Jumat, 09 Mei 2014

Mustika Gaib 8

Bab 15



SINAR KUNING EMAS SANG surya memancar di ufuk timur. Di dalam goa, pagi itu Kang Hoo duduk bersila menghadap sang guru yang duduk bersila di atas pembaringannya.Di tangan Kong-sun But Ok telah meme¬gang seruling peraknya. Batang seruling digosok-gosokannya dengan jari-jari tangannya, ke¬mudian ditiup-tiupnya beberapa kali. Setelah itu, baru ia berkata pada sang murid.

“Pagi ini, kau mulai melatih tahap kedua dalam menciptakan kekuatan Karakhter pada dirimu. Nah berdirilah!”Mendengar perinlah sang guru, Kang, Hoo cepat-cepat berdiri.“Maju dua langkah!” seru Kong sun But Ok.Kang Hoo mengikuti perintah itu. Ia maju dua langkah mendekati sang guru, hingga tepat benar berada di depan guru¬nya.

“Keraskan otot perutmu.” kata lagi sang guru.Kang Hoo melakukan apa yang diperin¬tah, ia mengeraskan otot perutnya dengan mengembungkan perut itu ke depan.“Tahan begitu!” Kata Kong-sun But Ok, “Tapi kau jangan tahan napas, aturlah ja¬lan napasmu sebaik mungkin!”Si murid mengangguk.“Hmmmm. Awas aku akan mulai melatih perutmu ini.” seru Haji Kong-sun But Ok.

Setelah berkata begitu, Kong-sun But Ok menggunakan seruling peraknya, me¬mukul-mukul perut Kang Hoo yang bundar mengembung tanpa baju itu. Suara pukulan saling pada perut Kang Hoo terdengar bedebak bedebuk memenuhi ruangan goa.Semula Kang Hoo dapat menahan rasa sakit pukulan batang suling pada perutnya, tapi tambah lama rasa sakit itu kian me¬nyiksa dirinya, keringat dingin menetes di kening.But Ok menyaksikan kalau sang murid sudah tak tahan menerima pu¬kulan batang suling. Ia lalu menghentikan gerakan pukulannya Lalu katanya,“Cukup!”

Begitu sang guru menghentikan gerakan pukulan pada perut Kang Hoo ia bernapas lega, tapi ia masih merasakan bagaimana panasnya pukulan suling itu.“Nah, setiap pagi. Kau mesti menerima latihan itu. Dan selanjutnya kau harus melakukan latihan itu sendiri, pada setiap kali sebelum kau mengambil air wudhu (air sembahyang) gunakan punggung tapak tanganmu untuk memukul perutmu. Seka¬rang kau siaplah untuk melakukan latihan tahap ketiga, itulah melatih kekuatan matamu!”Kang Hoo mendengarkan keterangan sang guru, belum lagi ia sempat bertanya, sang guru sudah berkata lagi,“Latihan mata! Pergilah kau ke pintu lubang goa, pandanglah sinar matahari pagi yang baru mencorot keluar. Buka lebar-lebar matamu. Kau mesti dapat mengalahkan pengaruh sinar matahari itu. Ayo jalan.”“Latihan gila?” pikir Kang Hoo mem¬balik badan. Ia berjalan keluar goa. Hatinya terus menggerutu. “Mataku bisa rusak memandang sinar matahari. Apa ia ini memang benar-benar ahli ilmu tenaga dalam ataukah seorang yang kebanyakan belajar agama hingga otaknya jadi rusak?”Tapi semua itu hanya dikata dalam hati ia tidak berani mencetuskan keluar. Apa boleh buat. Belakangan ini hidupnya selalu mendapat gangguan. Jalan ke sana menemukan bahaya, lari kemari mendapat celaka. Dan kini ia mesti mengalami siksaan dari latihan gila ilmu Karakhter.



********0dwkz0lynx0mukhdan0********

JILID 6

Begitu ia tiba di pintu goa, Kang Hoo terus duduk di pinggir tebing, kakinya ter¬juntai ke bawah, sedang sepasang matanya melotot memandang sinar matahari yang baru saja mencorot keluar.Dalam pandangan mata Kang Hoo, mata¬hari pagi itu tampak memerah, ia dapat menyaksikan bagaimana bundaran matahari pagi itu perlahan-lahan menggelusur naik dari balik bumi kian lama sinar merah itu ber¬ubah putih memerak, membentur kedua biji matanya. Terasa kedua biji matanya mulai kabur, dan dari kelopak mata tadi mengalir air mata mengucur ke kedua pipinya.Kang Hoo terus berusaha bertahan, agar sepasang matanya bisa terus memandang matahari itu. Tapi begitu matanya sudah banyak mengucurkan air mata, ia tak tahan lagi, cepat memejamkan kedua matanya. Guna melenyapkan rasa tidak enak akibat mengucurkan air mata tadi, dan pantulan matahari yang menyerang kedua biji mata¬nya.“Anak tolol!” seru sang guru dari dalam goa. “Kau memejamkan mata. Huh sinar matahari begitu saja kau tak bisa lawan. Nah kau jalan kemari.”

Mendengar suara gurunya, Kang Hoo heran, bagaimana guru ini mengetahui kalau ia sudah memeramkan sepasang matanya, bukankah sang guru berada di belakang dirinya, juga goa bagian belakang itu, dipisahkan sebuah dinding batu, dari dalam sana sang guru tentunya tak dapat melihat apa yang terjadi di uar, tapi bagaimana haji itu bisa berkata tepat. Maka begitu ia mendengar suaranya, ia tak berani berlaku ayal, segera ia bangun berdiri membalik badan memasuki goa. Tapi matanya masih tetap dipejamkan.

Berjalan tiga langkah, barulah Kang Hoo membuka sepasang matanya, begitu sang mata melotot melek, ia kaget tidak kepalang karena pandangannya menjadi gelap, di sana ia tidak dapat melihat apapun. Semuanya gelap gulita.“Hmmm. Ayo jalan. Buka matamu lebar-lebar! Jalan! Jangan sampai timbul jengkelku! Huh akan kukorek biji mata tak berguna itu!”

Meskipun matanya belum bisa melihat akibat memandang sinar matahari tadi, Kang Hoo terus melangkah maju, berulang kali ia hampir jatuh membentur tembok goa. Akhirnya sambil merayap dengan tangannya, ia memasuki kamar sang guru.“Berhenti!” perintah sang guru.

“Guru. Ini bagaimana?” teriak Kang Hoo “Mataku gelap. Tak bisa melihat? Apa aku buta?”“Anak tolol!” bentak sang guru. “Kau tenangkan pikiranmu. Tak lama matamu itu kembali normal!”Mendengar perkataan gurunya itu hati Kang Hoo sedikit lega, ia berdiri, memusatkan pikirannya, agar sang mata kembali bisa melihat sebagaimana biasa. Berulang kali ia memejamkan sepasang matanya, dan akhirnya ia kembali bisa melihat sinar keremangan di dalam goa itu, yang kian lama kian jelas juga.

“Hmmm. Apa penglihatan matamu sudah normal kembali?” tanya sang guru.Kang Hoo mengangguk.Kong-sun But Ok masih duduk bersila, ia memperhatikan wajah Kang Hoo, lalu menggeleng-geleng kepala katanya,“Latihan matamu cukup untuk hari ini, besok kau mesti tahan sampai waktu Dhuhur (tengah hari) dan bilamana kau sudah sanggup melawan sinar matahari dari pagi sampai waktu itu, matamu boleh dikata sudah memenuhi syarat untuk mendapat latihan tahap berikutnya. Karena waktu itu sinar matamu sudah sanggup mengalahkan silaunya serangan sinar matahari. Dan kau akan menampak matahari itu hanya merupakan bulatan seperti rembulan dimalam hari!”

Kang Hod masih berdiri di depan gurunya, ia mendengarkan kata demi kata ucapan sang guru.Sementara itu Kong-sun But Ok sudah berkata lagi.“Kau rebahlah di lantai. Aku akan mem¬buka jalan darah di tubuhmu!”Mendapat perintah itu, Kang Hoo segera menggeletak rebah di atas lantai di bawah pembaringan gurunya. Sinar matahari menyorot masuk ke dalam goa menerangi keadaan kedua manusia tua dan muda. Si tua sedang menggembleng si muda. Si muda menerima gemblengan itu, tanpa ia sendiri mengerti apa maunya si tua bangka.Begitu melihat sang murid telah rebah di bawah pembaringan, Kong-sun But Ok lompat turun dari atas pembaringan. Ia langsung lompat ke atas sepasang kaki sang murid yang membujur, kakinya menginjak kedua tulang kering kaki Kang Hoo.

Sambil rebah, Kang Hoo memperhatikan tingkah laku sang guru yang mulai mengin¬jak kedua kakinya. Ia heran, latihan macam apa lagi yang akan dikerjakan oleh gurunya ini dengan berbuat demikian? Jalan darah apa yang mesti dibuka?Kong-sun But Ok yang telah berada di atas sepasang kaki Kang Hoo, mulai bergerak berjalan naik ke atas paha, lalu naik lagi ke perut dada sampai pada tulang pundaknya.Kang Hoo meringis menahan bobot berat sang guru yang menginjak-injak dirinya lebih-lebih dari kedua tapak kaki sang guru terasa getaran-getaran yang seperti menusuk-nusuk lubang pori-pori pada kulitnya membuat hati si pemuda tambah gelisah. Sementara itu sang guru masih terus jalan mundar-mandir menginjak badannya. Dan mendadak saja sang guru berkata,“Atur jalan napasmu. Pusatkan seluruh pikiran kepada satu tujuan!”Mendengar perintah itu, Kang Hoo me¬ngerti, sang guru menyuruhnya memusatkan pikiran. Maka otaknya segera dikosongkan dari segala macam ingatan. Semua ingatannya ditujukan pada Tuhan yang Esa, dadanya mulai turun naik mengatur pernapasan.Kong-sun But Ok menyaksikan sang murid telah melakukan mengatur jalan napasnya mempercepat gerak menginjak-injak badan sang murid, tambah lama kian cepat dan tambah aneh ia mulai bergerak melompat-lompat di atas sekujur badan Kang Hoo.

Kang Hoo telah memusatkan pikirannya Pada Tuhan Yang Maha Esa dan mengatur pernapasannya, seakan ia tidak merasakah bagaimana dirinya diinjak-injak sambil berlompatan oleh sang guru. Tapi keadaan itu tidak berlangsung lama, karena meskipun bagai¬mana kuatnya pikiran seorang muda seperti ia, tidak sanggup menahan rasa sakit yang ditimbulkan dari gerak lompat-lompatannya sang guru, lebih-lebih getaran-getaran yang keluar dari sepasang tapak kaki gurunya seperti menekan, menusuk dan menyedot itu seakan melumerkan daging dan tulang tubuhnya. Cepat ia membuka matanya, mulutnya mengeluarkan suara keluhan.Sang guru yang mendengar kalau si murid sudah tak sanggup, menahan injakan lompatan itu ia lalu lompat ke atas pembaringan dan kembali duduk bersila.“Bangun!” katanya kemudian.Dengan lemah Kang Hoo bangkit berdiri, ia masih merasakan bagaimana sakitnya seluruh tulang yang diinjak lompat-lompatan oleh sang guru. Lebih-lebih keadaan perutnya, perut itu terasa mulas, hampir saja ia tak kuat berdiri.“Hmmm. Itulah cara membuka jalan darah buntu menurut ajaran Bagdad. Beda dengan cara yang biasa dilakukan oleh jago-jago tua rimba persilatan dari negeri kita. Tapi faedahnya sama. Dengan cara menginjak-injak tubuhmu, maka saluran tenaga murni dapat mengalir ke dalam jalan darahmu melalui tapak kakiku. Selanjutnya kau masih harus melakukan latihan itu. Terlentang dan tengkurap. Nah sekarang kau makanlah. Hari hampir waktunya dhuhur!

Bab 16



TANPA DIRASA SEBULAN sudah dilalui, Kang Hoo masih berdiam dalam goa Hoa-ie-tong menerima gemblengan dari sang guru aneh untuk menciptakan ilmu Karahkter. Keadaan Kang Hoo waktu ini sudah ber¬beda ketika ia baru saja mendiami goa. Matanya sudah dapat melawan sinarnya matahari sampai satu hari penuh. Begitupun badannya telah sanggup menerima injakan-injakan kaki sang guru, sampai pada jari-jari tangannya.

Di samping mendapat gembelengan latihan tadi, Kong-sun But Ok juga memberikan sang murid pelajaran agama Budha.Semula Kang Hoo sedikit kaget, mende¬ngar sang guru ingin mengajarkan agama Budha padanya, tapi setelah ia mendengar¬kan penjelasan sang guru, maka ia tidak bisa menolak kehendak gurunya, dan waktu sifat gurunya sudah berubah lunak, tidak seperti ketika pertama kali ia melakukan latihan, gurunya tampak begitu bengis.

“Dua ajaran agama kau pahami!” kata Kong-sun But Ok, “Itu tidak ada salahnya. Karena dari intisari kedua agama itu banyak manfaat untuk diri kita, untuk selanjutnya terserah pada pribadimu. Yang mana kau akan kau anut. Karena semua agama itu baik. Mengajarkan kita bagaimana supaya tahu tata susila. Menjauhkan yang buruk melakukan yang baik. Tujuannya sama satu. Seperti kita hendak ke kotaraja kau boleh ambil jalan dari selatan, lalu ke timur utara tokh akhirnya juga bisa sampai. Atau ambil jalan ke utara dulu baru ke timur atau langsung dari puncak gunung ini menuju ke sana.

”Ketika sang guru berkata seperti itu Kang Hoo duduk, bersila di depan gurunya. Ia mengangguk-angguk kepala.“Selanjutnya aku tidak akan menurunkan ilmu silat, kau boleh gunakan ilmu silat yang kau pelajari dari gurumu Beng Cie Sianseng. Tapi itu juga kukira sudah tidak perlu lagi untukmu, karena dengan mengerahkan ke¬kuatan Karakhter. Kau bisa merobohkan orang tanpa menggerakkan tangan atau kaki. Nanti kau akan tahu sendiri bagaimana bekerjanya ilmu itu kalau kau sudah selesai mempelajarinya. Nah, mulai besok pagi, kau harus melakukan tapa Mati Geni?”

Mendengar keterangan gurunya sampai di situ, Kang Hoo, memandang wajah sang guru katanya,“Mati Geni? Tapa apa itu? Apakah seperti semadhi yang dilakukan oleh para Lama dan tosu?”

Kong-sun But Ok tersenyum mendengar pertanyaan sang murid, lalu katanya,“Tapa Mati Geni memang hampir sama dengan tapa semadhi yang dilakukan oleh para Tosu dan Lama dari golongan Budha. Juga tidak beda dengan ilmu-ilmu semadhi dalam mengatur peredaran jalan darah menciptakan tenaga Kie-kang. Ilmu ini kudapatkan dari negeri Bagdad, dan akan kucoba menerapkan ke dalam dirimu, maka selama sebulan ini aku menggembleng dirimu dengan bengis. Kau tahu maksudku?”

“Guru, apa maksudnya tapa Mati Geni itu?” tanya Kang Hoo.

“Hmm. Sudah kukatakan, tapa Mati Geni hampir serupa dengan ilmu semadhi. Melenyapkan hawa marah menarik kekuatan dari pengaruh alam sekitar yang melingkungi diri kita. Mati Geni itu adalah upaya mematikan pengaruh Hwee (api) yang terdapat dalam lima unsur zat Ngo-heng pada diri kita yang terdiri dari zat Kim, Bok, Sui, Hwee dan Touw (emas, kayu, air, api, tanah) Dalam ilmu bathin pelajarannya bangsa negeri Bagdad, semadhi itu disebut Mati Geni, artinya mematikan pengaruh api yang terdapat pada diri manusia. Karena api itulah unsur kehidupan setan. Sedang manusia menurut ajaran agama mereka terbuat dari tanah. Hingga kalau unsur api itu yang ada dalam diri manusia akibat pengaruh perkembangan alam sekitarnya, sudah bisa padam. Maka barulah orang bisa mengerahkan kekuatan bathin yang bersumber dari kemur¬nian jiwa dan kekuatan itulah merupakan ilmu kekuatan Karakhter yang sangat ajaib.”“Guru, mengapa tidak sekalian melatih melenyapkan unsur lima zat itu?”

“Mana bisa!” Kata sang guru di atas pembaringan kayu. “Kalau kita mencoba menghilangkan pengaruh kelima zat itu pada diri kita berarti kita ini sudah tidak bernapas lagi. Kita mati!”“Hmmmm.” Kang Hoo manggut bersila di bawah pembaringan sang guru. “Berapa lama dan bagaimana melakukan tapa itu!”

“Untuk tahap pertama tiga hari tiga malam.” jawab Kong-sun But Ok. “Selama kau melakukan tapa Mati Geni, kau tidak boleh memakan sedikit makananpun, bahkan setetes airpun tidak boleh masuk ke dalam tenggorokanmu kau mesti duduk bersila, membaca doa-doa yang akan kuajarkan padamu?”Kang Hoo masih duduk terus di bawah pembaringan sang guru, badannya sudah tak mengenakan pakaian, tampak ototnya kekar, berisi, sedang celananya sudah banyak robek-robek ia belum sempat untuk tukar pakaian. Meskipun ia duduk mendengarkan dengan penuh perhatian segala ucapan sang guru tapi hatinya penuh tanda tanya. “Puasa tiga hari tiga malam tanpa makan minum? Dan ini guru bagaimana selama sebulan lebih belum pernah aku lihat ia minum atau makan sedikitpun, apa ia ini sedang melakukan tapa Mati Geni? Huh, kalau aku disuruh melakukan tapa sekian lama. Bisa-bisa aku mati lemas.”

Tanpa dirasa haripun merayap semakin malam angin gunung yang terus berhembus masuk ke dalam goa dinginnya sudah tak dirasa Kang Hoo. Ia sudah biasa dengan keadaan di atas puncak gunung itu.Hari berikutnya adalah hari di mana Kang Hoo mesti duduk bersila menjalankan tapa Mati Geni selama tiga hari guna melenyap¬kan pengaruh zat api yang mengandung sifat-sifat setan.

Dengan tekun Kang Hoa, menjalankan tapa itu, ia juga tidak lupa membaca doa dan amalan-amalan yang diberikan oleh gurunya. Ternyata doa itu terdiri dari dua unsur inti dua macam agama.Dalam tiga hari itu, benar-benar Kang Hoo sedang digembleng, menjadi manusia sakti mandraguna.Kalau Kang Hoo duduk bersila di atas lantai goa itu menghadap barat, melakukan tapa Mati Geni, maka Kong-sun But Ok, ia juga duduk bersila memeramkan sepasang matanya. Tidak bergerak dari atas pembaringan kayunya. Kedua manusia itu masing-masing melakukan pertapaan. Meskipun angin gunung berhembus santer memasuki lubang goa, tapi keadaan itu tidak dapat menggangu jalan tapa mereka. Empat hari kemudian. Sang surya baru saja memancarkan sinarnya keadaan di atas puncak gunung sunyi sepi tak seekor burungpun terdengar berbunyi atau terbang. Itulah dikarenakan ketinggiannya puncak gunung dan hawanya yang begitu dingin.Sinar matahari pagi yang menerobos masuk goa, membentur wajah Kong-sun But Ok yang duduk di atas pembaringan kayunya, di bawah sana duduk bersila Kang Hoo dengan tekunnya.Begitu sinar surya membentur wajah tua Kong-sun But Ok, sepasang mata orang tua itu terbuka, bibirnya tersenyum memandang ke bawah pembaringan dimana sang murid masih duduk bersila,

Sambil tersenyum Kong sun But Ok mengetuk kening Kang Hoo dengan seruling peraknya.“Pletuukkk . ………!”Begitu keningnya diketuk batang suling, Kang Hoo kaget, ia membuka sepasang matanya, kemudian mengkerutkan kening memandang sang guru yang duduk bersila di depannya di atas pembaringan kayu.“Cukup sudah tiga hari,” kata Kong-sun But Ok, “Kau telah berhasil melakukan tapa Mati Geni.”“Guru,” kata Kang Hoo, suaranya begitu lemah seperti tak bertenaga. “Apa sudah cukup tiga hari?”Sang guru menganggukkan kepala, lalu katanya,“Kau jangan bergerak sembarangan, selama tiga hari kau terus duduk bersila. Kau harus mengatur jalan darahmu, dan dengarkan kata-kataku, kau harus ikuti petun¬jukku bagaimana kau memulai menggerakkan badan!”

Dengan memasang kuping panjang-panjang Kang Hoo mendengarkan patah demi patah ucap aa sang guru. Sementara sang guru sudah berkata lagi,“Sekarang, kau gerakkan kepalamu ke kiri lalu kanan, ulangi sampai tujuh kali. Kemudian setelah itu gerakan kepala itu ke atas ke bawah, juga tujuh kali, lalu badanmu miringkan ke depan dan ke belakang, kemudian ke samping kiri dan kanan, lalu perlahan-lahan putar badanmu itu ke kiri kanan. Semua itu mesti dilakukan tujuh kali.”Mendengar perintah sang guru Kang Hoo menggerakkan badannya sesuai dengan petunjuk-petunjuk gurunya. Setelah melakukan gerakan tadi seluruhnya. Sang guru berkata lagi.“Sekarang sambil bersila angkat badanmu perlahan-lahan, kemudian duduk kembali.”Kang Hoo mengerjakan perbuatan itu sampai tujuh kali.

“Nah, kaki kananmu gerakan ke depan.” kata Kong sun But Ok.Seterusnya Kang Hoo mengikuti semua apa petunjuk sang guru akhirnya kaki kirinya juga mesti digerakkan, kemudian ia mesti rebah terlentang, lalu bergulingan di atas lantai batu. Setelah selesai bergerak begitu menuruti petunjuk sang guru, ia rebah di lantai menunggu perintah lebih lanjut.

“Selesai! Semua berjalan baik! Bangunlah!” seru Kong-sun But Ok “Dengan berakhirnya latihan ini, maka kau sudah bisa melatih tahap berikutnya, melakukan beberapa kali lagi tapa yang memakan waktu lebih panjang!

”Sementara itu, Kang Hoo sudah duduk bersila di depan gurunya, terus mendengarkan perkataan sang guru.

Setelah mengetahui si murid sudah duduk di depannya, sang guru memerintahkan Kang Hoo untuk memakan sebiji buah yang mengandung banyak air.

Sejak hari itu kembali Kang Hoo menerima didikan latihan ilmu Karakhter, disamping ia juga mendapatkan pelajaran agama Budha, dan memperdalam pelajaran agama Islamnya, kedua agama itu dihubung-hubungkannya satu dengan lain, dicari-carinya perbedaan dan persamaan, kemudian barulah ia me¬ngerti apa maksud sang guru memerintahkan ia mempelajari agama Budha.Haji Kong-sun But Ok juga tidak lupa mengajarkan Kang Hoo bagaimana cara me¬niup suling perak dari Bagdad.Tanpa dirasa, dua tahun telah dilewatinya.Selama dua tahun itu ia melatih diri di bawah Kong-sun But Ok, entah sudah berapa puluh kali ia mendengar tentang kekuatan ilmu Karakhter itu, tapi selama itu ia belum pernah mencoba sampai dimana pengaruh kekuatan ilmu itu. Karena selama itu ia belum pernah mencoba ilmunya.



********0dwkz0lynx0mukhdan0********



Suatu pagi, dikala bayangan sang surya memancar di sela puncak gunung, mene¬rangi jagat raya, di dalam goa Kong-sun But Ok terdengar berkata,“Ingat kekuatan Karakhter yang ada pada dirimu saat ini sangat luar biasa, kau jangan sembarang menggerakkan tangan atau kaki. Itu semua bisa menyebabkan orang menjadi celaka!”

“Guru...!”“Jangan bicara dulu!” kata Haji Kong-Sun But Ok, “Dengar baik-baik, kekuatan karakhter itu akan segera muncul melindungi dirimu, bila kau menghadapi orang yang menyerang dan betul-betul ingin mencelakai dirimu, hawa amarah lawan itulah yang akan mencèlakai dirinya sendiri. Begitu kemarahan mereka memuncak, begitu pula besarnya bahaya yang akan mereka dapatkan.”Kang Hoo tidak berani memotong ucapan sang guru, ia mendengarkan dengan penuh perhatian.“Sekarahg kau lihat!” kata Haji Kong-sun But Ok, “Aku akan menunjukkan beberapa gerak tangan yang bisa mencelakai orang.”Setelah berkata begitu, kedua tapak tangan Kong-sun But Ok dirangkapkan ke depan dada kemudian diangkat naik ke atas sampai berada di atas kepalanya.Kang Hoo memperhatikan gerakan sang guru, dengan rasa heran. Sementara itu rangkapan kedua tangan sang guru yang telah berada di atas kepala disentakkan ke bawah mengembang ke kiri dan kanan. Ge¬rakan itu tidak bedanya seperti gerak jurus Garuda Membentangkan sayap.“Garuda Membentangkan sayap.” kata Kang Hoo dalam hatinya.Setelah melakukan gerakan demikian Haji Kong-sun But Ok bertanya,“Apa kau bisa melakukan gerakan itu?”Tentu saja Kang Hoo bisa, karena gerakan itu sangat mudah, dan hampir serupa dengan gerak jurus ilmu silat yang pernah ia pelajari dari gurunya Beng Cie sianseng. Maka jawabnya singkat,“Bisa.”

“Mudah, memang sangat mudah.” kata Kong-sun But Ok, “Tapi akibatnya sangat mengenaskan bagi lawan. Kau jangan sekali-kali melakukan gerakan seperti itu. Kalau tidak terpaksa!”Mendengar ucapan sang guru sampai di situ Kang Hoo melompongkan mulutnya tidak mengerti, mengapa gerakan begitu saja bisa mencelakai lawan.“Kau bingung bukan?” tanya sang guru yang mengetahui isi hati muridnya.Kang Hoo menundukkan kepala.“Lihat aku!” kata Kong-sun But Ok, “Kau mesti tahu, setiap gerakan anggota badanmu bisa mengeluarkan kekuatan Karakhter dan gerakan tadi, bila kau lakukan terhadap lawan yang menyerangmu, maka badan lawan itu akan terkoyak menjadi dua, robek terpisah dari kaki terus sampai ke batang leher.”Dengan duduk bersila menghadap sang guru, Kang Hoo mendengar keterangan itu, meskipun dalam hatinya masih diliputi tanda tanya tentang kebenaran kata-kata gurunya dan kekuatan Karakhter itu. Tapi ia tidak berani banyak bicara, terus ia mendengarkan dan menunggu sampai sang guru mengakhiri ucapannya.

“Nah.” berkata lagi Haji Kong sun But Ok. “Dalam rimba persilatan, terdapat il¬mu totok jalan darah untuk membuat la¬wan roboh tidak berkutik. Dan dalam il¬mu Karakhter terdapat satu gerak mengunci, bila kau menggerakkan tanganmu terhadap lawan yang menyerang, lawan itu akan roboh terkunci tidak dapat bergerak sebelum kau membuka kunci ini. Ilmu totok jalan darah dan ilmu kunci karakhter hampir sama, hanya berbeda dalam gerakan dan penggunaan. Dalam ilmu totok orang bisa menggunakan totokan terhadap orang, meskipun orang itu tidak salah dosa tapi dalam ilmu kunci Karakhter kau tidak bisa menggunakan ilmu itu kalau orang itu tidak menyerang dirimu. Di sinilah keindahan seni bela diri Karakhter. Cocok dengan ajaran agama. Sekarang kau li¬hat.”Setelah berkata begitu Haji Kong-sun But Ok, kembali mengangkat kedua tangannya, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas di depan mukanya, kemudian disi¬lang, lalu silangan tangan di depan muka itu, dientak ke bawah.“Mudah!” kata sang guru setelah memperlihatkan gerakan itu.Kang Hoo memperhatikan saja semua gerak tangan sang guru. Lalu bagaimana gurunya memberi petunjuk membuka kun¬ci gerakan itu.“Beberapa gerakan, kau bisa bikin sen¬diri. Itu terserah kehendakmu. Karena dengan duduk tenang seperti itu kau sudah dapat melindungi dirimu. Tak seorangpun dapat menyentuh dirimu. Itulah kekuatan ilmu Karakbter yang sangat luar biasa.”Setelah berkata begitu Haji Kong-sun But Ok menyerahkan suling perak pada sang murid katanya,“Kau ambillah ini hitung-hitung tanda mata dariku. Kau juga telah melatih bagaimana meniup suling ini. Suling ini kudapatkan dari seorang sahabat di negeri Bagdad, ia seorang ahli dalam ilmu sihir, ia juga bisa memelihara jin dan setan,”“Guru ....”

“Ambillah!” seru sang guru.Kang Hoo terharu menerima pemberian gurunya, meskipun ia tidak tahu apa gunanya suara suling yang selama dua tahun ini dilatihnya, gurunya sendiri tidak per¬nah menerangkan kegunaan suling ini. Lebih-lebih pada dua tahun yang lalu sewaktu sang guru meniup seruling tadi di atas puncak gunung menaklukkan binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa juga bisa membuat orang jadi tidur kepulasan. Waktu itu Kang Hoo dalam keadaan pingsan, dan jiwanya yang mendengarkan suara seruling itu juga telah terpengaruh dari jatuh pingsan ia berubah menjadi tidur ngorok.Setelah menyelipkan seruling itu di pinggangnya. Kang Hoo baru bertanya,“Suhu, kawan suhu itu di negeri Bagdad bagaimana bisa memelihara setan. Dan apa itu Jin?”

“Mhm.” sang guru tersenyum, “Memang aneh-aneh kejadian didunia ini. Lebih-lebih negeri Bagdad itu, di sana banyak keanehan seribu satu macam. Tentang Jin, aku sendiri tidak tahu bagaimana bentuk dan rupanya. Karena seumur hidupku aku belum pernah melihat bagaimana rupanya Jin itu? Tapi orang-orang negeri sana bisa memerintahkan Jin itu untuk mencelakai orang yang tidak disukainya?”“Apa seperti Hoat-sut?” kata Kang Hoo.“Hoat-sut,” kata sang guru “Sedikit ada persamaan dan perbedaan. Nah, hari ini kau sudah selesai, merampungkan latihanmu. Kau tentunya ingin melihat bagaimana hasil latihan itu bukan?”Kang Hoo mengangguk kepala.“Bagus!” kata sang guru. “Kau pergilah keluar goa. Kemudian, kau terjunlah ke bawah tebing.”Mendengar kata-kata gurunya itu, mendadak saja sepasang mata Kang Hoo terbelalak lebar, ia mundur dua tindak. Bagaimana ia disuruh lombat terjun keluar goa. Puncak gunung ini begitu tingginya dan keadaan tebing di bawah goa sangat curam, di bawah tebing tertutup awan menebal tidak ketahuan dasarnya. Kini gurunya menyuruh ia lompat ke bawah. Bukankah itu berarti sang guru menyuruhnya bunuh diri? Sedangkan sampai dimana kekuatan dan kegunaan ilmu Karakhter sampai hari ini belum diketahui jelas buktinya, ia hanya mendengar dan menerima pelajaran itu teorinya, se¬dang prakteknya sama sekali belum pernah dilatih kecuali tapa.“Kau takut?” tanya Haji Kong-sun But Ok bersila di atas pembaringan kayu.“Guru….”

“Apa kau takut?” potong sang guru “Kematian di tangan Tuhan bukan? Nah dengan lompat ke bawah jurang ini, kau juga menguji dirimu sendiri apakah kau berhasil melatih ilmu itu. Kalau kau sampai mampus di bawah jurang itu berarti kau tidak berhasil mencapai ilmu Karakhter!”

“Guru, teecu tidak takut!” kata Kang Hoo kemudian ia bangkit membalik badan, jalan keluar goa.Sang guru memandang kepergian murid itu, ia tersenyum memejamkan sepasang matanya.Sementara Kang Hoo tanpa menoleh ke belakang ia sudah berada di pinggir lobang goa memandang ke bawah.Jauh di bawah sana merupakan tebing curam, dipenuhi kepulan awan, tak tampak bagaimana dasar jurang ini. Apakah itu merupakan hutan lebat, atau merupakan tonjolan batu gunung. Tapi hatinya mendadak berkata,“Ketika pertama kali aku bertemu dengan guru haji ini, ia tokh turun dari puncak gunung menggunakan jubahnya. Apakah hari ini ia ingin menguji ketabahan hatiku. Dan tentunya setelah aku lompat turun pastilah guru turun mengejar dan memba¬wa aku kembali ke atas goa.”

Setelah berpikir begitu, maka lompatlah Kang Hoo keluar goa.Sementara itu, Kong-sun But Ok yang duduk bersila di atas pembaringan kayunya setelah mendengar kesiuran angin lompatan sang murid ia memejamkan matanya bibirnya tersenyum, lalu wajahnya menunduk ke bawah dan kedua tangannya diletakkan di atas lutut.Setelah mengatur duduk demikian rupa, Kong sun But Ok menarik napas panjang, tarikan napas itu panjang sekali kemudian tubuhnyapun lemah terkulai menunduk. Napasnya terhenti seketika.Si orang tua aneh itu ternyata telah menghembuskan napasnya yang penghabisan. Kang Hoo yang lompat terjun keluar dari dalam goa, badannya melayang-layang turun berputaran dimainkan angin gunung. Kian lama sang badan kian merosot turun mendekati kepulan awan. Ia masih mengharapkan kedatangan gurunya yang memberi perto¬longan. Tapi sang guru yang dinanti itu tidak kunjung datang. Sedang badannya terus berputar turun ke bawah. Ia belum tahu kalau gurunya telah menghembuskan napasnya yang penghabisan. Pulang ke alam baka.Sementara kita tinggalkan keadaan Kang Hoo yang terapung-apung jatuh dari atas lamping gunung. Nasib apa yang akan dialami olehnya? Apakah benar ia telah berhasil meyakinkan ilmu aneh dari sang guru. Ataukah selama dua tahun itu ia melatih ilmu yang sebenarnya dianggap mustahil, dan ia hanya menjadi alat percobaan dari Kong-sun But Ok dalam melakukan percobaan ilmu tenaga dalam terbaru yang diberi nama ilmu Katakhter.Apakah benar Kang Hoo, telah diguna¬kan sebagai kelinci percobaan oleh Kong-sun But Ok? Ataukah ia memang benar-benar telah berhasil meyakinkan ilmu tenaga dalam yang bersumber dari intisari dua macam kekuatan ilmu bathin dari dua golongan agama yang dipadu menjadi satu dan di beri nama ilmu Karakhter.Pada bab-bab berikutnya kita akan bisa melihat dan mengikuti bagaimana perkembangan nasib Kang Hoo.Meninggalkan keadaan Kang Hoo yang masih jatuh ke bawah lamping gunung curam, kita kembali mundur ke belakang melihat keadaan Siong In di bagian penjuru dunia yang lain.
Bab 17
DENGAN GIGIH DAN SEJAK semalam suntuk Siong In mem¬bantu Kang Hoo dari kekangan orang-orang topeng hitam. Dipagi hari itu dikala Kang Hoo telah dibawa terbang oleh gadis Biauw. Dan dikala ia menghadapi keroyokan orang-orang topeng hitam, mendadak muncul sang ayah. Tapi sikap dan gerak-gerik sang ayah yang selama beberapa belas tahun lenyap dari rumah, kini sangat aneh dan misterius.Setelah sang ayah kembali lenyap men¬dadak, di dalam rimba, Siong In berdiri mematung, baju merahnya berkibar-kibar ditiup angin, otak si gadis penuh terisi pikiran bercabang tiada ujung pangkal.
Mengetahui kalau di dalam hutan itu sudah tak kedapatan seorang manusiapun, ia menengadahkan kepalanya ke langit, mengenang akan wajah Kang Hoo yang terluka sejak satu malam itu dilindunginya dari tangan jahat orang seragam-hitam, dan kini telah lenyap, Siong In tidak tahu, bagaimana perkembangan nasib Kang Hoo yang telah dibawa lari oleh gadis Biauw.Hati Siong In kecewa, karena pemuda itu telah dibawa kabur oleh lain gadis yang memelihara burung raksasa.Setelah menghela napas Siong In melesat meninggalkan hutan itu, melanjutkan» pengembaraannya.Hari demi hari dilewatkan dalam kesepian, jalan gunung dan rimba bukan halangan baginya, dan tanpa dirasa akhirnya dua tahun telah dilewati.Selama dua tahun mengembara, pengalaman si nona bertambah banyak, pedang pemberian ibunya entah sudah melukai berapa banyak orang jahat dan kaum berandal, hingga dalam dua tahun itu telah tersiar berita tentang munculnya satu nona baju merah gagah perkasa yang tak mau dikenal namanya. Karena pada setiap kali Siong In turun tangan membantu yang lemah menghancurkan kaum penjahat dan berandal-berandal ia tak pernah menyebut-nyebut namanya.Manakala dipagi hari Siong In keluar dari jalan pegunungan, ia memasuki propinsi Ouw-lam.Pemandangan alam dalam propinsi Ouw lam sebenarnya tidak beda dengan keadaan pemandangan di kampung halamannya sendiri, tapi bagi pendatang asing, tentunya pemandangan alam yang baru dilihatnya itu terasa indah dan menyenangkan hati.Hari itu masih pagi, jalan rimba yang sempit di propinsi Ouw-lam, penuh dengan serakan daun-daun tua yang rontok ditiup angin malam tadi, di kiri kanan jalan merupakan semak-semak belukar dan batang batang pohon besar berjejer tiada teratur.Keadaan jalan yang senpit dan sunyi kian siang tambah ramai, satu-satu ia bertemu dengan orang yang lewat, kadang-kadang mereka jalan berombongan, bergegas. Ada pula yang menunggang kuda. Gerakan mereka seperti sedang memburu sesuatu, dan corak dandanan mereka bermacam ragam.Melihat keramaian itu, hati Siong In jadi gembira, karena tak lama lagi tentu ia akan tiba di sebuah kampung atau kota.
Seumur hidupnya belum pernah Siong In keluar pintu rumah, dalam dua tahun itu ia mengembara dengan membekal ilmu si¬lat dan sebatang pedang. Pengalaman yang telah didapatnya dalam dua tahun ini membuat hatinya tambah mantap karena ilmu silat yang ia pelajari dari gurunya, nikho aneh itu dapat diandalkan untuk menjaga diri.Siong In yang pakaian merahnya sudah dekil, dan wajahnya yang kotor penuh de¬bu, menutupi kecantikannya Tapi keadaan itu lebih menguntungkan dirinya. Karena setiap mata laki-laki yang memandang wajah si nona yang kotor itu mereka hanya ter¬senyum lalu bergegas menuju tujuan masing-masing.Di pinggir jalan di dalam rimba itu, de¬ngan langkah kaki ringan Siong In terus menuju ke arah orang-orang yang lewat.Selagi ia memperhatikan keadaan jalan dan menikmati cahaya matahari di timur, mendadak saja kembali ia mendengar suara langkah kaki kuda yang ramai di belakang dirinya.Siong In menoleh ke belakang, tidak jauh di belakangnya berlari sembilan ekor kuda dengan kencangnya.
“Gila, jalan begini sempit mereka melarikan kuda semau-maunya!” pikir si nona sambil lompat masuk ke dalam semak-semak belukar, menghindari tubrukan kuda-kuda yang berlari kencang itu.Bertepatan dengan lompatnya Siong In rombongan berkuda lewat, dan salah seorang penunggang kuda menoleh ke arah semak belukar dimana Siong In lompat masuk. Dari mulut orang itu terdengar berkata,“Potongannya bagus, tapi tampangnya sedikit kumal.
”Siong In mendengar suara itu yang kemudian lenyap ditelan derapnya kaki kuda.“Hidung belang!” gerutu Siong In, sambil lompat kembali ke pinggir jalan.Yang beberapa lie lagi, Siong In tiba di tepi sebuah telaga.
Dari tepi ia memandang jauh ke tengah telaga, diantara riaknya air telaga, berlayar hilir mudik beberapa perahu layar. Di seberang telaga tampak deretan pegunungan nan menghijau, di seberang sana juga tampak samar-samar sebuah bagunan berloteng.Siong In asyik menikmati keindahan pemandangan di tengah tefaga, mendadak ia teringat akan rombongan orang-orang yang menuju ke arah ini, seingat si nona jalan yang dilewati tak bercabang, tentunya mereka semua menuju ke tempat ini, tapi di tepi telaga ini mengapa sunyi dan rombongan orang-orang itu kemana perginya?Selagi Siong In bertanya-tanya dalam hatinya mendadak dari sebelah kiri pantai berlari seseorang mendatangi.
Mendengar suara langkah kaki orang itu. Siong In menoleh, ternyata itulah seorang muda berusia duapuluh tahunan, mengenakan baju dan celana pendek hitam. Wajahnya sedikit kehitam-hitaman.Pemuda tadi begitu tiba di samping Siong In, ia segera bertanya,“Nona, apa hendak menyeberang? Mari naik perahuku.”Siong In belum tahu nama telaga itu, ia bertanya,“Ini telaga apa?”“Eh, apa nona tidak tahu?” balik tanya tukang perahu. ”Inilah telaga Tong-Seng, tempat yang paling indah dalam propinsi Ouw-lam. Di seberang telaga terdapat loteng Gak-yang-louw yang terkenal, dari atas loteng orang bisa menikmati pemandangan di sekitar telaga sambil minum arak.”Mendengar keterangan tukang perahu, Siong In memandang ke seberang telaga, kemudian katanya sambil menunjukkan jari,“Bukankah loteng itu disebut Gak yang-louw. Dan apa kau melihat beberapa rombongan orang berkuda datang kemari?”Si tukang perahu mengkerut kening, berpikir sebentar kemudian katanya, “Hari ini sejak pagi, banyak orang berkuda menyeberang ke sana. Rombongan mana yang nona maksud?”Mendengar ucapan tukang perahu, Siong In sudah tahu kalau orang-orang yang tadi lewat menuju ke seberang telaga, maka ia tidak segera menjawab, tapi memandang ke tengah telaga dimana tampak aneka warna kain layar perahu sedang berkembang melaju mengikuti angin turutan.Setelah memandang aneka warna layar-layar perahu yang bergerak ke seberang, baru Siong In berkata,“Mana perahumu?”Si tukang perahu, menunjuk ke arah kiri, katanya,“Di sana aku bersama ayahku hidup dari penghasilan ini.”Siong In mengikuti arah yang ditunjuk tukang perahu muda, benar saja diujung kiri tepi telaga di bawah pohon terdapat sebuah perahu layar yang sedang ber¬goyang dimainkan riak air.Siong In yang ingin menambah pengalamannya sekalian bertamasya menikmati pemandangan, tanpa banyak pikir lagi lalu meminta si tukang perahu menyebrangkan dirinya.Dengan girang si tukang perahu membawa Siong In ke tempat perahunya, di sana sudah menunggu tukang perahu tua, kemudian ia lebih dulu menarik perahu tadi ke tepi agar si nona dengan mudah naik ke atas perahu..Tapi Siong In yang pandai silat, mendadak dengan ringannya telah lompat ke atas dek perahu.Dua orang tukang perahu menyaksikan gerakan Siong In mereka memandang me¬longo, setelah Siong In lompat ke atas dek perahu, si tukang perahu tua, segera me¬masang layar.Sementara tukang perahu muda memba¬wa masuk Siong In ke dalam gubuk perahu.
Siong In yang telah duduk di dalam gubuk perahu, ia memperhatikan kedua ayah anak tukang perahu, mereka memiliki wajah jujur dan manis budi.Tukang perahu yang muda baru berusia 20 tahun bernama Sam Su.Di dalam gubuk perahu, sambil melayani Siong In, si tukang perahu muda Sam Su bercerita tentang pengalaman hidupnya.Ia menceritakan bahwa sejak kecil ia sudah biasa hidup di atas ombak, dan sebelum mereka menjadi tukang perahu, pekerjaan mereka memancing atau menjala untuk menyambung hidup.Dan baru pada beberapa tahun belakangan ini, mereka ayah dan anak membuat sebuah perahu untuk mengangkut penum¬pang dan barang, mereka telah paham seka1 dengan perjalanan air di tempat propinsi sekitarnya.Juga mereka memiliki silat pengagum pada keindahan alam.Sam Su Juga menceritakan, bagaimana indahnya pemandangan dari atas loteng Gak yang louw yang tersohor, pulau-pulau kecil tampak seperti terapung-apung di tengah air, telaga biru muda yang ber¬ombak-ombak.
Siong In yang mendengar kalau si tukang perahu telah mengenal daerah sekitarnya, juga Sam Su pandai bercerita, maka timbul rasa girangnya, dalam perjalanan itu ia tak merasa kesepian, ia yang baru saja mengembara di rimba persilatan, senang sekali mendengar cerita-cerita yang terjadi di atas muka bumi, dan saking girangnya maka ia menyatakan untuk pesiar ke sekeliling telaga dan sebelumnya minta diantar dulu ke loteng Gak-yang-louw ia ingin melihat bagaimana loteng Gak-yang-louw yang sering disohorkan orang.Si tukang perahu mendengar kalau muatannya hendak pesiar, maka ia telah jadi bersemangat, dan mengatakan suka menjadi penunjuk jalan.
Siong In yang merasa kuatir kalau biaya perjalanannya kurang, maka ia telah mengeluarkan beberapa belas tail perak dan diserahkan pada si tukang perahu, katanya,“Apa dengan jumlah uang ini cukup untuk pesiar?”Sam Su yang melihat si nona menyodor¬kan uang, ia jadi gugup katanya,“Nona, separuh dari itu sudah cukup untuk satu hari pesiar, dan biasanya pem¬bayaran selalu dibayar belakangan.”“Hmmm. Kalau begitu kau simpan se¬paruh uang ini” seru Siong In.
Sam Su semula menolak, tapi karena si nona memaksa maka sambil mengaturkan terima kasih ia menerima uang sewa perahu.Di sepanjang perjalanan mereka mengobrol, maka Siong In tidak merasa kesepian.Siong In yang mendadak teringat akan rombongan orang-orang berkuda, dan beberapa orang-orang rimba persilatan yang ia temui di tengah jalan maka ia bertanya,“Apa orang-orang yang sejak pagi tadi berduyun-duyun kemari itu juga menyeberang kesana untuk minum arak di atas loteng Gak-yang-lauw?”Sam Su mendengar pertanyaan si nona, ia tidak menjawab, menoleh ke arah belakang kemudi, memandang sang ayah.Melihat kelakuan Sam Su, si nona sedikit curiga, ia juga mengikuti pandangan Sam Su menoleh ke arah si tukang perahu tua.Si tukang perahu tua sambil mengangguk kepala berkata,“Apa salahnya, ceritakanlah!”Mendengar itu Sam Su lalu menghadapi Siong In, katanya,“Nona rupanya datang dari tempat jauh tidak heran bila tidak mengetahui keadaan tempat di sini dan apa yang terjadi. Aku yang seumur hidup tinggal di daerah ini sedari kecil bila ada waktu senggang suka kasrak kusruk ke gunung-gunung dan ke hutan-hutan, tapi selama hidup belum pernah menemukan suatu kejadian yang aneh, tapi pada beberapa hari ini telah muncul satu peristiwa yang sangat mengherankannya, suatu peristiwa yang sangat menggemparkan telah terjadi.”
“Peristiwa apa?” potong Siong In.“Ah . . itu . . itu . . .” jawab Sam Su, “Sebenarnya aku sendiri hanya mendengar kabar burung, kalau di puncak Kun san te¬lah muncul beberapa hweeshio jahat, hweeshio itu telah merampas beberapa buah kelenteng, Tapi selama itu mereka belum sanggup merampas satu kelenteng, itulah kelenteng Tiok-san-koan. Dan itu hweeshio-hweeshio jahat sebenarnya bersarang pa¬da kelenteng Ceng-hie-koan.”Mendengar cerita sampai di situ Siong In memotong, tanyanya,“Mau apa itu hweeshio-hweeshio jahat merampas kelenteng orang?”“Itulah.” kata Sam Su “Sejak dahulu kala di atas Kun-san, para Lama dan Tosu, selain mendapatkan hasil dari uang hio da¬lam kelenteng, mereka juga bercocok ta¬nam. Para hweeshio jahat ada kemungkinan tertarik oleh uang hio kelenteng, mereka mengacau dan merampas kelenteng yang ada di Kun-san. Tapi sampai hari ini kelenteng Tiok-san koan merupakan satu-satunya kelenteng yang tak mampu mereka rebut. Telah terjadi beberapa kali para tosu jahat datang mencari onar, dan bermaksud merebut kelenteng itu dengan kekerasan. Tetapi, tanpa terjadi perkelahian apapun, tidak perduli bagaimana galaknya para tosu jabat yang mencoba membunuh ketua kelenteng Tiok-san-koan, tapi buntutnya tosu-tosu jahat yang hendak mencari onar mendadak ngelepot balik dengan lesu. Hingga kelenteng Tiok-tan-koan tidak bisa direbut oleh go¬longan tosu jahat. Kejadian itu sesungguhnya sangat membingungkan orang, karena semua orang tahu ketua kelenteng Tiok-san-koan adalah seorang tosu yang betul-betul memegang aturan agama, dan kalau dilihat gerak-geraknya setiap hari, sedikitpun ia tidak mempunyai sedikit kepandaian, tapi herannya bagaimanapun galaknya tosu-tosu jahat yang akan merebut kelenteng, begitu berhadapan dengan ketua kelenteng Tiok-san-koan, mereka mundur teratur. Bukan¬kah kejadian itu sangat aneh?”Mendengar sampai di situ Siong In berkata,“Apa bubungannya kejadian itu dengan orang-orang yang pagi ini datang ke tempat ini?”“Inilah.” kata Sam Su “Entah bagaimana berita itu bisa tersebar luas?”
“Berita apa?” tanya Siong Ia mendesak' “Coba ceritakan yang jelas.”“Begini,” jawab Sam Su. “Di dalam kelenteng Tiok-san koan, tinggal seorang tosu, ia selalu mengenakan pakaian rombeng. Dia tidak seperti tosu-tosu lain membaca kitab, tetapi pekerjaannya sehari-hari minum arak sampai mabuk. Kadang-kadang ia sampai satu atau dua tahun lamanya meninggalkan kelenteng, baru balik kembali. Karena ketua kelenteng orangnya baik, dan tosu-tosu lainnya kebanyakan jujur dan baik hati, maka mereka tidak mau ambil pusing atas kelakuan tosu pemabukan itu, malah kerap kali ketua kelen-teng sendiri membelikan seguci arak baik, dihadiahkan untuk dia mabuk-mabukan. Menurut penduduk Kun-san, tosu pemabukan itu tidak mempunyai she, dan namapun tidak punya, karena ia sering mabuk-mabukan orang-orang menyebutnya Cui tojin. Cui tojin tinggal dalam kelenteng Tiok-san-koan bu¬kan sedikit tahun, usianya juga sudah tua, tapi wajahnya sama seperti ketika ia muda dulu, dan tidak pernah kelihatan menjadi tua. Dia sering keluar kelenteng mabuk mabukan di luaran, Kadang-kadang ia pergi juga ke Gak-ciu, pesiar di jalan jalan . . . .” Selanjutnya Sam Su menceritakan bahwa,Pada suatu malam ketika di dalam kelenteng diadakan keramaian menyembahyangi orang mati, mendadak Cui tojin lari masuk, dan di depan banyak orang ia menjadi gila dengan berjingkrakan kaki dan tangan memeta-meta, sambil memaki-maki dengan rupa sengit. Ketua kelenteng Tiok-san-koan nampak kesal dan dongkol, tapi ia hanya bisa mengucapkan maaf pada sekalian tamu, tidak mau menegor kelakuannya Cui tojin.Dua orang murid kelenteng itu melihat kelakuan Cui tojin demikian rupa di depan orang sembahyang dan melihat cara mabuk Cui tojin terlalu gila, sedang para tamu sudah jadi gusar, maka mereka menghampiri dan menasehati sepatah dua patah, Cui to¬jin mula-mula tidak ambil perduli dengan nasehat kedua orang tosu itu, tetapi dalam mabuknya mendadak ia jadi gusar dan memaki dengan suara keras,“Bangsat dogol! Kalian sudah bosan padaku, beberapa puluh tahun kelenteng ini selamat dari bencana, itulah karena aku ada di sini, malam ini kalian berani memaki diriku. Bagus, aku juga sudah bosan tinggal di sini. Nah, mana koan cu, hei! Mana itu ketua kelenteng, cepat! Kau kembalikan barangku. Tempo dulu kau bilang kau hanya ingin menyimpan barang itu agar tidak menjadi keributan di atas dunia. Sekarang aku sudah bosan tinggal di sini ayo kembalikan barang itu. Mana itu Patung angsa Emas berkepala Naga Heeheeeee......aku sendiri akan membuka rahasia Patung angsa Emas berkepala Naga itu, aku akan mendapatkan satu mustika luar biasa hua-aaaaaaaaaaa ........ Koan-cu penipu mana ....”Ketua kelenteng mendengar ucapan Cui-tojin demikian rupa ia tadi kaget, wajahnya pucat pasi, sedang orang banyak jadi terheran-heran.
Selagi ketua kelenteng dibikin kaget oleh ucapan Cui tojin yang mabok itu para tamu juga dibikin terheran-heran, mendadak saja Cui jojin sudah lari keluar kelenteng.Ketua kelenteng Tiok san-koan melihat Cui tojin lari keluar, dengan gugup ia berteriak,“Susiok, kau jangan pergi. Teecu masih ada omongan yang hendak dibicarakan!
”Sambil berteriak demikian si ketua kelenteng Tiok-san koan mengejar Cui tojin.Orang-orang yang hendak melakukan upacara sembahyang kematian, mereka baru tahu kalau Cui tojin adalah susiok dari ketua kelenteng, dan mereka juga baru sadar kalau ketua kelenteng memiliki ilmu kepandaian silat. Karena ketika ketua kelenteng lari mengejar Cui tojin, ia bisa lari sangat cepat seperti bayangan setan di tengah malam berlarian melewati jalan hutan di pinggir kelenteng menuju ke belakang gunung.Kalau dilihat dari cara larinya Cui tojin yang sudah mabuk, sempoyongan kelihatannya tidak cepat, tapi entah bagaimana ketua kelenteng tidak bisa mengejar, ia kehilangan jejak Cui tojin.
Baru setelah sekian lama, ketua kelenteng Tiok-san-koan kembali dengan napas tersengal-sengal.Para tamu yang hendak melakukan sembahyang begitu melihat ketua kelenteng itu sudah balik kembali mereka mengaju¬kan banyak pertanyaan, diantaranya salah seorang berkata,“Orang begitu gila kelakuannya, untuk apa disesalkan kepergiannya, meskipun ia menjadi susiok. Apa yang perlu disayangkan. Tadi ia berkata tentang Patung Angsa Emas Berkepala Naga. Mengapa selama ini tidak pernah diperlihatkan pada orang-orang yang pesiar ke dalam kelenteng?”Mendengar pertanyaan itu ketua kelenteng tampak gugup, katanya,“Jangan dengar ucapan orang mabok, tapi meskipun begitu, terus terang aku banyak menerima budi darinya, tidak sedikit pertolongan yang ia telah berikan. Atas semua pertolongannya aku tidak bisa membalas apa-apa. Tentang itu patung angsa emas. Memang ada, aku di sini sebagai se¬orang suci tak bisa berkata bohong, sebenarnya telah duapuluh tahun patung itu disimpan di sini. Cui tojin susiok telah membuka rahasianya dalam keadaan mabok ia tidak sadar.......”“Boleh kami lihat!” serentak para tamu berteriak-teriak.“Maaf, meskipun kepalaku dipenggal, aku tak dapat menunjukkan benda tersebut. Nah sekarang kita lanjutkan sembahyang orang mati.”Dengan penuh perhatian Siong In di dalam gubuk perahu yang digoyang ombak, mendengarkan cerita Sam Su. Dan ketika ia mendengar cerita sampai di situ, ia bertanya,“Siapa nama ketua kelenteng itu dan patung angsa emas berkepala Naga itu benda apa?”Sam Su menyambung ceritanya,“Ketua kelenteng bernama Ceng Hong tojin, tentang itu patung angsa emas ber¬kepala Naga, menurut kabar-kabar belakangan di dalamnya terdapat satu peta tempat dimana terdapat Satu Mustika.“Mustika?” Ulang Siong In.“Hmmm.” gumam Sam Su “Sejak Cut tojin lari malam itu. Keadaan kelenteng jadi berubah. Dua hari kemudian, kelenteng tersebut berhasil direbut oleh golongan padri jahat. Dan Ceng Hong tojin kedapatan mati terbunuh!”
“Apa selama itu Cui tojin tak pernah muncul lagi..”
“Tidak ada orang yang tahu.” jawab Sam Su “Dan sejak kelenteng Tiok-san-koan di rebut oleh tosu jahat, maka di dalam ke¬lenteng itu sering tampak orang-orang pertapaan laki-laki perempuan yang beroman jahat dan bengis, mereka sedikit juga tidak memegang aturan agama. Serta kejadian aneh sering terjadi.”Siong In duduk di dalam gubuk perahu mendengarkan cerita Sam Su, ia tambah tertarik lalu memajukan pertanyaan,“Apa mereka menemukan Patung angsa Emas berkepala naga itu?”
“Tidak,” jawab Sam Su.“Sudah berapa lama kejadian itu?” ta¬nya Siong In.“Baru beberapa hari berselang,” jawab Sam Su “Dan dari beberapa rombongan orang yang aku seberangkan mereka hen¬dak pergi ke Kun-san untuk melihat sendiri keadaan kelenteng Tiok-san-koan. Dan menyelidiki tentang Patung angsa Emas berkepala Naga!”“Hmmm . . .” gumam Siong In “Setelah istirahat di atas loteng Gak-yang-louw, kau antar aku ke Kun-san. Tentunya di sana akan terjadi keramaian.”
“Ah, waktu ini tempat itu sangat berbahaya.” seru Sam Su kaget “Para tosu jahat tentunya telah memasang jebakan-jebakan di sekitar kelenteng, maka melarang orang luar masuk dan orang-orang yang muncul hari ini, memiliki roman buas dan bengis, kalau nona seorang diri ke sana jangan-jangan bisa celaka.”“Apa kau tidak berani mengantar?” tanya Siong In “Aku tokh hanya mau melihat-lihat saja!”
“Kami bersedia sampai di bawah kaki Kun san. Selanjutnya nona boleh pergi sendiri. Aku hanya pesan hati-hatilah!”“Baik. Asal kau bisa antarkan aku jalan air, sambil melihat-lihat pemandangan apa salahnya. Aku juga tidak ada niat merebut patung itu. Hanya ingin melihat keramaian.”Di dalam gubuk perahu Siong In terus me¬ngobrol bersama Sam Su, sementara itu angin turutan yang mengembuskan layar perahu terasa dingin meniup muka si nona, sedang air telaga berwarna biru muda berombak menggoyang-goyangkan lajunya perahu.Karena berlayarnya perahu mengikuti angin turutan, maka dalam tempo setengah jam mereka telah sampai di seberang telaga.Manakala Siong In lompat ke darat, ia ingin segera untuk mengunjungi itu loteng Gak-yang-lauw yang begitu disohorkan orang.Semula Siong In sangka entah bagaimana bagusnya loteng tempat minum arak Gak-yang-lauw, tesapi setelah sampai di tempat yang dituju, nyatanya loteng itu biasa saja, hanya karena didirikan di tepi dan meng¬hadap telaga Tong teng, maka para pengun¬jung dapat melihat pemandangan bagian telaga yang jauh. Tapi kebagusan loteng Gak-yang-louw kalau dibandingkan dengan loteng-loteng yang didirikan di tepi telaga Liu-ouw, tentunya kalah jauh.Siong In, yang ingin pesiar dan menik¬mati pemandangan, ia segera melangkah memasuki halaman bawah loteng Gak-yang-louw.Di dalam ruangan bawah loteng, tampak beberapa orang tamu berdandan bermacam corak ragam pakaian, mereka bicara meng¬gunakan bahasa daerah masing-masing, mereka asik mengobrol satu sama lain. Siong In yang tidak mengerti bahasa-bahasa daerah mereka dan melihat dari dandanan mereka yang kebanyakan terdiri dari kaum pedagang-pedagang,yang sudah biasa jalan mondar mandir di daerah itu menjual hasil dagangannya.Memang di sekitar daerah telaga Tong-teng dalam propinsi Ouw lam merupakan pusat perdagangan yang penting, tidak heran kalau di sana banyak saudagar dan para pedagang singgah di loteng Gak-yang-louw untuk istirahat sambil minum arak.Setelah memperhatikan keadaan dalam ruangan bawah, Siong In, jalan ke tangga loteng, ia menaiki undakan tangga menuju ke atas.Begitu ia tiba di depan pintu loteng, tampak keadaan di dalam ruangan itu sudah penuh, meja dan kursi terisi semua, Siong In sejenak berdiri di depan pintu, ia men¬cari meja kosong. Ia mengharapkan dapat tempat di pinggir loteng, agar bisa duduk menghadap telaga Tong teng.Manakala Siong In sedang memperhatikan tempat duduk, seorang pelayan segera datang menghampiri, memberi hormat dan berkata,“Maaf siocia, keadaan loteng Gak-yang-louw hari ini penuh sesak, harap bisa menunggu sebentar.”“Ah, lotiang!” seru Siong In memperhatikan perawakan si pelayan. Pelayan itu berusia empat puluh tahunan, kedua pipi¬nya kempot, sepasang matanya sipit, tapi rambutnya masih hitam, ia mengenakan baju pendek warna hitam dan celana gerombongan.Setelah memperhatikan si pelayan, Siong In berkata lagi,“Sebenarnya, aku tidak butuh banyak tempat, cukup satu kursi untuk duduk di pinggir loteng menghadap telaga.”Mendengar permintaan si nona, pelayan tua tadi nampak kebingungan, dan beberapa orang tamu yang sedang duduk di depan meja mereka masing-masing, pada menolehkan kepala memandang Siong In.Sebaliknya, sudut mata si nona juga bisa melihat adanya beberapa orang tamu me¬mandang dirinya, tapi ia tidak mau perdulikan mereka.Dari antara sekian banyak tamu-tamu, rombongan tamu yang duduk menghadap meja di pinggir loteng, setelah mereka memandang Siong In yang berdiri di depan pintu, mereka tampak berbisik-bisik kemudian salah seorang berdiri memanggil pelayan.Pelayan tua mendapat panggilan sang tamu segera menghampiri, sebelumnya ia berkata pada Siong In.
“Maaf ......”Siong In menyaksikan berlalunya pelayan tadi, menuju meja di pinggir loteng yang diduduki empat orang lama.Empat tamu yang duduk di meja di pinggir loteng, tampak mereka bicara perlahan pada si pelayan, kemudian mereka berdiri dan meninggalkan meja.Si pelayan segera membersihkan meja.Sementara itu empat orang tamu tadi, sudah jalan di depan si nona, mereka tidak mengucapkan sepatah kata, hanya sudut mata mereka memperhatikan keadaan Siong In.“Kebetulan.” pikir Siong In. Melangkah maju menuju pinggir loteng. Di mana meja telah kosong.Pelayan tua yang melihat si nona sudah datang ia segera mempersilahkan duduk, kemudian jalan membawa piring mangkok, berlalu dari sana.Sementara itu Siong In, yang baru pertama kali pesiar ke tempat indah, begitu ia mendapat tempat yang diharapkan sambil duduk matanya terus memandang jauh ke depan, dimana terbentang air telaga Tong teng yang biru muda ditimpa sinar matahari, riak-riak air berbusa membuat gelom¬bang.
Layar perahu aneka warna simpang siur kian kemari menambah keindahan telaga disiang hari itu.Di empat penjuru pinggiran telaga me¬rupakan bukit-bukit pegunungan menghijau.Selagi Siong In menunggu hidangan dan memandang keindahan telaga Tong-teng dari pinggir loteng, mendadak saja ia di¬kejutkan oleh suara ribut-ribut yang datangnya dari pintu masuk. Siong In segera menoleh, di sana tampak pelayan tua yang tadi menerima dirinya, sedang membentak-bentak seorang tamu yang sedang berdiri di ambang pintu. Terdengar si pelayan tua membentak,“Pengemis buta dari mana muncul di tempat ini, tempat kita sedang repot, harap lain kali datang kemari.”Dari tempat duduknya, Siong In dapat melihat wajah si pengemis, ia jadi mengkerutkan kening, karena orang yang dikatakan pengemis itu adalah seorang pemuda kumel mengenakan baju putih kasar, rambutnya digelung ke atas, tapi sudah tak teratur susunannya, sedang kedua matanya meskipun terbuka lebar, tapi warna mata itu putih seluruhnya, melihat itu Siong In tahu kalau pengemis itu adalah seorang pengemis buta. Di tangan kanannya memegang sebuah tongkat baja.Meskipun pelayan tua itu bicara sambil membentak-bentak, tapi tampaknya pengemis buta itu memiliki sikap tenang, bahkan ia masih bisa tersenyum sebelum menjawab kata-kata si pelayan yang sedikit kasar.“Aku sanggup bayar. Bukannya mau minta sedekah!” jawab si pengemis buta.Pelayan itu mana mau mengerti, ia tetap kukuh mengusir pengemis muda buta dari atas loteng, ia tidak mau perduli apa si pengemis buta bisa bayar atau tidak, yang perlu dalam loteng Gak-yang-louw harus bersih, tak boleh ada seorang tamu yang demikian kumel, lebih-lebih sepasang matanya buta.Siong In yang terus memperhatikan ke arah si pengemis dari mejanya di pinggir loteng, setelah berpikir sekian saat, ia jadi memeriksa keadaan dirinya sendiri, betul pakaiannya yang dipakai terbuat dari ba¬han sutera merah, tapi pakaian itu juga sudah dekil demikian rupa, kalau di¬bandingkan dengan keadaan pakaian pe¬ngemis buta itu, keadaan dirinya hamper sama, hanya pemuda buta itu mengenakan pakaian putih dari bahan kasar. Tapi meskipun sudah begitu kotornya tapi pakaian yang dikenakan pemuda buta itu belum ada tambalannya. Maka si nona berpikir,“Apakah ia ini juga datang dari tempat jauh seperti aku?”Berbarengan dengan jalan pikirannya, Siong In sudah bangkit dari kursinya, lalu dengan langkah terburu-buru ia jalan melewati beberapa meja tamu menghampiri ke pintu, kemudian berkata,“Lotiang, biarlah dia duduk bersamaku. Di sana masih ada beberapa bangku kosong. Urusan pembayaran kau jangan kuatir.”Setelah berkata demikian Siong In mengeluarkan beberapa tail perak dari dalam sakunya disodorkan di depan pelayan.Pelayan menyaksikan kalau si nona menyodorkan uang, dengan wajah berubah ia membungkuk badan memberi hormat katanya,“Nona, harap jangan keluarkan uang, kalau memang kehendak nona demikian, nah silahkan ajak dia……”
Si pelayan tidak meneruskan kata-kata, ia memandang pemuda buta kumel di depannya.Sikap yang diperlihatkan oleh pelayan tua loteng Gak-yang-louw terhadap diri Siong In sangat mengherankan dirinya, mengapa pelayan loteng ini begitu menghormatinya, kalau dilihat keadaan dirinya sebenarnya tidak bedanya dengan keadaan pemu¬da yang baru datang, hanya yang beda dari sepasang mata pemuda itu yang buta tidak dapat melihat, tapi selanjutnya Siong In tidak banyak dipikir, ia telah mengajak pemuda buta itu jalan ke mejanya di pinggir loteng. Ia juga tidak lupa menambah pesanan makanan pada pelayan.Para tamu yang duduk di meja-meja di atas loteng, mereka memandang Siong In, mana kala Siong In jalan melewati meja mereka kepala mereka berputar mengikuti gerak si nona bersama pemuda pengemis buta, dan ketika ia jalan melewati sebuah meja di sebelah kirinya yang diduduki oleh lima orang laki-laki berbaju kembang terdengar salah seorang berkata,“Pengemis buta, apa gunanya, mengapa tidak mengajak aku saja minum bersama, sampai mabok huaaaaa . .ha . . haa . . .”
Mendengar kata-kata kotor dan suara terta¬wa dari meja itu, Siong In melirikkan matanya ke sebelah kiri, dimana duduk lima orang laki-laki berbaju kembang di atas kepala mereka melibat kain merah, begitu mereka melihat si nona memandang, mereka pada mengedip-ngedipkan matanya lalu tertawa berkakakan.“Huh!” Siong In mengeluarkan suara dari hidung, “Mari,” ia mengajak pemuda buta di belakangnya. “Jangan hiraukan mereka. Aku datang ke tempat ini bukan un¬tuk cari keributan, tapi ingin menikmati pemandangan alam.”“Sekalian menikmati orang buta.” terdengar lagi salah seorang laki-laki berbaju kembang berkata. Kemudian disusul dengan suara gelak tertawa mereka.Siong In kembali memandang mereka, tapi ia masih tetap menahan hawa jengkelnya. Dari roman-roman tampang muka mereka si nona tahu kalau lima orang laki-laki ini ten¬tunya sebangsa kaum berandalan. Lebih-lebih di pinggang mereka semua membawa senjata golok, seorang diantara mereka membawa sebuah senjata rantai berduri yang dilibatkan pada pinggangnya.
Pemuda pengemis buta yang jalan di belakang mengikuti Siong In, ia juga men¬dengar suara ejekkan dan tertawaan lima laki-laki tadi, tapi ia tetap bersenyum saja, dengan tongkat bajanya ia mencari jalan mengikuti jejak langkah si nona.Tak lama setelah melawati beberapa meja lagi, Siong In telah sampai di mejanya ia duduk di satu bangku, kalau ketika tadi ia duduk menghadapi telaga membelakangi meja-meja lainnya, tapi kini karena si pemuda buta mengambil bangku duduk membelakangi telaga menghadap ke dalam ruangan loteng, dan tongkat bajanya digeletakkan di atas meja, maka Siong In kurang enak kalau duduk di bangkunya yang tadi, karena kalau demikian ia jadi duduk tepat meng¬hadapi si pemuda buta, maka ia telah meng¬ambil bangku duduk di samping kanan si pemuda buta, karena duduknya demikian rupa, maka ia bisa melihat pemandangan sekitar telaga di bawah loteng yang terben-tang di sebelah kirinya dan juga bisa melihat suasana ramainya ruangan di atas loteng, yang berada di sebelah kanan.Sementara itu kalau melihat dari posisi kedudukan pemuda buta, ia seperti sengaja duduk menghadap ke arah meja di mana duduk lima orang berbaju kembang, yang masih saja terus-terusan tertawa tiada hentinya.Kadangkala mereka membalik badan me¬mandang Siong In dan si buta yang duduk di pinggir loteng.
Meskipun lima orang laki-laki berbaju kembang terus-terusan tertawa berkakakan, kadangkala mereka mengeluarkan ucapan-ucapan kotor, tapi Siong In tidak mau menggubris mereka, sedang tamu-tamu lain yang juga men-dengar lima orang laki-laki baju kembang itu terus-terusan menunjukan sikap tengiknya, mereka hanya bicara bisik-bisik sambil menggeleng-geleng kepala.Sementara itu Siong In yang duduk di sebelah kanan si pemuda menghadapi telaga, kini ia bisa melihat bentuk tongkat si pemuda buta yang menggeletak di atas meja, tongkat itu berbentuk aneh, terbuat dari baja, panjangnya tiga kaki, bentuknya bulat dan pada batang tongkat terdapat beberapa ruas, seperti ruas-ruas bambu, hanya ruas tongkat itu terbuat juga dari baja seperti sebuah piring kecil melingkari batang tongkat, tampak ruas-ruas tongkat itu hitam tajam. Siong In yang memperhatikan bentuk tongkat pemuda buta ia jadi heran, ruas-ruas tongkat tersebut berjumlah sem¬bilan, dan setiap ruas melingkari tongkat tajamnya seperti pisau, sedang bentuk dari tongkat itu seperti pedang memiliki gagang dan ujung yang tajam.Sampai saat itu hidangan belum juga datang, bau harumya masakan sudah membuat perut Siong In kerocokan, ia berulang kali menoleh ke arah kamar pengurus loteng, seperti orang yang sudah tidak sabar me¬nunggu makanan. Kesempatan ini juga digunakan oleh si nona untuk meneliti keadaan pemuda buta di depan kirinya.Dari bawah kaki sampai ke atas kepala Siong In memperhatikan bentuk perawakan pemuda buta di depannya, dilihat dari wa¬jah pemuda ini cukup tampan, tidak kalah tampannya dari pada Kang Hoo hanya sepasang matanya tak kelihatan warna hitamnya meskipun biji mata itu terbuka tapi seperti tertutup oleh selaput putih.Pemuda buta yang duduk membelakangi telaga, setelah lama pandangan butanya di tujukan ke arah meja dimana terdengar su¬ara menghina dan tertawa, kemudian ia menoleh ke arah Siong In, lalu katanya,“Aku Hong Pin, she Lie.”Siong In yang sedang memperhatikan bentuk perawakan pemuda buta Hong Pin, ia jadi keget, segera jawabnya,“Aku, Siong In, she Lo.”
“Terima kasih,” jawab Hong Pin mengangguk. “Mendengar dari suaramu kau se¬orang gadis.”Mendengar perkataan itu, wajah Siong In jadi merah bagaimana seorang buta bisa menebak kalau dirinya adalah seorang ga¬dis. Tadi ia mau mengajak Hong Pin du¬duk bersama satu meja, karena merasa kasihan melihat keadaan Hong Pin yang buta tentuya ia tak mengetahui kalau orang yang mengajak duduknya adalah seorang gadis. Tapi kenyataan, Hong Pin dengan hanya mendengar suara kata-kata Siong In sudah bisa menebak jitu. Ia seorang gadis bukan seorang nenek.Sementara itu dari rombongan orang berbaju kembang, masih terdengar suara ramai suara tertawa berkakakakan mereka.Hong Pin kembali mengarahkan pandangan mata butanya ke arah meja dimana terdengar suara tertawa itu, kemudian ia menoleh lagi ke arah Siong In.“Jangan hiraukan,” seru Siong In perlahan. Sambil memperhatikan tamu lainnya yang duduk dilain meja.Sebenarnya, siang itu keadaan di atas loteng Gak-yang-louw hampir penuh, karena setiap meja sudah ada orang yang duduk makan minum. Tapi mereka tampaknya tenang-tenang saja, tidak mau ambil perduli dengan rombongan lima orang berbaju kembang yang duduk mentertawai Siong In dan Hong Pin. Mereka seperti tidak mau tahu urusan orang lain. Mengobrol per¬lahan-lahan bersama kawan-kawan semeja.

SUASANA di bawah loteng Gak-yang-louw yang tadinya ramai, mendadak menjadi sepi, begitu Siong In dan Hong Pin mengambil sebuah meja dan duduk menghadap telaga. Satu persatu para tamu membuat perhitungan makanan lalu ngeloyor keluar. Kalau keadaan di atas loteng ketika setelah terjadinya peristiwa itu, masih ada 3 orang laki-laki tua yang masih berani duduk, tapi di bawah loteng ini yang tamu-tamunya terdiri dari kaum pedagang dan saudagar yang singgah istirahat mereka tidak berani lama-lama berdiam di situ. Mereka telah mengetahui peristiwa yang terjadi di atas loteng dan mereka juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Empat Macan telaga lari kabur, hati kecil mereka singat bersyukur sudah ada orang yang berani turun tangan menghajar Macan-macan Telaga yang selalu memeras menarik pajak gelap dari hasil dagangan mereka, tapi mereka juga takut menghadapi Hong Pin, kuatir kalau pendekar buta yang tidak bisa melihat itu mendadak mengamuk membabi buta. Karena semua meja sudah kosong, Siong In mengajak Hong In pindah duduk di meja paling depan, dekat pintu masuk agar ia bisa melihat sekitar pemandangan telaga Tong-teng. Hidanganpun dipesan kembali. Sebagai seorang gadis, Siong In tidak mau banyak bicara, ia kuatir kalau pembicaraannya nanti bisa menyinggung perasaan Hong Pin, meskipun dalam hati kecil si nona ia ingin sekali menanyakan dengan cara bagaimana ia bisa menghadapi musuh, sedang kedua matanya dalam keadaan buta. Hong Pin yang menyantap hidangan di depannya, mendadak saja berkata, “Siocia, apa kedatanganmu ke tempat ini ada hubungan dengan Patung angsa mas berkepala naga?” ”Ah . . .” Siong In kaget, ”Kedatanganku ke tempat ini secara kebetulan saja, aku semula mengembara mencari jejak ayahku yang lenyap belasan tahun. Tidak tahunya di dalam pengembaraan ini aku bisa, tiba di telaga Tong-teng yang disohorkan orang, dan baru mendengar tentang patung angsa emas berkepala naga yang tersimpan dalam kelenteng Tiok sian koan dari tukang perahu. Memang ada niatanku untuk melihat-lihat kelenteng Tiok sian koan.” Mendengar keterangan si nona, Hong Pin menunjukkan rupa heran, ia menoleh memandang wajah si nona dengan kedua mata butanya. Kemudian berkata, “KaIau begitu kau tak perlu pergi susah-susah ke tempat berbahaya itu. Karena patung angsa emas berkepala naga sudah lama tak ada di tempatnya.” “Dari mana kau tahu?” Tanya Siong In menggeser bangku. Hong Pin tidak segera menjawab pertanyaan si nona, tangannya menyumpit bakso dalam mangkuk, kemudian sambil mengunyah bakso di mulut, ia berkata, ”Sebelum berita ini tersiar, siang-siang aku sudah menyelidiki tempat itu. Dan ketika diadakan sembahyangan orang mati dalam kelenteng, aku juga turut hadir di sana, juga mendengar bagaimana si tosu pemabukan Ciu tojin mengacau, kemudian membuka rahasia tentang patung angsa emas berkepala naga, kemudian ia lari kabur,” Mendengar sampai di situ, Siong In melompongkan mulut, cerita yang dituturkan oleh Hong Pin ia pernah dengar dari tukang perahu. Kalau Hong Pin sebelumnya telah menyelidiki kelenteng Tiok-sian­koan, berarti telah lama mengetahui kalau dalam kelenteng itu tersimpan itu patung angsa emas berkepala naga. Juga sikap Hong Pin dimata si nona sangat luar biasa, bukankah pemuda buta ini baru saja melakukan pembunuhan dan melukai tiga orang laki-laki sampai putus lengan kanan mereka, tetapi dalam menuturkan ceriteranya sambil menjejal bakso ia seperti sudah melupakan apa yang baru terjadi di atas loteng Gak­yang-louw. Karena Siong In merasa tertarik dengan rahasia Angsa Emas Berkepala Naga, ia hanya duduk mendengarkan, sesekali pandangan mata si nona memandang keluar ruangan menikmati keindahan birunya air telaga yang bergelombang. “Waktu itu malam hari,” terdengar Hong Pin melanjutkan ceritanya, “Aku yang memiliki sepasang mata buta, sama sekali tak dapat melihat apapun, meskipun di dalam kelenteng dipasang lilin-lilin besar bahkan siang dan malam aku membedakan dari bergantinya hawa udara dan setiap gerak-gerak serta kelakuan orang di sekitarku, aku bisa tahu dari pendengaran dan perasaan mata bathinku.” Berkata sampai di situ, kembali Hong Pin menyumpit bakso, dijejalkan ke dalam mulutnya baru kemudian sambil mengunyah ia berkata lagi, “Ketika Ciu tojin mabok, dan setelah membuka rahasia Angsa Emas berkepala naga di depan orang banyak, yang akan melakukan sembahyang orang mati, ia melarikan diri. Tapi mendadak saja ketua kelenteng Ceng Hong tojin berteriak memanggilnya dengan sebutan susiok, lalu ia juga lari keluar mengejar. Para tamu yang akan melakukan sembayang orang mati jadi tambah panik dan terheran-heran dan dari kejadian ini penduduk sekitar Kun-san baru mengetahui kalau Ciu tojin si tosu pemabukan itu adalah susiok dari ketua kelenteng Tiok sian-koan.......” Hong Pin menghentikan ceritanya, ia mengangkat cawan menenggak minumannya. Siong In mulai tertarik dengan cerita itu, ia sudah bertanya, “Bagaimana dengan Ciu tojin, apakah…….?” Ucapan si nona mendadak dipotong oleb Hong Pin, katanya sambil meletakkan cawan di atas meja. “Begitu Ceng Hong tojin lari keluar mengejar si tosu pemabukan, orang-orang dalam kelenteng serabutan keluar pintu ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Ceng Hong tojin, dan begitu mereka berada di luar kelenteng, mereka melompongkan mulut membelalakkan mata lebar-lebar, karena dari bantuan sinar-sinar bintang di langit, tampak kedua bayangan tosu saling kejar, mereka lari cepat sekali, dari kecepatan lari mereka barulah diketahui kalau ketua kelenteng Ceng Hong tojin juga memiliki ilmu silat yang tidak rendah, sebentar saja kedua bayangan mereka lenyap di belokan jalan gunung. Aku memang sengaja datang untuk menyelidiki dan mencari rahasia Angsa Emas Berkepala Naga, begitu mendengar suara Ceng Hong tojin lari cepat-cepat mengambil jalan memutar menguntit mereka dari balik semak-semak belukar dengan mengikuti suara langkah kaki dan kibaran baju mereka yang ditiup angin malam. Tapi setelah aku mengikuti sampai di belakang gunung, mendadak suara langkah lari mereka tak terdengar. Aku jadi heran dan berdiri memasang kuping untuk mendengar suara-suara yang mencurigakan, dan benar saja lak lama kemudian aku mendengar lagi suara langkah kaki orang yang jalan balik, orang itu mengeluarkan suara keluhan dan penyesalan dari suara keluhan dan penyesalan orang itu aku tahu kalau itulah suara Ceng Hong tojin yang telah kehilangan jejak sang susiok si tosu pemabukan. Dan ia dengan napas tersengal kembali ke dalam kelenteng. Waktu itu suasana di belakang gunung sangat sunyi, suara jangkrikpun tak terdengar, begitu langkah kaki Ceng Hong tojin yang kehilangan jejak sang susiok, aku juga niat balik kembali ke kelenteng, tapi entah bagaimana, setelah jalan beberapa langkah, aku jadi kehilangan arah, aku tak dapat mengenali lagi kemana jalan pulang, dimana tongkatku kutotok-totokan ke depan selalu membentur batang-batang pohon, aku jadi bingung, bagaimana mendadak di kelilingku banyak sekali batang pohon yang tersusun sangat rapat, kejadian itu membuat kepalaku jadi pusing. Maka otakku berpikir “Apakah aku telah kesalahan masuk ke dalam barisan tin yang sengaja di pasang orang?” Begitu berpikir tentang barisan tin, mendadak hatiku jadi girang. Karena aku tahu kini, lenyapnya Ciu tojin tentunya telah masuk perangkap barisan tin. Dan Ceng Hong tojin yang mengejar begitu ia kehilangan jejak susioknya, ia sudah balik kembali ke dalam kelenteng!” Mendengar sampai di situ tiba-tiba Siong In berseru, “Aaaaa . . . Menurut cerita tukang perahu sejak hari itu Ciu tojin tak muncul-muncul lagi, biasanya setiap hari ia selalu minum arak di atas loteng Gak-yang­louw, apakah kau berhasil menemukan tosu pemabukan itu.” Suara kata-kata si nona berkumandang ke seluruh ruangan bawah loteng, tapi karena waktu itu di sana hanya mereka berdua yang masih duduk bersantap dan bicara-bicara, hingga mereka leluasa bicara ke barat ke timur, meskipun Siong In bisa melihat di luar di tepinya telaga Gak-yang-louw beberapa orang laki­laki jalan mondar mandir sambil memperhatikan mereka, tapi si nona tidak mau ambil perduli. Sementara itu Hong Pin yang ceritanya dipotong oleh seruan si nona, ia menggunakan kesempatan itu menenggak arak, kemudian baru melanjutkan ceritanya, “Hutan di belakang gunung rupanya telah dipasang barisan tin. Begitu Ciu tojin yang sedang mabuk, lari ke belakang gunung, ia sudah tersesat dan berputar­putar di dalam kurungan barisan tin tadi. Saat itu aku yang juga sudah kesalahan masuk, sedang mencari jalan keluar, dan ketika tongkatku menotok ke depan mendadak saja, sudah dibetot orang. Berbarengan mana aku mendengar suara bentakan orang memaki, “Apa buta!” dan berbarengan dengan suara bentakan itu, tongkatku ditarik orang......” Siong In terus melompongkan mulut mendengar cerita Hong Pin, dan ketika ia mendengar tentang makian orang itu, ia jadi tersenyum. “Memang aneh,” kata Hong Pin melanjutkan, “Aku buta, tapi waktu itu orang yang memaki aku buta tentunya menyangka aku bukanlah orang buta. Dan ketika tongkatku ditariknya, dengan cepat, kaki kiriku, terayun menyerang orang tadi, tapi mendadak aku mengenali suara nada makian tadi. Itulah suaranya Ciu tojin, maka cepat aku melepaskan tongkatku dan menarik tendanganku lompat mundur. Rupanya Ciu tojin yang sedang mabok, begitu mendapat serangan tendangan, ia jadi marah, tongkat yang telah kulepaskan kemudian diayun menghajar batok kepalaku. Beruntung ketika aku melepaskan tongkat aku lompat mundur, hingga sambaran tongkat lewat di depan diriku dan mengenai tanah. Cepat-cepat aku berteriak, “Losianseng, aku memang seorang buta, kau jangan salah mengerti . ....” Cerita sampai di situ, Hong Pin menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala, lalu katanya lagi, “Ciu tojin yang mendengar pengakuanku terdengar ia mengeluh kaget. Serunya, “Apa kau buta? Aaaaa, yaaaa, kau buta, tapi tidak buta, akulah yang buta tidak bisa melihat orang buta.....” Selanjutnya sambil berulang-ulang menenggak arak dan makan bakso, Hong Pin terus bercerita tentang pengalamannya bertemu dengan Ciu tojin yang sama­sama telah masuk ke dalam barisan tin. Ternyata setelah Ciu tojin mengetahui kalau Hong Pin adalah seorang pemuda buta, ia segera mengembalikan tongkat baja kepadanya. Dan saat itu ditengah kegelapan malam dari belakang balik-balik pohon mendadak saja terdengar suara orang berkata, “Tidak disangka, malam ini kita berhasil membekuk dua orang sekaligus. Hei!. Ciu tojin, apa kau sudah merasakan bagaimana enaknya arak memabokkan melenyapkan kesadaran dari golongan Pek-houw-san, huaaa, haaa .... ketika kau enak-enak minum arak, minumanmu telah dicampur obat pemabuk melupakan diri keluaran Pek-houw-san.” Mendengar suara itu, Ciu tojin jadi kaget, kini ia sadar kalau ia telah masuk perangkap orang dan telah diberi minum arak mabok pelupa diri. Hingga ia jadi mabok seperti orang gila dan membuka rahasia Angsa emas berkepala naga. Tapi waktu itu keadaan Ciu tojin seperti orang yang kebingungan. Beruntung di sana ada Hong Pin yang bisa mendengar pembicaran orang itu, ia cepat-cepat memperingatkan Ciu tojin, agar si tosu pemabukkan memuntahkan minuman yang sudah mengeram dalam perutnya. Mendengar peringatan si bocah, mendadak Ciu tojin berkata, “Benar bocah, matamu buta, tapi hatimu tidak buta.” Berbarengan dengan akhir ucapannya, mendadak Ciu tojin tertawa berkakakan. Suara tertawanya si tosu pemabukan menggema angkasa di dalam hutan gelap gulita, suara tawa itu lama sekali dikumandangkan. Sementara itu Hong Pin turut mengetahui, kalau di sekitar hutan barisan tin ini terdapat orang-orang yang mengurung mereka, dengan memusatkan perhatiannya ia memasang kuping lebar-lebar untuk meneliti keadaan, dan setelah beberapa kali berpaling ke kiri kanan mendengar suara yang mencurigakan, mendadak saja, ia berkata pada Ciu tojin, “Losianseng, di sekitar tempat ini tidak kurang dari delapan orang.” Ketika mendengar kata Hong Pin, Ciu tojin masih tertawa berkakakan, mendadak saja ia menghentikan suara tertawanya, lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke depan balik-balik pohon. Berbarengan dengan semburan arak dari mulut Ciu tojin, terdengar suara batang dan daun-daun pohon yang mencereces terkena semburan arak laksana butiran air hujan menyembur datang. Dari balik pohon terdengar suara keluhan tertahan kemudian menyusul terdengar dari bagian belakang suara orang memerintah, “Tinggalkan mereka, dua orang itu pasti akan segera mampus kelaparan.” Mendengar cerita Hong Pin sampai di situ Siong In yang masih duduk di bangkunya di bawah loteng Gak-yang louw, ia mengajukan pertanyaan, “Selanjutnya bagaimana?” Mendengar pertanyaan si nona, Hong Pin tidak segera menjawab, ia mengangkat cawan arak, setelah menenggak, baru berkata, “Aku dan Ciu tojin terkurung dalam barisan tin tersebut. Waktu itu berkelebat pikiran dalam otakku, menunggu hari sampai terang tentunya kita dapat keluar dari kurungan, tapi mendadak saja Ciu tojin menolak pikiranku, ia berpendapat, barisan tin ini sangat luar biasa, siang dan malam keadaannya sama, gelap pekat, dan di sekitarnya banyak dipasang senjata-senjata rahasia. Ciu tojin menyarankan agar aku yang memiliki sepasang mata buta, telah bisa masuk ke tempat ini tentunya dengan mata buta itu aku juga bisa keluar menggunakan ketajaman perasaan dan ingatanku. Maka aku disuruhnya mengingat langkah kaki yang tadi aku lakukan bagaimana aku sampai masuk ke dalam barisan tin ini, mendengar keterangan itu tentu saja aku jadi bingung, karena ketika aku kehilangan arah aku telah menjadi panik dan menotok-notok tongkat mencari jalan yang akhirnya membentur badan Ciu tojin. Tapi Ciu tojin telah memberitahukanku untuk mengulangi kembali apa yang aku lakukan. Maka aku tidak bisa membangkang, lalu aku mulai melakukan gerakan terakhir, dimana aku membentur badan Ciu tojin, kemudian mengikuti gerakan berikutnya secara mundur, dan benar saja akhirnya aku merasa berdiri di satu tempat, dimana aku pernah kehilangm bayangannya dan suara langkah kaki Ciu tojin dan Ceng Hong tojin.” Berkata sampai di situ lagi lagi Hong Pin, menuang arak ke dalam cawan, setelah menenggak isinya, ia menoleh ke arah Siong In, lalu melanjutkan ceritanya, “Begitu aku sampai di tempat dimana ketika aku baru masuk ke dalam barisan, mendadak Ciu tojin berkata girang, serunya, “Kau berhasil! Kau berhasil! Kita sudah berada di pinggir pintu barisan tin gila ini!” Mendengar itu aku jadi heran, karena mataku buta tentunya aku tak bisa melihat apa yang dilakukan oleh Ciu tojin, rupanya dengan diam-diam, Ciu tojin juga telah mengikuti langkah kakiku, dimana kakiku melangkah ia melangkah ke situ, hingga aku berdiri tegak, dan ia sudah ada di depanku. Selanjutnya, aku mengingat kembali bagaimana aku bisa sampai masuk dalam barisan ini. Dan aku ambil jalan mundur, tak lama sudah terdengar suara teriakan Ciu tojin yang mengatakan kalau kita sudah berada diluar barisan tin!” Mendengar sampai di situ, Siong In mendadak berkata, “Kau ceritakan selanjutnya dengan singkat, eh, wajahmu sudah berobah merah pengaruh arak.” Mendengar ucapan si nona, Hong Pin ganda tersenyum lalu katanya, “Bagi seorang buta, satu-satunya hiburan adalah minum sampai mabok, aku hanya bisa mendengar lembutnya suara nona, tapi aku tak bisa melihat wajahmu . . . .” Mendengar ucapan itu Siong In monyongkan mulutnya, beruntung mata Hong Pin tak dapat melihat, dan keadaan di bawah loteng itu juga sepi, maka kelakuannya si nona tak ada orang yang melihat, setelah monyongkan mulutnya, si nona memandang jauh keluar, ia menatapi permukaan air lelaga yang biru muda. “Selanjutnya,” kata Hong Pin, “Aku dan Ciu tojin berhasil keluar dari dalam kurungan barisan tin, kemudian Ciu tojin menanyakan she dan namaku, kuperkenalkan padanya juga maksud kedatanganku. Aku mencari rahasia Angsa emas berkepala Naga. Itulah dikarenakan harapanku di balik rahasia Angsa Emas Berkepala Naga itu tersimpan beberapa macam benda Mustika.” “Aaaa.......” Siong In terjengkit kaget. “Lalu bagaimana?” “Pertama begitu mendengar maksudku datang ke kelenteng itu, Ciu tojin kaget, tapi mendadak ia menghela napas, katanya, Angsa Emas Berkepala Naga adalah sebuah kunci rahasia untuk membuka pintu dari istana batu misterius. Dan pada Angsa emas berkepala naga itu juga terukir lukisan peta dimana terdapat itu istana batu. Kalau orang tidak mendapatkan kunci yang merupakan Angsa Emas Berkepala Naga jangan harap bisa membuka pintu istana batu, meskipun orang telah tahu dimana letak istana misterius ttu........” Berkata sanpai di situ Hong Pin, menenggak arak lagi, lalu baru melanjutkan, “Waktu itu aku mengajak Ciu tojin segera memasuki kelenteng. Tapi ia tak setuju, katanya dengan serius, bahwa ketua kelenteng saat ini pastinya kalau tidak terluka ia sudah binasa, padri-padri jahat dari Pek-houw san kalau tidak ada aku, mereka bisa berbuat sesuka hati dan dengan mudah bisa merebut kelenteng. Maka Ciu tojin mengajak aku menyelidiki secara diam-diam. Benar saja, setelah kami berada tidak jauh dari depan kelenteng di sana terjadi kepanikan orang-orang yang berada dalam kelenteng hendak melakukan sembahyang orang mati, mereka juga sudah jadi ikutan mati, kepala mereka hancur entah terkena pukulan apa. Aku sendiri tidak bisa melihat kejadian itu, dan hanya bisa mendengarkan dari suara-suara beberapa anak murid tosu jahat yang menyeret mayat-mayat dari sana.” “Apa kau bisa masuk ke dalam?” tanya Siong In memotong. “Ciu tojin memang lihai,” kata Hong Pin “Meskipun ia seorang tosu pemabuk, tapi beberapa belas tahun berdiam di dalam kelenteng ia telah membuat beberapa jalan rahasia, dan dari lubang lorong rahasia di bawah tanah tengah malam itu aku bisa masuk ke dalam. Sedang waktu itu di dalam kelenteng para tosu jahat mereka mengobrak abrik isi kelenteng mencari itu angsa emas. Tapi sayang, seribu kali sayang, ketika Ciu tojin mendapatkan tempat disimpannya Angsa Emas berkepala Naga tempat itu sudah kosong. Hanya tinggal kotaknya saja yang telah rusak digerogoti tikus.” “Aaaaaaah.....” keluh Siong In, “Jadi Angsa Emas itu dimakan tikus.” “Hmmmm......Menurut Ciu tojin tak mungkin tikus­tikus makan emas.” “Kalau begitu, sudah ditemukan oleh padri-padri jahat.” tanya Siong In. Hong Pin menggeleng kepala, katanya, “Itu juga tidak, kalau mereka telah menemukan itu angsa emas, tentunya si kepala tosu jahat tidak begitu sibuk sampai membongkar terus isi dalam kelenteng!” “Di mana aku bisa bertemu dengan Ciu tojin?” tanya Siong In memandang Hong Pin. Hong Pin menggeleng kepala lagi, katanya, “Entahlah, setelah mengalami keracunan arak hingga ia mabok tak sadarkan diri membuka rahasia Patung Angsa Emas Berkepala Naga, ia niat mengasingkan diri. Tidak mau turut campur urusan dunia kang ouw.” “Apa dia tidak mau balas dendam, atas diri Tikenatan Ceng Hong cinjin?” tanya Siong In. “Itulah, ia mengasingkan diri memperdalam ilmu silatnya, ketua pimpinan dari penjahat itu seorang ahli Hoat sut. Mana bisa Ciu tojin melawan seorang diri. Sedang ketika ia menghadapi tosu itu, bersama Ceng Hong cinjin, hanya bisa membuat si tosu mundur teratur tak dapat melukai dirinya. Itu dikarenakan Ceng Hong cinjin juga sedikit memiliki ilmu Hoat sut, setelah ia binasa siapa lagi yang bisa menghadapi tosu keparat dari Pek-houw-san itu?” Mendengar sampai di sini, Siong In memotong, “Jadi selama ini Ceng Hong cinjin pandai menyembunyikan ilmu silatnya, hingga orang-orang di sekitar Kun-san menyangka ia adalah seorang yang lemah tiada berkepandaian, juga itu padri dari Pek­houw-san entah sudah berapa lama mereka mengincar kelenteng di atas Kun-san, bukankah jarak dari Pek houw-san ke Kun-san memakan ribuan lie jauhnya?” Berkata sampai di situ mendadak saja sepasang mata Siong In memandang terus keluar, ia memperhatikan seorang laki-laki tua yang jalan dengan lemah dari tepian telaga ke arah loteng Gak­yang-louw, lama sinar mata si nona memandang orang itu. Kemudian ia menggeser bangkunya ke belakang dan bangkit berdiri. Hong Pin yang mendengar geseran bangku, ia cepat bangun, tangan kirinya sudah diletakkan di atas gagang tongkat Tiok ciat-piannya yang selalu siap di atas meja, kemudian membalik badan keluar memandang tepian telaga, katanya, “Ada apa?” Mendapat pertanyaan itu, Siong In kaget, dan ketika ia melihat Hong Pin sudah siap dengan tongkat besinya, segera ia berkata, “Tidak ada apa-apa, orang itu..... .seperti ayahku........” Saat itu pandangan wajah Hong Pin pun menatap ke arah telaga tapi karena sepasang matanya buta, ia tak dapat melihat, hanya telinganya saja yang mendengarkan langkah kaki yang mendatangi. Siong In memperhatikan dedak perawakan orang yang mendatangi, benar-benar adalah ayahnya yang pernah ia temukan beberapa tahun yang lewat, mendadak saja berteriak dan lari menghampiri serunya, “Ayah........!”
Ternyata orang yang datang adalah ayah Siong In yang misterius, itulah laki-laki tua berambut hitam berwajah kelimis Lo Siauw Houw. Lo Siauw Houw jalan mendatangi loteng Gak­yang-louw, ia berlarian menyambut sang putri, kemudian di atas jalan berpasir di tepian telaga ayah dan anak saling peluk. “Siong In, apa kau sudah pulang ke rumah memberi tahu ibu?” Di dalam pelukan sang ayah Siong In berkata serak, “Ayah, ibu menunggu kedatanganmu. Ketika kedua kalinya aku tinggalkan ia sering sering menderita sakit, kalau kian lama ayah tak datang pastilah.....” “Anak. . . .anak.......” terharu Lo Siauw Houw mendengar ucapan putrinya, “Tak lama lagi ayahmu akan pulang menengok ibu, nah mari ikut aku, kau jangan keluyuran tidak keruan bercampur gaul dengan orang-orang kasar.” Setelah berkata demikian, Lo Siauw Houw melepaskan pelukannya, ia memandang sejenak ke dalam bawah loteng Gak-yang-louw, lalu menarik lengan Siong In diajaknya berlalu. Siong In juga menoleh ke bawah loteng Gak yang­louw, memandang Hong Pin yang terus berdiri di depan meja menghadap mereka, terdengar si nona berkata, “Tunggu, aku akan pamitan dengan dia, dan eh, rekening makanan belum dilunasi.” “Tinggalkan pemuda buta itu, soal rekening makanan sudah kusuruh orang memberesi.” Dari dalam ruangan bawah loteng, Hong Pin bisa mendengar percakapan Siong In dan Lo Siauw Houw di luar, tapi ia tidak dapat melihat bagaimana rupa ayah si nona, dan ia juga mendengar kemudian datang seorang lain, dari percakapan orang yang baru datang, Hong Pin mengetahui, kalau itulah si tukang perahu yang disewa Siong In, tapi saat itu ayah si nona telah menolak menaiki perahu, dan Siong In pun menyuruh tukang perahu pergi saja, dan sisa uang sewa yang telah dibayarnya tak perlu dikembalikan. Siong In dan ayahnya berlalu dari tepian telaga Tong-teng, sebentar saja bayangan mereka lenyap dari pandangan mata.

Bab 19
DARI ITU, Hong Pin meninggalkan loteng Gak-yang-louw, dengan menggunakan tongkat Tiok ciat-piannya, ia jalan menyusuri tepi telaga.Dengan menotol-notolkan tongkat Tiok-ciat-pian di depan, si pemuda buta berjalan ke selatan, ia mengikuti tepian telaga, akhirnya, perjalanan kian lama kian jauh juga, telaga Tong-teng telah ditinggalkan¬nya.
Meskipun tampak gerak langkah Hong Pin jalan dengan bantuan tongkat seperti lambat tapi kenyataan cepat, karena kadang kala meskipun sepasang matanya buta, ia dapat melompati batu-batu di tepi sungai.Hari itu matahari sudah doyong ke barat, siliran angin sudah berganti arah, telaga Tong-teng sudah jauh di belakang, kini hanya aliran anak sungai yang mengaliri air telaga.
Perjalanan kian lama kian sulit juga, karena ia sudah mesti jalan dengan melom¬pati batu-batu besar, dan jalan tepian sungai mulai curam mendaki ke atas. Tepian di kedua tepi sungai melupakan tebing-tebing batu yang amat tinggi dan curam.Kalau saja orang biasa jalan di tepi su¬ngai yang merupakan tebing-tebingcuram itu pastilah ia sudah tergelincir jatuh dan masuk kecemplung di sungai, walau Hong Pin memiliki sepasang mata buta, ia seperti tidak mengalami kesulitan apapun, dengan bantuan tongkatnya, ia terus maju sambil lompatan.Satu saat mendadak saja Hong Pin menotolkan dengan keras tongkatnya pada batu, badannyapun melambung ke atas, lalu turun berdiri di sebuah batu, pandangan matanya ditujukan ke bawah, ia seperti sedang memperhatikan suara air sungai, tak lama baru ia duduk bersandar pada lamping batu, tongkatnya diletakkan di samping kiri, matanya memandang jauh ke depan ke depan ke seberang lamping tepi sungai. Sinar sang matahari sore yang akan terbenam menyorot wajah Hong Pin.
Di dalam apitan dua tebing curam, riak air sungai bergelombang, suara kericikannya air terdengar jelas di telinga si pemuda.Hong Pin duduk melamun di atas tebing di tepi sungai, lama ia duduk demikian rupa, entah apa yang dipikirkannya, hingga matahari menggelusur ke belakang balik sela puncak gunung, barulah dengan malas-malasan ia bangkit berdiri, lalu dibukanya baju luarnya kemudian baju dalamnyapun di-tanggalkan, ditumpuknya di atas tongkat Tiat-ciat-pian yang menggeletak di atas batu.
Dalam keremangan senja tampak kepo¬losan badan Hong Pin, sejenak ia memperhatikan keadaan dirinya, tangannya meraba-raba kulitnya yang halus kuning, pinggangnya ramping kedua betis kakinya licin mengkilat, bentuk potongan tubuh itu tidak mirip potongan badan seorang laki-laki, tapi itulah satu bentuk indah dari tubuh se¬orang gadis remaja.Setelah sekian saat Hong Pin memperhatikan dan meraba-raba potongan badannya, baru ia lompat terjun ke dalam sungai.
Pluuunnnnnnggggg .......Hong Pin nyemlung ke sungai, ia bere¬nang kian kemari, timbul tenggelam di permukaan air di bawah keremangan cahaya disenja hari.Rambutnya yang digelung sudah terurai basah, wajahnya yang kotor menjadi bersih licin menguning.Setelah sekian saat ia membersihkan badannya, berenang sepuas hati lalu lompat naik ke tepian, dengan sepasang matanya yang buta ia berlompatan naik ke atas.Tiba di samping tumpukan bajunya, Hong Pin berdiri, berulang kali ia berlompatan mengeringkan sisa-sisa air sungai yang masih melekat di tubuhnya, rambutnya berulang kali ditepas-tepaskannya. Rambut itu terurai panjang sampai di pinggang, itulah uraian rambut seorang gadis, bagian dadanya tampak tersembul keluar. Betis dan pahanya kuning licin. Wajahnya menunjukan kecantikan yang luar biasa. Kalau dibanding dengan kecantikan Siong In, wajah Hong Pin tidak kalah cantiknya, hanya sayang sepasang matanya buta.Setelah sisa-sisa air yang melekat pada tubuhnya menjadi kering, barulah ia menge¬nakan pakaian. Menggulung rambutnya digelung ke atas, dan dari dalam saku bajunya, ia mengeluarkan sebuah botol, dari dalam botol itu, ia menuangkan semacam cairan kemudian diulasnya ke wajahnya, maka wa¬jah yang cantik itu kini sudah berubah menjadi wajah seorang pemuda tampan.
Si gadis buta Hong Pin, kembali menya¬mar menjadi seorang pemuda buta.Haripun tambah lama menjadi gelap, siang sudah merayap berganti malam.Bagi Hong Pin yang sepasang matanya buta apalah artinya pergantian siang dan malam, siang ia bisa berjalan mengandalkan tongkat dan pendengaran serta pera¬saannya yang tajam, malam baginya tak ada beda, bila lelah ia istirahat tidur, bila bangun ia melanjutkan jalannya.Malam itu setelah mandi dan dandan sebagai seorang pemuda buta, Hong Pin rebah telentang, di sela-sela batu, tongkat Tiok ciat-pian, diletakkan di sebelah kiri badannya kemudian kelopak matanya terpejam.Tapi baru saja ia mengatupkan sepasang matanya, telinganya yang menempel pada batu mendengar suara beberapa langkah kaki orang. Mendengar itu Hong Pin kaget, ia miringkan kepalanya, kini telinganya ditempelkan pada bumi mendengarkan suara itu datangnya dari arah mana.Setelah mendengar sekian saat mendadak saja Hong Pin bangun berdiri, lalu dengan tongkatnya, ia berlompatan di pinggiran su¬ngai mengejar arah datangnya suara langkah kaki orang.Kalau saja sepasang mata Hong Pin ti¬dak buta, ia bisa melihat di dalam kegelapan malam di atas lamping gunung tidak jauh di depannya tampak sinar sinar api obor bergerak-gerak kemudian lenyap di tikungan jalan gunung.Hong Pin hanya mengandalkan pada ketajaman pendengarannya, sering kali ia menempelkan telinganya pada lamping batu gunung untuk mendengar suara tapak-tapak kaki yang ramai. Setelah suara itu mendadak lenyap ia menengadahkan kepalanya ke atas, pikirnya,“Suara langkah kaki itu tidak kurang dari seratus orang, mereka jalan di arah lamping gunung, hmm, tengah malam buta begini mereka beramai-ramai mau bikin apa?”Setelah berpikir begitu, Hong Pin lalu mencari-cari jalan untuk merambat naik ke atas.Dengan bantuan tongkat Tiok ciat-piannya, akhirnya ia tiba di atas jalan gunung, dimana tadi terdapat banyak api-api obor yang bergerak!Begitu tiba di atas jalan gunung Hong Pin mendekam di atas jalan menempelkan telinganya di tanah, mendengarkan langkah-langkah kaki orang. Kemudian tak lama ia sudah meletik bangun, lalu jalan menuju belokan jalan gunung.Angin malam berkesiur dingin, sinarnya rembulan menerangi empat penjuru dunia.Hong Pin terus jalan dalam kegelapan, berulang kali ia mendekam di atas jalan mendengar suara-suara langkah kaki orang, ia terus mengikuti gerak suara langkah kaki itu, akhirnya sampai fajar menyingsing.Hong Pin tidak tahu kini berada di tempat apa, dari suara ramainya burung-burung berkicau di angkasa, ia tahu kalau hari sudah berganti pagi.Selagi ia berdiri bengong, mencari-cari jejak suara langkah kaki orang, mendadak saja telinganya mendengar sayup-sayup irama suara seruling. Suara seruling itu sangat aneh kedengarannya, terdengar seperti suara ribuan tikus.Mendengar suara seruling itu, langkah kaki Hong Pin melangkah ke depan mencari dari mana datangnya suara suling.Hong Pin yang jalan dengan mata butanya, ia tidak tahu kini sudah berada di tempat apa. Sedangkan sayup-sayup suara seruling aneh yang mengeluarkan suara ribuan tikus masih terdengar terus.Sambil berdiri dengan tongkatnya Hong Pin memeriksa sekeliling tempat dimana ia berdiri, tongkat baja itu ditotol-totolkan ke depan kiri dan kanan, setelah memeriksa demikian rupa tahulah ia, kalau dirinya sedang berada di atas jalan lamping gunung, di depannya di pinggiran jalan lamping gunung merupakan jurang lembah, dan suara seruling tadi keluar dari dalam lembah.Di sekitar lembah dikurung oleh lamping-lamping gunung, jauh di angkasa tampak puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi menembusi awan.Dari angin yang bertiup dari depannya tahulah Hong Pin, bahwa itu merupakan lembah curam, ia mesti mencari jalan untuk menuruni jalan tebing turun ke dalam lembah.Suara suling yang keluar dari dalam lembah kian lama kian santer, suara itu kadang kala seperti iramanya angin malam yang berhembus, kadang kala berubah seperti suara mencicitnya ribuan tikus.

********0dwkz0lynx0mukhdan0********
JILID 8
HONG PIN yang telinganya lebih tajam dari manusia manapun, ia jadi heran, bagaimana suara seruling tadi bisa mengeluarkan suara ribuan tikus.Kalau dibilang suara yang keluar dari dalam lembah adalah suara dari ribuan tikus itulah juga tidak mungkin, karena telinga Hong Pin mana mungkin bisa dibohongi dengan irama seruling yang demikian rupa.Kalau taja sepasang mata Hong Pin tidak buta dari atas jalan lamping gunung itu ia bisa melihat pemandangan di bawah lembah, di sana sudah berkumpul tidak kurang dari seratus orang bertopeng hitam, pada setiap dada mereka mengenakan gambar lukisan Kalong.Berpuluh-puluh orang seragam hitam bertopeng berkumpul di bawah lembah, mereka menghadap lamping batu di atas tempat itu terdapat sebuah lubang goa yang tertutup oleh rimbunnya daun pohon, dan suara seruling tadi keluar dari mulut goa.Kalau melihat dari tingginya letak goa pada tebing lembah, sebenarnya tidaklah tinggi, karena letaknya goa dari dasar lembah hanya setinggi pohon Siong yang tumbuh tepat di depan goa, dan daun-daun pohon siong di atas sana, menutupi lubang goa hingga tak tampak jelas bagaimana dalamnya goa itu.Dan untuk memasuki lubang goa di atas tebing memang tidak terlalu sulit, dengan memanjat pohon siong yang tumbuh di depan goa, bisa segera lompat masuk ke dalam.
Pada waktu itu sinar matahari pagi baru mencorot keluar, tampak lima orang seragam hitam sudah memanjat pohon siong yang tumbuh di depan goa, setelah tiba di atas rimbunan daun-daun pohon siong, mereka serentak lompat masuk ke dalam lubang goa, dimana terdengar suara suling. Berpuluh-puluh seragam hitam mendongakkan kepala ke atas memperhatikan lima kawan mereka memanjat pohon dan menerjang masuk ke dalam goa.Tapi belum mereka berhasil lompat masuk menerjang ke dalam goa, mendadak terdengar tuara lima kali jeritan menggantikan suara suling, kemudian disusul dengan terpentalnya lima sosok seragam hitam keluar goa, kelima sosok seragam hitam itu membentur ranting-ranting pohon, kemudian mereka jatuh di tanah. Di atas tanah berumput tubuh mereka kelejetan.Berpuluh-puluh orang seragam hitam menyaksikan lima kawan mereka berpentalan keluar dengan mengeluarkan suara jeritan, kemudian bergeletakan di tanah, mereka datang memeriksa ternyata pada setiap tubuh orang-orang yang jatuh terpental masing-masing terdapat beberapa ekor tikus menggigit tenggorokan.Suara jeritan dan kesakitan dari lima orang seragam hitam itu tak lama, karena setelah mereka roboh, kelejetan mendapat gigitan tikus tidak ampun lagi mereka binasa, kebinasaan mereka disusul dengan binasanya tikus-tikus yang menggigitnya. Kemudian tubuh seragam hitam bertopeng tadi berubah menjadi cairan biru. Maka lima sosok tubuh manusia dan beberapa ekor tikus telah binasa menjadi cairan warna biru membasahi bumi di pagi hari.Sementara itu suara seruling terdengar lagi membawakan suara ribuan tikus.Dalam suasana demikian rupa, dari rombongan orang-orang seragam hitam terdengar suara siulan panjang, keluar dari mulut si topeng hitam yang mengenakan lukisan Kalong Kuning di dada.Mendengar suara siulan itu puluhan orang topeng hitam dari golongan Kalong, semua berkumpul di tengah lembah, mereka bernaung di bawah rindangnya pohon menanti perintah dari pimpinannya.Si orang topeng hitam berlambang Kalong Kuning, setelah mengumpulkan kawan-kawan mereka lalu lompat melesat lari ke dalam semak-semak belukar yang tumbuh lebat di pinggir lembah.Di balik semak belukar di sana terdapat sebuah tenda hitam, di depan tenda sebelah kiri terdapat satu lukisan binatang Kalong berwarna biru, dan di sebelah kanan dari muka tenda terdapat lukisan buah Tho dan dua lembar daun menghias di atasnya.Setelah tiba di depan tenda, si topeng hitam berlambang Kalong Kuning berkata,”Sam lengcu. Lapor, regu Kalong Putih dan Kalong Kuning gagal menembusi barisan tikus-tikus penjaga goa.”Dari dalam tenda terdengar suara orang menggerendeng kemudian membentak,”Menghadapi rombongan tikus saja kalian tak sanggup menerjang. Manusia-manusia gentong nasi ...”“Tapi, tikus-tikus itu rupanya peliharaan orang peniup suling!” Potong si pelapor.Dari dalam tenda terdengar lagi suara orang berkata, ”Berapa banyak tikus di dalam lubang goa itu?”“Belum tahu. Karena orang-orang kita yang menerobos ke dalam, begitu mereka terpental ke luar, sebelum sempat memberi laporan tidak seorangpun yang bisa bernapas.”“Hmmm. Kalian siapkan panah berapi,” terdengar suara dari dalam tenda. “Hendak kulihat, apa orang itu masih sanggup sembunyi di dalam goanya. Dan apa yang bisa di bikin oleh tikus-tikusnya.”“Baik.” Jawab si pelapor di depan tenda yang segera membalik badan, kembali pada rombongannya di tengah lembah.Berbarengan dengan berlalunya si pelapor bertopeng hitam dari depan tenda, maka dari dalam tenda keluar dua orang, seorang adalah laki-laki tua berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, rambutnya masih hitam, wajahnya kelimis tak tumbuh kumis atau selembar jenggot, dan seorang lagi adalah seorang gadis berusia tujuh belasan tahun. Gadis itu mengenakan baju warna merah sedang di dadanya terdapat itu perhiasan berbentuk buah Tho berdaun dua. Dan begitu gadis tadi berada disamping kanan si orang tua ia bertanya,“Ayah, sebenarnya, di dalam goa itu terdapat orang macam apa?”Orang tua berwajah klimis berambut hitam mendengar pertanyaan si gadis, ia kaget, memandang si gadis, lalu berkata,“Anak, sebaiknya kau jangan turut campur urusan. Pada dua tahun yang lalu sudah ku katakan, kau harus pulang dan berdiam di Hong-san mengurus ibumu, tidak tahunya kau terus keluyuran di rimba persilatan, dan di loteng Gak yang louw kau berkenalan dengan itu pemuda buta, yang telah membuat onar membunuh orang!”Setelah berkata begitu, orang tua itu melangkah maju meninggalkan tenda menerobos semak-belukar menuju ke tengah-tengah lembah.Si gadis segera mengikuti langkah ayahnya, sambil jalan ia berkata,“Kalau ayah pulang, Siong Inpun pulang. Tapi kalau ayah masih campur urusan orang-orang bertopeng hitam ini, aku mesti turut ayah.”“Hmmm. Kau jangan bikin pusing aku.” kata sang ayah “Urusan ini, bukan urusanmu. Kalau kau menghendaki nyawamu masih melekat di tubuh sebaiknya jangan mencampuri urusan ini. Aku berusaha agar kau jangan sampai ditarik masuk menjadi anggota golongan ....”Sampai di situ si orang tua klimis berambut hitam, yang bukan lain adalah Lo Siauw Houw, menghentikan kata-kata, ia menoleh ke belakang menatap wajah sang putri yang bukan lain adalah Siong In.Ternyata, setelah Siong In diajak pergi oleh Lo Siau w Houw meninggalkan Hong Pin di dalam loteng Gak-yang-louw ia langsung dibawa ke rombongan golongan Kalong.Semula Siong In kaget, begitu sang ayah membawa ia ke dalam rombongan orang-orang bertopeng hitam, dari golongan Kalong, karena ia tahu kalau golongan ini adalah orang-orang yang membuat teror terhadap diri keluarga Kang Hoo pada dua tahun yang lalu dan ia dengan gigih, telah turun tangan membantu Kang Hoo lolos dari cengkraman maut golongan aneh ini, sampai saat ini si pemuda yang pernah ia tolong itu belum tahu lagi kabar beritanya.Juga Siong In sadar tentunya diantara anggota anggota berseragam hitam berselubung hitam ini tentulah ada beberapa orang yang mengenali dirinya ketika pada 2 tahun yang lewat pernah menempur mereka dalam menolong Kang Hoo tapi dalam kenyataan setelah ia tiba dalam rombongan itu, di dalam lembah ini orang-orang seragam hitam bertopeng semua menaruh hormat pada sang ayah, kejadian itu membuat Siong In jadi terlongong-longong, ia tidak menduga bagaimana sang ayah yang setahunya tak pernah memiliki ilmu silat begitu dihormati oleh orang-orang golongan Kalong, bahkan mendapat panggilan Sam lengcu, ia berulang kali bertanya tentang hal itu, tapi Lo Siauw Houw tidak mau menjawab pertanyaan sang putri.Hingga akhirnya Siong In tidak mau bertanya lagi.Dan di pagi ini entah bagaimana rombongan yang sejak semalam turun ke bawah lembah, mereka berusaha untuk menerjang lubang goa yang dihuni oleh ribuan ekor tikus.Semula Siong In juga merasa heran, untuk apa orang bertopeng hitam ini mesti menerjang barisan tikus yang menghuni goa, memang tikus itu selalu mengeluarkan suara mencicit yang ramai sekali, karena banyaknya, maka suara-suara tikus tadi menggema dan berpantulan di lamping lembah.Ia juga sudah menyaksikan bagaimana sejak orang-orang seragam hitam berselubung muka yang menerjang masuk telah terpental keluar dan binasa digigit tikus. Tapi ia tidak mau memperdulikan mereka. Siong In turut sang ayah masuk ke dalam tendanya untuk istirahat. Dan ketika pelapor dari barisan tempur golongan Kalong memberi laporan bahwa rombongan tikus tak dapat ditembus dan kemudian sang ayah memerintahkan menggunakan panah berapi. Maka ia juga turut keluar untuk menyaksikan, apakah yang akan dilakukan rombongan orang-orang seragam hitam miste¬rius ini.Siong In berjalan diblakang sang ayah, mendadak ia teringat akan ucapan kata-kata pelapor tadi, kalau tikus-tikus itu ada orang yang memelihara, maka saking herannya ia bertanya,“Ayah, bagaimana mereka tahu, kalau dalam goa itu terdapat manusia sebagai raja tikus?”Sambil melangkah terus ke depan Lo Siauw Houw berkata,“Kau jangan bicara yang bukan-bukan, kedatangan kita ke tempat ini, pertama untuk mencari itu rahasia Angsa Mas Berkepala Naga, tapi di atas Kun san mendengar berita kalau di dalam kelenteng Tiok-san-koan sudah tak terdapat itu benda. Dan kemarin malam dari salah seorang penyelidik kita, diketahui bahwa di dalam goa itu telah terdengar keluar beberapa patah ucapan dari agama baru yang kita mesti tumpas sampai ke akar-akarnya. Maka kita telah meninggalkan kelenteng Tiok-san-koan datang ke tempat ini, untuk membasmi itu manusia yang mengeluarkan kalimat larangan.”Mendengar keterangan sang ayah sambil jalan di belakang, Siong In berkata,“Apakah golongan Kalong tidak melakukan pertempuran dengan padri-padri jahat yang telah merebut kelenteng Tiok san koan?''“Diam!'' Tiba-tiba Lo Siauw Houw membentak, langkahnya terhenti, ia membalik badan, menatap Siong In dengan mata mendelik.Begitu smg ayah membentak, Siong In kaget bukan kepalang, kekagetan mana bertambah lagi ketika sang ayah membalik badan memandang ia dengan kedua mata mendelik keluar. Maka serentak juga ia menghentikan, langkahnya, berdiri melongo.
“Kau jangan sembarang omong,” seru Lo Siauw Houw kemudian. Dengan masih rupa bingung Siong In berkata,“Ayah! Kau. Kenapa.....?”
Lo Siauw Houw menundukkan muka dalam-dalam ia menghela napas, kemudian katanya, “Sebaiknya kau jangan banyak bicara, padri-padri di atas Kun san itu semua adalah orang dari Pek-houw san, kita tidak punya permusuhan dengan mereka. Sementara isi tugas kita melenyapkan masuknya agama baru ke Tionggoan!”Mendengar kata-kata sang ayah, Siong In lebih bingung lagi, sampai ia tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun memandangi sang ayah dengan rupa mendelong.“Ayo jalan. Nanti apa yang kau lihat saksikan saja, jangan turut campur dan jangan banyak bicara,” Seru Lo Siauw Houw membalik badan melanjutkan perjalanannya menuju ke tengah lembah, melewati semak-semak belukar.Sementara itu suara cicit tikus masih berkumandang di dalam lembah, suaranya sangat aneh, karena sekali terdengar suara berisik tidak keruan dari suara tikus-tikus yang asli, dan kadang kala berubah seperti berirama, itulah suara tikus yang keluar dari hembusan seruling.Begitu Lo Siauw Houw dan Siong In keluar dari semak belukar yang melindungi kemah mereka dari pandangan mata mendadak saja Lo Siauw Houw melangkah mundur wajahnya menunjukkan kekagetan. Ia memandang ke tengah lembah.
Di tengah lembah, rombongan orang-orang bertopeng hitam kacau balau tidak keruan, beberapa orang tampak terpental mundur dan binasa seketika.Siong In juga menyaksikan kejadian itu orang-orang seragam bertopeng hitam kini sedang melakukan pertempuran, rupanya lawan yang muncul di tempat itu adalah seorang jago yang kuat, karena puluhan orang seragam hitam itu, tak sanggup menghadapi serangan-serangan maut lawan. Dan karena jumlah orang-orang seragam hitam yang mengeroyok lawan terlalu banyak dan gerakan orang yang dikeroyok terlalu cepat hingga sulit untuk segera dilihat bagaimana bentuk dan perawakan serta wajah lawan yang mereka hadapi. Hanya dari gerak bayangan-bayangan lompatan orang itu dapat diketahui kalau orang tadi menyerang dengan menggunakan senjata seperti pedang tapi bukan pedang, di mana senjata itu berkelebat maka robohlah seorang seragam hitam.
Gerakan bayangan tadi lincah dan gesit, berkelebat memainkan senjata, kadang kala badannya mumbul ke atas, melakukan serangan dari udara, kadang kala ia mengamuk membabi buta, melakukan serangan dari bawah hingga puluhan orang seragam hitam kocar kacir tidak keruan, dan beberapa orang yang berada di belakang kawan mereka yang terdorong mundur akibat amukan orang itu, jadi pada terpelanting tertubruk kawan sendiri.Lo Siauw Houw yang menyaksikan pertempuran itu, mendadak saja ia bersiul.Begitu terdengar suara siulan, maka sisa-sisa orang-orang seragam hitam yang melakukan pertempuran serentak berlompatan mundur, mereka menghentikan serangan dalam posisi mengurung lawan di tengah.Siong In yang begitu pertempuran terhenti, ia berteriak,“Hong Pin!”
Tapi suara teriakan itu mendadak terhenti di tengah udara, karena satu tamparan telak melayang ke pipi si nona.Sebenarnya Siong In dengan mudah bisa mengelakkan datangnya tamparan tadi, tapi karena yang melakukan tamparan itu adalah sang ayah sendiri, ia hanya berdiri bengong saja, dan setelah tamparan itu berlalu ia tinggal mengusap-usap pipinya yang sudah terpeta lima jari tangan sang ayah.Sementara itu salah seorang dari antara rombongan orang berselubung hitam yang memiliki lukisan Kalong Kuning, berlari ke arah Lo Siauw Houw, melihat dari dedak perawak¬an orang itu, ia adalah orang yang tadi memberi laporan di depan tenda.Belum lagi orang tadi sempat membuka mulut melapor sudah didahului oleh pertanyaan Lo Siauw Houw, serunya,“Kalian bagaimana tidak berguna menghadapi satu orang saja, mesti memakan banyak korban.”“Sam lengcu, anak buta itu memiliki kecepatan luar biasa, dan itu senjata Tiok-Ciat-piannya sangat ganas!”“Hmmmm,” Lo Siauw Houw mengeluarkan suara dari hidung. “Apa kau tahu asal usulnya?”“Ia tidak mau menyebut namanya, begitu lompat turun dari atas tebing,” kata si selubung hitam, sambil menunjuk ke atas tebing. “Ia lalu menanyakan apa maksud kita di tempat ini. Maka salah seorang dari kita memberi jawaban, kemudian melakukan serangan. Dengan maksud sekaligus membekuk bocah buta itu, dan kita lempar ke atas lubang goa untuk dijadikan umpan tikus. Tidak tahunya ia telah mengamuk seperti kerbau buta,”“Huh!” Lo Siauw Houw mengeluarkan suara dari hidung, kemudian mendorong orang itu ke samping, ia lalu maju ke depan, diikuti oleh Siong In.
Siong In sebenarnya ingin mencegah sang ayah turut campur urusan ini, tapi mengingat kalau kedudukan ayahnya di sini merupakan pimpinan dari rombongan golongan Kalong, maka ia membungkam tidak bisa berkata apa-apa, ia hanya mengharapkan agar sang ayah jangan sampai turun tangan menghadapi Hong Pin, kalau tidak pastilah salah satu akan menjadi korban.Sementara itu dengan sepasang mata butanya, Hong Pin berada di tengah-tengah kurungan puluhan orang berseragam dan berselubung hitam, tangan kirinya mencekal tongkat Tiok-ciat-pian yang ditunjangkan di depan dirinya, sedangkan kepalanya bergerak-gerak seakan sedang mende¬ngarkan suara-suara yang berada di sekitarnya, ta¬pi saat itu kecuali suara mencicitnya tikus dari lubang goa di atas lamping yang tertutup oleh rimbunnya daun-daun pohon tak terdengar suara gerakan apapun, hidung Hong Pin juga terus kembang kempis, ia seperti mencium-cium sesuatu. Dengan ia masih berdiri tegak di tengah-tengah kurungan orang berselubung hitam.Pada saat itu, barisan kurungan orang-orang berselubung hitam, begitu mereka mendengar suara langkah kaki Lo Siauw Houw mendatangi, mereka serentak membuka jalan memberi kesempatan Sam lengcu bersama putrinya masuk dalam kurungan.Dengan sepasang telinganya yang sangat tajam, Hong Pin mendengar langkah kaki orang yang telah memasuki kurungan barisan seragam hitam. Dan pandangan mata butanya menatap ke depan. Memperhatikan dengan penuh kewaspadaan. Tongkat Tiok-ciat-pian di tangan kiri disilang di depan dada.
Siong In yang turut masuk ke dalam kurungan barisan orang-orang seragam bertopeng hitam, begitu melihat sang ayah masih terus jalan mendekati Hong Pin, mendadak saja, ia mencekal lengan ayahnya katanya,“Ayah ......!”
“Diam!” Bentak Lo Siauw Houw, mendorong Siong In. “Kau mundur.”
Hong Pin sang mendengar suara Song In, ia jadi tersentak kaget, kakinya mundur selangkah ke belakang, keningnya berkerut. Kemudian ia berkata,“Apakah ini rombongan nona?”
Lo Siauw Houw yang terus jalan mendekati membentak, “Bangsat buta, nona siapa? Kau tidak ada sangkut paut dengan putriku!”Mendengar suara bentakan itu, Hong Pin kembali mundur selangkah, sambil melangkah mundur ia berkata,“Locianpwee, harap jangan maju lagi, memandang muka anak gadismu, aku bersedia pergi dari tempat ini.”
“Hmmm.” Dengus Lo Siauw Houw. ”Baik! Kau ingin keluar dari sini.”
“Ayah .....” Terdengar lagi suara panggilan Siong In di belakang.Lo Siauw Houw menoleh ke belakang memandang sang putri. Kemudian katanya,“Kau terlalu banyak cerewet, nah, sekarang kau kemari!”Mendapat panggilan sang ayah, Siong In jalan menghampiri, begitu ia tiba di samping Lo Siauw Houw, orang tua itu menunjuk pada Hong Pin, lalu katanya,“Kau kenal bocah ini?”Siong In mengangguk, katanya,“Ia datang ke daerah Kun-san mencari rahasia Angsa Mas Berkepala Naga. Tapi usahanya sia-sia belaka.”“Hmmm. Bagus! Bagus!” Seru Lo Siauw Houw mengangguk kepala. “Kau juga niat mencari rahasia itu. Nah untuk apa benda itu kau inginkan?”Hong Pin menundukkan kepala, tampak ia berpikir, kemudian baru mengangkat kepalanya memandang Lo Siauw Houw, jawabnya, “Guna mendapat obat menyembuhkan mataku yang buta! Atas perintah suhuku!”“Jadi suhumu itu memerintahkan murid butanya? Bagaimana ia tidak keluar sendiri dari dalam sarang, he?” Kata Lo Siauw Houw. “Dan siapa itu suhumu, dimana perguruanmu?”“Maaf cianpwee, siaute tak bisa menyebutkan,” jawab Hong Pin.“Hmm. Mungkin kau juga belum pernah melihat wajah suhumu,” seru Lo Siauw Houw. “Mungkin suhumu itu seorang iblis kejam atau manusia berwajah buruk,”“Locianpwe, harap jangan sebut-sebut soal guruku,” seru Hong Pin. “Kalau mau turun tangan bertempur, silahkan segera. Aku siap menerima serangan.”Mendengar tantangan Hong Pin, yang demikian sombongnya, Lo Siauw Houw tertawa terkekeh, kemudian ia menoleh pada Siong In di samping, katanya,“Kawan butamu itu menantang aku bertempur.
Heheee .... Tapi aku tak ada niat bertempur. Nah, kau pergilah bersamanya. Dan ingat, jangan lagi turut campur urusan ayahmu, mengerti!”Mendengar kata-kata sang ayah Siong In jadi melompongkan mulut, ia setengah percaya setengah tidak akan ucapan ayahnya itu. Masih tetap berdiri di samping ayahnya. Sepasang mata si nona memandang ke arah Hong Pin yang berdiri dengan menyilang tongkat di depan dada.Kata-kata Lo Siauw Houw tadi membuat Siong In melompongkan mulut tidak percaya atas pendengarannya, bahkan puluhan orang seragam hitam bertopeng, mereka juga tidak percaya akan pendengaran telinga mereka, mereka saling pandang satu sama lain, berbisik apa yang didengar oleh sang kawan, dan jawabannya tentulah sama seperti apa yang di dengar olehnya. Maka merekapun semua melompongkan mulut.Sementara itu suara tikus yang keluar dari lubang goa di atas lamping batu terus terdengar terbawa angin lembah, iramanya bercampur aduk dengan suara bergesekannya daun-daun ditiup angin.Hong Pin masih berdiri di tengah-tengah kurungan orang-orang seragam hitam. Dan Siong In masih berdiri menjublek terlongong-longong atas perintah sang ayah yang menyuruhnya pergi meninggalkan tempat itu bersama seorang buta.Meskpun hati Siong In merasa heran atas ucapan ayahnya itu, tapi sebagai seorang gadis yang belum banyak makan garam rimba persilatan, ia tidak pikir panjang kalau ucapan sang ayah mengandung latar belakang lain. Itulah satu tipu muslihat licik untuk merobohkan si pendekar buta dengan berpura-pura membebaskannya, maka dengan diam-diam Lo Siauw Houw akan melakukan serangan bokongan.Lo Siauw Houw tidak menduga kalau Hong Pin ini sebenarnya juga adalah seorang gadis, begitupun dengan Siong In, ia juga telah tertipu atas penyamaran Hong Pin, bahkan ratusan orang-orang seragam dan bertopeng muka hitam juga sudah menyangka kalau lawan di depannya ini adalah seorang pemuda buta. Maka Lo Siauw Houw ingin menggunakan taktik perempuan membuat lawan lengah.Selagi mereka diam membisu, mendadak sudah terdengar lagi suara Lo Siauw Houw memerintahkan sang putri untuk meninggalkan tempat bersama Hong Pin, katanya,“Siong In, kau pergilah. Jangan tunggu pikiranku berobah.”Siong In yang berdiri di samping sang ayah, dengan memandang lesu wajah ayahnya, ia berjalan menghampiri Hong Pin, di depan Hong Pin ia berkata, “Nah, ayahku menyuruh kau pergi bersamaku. Ayo jangan buang waktu. Mari kita pergi!”Puluhan orang-orang seragam bertopeng muka hitam, yang melakukan pengurungan begitu mereka menyaksikan Siong In sudah jalan mendekati Hong Pin, pandangan mata mere¬ka ditujukan ke arah Lo Siauw Houw, mata mereka penuh tanda tanya dan selidik.Sementara itu, di dalam kurungan mereka Hong Pin dengan masih menyilangkan tongkat Tiok ciat-pian di depan dada, dari pendengarannya yang tajam, ia mengetahui kalau si nona sudah ada di depannya, maka ia berkata, “Nona, hari ini aku benar-benar menemukan kejadian ganjil ayahmu memimpin ini orang-orang buas, mereka ingin membunuh orang yang berada di dalam goa, bagaimana aku bisa tinggal diam begitu saja,”Mendengar ucapan Hong Pin, kepala Siong In menoleh memandang ke atas lamping, di mana di balik rimbunnya daun-daun pohon siong terdengar suara mencicit dari ribuan tikus. Kemudian dengan masih mengarahkan pandangan matanya ke arah lubang goa yang tertutup oleh daun-daun pohon, Siong In berkata,”Orang di dalam goa itu, kalau ia seorang jujur tentunya sejak tadi sudah menunjukkan wajahnya, tapi beberapa orang dari orang-orang ayahku setelah berusaha menerobos masuk, mendadak berpentalan keluar dan binasa digigit tikus peliharaan orang aneh itu. Apakah orang itu boleh dikata seorang baik?”
“Hmmm. Aku tahu, tapi urusan mereka dengan orang itu mengapa mesti ambil pusing, kalau kita biarkan orang itu mendekam di dalam goanya bersama tikus-tikusnya, tokh tak akan terjadi hal demikian.”Berkata sampai di situ, mendadak saja dari belakang terdengar Lo Siauw Houw tertawa, kemudian berkata,“Bocah buta, kau tahu apa, manusia yang berada dalam goa itu adalah golongan manusia yang mesti dibasmi dari muka bumi.”“Apa alasanmu?” Tanya Hong Pin.Mendengar pertanyaan Hong Pin, Siong In yang berada d depannya juga menoleh ke arah sang ayah, ia juga mengajukan pertanyaan,“Ya, apa alasan ayah?”
“Sudah kukatakan padamu,” kata Lo Siauw Houw pada Siong In “Orang di dalam goa itu telah mengeluarkan ucapan kata-kata yang terlarang disebar luaskan di dataran Tiongkok. Itulah bunyi dari kitab ajaran agama baru.”
”Apakah yang telah diucapkan orang itu?” Potong Hong Pin.Mendapat pertanyaan Hong Pin, Lo Siauw Houw memandang ke salah seorang seragam hitam berselubung muka, yang mengurung di sebelah kiri, lalu katanya,“Apa yang kau dengar dari dalam goa, kemarin itu, terangkan pada mereka.”
Salah seorang seragam hitam bertopeng memandang Lo Siauw Houw, kemudian katanya,“Itulah ucapan, Uuuulah, hukabar .... terdengar ketika matahari mulai tenggelam.”“Uuulah hukabar?” Ulang Hong Pin mengkerutkan kening.Siong In yang mendengar ucapan itu kembali ia memandang ke lubang goa di atas lamping gunung, wajahnya menunjukkan rupa kaget dan girang, kemudian ia menoleh ke arah orang seragam hitam yang mengucapkan kata-kata uulah hukabar tadi, katanya, “Hei apa kau tidak salah dengar, apa yang diucapkan orang dalam goa itu bukannya kata Allahu akbar ....”Si seragam hitam berselubung, mendadak tersentak kaget, serunya,“Ya, benar, benar itulah ucapannya, eh bagaimana nona bisa mengucapkan kata itu? Apakah......?””Hmmm. Guruku seorang nikhow dari golongan Budha. Kau jangan tuduh aku sebagai murid golongan agama itu,” potong Siong In cepat.Lo Siauw Houw yang berdiri di depan kurungan orang-orang seragam hitam, ia segera membentak,“Siong In! Cepat kau berlalu, jangan banyak bicara di sini, ajak itu pemuda buta, kau jangan bikin pusing ayahmu. Ingat apa yang kukatakan di dalam tenda,”Mendengar peringatan sang ayah, Siong In berpikir kalau melihat sikap ayahnya di tempat ini, sang ayah tentulah merupakan pimpinan dari rombongan seragam hitam ini, tapi rupanya di atas sang ayah masih ada seorang pimpinan lain yang lebih tinggi dan lebih berkuasa dari pada ayahnya, kalau tidak masakan sang ayah mengucapkan sesuatu di depan orang banyak, bahkan ketika Siong In mengucapkan kalimat aneh tadi, sang ayah cepat-cepat membentaknya, rupanya kuatir kalau Siong In dituduh menjadi salah seorang pengikut aliran agama baru itu, sedangkan ucapan kalimat tadi ia dapat dengar dari mulut Kang Hoo pada dua tahun yang lalu, ketika ia melarikan diri dari kepungan orang-orang bertopeng ini di malam rembulan. Dan kalau benar orang di dalam goa mengucapkan kalimat demikian maka tentulah orang itu adalah si pemuda Kang Hoo. Tapi begitu ia teringat lagi kalau si pemuda dibawa lari gadis Biauw, ia jadi ragu-ragu akan dugaannya. Setelah berpikir panjang, ia memandang ke seluruh kurungan orang-orang seragam hitam kemudian katanya,”Urusan orang di dalam goa, bukan urusanku.”Setelah berkata begitu, ia lalu mengajak Hong Pin meninggalkan tempat itu.Meskipun sepasang mata Hong Pin buta, tapi pendengaran dan perasaan mata bathinnya bisa menduga kalau antara ayah dan anak itu terjadi keanehan, maka dengan menganggukkan kepala, ia segera membalik badan untuk segera meninggalkan lembah ini.Berbarengan dengan gerakan balik badan Hong Pin, mendadak saja kurungan orang-orang seragam hitam bergerak merapat, mereka tidak mau membiarkan Hong Pin berlalu dari situ, karena si pemuda buta telah membunuh banyak kawan-kawan mereka, mana mau mereka melepaskan si buta begitu saja.Tapi mendadak saja, berbarengan dengan merapatnya kurungan orang-orang itu terdengar suara bentakan Lo Siauw Houw yang sudah lompat ke belakang Hong Pin.“Buka jalan!!”
Serentak dengan suara bentakan Lo Siauw Houw, maka kurungan orang-orang seragam hitam yang menghalangi jalan Hong Pin dan Siong In serentak membelah dia membuka jalan.Waktu itu sebenarnya Hong Pin sudah siap dengan tongkatnya, bila saja orang-orang ini berani main gila ia akan melakukan serangan amukan yang luar biasa. Tak seorangpun yang akan diberi kesempatan tidak merasa bagaimana enaknya kemplangan tongkat baja Tok-ciat-piannya.Tapi begitu ia mendengar bentakan Lo Siauw Houw yang memerintahkan kurungan orang-orang jubah hitam membuka jalan, dan mendengar di depannya suara langkah-langkah kaki sang terpencar kedua belah sisi membuka jalan, Hong Pin melanjutkan jalannya, sedang Siong In di samping si pemuda buta menuntun ke depan.Orang-orang seragam dan selubung hitam mendengar suara perintah dari Lo Siauw Houw mereka tidak berani membantah, hanya hati mereka sedikit dibikin bingung dengan sikap Lo Siauw Houw demikian rupa. Tapi di sini kekuasaan tertinggi terletak di tangan Sam lengcu itu, siapa yang berani membangkang.Sementara itu Lo Siauw Houw, yang telah mengeluarkan perintah buka jalan, ia terus mengiringi jalan di belakang Hong Pin.Hong Pm mendengar kalau di belakang dirinya ada orang yang menguntit, tapi ia tahu itulah langkah kaki Lo Siauw Houw, ayah si nona, maka tanpa banyak curiga ia jalan terus.Tapi baru saja beberapa langkah Hong Pin maju ke depan, mendadak badannya dirasa lemas, tenaganya lenyap seketika, dan tubuhnyapun jatuh menggeloso di samping Siong In.Begitu Hong Pin jatuh menggeloso, Siong In kaget, ia cepat menubruk Hong Pin agar si pemuda jangan sampai jatuh terbanting di tanah, tapi waktu itu dengan mengeluarkan suara tertahan Hong Pin sudah ambruk di tanah.Sementara itu Lo Siauw Houw memberi perintah, “Ringkus bocah buta ini. Lemparkan ke dalam goa di atas tebing itu agar ia jadi santapan tikus-tikus di sana. Aku ingin lihat apa yang akan dilakukan manusia di dalam goa. Bukankah si buta hendak membantu dirinya. Haha orang yang niat membantu tentunya akan jadi korban sendiri.”Mendengar kata-kata ayahnya, Siong In baru sadar, waktu itu ia masih membungkukkan badan hendak mengangkat bangun Hong Pin, ia melengak dan berdiri, memandang sang ayah dan bertanya,“Ayah, kau menotok jalan darah bekunya.”
“Minggir!” Bentak Lo Siauw Houw mendorong Siong In.Sementara itu empat orang seragam hitam bertopeng hitam telah datang menghampiri, salah seorang segera berkata,“Sam lengcu, bagaimana? Kita cincang dulu tubuhnya, ia telah membunuh beberapa puluh anggota kita.”
”Hmmm. Itu terlalu enak. Nah sekarang kau ajak empat orang lagi lempar dirinya ke atas goa. Agar dagingnya bisa merasakan bagaimana rasa digigit tikus-tikus itu, tentunya manusia laknat di dalam goa menyangka kalau si buta ini datang menerjang dan ia pasti akan memerintahkan gerombolan tikusnya untuk melakukan serangan. Heheee .. heee ......”
Sementara empat orang seragam hitam telah menggotong Hong Pin yang tak berdaya, masing-masing mereka menarik kedua tangannya dan kaki si buta, diseretnya ke bawah lamping batu di mana terdapat lubang goa.Melihat itu, Siong In berteriak histeris, serunya,“Ayah, kau .... kau.......”Tapi suara teriakan Siong In hanya terdengar sampai di situ saja, karena tangan sang ayah entah dengan gerakan apa ia telah melakukan totokan, dan tubuh si nona juga menggeloso roboh, di bawah kaki Lo Siauw Houw.
Melihat kejadian itu beberapa orang seragam hitam sudah berdatangan, tapi cepat Lo Siauw Houw membentak!“Pergi! Urusanku jangan turut campur. Lempar saja itu laki-laki buta yang telah membuat buta putriku.”Suara bentakan Lo Siauw Houw menggema berkumandang ke seluruh penjuru lembah, ditelan angin lenyap bercampur aduk dengan suara mencicit yang terus juga keluar dari lubang goa.Sementara itu Hong Pin diseret ke bawah lubang goa, tentu tidak berdaya, meskipun perasaan dan pendengarannya masih bisa bekerja, tapi urat-uratnya sudah kaku, ia tak bisa mengerahkan tenaganya akibat kena totokan gelap Lo Siauw Houw dari belakang, kini tubuhnya sudah diangkat dan diayun-ayun oleh delapan orang. Di masing-masing tangan dan kaki Hong Pin, terdapat dua orang seragam hitam. Mereka mengayun-ayun badan Hong Pin, diombang-ambingkan ke atas dan ke bawah kian lama gerakan ombang ambingan badan Hong Pin kian cepat, karena gerakan mengayun delapan orang itu kian bertambah cepat juga.Sementara itu dari lubang goa pada lamping lembah yang tertutup oleh rimbunnya daun-daun pohon, terdengar terus suara mencicit dari suara tikus-tikus, mereka seperti menunggu datangnya mangsa baru.Lo Siauw Houw berdiri di tengah-tengah lembah, menyaksikan kedelapan orang bawahannya melakukan gerak mengayun-ayun tubuh Hong Pin, sedang di bawah kakinya masih menggele¬tak Siong In, mata si nona terbelalak le¬bar menyaksikan si buta diayun demikian rupa, dan sebentar lagi, ia akan dilempar ke atas menerobos masuk ke dalam goa.Diantara ketegangan perasaan Siong In, dan suara-suara mencicit dari suara tikus-tikus di lubang goa, kini terdengar suara delapan orang seragam hitam yang mengayun badan Hong Pin, mereka berbareng berteriak menghitung, ”Satu .... dua .... tigaaaa......”
Berbarengan dengan akhir ucapan hitungan tiga, maka badan Hong Pin dilempar ke atas melayang meluncur ke arah lubang goa di balik daun-daun rimbun, kemudian tubuh si buta itu nyeplos menerobos ranting-ranting dan daun pohon, dan lenyap disambut oleh suara cicit tikus yang ramai keluar dari dalam goa.Delapan orang seragam hitam berselubung muka, setelah melempar Hong Pin ke atas, mereka mendongakkan kepala menunggu mental keluarnya kembali badan Hong Pin yang tergigit oleh tikus-tikus di dalam goa. Lama mereka memandang ke atas. Begitu pula Lo Siauw Houw di tengah-tengah lembah, dan juga sepasang mata Siong In yang rebah di tanah memperhatikan ke arah lubang goa yang tertutup daun-daun pohon, tapi selama itu mereka tak melihat adanya sosok bayangan manusia yang mental keluar, dan mendadak saja suara tikus yang ramai juga lenyap seketika.Puluhan orang berseragam bertopeng hitam di bawah lembah menyaksikan adanya perobahan demikian mereka saling pandang melongo, sementara itu Lo Siauw Houw mengetahui kalau Hong Pin sudah dilempar ke dalam lubang goa di atas tebing, ia cepat buka totokan putrinya yang menggeletak di tanah.Begitu totokan si gadis bebas, ia segera bangun berdiri, kepalanya terus memandang ke arah goa, dimana Hong Pin nyeplos masuk ke dalam. Mulutnya terdengar menggumam,“Kejam, kalian manusia-manusia kejam. Dosa apa pemuda buta itu kalian jadikan santapan tikus-tikus.”
“Hmmmmm. Kau sekarang tahu, siapa sebenarnya penghuni goa itu. Maka jangan turut campur urusan orang tua,” sela Lo Siauw Houw.“Tapi......” Seru Siong In, “Orang yang mengeluarkan ucapan kata-kata agama baru itu mungkin dialah......”
“Dia siapa?” Tanya Lo Siauw Houw lagi.“Pemuda yang pada dua tahun yang lewat....”“Hmm! Kang Hoo?” Potong Lo Siauw Houw. “Satu-satunya keturunan she Lie pen liauan Peng pou-y e-long, memang mereka harus dibasmi seluruhnya.”“Lie Kang Hoo .... Lie Kang Hoo ...” Gumam Siong In berulang. “Bagaimana hari ini ia bisa hidup bergaul dengan segala macam binatang tikus.”
“Heheheee ...” Lo' Siauw Houw tertawa terkekeh. “Penganut agama baru memang harus bergaul dengan segala macam tikus, ular dan binatang, Mereka tidak patut turut campur hidup di atas pergaulan manusia hehehehe.....”
Berbarengan dengan akhir ucapan Lo Siauw Houw, suara mencicit dari dalam goa terdengar lagi. Tapi bayangan Hong Pin tidak muncul keluar.
Delapan orang topeng hitam, yang melempar Hong Pin ke atas lubang goa, mereka pada jalan menghampiri Lo Siauw Houw, sejenak mata mereka memandang ke arah Siong In yang berdiri di samping ayahnya. Salah seorang dari mereka terdengar berkata, “Sam lengcu, sekarang bagaimana?”
“Jalankan rencana semula. Lepas panah berapi. Bakar goa itu. Dan bunuh si penghuni goa.”Setelah memerintahkan demikian, Lo Siauw Houw menarik tangan putrinya meninggalkan lembah.Semula Siong In menolak untuk turut sang ayah, ia ingin menyaksikan bagaimana orang-orang seragam hitam bertopeng itu melakukan pekerjaannya, tapi sang ayah dengan muka bengis menyeretnya jalan sambil berkata,“Kau jangan banyak tingkah di sini, ayo jalan, sebentar lagi goa itu akan menjadi goa berapi. Urusan mereka jangan kau campuri.”Sambil jalan terseret Siong In berkata,“Ini golongan apa? Ayah yang jadi Sam lengcu bagaimana masih takut pada mereka?”
“Anak tolol,” seru Lo Siauw Houw menyeret terus Siong In meninggalkan lembah. ”Di atas aku masih ada seorang tokoh misterius berkepandaian tinggi, aku hanya menjadi tangan ketiga. Dan diantara golongan orang itu terdapat mata-mata yang akan melaporkan semua pekerjaan yang aku lakukan, bila mana sampai kejadian begitu, kau memihak musuh yang perlu dibasmi, maka nasibku serta kau dan ibumu akan segera berubah menjadi mayat.”Mendengar keterangan itu hati Siong In bergidik, kemudian tanyanya,“Bagaimana ayah bisa sampai masuk golongan ini?”
“Soal ini ... . Lain kali kau bisa tahu sendiri. Waktu ini sebaiknya kau jangan banyak tanya.”
“Satu pertanyaan lagi ayah,” potong Siong In. “Mereka mengenakan seragam hitam dan topeng hitam, bagaimana ayah bisa bebas tak mengenakan pakaian itu?”
“Ini juga bukan urusanmu.” Jawab Lo Siauw Houw singkat. Dan mereka terus jalan meninggalkan lembah, mendaki lamping-lamping batu, tak lama bayangan kedua orang ayah dan anak lenyap di atas liku-likunya jalan pegunungan.

Bab 20 DI DALAM LEMBAH, puluhan orang-orang seragam hitam bertopeng, menyiapkan panah-panah berapi. Mereka berbaris teratur, puluhan anak panah yang sudah disundut menyala ujangnya diarahkan ke dalam lubang goa di atas lamping lembah. Tiba-tiba di tengah kesibukan itu terdengar suara seorang topeng hitam dengan gambar Kalong kuning di dada kiri berteriak, ”Tembak!!!” Maka meluncurlah berpuluh-puluh panah berapi memasuki lubang goa. Karena keadaan di depan lubang goa tertutup oleh daun-daun pohon Siong, maka panah-panah berapi tadi ketika melewati rimbunnya daun pohon, telah membuat daun-daun kering pada pohon tadi jadi terbakar, dan sebentar saja pohon siong yang tumbuh di depan lubang goa terjadi kebakaran. Sementata itu dari atas lubang goa suara mencicit makin ramai terdengar, suara mana diselingi dengan irama suara cicitan lagu dari sebatang seruling. Dan tak lama kemudian berbarengan dengan bunyi suara mencicit seruling itu, dari lubang goa yang sudah mulai terbakar berlarian keluar ribuan tikus menuruni tebing, ribuan tikus itu berpencaran ke tengah lembah, menyerbu pada orang-orang seragam hitam yang berdiri berbaris di bawah lembah, dengan panah-panah berapi, mereka mengarahkan panah-panah itu ke lubang goa. Puluhan orang bertopeng hitam, begitu mereka melihat dari lubang goa di atas tebing keluar ribuan tikus menerobos daun-daun pohon yang mulai terbakar, mata mereka terbelalak keluar, mereka menampak tikus yang keluar dari atas lubang goa, bagaikan air terjun mengalir datang, dan sebentar saja ribuan tikus turun bagaikan air terjun telah berpencaran di bawah lembah hingga keadaan medan di dalam lembah seperti sedang diserang oleh air bah yang menggulung datang. Saking kaget dan bingung, puluhan orang seragam hitam lompat mundur ke belakang, beberapa orang diantaranya telah melepaskan panah-panah berapi pada rombongan tikus-tikus yang lari merayap bagaikan air bergulung datang. Tapi panah berapi itu tak berguna, karena begitu menembus tanah apinya segera padam dan digulung oleh ribuan tikus yang mengeluarkan suara mencicit. Sebentar saja rombongan ribuan tikus sudah mendekati mereka, mereka jadi panik dan lari serabutan meninggalkan tempat itu, melempar senjata masing-masing, tapi gerakan lari dari ribuan tikus demikian cepatnya ribuan tikus telah mengepung seluruh medan di bawah lembah, dan kalau tadi keadaan pemandangan di bawah lembah tampak menghijau oleh rumput-rumput yang tumbuh, kini pemandangan itu telah berubah, karena rumput-rumput hijau tadi seluruhnya sudah ditutupi oleh ribuan tikus dan keadaan di bawah lembah itu tidak bedanya seperti sedang dilanda gelombang air yang keruh ditiup angin badai. Saasana di bawah lembah yang diramaikan oleh suara mencicit dari ribuan tikus kini tambah ramai lagi. Suara jeritan-jeritan manusia yang bergelimpangan di atas tanah dirayapi tikus-tikus kelaparan. Beberapa orang yang masih sanggup lari mereka berusaha menghindari dari serbuan tikus-tikus sambil berlompatan menghindari tubuh kawan yang sudah binasa, karena mereka tidak mau menyentuh tubuh kawan yang sudah binasa, mereka tidak menghendaki terkena cairan biru dari mayat-mayat kawan mereka. Tapi meskipun mereka berusaha lari, gerakan ribuan tikus yang sudah memenuhi bawah lembah sudah mengurung mereka dan tak seorangpun dari orang-orang berjubah hitam itu bisa menyelamatkan diri. Mayat-mayat yang mencair biru dari orang-orang seragam hitam membuat proses kematian bertambah cepat, karena cairan biru begitu terkena badan kawan, maka kawan mereka itu juga turut roboh terguling dan binasa mencair. Tidak terkecuali tikus-tikus yang terkena cairan biru, tikus-tikus itu juga turut binasa. Sebentar saja keadaan di bawah lembah telah menjadi lautan cairan biru dari mayat puluhan manusia dan bangkai tikus. Dan begitu suara jeritan-jeritan sirap tak terdengar, maka di sana sudah tak terdapat lagi satu manusiapun, keadaan lembah menjadi sunyi, sedang tikus-tikus yang masih hidup, mereka lari balik masuk ke dalam goa. Seakan-akan mereka mendapat panggilan dari suara seruling yang berbunyi mencicit dari dalam goa.


1 komentar:

  1. Yg ngarang sayang dak faham agama jadi ngomongin tentang agama seenaknya ya semoga masih hidup dan dapat hidayah

    BalasHapus