahatanmu. Bersiaplah!" Han Han sudah bergerak hendak memukul.

"Nanti dulu, Siauw-enghiong! Yang kaubunuh itu adalah dua orang Suteku, justeru aku ingin bertanya mengapa engkau membunuh mereka? Dan mengapa pula engkau hendak membunuhku?”

"Sudah jelas, kalian telah membunuh dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam dan memasukkan jenazah mereka dalam peti. Karena salah sangka, aku membantu orang-orangmu dan kesalahan tangan membunuh orang-orang Siauw-lim-pai. Engkaulah yang bertanggung jawab. Aku bukan algojo, tukang bunuh orang tanpa sebab, maka engkau yang menjadi biang keladinya harus menebus dosa!" Setelah berkata demikian, Han Han menggerakkan tangan kirinya melakukan pukulan dengan jari tangan terbuka.

"Wesssss….!" Angin pukulan yang amat dingin menyambar. Tan-piauwsu mengenal tenaga sakti yang menyambar ganas. Ia berseru kaget dan cepat ia meloncat ke kanan untuk mengelak. Sebuah meja yang berdiri dua meter dibelakangnya menggantikannya kena sambaran tenaga pukulan itu dan pecah berantakan, terlempar sapai jauh!

Tan Bu Kong merasa ngeri, dan cepat ia melompat mundur sambil berseru, "Nanti dulu, Siauw-enghioog! Aku sama sekali tidak mengerti tentang jenazah-jenazah itu. Bukan kami yang bertanggung jawab, kami pun terperosok dalam perangkap musuh…."

“Sudah ada bukti hendak menyangkal lagi? Koko, orang ini pintar mainkan lidah, jangan kena dibohongi. Sikat saja!” kata Lulu yang ingin agar urusan ini cepat selesai sehingga ia dapat mengajak kakaknya mencari lauw Sin Lian agar dapat ia bertanya tentang musuh besarnya, ayah dari gadis itu.

Han Han juga berpendapat seperti Lulu. Sudah jelas buktinya bahwa peti-peti yang berisi jenazah itu diangkut oleh Pek-eng-piauwkiok, dan jelas pula bahwa ketika orang-orang Siauw-lim-pai minta supaya peti-peti itu dibuka, para pengawal Pek-eng-piauwkiok rnencegahnya mati-matian. Andaikata bukan orang Siauw-lim Chit-kiam, setidaknya Pek-eng-piauwkiok tentu bersekutu untuk rahasiakannya.

"Tidak perlu banyak cakap lagi!" katanya karena hatinya amat kesal kalau ia teringat betapa ia telah membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan karenanya Sin Lian, gadis yang dahulu amat baik terhadap dirinya, yang telah berkali-kali menolongnya, dan yang dengan rajin sekali memberi petunjuk-petunjuk kepadanya ketika ia mula-mula berlatih silat, menjadi marah-marah dan membenci kepadanya. Ia memukul lagi dengan tangan kirinya. Akan tetapi Tan-piauwsu yang sudah siap sedia dan yang melihat gerakan pemuda aneh itu maklum betapa pemuda itu gerakannya kaku namun memiliki hawa sakti yang menggiriskan, telah berkelebat cepat, mempergunakan ginkangnya meloncat tinggi dan melewati tubuh Han Han sambil mengayun tangan menotok pundak pemuda itu. Tan Bu Kong berjuluk Hoa-san Pek-eng (Garuda Putih dari Hoa-san), dan julukan ini saja menunjukkan bahwa dia dapat bergerak tangkas dan cepat seperti seekor burung garuda putih. Kecepatannya yang luar biasa ini membuat Han Han tak dapat menghindarkan totokan sehingga dua jari tangan piauwsu itu dengan keras menotok pundaknya.

"Dukkk!"

"Aduhhhhh….!" Bukan Han Han yang mengaduh, melainkan Tan-piauwsu sendiri karena tulang kedua jari tangannya hampir patah ketika ia menotok pundak yang keras dan panas seperti besi membara! Han Han menjadi marah, lalu memutar tubuhnya sehingga kedua kakinya bersilang, tangan kanan diayun ke depan mendorong ke arah tubuh Tan-piauwsu yang baru saja turun ke atas lantai.

"Aihhh….!!" Tan Bu Kong cepat meloncat lagi ke atas.

"Byarrr….!!" Pukulan tangan kanan Han Han mengandung tenaga sakti Yang-kang dan karena pukulannya dielakkan, maka hawa pukulannya terdorong terus menghantam tiang balok besar. Separuh dari tiang kayu itu rontok dan mengepulkan asap, sebagian besar gosong seperti terbakar api!

Tan-piauwsu dan para sutenya yang menyaksikan kehebatan pukulan ini, menahan napas dan mereka telah bersiap-siap untuk mengeroyok. Namun Han Han tidak mempedulikan mereka, terus mengejar Tan-piauwsu yang mempergunakan gerakan-gerakan ginkang untuk menghindarkan diri dari setiap pukulan jarak jauh.

Betapapun cepat gerakan Tan-piauwsu, ternyata gerakan Han Han yang memiliki tingkat sinkang jauh lebih kuat masih menang cepat! Pemuda ini mulai meloncat-loncat pula sehingga dalam belasan kali serangan saja, Tan-piauwsu telah kehilangan lubang untuk mengelak, sehingga ketika ia untuk ke sekian kalinya meloncat ke atas untuk menghindarkan diri, ia kurang cepat dan pundak kirinya masih terkena sambaran hawa sakti dari dorongan tangan kiri Han Han. Biarpun tidak tepat kenanya, hanya diserempet saja, namun tubuh Tan-piauwsu terguling dan dia menggigil karena kedinginan. Namun, piauwsu yang sudah banyak pengalaman ini masih sempat mencegah sute-sutenya dengan teriakan,

"Sute, mundur semua!" Dan ia sendiri lalu meloncat ke atas karena dorongan tangan kanan Han Han telah menyusulnya.
"Desssss!"
lantai menjadi berlubang dan mengepulkan asap ketika terkena sambaran hawa yang keluar dari tangon kanan pemuda sakti itu. Ia mulai merasa penasaran dan ketika ia hendak menerjang tubuh Tan-piauwsu yang masih melambung itu tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, kemudian tahu-tahu tubuh Tan-piauwsu telah disambar orang itu sehingga kembali pukulan Han Han luput!



Ternyata yang datang dan sempat menolong Tan-piauwsu dari bahaya maut itu adalah seorang pemuda tampan sekali, bertubuh tinggi besar dan di belakangnya berdiri seorang gadis cantik yang sudah mencabut pedang dan sikap keren berdiri memandang Han Han.

Pemuda itu adalah Hoa-san Gi-hiap dan gadis itu bukan lain adalah sumoinya, Hoa-san Kiam-li. Mereka berdua baru saja pulang dari penyelidikan mereka ke gedung tempat tinggal puteri Mancu. Ketika mereka memasuki piauw-kiok, mereka melihat pertandingan itu dan terkejut sekali mereka menyaksikan suheng mereka terancam bahaya. Hoa-san Gi-hiap yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada Tan-piauwsu, sekali pandang saja maklum bahwa pemuda rambut panjang itu memiliki sinking yang luar biasa sekali dan bahwa untuk menolong suhengnya, jalan satu-satunya hanya menyambar tubuhnya dan membawanya pergi. Maka ia cepat meloncat, menggunakan ginkangnya dan un tung ia tidak terlambat sehingga Tan-piauwsu terhindar dari bencana maut.



"Siapakah engkau yang datang membikin kacau di sini?" Hoa-san Gi-hiap menegur setelah ia menurunkan tubuh Tan Bu Kong yang segera bersila di lantai sambil mengatur napas untuk melawan hawa dingin yang menerobos masuk melalui pundaknya.



"Hemmm, dan kau sendiri siapa berani berlancang tangan mencampuri urusan orang lain?" Han Han juga menegur.

Dua orang muda itu berhadapan, saling memandang dengan sinar mata tajam. Mereka sama tinggi, hanya Han Han kalah gemuk karena dia memang agak kurus, sama tampan dan usia mereka pun agaknya sebaya. Para murid Hoa-san-pai dan para pengawal memandang dengan hati tegang. Pemuda rambut riap-riapan itu lihai sekali, akan tetapi mereka pun maklum bahwa pemuda tokoh Hoa-san-pai itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui tingkat Tan-piawsu sendiri. Juga Hoa-san Kiam-li amat lihai sehingga dengan adanya dua orang muda itu, hati mereka menjadi lega.

Han Han dan jago muda Hoa-san-pai itu masih saling berpandangan, tidak menjawab pertanyaan masing-masing yang sama maksudnya. Akan tetapi pandang mata mereka kini berubah, tidak lagi penuh penasaran dan kemarahan seperti tadi, melainkan penuh keheranan, keraguan dan menduga-duga.



"Ya Tuhan….! Bukankah kau….. kau Sie Han? Yang dahulu disebut Han Han, jembel

baik budi yang membagi-bagi roti?" Hoa-san Gi-hiap berseru penuh keheranan.



"Dan kau….., jembel cilik nakal, kau Wan Sin Kiat yang dahulu kepingin menjadi perwira! Benarkah?" teriak Han Han.



Dua orang muda itu saling pandang, kemudian tertawa bergelak lalu saling tubruk, saling rangkul sambil tertawa-tawa! Semua orang yang berada di situ memandang dengan mata terbelalak, mereka tertegun dan hanya dapat mernandang dua orang muda yang tadinya diharapkan akan bertanding dengan hebat kini malah berpelukan dan tertawa-tawa itu.



"Koko, siapakah dia ini? Jembel cilik nakal? Kawan jembelmu di waktu kecil? Wah, ketika aku dahulu menjadi jembel cilik, aku tidak punya sahabat baik!" kata Lulu yang menghampiri mereka.

Han Han masih tertawa-tawa ketika ia melepaskan rangkulannya dari pundak Sin Kiat atau Hoa-san Gi-hiap itu. Ia lalu menoleh kepada adiknya.

"Lulu, dia ini bernama Wan Sin Kiat, sahabat baikku, seorang jantan tulen! Sin Kiat, ini Adikku, namanya Lulu. Manis, ya?"

Sin Kiat yang tentu saja tidak biasa dengan sikap tulus wajar seperti itu, menjura kepada Lulu dengan muka merah. Jantungnya terasa seperti copot tersendal keluar oleh sinar mata yang menyorot dari sepasang mata yang seperti in tang kembar itu. Ia menahan napas karena harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan seorang dara sejelita ini. Dan dara ini adik Han Han!

Setelah menjura dengan hormat tanpa dibalas oleh Lulu yang hanya memandang kagum melihat wajah tampan dan sikap halus ramah itu, Sin Kiat menoleh kepada sumoinya yang juga sudah menghampiri mereka. "Han Han, dia adalah Sumoiku, namanya Lu Soan Li. Sumoi, inilah Sie Han, sahabat baikku di waktu kecil!"

Han Han masih ingat untuk melakukan penghormatan dengan merangkap kedua tangan di depan dada, akan tetapi mulutnya langsung menyatakan isi hatinya tanpa disadarinya,

"Nona cantik sekali!"

Lu Soan Li menjadi merah mukanya, semerah udang direbus dan semua orang mendengarkan sambil menahan napas. Akan tetapi Soan Li tidak marah, hanya tersenyum dan membalas penghormatan Han Han.

"Sute! Apa artinya ini? Dia…. dia sahabatmu?" Tiba-tiba Tan Bu Kong menegur dan piauwsu ini sudah dapat berdiri, memandang dengan mata terbelalak penuh rasa heran dan penasaran.

Sin Kiat teringat akan suhengnya. "Suheng, dia ini Sie Han, sahabatku. Han Han, dia ini Tan-suheng. Eh, mengapa kau tadi bertempur melawan Suheng? Kau hebat bukan main, untung aku keburu datang. Kenapakah kau memusuhi Suhengku yang baik hati ini?"

Alis Han Han berkerut. "Ah, dia Suhengmu, Sin Kiat? Hemmm sungguh tidak menyenangkan sekali. Harap kauingat akan persahabatan kita dan jangan mencampuri urusan ini. Aku datang hendak membunuh orang jahat ini!"

"Eh, apa artinya ini? Han Han, mengapa begitu?"

"Sute, mengapa engkau begini lemah? Biarpun di waktu kecil sahabat, akan tetapi sekarang dia musuh besar kita! Dia seorang kejam yang telah membunuh kedua Suhengmu Lie Cit San dan Ok Sun!"

Sin Kiat dan Soan Li melangkah mundur sampai tiga tindak dengan muka pucat. Apalagi Sin Kiat, dia terheran-heran dan sejenak menjadi bingung mendengar keterangan yang baginya seperti halilintar menyambar ini. "Han Han! Benarkah itu? Engkau yang membunuh dua orang Suhengku yang mengawal kereta?"

Han Han mengangguk. "Benar, Sin Kiat. Dan aku akan membunuh Tan-piauwsu ini pula, harap engkau jangan mencampurinya!"

Dengan wajah pucat Sin Kiat memandang sahabatnya di waktu kecil itu. "Han Han, benarkah engkau menjadi begini kejam sekarang? Ceritakan mengapa engkau membunuh dua orang Suhengku yang mengawal kereta dan mengapa pula kau hendak membunuh Tan-suheng. Aku sudah mendengar penuturan para pengawal Pek-eng-piauwkiok, akan tetapi sepak terjangmu sungguh membuat aku tidak mengerti."

"Sin Kiat, bukan urusanmu. Minggirlah!"

"Tidak! Kalau kau tidak mau memberi penjelasan, lebih baik kau membunuh aku pula, dan tentu akan kucoba melawanmu sekuatku."



Mereka berpandangan pula. Han Han menghela napas. "Engkau keras kepala seperti dulu! Aku membunuh dua orang piauwsu itu karena mereka jahat, mereka menyembunyikan jenazah dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam dalam kereta, melarang orang-orang Siauw-lim-pai melihat jenazah, sehingga aku menjadi tertipu pula, membantu mereka dan kesalahan tangan membunuh tujuh murid Siauw-lim-pai yang tidak berdosa. Karena itu aku membunuh dua orang piauwsu itu dan kini aku akan membunuh pula Tan-piauwsu yang sebagai pemimpin menjadi biang keladi utama!"

Sin Kiat mengangkat tangannya."Wah, semua adalah kesalahfahaman yang amat besar! Semua adalah sahabat-sahabat, baik antara Siauw-lim-pai dengan Hoa-san-pai, maupun antara engkau pribadi dengan kami. Kita semua telah menjadi korban perbuatan terkutuk, korban tipu muslihat yang dipasang oleh puteri Mancu yang lihai itu.. Tan-suneng, Han Han tidak dapat dipersalahkan telah membunuh Lie-suheng dan Ok-suheng setelah dia membantu mereka menghadapi orang-orang Siauw-lim-pai. Han Han, akulah yang menanggung bahwa kami semua, terutama Tan-suheng, sama sekali tidak bersalah dalam urusan dua jenazah dalam peti. Mari kita bicara dan dengarlah penuturanku." Sin Kiat menggandeng tangan Han Han, menariknya duduk menghadapi meja besar di ruangan itu. Lulu mengikuti kakaknya, dan Soan Li juga mengikuti suhengnya, kedua orang gadis ini tidak ikut bicara karena maklum betapa tegangnya urusan antara mereka itu.

Setelah mereka mengambil tempat duduk, Wan Sin Kiat menceritakan semua peristiwa yang terjadi dari semula ketika gadis Mancu, yang ternyata adalah Puteri, Nirahai seperti ia ketahui dari hasil penyelidikannya hari itu, mendatangi Pek-eng-piauwkiok mengirimkan dua buah peti dengan biaya mahal namun dengan janji takkan dibuka dan apabila tidak sampai di tempatnya, Pek-eng-piauwkiok akan dibasmi dan dianggap pemberontak.

"Kami tidak mungkin dapat menolak permintaannya yang luar biasa itu, Sie-enghiong," Tan-piauwsu memotong cerita sutenya, "karena mengingat bahwa dia itu adalah seorang puteri Kaisar sehingga apabila kami menolak, tentu kami akan dicap menentang pemerintah. Dan sebagai orang-orang gagah yang memegang teguh janji, tentu saja para pembantuku tidak mau membuka peti-peti .itu, biarpun dengan taruhan nyawa karena hal itu telah menjadi tugas mereka. Kalau saja kami tahu bahwa isi dua buah peti adalah jenazah manusia, apalagi jenazah kedua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang terkenal, biar dihukum mati sekalipun tentu saja kami tidak sudi menerima permintaan puteri iblis itu."

Wan Sin Kiat lalu melanjutkan ceritanya, selain tentang pengawal kereta yang dihadang oleh anak-anak murid Siauw-lim-pai, juga tentang suhengnya, Teng Lok yang membayangi Puteri Nirahai dan kemudian terbuntung lengannya. Ia menutup penuturannya dengan kata-kata, "Nah, kau kini mengerti Han Han, bahwa peristiwa ini sama sekali bukanlah kesalahan fihak kami, juga terutama sekali bukan kesalahan Tan-piauwsu. Semua ini tentu telah diatur oleh puteri iblis itu yang sengaja hendak mengadu domba antara fihak Hoa-san-pai dan fihak Siauw-lim-pai. Siasat kejinya itu pasti akan berhasil baik dan kedua fihak tentu melakukan pertandingan saling membunuh dalam hutan itu kalau saja tidak muncul engkau yang mengacaukan semua rencana keji itu, akan tetapi biarpun mengacau, tetap saja merugikan kedua fihak karena engkau yang masuk pula dalam perangkap telah membunuh tujuh anak murid Siauw-lim-pai dan dua orang murid Hoa-san-pai. Keadaan ini gawat sekali, Han Han. Betapapun juga, fihak Siauw-lim-pai tentu tidak mau menerima kematian tujuh orang murid mereka sebagai tambahan kematian dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Bagi mereka hal itu merupakan malapetaka hebat dan tentu saja semua kesalahan ditimpakan kepada Hoa-san-pai karena engkau sendiri pun tentu dianggap seorang dari Hoa-san-pai, atau setidaknya menjadi pembantu Hoa-san-pai."

Han Han bukan seorang bodoh. Ia segera dapat melihat, mengerti setelah mendengar penuturan itu. Mudah saja diperkirakan bagaimana jalannya tipu muslihat yang licin itu. Hatinya merasa menyesal dan kecewa sekali. Nasibnya benar-benar amat buruk. Dia telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang tidak berdosa karena salah sangka. Kemudian, dalam marahnya oleh kesalahan tangan itu ia membunuh pula dua orang murid Hoa-san-pai yang ternyata kemudian tidak berdosa pula! Han Han mengerutkan keningnya, menggeleng kepala dan berkata.

“Aahhh…. kalau begitu semua kesalahan tertimpa di pundakku! Baik Siauw-lim-pai maupun Hoa-san-pai tentu menyalahkan aku karena aku telah membunuh anak murid mereka. Tan-piauwsu, harap kaumaafkan kekasaranku tadi." Ia bangkit menjura kepada Tan-piauwsu yang cepat membalas. Piauwsu ini memandang kagum dan menghela napas karena selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu seorang pemuda yang demikian anehnya dan demikian kuat sinkangnya.

"Engkau juga tidak boleh terlalu disalahkan, Sie-enghiong. Andaikata engkau tidak turun tangan dan terlibat dalam urusan ini, kurasa antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai tetap saja akan terjadi pertentangan yang mungkin membawa akibat lebih parah dan lebih berlarut-larut lagi."

Sejenak keadaan menjadi sunyi, semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing menghadapi urusan yang amat tidak menyenangkan hati itu. Tiba-tiba terdengar suara Lulu.

"Wah, sialan benar, Koko! Kau membantu rombongan piauwsu ternyata salah tangan membunuh murid-murid Siauw-lim-pai yang tak berdosa! Kemudian kau membunuh dua orang piauwsu untuk membela kematian murid-murid Siauw-lim-pai dan ternyata yang kaubunuh itu juga tidak bersalah! Itulah kalau kau terlalu bernafsu untuk menolong orang, Koko! Sekarang semua kesalahan ditimpakan kepadamu!"

Semua orang tertegun. Dara remaja yang cantik jelita ini bicaranya amat kasar, jujur dan tanpa sungkan-sungkan lagi. Akan tetapi Sin Kiat memandang dengan mata kagum. Semenjak tadi, tiap kali ia memandang Lulu, jantungnya berdebar tidak karuan dan setiapgerak-gerik Lulu selalu menarik hatinya, bahkan ketika Lulu mencela Han Han, ia tersenyum dan di dalam hati membenarkan dara ini seribu prosen! Memang demikianlah kalau cinta kasih telah mencengkeram hati seorang pemuda. Apa pun yang dilakukan, diucapkan dan dipikir dara yang dicintanya, selalu benar dan menarik hati! Tanpa disadarinya sendiri, sekali bertemu dengan Lulu, Wan Sin Kiat pendekar muda Hoa-san-pai ini telah bertekuk lutut, hatinya jungkir-balik dalam cengkeraman asmara.

"Menurut pendapat saya, Saudara Sie tidaklah salah. Dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dalam pertempuran dan dengan dasar hendak berbuat baik. Pembunuhan atas diri tujuh orang murid Siauw-lim-pai terjadi karena Saudara Sie mengira mereka itu perampok yang hendak mengganggu rombongan pengawal Pek-eng-piauwkiok. Kemudian, pembunuhan yang dia lakukan atas diri kedua orang Suheng kami pun didasari pendapat bahwa mereka berdua itu amat jahat terhadap orang-orang Siauw-lim-pai. Hanya sayang sekali bahwa Saudara Sie terlalu terburu nafsu, seandainya tidak terburu nafsu dan agak sabar sambil meneliti keadaan, belum tentu terjadi hal yang amat menyedihkan ini." Ucapan yang keluar dari mulut Lu Soan Li terdengar sungguh-sungguh, dan pandang matanya yang ditujukan kepada Han Han penuh simpati dan pembelaan. Hal ini terasa pula oleh Han Han sehingga ia bangkit menjura kepada nona itu sambil berkata.

"Nona Lu benar-benar amat adil dan aku mengucapkan terima kasih, juga aku harus mengakui semua kelancanganku yang telah mengakibatkan bencana ini. Biarlah akan kuhadapi semua akibatnya, bahkan aku akan menghadap Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai untuk menerima hukuman kalau perlu!"

Jawaban ini memancing keluar sinar mata yang penuh kekaguman dari pandang mata Lu Soan Li. Seperti halnya suhengnya yang sekaligus tergila-gila kepada Lulu, gadis pendekar Hoa-san-pai ini pun amat tertarik akan pribadi Han Han yang aneh dan penuh dengan sifat-sifat liar ganas namun gagah perkasa.

"Ah, engkau tidak boleh dipersalahkan, Han Han!" Tiba-tiba Wan Sin Kiat berkata. "Yang bersalah adalah Puteri Nirahai yang seperti iblis betina itu! Aku bersama Sumoi sehari tadi pergi menyelidik dan mendapat kabar bahwa dia itu adalah puteri selir Kaisar Mancu bernama Nirahai dan bahwa kini dia sedang pergi ke kota raja; agaknya untuk melaporkan hasil muslihatnya kepada Kaisar. Terkutuk benar puteri Mancu itu. Dan orang-orang Mancu memang amat jahat, penjajah laknat yang sepatutnya dibasmi dari muka Bumi ini!" Dalam kemarahan terhadap penjajah Mancu, Sin Kiat bangkit dari kursinya. Memang semua anak murid Hoa-san-pai adalah patriot-patriot yang merasa marah melihat tanah air dijajah bangsa Mancu, sehingga menimbulkan rasa benci kepada bangsa Mancu.

Tiba-tiba semua orang, terutama sekali Sin Kiat sendiri, dikejutkan oleh bentakan Lulu yang sudah bangkit berdiri pula lalu bertolak pinggang, matanya yang lebar memancarkan kemarahan, sepasang pipinya menjadi merah sekali, mulutnya yang kecil cemberut, kepalanya bergerak-gerak sehingga rambut yang dikepang dua itu bergoyang, satu di depan dada, yang lain di belakang punggung. Manis bukan main dalam pandangan Sin Kiat, akan tetapi pada saat itu pemuda ini memandang terbelalak dengan kaget mendengar bentakan Lulu.

"Eihhh…… eihhhhh….., seenaknya saja membuka mulut, ya?!" Telunjuk tangan kirinya diangkat menuding ke arah hidung Sin Kiat, sedangkan tangan kanannya masih bertolak pinggang. "Wan Sin Kiat, apakah engkau hendak menyamakan satu bangsa manusia dengan seladang gandum saja?"

Sin Kiat terbelalak heran. "Apa….. apa….. maksudmu, Nona….?" Baru sekali ini selama hidupnya, pendekar muda yang biasanya lincah, ramah, tabah dan pandai bicara itu kehilangan akal dan menjadi gugup.

Lulu memandang tajam dengan sepasang matanya yang lebar dan indah sehingga Sin Kiat menjadi makin bingung dan gugup, seolah-olah menjadi seorang pesakitan yang menghadapi jaksa penuntut. "Kalau ada beberapa batang gandum yang busuk, orang menganggap seladang gandum itu busuk. Akan tetapi kalau ada beberapa orang Mancu jahat, apakah patut kalau seluruh bangsa Mancu dianggap jahat semua? Kalau begitu, karena aku mendengar bahwa banyak bangsa Han yang menjadi pengkhianat bangsa, semua bangsa Han adalah pengkhianat, termasuk engkau! Dan aku tahu bahwa banyak sekali perampok bangsa Han, maka semua bangsa Han adalah perampok, termasuk engkau! Ada pula bangsa Han yang jahat sekali maka semua bangsa Han adalah jahat, terutama engkau! Begitukah pendapatmu??"

Muka Sin Kiat menjadi merah, kemudian pucat, dan dengan gugup ia berkata.

"Tentu saja tidak, dan…. eh, itu lain lagi…. akan tetapi…. ahhh, mengapa kau marah-marah karena aku mencela bangsa Mancu yang menjadi musuh kita, Nona?"

"Tentu saja marah! Kau mengatakan aku jahat dan patut dibasmi dari muka bumi, dan kau masih bertanya mengapa aku marah? Hayo, kau basmilah aku! Kaukira aku takut kepadamu!!"

Han Han hanya memandang sambil tersenyum. Rasakan kau, Sin Kiat, pikirnya dengan hati geli. Rasakan kau menghadapi adikku yang liar ini. Ketemu tanding kau!

"Eh, kapan aku mengatakan demikian, Nona? Bagaimana ini, Han Han?"

"Tak usah mencari pelindung! Dan seorang laki-laki tidak patut plin-plan, bicara mencla-mencle! Bukankah kau tadi mengatakan bahwa semua bangsa Mancu jahat dan patut dibasmi dari muka bumi ini?"

"Benar demikian, akan tetapi tidak menyangkut dirimu, Nona….”

"Kau bilang semua bangsa Mancu dan kini mengatakan tidak menyangkut diriku? Aku seorang gadis Mancu, tahukah engkau??"

“Aihhh….." Sin Kiat terkejut sekali dan semua orang yang berada di situ pun terkejut, cepat bangkit berdiri dalam keadaan siap siaga. Kalau gadis ini seorang Mancu, berarti bahwa rahasia Pek-eng-piauwkiok sebagai anggauta pejuang menjadi bocor!

"Hayo, siapa yang menganggap aku jahat dan patut dibasmi? Maju! Aku tidak takut!!" bentak Lulu dengan mata dilebarkan dan sikap mengancam. Lu Soan Li yang sejak tadi memperhatikan Han Han secara diam-diam dan melihat betapa pemuda rambut terurai itu tersenyum-senyum geli, dapat lebih dulu menguasai hatinya. Ia melangkah maju dan memegang pundak Lulu sambil berkata, "Aihhh, Adik Lulu yang baik, siapa sih yang mau memusuhimu? Suheng telah salah bicara, apakah kau begini kejam untuk menekannya? Lihat, dia sudah amat menyesal dan kebingungan!"

Dengan muka merah Wan Sin Kiat lalu menjura. "Harap Nona Sie suka memaafkan mulutku yang lancang."

Lulu cemberut dan mengerling ke arah pemuda tinggi besar itu. "Habis, kau terlalu menghina sih….!”

Han Han tertawa lalu berkata nyaring setelah menyaksikan ketegangan membayang di wajah semua orang yang hadir, "Tak perlu disembunyikan, memang Adikku ini adalah seorang gadis Mancu, akan tetapi sekarang telah menjadi Adikku, she Sie dan namanya tetap Lulu. Hendaknya dikethui bahwa semenjak kecil, Adikku ini hidup sebatangkara dan menderita karena Ayah Bundanya dan seluruh keluarganya dibasmi habis oleh para pejuang."

"Ahhhhh…..!" seruan ini keluar dari mulut Sin Kiat.

"Apa ah-ah-uh-uh-uh sejak tadi? Biar keluargaku dibunuh habis oleh orang Han, aku tidak begitu tolol untuk menganggap semua orang Han musuh-musuhku yang harus kubasmi habis dari muka bumi!"

Wajah Sin Kiat makin merah dan ia benar-benar terpukul. Seolah-olah dibuka matanya betapa kelirunya mendendam kepada bangsa lain hanya karena terjadi perang, karena sesungguhnya tidak semua orang dari sesuatu bangsa itu jahat semua atau baik semua.

"Aku telah mengaku salah, harap Nona maafkan dan mau hukum apa pun juga aku siap menerimanya."

Han Han tersenyum lebar. "Lulu, dia sudah mengaku salah dan minta dihukum. Hayo, kau hukumlah dia kalau kau mau!"

Aneh sekali, digoda kakaknya begini, Lulu yang biasanya lincah dan nakal, kini hanya cemberut, kemudian melengos dengan kedua pipinya merah. Semua orang merasa lega bahwa tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, akan tetapi tetap saja masih ada rasa tegang di antara mereka setelah mendengar bahwa dara jelita itu adalah seorang gadis Mancu. Mereka semua telah menjadi korban kekejian seorang puteri Mancu, kini di situ terdapat seorang gadis Mancu, bagaimana mereka tidak akan menjadi gelisah dan tidak enak hati?

"Keadaan menyedihkan seperti yang kini timbul dalam hati Sin Kiat dan Lulu adalah akibat perang yang terkutuk!" demikian Han Han berkata setelah semua orang duduk kembali. "Perang yang hanya dicetuskan oleh beberapa gelintir orang yang berambisi, yang memperebutkan kekuasaan dan kedudukan, membakar hati semua rakyat, menimbutkan kekejaman-kekejaman, menimbulkan dendam, menimbulkan kebencian antara bangsa yang sesungguhnya adalah sesama manusia. Perang menjadikan keluargaku terbasmi orang-orang Mancu dan sebaliknya menjadikan keluarga Adikku Lulu terbasmi oleh orang-orang Han. Yang suka akan perang hanyalah mereka yang rnenginginkan kedudukan tinggi dan kemuliaan di kerajaan. Dengan dalih membela nusa bangsa, mereka ini mempergunakan kekuatan rakyat yang sebetulnya membenci perang karena perang hanya mendatangkan malapetaka bagi rakyat jelata, sebaliknya mendatangkan kemuliaan duniawi bagi para penggerak perang yang mendapat kemenangan! Rakyat Mancu ditipu oleh para pimpinan mereka, dijadikan bala tentara yang setiap saat kehilangan nyawanya. Sebaliknya, rakyat pribumi ditipu oleh pimpinan

mereka, dijadikan pula tentara yang mengorbankan nyawa. Dalihnya berlainan, namun selalu yang muluk-muluk memabukkan dan membodohi rakyat, padahal semua itu hanya ditujukan kepada pamrih yang satu, yaitu kemuliaan dan kemenangan bagi para pimpinan!"

Mendengar ucapan penuh nafsu dari pemuda aneh yang rambutnya terurai kacau itu, Tan-piauwsu sendiri melongo. Ucapan itu mengandung penuh kepahitan, namun memang pada kenyataannya demikianlah. Dan pendirian seperti yang diucapkan pemuda ini bahkan menjadi pendirian pula dari banyak partai persilatan termasuk Hoa-san-pai sendiri ketika terjadi perang saudara. Akan tetapi hanya dalam perang saudara saja para tokoh kang-ouw tidak suka mencampurkan diri, diperalat oleh mereka yang memperebutkan kedudukan dengan saling bunuh antara sebangsa sendiri! Akan tetapi sekarang, yang menjajah negara adalah bangsa Mancu sehingga pendapat Han Han itu lebih luas lagi, tidak lagi mengenal bangsa melainkan berlaku untuk seluruh manusia sedunia! Ia maklum bahwa tentu bocah itu terpengaruh oleh kasih sayangnya terhadap adik angkatnya, gadis Mancu itu sehingga pertalian persaudaraan antara mereka melenyapkan rasa benci kepada bangsa Mancu, sungguhpun keluarganya sendiri terbasmi oleh orang-orang Manchu.

"Tepat sekali, Koko!" Lulu bersorak girang. "Aku akan senang sekali melihat para kaisar yang gendut karena banyak makan dan terlalu senang hidupnya, berikut semua pembesar-pembesar tinggi, mengadakan perang sendiri, tidak membawa-bawa rakyat jelata! Biarkan mereka itu berperang, kaisar lawan kaisar, menteri lawan menteri, dan pembesar lawan pembesar. Tentu badut-badut itu akan terkencing-kencing ketakutan menghadapi

ancaman maut!"

.Kembali semua orang terheran. Tidak ada yang mau membantah pendapat dua orang muda yang aneh itu karena mereka tidak ingin timbulnya satu kesalahfahaman lagi. Bahkan Tan-piauwsu lalu membelokkan percakapan.

"Yang terpenting sekarang kita harus menghadapi kenyataan. Tak dapat disangkal lagi bahwa fihak Siauw-lim-pai tentu akan memusuhi Sie-enghiong, juga fihak pimpinan. Hoa-san-pai akan salah faham terhadap Sie-enghiong. Oleh karena itu, sara harap Ji-wi suka sementara tinggal di sini menanti datangnya mereka itu. Saya yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai tentu akan datang ke sini, mengingat bahwa peristiwa ini timbul dari Pek-eng-piauwkiok yang membawa dua peti jenazah. Kalau Sie-enghiong berada di sini, ada kami yang akan menjadi saksi dan yang akan menerangkan duduknya perkara sebenarnya sehingga semua fihak mengerti bahwa yang menjadi biang keladinya adalah puteri Mancu itu."

Han Han mengerutkan keningnya. "Akan tetapi, kami tidak suka mengganggu Cu-wi sekalian. Lebih baik aku dan Adikku pergi, karena aku pun ingin sekali-kali bertemu dengan puteri Mancu yang demikian lihainya, dan tentang kemarahan fihak Siauw-lim-pai maupun pimpinan Hoa-san-pai, biarlah kami sendiri yang menanggungnya."

Wan Sin Kiat memegang tangan sahabatnya itu. "Aih, Han Han. Mengapa kau banyak sungkan? Kita berada di antara sahabat sendiri. Aku ingin sekali bercakap-cakap denganmu. Tinggallah di sini barang sepekan. Apakah engkau sudah melupakan sahabatmu ini? Sahabat senasib sependeritaan di waktu kecil? Aku ingin mendengar semua pengalamanmu, juga ingin menceritakan pengalaman-pengalamanku. Demi persahabatan kita, kuharap kau dan Nona Sie sudi untuk tinggal beberapa hari lamanya di sini."

Berat juga rasanya hati Han Han untuk menolak. Apalagi ketika Lu Soan Li merangkul Lulu dan berkata, "Adik yang manis, kuharap kau tidak menolak undangan kami. Aku ingin sekali belajar satu dua pukulan darimu yang lihai agar bertambah pengertianku!"

"Aih, Cici. Engkau merendahkan diri. Sebagai tokoh Hoa-san-pai, agaknya aku yang harus berguru kepadamu!" Dua orang gadis itu bersendau-gurau, keduanya sama muda remaja, sama cantik jelita. Han Han merasa kasihan kepada adiknya dan tidak tega untuk memaksanya pergi sekarang juga. Sudah terlalu lama Lulu tinggal menyendiri di pulau, terlalu lama jauh dari pergaulan mesra. Kini bertemu dengan gadis Hoa-san-pai itu, timbul kegembiraan hati Lulu dan sebaiknya kalau mereka tinggal di situ beberapa lamanya. Juga, ia tidak dapat membantah bahwa ia merasa am at suka kepada sahabat lamanya yang kini telah menjadi seorang pemuda tampan yang gagah perkasa itu, di samping merasa suka kepada Lu Soan Li yang cantik manis, pendiam dan memiliki sifat-sifat gagah dalam gerak-geriknya.

Demikianlah, Han Han dan Lulu tinggal di Pek-eng-piauwkiok, dijamu dan diperlakukan dengan manis dan hormat oleh Tan-piauwsu dan para anah buahnya. Mereka telah melupakan rasa dendam bahwa pemuda ini telah membunuh Lie Cit San dan Ok Sun. Kini mereka maklum bahwa pemuda ini melakukan hal itu tanpa dasar membenci Hoa-san-pai. Bahkan tadinya pemuda itu membantu Lie Cit San dan Ok Sun menghadapi orang-orang Siauw-lim-pai sehingga membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai. Kemudian pemuda itu membunuh dua orang tokoh Hoa-san-pai itu hanya karena menganggap mereka ini jahat. Semua terjadi karena kesalahfahaman, terjadi sebagai akibat daripada tipu muslihat keji yang diatur oleh Puteri Nirahai yang selain lihai juga amat cerdik itu.

Lulu benar-benar mendapatkan kegembiraan di tempat ini. Dia merupakan sahabat yang amat cocok dengan Lu Soan Li, bahkan ia bersikap manis terhadap Wan Sin Kiat. Juga Han Han merasa suka kepada Lu Soan Li yang manis budi dan pendiam. Empat orang muda ini setiap hari berkumpul, bercakap-cakap dan Han Han mendengarkan penuturan Wan Sin Kiat dengan hati tertarik.

Ternyata dari penuturan tokoh muda Hoa-san-pai itu bahwa tidak lama setelah berpisah dari Han Han, Wan Sin Kiat bertemu dengan seorang tosu aneh. Tosu ini sesungguhnya adalah seorang tokoh Hoa-san-pai, akan tetapi berbeda dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang lain, tokoh ini adalah seorang tosu perantau yang selain wataknya aneh, juga memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi karena ilmu-ilmunya dari Hoa-san-pai mendapat kemajuan pesat setelah ia banyak merantau dan menyempurnakan ilmu-ilmunya dengan membandirigkannya dengan ilmu dari lain golongan. Tosu ini berjuluk Im-yang Seng-cu dan selain Sin Kiat, dia juga mengambil seorang murid wanita, yaitu Lu Soan Li yang hidupnya juga sudah sebatangkara, ditinggal mati keluarganya dalam sebuah bencana banjir Sungai Huang-ho.

Berkat gemblengan suhu mereka yang memiliki kesaktian melebihi tokoh-tokoh Hoa-san-pai lainnya, Sin Kiat dan Soan Li menjadi jago muda yang lihai sekali, sehingga biarpun menurut tingkat mereka itu terhiturtg masih sute dan sumoi dari Tan-piauwsu, akan tetapi dalam ilmu silat, mereka jauh melampaui tingkat kepandaian sang suheng ini. Sudah banyak mereka melakukan perbuatan-perbuatan menggemparkan dunia kang-ouw dengan separk terjang mereka sebagai pendekar-pendekar muda yang perkasa, bahkan semenjak ada gerakan perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu, kedua orang muda ini sudah banyak berjasa. Tentu saja ketika menceritakan pengalamannya Sin Kiat tidak menceritakan tentang perjuangan ini, khawatir kalau-kalau akan membikin hati Lulu menjadi tidak enak. Apalagi karena ia mengenal pendirian Han Han yang agaknya tidak ingin melibatkan dirinya dalam urusan perang. Ia hanya menceritakan tentang pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu, kemudian betapa bersama sumoinya dia digembleng oleh gurunya sambil merantau sampai jauh ke selatan dan ke barat. Diceritakannya pula pertandingan-pertandingan melawan kaum penjahat dalam usaha mereka membasmi kejahatan sehingga Sin Kiat mendapat julukan Hoa-san Gi-hiap dan sumoinya dijuluki Hoa-san Kiam-li. Nama mereka terkenal di dunia kang-ouw sebagai tokoh-tokoh muda Hoa-san-pai yang mengagumkan.

Han Han dan Lulu mendengarkan dengan amat tertarik. Apalagi Lulu. Dia mendengarkan penuturan pemuda tampan tinggi besar itu seperti mendengar dongeng yang amat menarik hati. Ia seolah-olah berubah menjadi arca, pandang matanya melekat dan bergantung kepada bibir Sin Kiat yang bergerak-gerak ketika bercerita. Baru setelah selesai cerita itu, Lulu menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak lalu berkata.

"Wahhh kalian hebat sekali…! Kalian ini pendekar-pendekar muda yang amat mengagumkan….!" Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sin Kiat, Lulu melihat betapa pandang mata pemuda itu bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri seolah-olah ucapan Lulu tadi mendatangkan rasa bahagia yang luar biasa. Tentu saja Lulu tidak mengerti atau dapat menduga akan isi hati Sin Kiat, hanya dia pada saat itu merasa betapa wajah pemuda ini sungguh tampan dan gagah. Entah mengapa, jantungnya berdebar dan pipinya tiba-tiba terasa panas. Untuk menghindarkan perasaan yang tidak dikenalnya ini, Lulu berpaling kepada Soan Li dan berkata, "Enci Soan Li, engkau hebat sekali, lain waktu kau harus memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku!"

Soan Li merangkulnya dan mengerling kepada Han Han. "Adik Lulu, engkau seperti mutiara terpendam, tidak dikenal akan tetapi dalam hal kepandaian, agaknya aku boleh berguru kepadamu!"

"Wah, Adikku dan aku ini sama sekali tidak memiliki kepandaian, mana dapat dibandingkan dengan Sin Kiat dan kau, Nona Lu?" Han Han berkata sambil tersenyum. Gadis itu memandangnya dan sejenak pandang mata mereka bertemu, bertaut dan seolah-olah ada sesuatu yang membuat mereka sukar sekali untuk melepaskan pandang mata mereka dari pertemuan yang melekat itu.

Lulu bertepuk tangan. "Hi-hik, dari tadi tiada hentinya kalian saling memandang saja. Ada apakah dengan Enci Soan Li, Koko? Dan mengapa kau mengerling saja kepada Kakakku, Enci Soan Li?"

"Ihhh, genit kau, Adik Lulu!" Soan Li menjadi merah sekali mukanya dan ia mencubit paha Lulu sehingga gadis ini menjerit.

Han Han juga merasa betapa mukanya menjadi panas, maka ia tertawa dan memandang, "Lulu, kita mempunyai mata untuk memandang! Apa salahnya dipakai memandang sesuatu yang indah dan menarik?"

Ucapan Han Han yang terus terang ini membuat Soan Li menjadi makin malu dan jengah lagi. Dia sendiri diam-diam menjadi amat heran akan diri sendiri. Sudah banyak kali terjadi, ia menjadi marah-marah kalau mendengar ada laki-laki mengeluarkan ucapan-ucapan tentang dirinya, memuji-muji kecantikannya dan sebagainya. Bahkan ada laki-laki kurang ajar yang dibunuhnya hanya karena mengeluarkan ucapan-ucapan yang bermaksud kotor dan kurang ajar. Kini, mendengar ucapan-ucapan Han Han yang memuji kecantikannya dengan blak-blakan di depan banyak orang ketika mereka diperkenalkan, kini secara terang-terangan pula dalam menjawab godaan Lulu, mengapa dia tidak marah malah menjadi….. berdebar jantungnya, berdebar karena girang? Akan tetapi pemuda ini lain daripada laki-laki lain, dia membela perasaannya sendiri yang tidak wajar. Pemuda ini secara terang-terangan menyatakan isi hatinya, tanpa tedeng aling-aling, akan tetapi juga bersih daripada niat-niat kurang ajar, hal ini dapat dilihat dari pancaran pandang matanya yang wajar dan biasa, sinar mata kagum yang tidak ditutup-tutupi, seperti kewajaran sinar mata orang mengagumi bintang di langit atau mawar di taman.

Sin Kiat hanya tersenyum saja melihat sumoinya digoda Lulu, kemudian ia berkata kepada Han Han, "Han Han, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita kepada kami. Tentu pengalamanmu amat menarik hati, terutama tentang pertemuan dengan Adikmu, dan tentang Gurumu yang tentu amat sakti, melihat akan kelihaianmu."

"Nanti dulu, Sin Kiat. Aku teringat akan ketekadan hatimu dahulu. Bukankah kau dahulu pernah menyatakan kepadaku bahwa engkau ingin menjadi seorang perwira Mancu? Kenapa sekarang engkau sebaliknya malah menjadi orang yang emusuhi perwira-perwira Mancu?"

Sin Kiat menarik napas panjang. "Ada sebabnya memang. Ingatkah engkau dahulu betapa kau telah membelaku ketika aku dipukuli oleh bangsawan muda Ouw-yang Seng murid datuk hitam Kang-thouw-kwi itu? Nah, semenjak itu, aku berbalik haluan, apalagi setelah bertemu dengan Suhu, menerima pelajaran dan juga mendengarkan wejangan-wejangannya. Han Han, sekarang ceritakanlah kepadaku, bagaimana engkau bertemu dengan Nona Lulu?"

"Wah, aku menjadi kikuk sekali kausebut Nona! Usiamu tentu tidak banyak selisihnya dengan Han-koko, maka aku akan menyebutmu Wan-koko dan kau pun menyebut aku Adik seperti biasa Koko menyebutku. Kalau tidak mau, aku selamanya tidak akan mau bicara dengan.mu!" Tiba-tiba Lulu berkata kepada Sin Kiat. Pemuda ini menjadi merah mukanya dan hatinya menjadi girang bukan main.

"Baiklah, Lulu-moi, dan terima kasih atas kebaikanmu," Sin Kiat berdiri dan menjura.

"Wan, kebetulan sekali usul Lulu ini. Aku pun hendak mencontohnya dan kuminta Nona Lu Soan Li juga jangan bersungkan-sungkan lagi, mulai sekarang mau tak mau kusebut Moi-moi dan harap suka menyebut Kakak kepadaku!”

Jantung di dalam dada Soan Li berdebar. Dia merasa makin suka kepada kakak beradik yang baru dikenalnya ini. Mereka berdua itu begitu jujur, begitu polos, dan juga ia dapat menduga bahwa mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. "Terima kasih atas kebaikanmu, Han-twako."

"Sebetulnya tisak ada yang banyak dapat diceritakan tentang kami berdua," kata Han Han. "Engkau sudah tahu bahwa aku dahulu di waktu kecilku adalah seorang bocah jembel seperti engkau, Sin Kiat. Dan aku bertemu dengan adikku Lulu ini yang juga seorang bocah jembel setelah hidup terlunta-lunta karena keuarganya terbasmi semua. Nah, kami saling bertemu dan mengangkat saudara sampai sekarang kami menjadi kakak beradik yang tak pernah berpisahan."

"Han-twako, belehkah aku mengetahui, siapakah Suhumu yang mulia?" tiba-tiba Soan Li bertanya, mendahului suhengnya, karena ia ingin sekali mendengar siapa adanya guru dari pemuda yang amat mengagumkan hatinya ini. Han Han dan Lulu saling berpandangan sejenak. Mereka berdua selama ini berlatih di Pulau Es, berlatih tanpa guru, hanya mempelajari ilmu dari kitab-kitab dan berlatih secara ngawur. Ataukah biruang itu dapat dianggap menjadi guru mereka? Ah, tidak biruang itu hanya teman berlatih. Guru mereka adalah penghuni-penghuni Pulau Es, pemilik-pemilik istana yang meninggalkan kitab-kitab pelajaran, akan tetapi siapakah dia itu? Han Han memiliki pikiran yang tidak lumrah, dapat berpikir cepat melebihi manusia biasa, dapat mengambil keputusan yang amat tepat dalam sedetik dua detik pemikiran saja. Ia tahu bahwa Sin Kiat dan Soan Li adalah murid-murid Hoa-san-pai yang menentang Mancu, dan dia tidak boleh sekali-kali memperlihatkan sikap bermusuh atau mengaku sebagai fihak yang bermusuhan. Dia telah belajar ilmu dari Lauw-pangcu, kemudian mencuri ilmu dari Kang-thouw-kwi Gak Liat. Akan tetapi dua orang ini tidak boleh dia sebut-sebut, karena menyebut nama Lauw-pangcu berarti menyinggung hati Lulu, menyebut Kang-thouw-wi Gak Liat sebagai guru lebih tidak mungkin lagi karena Setan Botak itu adalah kaki tangan Mancu. Dan dia tidak suka berbohong maka ia mendapat jalan tengah yang baik.

"Guruku adalah Suhu Siangkoan Lee..."

"Ahhh….!" Sin Kiat dan Soan Li benar-benar terkejut mendengar ini. "Ma-bin Lo-mo…?”

Han Han memandang wajah Sin Kiat. "Benar, mengapa? Apakah kau mengenal Suhu? Dia juga seorang yang amat setia kepada Kerajaan Beng-tiauw, bahkan kalau tidak salah dia bekas menteri….."

"Tentu saja kami telah mendengar namanya. Ah, Ma-bm Lo-mo, seorang di antara datuk-datuk hitam yang amat sakti. Pantas saja kau begini lihai, Han Han. Kiranya engkau murid tokoh besar itu!"

Lulu yang mendengarkan ucapan Han Han itu pun diam saja, hanya memandang dengan sinar mata nakal. Ia menganggap bahwa kakaknya ini tidak terlalu berbohong, karena memang kakaknya menjadi murid banyak orang sakti, di antaranya Ma-bn Lo-mo Siangkoan Lee yang hampir membunuhnya, bahkan yang telah berusaha membakar mereka berdua di perahu. Ia tidak mengerti mengapa kakaknya seolah-olah tidak mau bercerita terus terang bahwa mereka berdua telah belajar ilmu di Pulau Es.

Biarpun Lulu dan Han Han baru tinggal di Pek-eng-piauwkiok selama beberapa hari, namun hubungan empat orang muda ini menjadi amat akrab. Apalagi karena di situ ada Lulu yang wataknya lincah jenaka, yang nakal dan tak pernah malu-malu, jujur dan tidak mengenal palsu, sebentar saja rasa jengah yang membatasi pergaulan mereka menjadi lenyap. Berkat kelincahan Lulu, Lu Soan Li menjadi tidak malu-malu lagi terhadap Han Han, juga Sin Kiat makin tertarik kepada gadis Mancu yang benar-benar telah menjatuhkan hatinya itu.

Sepekan kemudian, ketika Lulu sedang mengumpulkan bunga-bunga yang dipetiknya dalam taman bunga tak jauh dari gedung Pek-eng-piauwkiok, ia dikejutkan oleh suara Sin Kiat, "Wah, Lulu-moi, setiap pagi kau tentu berada di sini memetik bunga!"

Dara jelita itu menoleh dan tersenyum. Bagi Sin Kiat, senyumnya amat manis dan hangat, sehangat matahari di pagi hari itu. Taman bunga itu menjadi makin cerah dan makin jernih bagi Sin Kiat.

"Tentu saja, Twako. Bertahun-tahun aku tidak berkesempatan melihat bunga, sekarang ada begini banyak bunga indiah di sini. Dahulu aku hanya melihat bunga-bunga es melulu…." Tiba-tiba gadis itu teringat akan larangan kakaknya untuk bercerita kepada siapa juga tentang Putau Es, maka ia terikejut dan menghentikan kata-katanya.

Akan tetapi Sin Kiat telah mendengar kalimat terakhir itu dan dia mendekat.

"Bunga es? Apa maksudmu, Moi-moi?"

"Eh….. oh….. tidak apa-apa….." Lulu yang biasanya. amat jujur polos dan tidak biasa membohong itu menjadi gagap. Ia tidak senang sekali untuk menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu, karena untuk ini, terpaksa ia harus pula membohong, padahal ketidakwajaran ini terasa amat asing dan amat sukar baginya.

Sin Kiat memandang tajam, hatinya merasa tidak enak, bahkan sakit karena ia mengerti bahwa dara yang dikaguminya ini menyembunyikan sesuatu dari padanya dan hal ini menimbulkan kesan bahwa Lulu tidak menaruh kepercayaan penuh kepadanya! Dengan nada sedih ia lalu berkata, tanpa disadarinya ia memegang kedua tangan Lulu yang penuh bunga.

"Moi-moi, mengapa engkau tidak percay a kepadaku? Ahhh, sungguh mati, aku tidak ingin memaksamu untuk membuka sesuatu yang kau rahasiakan, akan tetapi….. ah, ketidakpercayaanmu ini menyakitkan hatiku, Moi-moi. Tidak tahukah engkau, tidak merasakah engkau betapa aku…… aku cinta kepadamu, Lulu?"

Lulu tersenyum dan dengan gerakan halus menarik tangannya sehingga terlepas dari genggaman jari tangan pemuda itu, yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.

"Aku merasakan itu dan aku tahu, Twako. Akan tetapi, tidak kelirukah cintamu itu kaujatuhkan atas diriku? Ingat, aku seorang gadis Mancu, musuhmu!"

Sin Kiat memandang penuh keharuan. "Moi-moi, tak dapatkah kau memaafkan kesalahan ucapanku ketika pertama kali kita bertemu? Tidak, aku tidak memusuhi seluruh bangsa Mancu, dan aku hanya akan menentang yang jahat, siapapun dia dan bangsa apa pun dia. Engkau bagiku bukan bangsa apa-apa, engkau adalah Lulu, satu-satunya gadis yang pernah dan akan menjadi pujaan hatiku, menjadi satu-satunya wanita yang kucinta!"

Tiba-tiba Lulu tertawa. Hati Sin Kiat makin sakit, mengira bahwa dara yang dicintanya ini mentertawakan pernyataan cinta kasihnya! Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hati bagi seorang pria daripada cinta kasihnya ditertawai oleh wanita yang dicintanya.

"Hi-hi-hik, alangkah lucunya!"

"Apa yang lucu, Moi-moi? Mengapa engkau tertawa?" Sin Kiat bertanya, mukanya menjadi agak pucat.

"Habis, lucu sekali sih! Engkau dan Sumoimu keduanya telah jatuh cinta kepada aku dan Kakakku, bukankah ini lucu sekali namanya?"

Sin Kiat memandang wajah jelita itu dengan kaget. "Apa? Sumoi mencinta Kakakmu? Ah, bagaimana engkau bisa tahu?"

"Apa sih sukarnya mengetahui itu? Aku tahu bahwa Sumoimu mencinta Han-koko dan bahwa engkau mencintaku. Mau bukti? Mari, kau ikut denganku!" Lulu menancapkan bunga-bunga yang dipetiknya di atas tanah, kemudian ia memegang tangan Sin Kiat dan menarik pemuda itu, diajak pergi ke sebelah selatan taman bunga, di mana terdapat pondok yang bercat kuning dan disebut pondok Cahaya Matahari karena pondok ini menghadap ke timur dan setiap pagi menerima sinar matahari sepenuhnya. Memang pondok ini dipergunakan untuk mandi cahaya matahari oleh keluarga Tan-piauwsu.

Sin Kiat menjadi tegang dan juga girang. Ia merasa betapa kulit telapak tangan yang halus dan hangat menggandengnya. Akan tetapi ia pun gelisah kalau mengingat bahwa perbuatan dara ini menggandengnya terdorong oleh sifatnya yang polos dan kekanak-kanakan, bukan sekali-kali terdorong oleh cinta kasih seperti yang ia harapkan.

Setelah mereka tiba di pondok, Lulu menaruh telunjuknya di depan mulut sebagai isyarat agar pemuda itu tidak mengeluarkan suara berisik, kemudian berendap-indap ia mengajak Sin Kiat measuki pondok dari pintu belakang, terus menembus sampai ke ruangan depan pondok. Lulu berhenti dan memandang Sin Kiat dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kemenangan. Tangan kanannya bertolak pinggang, sedangkan tangan kiri menuding ke sebelah luar di mana tampak Han Han duduk di atas anak tangga pondok itu sambil bercakap-cakap dengan Soan Li dalam suasana mesra dan ramah.

"Nah, betul tidak keteranganku? Itu mereka mengobrol dengan asyiknya! Sumoimu mencinta Kakakku dan setiap pagi mereka berdua tentu duduk dan mengobrbl mesra di situ. Semenjak semula sudah kuduga, dalam pertemuan pertama mereka sudah saling lirak-lirik, hi-hik!"

"Wah, ini sama sekali tidak boleh….!" kata Sin Kiat dengan alis dikerutkan.

"Apa kau bilang? Apanya dan mengapa tidak boleh? Jangan main-main kau, ya? Apa kau hendak menghina Kakakku? Menganggap Kakakku kurang berharga untuk Sumoimu?" Kini Lulu menghadapi Sin Kiat dengan mata terbelalak marah, kedua tangan di pinggang, sikapnya menantang.

"Bukan…., bukan begitu, akan tetapi Sumoi….. dia…. dia telah ditunangkan oleh Suhu…. dia sudah mempunyai calon suami….."

Kini Lulu yang terbelalak kaget. "Apa kau bilang? Dan engkau calon suaminya?"

"Bukan, bukan! Calon suaminya adalah seorang sastrawan…."

"Taihiap….! Para pimpinan Hoa-san-pai telah tiba, Taihiap diminta untuk menyambut….!" Seruan ini keluar dari mulut seorang anak buah Pek-eng-piauwkiok yang datang berlari-lari. Ia berteriak-teriak sehingga tidak saja Sin Kiat dan Lulu yang menengok kaget dan percakapan mereka terputus, juga Han Han dan Soan Li menjadi kaget danmenengok, lalu menghampiri mereka.

Sepintas lalu Sin Kiat melihat betapa wajah sumoinya berseri-seri, agak kemerahan sehingga hatinya makin tidak enak. Dia akan merasa bahagia sekali kalau sumoinya dapat menjadi calon isteri Han Han, andaikata dia belum bertunangan. Akan tetapi sumoinya telah ditunangkan kepada orang lain! Berbeda dengan wajah Soan Li, Lulu maupun Sin Kiat melihat betapa wajah Han Han biasa saja.

Semua urusan mengenai sumoinya itu segera terhapus dari ingatan Sin Kiat karena pada saat itu ada urusan yang lebih gawat, yaitu dengan datangnya para pimpinan Hoa-san-pai yang tentu akan timbul persoalan yang amat gawat dengan Han Han.

"Han Han, tokoh-tokoh Hoa-san-pai telah tiba, sebaiknya engkau bersamaku pergi menyambut mereka agar persoalan ini lekas beres."

Han Han mengangguk, sikapnya tenang sekali, berbeda dengan Sin Kiat dan sumoinya yang mengerutkan kening dan kelihatan gelisah. Han Han sudah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai, apa pun alasannya, tentu akan membikin hati para pimpinan Hoa-san-pai menjadi tidak puas. Sungguhpun Sin Kiat dan Soan Li merupakan dua orang tokoh Hoa-san-pai, namun mereka tidak banyak mengenal para pimpinan Hoa-san-pai karena mereka itu digembleng oleh guru mereka, Im-yang Seng-cu, dalam perantauan dan hanya satu kali mereka disuruh guru mereka pergi menghadap ketua Hoa-san-pai di Puncak Hoa-san. Maka, hanya ketua Hoa-san-pai saja yang mereka kenal, sedangkan para susiok (paman guru) lainnya, mereka tidak kenal.

Ketika empat orang muda itu tiba di ruangan dalam yang lebar, di situ Tan-piauwsu dan para sutenya telah menghadap tiga orang tosu tua dengan sikap hormat. Sin Kiat dan Soan Li sebagai murid-murid Hoa-san-pai, cepat melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang tosu itu yang duduk berjajar di atas bangku-bangku kehormatan.

"Suhu dan Ji-wi Supek (Dua Uwa Guru), ini adalah Sute Wan Sin Kiat dan Sumoi Lu Soan Li." Tan-piauwsu memperkenalkan dua orang muda itu.

“Hemmm….!” Tosu yang berjenggot pende, guru Tan Bu Kong, mengangguk-angguk dan berkata, "Agaknya kalian inikah murid-murid Sute Im-yang Seng-cu?"

"Tidak salah dugaan Sam-wi Supek. Teecu berdua adalah murid-murid Suhu Im-yang Seng-cu. Teecu berdua menghaturkan hormat kepada Sam-wi Supek," kata Sin Kiat sambil memberi hormat, yang dicontoh oleh Soan Li.

"Bagus! Kalian tidak mengecewakan menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Pinto telah mendengar akan sepak-terjang kalian di dunia kang-ouw," kata tosu ke dua yang lebih tua dan yang didahinya terdapat cacad bekas luka memanjang. "Duduklah baik-baik di bangku di pinggir sana." Tosu ini menunjuk bangku-bangku dengan sikap tidak begitu mengacuhkan. Betapapun juga, dua orang muda ini hanyalah murid-murid keponakan mereka, dan mereka bertiga datang untuk membereskan urusan yang amat gawat.

Dengan sikap hormat, Sin Kiat dan Soan Li duduk di atas bangku-bangku yang ditunjuk oleh tosu codet (luka di dahi) itu, dan diam-diam Han Han, terutama sekali Lulu, merasa tidak puas menyaksikan sikap angkuh Si Tosu terhadap sahabat-sahabat baik mereka. Akan tetapi mereka tidak peduli dan hanya berdiri di pinggiran, tidak jauh dari tempat duduk dua orang sahabat mereka itu. Tiga orang tosu tua yang melihat Han Han dan Lulu, tidak mengacuhkannya pula karena mereka ini mengira bahwa Han Han dan Lulu tentulah orang-orang muda tak berarti, anggauta keluarga atau pembantu-pembantu di Pek-eng-piauwkiok

Tiga orang tosu Hoa-san-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tiga, karena mereka ini adalah murid-murid langsung dari ketua Hoa-san-pai, yaitu yang bernama Thian Cu Cinjin, seorang tosu yang amat sakti dan sudah berusia tinggi. Mereka bertiga ini adalah kakak beradik seperguruan. Yang paling tua adalah tosu tinggi kurus yang berjenggot panjang bernama atau lebih tepat berjuluk Bhok Seng-cu, yang ke dua adalah tosu codet yang luka dahinya, berjuluk Kong Seng-cu. Adapun tosu ke tiga adalah guru dari Tan-piauwsu yang berjuluk Lok Seng-cu. Mereka ini rata-rata sudah berusia enam puluh tahun lebih, namun masih nampak sehat dan berwibawa, penuh semangat karena sesungguhnya, tiga orang tosu inilah yang bertugas untuk melaksanakan segala peraturan di Hoa-san-pai. Mungkin karena terpengaruh tugas mereka yang harus dilaksanakan secara baik-baik dan penuh disiplin, maka tiga orang tosu ini sudah biasa berwatak keras asal benar! Mereka bertiga tidak begitu ramah ketika diperkenalkan kepada Sin Kiat dan Soan Li, karena sesungguhnya mereka bertiga tidak suka kepada Im-yang Seng-cu, tokoh Hoa-san-pai yang dianggap menyeleweng, yaitu menyeleweng daripada aturan Hoa-san-pai, tidak suka menjadi tosu di Hoa-san-pai melainkan lebih suka mengembara dan berkeluyuran! Juga perasaan tidak suka ini timbul pula karena Im-yang Seng-cu diinggap tidak setia kepada Hoa-san-pai, mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain golongan, bahkan berani "mengawinkan" IImu silat Hoa-san-pai yang aseli dengan ilmu silat golongan lain. Apalagi kalau diingat bahwa mereka itu tidaklah seguru dengan Im-yag Seng-cu karena Im-yang Seng-cu bukanlah murid Thian Cu Cinjin, melainkan murid dari Tee Cu Cinjin yang sudah meninggal dunia, yaitu sute dari Thian Cu Cinjin.

"Tan Bu Kong, kami mendengar akan pelaporanmu dari mulut utusan Pek-eng-piauwkiok, karena mengingat akan gawatnya persoalan, maka kami bertiga dating sendiri untuk memberi hukuman kepada dia yang berdosa. Benarkah bahwa kedua orang Sutemu Lie Cit San dan Ok Sun dibunuh orang?"

Mendengar pertanyaan ini, berkerut alis Wan Sin Kiat. Para supeknya ini ternyata adalah orang-orang yang berhati keras dan yang dipentingkan adalah urusan kematian anak murid Hoa-san-pai, padahal di batik urusan ini tersembunyi hal yang lebih gawat lagi, yaitu ancaman permusuhan dengan fihak Siauw-lim-pai. Ataukah mungkin laporan utusan Tan-piauwsu yang tidak jelas menyampaikan laporan? Namun, ia tidak berani mengganggu, hanya mendengarkan saja.

"Benar, Suhu. Sute Lie Cit San dan Sute Ok Sun tewas, bahkan Sute Teng Lok juga terluka hebat, buntung lengannya. Semua ini terjadi karena tipu muslihat keji seorang gadis Mancu, seorang puteri Kaisar sendiri yang bernama Puteri Nirahai….”

"Siapakah yang membunuh dan melukai Sute-sutemu? Apakah dia murid Siauw-lim-pai?”

"Bukan, Suhu. Memang terjadi bentrokan dengan fihak Siauw-lim-pai, akan tetapi semua itu adalah akibat tipu muslihat keji Puteri Mancu Nirahai. Sebaiknya teecu menceritakan asalu mula terjadinya peekara yang hebat ini." Melihat betapa tiga orang tosu tua itu diam saja dan semua memandang kepadanya, Tan Bu Kong segera menceritakan asal mula terjadinya peristiwa itu. Betapa puteri itu datang mengirim dua buah peti ke selatan dan betapa dia tidak berani menolak karena tidak ingin dicurigai oleh pemerintah Mancu akan perjuangan Hoa-.an-pai menentang penjajah. Kemudian betapa Teng Lok sampai buntung lengannya ketika menyelidiki keadaan puteri aneh itu. Diceritakannya pula betapa rombongan piauwsu yang mengantar dua buah peti ke selatan, di tengah jalan dihadang oleh anak-anak murid Siauw-im-pai yang memaksa mereka membuka peti sehingga terjadi pertempuran.

"Pinto telah mendengar penuturan itu dari utusanmu, tak perlu diulangi lagi," Lok Seng-cu memotong tak sabar sambil menggerakkan tangan kirinya ke atas sehingga ujung lengan bajunya bergetar dan bergoyang. "Pinto hanya tertarik mendengar akan kematian murid-murid Lie Cit San dan Ok Sun. Siapakah yang membunuh mereka?"

Berkerut kening Han Han. Ingin ia melangkah maju dan menjawab pertanyaan itu, mengaku bahwa dialah yang membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Wan Sin Kiat, ia melihat pemuda itu menggeleng-geleng kepala perlahan sehingga ia membatalkan niatnya.

Tan-piauwsu juga bingung sekali atas pertanyaan gurunya yang mendesak-desak itu, seolah-olah tidak hendak memberi kesempatan kepadanya untuk menjelaskan semua agar kesalahan tangan Han Han itu dapat diperingan dengan alasan kuat.

Akan tetapi, piauwsu ini yang sudah. merasa yakin akan kebersihan hati Han Han dalam pembunuhan terhadap dua orang sutenya itu, memberanikan hatinya dan melanjutkan ceritanya.

"Pertempuran berat sebelah itu tentu akan berakibat terbasminya semua anak buah piauwsu yang mengawal kalau saja tidak secara kebetulan muncul seorang pendekar muda yang membantu fihak Hoa-san-pai dan pemuda itu memukul tewas tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai. Kemudian fihak Siauw-lim-pai memaksa membuka dua buah peti kiriman puteri Mancu dan isinya ternyata adalah…."

"Mayat-mayat Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam! Pinto sudah tahu semua akan hal itu. Bu Kong, katakan, siapa yang membunuh dua orang Sutemu?"

"Pendekar muda yang tadinya membantu Hoa-san-pai dan membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai ketika melihat bahwa dua peti itu berisi mayat tokoh-tokoh Siauw-lim, menjadi menyesal dan marah sekali, mengira bahwa fihak Hoa-san-pai yang bersalah, maka dalam kemarahannya ia turun tangan membunuh kedua orang Sute, tidak tahu bahwa baik fihak Siauw-lim-pai maupun fihak Hoa-san-pai tidak bersalah karena mereka semua telah termasuk dalam perangkap dan siasat adu domba puteri Mancu itu…."

"Tan Bu Kong! Engkau berfihak kepad a siapakah? Katakan, di mana adanya orang yang membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu!" bentak Lok Seng-cu dengan nada marah sehingga Tan-piauwsu menjadi jerih dan menundukkan mukanya.

"Totiang, akulah orangnya yang membunuh dua orang muridmu itu!" Tiba-tiba terdengar suara Han Han memecah kesunyian sehingga suasana menjadi tambah sunyi lagi karena kini kesunyian itu dicekam ketegangan yang memuncak ketika tiga orang tosu tua itu menoleh dan memandang kepada Han Han penuh perhatian. Han Han sudah melangkah maju dengan sikap tenang, kemudian 'berdiri menghadapi tiga orang Hoa-san-pai itu sambil melanjutkan kata-katanya.

"Memang aku yang telah membunuh mereka, hat ini tidak kupungkiri dan aku mohon maaf kepada Totiang bertiga sebagai guru-guru mereka. Aku merasa menyesal sekali telah membunuh mereka berdua seperti rasa penyesalanku telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang tak bersalah. Akan tetapi aku tidak merasa bersalah karena aku membunuh dua orang murid Hoa-san-pai dengan persangkaan bahwa Hoa-san-pailah yang membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan kusangka bersikap palsu sehingga menyebabkan aku kesalahan tangan membunuh murid-murid Siauw-lim-pai. Hal itu telah terjadi di luar kesalahanku, dan aku pasti akan mencari biang keladinya, Puteri Mancu itu. Nah, kurasa cukup lama aku tinggal di sini bersama Adikku. Tan-piauwsu, dan juga kalian berdua, Sin Kiat dan Adik Lu Soan Li, aku harus pergi dari sini setelah bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai dan minta maaf. Aku hendak pergi menemui pimpinan Siauw-lim-pai untuk menjelaskan persoalan. Sampai jumpa kembali….."

"Berhenti!" Tiba-tiba Bhok Seng-cu yang tinggi kurus dan berjenggot panjang membentak. Suaranya mengejutkan semua orang karena mengandung getaran yang menusuk rongga dada, tanda bahwa kakek ini telah mempergunakan khikang yang amat kuat.

Han Han yang tadinya, sudah melangkah hendak keluar diikuti oleh Lulu, berhenti dan membalikkan tubuhnya. Sikapnya tenang saja, demikian pula dengan Lulu sehingga Bhok Seng-cu sendiri menjadi terheran-heran. Hapir semua yang hadir di situ, kecuali Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li yang rnemiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi, menjadi pucat sekali wajah mereka karena pengaruh bentakan tadi, akan tetapi dua orang muda ini saa sekali tidak terpengaruh, kaget sedikit pun tidak!

“Orang muda, apakah sedemikian murahnya kau menghargai nyawa dua orang anak murid kami? Cukup dengan pernyataan menyesal dan minta maaf? Sungguh engkau memandang rendah ke-pada Hoa-san-pai!" kata Bhok Seng-cu dengan alis terangkat.

"Habis apa yang harus kulakukan,Totiang? Aku telah lama menanti kedatangan Totiang di sini, hal itu karena aku memandang Hoa -san-pai," jawab Han Han dengan sikap yang masih tenang.Pandang mata pemuda ini bertemu dengan pandang mata Bhok Seng-cu dan kakek Hoa-san-pai ini bergidik dan mengalihkan pandang matanya.

"Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa!" bentak Lok Seng-cu, guru Tan-piauwsu yang menjadi marah sekali kalau teringat betapa murid-muridnya terbunuh hanya oleh seorang pemuda yang tak di kenaI sama sekali, bukan pula murid Siauw-lim-pai, bahkan seorang pemuda yang kelihatannya liar. Andaikata kedua orang muridnya tewas di tangan seorang tokoh besar, atau setidaknya oleh anak murid Siauw-lim-pai yang pandai, dia tidak akan begitu malu. "Suheng," katanya kepada Bhok Seng-cu, “bukan hal yang mustahil kalau pemuda ini menjadi kaki tangan Mancu yang sengaja membunuh murid-murid Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai agar taktik adu domba berhasil baik. Bocah setan ini tak boleh diberi ampun!"

"Suhu dan Ji-wi Supek, Han Han bukanlah kaki tangan Mancu….!" Tiba-tiba Wan Sin Kiat berseru dari tempat duduknya karena tidak tahan lagi mendengar ucapan-ucapan suhunya dan supeknya yang nadanya menekan Han Han. "Teecu mengenal dia baik-baik semenjak dia masih kanak-kanak karena dia adalah sahabat baik teecu di waktu kecil."

"Wan Sin Kiat! Tak patut engkau sebagai anak murid Hoa-san-pai bicara seperti itu terhadap seorang yang telah membunuh dua orang Suhengmu! Di mana kesetiaanmu terhadap Hoa-san-pai? Apakah kalau dia ini menjadi sahabat baikmu di waktu kecil, lalu tak mungkin lagi menjadi kaki tangan Mancu? Pandangan picik sekali!" bentak Bh'ok Seng-cu sambil menatap wajah pemuda itu dengan mata melotot.

Sin Kiat menunduk, akan tetapi ia menjawab dengan suara tenang, "Maaf,

Supek. Bukan karena itu, melainkan karena dia adaJah murid Ma-bin Lo-mo Siang-koan Lee……. "

"Ahhhhh !" Seruan ini keluar dari mulut ketiga orang tosu tua itu karena

mereka benar-benar merasa kaget sekali mendengar bahwa pemuda ini adalah

murid seorang di antara tokoh-tokoh datuk hitam yang amat terkenal itu. Dan

mereka pun maklum bahwa biarpun seorang tokoh datuk hitam, namun Siang-

koan Lee bukanlah seorang yang tunduk kepada pemerintah penjajah Mancu. Kini mereka kembali memandang kepada Han Han penuh perhatian dan dengan pandang mata agak meragu. Akan tetapi hanya sebentar saja mereka meragu karena segera terdengar suara Bhok Seng-cu yang kaku dan tegas.

"Kalau dia murid Ma-bin Lo-mo, memang bukan kaki tangan Mancu. Akan tetapi biarpun demikian, dia telah membunuh dua orang murid Hoa-san..pai, dan dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Biarpun murid Ma-bin Lo-mo tidak boleh menghina kami orang orang Hoa-san-pai!"

"Suheng, nanti dulu, Suheng!" Tiba-tiba Kong Seng-cu berkata dan tiba-tiba tubuh tosu ini sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan langkah lebar menghampiri Lulu. Ia menghampiri dan memandang gadis itu penuh perhatian, mulutnya menggerutu, "Adiknya……..? ini Adikmu………?"

Han Han yang merasa sebal menyaksikan sikap congkak dari tiga orang Hoa-san-pai ini berkata, "Benar, Totiang. Dia Adik angkatku."

Lulu yang dipandang penuh perhatian,bahkan kini tosu yang dahinya terhias bekas luka itu berjalan mengelilinginya sambil memandang seperti orang memeriksa kuda yang hendak dibelinya, tersenyum-senyum dan melirak-lirik dengan sikap lucu dan mentertawakan. Akhirnya tosu itu kembali ke bangkunya,

duduk dan berkata, "Gadis ini adalah seorang wanita Mancu!"

Semua orang yang mendengar ini menjadi terheran, bagaimana tosu codet ini dapat merlduga sedemikian tepatnya.

"Wanita Mancu?" Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu berseru kaget. Lok Seng-cu memandang kepada Tan-piauwsu dengan pandang mata bengis lalu membentak, "Tan Bu Kong! Betulkah bahwa gadis ini seorang wanita Mancu dan sudah kau biarkan dia menjadi tamumu?"

Sebelum Tan-piauwsu sempat menjawab, Lulu sudah melangkah maju dan menjawab dengan suara Ian tang sambil menmandang kepada Kong Seng-cu, "Benar sekali! Aku adalah seorang gadis Mancu dan namaku Lulu, she Sie karena Kakakku ini pun she Sie. Tosu codet, matamu benar-benar tajam sekali!"

“Siancai……. ! Apa kata pinto? Dalam jarak sepuluh Ii, pinto sudah dapat mengenal wanita Mancu! Suheng dan Sute biarpun orang she Sie ini murid Ma-birlLo-mo, akan tetapi dia mempunyai Adik angkat wanita Mancu! Terang bahwa dia telah berkhianat, dan mungkin sekali dia sekarang menjadi kaki .tangan Puteri Mancu itu! Wah, berbahaya kalau begini,sama sekali tidak boleh membebaskan dia."

"Tosu codet, selain matamu awas sekali, juga hatimu busuk sekali. Tentu karena kebusukan hatimu maka dahimu menjadi codet, bekas terluka senjata tajam. Sayang di dahi, sebaiknya di mulut agar mulutmu tidak dapat mengham-burkan ucapan-ucapan busuk lagi.” Lulu yang diam-diam m:arah kini mulai mem-permainkan tosu itu. Semua orang ter-kejut sekali, bahkan Sin Kiat menjadi pucat wajahnya.. Gadis yang dicintanya itu benar-benar berani mati, mengeluar-kan omongan yang seperti itu terhadap Kong seng-cu, seorang di antara ketiga murid ketua Hoa-san-pai yang berilmu tinggi! Pemuda perkasa ini maklum bah-wa ucapan itu akan rnempunyai akibat yang berbahaya sekali bagi Han Han dan Lulu, maka ia memandang dengan jantung berdebar dan muka pucat.

Juga para anak buah Pek-eng-piauw-kiok terutama sekali Tan Bu Kong, menjadi khawatir sekali, apalagi karena Tan-piauwsu maklum bahwa perbuatannya menerima seorang gadis Mancu sebagai tamu benar-benar akan menimbulkan salah faham dari para supeknya.

"Suhu, harap maafkan teecu. Biarpun dia seorang gadis Mancu, akan tetapi dia lain lagi, sama sekali tidak menganggap kita sebagai musuh dan dan dia adalah Adik angkat Sie-taihiap ………"

Ucapan ini malah merupakan angin yang membesarkan api kemarahan di

dada tiga orang tosu itu, terutama sekali Kong Seng-cu yang dihina dan dimaki oleh seorang gadis Mancu.

"Bocah Mancu, mampuslah!" bentak Kong Seng-cu dan tanpa bangkit dari tempat duduknya, kakek berdahi codet ini mengirim pukulan jarak jauh dengan. dorongan tangan kanannya ke arah dada Lulu. Jarak antara mereka ada empat

meter dan kakek ini yang mermandang rendah gadis Mancu itu yang disangkanya gadis biasa saja, menaksir bahwa pukulan-nya ini cukup kuat untuk merusak isi dada gadis yang dianggapnya jahat dan musuh rakyat itu

Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lulu dan jelas tampak betapa baju gadis itu di bagian dadanya berkibar disambar angin pukulan, akan tetapi gadis itu sendiri berdiri sambil tersenyum-senyum manis, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia tidak merasakan datangnya angin pukulan jarak jauh ini seperti sebongkah batu gunung ditiup angin semilir! Dan memang se-sungguhnyalah bahwa Lulu sama sekali tidak tahu bahwa dia dipukul orang! Akan tetapi mengapa pukulan jarak jauh yangmengandung tenaga sakti arnat kuat dari tokoh Hoa-san-pai itu sarna sekali tidak terasa olehnya? Apakah Lulu sudah memiliki kesaktian yang luar biasa seperti Han Han?

Sebetulnya tidaklah demikian. Seperti kita ketahui, ketika berdiam di Pulau Es,Lulu juga tekun belajar di bawah bimbingan Han Han. Akan tetapi berbeda dengan Han Han yang memiliki dasar tidak karuan, bahkan secara paksa menggembleng diri dengan ilmu dari aliran hitam. Lulu sebaliknya mempelajari kitab-kitab peninggalan manusia sakti pemilik Istana Pulau Es. Gadis ini berlatih samadhi dan pengumpulan hawa murni untuk membentuk tenaga sakti menurut petunjuk kitab yang dibacanya di pulau itu, dan ternyata ia dapat memiliki sinkang yang murni dan bersih yang amat kuat dan yang kini telah menjadi satu dengan darah daging dan pernapasannya sehingga tenaga sakti ini akan bergerak dengan sendirinya setiap kali ada bahaya mengancam tubuhnya. Juga gadis ini melatih ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang dari dua buah kitab lain yang sudah amat tua dan tidak berjudul lagi, ilmu silat tangan kosong yang lebih mirip ilmu tari karena gerakan-gerakan-nya indah sekali sehingga sering kali jika Sedang berlatih, lulu ditertawai dan digoda Han Han, dikatakan bahwa tarian adiknya amat indah dan 'bahwa' adiknya bukan mempelajari ilmu silat melainkan ilmu tari. Namun, dengan "ilmu tari" ini,.Lulu sudah dapat membuat biruang es mengaku kalah! Adapun ilmu pedangnya juga amat indah, akan tetapi karena dipulau itu mereka tidak mempunyai pedang, Lulu selalu berlatih mempergunakan sebatang ranting. Dengan adanya sinkang yang sudah mendarah daging itulah maka tadi ketika Kong Seng-cu melancarkan pukulan jarak jauh yang mengandalkan tenaga sinkang, begitu angin pukulan menyentuh kulit, otomatis sinkang di tubuh Lulu bergerak dan me-nolak serangan dari luar itu maka gadis ini tidak merasakan apa-apa sungguhpun bajunya sampai berkibar dilanda angin pukulan jarak jauh tokoh Hoa-san-pai itu!

Wan Sin Kiat menjadi pucat mukanya,dan pandang matanya menjadi kagum dan heran bukan main. Sebagat murid tersayang dari im-yang Seng-cu seorang tokoh yang biarpun tingkatnya hanya saudara seperguruan tiga orang tosu ini namun memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi, dan sebagai seorang yang ahli dalam ilmu silat Hoa-san-pai, Sin Kiat tadi dapat rnelihat jelas gerakan Kong Seng-cu dan maklum bahwa supeknya itu dengan secara keji sekali telah melakukan pukulan jarak jauh yang di-sebut jurus Sian-jin-hian-ko (Dewa Mem-beri Buah) dan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagum nya ketika melihat bahwa gadis yang telah membuat jantungnya jungkir balik dan bertekuk lutut itu sama sekali tidak rnerasakan pukulan itu, bahkan berkedip pun tidak, malah senyumnya makin lebar dan makin manis, mata yang lebar itu makin bersinar-sinar!

"Eh, Tosu Codet. Engkau mengeluarkan ilrnu hitam apakah?" Setelah bajunya berkibar dan dadanya agak berdenyut kulitnya, barulah Lulu sadar bahwa tosu itu tadi telah memukulnya dengan pengerahan sinkang, maka ia sengaja mengejek dan diarn-diam gadis ini bersikap waspada dan hati-hati karena maklum bahwa para tosu Hoa-san-pai itu benar-benar hendak memusuhi dia dan Han Han.

Sementara itu, ketika melihat betapa pukulan jarak jauh yang dilontarkan Kong Seng-cu kepada gadis Mancu itu sama. sekalj tjdak berhasil, tiga orang tokoh Hoa.-san-pai inj diam-diam terkejut dan berhati-hati. Mereka maklum bahwa. gadis Mancu yang masih remaja itu telah memiliki tenaga sinkang yang hebat dan tidak lumrah dimiliki seorang gadis yang demikian muda. Tiga orang tosu itu menjadi serba salah. Mau merintahkan anak murid turun tangan terhadap Han Han dan Lulu, mereka maklum bahwa murid-murid yang berada di situ agak-nya bukanlah lawan pemuda berambut riap-riapan dan adiknya yang bertenaga sinkang hebat itu. Mau turun tangan sendiri, mereka masih merasa tidak enak dan malu karena amatlah menurunkan derajat bagi mereka untuk turun tangan terhadap dua orang yang masih amat muda, boleh disebut setengah dewasa itu!

Tiba-tiba pandang meta Bhok Seng cu yang memandangi para anak murid Hoa-san-pai dan anak buah Pek-eng-piauwkiok itu menatap ke Satu arah. Ketika Lok Seng-cu dan Kong Seng-cu yang ragu-ragu menoleh ke arah suheng mereka yang tentu saja sebagai, orangtertua di antara mereka merupakan pe-nentu terakhir, mereka berdua pun mengikuti arah pandang mata suheng mereka itu dan wajah mereka berseri. Mengertilah kedua orang tosu ini akan jalan pikiran suheng mereka dan merekapun setuju sekali. Tanpa mengeluarkan suara,tiga orang tosu Hoa-san-pai ini telah bersepakat untuk memerintahkan Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li menghadapi Han Han dan Lulu! Mereka itu sarna mudanya sehingga tidak akan menurunkan nama Hoa-san-pai, mereka berdua itu pun mu-rid-murid Hoa-san-pai yang lihai ilmunya sehingga di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap dan Hoa-san Kiam-li. Dan yang menggirangkan hati ketiga orang ,tosu ini, dua orangmuda itu adalah murid-murid Im-yang Seng-cu, seorang tokoh Hoa-san-pai yang mereka anggap menyeleweng dan murtad sehingga kalau dua orang murid itu sampai kalah, Hoa-san-pai tidaklah terlalu merasa malu dan memang tiga orang tosu ini dalam kebenciannya terhadap Im-yang Seng-cu, menjadi tidak suka pula kepada Sin Kiat dan Soan Li.

Rasa benci terhadap Im-yang Seng-cu bukan semata karena tokoh Hoa-san-pai ini meninggalkan Hoa-san-pai, melainkan lebih banyak terdorong rasa iri hati. Im-yang Seng-cu membuat nama besar bukan bersandar kepada Hoa-san-pai karena ilmu silatnya telah bercampur dengan ilmu-ilmu silat lain, dan di sam-ping ini, Im-yang Seng-cu tidak lagi hidup terikat dan terkurung di Hoa-san, melainkan hidup sebagai seorang pendekar dan petualang yang bebas dan bebas pula menikmati kesenangan dunia-wi!

"Murid-murid Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li! Pinto memerintahkan kalian untuk menangkap musuh Hoa-san-pai dan adiknya, gadis Mancu itu. Kerjakan perintah pinto sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang baik!" Bhok Seng-cu berkata dengan nada suara halus dan muka berseri. Dua orang sutenya mengangguk-angguk dan tersenyum sambil meraba-raba jenggot mereka.

Sin Kiat dan Soan Li menjadi terkejut bukan main mendengar perintah ini. Wajah mereka berubah dan jantung mereka berdebar karena mereka tersudut kedalam keadaan yang serba salah. Untuk membantah, perintah itu keluar. Dari mulut supek mereka dan dikeluarkan atas nama Hoa-san-pai. Untuk mentaati perintah, bagaimana mereka dapat memusuhi dua orang muda yang menjadi sahabat baik mereka, bahkan dua orang muda yang masing-masing telah menjatuhkan hati mereka? Mereka tak tahu harus berbuat apa, merasa mundur salah maju tidak sesuai dengan suara hati mereka. Apalagi ketika mereka melihat betapa Han Han dan Lulu kini menoleh dan memandang mereka dengan sikap tenang dan bahkan Lulu tersenyum-senyum me-mandang Sin Kiat karena gadis nakal ini agaknya merasa geli, sama sekali tidak kasihan melihat pemuda itu yang ia tahu menjadi bingung. Baru saja menyatakan cinta, kini disuruh menyerang !

Teringatlah dua orang murid Hoa-san-pai ini akan pesan suhu mereka, yaitu Im-yang Seng-cu, "Kalian memang dapat disebut murid-murid Hoa-san-pai, akan tetapi ilmu yang kuberikan kepada kalian sesungguhnya bukanlah ilmu aseli dari Hoa-san-pai. Karena itu, kalian harus berhati-hati terhadap Hoa-san-pai. Para tosu Hoa-san-pai, yaitu Suheng-suheng dan Sute-suteku, adalah tosu-tosu yang kukuh dan terlalu kaku memegangperaturan sehingga kadang-kadang mereka itu keras sekali. Memang demikian watak orang-orang yang terikat oleh keadaan pada lahirnya namun sesungguhnya batinnya belum dapat mereka sesuaikan dengan keadaan lahir. Mereka banyak yang merasa iri hati melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan tosu yang hidup serba bebas dan dapat mengecap enikmatan hidup tanpa pantangan-pantangan. lebih baik kalau kalian menjauhkan diri dari urusan Hoa-san-pai.

Demikianlah pesan suhu mereka dan kini, di luar kehendak mereka, mereka dihadapkan dengan urusan yang amat sulit yang menyangkut Hoa-san-pai.

"Mengapa kalian tidak lekas turun tangan? Apakah kalian hendak menen-tang perintah pinto dan hendak menjadi murid murtad Hoa-san-pai pula?" kini suara Bhok Seng-cu terdengar keras dan tidak senang, mengandung tekanan menyindir bahwa guru kedua orang muda itu adalah seorang murid murtad Hoa-san-pai

Soan Li hanya dapat memandang kepada suhengnya dengan pandang mata penuh permohonan agar suheng ini dapat mengambil keputusan. Sin Kiat menghela napas panjang lalu berkata.

"Supek, mohon maaf, bukan sekali-kali teecu membantah. Hanya teecu teringat akan pesan Suhu bahwa segala perbuatan teecu berdua harus didasarkan kebenaran. Teecu menganggap bahwa Saudara Sie Han dan Lulu tidak bersalah dalam urusan ini, bagaimana mungkin teecu berdua harus memusuhi mereka?"

"Wan Sin Kiat! Bocah ini telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai yang terhitung Suheng-suhengmu sendiri dan kau masih hendak membelanya? Dan gadis ini, sudah terang dia itu gadis Mancu, seorang musuh bangsa kita, dan engkau pun hendak membelanya? Pelajaran macam apakah ini yang diberikan Gurumu kepada kalian?" bentak Kong Seng-cu.

Ucapan keras yang menambah ketegangan itu disusul suara Lulu yang perlahan akan tetapi karena keadaan yang amat sunyi, terdengar oleh semua telinga, "Koko, Tosu Codet itu galak sekali! Kalau terjadi pertempuran, kau bikin mukanya bertambah satu codet lagi, baru puas hatiku!"

"Sssttttt, Lulu, jangan lancang mulut…..!" Han Han menjawab lirih, akan tetapi tentu saja terdengar pula oleh semua orang. Kong Seng-cu hampir tak dapat menahan kemarahannya dan ia memandang kepada Lulu dengan mata melotot. Untuk turun tangan sendiri, ia merasa malu hati, tidak turun tangan,

jantungnya serasa ditusuk-tusuk oleh sindiran dan ejekan gadis Mancu itu.

"Supek," jawab Sin Kiat dengan suara tenang, "Suhu mengajarkan agar teecu tidak sembrono dalam sepak terjang teucu, tidak menurutkan panasnya nafsu hati melainkan menggunakan pertimbangan pikiran dan liangsim (hati nurani). Biarpun Han Han membunuh kedua orang Suheng teecu, akan tetapi dia membunuh bukan karena kejahatan, melainkan karena tertipu muslihat Puteri Mancu. Adapun Adik Lulu ini……..dia bukanlah musuh.dia tidak memusuhi kita.

"Kreeekkkkk!" Lengan kursi yang di.duduki Bhok Seng-cu hancur berkeping-keping karena dicengkeram tangan tosu lihai ini yang sudah tak dapat mengendalikan lagi kemarahannya. "Murid murtad!" Ia menudingkan telunjuknya kepada Sin Kiat, kemudian menoleh ke arah Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap, dan murid-murid Hoa-san-pai pembantu Tan-piauwsu yang lain sambil berseru, "Tangkap dua orang murid murtad ini, dan kami akan turun tangan sendiri menangkap bocah dan gadis Mancu itu!"

"Serrr….serrrrr……!" Bhok Seng-cu menggerakkan tangan kanannya, dua sinar hitam menyambar ke arah Han Han dan Lulu. Itulah hancuran kayu lengan kursi yang dicengkeramnya tadi, kini ditimpukkan dengan pengerahan sinkang sehingga merupakan senjata rahasia yang amat berbahaya, menyambar ke arah dada Han Han dan Lulu yang sejak tadi hanya berdiri dengan sikap tenang di tengah ruangan itu.

Han Han mengibaskan tangannya sehingga hancuran kayu itu runtuh ke bawah, sedangkan , Lulu dengan sikap lincah meloncat ke samping, mengelak sambil tertawa mengejek, "Wah, sayang luput Tosu galak!"

Tan-piauwsu dan para sutenya, juga anak buah Pek-eng-piauwkiok yang sudah menganggap diri mereka sebagai anak buah Hoa-san-pai, tidak berani membantah perintah itu dan mereka telah mencabut senjata masing-masing, kini telah mengurung ruangan itu! Di luar tahunya semua orang, Kwee Twan Giap sute termuda dari Tan-piauwsu yang amat cerdik, telah memberi tanda dengan jari tangan agar Sin Kiat dan SoanLi cepat melarikan diri saja sehingga terhindar pertandingan antara murid Hoa-san-pai sendiri. Melihat ini, Sin Kiat dan Soan Li mencatat dalam hati mereka akan ikhtikad baik Kwee Twan Giap.

Akan tetapi, sebelum dua orang murid Im-yang Seng-cu ini sempat melakukan sesuatu, tiba-tiba terdengar pekik .melengking keras sekali yang membuat semua orang tertegun, bahkan banyak diantara mereka meremang bulu tengkuk-nya mendengar suara ini. Suara ini keluar dari mulut Han Han yang sudah meloncat ke depan sambil melengking keras, kemudian berkata.

"Majulah semua! Tosu-tosu picik, hayo majulah kalian. Kalau kekerasan yang kalian kehendaki, kekerasan yang kalian dapat!"

Lulu juga meloncat ke dekat kakaknya sambil membusungkan dadanya yang sudah membusung, "Jangan mengeroyok Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li, keroyoklah kami kalau kalian sudah bosan hidup!"

Akan tetapi tiba-tiba Han Han sudah menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke kanan kiri dan terdengarlah suara hiruk-pikuk jatuhnya beberapa buah senjata pedang dan golok karena pemiliknya rebah terguling disambar hawa pukulan hebat luar biasa, yaitu yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan Han Han. Amat mengerikan akibatnya karena empat orang itu roboh de-ngan lengan kanan sebatas siku gosong seperti dibakar. Masih untung bahwa Han Han menyerang mereka mengarah lengan, kalau tubuh mereka yang terkena sambaran hawa pukulan yang merupakan inti dari Hwi-yang Sin-ciang ini, pasti nyawa mereka telah melayang!

Lulu menjadi gembira, tubuhnya berkelebat ke kiri dan sebuah tendangan

membuat seorang anak buah piauwkiok menjerit kesakitan, lengan tangannya

patah tulangnya dan pedangnya mencelat ke atas. Tubuh Lulu meloncat dengan

gerakan indah dan cepat, seperti seekor burung walet terbang dan tahu-tahu pe-

dang itu telah berada di tangannya, dan la melayang turun, berdiri tersenyum-senyum menimang-nimang dan memandang pedang, sikapnya seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah boneka.

"Pedang yang bagus sekali!'" Ia memainkan ronnce-ronce pedang yang berwarna kuning itu dan mengelus-elus mata pedang yang tajam.

Melihat ini, Tan-piauwsu dan para sute serta anak buah mereka mau tak mau lalu maju menyerbu, bukan menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, melainkan me-nyerbu Han Han dan Lulu yang telah bergerak terlebih dulu. Biarpun sampai mati dalam pertandingan, mereka ini memilih mati di tangan Han Han dan Lulu yang merupakan orang-orang lain, bahkan boleh juga dianggap musuh karena Han -Han telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai sedangkan Lulu adalah seorang gadis Mancu. Kalau mereka me-nyerbu Sin Kiat dan Soan Li, berarti mereka bermusuhan dengan murid-murid Hoa-san-pai sendiri dan kalau tewas berarti mati konyol!

“Han Han…..Lulu-moi…., kasihanilah mereka yang tak berdosa, jangan bunuh mereka….!" Sin Kiat berteriak dengan hati sedih dan amat terkejut menyaksikan sepak terjang Han Han.

Lulu mendengar getaran suara Sin Kiat ini dan ketika ia mengerling kepada kakaknya, ia melihat bahwa kakaknya telah diserang nafsunya yang aneh, yang kadang-kadang datang seperti ketika kakaknya ini menyiksa ular merah di Pulau Es. Ia cepat berbisik.

"Koko, jangan bunuh orang……."

Pada saat itu, Han Han memang telah kemasukan nafsu iblis yang selalu menyerangnya apabila ia mengerahkan sinkang di tubuhnya. latihan-latihan yang ia tempuh selama bertahun-tahun adalah latihan-latihan ilmu golongan hitam yang selalu menimbulkan nafsu ingin menyiksa dan membunuh. Begitu menyaksikan sikap tiga orang tosu Hoa-san-pai, kemarahan-nya bangkit dan sekali ia mengerahkan sinkang, nafsu membunuh ini telah bangkit di dadanya, sepasang matanya yang amat tajam itu menjadi agak kemerahan, napasnya agak terengah dan ia merasa seolah-olah ia bukan bernapas hawa melainkan api. Akan tetapi aneh sekali, bisikan suara Lulu itu merupakan embun dingin sejuk yang seketika dapat menekan gairahnya untuk membunuh musuh

sebanyaknya, dan ia mengangguk sambilberkata lirih.

"Lulu, kautahan mereka itu, biar aku menghadapi tiga orang tosu sombong!" ,.

Lulu tersenyum, menggerakkan tubuh ke kanan menghindarkan bacokan seorang anak buah piauwkiok, tangan kirinya menyambar tengkuk dan orang itu mengeluh dan roboh dengan mata mendelik, pingsan! Jurus-jurus pukulan Lulu amat aneh, selain karena memang ilmu silat tangan kosong yang dilatihnya dari kitab kuno di Pulau Es memang aneh, juga di-tambah dengan gerakan-gerakan yang ia ciptakan di luar kesengajaannya ketika ia berlatih dengan biruang es yang lihai sekali. Biasanya, kalau ia memukul tengkuk biruang es dengan tangan miring, biruang itu kadang-kadang dapat mengelak atau menangkis, dan kalau terkena juga, biruang es itu hanya akan terhuyung. Siapakira orang ini sekali kena disambar tengkuknya terus roboh pingsan!

Hebat bukan main sepak terjang Lulu. Dia kini telah meloncat dekat kakak nya menyerahkan pedang dengan sikap seperti anak kecil dan berkata, "Aku titip dulu,Koko, jangan sampai hilang pedangkul" Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat, berputaran seperti orang menari,namun cepat bukan main sehingga para anak buah Peng-eng-piauwkiok hanya melihat bayangan berkelebatan di sekeliling mereka dan mencium keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Lulu dan pada detik-detik berikutnya, senjata-senjata di tangan mereka beterbangan dan orangnya pun mengaduh-aduh, ada yang patah tulang lenganya, ada yang terkilir kakinya kena tendangan, ada yang pening kepalanya dengan mata berkunang ,karena ditempiling, dan ada pula yang mulas perutnya kena dicium ujung sepatu gadis itu. Mereka seolah-olah melawan bayangan setan, membacok ,dan menusuk secara ngawur karena tidak dapat melihat jelas lawannya, dan tahu-tahu dua puluh orang lebih telah kehilangan senjata dan tubuh mereka malang-melintang di ruangan itu!

"Bukan main !" Sin Kiat berseru sambil menahan napas saking kagumnya. Dia sendiri adalah seorang ahli silat kelas tinggi, memiliki ginkang yang hebat, akan tetapi menyaksikan gerakan Lulu, ia menjadi bengong karena gerakan gadis itu seolah-olah terbang saja! Betapa mungkin dara remaja itu memiliki ginkang setinggi itu? Siapakah gerangan gurunya? Melihat gerakannya yang jelas membayangkan ilmu dari golongan bersih,kaum putih, ia tidak percaya kalau Lulu juga murid Ma-bin Lo-mo. Kalau Han Han memang amat boleh jadi, karena gerakan dan pukulan pemuda mengerikan sekall, Jelas termasuk Ilmu dari kaum sesat.

Kini hanya tinggal Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap dan dua orang sutenya yang lain saja di antara para piauwsu yang belum roboh. Mereka berempat ketika nnenyaksikan betapa semua anak buah piauwkiok roboh oleh gadis Mancu itu menjadi kaget akan tetapi juga marah. Tanpa dikomando lagi mereka sudah mencabut senjata dan menerjang maju.Tentu saja sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang sudah bertingkat empat atau lima ilmu silat mereka sudah hebat dan gerakan mereka ketika menyerang Lulu tak boleh disamakan dengan gerakan para anak buah Pek-eng-piauwkiok tadi.

"Pergilah……!" Terdengar bentakan Han Han yang tidak membiarkan adiknya .dikeroyok murid-murid Hoa-san-pai ini.Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke kanan kiri……dan empat orang murid Hoa-san-pai itu terpental sampai empat meter ke belakang, roboh tak dapat bangkit kembali karena tulang pundak mereka remuk disambar hawa yang keluar dari kedua telapak tangan Han Han. Untung bagi mereka bahwa Han Han masih ingat akan cegahan adik nya sehingga ia membatasi dorongannya dan hanya membuat mereka roboh pingsan dengan tulang remuk saja.

"Siancai…… pemuda iblis…….!”

Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu dengan gerakan tenang namun sesunggunnya cepat dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, meloncat turun dari kursi mereka diikuti oleh Kong Seng-cu.

Melihat tiga orang kakek tokoh Hoa-san-pai itu hendak turun tangan, diam-diam Sin Kiat dan Soan Li menjadi khawatir sekali. Mereka maklum akan kelihaian tiga orang supek mereka ini dan karena sekali ini yang turun tangan adalah tokoh tinggi yang berkepandaiqn hebat, maka akibatnya pun tentu mengerikan. Mereka masih bingung dan serbasalah, tidak tahu harus berbuat apa. Membantu sana salah membantu sini tak benar. Maka mereka hanya memandang bengong dan jantung mereka serasa ber-henti berdetik.

"Koko, mana pedangku! Biar kauserahan Si Codet galak itu kepadaku!" kata Lulu yang agaknya tidak mengenal bahaya. Pedang itu tadi oleh Han Han ditancapkan di atas tanah ketika ia membantu Lulu dan merobohkan empat orang murid Hoa-san-pai. Kini Lulu menyambarpedang itu dan terus dimainkan sambil mengejek ke arah Kong Seng-cu.

"Hayo, Tosu Codet, beranikah engkau melawan pedang wasiat jimat keramat-ku?

"Kong Seng-cu yang sudah sejak tadi diejek dan dipermainkan Lulu, memuncak kemarahannya. Ia lupa diri, lupa bahwa adalah pantangan pertama dan terutama bagi seorang ahli tapa seperti dia untuk mudah dirangsang nafsu amarah. Dengan seruan keras ia telah mencabut pedang-nya dan menerjang Lulu. Sinar pedangnya yang gemilang kehijauan itu bagaikan kilat menyambar ke arah leher Lulu!

"Cring……iiihhhhh…..! Pedangmu bagus sekali, Tosu Codet! Wah, kauberikan saja pedangmu itu padaku dan aku serta kokoku akan mengampunimu. Hayo, serah-kan pedangmu sebagai pengganti nyawa-mu!”

Lulu berteriak kaget dan mandang pedangnya yang tinggal sepotong. Ketika menangkis tadi, pedang rampasannya bertemu dengan pedang Kong Seng-cu yang bersinar kehijauan, dan sekali beradu pedang rampasannya buntung. Maka ia menjadi tertarik sekali dan wajah serta matanya berseri memandang pedang kehijauan yang dipegang Kong Seng-cu.

Dapat dibayangkan betapa marah dan mendongkol hati Kong Seng-cu mendengar ucapan gadis itu. Sudah terang bahwa sekali serang saja, biarpun gadis itu berhasil menangkisnya, namun pedang gadis itu menjadi buntung sehingga hal ini dapat dipakai ukuran bahwa dia sudah menang dalam satu gebrakan. Namun gadis itu masih mengeluarkan ucapan untuk menukar pedangnya dengan nyawa. Seolah-olah gadis itu baru mau mengampuninya kalau dia sudah memberi "thiap" (sogokan) kepada gadis Mancu itu berupa pedangnya! Padahal pedangnya itu bukanlah sembarang pedang! ltulah pedang Cheng-kong-kiam (Pedang Sinar Hijau), sebuah pusaka Hoa-san-pai! Cheng-kong-kiam ini dahulu amat terkenal didunia kang-ouw sebagai senjata ampuh dari para pimpinan Hoa-san-pai dan kini berada di tangan Kong Seng-cu karena dia merupakan seorang diantara pemimpin Hoa-san-pai dan di antara ketiga orang tosu itu, dialah yang paling pandai dalam kiam-sut (ilmu pedang) Hoa-san-pai. Dan sekarang, pedang itu diminta oleh Lulu sebagai barang "sogokan". Sung-guh keterlaluan sekali!

"Perempuan Mancu keparat, engkau tak patut dibiarkan hidup!" Kong Seng-cu yang sudah memuncak kemarahannya itu kini menerjang maju dengan ganas, mengeluarkan jurus-jurus maut dari Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-sut.

"Ayaaaaa……, Tosu Codet selain galak juga ganas sekali !" Mulut Lulu berkata demikian, akan tetapi sesungguhnya dia tidak berpura-pura dan menjadi kaget sekali. Kasihan dara remaja ini. Biarpun dia telah mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dan aneh dari Pulau Es, akan tetapi dia kurang pengalaman dan selamanya dia hanya berlatih dalam pertandingan pura-pura melawan biruang es. Kini dia diserang oleh seorang tosu Hoa-san-pai tingkat empat yang memegang sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai pula, yang sudah menjadi ahli pedang sebelum dia terlahir. Tentu saja dia terkejut dan kewalahan. Baiknya, selama di Pulau Es, gadis ini telah berlatih secara aneh dan hebat sehingga dia memiliki sinkang dan ginkang yang tidak lumrah manusia biasa sehingga biarpun terdesak ia, selalu dapat bergerak cepat, menghindar diri dengan meloncat ke sana kemari, mengelak terus karena tidak berani menangkis dengan pedangnya yang tinggi sepotong.

"Sing-sing-sing……siuuuuutttt……aihhh...…" Untuk ke sekian kalinya,. hampir saja ujung pedang bersinar hijau itu mencium kulit leher Lulu yang putih halus sehingga gadis itu membelalakkan matanya dan untung ia masih dapat cepat sekali menarik tubuh ke belakang lalu meloncat keatas dan berjungkir-balik empat meter disebelah belakangnya. Namun Kong Seng-cu yang sudah marah dan penasaran itu menerjang terus tanpa mengenal kasihan.

Kong Seng-cu tidak malu menyerang dengan pedangnya karena tadi Lulu juga memegang pedang, bahkan biarpun sekarang pedang gadis itu tinggal sepotong, namun masih terus dipegangnya sehingga gadis itu dapat dikatakan "bersenjata" dan dia tidak akan disebut menyerang seorang yang bertangan kosong dengan senjatanya. Berbeda dengan Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu. Mereka berdua setelah menyaksikan betapa Kong Seng-cu sudah turun tangan terhadap gadis Mancu yang telah merobohkan para anak buah Pek-eng-piauwkiok, lalu melangkah maju menghampiri Han Han pula. Mereka berdua maklum bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang hebat juga, maka mereka pun tidak malu-malu untuk turun tangan berdua, sungguhpun mereka masih merasa sungkan menggunakan senjata. Mereka percaya bahwa andaikata seorang diri masih diragukan untuk dapat menundukkan pemuda liar itu, berdua tentu akan dapat menawannya untuk diseret kedepan ketua Hoa-san-pai. Dengan demi-kian, barulah nama besar dan wibawa Hoa-san-pai tidak akan tercemar karena tewas dan robohnya beberapa orang anak murid Hoa-san-pai di tangan bocah ini.

"Pemuda iblis, menyerahlah!" Lok Seng-cu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah pundak Han Han .

Pemuda ini sudah menjadi marah,apalagi melihat betapa Lulu diserang dengan pedang oleh Kong Seng-cu. Kini menghadapi cengkeraman tangan Lok Seng-cu, ia sama sekali tidak mengelak, bahkan menggerakkan tangan pula me-angkis sambil mengerahkan tenaga dengan lengan kiri.

“Plakkkkk ……..!"

"Ayaaaaa……...!" Tubuh Lok Seng-cu terpelanting dan hampir saja tosu ini roboh kalau saja dia tidak cepat meloncat ke atas dan berjungkir-balik, wajahnya pucat dan lengan kirinya agak membiru. Hawa dingin seperti es menusuk nusuk lengannya itu. Dia sudah mendengar akan kelihaian Ma-bin Lo-mo yang kabarnya memiliki ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Es) yang mengandung Im-kang yang amat kuat. Akan tetapi sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa murid datuk hitarn itu rnemiliki sinkang sekuat ini! Cepat Lok Seng-cu menghimpun tenaga dalarnnya dan segera rasa dingin rne-nusuk-nusuk itu lenyap kernbali.

Melihat sutenya hampir roboh dalam segebrakan, Bhok Seng-cu terkejut bukan main dan cepat ia pun menubruk maju dari sebelah kanan pemuda itu dan mengirim dorongan dengan telapak tangan-nya ke arah dada Han Han. Dorongan ini .bukan sembarang dorongan, melainkan pukulan sakti yang dilakukan dengan pengerahan sinkang yang kuat sekali. HanHan dapat merasai sambaran angin dahsyat yang panas, maka ia pun segera membuka tangan kanan dan memapaki telapak tangan kakek itu yang mendorong-nya.

"Plak……!" Dua telapak tangan yang mengandung hawa Yang-kang bertemudan melekat! Bhok Seng-cu kembali tertegun dan cepat-cepat mengerahkan sinkangnya untuk memperkuat Yang-kang yang mendorong keluar dari telapak tangannya. Pemuda ini menggunakan Yang-.kang yang amat panas! Hal ini benar-benar mengagetkan Bhok Seng-cu karena hawa panas yang menyambut telapak tangannya itu hampir tak tertahankan olehnya!

Melihat betapa suhengnya telah turun tangan akan tetapi belum mampu merobohkan pemuda itu, Lok Seng-cu menjadi penasaran dan ia pun menerjang maju dan kini ia memukul dengan mengerahkan hawa Im-kang. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi Hoa-san-pai, tiga orang tosu ini tentu saja telah kuat sekali sinkangnya sehingga mereka pun menguasai tenaga Yang-kang maupun Im-kang. Lok Seng-cu yang sudah merasai betapa pemuda itu tadi menerima ceng-keramannya dengan tangkisan yang mengandung hawa sakti dingin, kini me-nyerang pula dengan Im-kang karena ia maklum pula melihat jurus yang dipergunakan suhengnya bahwa Bhok Seng-cu menyerang pemuda itu dengan Yang-kang dan bahwa pemuda itu menyambut dorongan suhengnya dengan hawa sakti panas pula. Kesempatan bagus pikirnya.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tangan kiri pemuda itu menerima telapak tangannya dengan sinkang yang berhawa dingin pula! Betapa mungkin ini? Dengan tangan kanannya pemuda itu melawan hawa panas Bhok Seng-cu dengan hawa panas pula, dan dengan tangan kirinya menghadapi Lok Seng-cu dengan sinkang yang berlawanan, yaitu dengan hawa dingin! Lok Seng-cu juga merasa betapa hawa dingin yang keluar dari telapak. tangan pemuda itu amat luar biasa dan hampir ia tidak kuat menahannya. Terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk melawan. Adapun Bhok Seng-cu yang sudah berkeringat dahinya karena hawa panas menjalari seluruh tubuhnya, juga mengerahkan tenaga dengan mata setengah dipejamkan untuk melawan sinkang pemuda itu yang benar-benar amat luarbiasa. Tiga orang ini, dengan telapak tangan beradu, hanya berdiri tak bergerak, telapak tangan mereka saling melekat.

Melihat ini, Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li menjadi bengong saking heran dan kagumnya. Han Han seorang diri mampu menahan pukulan-pukulan sakti kedua orang supek mereka! Mereka sudah menduga bahwa Han Han adalah seorang pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa, akan tetapi sungguh jauh melampaui batas dugaan mereka bahwa pemuda itu mampu menahan serangan hawasakti kedua orang kakek itu, dan bahkan Han Han masih dapat menengok dan memperhatikan keadaan Lulu yang terdesak hebat oleh pedang Kong Seng cu yang lihai. Dua orang muda ini menjadi makin gelisah dan bingung. Melihat anak buah Pek-eng-piauwkiok terluka semua termasuk Tan-piauwsu dan tiga orang sutenya sehingga ruangan itu penuh dengan mereka yang rebah dan merintih-rintih, kini melihat betapa Lulu terancam maut di ujung pedang Kong Seng-cu, dan melihat Han han juga bergulat dengan maut, mereka menjadi bingung tak tahu harus berbuat apa. Betapapun juga, Han Han dan Lulu jelas merupakan musuh atau lawan fihak Ho-san-pai, sehingga menurut patut, sebagai murid-murid Hoa-san-pai pula, mereka semestinya membantu para supek mereka. Kalau mereka yang memiliki ilmu silat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan tiga orang tosu itu, bahkan dalam hal ilmu silat mungkin mereka lebih lihai, pada saat itu turun tangan membantu, tentu Han Han dan lulu takkan dapat bertahan lebih lama lagi. Namun hati mereka tidak mengijin kan mereka turun tangan dan karena itu,mereka hanya memandang dengan muka pucat. Apalagi Sin Kiat yang jatuh cinta kepada lulu, menjadi bingung sekali hatinya ingin sekali membantu lulu membebaskan gadis itu dari desakan berbahaya pedang Kong Seng-cu, namun bagaimana mungkin ia melawan supeknya sendiri? Sementara itu, Han Han memandang ke arah adiknya dengan hati penuh kekhawatiran. Ia maklum bahwa menghadapi ilmu pedang tosu itu, adiknya takkan.mampu mempertahankan diri lebih lama lagi. Jangankan lulu, dia sendiri pun kalau harus bertanding mempergunakan atau mengandalkan ilmu silat, bukanlah tandingan tosu-tosu Hoa-san-pai ini. Han Han maklum bahwa menghadapi mereka,ia hanya dapat mengandalkan kekuatan sinkangnya, karena dalam hal ilmu silat, dia tidak lebih pandai daripada Lulu kalau tidak mau dikatakan bahkan lebih rendah lagi karena Lulu telah mempelajari ilmu silat dari kitab peninggalan pemilik Pulau Es. Untuk menolong adiknya, ia harus cepat menundukkan dua orang kakek ini.

"Aiiiggghhhhh…….!!" Seruan dahsyat ini keluar dari dada Han Han dan kedua orang tosu yang mempertahankan desakan sinkangnya menjadi kaget seperti disambar petir ketika tiba-tiba mereka merasakan perubahan pada kedua lengan pemuda itu. Bhok Seng-cu yang tadinya menghadapi hawa Yang-kang panas dari tangan Han Han, tiba-tiba merasa betapa telapak tangan pemuda itu berubah menjadi dingin sekali, terlalu dingin sehingga seluruh lengannya seperti ditusuk-tusuk jarum! Di lain fihak, Lok Seng-cu yang tadinya menghadapi Im-kang dingin, tiba-tiba merasa betapa tangan pemuda itu berubah menjadi panas luar biasa. Cepat kedua orang tosu itu pun mengubah sin-kang mereka untuk menyesuaikan diri,akan tetapi kembali Han Han menukar sinkangnya secara tiba-tiba. Dua orangtosu itu hampir tidak dapat percaya ke pada perasaan tangannya sendiri. Selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan hal seperti ini. Betapa mungkin mengubah-ubah sinkang secara mendadak seperti itu? Karena perubahan-perubahan ini, mereka menjadi kacau dan tak kuat bertahan lagi, sehingga ketika Han Han mengerahkan tenaga mendorong tubuh mereka mencelat ke belakang dan mereka roboh terbanting dengan napas megap-megap hampir putus karena dada mereka terluka oleh sinkang mereka yang.membalik secara tiba-tiba. Cepat mereka bersila dan memejamkan mata untuk menolong nyawa mereka yang terancam maut.

Han Han sudah meloncat ke dekat adiknya dan sekali kedua tangannya mendorong ke depan, Kong Seng-cu tak dapat bertahan. Tosu ini merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi dingin, seolah-olah darah di tubuhnya membeku. Ia menggigil dan tanpa dapat ia cegah lagi,pedang pusaka Cheng-kong-kiam terlepas dari tangannya yang menjadi kaku. Lulu cepat menyambar pedang itu dan ter-tawa tawa girang sekali, tidak mempedulikan lagi Kong Seng-cu yang sudah cepat duduk bersila, seperti kedua orang saudara seperguruannya, mengerahkan tenaga sakti untuk menolong nyawanya yang terancam maut.

Suasana menjadi sunyi, yang terdengar hanya rintihan beberapa orang anak buah Pek-eng-piauwkiok yang tak dapat menahan nyeri. Namun, tak seorang pun tewas dalam pertempuran aneh yang hanya memakan waktu sebentar saja itu. Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li terlampau terheran-heran sehingga mereka itu masih bengong. Han Han menggandeng tangan Lulu yang masih mengagumi pedang rampasannya, kemudian Han Han menoleh kepada dua orang murid Im-yang Seng-cu sambiJ berkata.

"Sin Kiat dan Adik Soan Li, selamat tinggal. Kami berdua harus pergi sekarang juga."

Lulu juga menoleh kepada dua orang muda itu, tersenyum manis dan mengedipkan matanya yang lebar kepada Sin Kiat sambil berkata, "Selamat berpisahdan sampai jumpa pula, ya?"

Hati Sin Kiat terasa sakit dan ia bersedih harus berpisah dari gadis yang telah merampas hatinya itu, akan tetapi pada saat seperti itu dia tidak dapat berkata apa-apa, apalagi menahannya, bahkan ia maklum. bahwa paling baik kedua orang itu cepat pergi dari tempat itu. Juga Soan Li hanya dapat memandang punggung Han Han yang bidang sampai bayangan kedua orang itu lenyap dari situ, keluar dari piauwkiok melalui pintu gerbang yang sudah tidak terjaga lagi.

Sin Kiat memandang ke arah tiga orang supeknya yang masih duduk bersila dengan wajah pucat akan tetapi napas mereka tidak begitu sesak lagi, kemudian memandang kepada para suhengnya yang terluka. Hatinya berduka sekali. la segera menghampiri Bhok Seng-cu dan berkata dengan suara terharu.

“Supek, sungguh teecu merasa menyesal sekali telah terjadi malapetaka ini.”

" Teecu mohon maaf tidak dapat membantu Supek," kata pula Soan Li:

" Dia terlalu hebat, seperti dewa……..andaikata teecu berdua melawan pun tidak akan ada gunanya….." kata pula Sin Kiat, masih kagum bukan main menyaksikan sepak terjang Han Han tadi.

Bhok Seng-cu membuka matanya memandang kepada Sin Kiat dan Soan Li .Dua orang muda ini terkejut dan otomatis melangkah mundur melihat betapa sinar mata Bhok Seng-cu penuh dengan api kemarahan.

"Manusia-manusia khianat! Murid-murid murtad! Pergilah! Mulai detik ini kalian bukanlah murid, melainkan musuh Hoa-san-pai" .

"Supek……"

"Pinto bukan Supek kalian, keparat!, pergi !!" bentak pula Bhok Seng-cu.

Sin Kiat dan Soan Li saling pandang Di mata gadis itu tampak dua butir air

mata yang ditahannya agar tidak runtuh Sin Kiat menghela napas panjang, bangkit berdiri karena tadi mereka berlutut, lalu berkata lirih kepada Soan lie

"Marilah kita pergi, Sumoi. Kelak Suhu tentu akan dapat mengerti keadaan kita……." Soan li juga bangkit berdiri dan pergilah kedua orang muda itu meninggalkan rumah piauw.kiok itu pergi dengan hati perih karena sebagai tokoh-tokohmuda Hoa-san-pai yang sudah membuat nama besar dan mengharumkan nama Hoa-san-pai, kini mereka diusir pergi dan tidak diaku sebagai murid. Padahal julukan mereka pun memakai nama Hoa-san



*

**



Siauw-lim-pai merupakan perkumpulan atau partai silat yang bukan saja paling tua. Banyak orang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai merupakan sumber dari semua partai persilatan yang kemudian timbul, dan sudah tentu saja ilmu silat yang keluar itu bercampur baur dengan gerakan-gerakan dari lain golongan dan suku bangsa sehingga ratusan tahun kemudian, ilmu silat dari partai lain sudah tak dapat dibedakan lagi dengan sumbernya. Tentu saja amat berbeda dalam lagak ragam dan kembangannya saja karena kalau dilihat lebih mendalam pada dasarnya memang tiada perbedaan dalam ilmu silat yang hanya terdiri dari dua pokok, yaitu menjaga diri serapat mungkin dan menyerang lawan setepat mungkin.Semenjak pertama kali didirikan olehtokoh besar dalam dunia persilatan maupun Agama Buddha, yaitu Tat Mo Couw-su, Siauw-lim-pai selalu berada di bawah bimbingan para hwesio sehingga di mana-mana didirikan kuil Siauw-lim atau Siauw-lim-si. Sesuai dengan alam fikiran manusia yang selalu berubah ubah, di dalam Siauw-lim-pai sering kali terjadi perubahan yang tentu saja ditentukan oleh pimpinan setempat dan terdorong oleh keadaan pula. Perubahan peraturan yang kadang-kadang amat menyolok. Pernah terdapat peraturan dalam kuil Siauw-lim-si yang mengeJuarkan pantangan bagi seluruh murid untuk berdekatan dengan wanita! Bahkan ada larangan keras bagi tamu-tamu wanita yang datang bersembahyang ke kuil untuk melangkah melewati pintu tengah yang sudah dijadikan garis demarkasi! Mungkin peraturan ini dikeiuarkan untuk memperkuat batin para murid yang sedang digembleng agar jangan sampai ternoda oleh nafsu berahi karena sesungguhnya, terutama bagi mereka yang sedang melatih sinkang, hubungan dengan wanita merupakan pantangan dan penghalang besar sekali bagi penghimpunan tenaga murni.

Akan tetapi, peraturan yang kelihatan seolah-olah "anti wanita" ini pun tidak dapat dipertahankan dan kembali terjadi perubahan di mana para tokoh Siauw-lim-pai ada yang mulai menerima murid-murid wanita. Hal ini terutama sekali terjadi atas kesadaran para tokoh Siauw-lim-pai bahwa dalam keadaan negara kacau, fihak wanitaiah yang sering kali mengalami penghinaan dan kekejian-kekejian karena fihak wanita termasuk golongan lemah. Maka,dalam keadaan negara kacau dan kejahatan merajalela, perlu sekali wanita diharuskan menjadi nikouw (pendeta),sekarang murid murid itu, baik pria maupun wanita tidak diharuskan mencukur rambut menjadi pendeta, akan tetapi tentu saja mereka ini sekaligus menjadi pula murid murid agama Budha. Hal ini adalah penyebarluasan agama mereka melalui perguruan silat.

Demikianlah, peraturan bebas kewajiban menjadi pendeta ini sudah berjalan seratus tahun lebih, jauh sebelum bangsa Mancu menyerbu pedalaman dan menjajah dengan mendirikan Kerajaan Ceng sehingga di dalam Siaw-lim-pai terdapat tokoh-tokoh bukan pendeta seperti Kang-lam Sang-eng, dan bahkan tujuh orang

tokoh Siauw-lim-pai sendiri, murid-murid langsung dari ketua Siauw-lim-pai, yaitu

Siauw-lim Chit-kiam, terdiri dari hanya dua orang hwesio dan lima orang bukan

hwesio. Pada masa itu, anak murid Si-auw-lim-pai tersebar luas di kalangan

rakyat jelata, ada yang menjadi petani,nelayan, piauwsu, kauwsu (guru silat)

dan banyak pula yang menjadi pendekar-pendekar perantau.

Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah guru Siauw-limChit-kiam berjuJuk Ceng San Hwesio. Hwesio ini usianya kurang lebih delapan puluh tahun, bertubuh tegap agak kurus,berwajah keren dan penuh wibawa. Seperi halnya Hoa-san-pai dan banyak perkumpulan silat lainnya, diam-diam Siauw-lim-pai juga menentang bangsa Mancu yang datang menjajah. Sunguhpun tidak secara terang-terangan, namun banyak para pendekar Siauw-lim-pai membantu perjuangan para patriot yang berusaha menentang dan mengusir penjajah yang.makin lama makin kuat itu. Apalagi karena Ceng San Hwesio sendiri adalah seorang yang anti penjajahan, sehingga sejak penjajahan Mancu, lenyaplah sebagian besar kesabarannya sebagai seorang hwesio dan semangat patriotnya timbul, mengeraskan hatinya dan mengeraskan wajahnya. Di dalam setiap per-temuan dengan murid-muridnya, dia selalu memberi wejangan agar para anak murid Siauw-lim-pai melakukan segala usaha untuk menentang bangsa Mancu kalau perlu dengan taruhan nyawa.

Sebagai ketua Siauw-lim-pai, tentu saja Ceng San Hwesio memiliki ilmu

kepandaian yang hebat sekali. Dia seorang ahli lweekeh yang sudah matang

sehingga benda apa pun juga yang beradadi tangannya dapat menjadi senjata yang ampuh. Akan tetapi Ceng San Hwesio tidak pernah mempergunakan senjata, tidak mau mempergunakan tongkat hwesio sebagai senjata seperti kebiasaan para ketua lainnya, melainkan lebih suka mengandalkan tasbih putih yang terbuat dari pada biji jagung jali yang besar-besar.

Seperti telah dlsinggung; di bagian de beberapa kali telah terjadi bentrokan-bentrokan antara anak murid Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Akan tetapibentrokan-bentrokan ini hanya terjadi karena urusan pribadi dan berkat kebijaksanaan para pimpinan kedua fihak, bentrokan antara kedua partai yang sama-sama menjadi pembantu-pembantu para pejuang itu dapat diredakan, bahkan diantara para pimpinan telah menghukum murid masing-masing dan saling minta maaf sehingga urusan dianggap telah selesai.

Ceng San Hwesio yang memegang keras peraturan, berdisiplin terhadapmurid-muridnya, selain memberi hukuman kepada murid-murid yang menimbulkan.bentrokan juga mengeluarkan ancaman bahwa siapa yang membuat gara-gara keributan dan menimbulkan bentrokan baru dengan fihak Hoa-san-pai, akan dihukum berat.

Akan tetapi, beberapa hari kemudian ketika hwesio penjaga pintu membuka pintu gerbang Siauw-lim-si dan siap untuk menyapu pekarangan, dia melihat tubuh tiga orang menggeletak di depan pintu. Ketika diperiksa, hwesio ini kaget sekali mendapat kenyataan bahwa mereka adalah murid-rraurid Siauw-lim-pai yang membuka toko obat di kota Seng-kwan. Segera ia berseru minta tolong dan beberapa orang hwesio mengangkat tiga batang tubuh itu ke dalam. Dua di antaranya sudah tewas, sedangkan seorang diantara mereka masih hidup akan tetapi sudah empis-empis napasnya dan keadaannya payah sekali.

Kebetulan sekali pada waktu itu, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam

berada di kuil itu. Mereka ini adalah Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam. Ketika mendengar ribut-ribut, dua

orang pendekar pedang Siauw-jim yang sedang menghadap suhu mereka, segera keluar untuk melihat mewakili Ceng San Hwesio. Mereka berdua kaget seka!i dan cepat memeriksa. Tiga orang anak muridSiauw-lim-pai itu terluka oleh pedang yang menggorok leher mereka. Yang dua orang hampir putus lehernya dan telah mati, sedangkan yang masih hidup terluka parah, tak dapat diharapkan lagi dapat tertolong.

Liong Ki Tek yang bersikap tenang, cepat menotok beberapa jalan darah dipundak clan punggung orang yang terluka hebat itu sehingga rasa nyeri tidaklah terlalu hebat lagi. Begitu rasa nyeri mereda, orang yang sekarat itu mengeluarkan suara yang tidak jelas, berbisik dan seperti mengorok tertahan di kerongkongannya. Akan tetapi Liong Ki Tekclan Liok Si Bhok sudah dapat mendenga rapa yang dimaksudkan anak murid yangsekarat itu.

"……..Hoa-san-pai…….Tee-kong-bio…..” Setelah mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas itu, anak murid Siauw-lim-pai itu pun menghembuskan napas terakhir menyusul kedua orang saudaranya yang tewas lebih dulu.

Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek lalu menghadap guru mereka untuk merundingkan peristiwa menyedihkan itu. Ceng San Hwesio yang biasanya bersikap tenang saat itu menjadi merah mukanya dan jelas sekali bahwa hwesio tua ini diserang nafsu kemarahan yang besar.

"Kalian pergilah, carilah mereka di Tee-kong-bio, akan tetapi jangan bunuh tangkap mereka dan seret ke sini. Pinceng menghendaki agar dia menjadi tawanan kita sehingga ada pimpinan Hoa-san-pai yang datang untuk mendengarkan kekejaman-kekejaman anak murid mereka. Sungguh keji sekali !"

Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek segera berangkat meninggalkan kuil Siauw lim-si untuk mencari Tee-kong-bio (Kuil Dewa Bumi) yang terletak di luar dusun Ciu-si-bun. Kuil ini sebenarnya hanyalah bekas kuil, karena sudah tidak dipakai lagi tidak dipergunakan sebagai kuil. Letaknya pun di luar kota, di pinggir jalan sebuah hutan dan karena tidak ada yang merawatnya, maka menjadi kotor dan rusak. Akan tetapi, perlengkapan kuil itu masih ada, seperti meja-meja sembahyang yang reyot, arca-arca dan ukiran-ukiran di dinding yang sudah berlumut.Tidak ada yang berani mengambil benda-benda di situ atau mengganggunya karena menurut desas-desus di dusun-dusun sekeliling tempat itu, Tee-kong-bio sekarang dihuni oleh mahluk-mahluk halus atau iblis-iblis sehingga tempat itu menjadi angker.

Karena keadaan kuil yang dianggap angker inilah maka ketika Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek keluar dari dusun Ciu-si-bun menuju ke kuil itu, keadaan disekeliling tempat itu sunyi seperti kuburan. Waktu itu sudah menjelang senja, dan sungguhpun cuaca belum gelap, namun tidak ada penduduk dusun yang berani berada di daerah angker ini. Kesunyian itu amat terasa oleh dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini dan mereka berjalan terus dengan tenang dan penuh kewaspadaan.

“.Liong-sute, aku masih ragu-ragu akan kebenaran ucapan murid yang sudah dalam sekarat itu. Mereka adalah pedagang pedagang obat di kota, bagaimanama mereka bisa menyebut nama Hoa-san-pai di Tee-kong-bio?"

"Entahlah, Liok-suheng. Aku sendiripun ragu-ragu. Akan tetapi, agaknya tidak sembarangan dia mengatakan itu tentu ada hubungannya. Aku yakin ter-dapat rahasia dalam peristiwa itu dan rahasianya terletak di kuil depan itu."

Liok Si Bhok yang sudah berusia enampuluh tahun lebih itu mengangguk-angguk. Dia merupakan tokoh ke enam dari Siauw-lim Chit-kiam, seorang yang bertubuh pendek gemuk namun tubuhnya itu dapat bergerak dengan gesit sekali, wajahnya bundar dan selalu kelihatan serius, namun mulutnya hampir tersenyum selalu menandakan bahwa dalam keseriusannya itu sebetulnya dia adalah seorang yang peramah. Adapun Liong Ki Tek, orang ketujuh atau yang termuda dari Siauw-lim Chit-kiam, usianya kurang lebih limapuluh lima tahun, berbeda dengan suheng ke enam itu, tubuhnya tinggi kurus sehingga tinggi suhengnya hanya sampai dipundaknya. Sikap orang termuda. Dari Tujuh Pedang Siauw-lim-pai ini amat tenang sehingga kelihatan lamban, akan tetapi biji matanya yang bergerak-gerak terus itu menandakan bahwa biarpun tenang ia sarna sekali tidak lamban melainkan terus waspada dan setiap urat syaraf di tubuhnya sudah siap.

Ketika kedua orang tokoh Siauw-lim-paj ini memasuki pekarangan kuil Tee-kong-bjo yang sunyi, tiba-tiba mereka mendengar kepak sayap burung. Dengan kaget mereka mengangkat muka memandang. Kiranya ada tiga ekor burung gagak terbang dari atas genteng kuil itu, agaknya terkejut oleh kedatangan mereka. Melihat ini, kedua orang itu saling pandang dan menjadi agak kecewa. Terbangnya tiga ekor burung itu dapat diartikan bahwa di kuil itu tidak ada orangnya tentu burung yang ketakutan melihat mereka datang itu tidak akan berani tinggal di situ.

Akan tetapi mereka melangkah maju terus, melewati pekarangan yang lebardan yang tertutup rumput agak tinggi itu, sampai di anak tangga yang cukup tinggi, ada dua puluh anak tangga banyaknya sehingga ruangan depan kuil itu tingginya hampir dua meter dari tanah dipekarangan. Biarpun mulut kedua orang kakek ini tidak mengeluarkan suara, namun keduanya seperti te!ah bersepakat dan melangkahlah mereka menaiki anak tangga dengan langkah ringan dan sikap tenang. Begitu mereka melangkahi anak tangga terakhir dan tiba di ruangan depan, terdengar suara bercicit keras daan keduanya siap untuk menghadapi serangan senjata rahasia ketika pandang mata mereka yang tajam dapat menangkap meluncurnya dua buah Benda hitam dari sebelah dalam kuil. Akan tetapi sebelum benda itu menyerang mereka, benda benda itu menyambar ke atas dan mengeluarkan bunyi bercicit, dan ternyata dua buah benda hitam itu adalah dua ekor kelelawar .besar!

Li-ok Si Bhok dan Liong Ki Tek saling pandang, tersenyum dan menghela napas panjang. Mereka tadi sudah merasa agak tegang, dan kini ternyata mereka kecelik. Bahkan keluarnya dua ekor kelelawar dari sebelah dalam kuil ini lebih meyakinkan dugaan mereka bahwa kuil itu kosong karena kalau memang ada orang-nya, tentu dua ekor kelelawar itu sudah sejak tadi terbang pergi, tidak menanti kedatangan mereka yang mengejutkan binatang itu.

"Aht Chit-te (Adik ke Tujuh), tempatini tidak ada orangnya…….." kata Liok Si Bhok, kecewa.

"Sebaiknya kita menyelidiki keadaan di dalam Liok-heng (Kakak ke Enam)," jawab Liong Ki Tek. Karena hubungan diantara Siauw-lim Chit-kiam amat erat sehingga mereka itu bukan hanya merupakan kakak beradik seperguruan melainkan merasa seperti kakak beradik sekandung kadan-kadang mereka menyebut kakak dan adik.

Mereka maju terus akan tetapi karena hati mereka merasa makin yakin bahwa kuil itu kosong,mereka tidaklah menjadi tegang lagi, bahkan ada sebagian atapnya yang runtuh. Arca-arca yang tidak terawat di situ bahkan kelihatan makin menyeramkan. Mereka melangkah maju terus, meneliti setiap ruangan yang mereka lalui. Tiba-tiba keduanya menghentikan langkah karena pada saat yang sama kedua orang gagah perkasa ini mencium bau yang amat harum. Bau minyak harum yang biasa dipakai wanita! Mereka mengerutkan kening. Seperti para suheng mereka, baik yang menjadi hwesio seperti Lui Kong Hwesio dan Lui Pek Hwesio orang ke dua dan ke lima dari Siauw-lim Chit-kiam, kedua orang ini. Pun merupakan murid-murid angkatan lama sehingga mereka pemah mengalami pelajaran pantangan mendekati wanita. Bahkan mereka itu, seperti suheng-suheng mereka, tidak pernah kawin. Maka, begitu mencium bau harum minyak wangi yang menandakan bahwa di situ ada wanitanya, mereka mengerutkan kening. Bukan hanya karena mereka segan berurusan dengan wanita, melainkan juga mereka terkejut menghadapi kenyataan ini. Kalau di situ ada orangnya, apalagi wanita, hal ini berarti bahwa wanita atau siapa adanya orang yang memaka iwangi-wangian itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Sedemikian halus dan ringan tentu gerakan-gerakannya sehingga kelelawar dan burung gagak yang berada di kuil itu sampai tidak tahu dan tidak menjadi kaget.

" Sahabat-sahabat Hoa-san-pai, silakan keluar. Kami dua orang utusan Siauw-lim-pai ingin bertemu dan bicara!” Liok Si Bhok berseru sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya bergema diseluruh kuil, bahkan menggetarkan sarang laba-laba yang banyak terdapat di sudut-sudut ruangan itu. Mereka berdiri ditengah-tengah sebuah ruangan lebar dimana terdapat empat buah pintu, menjurus ke empat penjuru. Daun-daun pintunya tertutup, hanya sebuah yang menuju keluar terbuka karena mereka yang membukanya tadi ketika masuk dari luar. Hati mereka makin yakin bahwa kuil ini ada penghuninya ketika melihat bahwa berbeda dengan ruangan-ruangan lain dibagian depan, ruangan yang paling lebar dan berada di bagian belakang kuil ini lantainya bersih seolaholah sering disapu

Gema suara Liok Si Bhok mengaung menyeramkan, kemudian sunyi kembali. Selagi dua orang tokoh Siauw-lim-pai jtu meragu apakah benar-benar adapenghunjnya kuil itu, terdengar suara tertawa merdu, suara ketawa wanita yang halus dan bernada genit, seperti suara ketawa kuntilanak yang menyeramkan. Biarpun dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu merupakan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan tidak pernah mengenal takut, namun suasana di kuil itu dan suara ketawa ini membuat bulu tengkuk mereka meremang. Namun mereka dapa segera menindas perasaan ngeri ini dan

Liong Ki Tek lalu membentak.

"Manusia atau siluman, kami orang keenam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam tidak merasa takut!"

"Hi-hi-hi-hik, Liok Sj Bhok dan Ljong Ki Tek mengantar kematiannya, masih bermulut besar!"

Perlahan-lahan tiga buah daun pintu terbuka dari luar dan masuklah tiga orang dari tiga buah pintu itu. Dari pintu belakang masuk seorang wanita yang usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih, akan tetapi masih kelihatan cantik sekali, berpakaian mewah dan bersikap genit, terutama sekali matanya yang penuh dengan sinar rafsu berahi. Akan tetapi yang. amat mengerikan adalah kedua buah tangannya. Tangan yang kecil berjari runcing halus bagus sekali, hanya warnanya merah seolah-olah kedua tangan itu berlumur darah!

Dari pintu kiri muncul seorang kakek yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam seperti dipulas arang, usianya mendekati enam puluh tahun namun masih jelas tampak bahwa dia kuat sekali dan bertenaga besar. Kesombongan bersinar dari sepasang matanya yang bulat dan lebar. Adapun dari pintu kanan muncul seorang kakek yang usianya sebaya akan tetapi dalam segala hal merupakan lawan merupakan lawan kakek muka hitam karena kakek ini tubuhnya pendek kecil mukanya putih seperti dibedaki, keliahatannya lemah tak bertenaga dan pandang matanya seperti orang mengatuk, matanya sipit.

Liok Si Bhok dan Liok Ki Tek adalah orang-orang yang sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, bahkan sudah mengenal tokoh-tokoh besar. Maka begitu melihat tiga, orang ini, jantung mereka berdebar keras karena mereka mengenal mereka itu sebagai tokoh-tokoh sakti dari golongan sesat! Wanita cantik genit itu bukan lain adalah Ma Su Nio yang terkenal dengan julukan Hiat-ciang Sian-Ii (Dewi Bertangan Darah), seorang tokoh sakti yang cabul genit dan kejamnya seperti iblis betina! Adapun kakek bermuka hitam yang tinggi besar itu adalah Hek-giam-ong (Raja Maut Hitam), se-dangkan kakek bermuka putih adalah Pek-giam-ong (Raja Maut Putih). Mereka berdua adalah kakak beradik.dan terkenaldengan sebutan Hek-pek Giam-ong yang selalu muncul berdua dan setiap kali turun tangan tentu berdua sehingga merupakan lawan yang amat tangguh. Tiga orang ini adalah murid-murid dan juga pembantu-pembantu Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, seorang di antara datuk-datuk golongan hitam atau kaum sesat!

Akan tetapi, dari tiga orang yang muncul ini tidak ada tercium bau harum tadi. Memang Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio ada juga membawa bau wangi, akan tetapi berbeda dengan keharuman tadi, bahkan di antara bau wangi, yang datang dari tubuh Dewi Tangan Darah ini tercium bau amis darah! Adapun Hek-pek Giam-ong sama sekali tidak membawa bau harum, kalau ada membawa bau, paling-paling juga bau apek karena pakaian berkeringat yang tak pernah dicuci.

Setelah kini semua pintu yang menembus ruangan itu terbuka, bau harum itu makin keras dan ternyata datangnya dari atas. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek cepat memandang ke atas dan……jauh di atas balok melintang tampak duduk dua orang muda, seorang gadis cantik dan yang seorang lagi pemuda yang tampan. Gadis itu cantik sekali, tubuhnya ramping padat hidungnya mancung dagunya runcing dan sepasang mataya seperti mata burung hong jantan. Rambutnya yang hitam panjang itu hanya diikat dengan sutera di belakang tengkuk, dibiarkan melambai ke punggung. Kepalanya ditutup atau lebih pantas dihias sebuah topi buIu putih yang kecil, dengan sebatang buIu burung menjadi penghias.Kedua telinganya digantungi sepasang anting-anting emas dan kedua lengannya bergelang emas pula. Gadis yang usianya sukar ditaksir, kurang lebih dua puluhtahun ini, tersenyum-senyum dan agaknya bau wangi yang sedap harum itu keluar dari tubuh dan pakaiannya. Di sebelah kirinya duduk pula di atas balok itu,seperti si gadis, dengan kedua kaki ongkang-ongkang, seorang pemuda tampan dan gagah, Usianya sebaya dengan gadis itu. Pemuda ini tubuhnya tinggi tegap wajahnya ganteng dan pakaiannya amat indah, dari sutera disulam menyaingi keindahan pakaian gadis itu. Wajahnya yang ganteng itu terawat baik, berklulit putih halus dan rambut nya pun tersisir rapi dan halus kelimis. Sayang bahwa wajah yang tampan itu memiliki hidung yang agak besar terlalu besar dan melengkung, dengan sepasang mata yang mengandung sinar tajam, bengis dan kejam.

Dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main. Mereka tidak mengenal dua orang muda itu, akan tetapi kenyataan bahwa mereka itu dapat ber-ada di situ sejak tadi tanpa mereka ketahui bahkan tanpa diketahui kelelawar dan burung yang hanya terbang setelah mereka berdua datang, membuktikan bahwa dua orang muda itu bukanlah orang sembarangan. Akan tetapi karena tidak tahu siapa adanya kedua orang muda itu, dan tidak tahu pula apa hubungannya mereka dengan tiga orang murid Kang-thouw-kwi ini, dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu hanya menggunakan seluruh perhatian untuk menghadapi Hek-pek Giam-ong dan Hiat-ciang Sian-Ii.

” Hemmm, kirananya Hiat-cian Sian-Ii dan Hek-pek Giam-ong yang berada didalam kuil ini. Sungguh tidak kami sangka. Akan tetapi karena ternyata Sam wi (Tuan Bertiga) yang berada di sini,kiranya Sam-wi dapat memberi keterangan kepada kami tentang tiga orang anak murid Siauw-lim-pai yang terluka parah ……”

Tiga orang murid Setan Botak itu kelihatan terkejut clan mereka memandang ke atas dengan sikap tenang.

" Kongcu (Tuan Muda), bagaimana mereka ini bisa tahu...?" kata Hiat-ciang Sian-lie

"Hemmm, agaknya Suheng bekerja kurang sempurna sehingga di antara mereka ada yang belum mampus dan membuka rahasia……" pemuda tampan itu mencela.

Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek adalah tokoh-tokoh yang sudah banyak pengalaman. Begitu mendengar percakapan ini, mengertilah mereka akan duduk perkara. Kiranya murid-murid Setan Botak yangmemang menjadi kaki tangan pemerintah penjajah Mancu yang telah membunuh tiga orang murid Siauw-lim-pai dan agaknya mereka itu menyamar sebagai orang-orang Hoa-san-pai untuk menjalankan siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai! Hanya mereka merasa heran mendengar betapa pemuda itu menyebut suheng kepada murid-murid Setan Botak yang menjadi tanda bahwa pemuda itu murid Setan Botak pula, akan tetapi mengapa Hek-pek Giam-ong dan juga Hiat-ciang Sian-Ii menyebutnya kongcu? Siapakah pemuda itu yang melihat sikapnya dan mendengar ucapannya seolah-olah yang menjadi pemimpin di antara mereka?

"Bagus sekali!" Liong Ki Tek sudah membentak marah, "Kiranya kalian ini orang-orang sesat yang membunuh anak murid kami kemudian menyamar sebagai orang Hoa-san-pai untuk mengadu domba!" Sambil membentak demikian, Liong Ki Tek sudah mencabut pedangnya, berbareng dengan suhengnya.

.Tiba-tiba terdengar suara merdu dan halus, akan tetapi lidahnya asing sehing ga bahasa yang diucapkannya terdengar lucu, "Lebih baik lagi begini! Sudah kukatan bahwa memancing ikan besar harus menggunakan umpan besar pula! Tiga orang itu hanya merupakan ikan teri,kurang besar untuk dijadikan umpan. Kalau kita menggunakan yang besar ini sebagai umpan, pasti berhasil. Siauw-lim-pai sukar dipancing, hendak kulihat nanti kalau mereka melihat mayat dua orang ini. Ouwyang-twako, jangan khawatir,rencana kita sekali ini pasti berhasil. Eh,kalian bertiga tidak lekas turun tangan, hendak menunggu apa lagi?"

Berbareng dengan teriakan-teriakan mereka, tiga orang murid Setan Botak itu maju menyerbu. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek memutar pedang melindungi diri, dan di dalam hati mereka timbul pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka menjadi heran terhadap gadis itu.Jelas bagi mereka bahwa gadis itu adalah seorang gadis Mancu yang agaknya malah lebih berpengaruh dari pada si pemuda she Ouwyang itu, terbukti dari ucapannya yang nadanya seperti orang bicara kepada bawahannya!

Akan tetapi, dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini tidak dapat memecah perhatian mereka karena tiga orang lawan mereka sudah mengirim pukulan-pukulan maut yang amat berbahaya. Mereka itu adalah murid-murid pilihan dari Kang-thouw-kwi Gak Liat. yang terkenal sebagai seorang ahli Yang..kang. Tidak mengherankan apabila kedua orang kakek Hek-pek Giam-ong itu amat lihai, karena keduanya mempunyai ilmu pukulan berdasarkan Yang-kang disebut Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) dan setiap kali mereka mengirim pukulan, tangan mereka didahului menyambarnya hawa yang amat panas melebihi panasnya api! Mereka berdua inilah yang telah membunuh tiga orang anak murid Siauw-lim-pai dan karena mereka itu hendak menimbulkan kesan seolah-olah orang-orang Hoa-san-pai yang biasa menggunakan pedang, mereka tidak menggunakan pukuIan Toat-beng Hwi-ciang mereka ketika membunuh tiga orang anak murid Siauw-lim-pai itu, melainkan dengan sebatang pedang. Akan tetapi, andaikata mereka itu memegang pedang sebagai. manapun juga.

Akan tetapi, lebih hebat lagi daripada dua orang Raja Maut itu adalah serangan yang keluar dari sepasang tangan merahMa Su Nio. Hawa pukulan wanita. Ini juga mengandung panas yang hebat, namun di samping hawa panas ini juga membawa bau amis dan mengeluarkan suara bercicitan sangat tinggi menggetarkan jantung. Sesuai dengan julukannya, kedua tangan wanita ini memiliki pukulan-pukulan beracun yang amat hebat karena yang teracun oleh pukulan ini adalah darah lawan yang langsung akan membunuh lawan dari dalam!

Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek maklum akan kelihaian tiga orang lawan mereka. Biarpun lawan mereka itu bertangan kosong, namun sesungguhnya gerak pukulan mereka lebih berbahaya dari pada datangnya luncuran anak panah beracun. Mereka memutar pedang melindungi tubuh, namun karena terus menerus diserang secara bertubi tubi, pedang mereka itu hanya dapat dipergunakan untuk pertahanan, sama sekali mereka tidak mendapat kesempatan untuk menggerakkan pedang membalas. Karena ini, mereka segera mengeluarkan suara keras dan itulah suara sebagai tanda bagi Siauw-lim Chit-kiam untuk mengeluarkan ilmu yang mereka andalkan, ilmu pedang yang amat ampuh yang khusus diajarkan oleh ketua Siauw-lim-pai kepada tujuh orang tokoh Siauw-lim itu, yaitu Chit-seng-sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bihtang). Begitu kedua orang ini mainkan Chit-seng-sin-kiam dengan pedang .mereka, tiga orang lawan mereka berseru kaget dan meloncat mundur.

Ilmu pedang Chit-seng-sin-kiam ini memang hebat luar biasa, diciptakan oleh ketua Siauw-lim-pai dengan bantuan suhunya yang masih hidup dan sudah berusia tua sekali. Bukan sembarangan ilmu pedang, melainkan ilmu pedang yang digerakkan dengan sinkang yang kuat sehingga sinar pedangnya menjadi bergulung-gulung panjang dan dapat melukai lawan dari jarak jauh. Apalagi kalau dimainkan oleh ketujuh orang Siauw-lim Chit-kiam, keampuhannya menggila sehingga pernah Siauw-lim Chit-kiam ini dapat menandingi Setan Botak yang terkenaI sebagai seorang di antara datuk-datuk hitam yang sakti. Sungguhpun akhirnya Siauw-lim Chit-kiam terdesak, namun tidaklah mudah bagi datuk hitam itu untuk mencapai kemenangan. Kini,dimainkan oleh orang ke enam dan ketujuh dari tujuh pendekar pedang Siauw-lim itu, sudah cukup hebat sehingga membuat ketiga orang murid Setan Botak terdesak mundur, gentar menghadapi sinar pedang yang berkilauan dan mengandung hawa yang dingin namun berbahaya itu.

Dua gulungan sinar pedang itu kini bersatu, merupakan sinar kilat yang membentuk lingkaran-lingkaran aneh mengurung dan menindih tiga orang tokoh hitam yang terpaksa harus meloncat kesana kemari untuk menghindarkan diri dari sinar pedang yang berbahaya itu.

“Rebahlah!!” Bentakan ini keluar secara berbareng dari mulut Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek dan sinar pedang mereka tiba-tiba berpisah, terpecah dua dan secepat kilat membabat tangan Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong yang melakukan pukulan mendorong. Kedua orang kakek ini terkejut sekali, cepat menarik kembaJi tangan mereka, akan tetapi sinar pedang itu dari kanan kiri meluncur kearah dada mereka!

"Aihhhhh………!" Hek-giam-ong terpaksa mengerahkan tenaga di tangan kanannya,menangkis sinar itu sambi! Mengerahkan Toat-beng Hwi-ciang. la berhasil menangkis pedang itu, akan tetapi lengannya-tergores ujung pedang dan terluka sehingga mengeluarkan darah.

Pek-giam-ong yang tenaganya tidaksehebat Hek-giam-ong, tidak berani menangkis melainkan cepat membuang diri ke belakang, akan tetapi pundaknya tetap saja kena dlserempet pedang sehingga terluka.

"Hiaaaaattt……..!!" Ma Su Nio menggunakan kesempatan itu memukul dengan kedua tangannya yang merah ke arah lambung kedua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi dengan gerakan otomatis kedua orang pendekar pedang itu menyabetkan pedang mereka ke belakan sambil memutar tubuh.

"Ayaaaaa.…...!" Hiat-ciang Sian-Ii Ma Su Nio menjerit dan cepat ia menarik kembali kedua lengannya yang berbalik menjadi terancam. la dapat menyelamat kan kedua lengannya, akan tetapi tubuhnya terhuyung ke belakang dan saat itu dipergunakan oleh Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek untuk menerjang maju, mengirim tusukan maut ke arah tubuh wanita iblis yang amat lihai itu.

"Tranggg…….! Tranggggg……..!!”

Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek terkejut, sekali karena pedang mereka ter-pental dan hampir terlepas dari tangan mereka. Terutama sekali Liok Si Bhok yang merasa betapa pedangnya tergetar sehingga setelah tertangkis masih tergetar mengeluarkan suara mengaung, tanda betapa penangkisnya memiliki sinkang yang hebat sekali. Lebih kaget dan heran dia ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu hanyalah sebatang payung di tangan gadis Mancu yang tadi duduk di atas tiang balok melintang. Adapun yang menangkis pedang Liong Ki Tek adalah sebatang pedang bersinar kuning di tangan pemuda tampan tadi. .Kedua orang tokoh Siauw-lim-pai itu maklum bahwa mereka terancam bahaya. Dua orang muda itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sedangkan tiga orang murid Kang-thouw-kwi Gak Liat hanya terluka kecil saja. Bahkan Hiat-ciang Sian-Ii Ma Su Nio hanya mengalami kekagetan saja, belum terluka. Kalau mereka itu mau pula membantu tentu mereka berdua akan terancam bahaya maut. Akan tetapi, sebagai pendekar-pendekar besar, mereka tidak menjadi gentar, bahkan saling berdekatan,berdampingan sambil menyilangkan pedang mereka di depan dada. Liok Si Bhok dengan sikap dan suara tenang bertanya.

"Siapakah kalian orang-orang muda?"

Gadis Mancu yang cantik itu tersenyum, pandang matanya melebihi tajamnya pedang diangan pemuda itu dan lebih runcing daripada ujung payung ditangannya, namun senyumnya amat manis, membuka sepasang bibir yang indah bentuknya, memperlihatkan kemerahan rongga mulut di. balik deretan gigi seperti mutiara.

"Memang amat tidak enak mati dalam penasaran. Kalian berdua orang Siauw-lim-pai yang keras hati dan keras kepala sudah menghadapi kematian, agar tidak mati dalam penasaran baiklah kalian mengenal kami. Aku adalah Puteri Nirahai, puteri ke tujuh belas dari Kaisarl Adapun dia ini adalah Ouwyang Seng, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok, murid bungsu namun paling lihai dari Kang-thouw-kwi Gak Liat.”

"Kedua orang pendekar pedang itu terkejut. Biarpun mereka belum pernah mendengar nama kedua orang muda ini,namun melihat gerakan mereka dan tenaga sinkang mereka, tentu mereka ini merupakan lawan berat Apalagi kalo gadis ini benar benar seorang puteri kaisar, tentu di situ terdapat banyak pe-ngawal-pengawal istana yang setiap saat dapat datang mengeroyok mereka. Mereka tidak takut, akan tetapi ingin sekali mengetahui apa yang menyebabkan puteri ini melakukan semua perbuatan ini.

"Mengapa kalian membunuh tiga orang anak murid Siauw-lim-pai, melemparmayat mereka di depan kuil dan meng-gunakan nama Hoa-san-pai?" tanya pula Liok Si Bhok.

"Adik Nirahai, kita bunuh saja mereka!" Ouwyang Seng, pemuda tampan itu berkata sambil mengerutkan alisnya yang hitam tebal.

Akan tetapi gadis Mancu itu sambil tersenyum menggoyang tangan kirinya yang kecil dan berkulit halus. "Jangan membikin mereka mati penasaran, Ouw-yang-twako. Mereka toh pasti akan mati di tangan kita, mengapa tergesa-gesa? Biar mereka tahu lebih dulu akan duduknya persoalan, toh kita tidak usah khawatir kelak roh mereka. akan membuka rahasia kepada para pimpinan Siaw-lim-pai dan Hoa-san-pai."

Dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu bergidik. Gadis ini bicara dengan sikap dingin, tidak sombong akan tetapi mengandung wibawa yang mengerikan.

"Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dengarlah baik-baik. Tiga orang muridmu itu memang kami yang membunuhnya dan sengaja kami pergunakan untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan .Hoa-san-pai. Akan tetapi siapa nyana, kalian keras kepala dan tidak mau masuk perangkap, bahkan seorang muridmu yang belum mati membuka rahasia sehingga kalian dapat menemukan tempat ini. Sekarang kami hendak membunuhmu, dan akan kami atur agar para pimpinan Siauw-lim-pai menganggap bahwa kematianmu berada di tangan orang-orang Hoa-san-pai. Takkan dapat dicegah lagi, Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai akan bermusuhan, bertanding dan berbunuh bunuh-an sampai keadaan mereka menjadi lemah. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali!"

"Keji! Iblis betina yang keji!" Liong. Ki Tek memaki. “Kalau benar kalian ini puteri Kaisar, tentu mengerti akan peradaban, kebudayaan dan setidaknya mengenal prikemanusiaan! Akan tetapi engkau palsu dan keji, lebih patut menjadi puteri siluman!"

"Manusia biadab lancang mulut !” Ouw-yang Seng membentak dan hendak menyerang, akan tetapi kembali ia ditahan oleh Puteri Nirahai yang masih tetap tersenyum-senyum dan sedikit pun tidak kelihatan marah. Hal ini saja sudah mengagetkan hati kedua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Gadis masih begitu muda remaja sudah pandai menguasai perasaan tanda bahwa dia betul-betul memiliki..ilmu yang tinggi lahir batin!

"Orang-orang Siauw-lim-pai, pandanganmu amat picik. Aku melakukan semua itu semata-mata untuk kepentingan kerajaan Ayahku yang menjadi Kaisar, untuk kejayaan bangsaku, untuk kemenangan negaraku. Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai diam-diam menentang Kerajaan Ceng merupakan musuh-musuh dan karena kedua partai ini amat kuat dan berbahaya maka perlu sekali dibikin lemah. Siasat ini merupakan siasat perang, dan kulakukan dengan dasar berbakti kepada Ayah dan negara, kepada bangsa yang tercinta. Apakah bedanya dengan perbuatanmu menentang kerajaan kami? Kalian melakukan hal itu dengan dalih mengabdi bangsa, aku pun melakukan hal ini dengan dasar mengabdi bangsa, apa bedanya? Perbuatan kalian mungkin dianggap patriotik dan gagah perkasa oleh bangsa-mu dan kalian dianggap sebagai pahlawan oleh bangsamu. Akan tetapi aku pun dianggap seorang pahlawan wanita .oleh bangsaku! Antara kalian dan aku hanya ada satu perbedaan, yaitu perbedaan dalam penilaian. Kalian berjuang untuk kebaikan, aku pun demikian. Yang menjadi pertanyaan besar, apakah itu yang dikatakan kebaikan?"

“Akan tetapi, kami penjunjung kegagahan, kebenaran dan keadilan pantang untuk melakukan siasat-siasat busuk yang hina seperti yang kaulakukan!" kata pula liok Si Bhok setelah tercengang sejenak mendengar ucapan yang tidak pantas keluar dari mulut seorang gadis remaja berusia dua puluh tahun itu.

"Hi-hik , ucapanmu itu menandakan bahwa engkau bukanlah seorang ahli perang! Mengandalkan kejujuran dan welas asih dalam perang, mana mungkin dapat menang? Perang ialah mengadu siasat, makin keji makin baik, mengadu kekerasan dan kekejaman. Sudahlah, kini bersiaplah kalian untuk mati!

"Baru saja ucapan ini habis dikeluar kana tiba-tiba Liok Si Bhok melihat sinar .hitam yang lebar sekali mengembang didepannya dan gadis itu tiba-tiba lenyap, kemudian tahu-tahu ujung payung yang runcing telah meluncur secepat kilat menusuk dadanya! Kaget sekali pendekar ini, namun tidak percuma ia menjadi orang ke enam dari Siauw-lim Chit-kiam karena pedangnya sudah bergerak dengan pemutaran pergelangan tangannya, langsung menangkis ujung payung dar samping.

"Cringgggg !" Liok Si Bhok terpaksa meloncat ke belakang sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. Lengan kanannya seperti kesemutan, pedangnya masih tergetar dan diam-diam ia kaget dan kagum bukan main. Kiranya gadis itu telah menggerakkan payungnya secara luar biasa dahsyatnya. la memandang dengan penuh perhatian. Senjata itu adalah sebuah payung biasa yang batangnya tentu terbuat dari baja pilihan yang amat kuat .Gagangnya melengkung seperti payung biasa, ruji-rujinya dari baja keras pula dan payungnya dari kain tebal berwarna hijau, ujung batangnya runcing seperti pedang. Tadi ketika gadis itu menyerangnya, payung itu berkembang sehingga menyembunyikan tangan dan tubuh gadis itu dan disinilah letak kehebatan senjata ini. Kalau payung berkembang, lengan dan tangan yang memegang payung tersembunyi dan tidak tampak oleh lawan. Padahal, dalam bertanding, yang penting adalah memperhatikan gerak lawan yang dapat dilihat sebelum senjata digerakkan dari gerakan tangan, lengan dan pundak. Kalau semua bagian tubuh ini tersembunyi, maka gerakan-gerakan selanjutnya dari lawan takkan tampak dan perkembangan serangannya takkan dapat diduga terlebih dulu.

Sementara itu, Ouwyang seng juga sudah enerjang Liong Ki Tek dengan pedangnya. Liong Ki Tek cepat menangkis, akan tetapi pada saat pedang bertemu, tangan kiri Ouwyang Seng yang terbuka itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang lebih hebat daripada ilmu Toat-beng Hwi-ciang dari Hek-pek Giam-ong menyambar ke depan.

"Aihhh…….!" Liong Ki Tek cepat meloncat ke belakang dan agak terhuyung saking kagetnya.

Ouwyang seng tertawa mengejek dan menerjang terus ke depan dengan pedangnya diseling pukulan-pukulan yang lebih berbahaya daripada pedang itu sendiri karena pemuda ini menggunakan pukulan sakti Hwi-yang sin-ciang!

Di dalam jilid-jilid yang lalu banyak diceritakan tentang Ouwyang seng ini sebagai murid Gak Liat yang lihai dan sejak kecil sudah memiliki watak yang

keras dan kejam. Namun di samping watak ini, dia merupakan seorang murid

yang amat tekun dan disayang oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, maka setelah kini

berusia dua puluh tahun, ia telah menjadi seorang murid yang paling pandai di

antara semua murid Si Setan Botak! Bah-kan Hwi-yang Sin-ciang yang tidak dapat dimiliki murid-murid lain, telah dikuasai oleh Ouwyang Seng yang ikut berlatih bersama suhunya dengan masakan batu batu bintang. Toat-beng Hwi-ciang boleh jadi amat lihai, dan Hiat-ciang lebih dahsyat lagi, akan tetapi dibandingkan dengan Hwi-yang Sin-ciang, kedua ilmu pukulan yang berdasarkan Yang-kang itu masih kalah jauh!

Setelah dewasa, tentu saja Ouwyang Seng yang terkenal dengan sebutan Ouw-yang-kongcu menjadi seorang yang penting kedudukannya dalam tokoh-tokoh pembela Kerajaan Ceng. Ayahnya seorang pangeran yang terkenal juga, Pangeran Ouwyang Cin Kok yang menjadi seorang di antata para penjilat yang terlihai di dekat Kaisar Mancu. Dan mengingat akan kepandaiannya yang tinggi, Ouwyang-kongcu ini bergerak dalam bidang pengamanan kerajaan terhadap ancaman para pejuang yang bergerak secara rahasia menentang pemerintah Mancu.

Siapakah wanita cantik yang amat hebat itu? Dia memang seorang puteri,bernama Puteri Nirahai, puteri dari Kaisar Mancu yang lahir dari seorang selir berbangsa Khitan. Puteri Nirahai ini rnemiliki kepandaian yang dahsyat, bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Ouwyang-kongcu sendiri! Dibandingkan dengan tingkat para tokoh datuk hitam, dia hanya kalah sedikit! Memang sukar untuk dipercaya bagaimana seorang gadi berusia dua puluh tahun telah mem:iliki ilmu kepandaian sedahsyat itu, akan tetapi hal ini tidak akan mengherankan orang lagi kalau diingat bahwa dia adalah ahli waris dari kitab pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dari mendiang puteri Ratu Khitan yang dahulu terkenal diseluruh dunia kang-ouw dengan ulukan Mutiara Hitam! Mutiara Hitam adalah seorang pendekar wanita sakti yang amat hebat ilmu kepandaiannya dan memiliki banyak kitab kitab pusaka ilmu silat yang aneh-aneh dan amat tinggi. Kitab-kitab itu adalah peninggalan seorang tokoh wanita sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan Cilik! Beracun) Liu Lu Sian yang bukan lain adalah ibu kandung Suling Emas yangt amat terkenal (baca cerita Suling Emas, Cinta Bernoda Darah dan Mutiara Hitam). Selama puluhan tahun, tidak ada kabar ceritanya tentang kitab-kitab itu dan secara kebetulan beberapa buah diantara kitab-kitab itu terjatuh ke tangan Puteri Nirahai inilah.

Di antara ilmu-ilmu silatnya yang hebat, Nirahai dapat mewarisi tiga buah ilmu kepandaian Mutiara Hitam, yaitu pertama adalah Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), ke dua Ilmu, Pedang Pat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang De-lapan Iblis), dan yang ke tiga adalah ilmu senjata rahasia Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi). Yang amat hebat adalah ilmu pedangnya Pat-mo-kiam-hoat yang sukar dicari bandingnya karena memang dahsyat dan ganas sekali. Apalagi gadis ini mainkan ilmu itu dengan senjatanya yang istimewa yang disebut Tiat-mo-kiam (Pedang Payung Besi), maka kehebatannnya bertambah. Dapat dibayangkan betapa lihainya permainan pedang yang tersembunyi di batik payung sehingga lawan tak dapat' melihat gerakan-gerakannya. Sebetulnya ilmu ini tadinya merupakan ilrnu pedang, akan tetapi dengan senjata seperti itu, sama dengan permainan pedang dibantu perisai, namun disatukan sehingga merupakan senjata yang ampuh dan jika tidak dipakai bertanding, dapat dipergunakan sebagai payung biasa untuk berlindung dari serangan hujan dan panas, juga menambah gaya bagi seorang gadis jelita seperti Nirahai.

Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek adalah dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang sudah tinggi tingkat ilmu kepandaiannya.Mereka adalah dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, Tujuh Pedang Siauw-lim yang amat disegani orang. Mereka adalah murid-murid langsung dari ketua Siauw-lim-pai yang selain ahli dalam bermain pedang, juga memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, di samping pengalaman bertanding yang sudah luas.

Akan tetapi sekali ini, bertemu dengan Nirahai dan Ouwyang Seng, sebentar saja dua orang tokoh Siauw-lim-pai ttu terdesak hebat. Ilmu pedang yang dimainkan Nirahai dengan senjata payung luar biasa sekali dan tidak sampai lima puluh jurus, Liok Si Bhok yang bertubuh gemuk pendek itu tak mampu balas menyerang lagi karena dari balik payung hitam itu menyambar-nyambar sinar pedang bagaikan sinar kilat dari balik awan hitam yang tebal. Tiba-tiba Nirahai mengeluarkan suara melengking tinggi dari balik payung menyambar sinar berkeredepan yang berbau harum ke arah leherl Liok Si Bhok. Tokoh ini terkejut, maklum bahwa itulah senjata rahasia yang amat berbahaya. Dan memang dugaannya benar karena yang menyambar ltu adalah Siang-tok-ciam, segenggam jarum beracun yang berbau harum. Liok Si Bhok cepat mengelak dengan miringkan diri ke kiri, akan tetapi ternyata bahwa serangan jarum itu hanya merupakan pancingan karena kini tahu-tahu ujung paying itu telah menusuk perutnya.

"Cringgggg!" Pedang di tangan Liok Si Bhok tergetar, bertemu dengan ujung payung dan melekat! Pada detik berikut nya, dari batik payung itu menyambar kaki Nirahai yang kecil bersepatu indah, menendang dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu telah mengenai lambung liok Si Bhok. Tokoh Siauw-ljm-pai yang bertubuh gendut pendek ini mengeluh dan tubuhnya terbanting ke belakang. Dua kali ia masih berhasil menangkis sinar pedang Nirahai, akan tetapi yang ketiga kalinya, tangkisamya meleset dan ujung payung itu menancap memasuki lehernya menembus dari kanan ke kiri. Tanpa sempat berteriak lagi Liok Si Bhok tewas dengan leher hampir putus!

"Ouwyang-twako, jangan robohkan dia dengan sin-ciang! Pukulan itu akan dikenaI orang dan menggagalkan rencana-ku!" Niraha~ berseru ketika melihat betapa Ouwyang Seng mendesak Liong Ki Tek dengan pedang dan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang.

Ouwyang Seng yang melihat betapa puteri itu telah berhasil merobohkan lawannya, menjadi penasaran dan malu.Tanpa mengandalkan Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana ia akan mampu merobohkan lawan yang tangguh ini? Akan tetapi pada saat itu, Nirahai telah menerjang maju dan menyerang Liong Ki Tek dengan .payungnya yang hebat itu. Seperti juga Liok Si Bhok tadi, kini menghadapi serangan payung, Liong Ki Tek terkejut dan bingung. Tahulah pendekar ini mengapa suhengnya tewas di tangan puteri ini, ternyata bahwa senjata payung pedang itu benar-benar sukar dilawan. Ia mengerahkan tenaganya menangkis dan terdengar suara keras diikuti muncratnya bunga api. Dibandingkan dengan suheng-nya, Liong Ki Tek yang tinggi kurus ini memiliki tenaga yang lebih kuat sungguhpun ilmu pedangnya tidak sehebat Liok Si Bhok. Akan tetapi tangkisannya yang mengandung tenaga kuat itu pun tidak mampu membikin payung terpental,bahkan kini pedangnya melekat pula pada ujung payung itu, tak dapat ia lepaskan. Dan saat ini dipergunakan dengan baik oleh Ouwyang Seng yang sudah menusukkan pedangnya ke perut Liong KI Tek sampai tembus ke punggung.

"Ihhh…….., kau kasar sekali, Twako!" Nirahai menarik payungnya dan cepat meloncat ke belakang agar jangan terkena semburan darah dari perut Liong Ki Tek.

Ouwyang Seng menjadi merah mukanya. Memang, tadi ia menyerang dengan kasar saking gemas dan penasaran bahwa ia harus dibantu oleh gadis ini untuk merobohkan tokoh Siauw-lim-pai ini sehingga kekasaran serangannya itu nyaris mendatangkan noda darah yang menyembur keluar dari perut Liong Ki Tek pada baju nona itu. ,

"Sesudah dua orang tokoh Siauw-lim- pai ini tewas, apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Adik Nirahai? Kurasa permainanmu terlalu berbahaya sekarang." Untuk menutupi kenyataannya bahwa dia tidak secepat Nirahai merobohkan lawan.bahkan mendapat bantuan gadis perkasa itu, Ouwyang Seng menekan gadis itu dengan kata-kata yang sifatnya menegur ini. "Mereka adalah dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, dan kekuatan Siauw-lim-pai sama sekali tidak boleh dipandang ringan."

Nirahai tersenyum manis. "Tenanglah, Ouwyang-twako dan serahkan saja padaku karena aku telah membuat rencana yang baik sekali, jauh lebih baik dari pada rencana semula. Engkau tahu,Twako. Untuk memancing ikan besar harus menggunakan umpan besar dan dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam ini merupakan umpan besar sekali yang kematiannya akan membikin geger Siauw-lim-pai dan sekali lni kutanggung bahwa Siauw-lim-pai akan memusuhi Hoa-san-pai sehingga kita tidaklah harus bersusah payah lagi menggempur keduanya.” Dengan wajah manis dan sikap tenang gadls itu lalu menceritakan rencananya kepada Ouwyang Seng. Pemuda ini mendengarkan penuh perhatian, makin lama makin tertarik dan setelah gadis itu menyelesaikan penuturan tentang rencana dan siasatnya, ia bangkit berdiri dan men jura kepada Nirahai sambi! berkata.

"Wah, engkau hebat sekali, Adik Nirahai! Sungguh mengagumkan! Makin besar dan berbahagialh hatiku kalau aku teringat bahwa engkau yang begini cantik jelita, begini lihai ilmu silatnya, begini cerdik pandai adalah tunanganku…."

"Hemmm, jangan tergesa-gesa, Twa-ko….." Nirahai memotong, sepasang alisnya yang kecil panjang dan hitam itu berkerut, akan tetapi bibirnya yang me-

rah tersenyum tenang.

"Adikku sayang…… Nirahai….. aku tidak tergesa-gesa, akan tetapi……. bukankah sudah setengah resmi perjodohan kita……?" Ouwyang Seng berlutut dan suaranya gemetar penuh perasaan. "Diantara Ayahmu dan Ayahku……

"Nirahai menundukkan muka memandang wajah pemuda yang tampan itu. Ia suka kepada pemuda yang se!alu pandai mengambi! hatinya ini akan tetapi…….Ouwyang Seng bukanlah pria yang memenuhi idaman hatinya. "Ouwyang-twako yang akan berjodoh adalah kita, bukan Ayab!'. Kita……"

"Nirahai…...!" Ouwyang Seng memandang dengan sinar mata penuh cinta kasih dan permohonan sehingga Nirahai menjadi kasihan, mengulurkan tangannya. Ouwyang Seng menangkap jari-jari tangan yang halus meruncing itu dengan kedua tangannya, lalu menciumi jari-jari tangan.itu penuh nafsu birahi dan cinta kasih. "Ohhh, Nirahai puteri jelita, pujaan hati-ku. Aku cinta padamu….”

Sejenak puteri itu membiarkan jari tangannya dibelai dan dicium,akan tetapi mulutnya berkata halus, "Aku tahu bahwa engkau mencintaku, Twako. Akan, tetapi aku tidak……ah, belum lagi aku dapat menjatuhkan cinta kasihku kepada seseorang…….”

"Aku dapat menanti, sayang. Aku dapat bersabar, akan kunanti penuh harapan berseminya cinta kasih di hatimu terhadap diriku. Nirahai……."

Puteri itu menarik tangannya terlepas dan berkata, biarpun mulutnya masih tersenyum namun suaranya agak dingin, “Cukuplah, Twako. Kita sedang bertugas,dan aku tidak senang bicara tentang hal itu. Harap kau suka mempersiapkan pasukan pengawal dan sediakan dua buah peti mati akan tetapi jangan kelihatan seperti peti mati, melainkan peti untuk mengirim barang berharga. Aku hendak menyampaikan berita kematian ini kepada anak murid Siauw-Jim Chit-kiam yang kebetulan berada di kota Kok-lee-bun tak jauh dari sini, kemudian aku akan ke Kwan-teng menemui Tan-piauwsu kepaIa Pek-eng-piauwkiok. Siasatku ini harus berjalan lancar dan harus berhasil,Twako."

Ouwyang Seng adalah seorang pemuda yang cerdik, maka ia dapat menangkap nada suara dingin itu dan tidak berani melanjutkan rayuannya tentang cinta. Ia bangkit berdiri, menghela napas dan berkata, "Baiklah, Adik Nirahai. Aku sudah maklum akan rencanamu tadi."

Nirahai lalu berkelebat cepat ke arah belakang kuil tua itu, meloncat ke punggung kuda yang disembunyikan jauh dari situ kemudian membalap untuk melaksanakan siasatnya. Apakah siasat puteri yang cerdik ini? Seperti telah diceritakan di bagian depan, siasatnya mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai ternyata hampir berhasil atau hanya setengah berhasil karena secara tak tersangka-sangka muncul tokoh aneh yang mengacaukan urusan, yaitu Han Han dan Lulu!

Keadaan dalam kuil Siauw-lim-si yang menjadi pusat Siauw-lim-pal dan diketuai oleh Ceng San Hwesio kini diliputi awan kedukaan dan penasaran. Beberapa hari yang lalu, datanglah Lauw Sin Lian murid terkaslh Siauw-Iim Chit-kiam bersama beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai mengawal sebuah kereta yang terisi dua peti yang terisi mayat-mayat Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek! Juga mayat tujuh Qrang anak murid Siauw-lim-pai tingkat rendah.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan berduka hati Ceng San Hwesio dan para tokoh Suw-lim-pai ketika melihat dua mayat tokoh Siauw-lim-pai yang telah rusak itu. Mayat-mayat itu cepat diperabukan dan setelah mereka semua berkabung, Ceng San Hwesio lalu mengumpulkan anak murid dan adik-adik seperguruan untuk berunding. Biarpun Lauw Sin Lian terhitung hanya cucu murid ketua Siauw-lim-pai ini, akan tetapi karena tingkat kepandaian Sin Lian sebagai murid terkasih Siauw-lim Chit-kiam sudah amat tinggi dan pula karena gadis inilah menjadi saksi utama mengenai bentrokan dengan Hoa-san-pai, maka Sin Lian juga hadir dalam pertemuan besar itu.

"Sungguh tidak nyana sekali Hoa-san-pai menjadi perkumpulan yang rendah dan dapat diperalat oleh kaum penjajah !” Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim pa imengerutkan alisnya dan mengepal tasbih di tangannya erat-erat, wajahnya yang kurus itu menjadi merah sekali warnanya. "Amatlah keji perbuatan mereka terhadap dua orang muridku itu dan agaknya mereka itu sudah menyatakan permusuhan secara terbuka. Sute, mulai saat ini, harap Sute suka mengatur seluruh anak murid kita untuk melakukan penjagaan ketat siang malam menjaga keamanan kuil Semua anak murid yang berada di dalam

kuil tidak diperbolehkan keluar dan segala bentrokan dengan golongan apa pun juga harus ditiadakan. Selain itu, Sute harap mengutus anak murid untuk mengundang semua saudara dan murid untuk berkumpul di sini, selambatnya sebulan. Sebelum tenaga kita berkumpul semua dan kedudukan kita cukup kuat, jangan ada yang lancang turun tangan terhadap anak murid Hoa-san-pai. Nanti kalau semua tenaga sudah terkumpul, pinceng sendiri yang akan memimpin pasukan Siauw-lim-pai menuju ke Hoa-san-pai dan menuntut balas atas kekejaman Hoa-san pai terhadap kita!"

Kalau seorang ketua perkumpulan besar seperti Siaw-Lim-pai sudah rnenyatakan hendak rnemimpin sendiri penyerbuan, hal in.i menandakan bahwa ketua itu sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dan memang demikianlah keadaan Ceng San Hwesio yang sudah marah sekali. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek adalah dua di antara murid-murid yang paling ia sayang, kini melihat murid-muridnya itu tewas dalam keadaan mengenaskan, hwesio tua ini tak mampu lagi mengendalikan kemarahannya. Sutenya, Ceng To Hwesio yang bertugas menjaga kuil dan membantu pekerjaan suhengnya yang menjadi ketua, juga merupakan guru dan pelatih dari sebagian besar murid-murid Siauw-lim-pai, menariknapas panjang dan berkata.

"Baiklah, Suheng. Penjagaan akan diperkuat, dan pinceng akan mengutus murid-murid mengumpulkan tenaga. Akan tetapi, maaf, Suheng. Mengenai hal yang menyangkut permusuhan dengan fihak Hoa-san-pai ini, apakah tidak sebaiknya kalau kita bertanya nasihat kepada Su-pek?""Bagaimana kita dapat mengganggu Supek dengan urusan ini? Supek sudah bertahun-tahun bertapa dalam sebuah diantara kamar-kamar penyiksaan diri, tidak mau diganggu. Biarpun bagi kita urusan ini adalah urusan besar yang tidak hanya menyangkut nyawa murid-murid kita, juga menyangkut nama dan kehormatan Siauw-lim-pai, akan tetapi bagi Supek yang sudah mengasingkan diri dari dunia ramai, tidak melibatkan diri dengan urusan dunia, tentu merupakan hal yang tidak ada artinya sama sekali.

Tidak, Sute, tidak semestinya kalau kita

mengganggu Supek untuk urusan ini.Urusan mengenai Siauw-lim-pai menjadi

tugas pinceng sebagai ketua dan tugas semua anak murid Siauw-lim'-pai."

"Terserah keputusan Suheng, pinceng hanya mentaati perintah," jawab Ceng To Hwesio yang menjadi tegang hatinya karena maklum bahwa kalau suhengnya itu mengumumkan perang terhadap Hoa-san-pai, akan terjadi geger dan tentu akan mengambil korban yang banyak sekali di kedua fihak.

"Bagus, Sute. Dan engkau Sin Lian,engkau mengatakan bahwa menurut dugaanmu, kedua orang Gurumu itu terbunuh oleh seorang pemuda bernama Sie Han. Mungkinkah itu? Seorang pemuda dapat membunuh dua di antara tujuh orang Gurumu?"

"Teecu tidak ragu-ragu lagi, Sukong (Kakek Guru). Han Han…eh, Sie Han itu kini ternyata telah menjadi seorang pemuda yang pandai ilmu iblis!"

"Coba ceritakan keadaannya dan bagaimana engkau dapat mengenai dia?"

"Ketika masih kecil, Sie Han ini adalah seorang gelandangan. seorang pengemis yang terlantar. Kemudian Ayah yang menaruh kasihan, membawanya dan mengambilnya sebagai murid. akan tetapi hanya sebentar karena dia itu berkhianat,malah kemudian menjadi murid atat pelayan dari Kang-thouw-kwi Gak Liat....."

" Omitohud….!" Ceng San Hwesio berseru kaget. Nama tokoh datuk hitam ini selalu mengejutkan hati semua orang pandai. "Dia menjadi murid setan itu Akan tetapi…….andaikata benar menjadi muridnya. pinceng tetap masih meragukan apakah bocah itu mampu mengalahkan Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek "

"Teecu tidak ragu-ragu lagi, Sukong. Ketika berusaha menghajar orang-orang Hoa-san-pai dan bergebrak dengan Han Han itu, dalam bentrokan tenaga teecu mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang bocah itu melampaui sinkang semua suhu."

" 0mitohud………, mana mungkin…….?” Ceng San Hwesio kembali berseru.

"Teecu tidak membohong, Sukong. Ketika itu, teecu menyerangnya dan mengirim pukulan engan pengerahan lweekang sekuatnya. Pukulan teeucu itu adalah jurus Cam-liong-jiu (Pukulan Mem-bunuh Naga) dan dia sama sekali tidak menangkis! Teecu yakin bahwa tujuh orang Suhu tidak akan dapat menerima pukulan itu dengan dada, akan tetapi Han Han menerima dengan dadanya dan akibatnya teecu sendiri yang terbanting roboh dan tangan teecu membengkak!"

"Hemmm……!" Ceng San Hwesio mengulur lengannya ke depan dan membuka tangan dengan telapak di atas. "Coba engkau menggunakan Cam-liong-jiu dengan kekuatan seperti yang kaugunakan memukul bocah itu, dengan mengukur kekuatan pukulanmu dapat kiranya sedikit banyak menilai kepandaiannya."

Lauw Sin Lian maklum akan maksud kakek gurunya Itu, maka ia lalu mengerahkan tenaga dan mengayun kepalan tangannya, memukul ke arah telapak tangan kakek tua itu.

"Plakkk!!" 'Sin Lian merasa betapa kulit tangannya panas dan tergetar, maka ia cepat menarik kembali tangannya.

"Omitohud , sukar dipercaya kalau bocah itu mampu menerima pukulanmu tadi dengan dadanya!" ketua Siauw-lim-pai berseru kaget.

"Memang dia luar biasa, Sukong."

“Kalau murid Hoa-san-pai semuda itu takkan mungkin memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menerima pukulanmu tadi. Akan tetapi kalau dia murid Gak Liat yang menjadi kaki tangan penjajah,bagaimana dia dapat membantu Hoa--san-pai yang selama ini anti penjajah?"

"Siapa tahu Hoa-san-pai menyeleweng atau mungkin hanya Pek-eng-piauwkiok atau sebagian murid Hoa-san-pai saja yang bersekutu dengan kaki tangan penjajah. Urusan ini amat berbahaya,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar