Selasa, 20 September 2011

Cersil : Pendekar Super Sakti [Kho Ping Ho] 8

“Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus! Engkau pincang, akan tetapi pendirianmu jejek, untuk pendirian yang bagus itu engkau harus kami hadiahi secawan arak!” Si Codet mengambil secawan arak, diberi­kan kepada Han Han. Terpaksa, untuk tidak menimbulkan keributan, Han Han minum arak itu.

“Terima kasih, taihiap.” Ia lalu terpincang-pincang meninggalkan meja dan ketika lewat dekat meja dua orang gagah itu ia berhenti dan bertanya, “Apakah ji-­wi membutuhkan sesuatu?”

Dua orang itu bertukar pandang, dan yang tua menyentuh lengan Han Han sambil berkata, “Orang muda, biarpun kakimu buntung, agaknya engkau bukan­lah seorang yang bodoh dan suka bicara sembarangan. Juga sikapmu bukan seperti penjilat yang hanya bicara untuk menyenangkan orang karena takut.” Ia ber­henti sebentar, keadaan sunyi sekali. Empat orang di meja sebelah sama sekali tidak mengeluarkan suara, agaknya men­dengarkan penuh perhatian dan siap un­tuk meledak marah kalau ada omongan yang terang-terangan mengenai mereka. Para tamu lain yang masih berada di situ sudah pindah meja, para koki dan pelayan bersembunyi di sudut terjauh. “Agaknya engkau memiliki pandangan luas dan tidak berat sebelah. Katakanlah, orang muda. Seseorang yang rela berkorban jiwa demi rakyat dan negara, yang mempertaruhkan setiap jengkal tanah airnya dari kuku penjajahan, tanpa pamrih untuk keuntungan diri sendiri dan semata-mata berjuang karena merasa bahwa hal itu merupakan panggilan tanah air, merupakan tugas kewajiban seorang gagah, bagaimana pendapatmu akan pendirian orang ini? Salahkah dia? Atau gagah perkasa?”

Dengan suara tetap tenang Han Han yang ingin meredakan api yang mulai membakar di antara dua meja itu, men­jawab, “Pendirian itu pun benar dan te­pat sekali, Lo-enghiong. Seorang yang berani membela negara, asal dengan dasar sebagaimana yang Lo-enghiong sebutkan tadi, bukan dasar mencari jasa dan keuntungan, dialah seorang patriot sejati yang patut dijadikan tauladan se­lagi hidup dan patut dipuji sebagai pahlawanan setelah gugur.”

“Bagus sekali! Tidak salah wawasanku bahwa engkau memang bukan pemuda sembarangan. Nah, minumlah arak bersama kami, orang muda!” Orang gagah itu lalu memberi arak secawan penuh kepada Han Han yang terpaksa menerimanya dan meminumnya.

“Ciang-lo-enghiong, marilah kita pergi dari sini. Tempat ini amat tidak me­nyenangkan, karena terlalu banyak pen­jilat-penjilat dan terlalu banyak anjing. Gonggong anjing biasa masih enak di­dengarkan, akan tetapi gonggong empat ekor anjing penjilat sungguh memuakkan. Yang ada di sini hanyalah sahabat bun­tung ini, yang ternyata berjiwa patriot dan gagah!”

“Setan!” Si Laki-laki Brewok yang bermata sipit menampar meja di depan­nya sambil berdiri dan menunding ke arah pemuda gagah. “Siapa yang kau maki anjing?”

Pemuda gagah itu pun bangkit berdiri, dadanya yang bidang dikembangkan dan ia pun menuding.

“Siapa yang kaumaki setan?”

“Aku memaki kalian setan-setan pem­berontak!”

“Dan aku memaki kalian anjing-anjing penjilat!”

“Keparat!” Empat orang laki-laki bre­wok itu menyambar sumpit mereka dan sekali menggerakkan tangan, delapan batang sumpit menyambar ke arah dua orang gagah itu yang juga sudah bangkit berdiri. Akan tetapi dengan lincah mere­ka itu dapat mengelak, bahkan masing-masing telah berhasil menyambar dua batang sumpit.

“Makanlah senjata kalian!” teriak yang tua dan mereka berdua mengembalikan empat batang sumpit itu dengan sambit­an kuat ke arah empat orang penyerang mereka.

Akan tetapi empat orang yang ber­juluk Empat Naga Berkepala Raja itu ternyata juga lihai karena dengan miring­kan tubuh sedikit saja empat batang sumpit itu tidak mengenai tubuh mereka.

“Waduhhh.... aduhhh.... telingaku....!” Majikan restoran menjerit-jerit dan me­megangi telinga kirinya yang ternyata kena diserempet sebatang sumpit hingga daun telinga itu robek dan berdarah. Han Han sudah melangkeh maju dan berdiri di antara dua meja, di mana enam orang itu sudah saling serang. Bahkan, empat orang brewok sudah meng­hunus golok mereka, sedangkan dua orang gagah itu masih tenang-tenan saja, na­mun sudah siap berdiri menyambut se­rangan lawan.

“Cu-wi sekalian harap sabar. Ingat, bukankah cu-wi berenam ini tergolong orang-orang gagah? Adakah di antara cu-wi yang suka disebut orang jahat dan pengecut?”

“Heh? Si Buntung lancang. Siapa yang kaukatakan penjahat dan pengecut?” ben­tak Si Mata Sipit sambil mengamangkan goloknya.

Han Han menjura. “Syukurlah kalau cu-wi taihiap tidak sudi disebut penjahat atau pengecut, dan memang saya pun yakin cu-wi adalah orang-orang gagah. Demikian pula dengan ji-wi Enghiong ini. Kalau cu-wi melanjutkan perkelahian di sini, amatlah disangsikan apakah hal itu merupakan perbuatan orang gagah, ka­rena perkelahian itu akan merugikan banyak orang. Pertama, pemilik restoran rugi karena barang-barangnya rusak. Kedua, para tamu rugi karena tidak dapat makan. Ke tiga banyak bahayanya akan jatuh korban di antara orang-orang lain seperti terbukti majikan saya daun teli­nganya robek. Nah, cu-wi sebagai orang-orang gagah tentu saja tidak suka main kasar dan merugikan orang lain, bukan? Kalau memang hendak berkelahi, sebagai orang-orang gagah dapat saja berunding nanti di luar dan menentukan tempat yang sunyi.”

Dua orang itu sudah duduk kembali dan yang tua berkata, ke arah majikan restoran, “Maafkan kami untuk luka itu, biarlah kami menanggung kerugian untuk biaya berobat!”

Majikan itu dengan kaki gemetar memaksa diri tersenyum. “Tidak usah.... tidak usah.... asal jangan berkelahi di sini.... saya sudah berterima kasih sekali kepada cu-wi.... eh, tambahkan arak wangi, gratis dariku untuk terima kasihku kepada enam orang tamu agung!”

Empat orang kasar itu sejenak ter­cengang, kemudian tertawa bergelak dan duduk kembali di bangku masing-masing.

Han Han cepat mengambilkan arak wangi, dan ia menerima pandang mata kagum dari koki gemuk dan pelayan lain, dan pandang mata berterima kasih dari ma­jikan restoran. Kalau tidak ada pelayan baru pincang ini, celakalah, tentu akan hancur restorannya! Ruginya jangan di­bicarakan lagi, bisa bangkrut dia!

Ketika Han Han menaruh guci arak wangi di atas meja kedua orang gagah itu, ia berkata, “Ji-wi Enghiong, saya pernah mendengar kata orang bahwa keberanian tanpa perhitungan bukanlah kegagahan melainkan ketololan. Benarkah itu? Silakan minum arak!”

Dua orang gagah itu saling pandang dengan mata terbelalak, kemudian minum arak mereka dan bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka menghampiri meja majikan restoran, setelah berhitungan lalu melemparkan uang perak di atas meja sambil berkata, “Kelebihannya ha­rap perhitungkan untuk membayar ma­kanan sahabat yang menjadi pelayan itu!” Setelah berkata demikian, dua orang itu segera pergi meninggalkan restoran tanpa pamit dan tanpa menoleh lagi.

Han Han menjadi lega hatinya. Ketika lewat di bekas meja dua orang itu, ta­ngannya sambil lalu meraba permukaan meja untuk menghapus huruf-huruf yang berbunyi: “Berbahaya, harap pergi!” yaitu huruf-huruf yang ia buat dergan guratan jari tangan ketika ia menghidangkan arak tadi. Memang ia melihat bahaya mengancam kedua orang itu karena ia tadi dengan pendengarannya yang tidak lum­rah manusia, dari jauh mendengar bisik-bisik empat orang brewok yang meng­atur siasat untuk melaporkan kepada pasukan penjaga di luar dusun untuk menangkap dua orang yang disangka pemberontak. Dengan memperlihatkan sedikit tenaga sin-kang menggores huruf-huruf di atas meja, benar saja kedua orang gagah itu menjadi terkejut, mengerti bahwa pemuda buntung itu bukan sembarang pelayan, percaya kepadanya lalu pergi.

Semenjak dulu Han Han tidak pernah dipengaruhi persoalan pro atau kontra bangsa Mancu. Hal ini timbul karena ke­adaannya sendiri. Keluarganya terbasmi oleh perwira-perwira Mancu, akan tetapi dia mempunyai adik angkat tersayang seorang anak Mancu yang keluarganya terbasmi oleh para pejuang! Keadaan yang amat berlawanan inilah yang mem­buat selama ini Han Han berada di te­ngah-tengah dan tidak terseret, hanya ia selalu memilih fihak yang benar. Karena itu pula, dalam pertikaian yang hampir terjadi di rumah makan itu di antara dua orang pejuang dan empat orang yang pro Kerajaan Mancu, ia tidak mau berfihak kepada satu fihak, melainkan berusaha untuk mencegah terjadinya bentrokan antara bangsa sendiri hanya karena perdebatan. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di balik perdebatan itu terdapat hal-hal yang lebih besar lagi. Memang pemuda ini masih belum mengerti dan belum dapat menyelami tentang persoal­an kepatriotan.

Kini hatinya lega melihat dua orang pejuang itu telah meninggalkan restoran. Biarpun dia tidak berfihak dalam per­soalan yang diperdebatkan, namun tentu saja hatinya condong kepada dua orang gagah tadi karena sikap mereka yang halus dan gagah, sebaliknya diam-diam ia mencela di hati sikap empat orang yang kasar dan jelas menyombongkan nama julukan dan kepandaian sendiri.

“Hiiiii, pelayan buntung....!”

Han Han menoleh dan melihat bahwa yang memanggilnya adalah Si Brewok Berhidung Besar, ia segera berloncatan menghampiri meja empat orang itu. “Ada yang hendak dipesan lagi, taihiap?”

“Hemmm, jadi engkau hanya mencari upah agar makananmu dibayari maka engkau tadi bersikap manis dan membela dua orang pemberontak, ya? Kalau hanya uang yang kaucari, apakah kaukira kami tidak mampu memberimu sepuluh kali lipat daripada harga makananmu yang dibayar dua orang pemberontak tadi? Dan tidak perlu dengan membela, asal engkau suka melayani kami akan kami bayar lebih banyak lagi. Hayo kaubersih­kan sepatuku yang penuh debu ini. Kalau engkau menolak, berarti memang kau lebih suka melayani Si Pemberontak. Dan berarti engkau diam-diam adalah pemberontak atau mungkin mata-mata pemberontak!”

Han Han mengerutkan alisnya. Biarpun mengaku sebagai orang-orang gagah, sikap empat orang ini benar-benar seperti perampok-perampok kasar. Akan tetapi untuk mencegah terjadinya keributan, ia yang sudah pandai mengendalikan perasa­an sendiri, lalu menekuk lutut kakinya yang tinggal sebelah dan menggunakan lap yang dibawanya untuk mengelap se­patu Si Hidung Besar.

“Bagus! Lain kali kalau engkau bicara manis lagi dan membela pemberontak, akan kupatahkan kakimu yang tinggal sebelah. Pergilah!” Si Hidung Besar menggerakkan kaki menendang.

“Dukkk.... auggghhhhh....!” Ia menyeringai dan memegangi tulang keringnya yang bertemu dengan kaki bangku! Ternyata tendangannya yang tidak keras ke arah Han Han untuk membikin malu pelayan buntung itu bertemu dengan bangku, tepat pada tulang keringnya. Karena ia menendang tanpa pengerahan sin-kang, hanya untuk mendorong si pelayang terlentang. Maka begitu tulang kering kakinya bertemu kaki bangku, tentu saja terasa nyeri sekali. Saking nyerinya, Si Hidung Besar menggebrak meja dan beberapa mangkok masakan tertumpah di atas meja dan ia lupa untuk menyelidiki bagaimana tiba-tiba ada bangku yang menghalang di antara dia dan pelayan itu.

Han Han sudah melangkah mundur terpincang-pincang. Ia mengambil ke­putusan untuk pergi dari restoran itu. Biarpun ia tidak minta, akan tetapi dua orang gagah tadi telah membayar ma­kanannya, dan setelah makanannya di­bayar, untuk apa dia lebih lama di tem­pat itu? Hanya akan mendatangkan peng­hinaan saja. Akan tetapi selagi ia hendak pergi, tiba-tiba Si Brewok bertahi lalat di hidung berseru.

“He, buntung! Pelayan macam apa engkau ini? Apakah matamu tidak me­lihat bahwa meja kami kotor? Hayo le­kas bersihkan!”

Han Han tersenyum, Tadinya ia hendak pergi begitu saja agar tidak menimbulkan banyak keributan. Akan tetapi menyaksikan sikap empat orang itu ma­kin lama makin kasar dan kurang ajar, ia pikir lebih baik memberi peringatan me­reka untuk membuka mata mereka bahwa memandang rendah orang lain dan me­nyombongkan kepandaian sendiri bukanlah watak orang gagah dan hanya akan men­datangkan aib kepada diri sendiri.

“Baikiah, taihiap!” kata Han Han sambil menghampiri meja itu, berdiri dengan satu kaki, mengempit tongkatnya, kemudian tangan kirinya menekan meja sambil mengerahkan tenaga sin-kang meng­getarkan meja. Di atas meja terdapat delapan buah mangkok makanan, panci-panci dan guci besar arak, cawan-cawan dan sumpit. Tiba-tiba semua benda yang berada di atas meia itu mencelat seperti bernyawa, terbang ke atas! Han Han de­ngan tenang mengangkat tangan kirinya dengan telapak menghadap ke atas, ke­mudian menggunakan tangan kanan yang memegang lap untuk mengelap meja yang kotor karena tumpahan masakan dan arak!

Empat orang brewok yang masih duduk itu tiba-tiba melongo, matanya ter­belalak lebar dengan muka menengadah memandang mangkok piring sumpit panci yang terputar-putar di atas tidak dapat turun itu! Muka mereka pucat, mulut mereka ternganga sehingga Si Hidung Besar tidak merasa betapa ada dua ekor lalat hinggap di giginya yang kuning.

Setelah meja itu bersih disapunya dengan lap, Han Han lalu menggerakkan tangan kirinya. Benda-benda yang terbang berputaran di atas itu lalu turun dan tanpa menerbitkan suara berisik berjatuhan di atas meja kernbali, persis di tempat semula seperti tadi seolah-olah tidak pernah meninggalkan permukaan meja yang kini telah menjadi bersih!

Han Han menggantungkan lap di pundaknya, menurunkan tongkatnya dan terpincang mundur dua langkah, membungkuk dan bertanya, “Su-wi taihiap, masih ada perintah lainkah?”

Empat orang brewok itu tertegun, memandang kepada Han Han, menelan ludah dan Si Hidung Besar tersedak karena ketika menutup mulutnya tiba-tiba, seekor lalat kurang cepat terbang keluar sehingga terpaksa mencari jalan ke dalam dan kesasar memasuki terowongan gelap berupa kerongkongan orang itu.

“Ti.... tidak....” Si Mata Sipit berhasil mengeluarkan suara dengan mata kedap-kedip.

Han Han lalu meninggalkan meja itu, diikuti pandang mata, bukan hanya pandang mata empat orang melainkan pandang mata semua orang yang berada di tempat itu dan yang tadi menonton peristiwa yang bagi mereka amat ajaib. Keadaan sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih belum mendapatkan napas mereka kembali, dan Han Han menyampirkan lap di atas bangku dekat koki gemuk, lalu menjura kepada koki gemuk sambil berkata.

“Lopek, terima kasih atas kebaikanmu. Karena makananku telah dibayar oleh dua orang Enghiong tadi, maafkan aku tidak dapat membantu lebih lama lagi.” Ia lalu memutar tubuhnya keluar dari restoran itu.

Empat orang brewok itu dengan muka kini merah sekali karena malu, cepat-cepat membayar harga makanan mereka dan juga keluar tergesa-gesa. Setelah Han Han dan empat orang brewok itu pergi, gegerlah di restoran. Semua orang bicara seperti sarang tawon diganggu, semua membicarakan peristiwa luar biasa itu. Di tempat inilah pertama kali lahir julukan “Pendekar Buntung”, ada pula yang menyebutnya “Pendekar Siluman”, dan ada yang menyebutnya “Pendekar Super Sakti”.

Memang sudah menjadi kelajiman bahwa orang paling suka melebih-lebihkan dalam menceritakan pengalaman mereka sehingga perbuatan Han Han yang bagi para ahli silat tinggi yang memiliki te­naga sin-kang kuat bukanlah hal yang mengherankan, makin jauh dibawa angin makin dilebihkan dan makin aneh se­hingga sebentar saja dunia kang-ouw juga mendengar berita angin tentang muncul­nya seorang Pendekar Super Sakti yang masih muda akan tetapi yang memiliki kepandaian setinggi langit!

Han Han melanjutkan perjalanan me­nuju ke utara, berjalan menyusuri pantai Sungai Fen-ho yang ia tahu akan membawanya sampai ke Tai-goan. Karena ke­adaan di sepanjang sungai ini ramai dan banyak orang, maka Han Han berjalan seenaknya, tidak mau menggunakan kepandaiannya karena hal ini akan menarik perhatian orang. Setelah ia keluar dari dusun Leng-chun, ia pun merasa menye­sal mengapa di rumah makan tadi dalam usahanya memberi peringatan kepada keempat orang brewok ia telah memper­lihatkan kepandaiannya sehingga mengagetkan dan mengherankan banyak orang.

“Ah, betapa mudahnya mengerti pesan subo bahwa senjata ampuh yang teruta­ma adalah menguasai nafsu dan perasaan sendiri, akan tetapi betapa sukarnya melaksanakan pelajaran ini,” kata Han Han di dalam hati sambil melanjutkan perjalanannya di sepanjang pantai sungai yang indah pemandangannya.

Kurang lebih sepuluh li dari dusun yang ditinggalkannya itu, Sungai Fen-ho memasuki hutan den keadaan di sini sunyi. Han Han dapat melanjutkan perjalanannya dengan ilmunya yang hebat setelah digembleng Nenek Khu Siauw Bwee, akan tetapi tiba-tiba ia meng­urungkan niatnya karena melihat serom­bongan orang berdiri menghadang jalan di depannya. Ketika ia memandang, ternyata mereka itu adalah sepasukan perajurit Mancu terdiri dari dua puluh orang lebih, dan di depan pasukan berdiri empat orang brewok tadi bersama seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Dari sikap mereka apalagi melihat empat orang brewokan itu, mengertilah Han Han bahwa mereka itu telah mendahuluinya dengan menung­gang kuda dan sengaja mencegatnya di tempat sunyi itu. Pasukan itu mempunyai rombongan kuda yang ditambatkan di bawah pohon-pohon tak jauh dari situ.

Han Han menarik napas panjang. Se­betulnya dia segan terlibat permusuhan dengan fihak mana pun juga. Dia hendak mencari Lulu, dan dia tidak ingin usaha­nya mencari Lulu terhambat oleh segala macam gangguan dan permusuhan yang tidak ada manfaatnya. Akan tetapi dia juga ingin sekali mengetahui apa yang akan dilakukan oleh mereka, terutama sekali oleh empat orang brewok yang telah ia beri peringatan di rumah makan tadi. Ia bersikap tenang dan melanjutkan perjalanannya terpincang-pincang dibantu tongkatnya sehingga ia tiba di depan wanita dan empat orang brewok tadi yang memandang dengan mata terbelalak, masih tampak jerih. Akan tetapi wanita itu memandangnya dengan sikap angkuh memandang rendah. Han Han hanya melihat ini semua dari sudut matanya dan hendak melanjutkan perjalanan dengan mengambil jalan dekat sungai agar tidak menerjang jalan yang sudah terpenuhi oleh rombongan pasukan itu.

“Pemuda buntung, berhenti dulu!”

Bentakan halus nyaring dari mulut wanita itu membuat Han Han terpaksa menghentikan langkahnya, berdiri tegak tanpa menoleh.

Sunyi sejenak, dan terdengar wanita itu bertanya lirih, “Dia itukah orangnya?”

“Benar, Sianli. Hati-hati, dia lihai bukan main,” jawaban Si Brewok Ber­hidung Besar ini terdengar jelas oleh Han Han yang masih tidak bergerak, juga tidak menoleh.

“Heh, orang muda pincang! Siapa namamu?”

Han Han yang mendengar betapa wanita itu disebut Sianli (Dewi), dapat menduga bahwa wanita itu tentulah se­orang tokoh kang-ouw dan tentu me­miliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana berani memakai julukan Dewi? Baru satu orang yang ia tahu memakai Dewi, yaitu Toat-beng Ciu-sian-li, bekas gurunya. Ia dapat menduga bahwa karena empat orang brewok itu adalah orang-orang yang berfihak kepada pemerintah Mancu, maka wanita cantik yang angkuh ini tentulah juga seorang tokoh yang membantu Kerajaan Ceng.

Tanpa menoleh Han Han menjawab, “Aku adalah seorang perantau miskin yang tidak ingin bermusuh dengan siapa juga, tidak mempunyai hubungan pula dengan perang, harap kalian membiarkan aku lewat.”

“Aihhh, orang muda sombong! Agak­nya engkau memiliki sedikit kepandaian maka sikapmu sesombong ini. Ketahuilah, kami tidak berniat jahat terhadapmu, sebaliknya, kalau benar engkau memiliki kepandaian, kami akan membawamu menghadap atasan kami karena pemerin­tah yang bijaksana membutuhkan bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian. Kalau engkau berkepandaian, percayalah, hidupmu akan terjamin dan engkau tidak usah berkeliaran merantau, menderita kekurangan dan kelaparan!”

Diam-diam Han Han tersenyum. Pe­merintah Kerajaan Ceng dan bangsa Mancu memang cerdik sekall. Kalau bangsa Mancu menggunakan kekerasan untuk membasmi orang-orang pribumi yang ber­kepandaian, tentu perlawanan rakyat takkan kunjung berhenti karena rakyat akan menjadi makin benci kepada peme­rintah penjajah itu. Akan tetapi, dengan jalan membujuk orang-orang pandai membantu pemerintah, memberi mereka ke­dudukan yang takkan mereka peroleh pada waktu pemerintah dipegang oleh bangsa sendiri, maka kedudukan Pemerintah Ceng akan menjadi makin kuat, men­dapatkan simpati orang-orang kang-ouw dan dapat menarik hati rakyat.

“Terima kasih, aku tidak mungkin dapat menerimanya karena aku seorang yang tidak memiliki kepandaian apa-apa.” Sambil berkata demikian, tanpa menoleh Han Han lalu melanjutkan langkahnya. Wanita itu memperhatikan langkah Han Han yang terpincang-pincang, sejenak ragu-ragu akan kebenaran laporan empat orang brewok. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan terdengar bunyi “Cuiiittttt!” ketika sinar hitam menyambar ke arah punggung Han Han.



Han Han tentu saja maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arah­nya dari belakang dan maklum pula bah­wa senjata rahasia itu dilemparkan oleh seorang yang memiliki sin-kang kuat bu­kan main. Diam-diam ia kaget dan tahu bahwa wanita itu sungguh tak dapat disamakan dengan empat orang Kang-thouw Su-liong (Empat Naga Berkepala Baja) yang brewokan itu. Tidak, wanita ini jauh lebih lihai, belum tentu kalah lihai oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo, melihat dari hebatnya sambaran angin senjata rahasianya. Namun Han Han yang kini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa dan sukar diukur tingginya, masih belum menoleh dan belum berhenti melangkah, hanya kini tongkatnya bergerak sedikit ke belakang, kemudian sambil masih meloncat-loncat dengan sebelah kaki, ia mencabut tiga batang senjata rahasia piauw hitam dari tongkat di mana piauw-piauw itu menancap dan membuangnya ke atas tanah.

Wanita itu menahan seruan kaget. Pemuda pincang itu sama sekali tidak mengelak, bahkan menengok pun tidak, masih melangkah, akan tetapi dengan amat mudahnya sudah menyambut piauw-piauwnya dan membuang begitu saja seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa!

“Berhenti dulu....!”

Han Han melihat bayangan berkelebat dan wanita yang dapat bergerak cepat sekali membayangkan gin-kang yang tinggi kini telah berdiri di depannya. Terpaksa Han Han menahan langkahnya dan me­mandang tak acuh. Sebaliknya wanita itu memandang kepadanya penuh selidik, agaknya mengingat-ingat di mana ia pernah melihat pemuda ini dan kapan ia mendengar akan seorang jago muda yang buntung kakinya. Setelah merasa yakin bahwa dia belum pernah mendengar ten­tang seorang tokoh kang-ouw muda yang buntung kakinya, ia lalu berkata.

“Ternyata engkau memiliki kepandaian. Orang muda, marilah engkau ikut ber­samaku menghadap atasanku. Guruku adalah seorang pembesar di istana, se­orang panglima pengawal. Kalau engkau setelah diuji ternyata memiliki ilmu ke­pandaian yang tinggi, engkau tentu akan mendapat kedudukan yang tinggi pula.”

Han Han mengerutkan alisnya dan wanita itu diam-diam amat tertarik. Wajah pemuda buntung ini tampan dan gagah sekali. Jantung wanita ini mulai tergetar.

“Toanio, harap kau jangan menggang­guku. Aku tidak mempunyai urusan de­ngan toanio, dengan guru toanio atau dengan siapa pun juga. Harap membiar­kan aku mengambil jalanku sendiri dan kita tidak saling mengganggu.”

“Orang muda, agaknya karena engkau belum tahu siapa aku, dan belum tahu pula siapa guruku maka engkau meman­dang rendah dan tidak menaruh perhatian. Ketahuilah bahwa aku adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio, dan kalau engkau masih belum mengenalku, guruku adalah Hwi-yang Sin-ciang Gak-locianpwe!” Sebagai murid Gak Liat tentu saja Ma Su Nio tidak mau menyebut nama poyokan gurunya, yaitu Kang-thouw-kwi atau Setan Botak!

Mendengar disebutnya Gak Liat, Han Han tercengang dan tanpa disadari ia mengangkat muka memandang wanita itu. Tentu saja ia sudah tahu bahwa Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi seorang panglima pengawal Kerajaan Mancu, akan tetapi ia tidak menyangka bahwa wanita yang agaknya dipanggil oleh empat orang brewok ini adalah murid Si Setan Botak.

Melihat pemuda buntung itu akhirnya mengangkat muka memandangnya penuh perhatian, Ma Su Nio tersenyum dengan bangga, akan tetapi senyumnya membeku di mulut ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han yang demikian aneh dan tajam menusuk menembus ke jantung menjenguk hati! Pandang mata itu begitu aneh dan seperti bukan pandang mata manusia!

Dan tiba-tiba Ma Su Nio menjerit karena entah bagaimana caranya ia tidak dapat mengikuti dengan pandang mata saking cepatnya, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram oleh pemuda buntung itu yang bertanya dengan suara yang membuat bulu tengkuknya berdiri.

“Hayo katakan apa yang terjadi dengan seorang gadis bernama Lulu yang diculik oleh Ouwyang Seng!”

Ma Su Nio berusaha meronta untuk meloloskan diri dari cengkeraman, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa bahwa tenaganya lenyap dan sama sekali ia tidak mampu melepaskan pundaknya. Ia menjadi marah dan tangan kanannya menghantam ke depan. Tangan itu telah berubah merah karena wanita ini telah menyalurkan sin-kangnya sehingga tangannya berubah menjadi tangan beracun Hiat-ciang (Tangan Berdarah)! Pukulan Hiat-ciang dari Ma Su Nio amat ber­bahaya dan jarang ada orang mampu melawannya. Juga amat cepat seperti kilat menyambar, padahal tubuh Han Han begitu dekat di depannya. Akan tetapi, mata Ma Su Nio berkunang ketika tubuh pemuda buntung itu berkelebat dan pu­kulannya mengenai angin, sedangkan tu­buh pemuda itu telah berpindah ke belakangnya, akan tetapi tangan yang men­cengkeram pundaknya masih berada di pundak. Sebelum Ma Su Nio dapat ber­gerak, tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan ia jatuh miring karena didorong oleh Han Han dengan tenaga yang tak tertahankan lagi! Ma Su Nio baru saja berkedip, tahu-tahu dadanya telah ditodong oleh ujung tongkat sehingga ia tidak berani ber­gerak, maklum bahwa nyawanya berada di ujung tongkat itu.

“Hayo katakan, di mana Lulu?”

Ma Su Nio sudah mendengar akan gadis Mancu yang ditawan Ouwyang Seng dan yang kemudian melarikan dari istana di mana ia dijadikan pelayan istana. Kini seperti terbuka matanya. Pemuda inilah yang disebut Sie Han, pemuda aneh yang ­pernah menggegerkan istana! Akan tetapi menurut pendengarannya, pemuda ini tidaklah buntung kakinya. Dalam keheran­an dan kebingungannya, Ma Su Nio men­jawab gagap.

“Aku.... aku tidak.... tidak tahu....!”

Han Han menghela napas, mengeras­kan hati dan menyentuh kulit dada wa­nita itu dengan ujung tongkat. Pada saat itu, empat orang brewok sudah datang menyerang dengan golok mereka dari belakang. Han Han masih menodong Ma Su Nio dan tanpa menoleh ia menggerak­kan tangan kirinya ke belakang. Ter­dengar suara hiruk-pikuk, empat buah golok terlepas dari tangan mereka dan tubuh empat orang itu terjengkang roboh. Kiranya tangan kiri yang lihai dari Han Han telah menyambut terjangan mereka dengan totokan-totokan pada pergelangan tangan mereka dan sekaligus mendorong mereka dengan hawa sin-kang yang amat dahsyat!

“Lekas katakan!” Han Han mengancam lagi.

Ma Su Nio tak dapat mempercayai matanya sendiri. Dalam segebrakan saja pemuda buntung ini sudah merobohkannya dan membuatnya tidak berdaya, bahkan tanpa menoleh, entah dengan ilmu apa, telah merobohkan empat orang pembantu­nya yang tak dapat digolongkan orang lemah! Ia bergidik dan tengkuknya terasa dingin saking ngeri dan takutnya. Baru pertama kali ini selama hidupnya Ma Su Nio merasa ngeri dan takut. Pemuda buntung yang menodongnya ini bukan manusia, melainkan iblis sendiri!

“Dia.... dia menjadi pelayan istana....”

Tongkat itu ditarik kembali dan Han Han tertawa. Kembali Ma Su Nio ber­gidik. Pemuda itu tertawa terbahak se­perti orang yang merasa lucu. Dan me­mang Han Han merasa amat geli hati­nya. Tadi ia merasa yakin bahwa sebagai murid Gak Liat, tentu wanita ini tahu apa yang terjadi dengan Lulu. Keyakinan­nya terbukti dengan pengakuan wanita itu, akan tetapi mendengar betapa Lulu, adiknya itu, menjadi pelayan istana, ia dapat membayangkan betapa akan lucunya, betapa akan gegernya istana kalau mempunyai seorang pelayan seperti adik­nya. Tentu kaisar sendiri akan menjadi pening kepalanya! Maka ia tertawa sa­king geli hatinya, kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.

“Tangkap dia! Bunuh....!” Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Terdorong oleh rasa malu, penasaran dan marah ia lalu memerintahkan pasukan terdiri dari dua puluh empat orang itu, dibantu oleh em­pat orang brewok yang sudah bangun kembali, untuk mengejar dan menyerang Han Han. Akan tetapi, tiba-tiba Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio yang mengejar paling depan karena gerakannya jauh lebih cepat daripada para pembantunya terbelalak, mukanya pucat lalu seperti orang bingung memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Dia tadi melihat tubuh pemuda buntung itu mencelat tinggi ke atas puncak pohon, lalu kelihatan ba­yangan putih itu mencelat-celat ke sana-sini dan lenyap!

“Ke mana dia, Sian-li? Di mana....?” Empat orang brewok itu telah datang dan mencari-cari.

Dengan hati sebal Ma Su Nio mengibaskan tangannya dan menghela napas. “Sudahlah, mari kita kembali!”

Pasukan Mancu saling berbisik dan mereka ini setibanya di markas lalu menceritakan pertemuan mereka dengan Pendekar Buntung Super Sakti! Makin terkenallah sebutan Pendekar Super Sakti yang juga disebut Pendekar Siluman karena mereka menganggap pemuda buntung itu seperti siluman

Sementara itu, Han Han yang sudah berhasil melarikan diri dari pasukan itu karena ia pun hanya menghendaki ke­terangan tentang Lulu, melanjutkan perjalanannya, seperti biasa, menyusuri Su­ngai Fen-ho menuju ke utara. Ketika ia tiba di luar kota Tai-goan, tiba-tiba ia mendengar suara orang.

“Taihiap, harap suka menunggu....!”

Han Han mengerutkan alisnya dan menengok. Ketika melihat dua orang berlari-lari cepat, ia membalikkan tubuhnya karena ia mengenal dua orang gagah yang ia lihat di restoran tadi. Mereka itu agaknya berlari cepat dan napas mereka agak terengah-engah na­mun wajah mereka berseri gembira.

“Untung kami dapat menyusul taihiap....” kata yang tua dan mereka berdua serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han. Pemuda buntung ini mengerutkan alisnya makin dalam dan berkata, suaranya penuh wibawa.

“Tidak baik begini, harap ji-wi suka bangun!”

Dua orang itu lalu bangkit berdiri dan memandang kepada Han Han penuh ke­kaguman dan penghormatan. “Mohon ma­af dari taihiap bahwa kami berdua mem­punyai mata akan tetapi seperti buta saja tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Semenjak taihiap keluar dari restoran, kami berdua me­lihat betapa anjing-anjing penjilat itu memberi tahu kepada pasukan musuh. Kami berusaha memberi tahu taihiap akan dihadang, akan tetapi.... ah, sungguh kami harus merasa malu. Bagaimana kami akan memperingatkan taihiap, kiranya mereka itu sekawanan tikus menghadapi kucing ketika bertemu taihiap. Hebat sekali....! Padahal iblis betina itu adalah Hiat-ciang Sian-li yang lihainya luar biasa....!”

“Dalam segebrakan saja roboh....!” Yang muda berseru, memandang Han Han dengan kagum.

Han Han mengerti dua orang ini tadi telah menyaksikan pertemuannya dengan pasukan Mancu, maka ia lalu berkata, “Hendaknya ji-wi tidak melebih-lebihkan hal itu. Kini ji-wi mengejar saya ada keperluan apakah?”

“Taihiap, saya bernama Ciang Boan dan dia ini adalah So Pek Kun. Kami adalah dua orang utusan dari Bu-ongya untuk menyelidiki daerah ini. Melihat kesaktian taihiap, kami segera melakukan pengejaran. Kini kami mohon sudilah kiranya taihiap membantu perjuangan Bu-ongya melawan penjajah....”

“Hemmm, ji-wi Enghiong. Terima kasih atas kepercayaan ji-wi, akan tetapi sesungguhnya saya tidak mau terlibat dalam perang yang tiada habisnya itu. Saya mempunyai banyak sekali urusan pribadi yang harus saya selesaikan.”

“Taihiap, urusan apakah yang taihiap hadapi? Kami mempunyai banyak sekali sahabat kaum pejuang di semua daerah, dan kalau kami dapat membantu....”

“Apakah ji-wi pernah mendengar akan seorang wanita bernama Lulu? Dia ada­lah Adikku dan saya ingin mencarinya. Dia dulu diculik oleh Ouwyang Seng dan kabarnya Adikku itu berada di istana....”

“Ouwyang Seng putera Pangeran Ouwyang Cin Kok? Wah, ini hebat! Akan tetapi, sungguhpun kami tidak pernah mendengar tentang Adik taihiap, yang bergerak di daerah kota raja adalah sa­habat-sahabat yang dipimpin oleh Lauw-pangcu. Kalau taihiap bertanya kepada­nya tentu akan ada yang tahu. Taihiap, saat ini, seluruh orang gagah telah ber­kumpul di Se-cuan dan kami siap untuk sewaktu-waktu menghadapi penyerangan orang Mancu. Kami harap sudilah taihiap ikut mencurahkan tenaga taihiap yang amat lihai untuk membela nusa bangsa, dan kami percaya bahwa taihiap memiliki jiwa patriot.”

Han Han tidak mau berbantah lebih banyak lagi tentang hal itu, maka ia menghela napas dan berkata, “Saya tidak berani berjanji terlalu banyak, ji-wi Enghiong. Akan tetapi saya hendak mencari Adikku, kalau sudah bertemu barulah saya akan memikirkan tawaran ji-wi. Kalau memang kelak aku setuju, agaknya tidak akan sukar untuk pergi ke Se-cuan. Nah, selamat tinggal!” Han Han tidak menanti bantahan mereka. Tubuhnya mencelat ke belakang, kemudian dua orang gagah itu melihat bayangan putih berkali-kali mencelat makin jauh dan le­nyap dari pandangan mata mereka.

Kedua orang itu menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian menarik napas panjang. “Manusiakah dia?” Yang muda mengguman.

“Entahlah, akan tetapi seorang buntung bisa bergerak seperti itu, sungguh sukar dipercaya!”

Keduanya pergi dan makin banyaklah orang yang bercerita tentang kehebatan sepak terjang Pendekar Super Sakti!

Han Han tidak singgah di kota Tai-goan, melainkan terus keluar dari kota itu melalui pintu kota sebelah timur untuk melanjutkan perjalanannya ke kota raja melalui Pegunungan Tai-hang-san. Ketika beberapa hari kemudian ia tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, ia me­rasa kagum akan keindahan pemandangan alam di pegunungan ini, akan penghidup­an para petani pegunungan yang aman, damai dan tenteram. Melihat para petani yang biarpun pakaiannya sederhana, robek-robek dan kotor terkena lumpur, bekerja di sawah sambil menyanyi-nyanyi, wajah mereka berseri gembira, tubuh mereka sehat kuat, Han Han ikut menjadi gem­bira. Ia kagum sekali dan terkenanglah ia akan filsafat yang pernah dibacanya bah­wa “kemajuan duniawi” bahkan menjauh­kan manusia daripada kebahagiaan hidup. Lihat saja di kota-kota besar. Di kota manusia mengadakan pelbagai kesenangan, makanan enak, pakaian indah, perhiasan, tontonan dan sebagainya yang dianggap sebagai kemajuan yang akan menyenang­kan hidup manusia. Akan tetapi makin banyak diciptakan hiburan-hiburan dan kemewahan, bukan kebahagiaan yang didapat, bahkan sebaliknya. Manusia yang bisa mendapatkan segala kemewahan itu, hanya akan menikmatinya sebentar saja lalu menjadi bosan, sebaliknya betapa banyaknya yang karena tidak bisa mendapatkannya, merasa berduka dan meng­anggap hidupnya sengsara. Yang tidak bisa membeli pakaian indah dan perhias­an mewah melihat mereka yang memakai segala kemewahan itu menjadi iri hati dan kepingin sekali, maka timbullah per­buatan-perbuatan maksiat, didorong oleh keinginan hendak memiliki benda-benda yang diinginkan.

Akan tetapi, di dusun yang sunyi ini, tidak nampak kemajuan duniawi, tidak nampak kesenangan-kesenangan yang aneh-aneh dan karenanya, tidak ada se­orang pun yang kepingin dan tidak ada seorang pun yang merasa sengsara. Me­reka tidak mabuk pengejaran kesenangan dan kemewahan, mereka tidak butuh akan itu, dan karenanya mereka pun tidak kekurangan sesuatu! Boleh jadi para petani pegunungan ini miskin akan harta benda dan kesenangan duniawi yang se­kelumit itu, namun tanpa disadari telah menemukan kebahagiaan sejati yang me­mang akan menonjol apabila manusia menipis keinginannya untuk mengejar kesenangan. Kesenangan adalah bayangan yang menyesatkan, makin dikejar makin membuat pengejarnya tersesat jauh sehingga tidak dapat menemukan keba­hagiaan yang sudah ada pada dirinya sendiri. Lupa bahwa kesenangan itu ber­gandengan tangan dengan kesusahan. Bahkan merupakan satu badan dengan dua muka, yaitu yang sebelah kesenangan yang sebelah lagi kesusahan. Maka sudah menjadi kepastian bahwa siapa mencari kesenangan, dia berarti mencari pula kesusahan, karena yang merangkul ke­senangan berarti menggandeng kesusahan pula.

Karena tertarik dan kagum, Han Han beristirahat di bawah pohon dekat sawah, melihat seorang petani tua yang sedang mencangkul sawahnya. Petani tua itu memandang ke arah Han Han, menggeleng-geleng kepala penuh kasihan melihat pemuda yang berkaki buntung itu, lalu melanjutkan pekerjaannya.

“Lopek, maaf kalau aku mengganggu pekerjaanmu. Penduduk di sini kelihatan sehat dan gembira sekali, alangkah jauh bedanya dengan penduduk kota Tai-goan yang saya lalui beberapa hari yang lalu.”

Kakek itu menunda cangkulnya, menoleh dan tersenyum. “Habis, kalau tidak gembira, apa yang disusahkan? Bekerja setiap hari mendatangkan kesehatan. Dan berkat kesucian para nikouw yang bersembahyang untuk kami di Kwan-im-bio di dusun kami, Kwan Im Pouwsat memberi berkah sehingga hasil sawah kami selalu baik. Memang benar, semenjak Thian Sim Nikouw dan para muridnya membangun kuil Kwan-im-bio di dusun kami, penghidupan kami lebih tenteram. Sawah ladang subur, kalau ada yang sakit para nikouw cepat turun tangan mengobati, dan petuah-petuah yang berharga dari para nikouw mengusir semua kemaksiatan di dusun-dusun.”

Han Han tertarik dan makin kagum. Di mana ada penghidupan yang demikian tenang dan damai?

“Selain itu, juga tidak ada orang ja­hat berani mengganggu pedusunan di se­kitar Tai-hang-san, berkat perlindungan para nikouw Kwan-im-bio yang sakti!”

Han Han makin kagum. Dia menoleh ke arah sebuah dusun yang ditunjuk oleh kakek itu, dan karena hari sudah men­jelang senja, ia mengambil keputusan untuk singgah dan melewatkan malam di dusun itu. Ia lalu berpamit dan melanjut­kan perjalanannya menuju ke dusun yang berada di sebuah lereng di kaki Pegunung­an Tai-hang-san. Ketika tiba di luar dusun, ia mendengar derap kaki kuda dan seekor kuda yang ditunggangi seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan sebatang golok tergantung di punggung, melewatinya dan meninggalkan debu yang mengotori pakaian Han Han. Pemuda ini mengebut-ngebutkan pakaiannya dan me­ngerutkan alisnya. Jelas bahwa orang tadi yang kini bersama kudanya memasuki dusun di depan bukanlah petani dusun, dan melihat sinar kejam membayang di wajah itu, diam-diam Han Han merasa khawatir. Akan tetapi dengan tenang ia melanjutkan perjalanannya, melangkah dengan satu kaki dengan ringan dan mu­dah, akan tetapi apabila bertemu orang ia lalu menggunakan tongkatnya mem­bantu sehingga tidak menimbulkan curiga dan keheranan. Kalau ia menggunakan ilmunya, bergerak dengan langkah satu kaki seperti yang ia latih di bawah pim­pinan gurunya, tentu ia akan mendatang­kan keheranan kepada mereka yang melihatnya.

Di pinggir dusun itu tampak sebuah bangunan tembok yang dari jauh pun dapat diduga tentu sebuah kuil. Temboknya setinggi dua meter dan tebal, dan di pintu depan tampak tulisan tangan di atas papan, tulisan yang bergaya indah: KWAN IM BIO. Tentu saja Han Han tidak berani melihat-lihat karena maklum bahwa kuil itu adalah kuil yang dihuni para nikouw (pendeta wanita). Akan tetapi ia melihat kuda ditambatkan di pohon tak jauh dari kuil itu dan penunggangnya tidak kelihatan batang hidungnya, Han Han menjadi curi­ga dan ia menyelinap di belakang pohon mengintai. Tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang yang gerakannya cukup gesit dan tampaklah si penunggang kuda tadi, agaknya baru turun dari pagar tem­bok dan wajah yang kasar dan kejam itu menyeringai, matanya bersinar-sinar. Orang itu berlari menghampiri kudanya, melepaskan tambatan kuda, meloncat dengan sigap dan melarikan kudanya memasuki dusun yang kelihatannya cukup besar dengan rumah-rumah yang cukup baik keadaannya.

Sikap dan gerak-gerik penunggang kuda itu menjadi alasan yang cukup kuat bagi Han Han untuk memperhatikan ke­adaan kuil. Timbul kecurigaannya dan keinginannya untuk menyelidiki, maka setelah melihat bahwa di luar tidak ada orang, tubuhnya sudah mencelat naik dan di lain saat ia telah berada di sebelah dalam pagar tembok, menyelinap dan bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang yang tumbuh di sudut kebun.

Kebun itu luas dan ternyata bahwa kuil itu sendiri tidaklah begitu besar. Agak­nya para nikouw mengerjakan kebun itu, ditanami pohon-pohon buah dan bahan makanan lain.

Selagi Han Han hendak keluar dari tempat persembunyiannya dan mengintai ke dalam kuil melalui pintu atau jendela belakang karena kebun itu sunyi saja, tiba-tiba ia mendengar suara dan melihat empat orang nikouw keluar dari pintu belakang. Ia cepat menyelinap lagi, ber­sembunyi.

Di dalam cuaca yang mulai suram karena matahari sudah tenggelam di barat, Han Han melihat seorang nikouw tua yang berwajah alim memegang sebatang tongkat bersama tiga orang ni­kouw yang bersikap halus. Seorang di antara tiga nikouw ini sudah setengah tua, yang seorang lagi paling banyak berusia tiga puluh tahun, berwajah cantik dan berkulit putih. Akan tetapi ketika Han Han melihat nikouw ke tiga, jan­tungnya berdebar. Nikouw ini masih amat muda dan wajahnya cantik jelita. Kepalanya yang gundul itu berkulit putih dan licin seolah-olah memang tidak pernah berambut, bibirnya segar merah seperti dicat di tengah kulit muka yang putih halus.

“Ah, agaknya engkau hanya melihat bayangan burung terbang,” kata nikouw tua dengan lemah lembut.

“Tidak, subo. Teecu yakin ada orang berkelebat meninggalkan kebun ini tadi. Biar teecu periksa sebentar!”

Suara itu! Wajah dan terutama mata dan bibir itu! Dan kini gerakan tubuh nikouw muda yang gesit dan ringan se­kali, berloncatan ke sana ke mari dengan sinar mata tajam mencari-cari. Tidak salah lagi! Ia mengenal nikouw ini, nikouw yang ia duga sedang mencari bayangan si penunggang kuda yang agaknya meng­intai ke kuil dari kebun ini!

“Kim Cu....!”

Han Han tak dapat menahan lagi hatinya, sambil melompat keluar dari balik semak-semak ia menghampiri Kim Cu yang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat memandang kepadanya, seolah-olah nikouw muda ini melihat munculnya setan!

“Omitohud....!” Nikouw tua berseru perlahan dan kedua orang nikouw lain juga mengeluarkan seruan kaget melihat munculnya seorang pemuda berkaki bun­tung yang berwajah tampan dan berambut riap-riapan.

“Kim Cu....!” Kembali Han Han berseru dengan suara menggetar. “Ini aku.... Han Han....!”

Nikouw muda ini mukanya menjadi seperti muka mayat, mulutnya yang tadi­nya merah itu menjadi pucat pula, ter­buka sedikit dan matanya terbelalak memandang wajah Han Han, hidungnya kembang-kempis, dadanya turun naik.

“Kim Cu, lupakah engkau kepadaku....?” Han Han melangkah mendekat dan memegang pundak nikouw itu, suaranya makin menggetar dan wajahnya juga agak pucat, matanya bersinar tajam penuh selidik.

“Tidak....!” Tiba-tiba bibir itu mengeluarkan suara yang menggetar bunyinya, dengan bibir menggigil. “Tidak.... jangan sentuh aku.... ah, aku.... bukan.... bukan dia.... aku.... seorang nikouw....!”

Nikouw muda itu membuang muka yang ditundukkan, tangannya dengan halus merenggut tangan Han Han dari pundak­nya, tangan yang dingin menggigil seperti seekor burung ketakutan.

“Kim Cu....,” Han Han menahan suaranya yang terisak ketika ia melihat wajah nikouw yang ditundukkan itu menitikkan dua butir air mata dari mata yang kini dipejamkan dan mulut yang kini berbisik-bisik membaca liam-keng!

“Orang muda, perbuatanmu ini tidak patut! Engkau hendak menodai kesucian seorang nikouw dan mengotorkan Kwan-im-bio?” Suara itu halus, akan tetapi penuh teguran. Han Han sadar dan cepat memandang nikouw tua itu. Nikouw itu berdiri tegak, kening berkerut dan sepasang mata yang halus amat berwibawa. Dua orang nikouw lain berdiri menunduk, merangkap kedua tangan di dada dan mulutnya berkemak-kemik, seperti mulut nikouw muda itu, membaca doa!

“Maaf...., maaf....” Han Han merasa seperti terpukul, meloncat ke belakang dan tubuhnya mencelat ke atas pagar tembok. Dari atas pagar itu menoleh lagi kepada nikouw muda yang masih menun­duk dan meruntuhkan air mata sambil berkemak-kemik berdoa mohon kekuatan batin kepada Kwan Im Pouwsat.

“Ohhh.... Kim Cu....!” Suara Han Han mengandung isak dan tubuhnya ber­kelebat lenyap dari atas tembok.

Tubuh nikouw muda itu terhuyung kemudian terguling roboh! Pingsan! Sibuk­lah dua orang nikouw yang lain meng­angkatnya dan nikouw tua berulang kali menghela napas dan menyuruh bawa tu­buh nikouw muda yang pingsan itu ke dalam kamarnya, kemudian menyuruh dua orang muridnya itu keluar dari kamar.

Nikouw muda itu memang Kim Cu. Telah diketahui bahwa setelah kuil di mana nikouw tua itu tinggal kebanjiran, Thian Sim Nikouw mengajak murid-murid­nya yang pada waktu itu telah menjadi sepuluh orang untuk mengungsi dan akhirnya menetap di lereng Pegunungan Tai-hang-san mendirikan sebuah kuil sederana. Selama itu, Kim Cu yang telah memakai nama Kim Sim Nikouw, hidup tenteram dan damai, bahkan kalau tidak ada gangguan bayangan Han Han tentu dia telah mencapai kebahagiaan seperti yang telah dicapai Thian Sim Nikouw dan murid-muridnya.

Pertemuan tiba-tiba dengan Han Han yang dianggapnya sudah mati itu menimbulkan gelombang dahsyat dalam hati Kim Sim Nikouw, merupakan pukulan batin yang amat hebat sehingga ia roboh pingsan. Luka di hatinya yang tadinya sudah mulai sembuh dan mengering, kini seperti dirobek-robek dan mengucurkan darah.

“Han Han....” Bisikan ini keluar dari bibir Kim Sim Nikouw yang bergerak perlahan, lalu bangkit duduk, pandang matanya kosong sehingga ia tidak me­lihat bahwa gurunya duduk di situ. Ia menoleh ke kanan kiri, kembali memang­gil lirih, “Han Han....”

“Omitohud, sadarlah dan kuatkan hatimu, Kim Sim....”

“Han Han....!” Kini panggilan itu merupakan jerit yang langsung keluar dari hatinya.

“Muridku, sadarlah!” Kembali nikouw tua itu berkata halus.

Kim Sim Nikouw menoleh dan.... sambil menjerit ia menubruk gurunya, berlutut dan menangis tersedu-sedu di pangkuan gurunya. “Subo.... ampunkan teecu.... ah, teecu yang lemah berdosa besar....!”

“Menangislah, muridku, menangislah. Pouwsat akan selalu menaruh kasihan dan memaafkan orang lemah yang sadar akan kelemahannya....” Nikouw itu memeluk muridnya dan membiarkan nikouw muda itu menangis di dadanya. Dia sendiri tergetar hatinya dan tersentuh perasaan harunya, namun bagaikan air telaga yang sudah tenang, keriput air yang sedikit itu sebentar saja lenyap. Ia sengaja mem­biarkan muridnya menangis, oleh karena ia tahu bahwa tekanan batin yang hebat itu akan amat berbahaya bagi kesehatan­nya kalau tidak diberi saluran keluar. Dan saluran terbaik pada saat itu hanya­lah membiarkannya menangis sepuasnya.

Kim Cu menangis sesenggukan sampai tubuhnya berguncang-guncang, air matanya membanjir bagaikan air bah menjebol bendungannya, hatinya menjerit-jerit keluar dari tenggorokannya sebagai keluh dan rintih melengking. Setelah dadanya tidak terlalu terhimpit lagi ia berkata, suaranya serak dan terputus.

“Aduh, subo.... apakah yang harus teecu lakukan....? Bagaimana teecu.... ini...., subo.... tunjukkanlah jalan.... bagi teecu....”

Thian Sim Nikouw tersenyum. “Omitohud.... puji syukur kepada Kwan Im Pouwsat yang penuh welas asih....! Tanyalah kepada hati sanubarimu sendiri, anakku. Pinni tidak akan memaksamu, tidak akan menghalangimu. Engkau ambillah keputusan sendiri, Kim Sim Nikouw!”

“Subo.... tolonglah teecu.... teecu bimbang.... teecu bingung. Munculnya Han Han bagaikan sambaran petir me­ngenai kepala teecu, gelap semua.... tolonglah subo memberi jalan, memberi petunjuk kepada teecu.”

“Baikiah, tenangkan dan sabarlah hatimu. Mari kita bersamadhi sebentar.... pinni akan membantumu memperoleh ketenangan dan kesabaran. Karena hanya hati yang tenang penuh kesabaran sajalah yang akan mampu menggunakan pikiran dan pertimbangan bersih dan tepat.”

Kim Sim Nikouw melepaskan pelukan­nya lalu duduk bersila di atas tanah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, bekas murid orang-orang sakti seperti Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Cui-sian-li, tentu saja samadhi merupakan hal yang sudah biasa ia lakukan. Akan tetapi dalam keadaan batin tertekan seperti itu, kalau tidak dibantu Thian Sim Nikouw, tak mungkin dia dapat mengheningkan cipta­nya. Tak lama kemudian terasalah oleh­nya getaran yang halus memasuki dirinya dan ia tahu bahwa gurunya yang biarpun tidak pandai ilmu silat akan tetapi dalam soal kebatinan jauh lebih tinggi tingkatnya daripada Toat-beng Ciu-sian-li, telah membantunya. Sebentar saja Kim Sim Nikouw dapat mengheningkan cipta dan setelah mereka menghentikan samadhi, Kim Sim Nikouw sudah dapat tenang, sungguhpun pikirannya masih tertekan dan bayangan Han Han masih belum mau lenyap dari depan matanya.

“Muridku, pinni akan berusaha mem­bantumu memberi petunjuk. Akan tetapi, pinni tidak sekali-kali hendak mempenga­ruhimu, karena hal ini menyangkut jalan hidupmu sendiri. Kalau pinni memaksa­nya, yaitu memaksakan kehendak hati pinni, hal itu berarti pinni menyalahi hukum yang sudah ditentukan dalam hi­dup manusia. Nah, pinni mulai dengan pertanyaan yang hendaknya kau jawab sejujur-jujurnya.”

“Baiklah, subo.”

“Apakah engkau mencinta Han Han?”

“Teecu mencintanya, subo. Dahulu, Han Han adalah satu-satunya orang yang teecu cinta. Dan sekarang pun, hati teecu masih rindu kepadanya, rindu akan cintanya, sungguhpun perasaan itu hanya merupakan lamunan belaka karena se­sungguhnya, setelah mempelajari dan melatih pelajaran dari subo untuk meng­ubah cinta kasih perorangan menjadi cinta kasih alam semesta, mencinta setiap manusia, bahkan setiap mahluk, dunia dan isinya, teecu menjadi ragu-ragu apakah cinta kasih teecu masih sekuat dulu terhadap Han Han.”

Nikouw tua itu mengangguk-angguk, kelihatannya lega mendengar ini. Akan tetapi ia masih belum yakin benar, maka tanyanya kembali, “Apakah engkau masih mempunyai keinginan untuk menyerahkan tubuhmu kepadanya, ingin melakukan hubungan badani dengan dia? Apakah engkau masih ingin untuk menjadi isteri­nya dan kemudian melahirkan anak-anak keturunannya?”

Kim Sim Nikouw menundukkan muka­nya yang menjadi merah, berpikir sampai lama menjenguk hati dan pikiran sendiri agar dapat memberi jawaban sejujurnya karena dia maklum bahwa gurunya ber­usaha keras untuk menolongnya dan ha­nya gurunya inilah yang akan dapat me­nunjukkan jalan yang tepat baginya. Ke­mudian ia mengangkat muka, memandang gurunya dengan sinar mata tulus dan berkata.

“Subo tentu maksudkan apakah teecu masih mengandung nafsu berahi terhadap­ dia? Kalau benar demikian pertanyaan subo, maka jawaban teecu adalah tidak! Berkat bimbingan subo, teecu telah da­pat menguasai dan mengendalikan nafsu berahi. Tidak, subo, cinta teccu terhadap Han Han bukanlah cinta agar menjadi isterinya dan agar teecu menjadi ibu anak-anaknya.”

“Omitohud.... syukurlah, engkau telah dapat membebaskan diri dari ikatan yang amat kuat. Dan kalau begitu, maka se­baiknya, bagimu sendiri dan bagi dia pula, engkau harus memutuskan hubungan­mu dengan dia. Akan tetapi, harus eng­kau sendiri yang mengatakan kepadanya, karena kalau demikian barulah ia akan yakin, dan hal ini pun merupakan ujian terakhir bagimu. Yang kaunyatakan tadi hanyalah ucapan yang dapat dipengaruhi oleh pertimbangan, akan tetapi kalau engkau berhadapan sendiri dengan dia dan perasaanmu pun menguasaimu, nah, dalam keadaan seperti itulah maka pernyataanmu akan merupakan keputusan.”

“Maaf, subo. Betapa beratnya kalau harus teecu sendiri yang mengatakannya. Tadinya pun teecu sudah menganggap dia mati. Begitu dia muncul dengan tiba-tiba, melihat raut wajahnya yang penuh bayangan duka, melihat kakinya yang buntung.... ah, rela rasanya teecu mengorbankan apa pun juga demi untuk membahagiakan dia!”

“Kemukakanlah kesemuanya ini ke­padanya, muridku. Dan jika engkau ber­hadapan dengan dia, sebutlah nama Kwan Im Pouwsat di hatimu, mohon kekuatan. Pinni hanya dapat mengatakan bahwa kalau engkau berhasil memutuskan hu­bungan dengan dia, maka engkau akan dapat berbuat lebih banyak daripada kalau engkau melanjutkan ikatan itu. Engkau akan menderita karena setelah menjadi isterinya, engkau akan selalu teringat akan keadaanmu yang murni di sini, engkau akan disiksa oleh perasaan berdosa dan dengan demikian engkau akan menyeret pula dia ke dalam ke­sengsaraan. Pinni yakin akan hal ini karena engkau telah mencapai tingkat se­tinggi itu di mana kasih sayang alam semesta telah menyerap dan berakar di hati sanubarimu. Demikianlah, muridku. Kini beristirahatlah dan besok engkau boleh menjumpainya.” Setelah berkata demikian, nikouw tua itu meninggalkan Kim Sim Nikouw dan memasuki kamarnya sendiri.

Kim Sim Nikouw naik ke pembaringannya, berbaring dan berusaha untuk tidur. Akan tetapi ia gelisah, miring ke kanan, kembali ke kiri, terlentang, tertelungkup dan akhirnya ia bangun duduk bersila dan bersamadhi lagi! Setelah bersamadhi, barulah ia dapat tenang dan dalam keadaan hening ini ia dapat menenteramkan hati dan pikirannya, lalu ia terus melatih diri mengumpulkan hawa murni di tubuhnya.

Menjelang tengah malam, tiba-tiba dia terkejut. Ia mendengar suara kaki di genteng. Tentu Han Han, pikirnya dengan jantung berdebar. Biarlah ia bersamadhi terus, karena menghadapi Han Han, dalam keadaan seperti ini ia akan merasa lebih kuat batinnya. Ia harus memutuskan hu­bungan mereka, harus mematahkan ikatan di antara mereka. Ia harus menolaknya, betapapun hal ini menyakitkan!

Akan tetapi sampai lama, ia tidak mendengar gerakan lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara rintihan perlahan di kamar seperti rintihan orang tercekik atau terbungkam mulutnya, kemudian diam! Hatinya menjadi curiga dan kem­balilah wataknya sebagai Kim Cu murid In-kok-san! Sekali mencelat, tubuhnya sudah melayang keluar dari jendela dan menerobos memasuki jendela Pui Sim Nikouw, yaitu sucinya yang berusia tiga puluh tahun, yang cantik dan berkulit putih. Dan apa yang dilihatnya dalam kamar yang hanya diterangi sebatang lilin itu membuat ia hampir mengeluar­kan makian saking marahnya! Ia melihat tubuh sucinya itu telanjang bulat, pakaian nikouw telah robek-robek semua di kanan kiri tubuhnya yang putih mulus. Sucinya dalam keadaan tertotok, air matanya bercueuran dan seorang laki-laki tinggi besar sambil menyeringai meraba-raba dada sucinya dan menciumi bibirnya.

“Manusia jahat!” Kim Sim Nikouw masih dapat menahan makian yang lebih kotor, dan ia meloncat ke dekat pem­baringan. Laki-laki itu meloncat turun dan menyeringai lebar. “Ha-ha-ha, eng­kaulah yang kucari sebetulnya. Engkau paiing muda dan paiing cantik! Dan engkau.... heh-heh, engkau masih perawan. Siang tadi kulihat engkau, akan tetapi aku salah masuk. Betapapun juga, dia ini boleh juga!”

“Pergilah!” Kim Sim Nikouw meng­ayun kakinya dan tubuh laki-laki itu terlempar ke belakang menabrak dinding. Ia kaget sekali dan cepat merangkak bangun sambil menyambar golok yang tadi ia letakkan di atas meja.

“Ehhh, kiranya engkau pandai silat? Bagus, engkau menyerah atau kupenggal lehermu, kubawa kepalamu yang gundul dan cantik itu untuk hiasan kamarku, ha-ha!”Golok menyambar, akan tetapi sekali menggerakkan tangan, laki-laki itu ber­teriak dan goloknya terlepas, tangannya lumpuh karena pergelangan tangannya patah tercium jari tangan Kim Sim Ni­kouw yang amat kuat. Kim Sim Nikouw yang sudah marah sekali lalu menubruk maju, kedua tangannya dengan jari ter­buka menghantam ke arah dada laki-laki itu.

Pukulan ini sepenuhnya mengan­dung pukulan Toat-beng-ciang dan sudah dapat dipastikan bahwa laki-laki itu ten­tu mati. Untung sekali baginya, pada detik terakhir, melihat wajah laki-laki yang ketakinan itu, Kim Sim Nikouw teringat akan sifat welas asih, dan ia menaikkan sasarannya.

“Kekkk-krekkkkk!” Bukan dada laki-laki itu yang pecah, melainkan kedua tulang pundaknya yang hancur.

“Aduh tobaaat.... aduhhh.... aduhhh.... ampunkah saya, Siankouw....!” laki-laki itu mengaduh-aduh sambil berkelojotan di atas lantai.

“Hemmm!” Kim Sim Nikouw men­dengus, lalu cepat menubruk sucinya, membebaskan totokannya dan menyelimuti tubuhnya yang telanjang bulat. Nikouw itu menangis, akan tetapi dihibur oleh Kim Sim Nikouw, “Syukur kepada Pouwsat bahwa kedatanganku belum terlambat, suci.” Nikouw itu memeluk Kim Sim Nikouw sambil menangis.

Pintu kamar terbuka dan Thian Sim Nikouw masuk sambil memegang sebatang lilin, diikuti oleh para nikouw karena mendengar suara gaduh dalam kamar itu.

“Apakah yang terjadi di sini?”

“Subo, manusia sesat ini hendak me­lakukan perbuatan terkutuk,” kata Kim Sim Nikouw. Nikouw tua itu mengeriing ke arah Pui Sim Nikouw yang berkeru­dung selimut dan memandang laki-laki yang patah pergelangan lengan kanan dan remuk kedua tulang pundaknya itu.

“Hemmm, ambilkan tempat obat pe­nyambung tulang,” perintahnya kepada seorang murid yang segera memenuhi perintah gurunya. Setelah keranjang obat itu datang, Thian Sim Nikouw lalu meng­obati kedua pundak dan pergelangan ta­ngan laki-laki itu yang terus merintih-rintih dan minta-minta ampun. Setelah selesai membalut, Thian Sim Nikouw lalu berkata.

“Kalau mau minta ampun, mintalah ampun kepada Thian dan jadikanlah pe­ngalaman pahit ini sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang jiwamu. Nah, pergilah!”

Laki-laki itu menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sim Nikouw, ke­mudian ia diperbolehkan keluar melalui pintu samping yang dibuka oleh seorang nikouw. Kemudian para nikouw itu kem­bali memasuki kamar masing-masing. Akan tetapi Kim Sim Nikouw tidak kem­bali ke kamarnya, melainkan memasuki ruangan liam-keng dan berlutut di depan sebuah arca Buddha yang besar. Ia ber­sila, bersamadhi dan mulutnya berkemak-kemik membaca liam-keng. Hatinya geli­sah sekali karena tadi ia dikuasai ke­marahan, bukan karena melihat sucinya hendak diperkosa orang, melainkan ka­rena tadinya ia mengira Han Han-lah yang akan berbuat jahat melakukan perkosaan. Ia merasa makin berdosa dan kasihan kepada Han Han, juga merasa betapa sebetulnya ia masih amat lemah. Dia tadi telah dibakar api cemburu, dan cemburu ini hanyalah menjadi bukti bahwa nafsu berahinya terhadap pemuda itu, yang bergulung menjadi satu dengan cinta kasihnya, sebenarnya masih belum lenyap sama sekali seperti yang ia katakan di depan gurunya. Ternyata Thian Sim Nikouw kembali betul! Dia harus menyatakan semua di depan Han Han dan ia bermohon kepada Buddha agar dia diberi kekuatar dan agar Han Han diberi penerangan suci sehingga pemuda itu akan memudahkan keputusan yang diambilnya ini.

“Kim Cu....!”

Nikouw muda itu terkejut, membuka matanya dan menoleh, ternyata Han Han telah berdiri di belakangnya. Sama se­kali ia tidak mendengar gerakan pemuda buntung itu, dan diam-diam Kim Sim Nikouw kagum bukan main. Dahulu, se­belum buntung sekalipun, ia tentu akan dapat mendengar gerakannya, akan tetapi sekarang, ia sama sekali tidak mendengar apa-apa dan tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di situ!

“Omitohud.... kenapa engkau berani mengotori tempat suci ini, dan mengapa engkau selalu mengejar-ngejarku?” Kim Sim Nikouw berkata, suaranya halus penuh wibawa, akan te­tapi mukanya menunduk karena ia tidak berani bertemu pandang dengan Han Han, yang ia tahu mempunyai sinar mata yang luar biasa tajamnya, dan yang akan mam­pu menjenguk isi hatinya!

“Aku akan terus mengejar dan meng­ikutimu, biar sampai dunia kiamat sekali­pun, selama engkau belum mau berterus terang karena aku merasa yakin bahwa engkau adalah Kim Cu! Apa kaukira aku tidak dapat mengenal pukulan Toat-beng Sin-ciang yang kaulakukan untuk membikin remuk kedua tulang pundak jai-hwa-cat tadi?”

“Ohhh, jadi engkau tadi melihatnya....? Ya Thian Yang Maha Kasih....! Baiklah.... baiklah. Han Han.... aku memang Kim Cu.... akan tetapi sekarang aku telah menjadi Kim Sim Nikouw.... engkau tidak boleh mendekatiku, maka pergilah kau, Siangkong. Pergilah kau.... Han Han.... kasihani aku dan pergilah tinggalkan aku....”

“Hemmm.... ke manakah perginya kegagahanmu, Kim Cu? Manusia tidak boleh membohongi dirinya sendiri, tidak boleh mengingkari perasaan hatinya sendiri. Ceritakan dulu, mengapa engkau menjadi nikouw dan mengapa engkau mengusirku, baru aku akan mempertimbangkan permintaanmu itu. Setelah semua yang kita alami bersama....!”

“Ya, setelah apa yang kita alami bersama....!” Kim Sim Nikouw berbisik dan ia membalikkan tubuh membelakangi Han Han, lalu jatuh berlutut karena kakinya menggigil, suaranya masih berbisik-bisik namun terdengar jelas oleh Han Han.

“.... engkau tidak tahu betapa aku telah menderita hebat.... betapa aku sekarang telah menemukan ketenteraman kembali.... ketika engkau menolongku, agar aku tidak terkena senjata rahasia Toat-beng Ciu-sian-li, engkau menolongku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri.... kita berdua jatuh ke dalam jurang yang tak berdasar! Ahhh.... betapa senang dan bahagianya hatiku ketika melayang jatuh karena aku yakin bahwa kita akan mati bersama.... mati bersamamu di waktu itu merupakan kebahagiaan yang tak terhingga bagiku....! Akan tetapi, ohhh.... hancurlah hatiku ketika ada nelayan menolongku dan aku masih hidup! Aku hidup dan engkau mati! Aduhh, Han Han.... tidak ada penderitaan yang lebih hebat daripada itu, hatiku tersayat-sayat.... ohhh....” Nikouw itu menangis terisak-isak.

Han Han tak dapat berkata-kata, ha­nya memandang gadis itu dengan wajah pucat dan mata basah, perasaannya di­serang keharuan yang membuat ia tak dapat bicara, melainkan membayangkan penderitaan batin gadis ini yang amat mencintanya. Dengan ujung lengan baju­nya yang lebar nikouw muda itu me­nyusuti air mata yang mengalir deras di kedua pipinya, kemudian melanjutkan.

“Aku tidak kuat menahan derita batin itu, dan tentu sudah membunuh diri ka­lau tidak ada Thian Sim Nikouw ketua Kwan-im-bio yang menolongku, menyadarkan aku.... merupakan pelita yang menerangi kegelapan hatiku.... aku diberi wejangan, aku sadar lalu menjadi muridnya.... menjadi nikouw setelah bertahun-tahun aku sembahyang setiap hari untukmu.... untuk arwahmu yang kusangka sudah mati.... akhirnya hidupku tenang dan tenteram, sebagai nikouw....”

“Kim Cu....” Suara Han Han menggetar dan berbisik penuh perasaan haru, “apakah tidak ada jalan lain....?”

“Jalan lain yang mana? Aku.... aku murid seorang wanita jahat...., seorang datuk hitam yang penuh dosa.... dunia akan mengutuk aku.... manusia akan memandang rendah kepadaku.... hanya dengan menjadi nikouw aku dapat menebus dosa.... dan.... dan dapat melupakan engkau....”

Han Han tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya jatuh bertitik. Ia tahu betapa besar, betapa murni perasaan cinta kasih Kim Cu ter­hadap dirinya. Dan demi cinta kasihnya itu pula gadis ini melakukan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita. Menjadi nikouw! Pengorbanan nyawa masih kalah besar, karena sekali kehilangan nyawa habislah sudah. Akan tetapi sedemikian muda dan cantiknya, berkepandaian tinggi, mempunyai harapan besar untuk menikmati hidup, sudah melempar dirinya menjadi patung hidup, menjadi nikouw! Betapa besar pengorbanan itu. Patutkah seorang gadis seperti Kim Cu berkorban sedemikian rupa untuknya?

“Kim Cu, tidak boleh! Engkau tidak boleh berkorban untukku seperti ini! Tidak, tidak....! Kalau memang engkau mencintaku.... setelah semua pengorbanan yang kaulakukan untukku.... wahai Kim Cu, budimu kepadaku bertumpuk-tumpuk, tak mungkin dapat kubalas selama hidupku.... mengapa setelah itu semua engkau lalu mengambil jalan ter­pendek ini? Kim Cu, engkau mungkin akan mendapatkan ketenangan dan ke­bahagiaan hidup dengan menjadi nikouw.... akan tetapi aku...., aku yang kauusir.... aku yang merasa terhimpit oleh budimu.... betapa aku akan dapat bersenang hati, mengenangkan engkau yang selalu bersamadhi dan bersembahyang di dalam kelenteng yang sunyi? Ah, Kim Cu.... jelas bahwa engkau masih mencintaku, mengapa.... mengapa engkau merenggutnya putus membiarkan hatimu terkoyak-koyak berdarah....?”

“Han Han....!” Nikouw itu menjerit, mendekap mukanya dan menangis sesung­gukan. Sampai lama ia menangis, berlutut dan air matanya yang bening seper­ti mutiara menetes-netes keluar melalui celah-celah jari tangannya yang kecil meruncing. “Kalau begitu, kalau aku merusak hatimu, kalau aku mendatangkan sengsara kepada engkau orang yang ku­kasihi dengan seluruh jiwa ragaku dengan kelanjutan hidupku menjadi nikouw.... kalau begitu...., biarlah aku mati saja....!” Cepat sekali nikouw muda yang sudah menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan memandang ke depan dengan muka beringas, meloncat ke de­pan, ke arah arca Sang Buddha yang ter­senyum cerah, hendak membenturkan kepalanya yang gundul licin itu kepada kaki arca yang terbuat daripada batu hitam.

“Wuuuuuttttt....!” Tubuh nikouw itu meluncur ke depan karena dalam ke­nekatannya nikouw ini sudah mengerah­kan gin-kang ketika meloncat dan tidak menggunakan tenaga sin-kang untuk me­lindungi kepalanya karena ia ingin agar sekali bentur, kepalanya akan pecah.

“Plakkk....!” Kepala nikouw itu bertemu dengan telapak tangan Han Han yang lunak karena Han Han sama sekali tidak menggunakan tenaga pula ketika ia tadi cepat meloncat ke depan arca dan menaruh tangannya di depan kaki arca, telapak tangannya menyambut kepala nikouw itu sehingga tangannyalah yang terhimpit dengan keras ke kaki arca.

Nikouw itu terpental ke belakang, cepat meloncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak kepada Han Han. Ia melihat tangan kanan pemuda buntung itu bercucuran darah yang keluar dari luka di punggung tangannya, darah yang membasahi kaki arca sehingga menjadi merah.

“Kim Sin Nikouw, apa yang kaulakukan ini?” Kini suara Han Han terdengar keras dan pandang matanya penuh daya pengaruh menundukkan. Nikouw muda itu seperti terpesona, seperti baru bangun dari mimpi dan ia mamandang wajah Han Han yang pucat, dahi berkerut, mulut yang membayangkan derita, akan tetapi sinar mata yang tajam berwibawa.

“Han Han....!” Kim Sim Nikouw mengeluh.

“Kim Sim Nikouw, sadarlah bahwa tidak ada dosa yang lebih besar, tidak ada sifat pengecut yang paling rendah daripada membunuh diri!” Suara Han Han kini tidak menggetar penuh keharuan seperti tadi, bahkan keras dan tegas. “Akulah yang salah dan engkau benar. Memang sebaiknya begini. Engkau menjadi nikouw dan menemukan kebahagiaan. Adapun aku.... hemmm.... terus terang saja, Kim Sim Nikouw, aku hanya kasih­an dan ingin membalas budi, dan melihat engkau berbahagia di sini, aku pun akan merasa lega. Biarlah kita saling mendoakan saja. Selamat tinggal....!” Tubuh Han Han berkelebat dan lenyap dari ruangan itu.

Sejenak nikouw muda itu berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Han, kemudian ia menjerit kecil yang merupakan rintihan dan me­nubruk depan arca Sang Buddha yang masih tersenyum penuh pengertian, se­olah-olah memandang kelakuan dua orang anak manusia itu sebagai kelakuan dua orang anak-anak nakal. Kim Sim Nikouw merintih dan menangis, menciumi ujung kaki arca yang merah oleh darah Han Han, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Han Han dan air matanya mencuci noda darah di kaki arca itu. Darah Han Han!

Han Han sejenak memandang penglihatan yang meremas hatinya itu. Melihat betapa Kim Cu menangis dan menciumi bekas darahnya, ingin Han Han masuk kembali dan mendekapnya, me­maksanya meninggalkan kuil dan memasuki dunia memeluk kebahagiaan ber­sama dia. Akan tetapi, kesadarannya membisikan bahwa perbuatannya itu tidaklah benar. Sudah pastikah bahwa kelak Kim Cu akan hidup bahagia di sam­pingnya? Apakah dia mencinta Kim Cu? Memang, mengingat akan budi gadis yang cantik jelita dan amat murni cintanya itu, siapakah orangnya tidak akan me­nyatakan cinta kepadanya? Betapapun juga, Han Han ragu-ragu dan merasa yakin bahwa sebaiknya ia meninggalkan Kim Cu dalam usaha menemukan bahagia. Tadi ia sengaja keras, sengaja menyadar­kan Kim Cu bahwa dia hanya kasihan dan ingin membalas budi, sama sekali bukan mencinta!

Sekali lagi Han Han memandang Kim Cu, seolah-olah hendak mengusir bayang­an nikouw muda itu di lubuk hatinya, kemudian ia menghela napas dan berke­lebat pergi menghilang di dalam gelap. Peristiwa pertemuannya dengan Kim Cu itu tanpa disadarinya sudah menambah sebuah guratan lagi di dahinya.

Penjahat yang tadi memasuki Kuil Kwan-im-bio dengan niat jahat memper­kosa nikouw muda dan telah mendapat hajaran keras dari Kim Sim Nikouw, malam-malam itu juga meninggalkan dusun menunggang kudanya perlahan-lahan. Tubuhnya masih lemah dan kedua pundaknya terasa nyeri apabila tergun­cang terlalu keras, maka ia tidak berani melarikan kudanya, ia menyumpahi nasib­nya yang amat buruk. Siapa kira di dalam kuil sunyi seperti itu terdapat se­orang nikouw muda yang demikian lihai? Tadinya ia mendengar berita bahwa Kuil Kwan-im-bio mempunyai nikouw-nikouw muda yang amat cantik, sehingga ter­geraklah hatinya. Dan sore tadi ia telah menyelidiki dan melihat bahwa memang desas-desus yang didengarnya itu ternyata benar. Ia melihat nikouw muda yang amat cantik jelita.

“Sialan....!” pikirnya. Sudah banyak wanita yang ia renggut kehormatannya. Memang dia terkenal sebagai jai-hwa-cat di samping seorang pencuri ulung. Akan tetapi belum pernah ia memperkosa seorang nikouw. Tentu seorang nikouw sebagai wanita yang selalu menjaga kesucian tubuh dan hatinya, akan merupakan mangsa yang hebat, maka ia tidak peduli lagi apakah dia melakukan pelanggaran yang amat besar, dan malam itu hampir saja terlaksana apa yang ia sering kali mimpikan. Akan tetapi, agaknya para dewa tidak mengijinkan perbuatannya sehingga ia bertemu dengan nikouw muda itu. Hemmm, masih untung, pikirnya. Justeru nikouw muda itu ia incar. Kalau ia tidak salah masuk ke kamar nikouw ke dua yang juga memiliki tubuh yang benar-benar tidak disangka-sangka, amat menggairahkan, kalau ia masuk ke kamar wanita muda yang lihai itu.... ihhh, ngeri ia membayangkan. Agaknya ia belum tentu akan keluar dari kuil itu dalam keadaan bernyawa!

Tiba-tiba ada bayangan berkelebat, kudanya meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas seperti ketakutan. Ketika penjahat itu berhasil menenangkan kudanya dan memandang dengan bantuan sinar bulan, ia terkejut melihat seorang pemuda buntung telah berdiri di depan kuda, memandangnya dengan sepasang mata seperti mata harimau. Karena dia sedang murung, penjahat itu yang memandang rendah si pemuda buntung, membentak.

“Heh, bocah buntung! Minggir! Apa kau ingin mampus diinjak-injak kuda?”

Pemuda yang bukan lain adalah Han Han ini, tersenyum dingin. Dia tadi melarikan diri dari kuil dan hatinya yang sedang dilanda perasaan duka itu membuat ia berloncatan seperti kilat cepatnya, mempergunakan ilmu kepandaiannya yang istimewa. Sebentar saja ia sudah dapat menyusul penjahat berkuda itu dan begitu melihat penjahat ini, Han Han timbul kesebalan hatinya dan ia sengaja menghadang.

“Hemmm, jai-hwa-cat, apakah yang kaulakukan di kuil tadi?”

Penjahat itu pucat wajahnya. Ia mem­besar-besarkan hatinya, akan tetapi kare­na kedua pundaknya tak dapat digerakkan sehingga kedua lengannya pun setengah lumpuh, pergelangan tangan kanannya pun tidak boleh dipakai bergerak, ia maklum akan keadaan dirinya yang sedang terluka dan lemah.

“Aku.... aku terluka.... dan aku sudah diampuni para nikouw....” katanya gagap.

Han Han memandang penuh selidik. “Andaikata aku membantumu mendapat­kan nikouw muda itu dalam keadaan tidak berdaya sehingga engkau akan da­pat melakukan apa juga atas dirinya tanpa ia mampu melawan, engkau akan memberi hadiah apa kepadaku?”

“Wah, jangan main-main, orang muda. Nikouw yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian lihai bukan main, sedangkan kau seorang buntung kakimu....”

“Hemmm, apakah dia selihai ini?” Han Han mengempit tongkatnya, kedua lengannya dikembangkan secara tiba-tiba ke kanan kiri.

“Kraaakkk.... kraaakkkkk.... bruukkk....!” Dan batang pohon di kiri kanannya ambruk dan terjebol akarnya.

Penjahat itu terbelalak, dan wajah­nya berubah girang setengah ngeri ketika ia berkata, “Hebat sekali! Orang muda perkasa, kalau engkau mampu menangkap nikouw itu dalam keadaan tak berdaya sehingga aku dapat.... eh, dapat membalas dendam kepadanya, aku.... aku akan memberimu kuda ini, dan sekantung uang perak!”

“Kau tentu hendak memperkosanya?”

Penjahat itu menyeringai. “Akan dia rasakan, sepuasku, sampai dia mampus!”

“Keparat!” Tongkat di tangan Han Han berkelebat, penjahat itu menjerit dan roboh dari atas kudanya dengan tu­buh terlempar, kudanya meringkik dan melarikan diri. Sejenak Han Han berdiri tegak memandang tubuh yang tidak ber­kepala lagi itu, karena kepalanya sudah pecah berantakan tak berbentuk lagi, tercecer ke mana-mana. Han Han yang tadinya tenggelam dalam kedukaan karena Kim Cu, ditelan keharuan, kemudian menjadi marah mendengar kata-kata ja­waban penjahat yang sengaja dipancing­nya, tiba-tiba terisak, air matanya mengucur turun dan bibirnya terdengar me­ngeluarkan rintihan, lututnya yang ting­gal sebuah itu ditekuk, ia berlutut dan mengeluh.

“Kakekku seorang jai-hwa-sian! Ahhh, Kong-kong, kenapa engkau begitu sesat? Aku keturunan keluarga Suma yang jahat, yang sesat! Kalau kakekku masih hidup, akan kubunuh juga.... ahhh, Kong-kong, kenapa kau sejahat itu....?” Kemudian ia meloncat bangun, wajahnya keruh dan beringas, suaranya keras, “Karena darah terkutuk itu mengalir di tubuhku, aku dibenci sana-sini, dimusuhi, nasibku selalu buruk.... ya Tuhan, ampunilah hamba....” Ia lalu mencelat jauh dan seperti gila melanjutkan perjalanan sambil mengerahkan kepandaiannya yang membuat tubuhnya makin lama mencelat makin jauh dan makin cepat sehingga seolah-olah kakinya tidak menginjak tanah lagi.



***



Puteri Nirahai memenuhi janjinya. Lulu diterima di istana dan tidak ditun­tut oleh kaisar, bahkan Pangeran Ouw­yang Cin Kok dan puteranya pura-pura tidak tahu bahwa gadis yang menjadi adik angkat Han Han itu kini kembali ke istana.

Lulu tekun belajar ilmu silat di bawah bimbingan Nenek Puteri Maya yang amat sakti itu, juga Nirahai digembleng oleh nenek ini. Ternyata bahwa yang dilatih oleh Lulu ketika ia berada di Pulau Es adalah Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu ilmu silat yang dasar geraknya mengambil dari coretan huruf-huruf indah. Karena ketika berlatih di Pulau Es itu tidak ada yang memimpin, maka Lulu hanya mempelajari secara ngawur saja, sehingga ia hanya menguasai kulitnya, tidak menguasai isinya. Kini, setelah digembleng oleh Puteri Mayat baru ia dapat mengerti inti dari Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat.

Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang diciptakan oleh Bu Kek Siansu, seorang manusia dewa yang selain sakti dalam ilmu silat, juga se­orang ahli dalam ilmu sastra. Oleh kakek dewa ini kedua ilmu itu digabungkan se­hingga dalam gerakan ilmu silat itu di­masukkan unsur-unsur keindahan tulisan, seolah-olah yang menggunakan ilmu silat ini sedang mencoret-coret tulisan huruf indah di udara. Karena inilah maka di­sebut Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan Awan). Dahulu, jika Lulu ber­silat, kelihatannya hanya indah sehingga oleh Han Han dikatakan sebagai tarian. Kini, setelah mengetahui inti sari ilmu itu, setiap gerakan Lulu adalah didasari goresan menulis huruf. Di jaman dahulu, Ilmu Hong-in-bun-hoat ini oleh Bu Kek Siansu hanya diturunkan kepada pendekar sakti Suling Emas. Kemudian diajarkan pula kepada muridnya yang terkasih, yaitu Kam Han Ki yang kini menjadi Koai-lojin. Oleh Kam Han Ki inilah ilmu itu disusun menjadi kitab yang dipelajari Lulu (Kam Han Ki di waktu muda dalam cerita tersendiri: ISTANA PULAU ES).

Selain dilatih ilmu silat yang pada dasarnya telah dipelajari Lulu ini, juga Nenek Maya menurunkan ilmu yang amat dahsyat, yaitu ilmu Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas) yang kelihatan­nya dimainkan tanpa tenaga, dengan kedua tangan berubah sehalus kapas, namun mengandung inti tenaga sin-kang yang dapat menahan tenaga sin-kang la­wan yang kuat.

Lulu amat berbakat dan juga amat cerdik sehingga dalam waktu singkat, hanya beberapa bulan saja, ia telah da­pat menguasai kedua ilmu itu sehingga tingkat kepandaiannya melonjak cepat bukan main. Hal ini adalah karena ia telah memiliki tenaga sin-kang murni yang ia dapatkan ketika bersama Han Han melatih diri di Pulau Es.

Adapun Nirahai yang memang tadinya sudah lihai bukan main sebagai pewaris ilmu-ilmu dahsyat dari Mutiara Hitam, yang dahulunya menjadi ilmu-ilmu tangguh dari tokoh wanita perkasa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ibu kandung Suling Emas, kini setelah digembleng oleh Nenek Maya, kepandaiannya pun meningkat secara hebat sekali. Bahkan ia telah dilatih untuk mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan dengan suling emas yang dipinjamnya dari Gu Toan si kakek bongkok penjaga kuburan Suling Emas. Kini dara perkasa ini me­nguasai dua ilmu pedang yang sebenarnya berlawanan, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Dengan penggabungan dari kedua ilmu pedang yang berlawanan ini dapat dibayangkan betapa lihainya Puteri selir Kaisar Mancu ini.

Makin lama, Lulu makin betah ting­gal di istana yang indah dan mewah, juga yang mencukupi segala kebutuhan­nya. Apalagi Nirahai amat baik kepadanya, memperlakukannya sebagai adik sendiri. Dan memang sesungguhnya Nira­hai amat mencinta Lulu sehingga Lulu yang halus perasaannya itu membalas kasih sayang sucinya. Mereka amat rukun dan kerukunan ini mempengaruhi juga pendirian Lulu tentang pertentangan an­tara Kerajaan Mancu dan pemberontak yang berpusat di Se-cuan. Memang pada mulanya, secara terus terang ia berani menentang Nirahai dengan mengemukakan pendapatnya yang timbul dari pengala­mannya.

“Suci, sebetulnya aku tidak ingin mencampuri tugas suci sebagai puteri Kaisar dan sebagai pemimpin para pengawal. Akan tetapi karena suci ingin mengajak aku membantu, perlu kuberitahukan ke­padamu bahwa aku tidak mempunyai kesan baik terhadap sepak terjang bang­saku sendiri!”

Nirahai memandang tajam dan berkata, “Sumoi, lupakah engkau bahwa keluarga orang tuamu dibasmi oleh para pemberontak? Kalau engkau tidak me­miliki kesetiaan dan kebaktian kepada bangsa dan negara, hal itu masih dapat kumengerti karena sejak kecil engkau hidup sebatangkara bahkan kemudian menjadi adik angkat kakakmu Han Han. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engkau akan melupakan ayah bundamu yang tewas oleh para pemberontak. Aku tidak percaya bahwa engkau akan tidak berbakti kepada orang tuamu!”

Lulu mengerutkan alisnya yang hitam. Sepasang matanya memandang Nirahai dengan mata terbelalak. “Yang kaukata­kan pemberontak itu sebetulnya adalah pejuang-pejuang yang baik, suci. Sebailk­nya, dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan betapa kejamnya tentara Mancu yang membunuhi rakyat yang tak berdosa, memperkosa, merampok, mem­bunuh seperti sekawanan binatang buas saja.”

“Hemmm, pendirianmu itu salah sung­guhpun aku tidak sangsi akan keterang­anmu tentang perbutan sebagian tentara Yang kejam. Akan tetapi, apakah kau­anggap bahwa perbuatan para pemberon­tak yang membunuhi ayahmu sekeluarga itu juga tidak kejam?”

“Memang kuakui bahwa mereka telah membunuh orang tuaku bahkan telah kudapatkan pembunuhnya. Akan tetapi ternyata dia seorang gagah yang melaku­kan pembunuhan itu demi perjuangan, demi pembelaan terhadap bangsa mereka. Sama sekali tidak terkandung hati benci di dada mereka terhadap perorangan, bahkan mereka tidak mengenal orang tuaku yang tewas sebagai akibat perang.”

Nirahai mengangguk-angguk. “Memang aku percaya benar demikian. Akan tetapi engkau pun lupa bahwa aku dan teman-teman yang memimpin usaha penindasan para pemberontak pun terdorong oleh tugas membela bangsa dan negara! Aku seorang bangsa Mancu, kalau aku tidak membela bangsa Mancu, habis bagaimana? Engkau pun seorang gadis Mancu, sudah selayaknya kalau engkau membantu per­juangan bangsa sendiri. Kini para pemberontak yang bersarang di Se-cuan harus dihancurkan, kalau tidak, perang tidak akan pernah terhenti dan penderitaan rakyat pun takkan dapat dihabiskan. Kalau kau menganggap bahwa orang tuamu tewas dalam perang dan engkau tidak menaruh dendam perorangan, engkau pun harus dapat mengerti bahwa perbuatan tentara-tentara kita itupun adalah aki­bat perang dan bukan merupakan per­buatan kejam perorangan, melainkan, kekejaman perang. Akan tetapi percaya­lah bahwa pimpinan kita tidak meng­hendaki hal demikian itu terjadi. Hal itu hanya terjadi sebagai akibat-akibat yang berkelebihan dari perang yang memang ganas.”

Lulu merasa terdesak karena pikiran­nya yang cerdik dapat menangkap ke­benaran-kebenaran dalam ucapan Nirahai.

“Apakah engkau percaya bahwa aku adalah seorang manusia yang begitu curang sehingga sudi mengadu domba Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai kalau bukan karena hal itu kuanggap sebagai taktik perjuangan? Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka, bahkan aku mengagumi tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar dari kedua partai itu. Akan tetapi, sebagai pejuang untuk negaraku, aku melihat bahaya besar kalau sampai kedua partai yang kuat itu membantu pemberontak, maka jalan satu-satunya adalah mengadu domba mereka agar mereka tidak berkesempatan membantu pemberontak sehingga kedudukan para pemberontak tidak begitu kuat, mudah dihancurkan. Aku tidak mempunyai per­musuhan pribadi dengan dua tokoh di antara Siauw-lim Chit-kiam yang kukagumi karena kegagahan mereka, akan tetapi aku membunuh mereka, sebagai musuh negara, bukan sebagai musuhku!”

“Kalau seorang saudaramu kebetulan memihak peluang yang menentang kerajaan, apakah engkau juga akan membunuhnya, suci?”

“Tentu Saja! Kalau dia memihak pemberontak, dia berarti menjadi musuh negara! Bagi seorang pejuang yang men­cinta bangsa dan negaranya, musuh sen­diri bisa dimaafkan, akan tetapi musuh negara tidak!”

“Wah, kejinya! Aku benci....! Aku benci perang!” Lulu mencela, teringat akan kakaknya. Kalau Han Han kebetulan membantu pejuang, apakah dia pun harus memusuhi kakak yang disayangnya itu? Tidak mungkin!

Nirahai merangkul leher Lulu dan me­ngecup pipinya. “Adikku yang baik, siapa­kah orangnya yang mencinta perang? Hanya orang gila yang miring otaknya saja yang tidak membenci perang. Aku pun benci dengan perang. Aku pun rindu akan perdamaian di mana hidup manusia ini tenang tenteram, di mana nyawa manusia dihargai, di mana hak hidup se­orang manusia lebih terjamin, di mana harga seorang manusia lebih dinilai ting­gi. Akan tetapi, perang timbul bukan atas kehendak seseorang, dan kalau sudah timbul dan kita terseret di dalam­nya, hanya dengan kemenangan saja pe­rang itu dapat dihentikan! Menang atau kalah! Itulah persoalannya dan sekuat tenaga tentu saja kita ingin menang. Dengan kemenangan, atau pun dengan kekalahan, perang baru habis dan perdamaian timbul. Percayalah, aku ingin sekali menikmati masa damai di mana kita tidak akan bicara tentang bunuh-membunuh, tentang siasat-siasat curang, tentang taktik-taktik memalukan dan sebagainya. Prikemanusiaan akan dijun­jung tinggi oleh setiap orang. Akan te­tapi untuk mendapatkan perdamaian itu, kita semua harus sekarang mengerahkan tenaga untuk menumpas musuh sehingga perang pun terhenti.”

Lulu termenung. Ucapan sucinya itu meresap ke dalam hatinya dan diam-diam ia kagum sekali. Sucinya ini cantik, ber­kedudukan tinggi, berpengaruh dan berkuasa, juga memiliki pandangan yang luas seperti kakaknya. Han-koko! Ah, alangkah cocoknya kalau Han-koko dapat menjadi suami Nirahai! Pikiran yang tiba-tiba menyelinap di kepalanya yang kecil itu membuat ia serta-merta bertanya.

“Suci, kalau begitu engkau tidak mempunyai rasa benci perorangan kepada bangsa pribumi?”

Nirahai mengangkat alisnya. “Eh? Tentu saja tidak!”

“Juga kepada para pejuang kau tidak benci?”

Nirahai tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Tidak sama sekali, sumoi. Bahkan aku merasa kagum akan kebuda­yaan mereka, akan kegagahan para pen­dekar. Bagaimana aku bisa membencinya kalau tokoh-tokoh perkasa yang kukagumi seperti Suling Emas, Mutiara Hitam dan lain-lain adalah bangsa Han juga? Malah aku adalah keturunan Khitan, dan karena Kerajaan Khitan memiliki darah campur­an dengan bangsa Han, kaisar wanita Khitan adalah isteri Suling Emas, sedikit banyak ada pula darah Han di tubuhku.”

“Wah, kalau begitu, tentu engkau tidak akan keberatan kalau menikah de­ngan seorang bangsa Han, bukan?”

Kembali Puteri cantik itu membelalakkan matanya, lalu tertawa geli mencubit pipi dan Lulu. “Huh, engkau meng­gemaskan dan genit, sumoi. Bertanya yang bukan-bukan!”

Akan tetapi Lulu mendesak, “Aku tidak main-main, suci, melainkan benar-benar ingin mengetahui isi hatimu. Bagai­mana, andaikata engkau menikah dengan seorang pribumi, apakah engkau akan merasa terlalu rendah?”

Nirahai menghela napas panjang. “Ra­tu Khitan dahulu menikah dengan Suling Emas seorang pendekar Han. Aku tidak memandang rendah bangsa Han, apa alas­anku untuk merasa rendah? Akan tetapi, adikku yang nakal. Pernikahan harus berdasarkan cinta kasih kedua fihak, tanpa cinta mana bisa hidup bahagia sebagai suami isteri? Pula, aku seujung rambut pun belum memikirkan hal itu. Perang belum berakhir, mana bisa ber­pikir tentang cinta dan pernikahan?”

Lulu memandang dengan wajah berseri. “Wah, engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang hebat, suci! Dan menurut pandanganku, engkau hanya pa­tut menjadi isteri seorang yang paling mulia di dunia ini!”

“Hi-hik, kau lucu! Siapa yang paling mulia di dunia ini? Raja kahyangan?”

“Bukan, suci. Bukan raja bukan pangeran. Orang biasa saja, seorang pria sederhana, yang budiman, gagah perkasa, tampan, seorang yang semulia-mulianya di dunia ini....” Pandang mata Lulu merenung jauh, matanya bersinar-sinar.

“Siapa dia?”

“Han-koko!”

“Aihhh...., kakak angkatmu itu? Pewaris pusaka Pulau Es? Hemmm, engkau berkelakar, sumoi.”

“Tidak, suci. Dia seorang yang se­mulia-mulianya, tiada keduanya di dunia ini. Dan hanya dialah yang paling patut menjadi suamimu!”

Nirahai tersenyum dan menarik napas panjang. “Sumoi, enak dan mudah saja kau bicara. Aku belum melihat dia, dia pun belum pernah melihat aku. Andaikata kami saling bertemu, belum tentu pula dia dan aku akan saling jatuh cinta.”

“Pasti!” Lulu berteriak. “Pria mana yang takkan jatuh hati melihat engkau? Termasuk kakakku. Dan wanita mana yang tidak akan mencintanya? Sekali bertemu dengan dia, aku tanggung engkau akan terjungkir balik....!”

“Hahhh....? Kauanggap aku selemah itu mudah dijungkirbalikkan?” Nirahai menantang akan tetapi pandang matanya berseri tanda bahwa dia tidak merasa direndahkan oleh sumoinya yang nakal itu.

“Eiiit-eiit-eiiittttt, sabar, suci! Bukan orangnya yang dijungkirbalikkan, akan tetapi hatimu! Engkau tentu akan jatuh bertekuk lutut....”

“Heiiiii....?”

“Yang bertekuk lutut hatimu, engkau akan jatuh cinta....”

“Sudah, sudah eh, sumoi, engkau mencinta betul kepada kakakmu itu, ya?”

Lulu mengerutkan keningnya dan menjawab sungguh-sungguh, “Aku mencinta­nya dengan seluruh jiwa ragaku, suci. Tidak ada yang lebih kucinta daripada Han-koko.”

“Nah, nah.... kalau begitu engkaulah yang patut menjadi isterinya!”

Lulu meloncat bangun seperti diserang ular berbisa. “Suci, engkau gila....?”

Nirahai menuding-nuding telunjuknya ke hidung Lulu. “Eh, eh, beginikah sikap seorang sumoi? Bocah kurang ajar, engkau memaki sucimu gila?” Akan tetapi mata yang tajam bening itu masih ber­seri, tidak marah.

“Eh, eh maaf, suci. Maksudku, perkataan suci itu benar-benar tidak masuk akal. Dia itu kakakku, ingat? Jangan bicara begitu, aku marah, suci!”

“Sudahlah, maafkan aku. Kita lihat saja nanti, apakah kakakmu itu benar-benar sehebat yang kau banggakan dan pamerkan.”

“Aku tanggung engkau akan kagum! Bahkan wanita-wanita pendekar yang cantik jelita tergila-gila kepadanya. Se­perti Hoa-san Kiam-li, seperti Enci Sin Lian....” tiba-tiba Lulu terhenti dan teringat, wajahnya menjadi seperti kaget, matanya merenung dan kedua pipinya merah. Ia teringat betapa ia pernah bicara dengan Lu Soan Li tentang kakak­nyas bahkan ia telah menawarkan kakak­nya itu menjadi suami Lauw Sin Lian. Kini dia menawarkan kakaknya menjadi suami Nirahai! Wah, tanpa disadarinya ia telah menjadi perantara dari tiga orang gadis!

“Ada apakah, sumoi?” Nirahai bertanya ketika melihat perubahan pada wajah sumoinya yang termenung seperti orang bingung.

“Ti.... tidak apa-apa, suci.”

“Engkau memang aneh, mari kita berlatih saja agar kelak kalau kakakmu datang, tidak mudah bagi dia untuk men­jungkirbalikkan aku, hi-hik!”

Akan tetapi Lulu masih termenung. “Suci, bagaimana kabarnya dengan usaha­mu menyelidiki tentang dia?”

Nirahai menarik napas panjang. Hampir setiap hari ia dibikin repot oleh per­tanyaan Lulu. Tentu saja dia sudah me­nyelidiki dan malah sudah mendenger tentang keributan yang ditimbulkan oleh Han Han di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok, betapa kemudian Han Han ditangkap ketika dikeroyok oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan Gak Liat, lalu dibawa pergi oleh nenek itu. Dia sudah pula menyuruh orang menyelidiki ke In-kok-san, akan tetapi karena keadaan di situ dapat dikatakan menjadi sarang musuh, amatlah sukar menyelidik ke sana dan tidak ada penyelidik yang tahu apa yang terjadi dengan diri Han Han. Hanya diketahui bahwa pemuda itu lenyap, entah masih hidup entah sudah mati. Tentu saja ia tidak menceritakan semua itu kepada Lulu, hanya menceritakan bahwa ketika dikeroyok Oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat seperti yang diketahui Lulu ketika ditangkap Ouwyang Seng, pemuda itu dapat melarikan diri.

“Sampai sekarang belum ada berita­nya, sumoi. Kakakmu itu orang aneh sekali, dan entah menghilang ke mana. Akan tetapi aku masih mengirim penye­lidik ke semua jurusan.”

Demikianlah, Lulu berlatih terus ber­sama Nirahai dan ilmu kepandaiannya meningkat secara hebat sehingga diam-diam Nirahai sendiri menjadi kagum. Puteri yang sakti ini maklum bahwa kalau dia sendiri tidak digembleng oleh Maya, kiranya kepandaian Lulu sekarang sudah melampaui tingkatnya ketika ia belum menjadi murid nenek sakti itu.

Setahun mereka berlatih tekun. Pada suatu hari, Nirahai pulang dari pertemuannya dengan para pembantunya, langsung mengunjungi Lulu yang sedang berlatih di depan Nenek Maya di kebun bunga belakang tempat tinggal mereka di lingkungan istana. Wajah Nirahai tampak tegang dan datang-datang berkata.

“Wah, kembali pasukan-pasukan kita terpukul mundur di Se-cuan! Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai sehingga kini Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri mengirim berita minta bantuan orang-orang pandai. Agaknya teecu sendiri harus berangkat ke sana, subo. Dan mengingat bahwa di fihak musuh banyak terdapat orang sakti, teecu mengharap subo dan sumoi suka pula membantu.”

Nenek Maya tersenyum. “Aku sudah tua untuk berperang. Engkau berang­katlah bersama Lulu, dan aku sendiri akan keluar dari istana karena sudah bosan di sini. Kelak kalau ada waktu, aku akan menyusul ke sana, hanya untuk melihat-lihat.”

Nirahai tidak berani memaksa. “Sumoi, sekali ini, sucimu benar-benar membutuh­kan bantuanmu. Tentu engkau suka mem­bela bangsa dan negara, bukan? Selain itu, hanya daerah barat yang belum di­selidiki. Siapa tahu kita akan dapat men­dengar tentang kakakmu di barat.”

Memang Nirahai pandai sekali. Dia mendengar akan munculnya seorang pang­lima musuh yang berkaki buntung, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia menduga bahwa pemuda buntung itu agaknya Han Han, akan te­tapi ia ragu-ragu karena kalau Han Han, mengapa kakinya buntung? Pula, kalau ia menceritakan hal ini kepada Lulu dan sumoinya itu kemudian menduga bahwa Han Han membela musuh, agaknya akan sukar mengajaknya untuk membantu.

Lulu mengangguk. “Baiklah, suci. Biarpun aku juga seperti subo, tidak suka perang, akan tetapi biarlah aku hitung-hitung membalas budimu.”

Nenek Maya lalu meninggalkan istana dan mendapat kehormatan besar karena kaisar sendiri mengantar keberangkatan­nya dengan pesta perpisahan. Kemudian tiga hari berikutnya, Puteri Nirahai ber­sama Lulu berangkat ke Se-cuan, me­mimpin sebuah pasukan besar. Puteri Nirahai nampak gagah sekali dengan pakaian perangnya, gagah dan cantik jelita. Adapun Lulu yang tidak mau memakai pakaian perang, tidak mau pula menerima pangkat panglima, berpakaian biasa yang ketat dan dia menunggang kuda di samping Nirahai.

Banyak orang di sepanjang jalan mengelu-elukan keberangkatan Puteri Nirahai yang telah banyak dikenal. Akan tetapi mereka kagum dan heran melihat seorang gadis cantik berpakaian biasa yang berkuda di samping puteri itu, karena memang selama berada di kota raja, Lulu tidak pernah keluar dari istana, juga Puteri Nirahai diam-diam mengatur agar kehadiran Lulu di kota raja tidak sampai diketahui orang. Hal ini untuk menjaga agar gadis itu tidak dicari oleh Han Han atau oleh para pejuang yang menganggap gadis itu sudah menjadi sekutu mereka.

Bagaimanakah ada berita bahwa pe­muda buntung yang amat lihai menjadi panglima musuh di Se-cuan? Siapakah pemuda buntung ini? Dia itu bukan lain adalah Han Han! Seperti kita ketahui, setelah membunuh jai-hwa-cat yang ber­usaha memperkosa nikouw di Kwan-im-bio, di mana Han Han hancur hatinya menghadapi pertemuannya dengan Kim Cu, pemuda ini lalu melanjutkan per­jalanannya ke kota raja.

Mungkin karena kakinya yang buntung, juga karena ketika dahulu ia berada di kota raja, ia tidak menimbulkan kecuri­gaan kecuali hanya rasa kasihan yang timbul di hati orang yang melihat kaki­nya yang buntung. Akan tetapi kebuntung­an kakinya pun tidak menimbulkan ke­heranan karena di masa itu, perang te­lah menimbulkan banyak malapetaka sehingga banyak terdapat orang yang buntung kakinya, tangannya, atau cacad tubuhnya.

Pada malam harinya, Han Han mem­pergunakan kepandaiannya, tanpa terilhat oleh seorang pun penjaga, ia meloncat ke atas rumah encinya, yaitu rumah gedung Giam-ciangkun, perwira she Giam, kakak iparnya atau suami encinya. Menjelang tengah malam itu keadaan sunyi sekali dan ketika ia mengintai kamar encinya yang ia sudah hafal karena ia pernah tinggal di rumah gedung ini, ia menjadi girang melihat encinya tidur berdua saja dengan Giam Kwi Hong, puteri enci­nya itu yang kini sudah berusia hampir lima tahun. Cepat ia menyelinap masuk dan dengan hati-hati ia membangunkan encinya dengan jalan memijit ibu jari kaki encinya.

Sie Leng terbangun, kaget ketika melihat wajah Han Han yang dikenalnya betul, cepat bangkit duduk dan membetulkan pakaiannya. Han Han menaruh telunjuk ke depan bibirnya dan berbisik.

“Leng-cici, aku datang....”

Sie Leng kini sudah sadar betul, melihat adiknya dan matanya terbelalak ketika melihat kaki Han Han.

“Adik Han.... kaki.... kakimu....!”

“Sssttttt.... tidak apa-apa, Enci. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar. Di mana dia.... eh.... suamimu?” Berat rasa lidah Han Han untuk menyebut Perwira Giam Cu sebagai cihu (kakak ipar).

“Dia.... dia sudah sebulan.... berangkat ke Se-cuan....” Sie Leng memandang khawatir sekali karena takut kalau-kalau adiknya masih mendendam.

Han Han bernapas lega, lalu duduk di atas bangku. Sie Leng duduk di ranjang, menengok puterinya. Melihat puterinya tidur nyenyak, ia lega dan menoleh ke­pada adiknya.

“Han Han, engkau pergi tanpa pamit, kata cihumu, engkau mencari adik ang­katmu....”

“Cici, kedatanganku ini memang un­tuk bertanya kepadamu. Pertama, tahu­kah engkau tentang Lulu, adik angkatku itu?”

Sle Leng menggeleng kepala. “Adikmu itu aneh seperti engkau. Dia menjadi pelayan istana lalu tiba-tiba lenyap, me­larikan diri! Semenjak itu, tidak ada lagi yang tahu di mana dia berada, dicari oleh sepasukan pun tidak dapat di­temukan.”

Han Han tersenyum. Lega dadanya, bahwa adiknya tidak berada di istana. Memang ia sudah menduga akan hal ini.

“Sekarang pertanyaan ke dua, Enci, dan kuharap Enci benar-benar akan jujur dan memenuhi permintaanku, menjawab pertanyaanku secara jujur. Di manakah tempat tinggal Giam Kok Ma, bedebah yang dahulu memperkosa Ibu kita, per­wira muka kuning itu?”

“Han-te....! Apa yang akan kaulakukan?”

“Apa yang akan kulakukan tak perlu kauketahui, Enci, dan juga bukan urusan­mu lagi. Aku bersumpah bahwa engkau tidak akan tersangkut. Katakanlah, di mana dia dan di mana pula lima orang perwira yang lain, yang dahulu ikut ber­sama suamimu membasmi keluarga kita?”

Pucat wajah Sie Leng. Ia merasa takut kalau-kalau adiknya itu akan meng­amuk. Apa dayanya seorang yang bun­tung? Kalau adiknya tertangkap dan dihukum mati, ahhh.... ia merasa ngeri dan otomatis ia menggeleng-geleng ke­palanya.

“Enci, dengarlah!” Han Han berkata tak sabar. “Aku sudah melupakan per­buatan suamimu terhadap engkau, aku sudah mengampunkan dia. Akan tetapi aku minta ganti! Enam orang perwira yang lain harus dapat kuketahui tempat tinggalnya, dan engkau harus memberi tahu aku. Harus, kau dengar? Kalau eng­kau tidak mau memberitahukan di mana adanya enam orang perwira terkutuk itu, demi Tuhan, terpaksa aku akan mencari dan membunuh suamimu!”

“Tidak....! Jangan....!” Sie Leng berteriak, menjerit kecil dan anaknya ter­bangun. Bocah itu bangkit duduk dan melihat Han Han ia terbelalak memandang.

“Eh, Ibu? Siapakah dia ini? Apakah dia mengganggu Ibu? Awas, siapa yang mengganggu Ibu, akan kubunuh!” Kwi Hong yang masih kecil itu sudah berdiri dan mengepal tinjunya. Han Han meman­dang dengan mata terbelalak penuh kekaguman.

“Lihat, Enci. Puterimu lebih berbakti daripadamu!”

Encinya memangku Kwi Hong, menciumnya dan berbisik, “Hussshhhhh, dia ini Pamanmu, tidak akan mengganggu Ibu. Tidurlah, Nak....!” Setelah ditepuk-tepuk pahanya, anak yang masih mengan­tuk itu tertidur kembali dan dibaringkan oleh ibunya.

“Han Han, jangan kira bahwa aku tidak punya semangat. Aku tidak ber­daya, akan tetapi kutanamkan sejak kecil di dalam hati Kwi Hong bahwa dia harus menjadi anak yang berbakti, yang akan membela ayah bundanya dengan taruhan nyawa, tidak seperti aku....!” Ia menangis pula.

“Syukurlah kalau begitu. Sekarang katakan, di mana adanya enam orang perwira musuh kita itu?”

“Han Han, apa dayamu menghadapi mereka? Apalagi kakimu sudah buntung....”

“Jangan khawatir, setelah kakiku buntung, aku malah lebih banyak harapan untuk membalas dendam. Di mana me­reka?”

Setelah menarik napas panjang berulang kali, Sie Leng lalu berkata, “Giam Kok Ma berada di kota raja. Gedungnya tidak jauh dari sini, di sebelah utara, gedung besar yang ada arca singa batu di depannya....” Ia berhenti sebentar. “Akan tetapi, engkau tidak akan me­nemukan dia di gedungnya, dia pun bersama cihu.... eh, dengan suamiku, telah berangkat sebulan yang lalu ke Se-cuan. Dia dan suamiku adalah perwira-perwira pasukan tempur yang kini berangkat un­tuk menggempur Se-cuan.”

Hati Han Han kecewa sekali akan tetapi ia percaya akan keterangan encinya.

“Den siapakah perwira-perwira yang lain, yang lime orang itu? Di mana mereka?”

“Ohhh.... Han Han, mengapa engkau berkeras hendak membalas dendam? Me­reka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan besar, banyak pengawalnya dan.... dan engkau sudah.... sudah buntung begini....”

“Sudahlah, Cici. Lekas katakan. Di mana mereka yang lima orang itu!”

“Ahhh, aku tidak tahu.... aku hanya berhasil tahu dari suamiku bahwa se­orang di antara mereka itu adalah Su-ciangkun yang kini memimpin pasukan melakukan pembersihan terhadap para pemberontak, entah di mana. Han Han, sungguh.... biarpun aku tidak pernah mempunyai harapan untuk menuntut balas kehancuran keluarga kita, namun dengan susah payah aku dahulu selalu membujuk suamiku agar menerangkan nama mereka itu, dan agar suamiku suka membalaskan dendamku. Akan tetapi dia selalu men­celaku dan mengatakan bahwa peristiwa itu sudah jamak terjadi di dalam perang. Maka aku hanya berhasil mengenal Giam Kok Ma dan Su-ciangkun yang tak ku­ketahui nama lengkapnya itu, orangnya tinggi besar, jalannya agak pincang. Ada­pun empat orang lainnya aku sungguh tidak tahu.”

Han Han mengerutkan alisnya. Benar-benar amat sukar membalas dendam keluarganya, pikirnya murung. Yang se­orang adalah suami encinya sendiri. Yang ke dua sedang pergi ke Se-cuan, yang ke tiga bernama Su-ciangkun tidak diketahui ke mana perginya. Bahkan empat orang yang lain tidak dikenal, tidak diketahui namanya. Akan tetapi ia merasa yakin bahwa sekali bertemu dengan mereka, dia tentu akan mengenal mereka, musuh besarnya itu! Tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara adalah menangkap dulu seorang di antara mereka dan memaksanya mengaku dan menunjukkan siapa adanya teman-temannya yang dahulu melakukan pembasmian terhadap keluar­ganya. Kalau dia tidak berhasil menang­kap seorang di antara mereka, apa boleh buat, ia akan menangkap dan memaksa Giam Cu, kakak iparnya sendiri dan me­maksa keterangan tentang enam orang musuh besarnya dari mulut suami encinya itu.

“Leng-cici, jagalah dirimu dan anakmu baik-baik. Aku pergi....”

“Han Han....!” Sie Leng mengeluh perlahan, akan tetapi ia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu adik kandungnya yang buntung itu telah lenyap dari kamar itu. Sie Leng lari ke jendela, melongok keluar, akan tetapi sunyi saja di luar jendela dan tidak ada suara sedikit pun. Mimpikah dia? Atau benarkah Han Han tadi yang datang? Adiknya yang sudah buntung kakinya? Adik kandungnya yang demikian sengsara dan berkeras hendak menuntut balas atas kehancuran keluarga mereka? Sie Leng merintih dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, merangkul Kwi Hong dan menangis terisak-isak.

Han Han keluar dari gedung encinya dan cepat berkelebat keluar melalui atap-atap rumah di kota raja, menuju ke luar kota raja. Di atas atap rumah yang tinggi ia berhenti sebentar, termenung dan bingung. Rumah-rumah di kota raja demikian indah-indah dan tinggi, namun dalam waktu tengah malam itu amat sunyi seolah-olah kosong. Ke mana ia harus pergi? Dia tidak berhasil menemu­kan musuh-musuhnya, juga tidak men­dengar tentang Lulu, hanya tahu bahwa Lulu telah pergi dari istana seperti yang diceritakan encinya. Ke manakah adiknya pergi?

Kalau saja Han Han tahu bahwa pada saat itu, Lulu sedang tidur nyenyak di sebuah kamar di istana, bersama Puteri Nirahai! Ternyata kehadiran Lulu di istana dirahasiakan benar oleh Nirahai se­hingga Nyonya Giam Cu atau Sie Leng itu sendiri tidak mengetahuinya.

Setelah menghela napas berulang kali, Han Han melanjutkan perjalanannya, dengan ilmu kepandaiannya yang hebat ia berhasil keluar dari kota raja melalui temboknya yang tinggi itu tanpa terlihat oleh para penjaga. Setelah tiba di luar kota raja sebelah barat, ia berlari terus dan akhirnya ia mengaso di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang berada di pinggir jalan dekat hutan yang sunyi. Saking lelah dan kecewa hatinya, sebentar saja Han Han tidur nyenyak.

Menjelang pagi, telinganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda yang membuatnya terbangun. Derap kaki kuda yang datang dari arah kota raja ini ber­henti di depan kuil dan terdengar suara dua orang bicara.

“Kenapa berhenti di sini?”

“Aku lelah sekali, kita mengaso sebentar. Celaka, malam tadi semalam aku tidak dapat tidur dan kalau tidak me­ngaso dan tidur sebentar di sini, aku akan mati kelelahan....”

“Ha-ha-ha, agaknya engkau tidak tidur semalam suntuk di rumah selirmu!”

“Tidak salah. Karena menerima tugas berat, aku berpamit dan dia.... ha-ha, dia minta ditemani semalam suntuk. Mana aku tega meninggalkannya?”

“Ha-ha-ha, engkau terlalu. Menghadapi tugas berat masih sempat bersenang-senang. Baiklah, Loheng, akan tetapi jangan terlalu lama berhenti di sini. Kalau kita diketahui, leher kita akan putus!”

Agaknya mereka mengikat kendali kuda di depan dan tak lama kemudian Han Han, yang sudah meloncat ke atas dan bersembunyi mendengar suara kaki kuda orang itu memasuki kuil. Cuaca masih gelap sekali, akan tetapi dua orang itu tidak peduli, terus saja masuk dan duduk di ruangan dalam yang merupakan satu-satunya ruangan yang terlindung dari angin dan debu. Seorang di antara mereka terus saja merebahkan diri dan tidur mendengkur, sedangkan yang seorang lagi duduk bersandar dinding.

Kira-kira dua jam kemudian, orang yang duduk itu mengguncang-guncang tu­buh temannya. “Loheng, bangunlah. Mata­hari telah naik tinggi! Ingat, tugas kita amat penting dan kalau kita ketahuan berhenti terlalu lama, benar-benar kita akan dihukum berat!”

Temannya bangun, menguap dan meng­gosok-gosok kedua matanya yang merah. “Aaaaahhh.... sedang enak-enak mimpi dengan dia kaubangunkan, Sam-te!”

“Wah, engkau benar tidak ada puas-puasnya! Sudah bersenang-senang se­malam suntuk masih dilanjutkan dengan mimpi lagi! Hayo!”

Mereka berdua segera keluar dari kuil tua, melepaskan kendali kuda, meloncat dan membedal kuda mereka ke selatan. Han Han yang menjadi tertarik melihat bahwa mereka adalah dua orang yang berpakaian pengawal istana, diam-diam membayangi mereka. Dia tidak tahu mengapa ia membayangi mereka, dan apa perlunya. Akan tetapi karena dia sendiri pun bingung ke mana harus mencari mu­suh-musuhnya dan adiknya, maka ia membayangi dua orang pengawal itu untuk melihat apakah tugas mereka yang begitu penting dan ke mana mereka hendak pergi. Ternyata kemudian olehnya bahwa dua orang pengawal itu membalapkan ku­da melalui sepanjang Terusan Besar yang menghubungkan kota raja dengan kota Thian-cin, kemudian terus ke selatan.

Di kota Thian-cin, dua orang pengawal itu hanya berganti kuda, setelah makan mereka melanjutkan perjalanan ke sela­tan. Han Han yang tidak mempunyai pegangan, terus membayangi mereka tanpa kesulitan. Biarpun kakinya buntung sebelah, namun kalau hanya membayangi larinya kuda, amatlah mudah bagi pe­muda sakti ini.

Hujan lebat membuat dua orang itu terpaksa menghentikan perjalanan mereka di sebuah hutan. Sebuah pondok butut yang dibangun secara darurat oleh kaum pemburu, kini mereka pakai untuk berlindung dari air hujan yang turun seperti dituangkan dari langit.

Sambil berlindung mereka bercakap-cakap, “Eh, Loheng, yakin benarkah kau bahwa Su-ciangkun bermarkas di tepi Huang-ho, di pinggir terusan?”

“Tidak salah lagi. Keterangan yang kudapat di Thian-cin meyakinkan. Me­mang tadinya Su-ciangkun melakukan operasi di perbatasan Propinsi Shan-tung selatan, akan tetapi kini mulai kembali ke utara dan melakukan pembersihan di sepanjang terusan yang sering mengalami gangguan para pemberontak.”

“Heran benar itu pemberontak, meng­apa tiada habis-habisnya? Mereka ber­pusat di Se-cuan dan Se-cuan sendiri selalu dikurung dan digempur pasukan-pasukan kita. Kenapa masih ada di dae­rah ini? Sungguh memusingkan!”

“Mereka itu tentulah dikemudikan dari Se-cuan, mereka bertugas sebagai mata-mata dan juga untuk melakukan kekacau­an. Kalau Se-cuan sudah dihancurkan, tentu yang bergerak di luar Se-cuan otomatis akan berhenti. Dan aku yakin, kalau Puteri Nirahai sendiri yang turun tangan memimpin pasukan menyerbu Se-cuan, menaklukkan daerah pemberontak itu akan sama mudahnya dengan makan bakpauw!”

“Wah, kau terlalu, Loheng! Sudah terkenal sekali betapa Bu Sam Kwi mem­punyai banyak tokoh pandai sehingga beberapa kali pasukan-pasukan kita yang pilihan mengalami kegagalan dan jatuh banyak korban. Masa kalau Sang Puteri yang memimpin lalu begitu gampang seperti makan bakpauw?”

“Sam-te, kau tidak tahu. Puteri Nirahai amatlah sakti, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga cerdik sekali. Tentu dia melakukan siasat, entah siasat apa pula maka beliau secara rahasia mengutus kita menyerahkan sepucuk surat kepada Su-ciangkun. Hemmm, aku mau membayar dengan tiga bulan gajiku kalau diperbolehkan membaca isi surat ini!” Orang yang dipanggil Loheng itu, yang bertubuh tinggi kurus dengan mata lebar, menepuk-nepuk saku bajunya.

“Ihhh, hati-hati, Lohengm,” kata kawannya yang lebih muda dan berhidung bengkok. “Siapa tahu di sini terdapat mata-mata pemberontak!”

“Ah, andaikata ada, berani apa terhadap kita? Dia tidak tahu kita mem­bawa surat yang penting, kedua kalinya, dengan golokku ini sepuluh orang pem­berontak akan termakan olehku. Belum engkau yang tentu akan mampu makan sepuluh orang lagi.”

“Betapapun juga, kita harus hati-hati dan hatiku takkan lega sebelum berjumpa dengan Su-ciangkun dan menyerahkan surat itu kepadanya!” kata yang muda. “Hujan sudah mereda, hayo kita berang­kat lagi, Loheng.”

Akan tetapi alangkah kaget hati ke­dua orang perajurit pengawal itu ketika mereka melihat seorang pemuda buntung berdiri di antara kuda mereka. Hanya sebentar mereka kaget karena mereka memandang rendah ketika melihat kaki buntung itu dan menganggap Han Han seorang pengemis.

“Heh, kau mau apa di sini?” bentak Si Tinggi Kurus.

“Bukankah kalian hendak menghadap Su-ciangkun? Aku adalah kepercayaan Su-ciangkun yang ditugaskan menyambut kalian. Bukankah kalian membawa sebuah surat dari Puteri Nirahai untuk beliau? Nah, aku yang disuruh menjemput dan menerima surat itu, karena tempat beli­au tidak boleh diketahui orang!”

Dua orang itu terbelalak dan memandang tidak percaya. “Ah, apa tandanya bahwa engkau orang kepercayaan Su-ciangkun?”

Han Han tersenyum, diam-diam merasa geli karena ia sengaja memancing. “Bukankah Su-ciangkun itu orangnya kecil pendek?”

Dua orang itu kembali saling pandang, kemudian Si Tinggi Kurus membentak, “Dia tinggi besar seperti raksasa! Engkau palsu!” Sambil berkata demikian, ia men­cabut goloknya dan membacok. Akan tetapi, ujung tongkat Han Han dua kali meluncur dan Si Tinggi Kurus berdiri kaku dengan golok diangkat ke atas sedangkan temannya juga berdiri kaku ka­rena totokan ujung tongkat Han Han. Pemuda itu memang sudah amat tertarik mendengar percakapan dua orang utusan Puteri Nirahai itu, apalagi ketika men­dengar disebutnya nama Su-ciangkun.

Maka ia sengaja menghadang dan sengaja memancing sehingga ia akhirnya men­dapat kepastian ketika Si Tinggi Kurus menyatakan bahwa Su-ciangkun tinggi besar seperti raksasa. Tidak salah lagi, itulah orangnya yang dicari-cari. Seorang di antara tujuh orang perwira yang mem­basmi keluarganya! Cepat ia merenggut ke dalam saku baju Si Tinggi Besar yang memandang dengan mata melotot, me­ngeluarkan surat dari kota raja dan mem­baca tulisan pada sampulnya. Di atas ditulis dengan huruf-huruf kecil: Perintah Rahasia. Dan di depan sampul itu ter­cantum nama si penerima: Su Long Tek ciangkun.

Dengan sikap tenang namun hati gem­bira Han Han membuka sampul surat itu, mengeluarkan suratnya dan membaca isinya. Ia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa surat dari Puteri Nirahai itu memerintahkan kepada Su-ciangkun untuk mengerahkan pasukan dan menyerbu tempat persembunyian kepala pemberontak Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang bersarang di lembah Sungai Huang-ho, yaitu di seberang kota Cin-an. Demikian jelass surat perintah itu, bahkan diberi gembar pula yang menun­jukkan di mana adanya sarang Lauw-pangcu! Diam-diam Han Han amar kagum akan ketegasan dan ketelitian surat itu. Lauw-pangcu hendak diserbu! Terbayang ia akan wajah kakek yang budiman itu, kakek yang pertama kali mengambilnya sebagai murid. Dan otomatis terbayang pula wajah Lauw Sin Lian, gadis yang dahulu merupakan seorang kawan ber­main yang gembira dan lincah, akan tetapi yang pada pertemuan terakhir ini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi dan yang marah-marah kepadanya. Girang hati Han Han. Ada kesempatan baik baginya, per­tama untuk membalas dendam kepada Perwira Su Long Tek yang ia duga tentu­lah seorang di antara tujuh perwira pem­basmi keluarganya, ke dua ia akan dapat menyelamatkan Lauw-pangcu untuk mem­balas budinya, dan ke tiga ia akan dapat menjelaskan persoalan yang dahulu, ke­salahfahaman yang terjadi antara dia dan Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang diatur oleh Puteri Nirahai yang amat cerdik.

Han Han sudah mengangkat tongkat­nya untuk membunuh dua orang itu. Dia harus membunuh mereka ini kalau hendak melakukan siasatnya, akan tetapi ia me­nahan tangannya, tidak membunuh mereka melainkan membebaskan totokan mereka. Tak mungkin ia dapat membunuh dua orang lawan yang tak berdaya. Begitu terbebas dari totokan, dua orang penga­wal yang melihat betapa surat perintah rahasia itu dirampas, berteriak marah dan golok mereka berkelebat menerjang Han Han. Pemuda ini menjadi girang. Kalau sekarang ia melawan dan mem­bunuh kedua lawan ini, hatinya tidak akan menyesal kelak, tidak seperti kalau dia membunuh mereka dengan darah dingin selagi mereka tak mampu ber­gerak. Dia teringat akan sepak terjang para perajurit Mancu yang banyak menimbulkan kesengsaraan rakyat yang ti­dak berdosa, dan begitu melihat golok kedua orang itu menyambar ganas, ia meloncat ke belakang tongkatnya bergerak menangkis, menempel kedua golok dan sekali ia menyontekkan tongkatnya, kedua buah golok itu membalik dan mem­bacok kepada pemiliknya sendiri. Ter­dengar jerit dua kali dan dua orang pe­ngawal itu roboh dengan golok masing-masing menancap dada menembus pung­gung. Karena tangan mereka masih meng­genggam gagang golok, tampaknya mere­ka itu mati karena membunuh diri!

Sejenak Han Han memandang dan menghela napas. Itulah resiko orang-orang yang menjadi utusan rahasia. Andaikata mereka tidak tewas sekarang, kalau ke­mudian diketahui bahwa surat perintah rahasia itu hilang, tentu mereka berdua akan dihukum mati juga.

Han Han lalu berkelebat pergi, melanjutkan perjalanan ke selatan sambil membawa surat perintah itu yang dikan­tonginya. Memang dua orang pengawal itu mempunyai kuda yang baik, akan tetapi bagi Han Han, jauh lebih leluasa berjalan dengan kaki buntungnya daripada menunggang kuda.

Dia mengambil keputusan untuk mencari dulu tempat persembunyian Lauw-pangcu di lembah Huang-ho seperti ter­sebut dalam surat perintah rahasia itu, maka dengan amat cepat Han Han me­lanjutkan perjalanan menuju ke kota Cin-an. Menurut surat itu, sarang dari per­kumpulan Pek-lian Kai-pang berada di lembah Huang-ho, di seberang kota Cin-an.

Ketika Han Han tiba di lembah Hu­ang-ho dan berjalan menyusuri sungai besar itu di pantai utara, masuk keluar hutan seorang diri sambil menduga-duga di mana kiranya tempat yang dijadikan markas itu, tiba-tiba ia melihat beberapa orang menuju ke sebuah hutan yang besar dan penuh dengan gunung-gunung karang kecil. Melihat cara mereka berjalan ce­pat, pakaian mereka, dan keadaan mere­ka, ada yang menunggang kuda, dan se­bagian besar berjalan kaki, Han Han dapat menduga bahwa mereka itu tentu­lah orang-orang kang-ouw. Tempat yang begini liar dan sunyi, bukan tempat bagi kaum pelancong. Diam-diam ia mem­bayangi beberapa orang yang bicara sambil bercakap-cakap. Karena gerakan Han Han amat luar biasa, dia dapat mem­bayangi mereka tanpa ada yang melihat dan hatinya girang bukan main ketika mendengar percakapan di antara mereka bahwa mereka itu adalah tamu-tamu yang datang berkunjung untuk memberi selamat kepada Lauw-pangcu yang me­rayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh puluh! Tak lama kemudian Han Han yang mengikuti orang-orang itu tiba di tengah hutan lebat. Diam-diam ia kagum me­nyaksikan penjagaan-penjagaan yang di­lakukan oleh orang-orang berpakaian pengemis, yang boleh dikata menjaga setiap sudut hutan. Untung bahwa dia datang pada saat lembah Huang-ho itu dikunjungi banyak tamu sehingga keda­tangannya itu tidak dicurigai. Memang, nama besar Lauw-pangcu terkenal sampai di mana-mana, terutama sekali di antara para tokoh kang-ouw yang menentang penjajahan bangsa Mancu. Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini selain terkenal sebagai seorang ketua berpengaruh dari perkumpulan pengemis itu, sebagai seorang pendekar budiman, juga akhir-akhir ini namanya menjulang tinggi sebagai seorang patriot yang menentang kaum penjajah dengan mengorbankan banyak sekali anggauta Pek-lian Kai-pang.

Ketika mereka semua itu tiba di markas kaum Pek-lian Kai-pang, Han Han menjadi kagum dan juga terharu. Ia kagum menyaksikan kehadiran tamu para tokoh kang-ouw yang ratusan orang jumlahnya, tidak kurang dari dua ratus orang. Dan ia terharu, ketika melihat Lauw-pangcu yang sudah amat tua itu meneri­ma para tamu di tempat terbuka dalam hutan, hanya duduk di atas rumput saja! Keadaan kakek yang berpakaian butut itu amatlah miskinnya. Di situ pun hanya terdapat beberapa buah gubuk kecil se­derhana. Namun wajah kakek tua ini tampak berseri gembira menyambut para tannu yang terpaksa juga duduk di atas rumput, ada yang duduk di akar pohon, ada pula yang berjongkok, tidak kurang pula yang berdiri saja. Sungguh sebuah pertemuan yang amat sederhana dan kalau pertemuan ini diadakan untuk me­rayakan hari ulang tahun, sungguh me­rupakan sebuah perayaan yang luar biasa sederhananya!

Amatlah mengharukan menyaksikan betapa kakek itu bangkit dan berkali-kali menyambut para tamu dengan mem­bungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, menghaturkan terima kasih dan minta maaf bahwa dia tidak dapat menyambut para tamu sebagaimana mes­tinya, bahkan bangku pun tidak ada! Akan tetapi lebih mengharukan lagi ada­nya barang-barang sumbangan yang di­tumpuk begitu saja di atas rumput, pada­hal di antara barang-barang itu terdapat benda-benda yang amat berharga dan mahal harganya. Juga Han Han mengenal Lauw Sin Lian yang cantik jelita dan gagah perkasa, berdiri di samping ayah­nya ikut menyambut dan memberi hor­mat kepada para tamu. Biarpun pakaian Sin Lian juga sederhana, akan tetapi cukup bersih dan tidak penuh tambalan seperti pakaian ayahnya. Pakaian gadis ini ringkas dan ketat, membayangkan tubuh yang ramping padat sehingga para tamu pria yang muda-muda memandangnya penuh kagum.

“Terima kasih.... terima kasih, cu-wi sekalian. Cu-wi yang sudi datang dan masih mengingat akan ulang tahun seorang kakek seperti saya, sungguh budi cu-wi sekalian itu bertumpuk setinggi gunung, lebih tinggi daripada tumpukan barang sumbangan yang saya terima. Cu-wi sekalian, barang-barang sumbangan cu-wi ini tidak akan sia-sia, bukan untuk saya pribadi melainkan akan saya kirim­kan ke Se-cuan sebagai penambah biaya perlawanan menentang pemerintah penjajah! Saya sudah tua dan sejak dahulu, seorang pengemis seperti saya tidak membutuhkan apa-apa, yang saya butuhkan hanyalah kebebasan tanah air dari cengkeraman penjajah.”

“Hidup Lauw-pangcu yang gagah perkasa!” Teriakan-teriakan ini menggegap-gempita dan banyak di antara para tamu merogoh saku dan menguras isi saku untuk ditumpukkan pula di tumpukan barang sumbangan setelah mereka mendengar bahwa semua sumbangan akan dikirim ke Se-cuan untuk biaya perlawan­an terhadap penjajah. Melihat ini, Lauw-pangcu memandang terharu sampai basah kedua matanya.

Han Han juga terharu. Ketika ia memandang, di antara para tamu terdapat seorang yang mukanya bopeng, penuh bekas cacar burik-burik. Janturgnya ber­debar. Ia pernah melihat orang ini. Tak mudah melupakan muka bopeng seperti itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana. Selagi ia mengingat-ingat, Si Muka Bo­peng yang membawa pedang di punggung­nya itu tiba-tiba melompat ke tengah lapangan, berhadapan dengan Lauw-pangcu, mengangkat tangan kanan ke atas dan berteriak.

“Saudara-saudara seperjuangan, kalian telah tersesat jauh!”

Mendengar seruan yang nyaring sekali ini, semua orang tertegun dan tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua mata ditujukan kepada Si Muka Bopeng ini. Juga Lauw-pangcu dan Lauw Sin Lian memandang. Dengan sikap tenang dan sabar, berbeda dengan sikap Sin Lian yang marah, Lauw-pangcu menjura ke­pada orang itu dan berkata.

“Mohon maaf jika saya tidak mengenal sicu, akan tetapi saya tidak meragukan bahwa sicu tentulah seorang saudara sepaham dan seperjuangan yang menen­tang penjajah, maka sicu sudi datang di tempat kami ini. Akan tetapi, apakah maksud sicu dengan ucapan tadi?”

“Kita semua adalah kaum pejuang yang gagah perkasa, yang siap mengor­bankan apa pun juga demi nusa bangsa, dan akan berjuang terus sampai penjajah dipukul hancur! Bagaimana mungkin kita harus bekerja sama dengan Bu Sam Kwi, seorang pengkhianat bangsa?”

Ucapan itu hebat sekali. Pada waktu itu, satu-satunya kekuasaan yang mati-matian menentang pemerintah Mancu adalah Bu Sam Kwi yang mempertahan­kan daerah Se-cuan secara mati-matian dan gagah berani, menimbulkan rasa simpati dan kagum di hati semua pe­juang. Sekarang, Si Muka Bopeng ini memakinya sebagai pengkhianat bangsa, hati siapa tidak akan kaget?

“Aihhhhh, apa yang kauucapkan ini, sicu? Bu-ongya adalah seorang raja muda yang merupakan satu-satunya pemimpin kita menentang Mancu! Dan Se-cuan adalah satu-satunya tempat yang dapat menampung kekuatan pejuang.”

“Heh-heh-heh, sungguh picik sekali pendapatmu, Lauw-pangcu! Apa yang dikatakan Ouw Kian itu tepat sekali!” Suara ini amat nyaring dan berwibawa, dan tiba-tiba, setelah menyambar angin besar, di tengah lapangan itu muncul seorang kakek yang mukanya seperti muka kuda! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lauw-pangcu dan Sin Lian ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo! Lauw-pangcu pernah melihat tokoh ini satu kali se­dangkan Sin Lian sudah sering kali men­dengar nama besar datuk kaum sesat ini yang menjadi majikan atau kepala dari In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san dan kini dapat menduganya. Tentu saja Han Han segera mengenal Iblis Muka Kuda ini dan sekarang teringatlah ia akan Si Muka Bopeng yang bernama Ouw Kian itu, seorang di antara pembantu Ma-bin Lo-mo ketika ia ber­sama Lulu ditawan di atas perahu dahulu itu. Beberapa orang di antara para tamu juga mengenal kakek ini karena biarpun kakek ini termasuk tokoh kaum sesat, namun harus diakui bahwa kakek ini selalu menentang bangsa Mancu sehingga dianggap sebagai teman seperjuangan.

“Kiranya Siangkoan Lee locianpwe yang berkenan datang berkunjung! Sung­guh merupakan kehormatan besar sekali bagi kami dan merupakan kebahagiaan besar bahwa kini sekeluarga pejuang dapat bertemu dan berkumpul di sini.” Mendengar ucapan Lauw-pangcu ini, yang menjura dengan penuh kehormatan ke­pada kakek muka kuda, semua tamu menjadi terkejut sekali, terutama sekali mereka yang baru tahu bahwa kakek bermuka lucu ini adalah tokoh hitam yang sudah amat terkenal itu.

“Memang aku sengaja datang untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor. Perjuangan kita tidak boleh diselewengkan, dan pendapatmu tadi be­nar-benar merupakan penyelewengan be­sar, Lauw-pangcu. Kuulangi lagi bahwa pendapat Ouw Kian tadi tepat sekali. Merupakan penyelewengan besar kalau kita membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi yang seharusnya malah kita musuhi! Lauw-pangcu, apakah engkau pura-pura lupa bahwa Bu Sam Kwi merupakan se­orang di antara pemberontak-pemberontak dan pengkhianat besar yang menjadi se­bab utama jatuhnya Kerajaan Beng? Apa­kah engkau lupa akan riwayat hitam yang menyelimuti diri Bu Sam Kwi?”

Wajah Lauw-pangcu berubah merah. Dia maklum bahwa yang kini menyerang­nya dengan kata-kata adalah seorang di antara datuk-datuk hitam yang me­miliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan maklum pula bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang penentang penjajah yang gigih. Akan tetapi, ia pun mengenal siapa kakek ini, dan ia cukup mengenal pula siapa Bu Sam Kwi. Maka dengan suara tenang ia menjawab.

“Tentu saja saya tahu, locianpwe. Bu-ongya, yaitu Bu Sam Kwi yang kini merupakan satu-satunya kekuasaan yang masih sanggup bertahan terhadap pen­jajah dahulu adalah seorang panglima bala tentara Beng yang bertugas men­jaga dan mempertahankan tapal batas utara. Jasanya untuk Kerajaan Beng su­dah amat besar, jauh lebih besar dari­pada jasa para menteri dan pembesar di kota raja yang hanya membesarkan ke­senangan diri sendiri.”

“Akan tetapi apa kau pura-pura me­nutupi pengkhianatannya? Jauh sebelum bangsa Mancu datang, dia telah mem­berontak! Bu Sam Kwi telah memberon­tak terhadap Kerajaan Beng dan bergerak dari utara bersama dengan pemberontak Lie Cu Seng yang mengangkat diri sen­diri menjadi raja di Shen-si, dan pem­berontak Thio Han Tiong yang bersarang di barat. Apakah engkau hendak menyang­kal sejarah?”

“Maaf, locianpwe. Saya mengerti akan semua itu, akan tetapi saya pun menger­ti mengapa mereka itu memberontak, karena pada masa itu, pemerintahan Kerajaan Beng amat buruk dan lemah karena kaisar dan para menterinya me­ngubur diri dalam kesenangan dan pemuasan nafsu-nafsu duniawi, tidak mem­pedulikan keadaan rakyat yang hidup sengsara, dari luar ditindas para peram­pok dan bajak-bajak, dari dalam ditindas oleh para pembesar yang lalim. Kerajaan Beng makin suram dan bobrok, bagaikan sebuah bangunan yang makin lama makin lemah dan rusak karena digerogoti tikus-tikus dan rayap dari dalam! Sebagai orang-orang gagah yang mengingat akan nasib rakyat jelata, mereka bangkit me­nentang kaisar, akan tetapi malah di­musuhi dan terpaksa mereka memberon­tak terhadap pemerintah yang bobrok!”

“Huh! Omongan orang yang berjiwa pemberontak! Betapapun juga alasannya, Bu Sam Kwi sudah terang seorang pem­berontak, seorang panglima yang tidak setia kepada rajanya. Dan orang macam itu sekarang hendak kalian bantu? Pe­nyelewengan besar! Tidak ingatkah engkau bahwa selain dia itu pemberontak, dia juga seorang pengkhianat bangsa? Lupakah engkau bahwa Bu Sam Kwi si pengkhianat itulah yang bersekutu dengan bangsa Mancu? Bu Sam Kwi bersekutu dengan Pangeran Dorgan yang waktu itu memimpin barisan Mancu, kemudian ber­sama-sama menyerang ke selatan, men­duduki kota raja yang telah dirampas pemberontak Lie Cu Seng!”

“Maaf, locianpwe. Saya kira hal itu terpaksa dilakukan untuk menundukkan Lie Cu Seng. Hal itu termasuk siasat perang....”

“Ha-ha-ha-ha! Siasat kotor, dan siasat goblok yang sama sekali tidak berhasil! Setelah bersekutu, dia berani memasuk­kan srigala ke dalam kandang! Kemudian dia sendiri dimusuhi oleh bangsa Mancu dan dikejar-kejar sampai lari terbirit-birit ke barat! Ha-ha-ha, dan orang ma­cam itukah yang hendak kalian bantu?”

“Habis, kalau menurut pendapat locianpwe, bagaimana baiknya?” Lauw-pangcu yang terpaksa mengalah karena terdesak, bertanya.

“Kita berjuang sendiri! Kita meng­hancurkan penjajah Mancu, kalau sudah berhasil, kita membasmi pemberontak-pemberontak macam Bu Sam Kwi. Kita harus menegakkan kembali Kerajaan Beng yang tercinta!”

“Hemmm.... kaisar terakhir Kerajaan Beng telah membunuh diri, dan saya tidak melihat adanya keturunan kaisar yang lolos dari maut ketika bangsa Man­cu menduduki istana.”

“Masih banyak tokoh-tokoh Beng yang hidup di saat ini! Termasuk aku! Apa sukarnya kelak menentukan pilihan baru untuk kaisar Kerajaan Beng?”

Lauw-pangcu tidak dapat menjawab lagi. Keadaan menjadi sunyi, suasana menjadi tegang. Semua orang menjadi bingung setelah mendengar perdebatan kecil itu, karena sebagian besar dari mereka berjuang mati-matian hanya karena tidak suka melihat tanah air dijajah bangsa asing. Adapun mengenai urusan Kerajaan Beng yang sudah runtuh, mengenai urusan pemberontakan-pemberontakan yang lalu, mereka sama sekali tidak tahu dan tidak pula memperhatikan. Mereka berjuang dengan dasar mengusir penjajah dari tanah air. Kini muncul urusan berbelit-belit mengenai negara, mereka tidak mengerti dan menjadi bingung. Apalagi karena yang berdebat ini adalah Lauw-pangcu yang selama dalam perjuangan ini merupakan pemimpin pejuang yang gigih dan pandai, berhadapan dengan seorang tokoh besar pula, bukan hanya tokoh perjuangan yang selalu me­lakukan perlawanan terhadap penjajah secara menyendiri sehingga nama pejuang-pejuang In-kok-san amat terkenal, akan tetapi juga tersohor sebagai se­orang tokoh kang-ouw yang dianggap manusia iblis!

Melihat ayahnya tak dapat menjawab, agaknya terdesak oleh alasan-alasan yang dikemukakan Iblis Muka Kuda itu, Sin Lian cepat melangkah maju, berkata de­ngan suara tenang namun nyaring ber­wibawa kepada kakek itu.

“Siangkoan Locianpwe, sudah lama saya mendengar nama besar locianpwe yang terkenal sebagai Ma-bin Lo-mo. Kalau ada perbedaan pendapat antara locianpwe dengan kami, itu tidak perlu dipersoalkan. Kami adalah golongan pejuang yang tidak mempunyai pamrih untuk diri pribadi, kami satu-satunya hanyalah untuk menentang kaum penjajah. Soal siapa yang kelak akan memimpin rakyat setelah penjajah ber­hasil diusir dari tanah air, itu soal nanti, terserah kepada kaum cerdik pandai yang ahli mengenai hal itu. Sudah jelas bahwa Se-cuan merupakan satu-satunya daerah yang menjadi pusat kegiatan menentang penjajah, maka ke sanalah kita menoleh untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Kalau locianpwe suka bekerja sama dengan kami, syukur­lah. Kalau tidak pun tidak mengapa. Kita mengambil jalan sendiri dan cara sendiri untuk menghancurkan penjajah!”

Semua tamu mengangguk-angguk mendengar ucapan tegas dari Sin Lian ini. Ma-bin Lo-mo memandang tajam dan mengerutkan keningnya.

“Nona muda, engkau siapakah?”

“Dia adalah Lauw Sin Lian, puteriku,” kata Lauw-pangcu.

Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk, akan tetapi matanya tidak pernah me­lepaskan wajah gadis itu. Kemudian ia berkata, “Di antara orang-orang yang menjunjung kegagahan, segala pertentang­an faham dan perbedaan pikiran hanya dapat diselesaikan melalui pertandingan kekuatan. Siapa kuat dia menang dan benar!”

Lauw-pangcu dan Sin Lian hendak membantah pendapat yang memuja hukum rimba seperti kebiasaan watak kaum sesat itu, akan tetapi sambil tertawa Ouw Kian si Muka Bopeng sudah meloncat maju menghadapi Sin Lian dan berkata.

“Ha-ha-ha, memang seharusnya begitu! Dan.... eh, Lauw-pangcu, maafkan pertanyaanku. Apakah puterimu ini sudah bertunangan?”

Lauw-pangcu sendiri adalah seorang tokoh kang-ouw yang tidak begitu peduli akan segala sopan santun kosong, maka pertanyaan ini diterima sewajarnya olehnya, tidak dianggap kurang ajar. “Belum, Ouw-sicu.”

“Bagus! Kalau begitu, kebetulan selagi Lauw-pangcu mengadakan perayaan ulang tahun, mengapa tidak sekalian mencari­kan jodoh untuk puterimu? Kulihat puterimu sudah lebih dari cukup dewasa. Bagaimana kalau sekarang ditentukan bahwa siapa yang dapat menandinginya berhak meminangnya? Heh-heh, aku pun belum menikah, eh.... maksudku sudah duda dan sedang mencari jodoh....”

“Mulut busuk!” Sin Lian membentak marah sekali. Tadinya, gadis yang sudah menerima gemblengan Siauw-lim Chit-kiam ini, yang sudah matang pula penga­lamannya dan luas pandangannya, meng­ambil sikap tidak memusuhi Ma-bin Lo-mo yang betapapun juga adalah seorang kawakan. Akan tetapi, kini sikap Ouw Kian, sebagai seorang wanita muda yang masih panas darahnya, ia menjadi marah sekali dan telunjuknya menuding ke arah hidung yang kulitnya kasar itu. “Apakah engkau tidak pernah melihat bayangan mukamu yang buruk dan lebih menjijik­kan daripada muka tikus selokan itu? Cih, tak bermalu! Kalau engkau hendak mencoba kepandaian untuk mempertahan­kan pendirian masing-masing, majulah dan jangan terlalu lebar membuka mulut yang berbau busuk!”

Sin Lian memang pada dasarnya galak dan pandai sekali bicara, maka sekali terbangkitkan kemarahannya, ucapannya amat pedas menusuk jantung, membuat Si Muka Bopeng sebentar merah sebentar pucat. Ia pun marah sekali, apalagi melihat betapa para tamu banyak yang menahan tawa dengan menyembunyikan mulut di balik lengan baju.

“Bocah sombong! Kau mau mengenal ke­lihaian tuanmu?” Ia membentak.

“Majulah dan cabut pedangmu!” Sin Lian sudah melolos pedangnya karena gadis ini tidak sudi beradu lengan dengan Si Muka Bopeng dan kalau dia melayani orang itu bertanding tangan kosong, mau tidak mau ia harus membiarkan lengan­nya beradu dengan lengan lawan. Ia pun dapat menduga bahwa sebagai kaki ta­ngan Ma-bin Lo-mo, Si Muka Bopeng ini tentulah lihai ilmu silatnya.

Diam-diam Ouw Kian menjadi girang. Memang dia sendiri adalah seorang jago pedang yang menganggap bahwa ilmu pedangnya adalah yang paling tinggi di dunia. Entah sudah berapa ratus kepala orang terpenggal oleh pedangnya itu, selama ia merantau sebagai perampok tunggal. sebelum ia ditundukkan Ma-bin Lo-mo dan menjadi pembantu Iblis Muka Kuda. Cepat ia menggerakkan tangan dan dengan aksi yang boleh juga, tubuh tegak kaki kanan diangkat menempel lutut kiri, tangan kiri menjulang ke atas dengan telunjuk menunjuk langit, tangan kanan mencabut pedang di pinggangnya. Aksinya memang hebat, sayang dia pakai senyum-senyum segala sehingga mukanya yang memang tak dapat dikatakan tampan itu menjadi makin buruk!

“Lihatlah kiam-sutku yang tiada tandingan!” Ouw Kian membentak lalu pe­dangnya berkelebatan menyilaukan mata. Dia sudah bersilat pedang, tidak langsung menyerang karena pada pendapatnya, kalau melihat ilmu pedangnya gadis puteri ketua Pek-lian Kai-pang itu tentu akan menguncup hatinya dan akan me­nyerah tanpa bertanding lagi.

“Hemmm....!” Sin Lian mendengus sebal dan membentak, “Sambutlah!” Pe­dangnya sudah menusuk dengan kecepatan kilat. Dara ini adalah murid dari Siauw-lim Chit-kiam, tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkenal se­bagai ahli pedang kenamaan dan Sin Lian sudah mewarisi Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam (Ilmu Pedang Sakti Tujuh Bin­tang). Kini, menghadapi Si Muka Bopeng yang sombong, gadis itu sudah menusuk, ujung pedang tergetar dan pecah men­jadi tujuh sinar, akan tetapi dara itu hanya mempergunakan tiga sinar untuk menusuk ke tiga bagian tubuh lawan yaitu tenggorokan, ulu hati dan pusar. Gerakannya cepat sekali sehingga se­olah-olah ada tiga batang pedang yang melakukan penyerangan.

“Trang-trang-cringgg....! Ehhhhh....!” Ouw Kian kebingungan dan ilmu pedang­nya yang dipamerkan tadi menjadi kacau-balau karena secara bertubi-tubi ia harus menangkis tiga sinar itu! Tangkisannya ngawur, akan tetapi karena memang dia seorang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, ia berhasil juga menangkis sambil berloncatan ke belakang, tangannya ter­getar setiap kali pedangnya bertemu dengan ujung pedang lawan! Barulah ia terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda yang cantik itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan kuatnya, tanda bahwa ilmu pedang gadis itu hebat bukan main.

Ouw Kian maklum akan kelihaian lawannya, maka ia tidak lagi berani ba­nyak aksi dan cepat ia menggerakkan pedang, bertanding dengan sungguh-sung­guh dan melakukan serangan balasan. Na­mun, tusukan dan bacokan pedangnya mengenai angin dan di detik berikutnya, kembali ujung pedang Sin Lian seperti berubah menjadi lebih banyak lagi, ke­mudian lima sinar menyambar ke arah­nya dengan suara mencicit!

“Aahhh.... ayaaaaa.... trang-trang-trang....!” Ouw Kian berhasil menangkis tiga kali, akan tetapi tangkisan yang ke tiga membuat tubuhnya terdesak dan po­sisinya rusak sehingga susulan dua kali serangan agaknya takkan dapat ia tangkis lagi.

“Hemmm.... mundurlah!” Tiba-tiba terdengar seruan Ma-bin Lo-mo dan ujung pedang Sin Lian hanya dapat merobek­ sedikit kain baju di bagian dada Ouw Kian karena mendadak tubuh Ouw Kian seperti ditiup angin, terlempar ke belakang. Ma-bin Lo-mo setelah menggunakan sin-kang mendorong tubuh Ouw Kian dan menyelamatkannya dari pedang Sin Lian, kini berdiri menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.

“Nona, bukankah itu Chit-seng-sin-kiam yang kaumainkan? Apakah engkau anak murid Siauw-lim-pai?”

“Tidak salah, locianpwe. Aku adalah murid Siauw-lim Chit-kiam!” jawab Sin Lian tenang.

Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk. “Pantas, kiam-hoatmu lihai. Dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam tewas, kabarnya di tangan puteri Mancu, sudah sepatutnya engkau menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi sungguh sayang sekali kalau murid Siauw-lim-pai sampai menjadi kaki tangan pengkhianat seperti Bu Sam Kwi. Nona Lauw, kurasa guru-gurumu akan marah kalau mendengar engkau akan membantu pengkhianat Bu Sam Kwi.”

“Siangkoan-locianpwe, guru-guruku pun kini berjuang bersama kekuatan di Se-cuan bersama-sama menentang Mancu!”

Tiba-tiba Siangkoan Lee tertawa, suara ketawa yang tidak lumrah manusia, lebih mirip suara ringkik kuda marah, “Hiiyeeeeeh-heh-heh-heh! Sungguh memalukan! Sungguh tersesat dan menyele­weng jauh! Seorang pemberontak dan pengkhianat malah dibantu, apakah dunianya tokoh-tokoh kang-ouw yang menyebut diri kaum bersih dan golongan putih sudah terbalik?”

Sin Lian menjadi marah mendengar guru-gurunya diajek. “Locianpwe, kalau locianpwe tidak setuju dengan pendirian kami, sudah saja. Locianpwe boleh ber­juang sendiri. Apa artinya perjuangan yang liar tanpa pimpinan? Tidak peduli apa yang dilakukan oleh Bu-ongya dahulu, namun sekarang kenyataan Bu-ongya adalah satu-satunya tokoh yeng gigih me­lakukan perlawanan terhadap penjajah dan di sanalah berkumpul seluruh orang gagah yang hendak mempertahankan tanah air. Kalau tidak berjuang di bawah bendera­nya, habis siapa yang akan menjadi pe­mimpin kami?”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ berkelebat bayangan dua orang dan di dekat Sin Lian sudah berdiri dua muda yang memiliki gerakan cepat sekali, juga mengagumkan karena mereka adalan seorang pemuda tampan gagah dan seorang dara cantik jelita. Suara ketawa tadi adalah suara mereka berdua yang meloncat dari kumpulan para tamu, dan kini yang wanita berkata.

“Ma-bin Lo-mo, mengapa engkau me­maksa orang lain untuk berjuang demi mencapai cita-cita pribadimu?”

Ma-bin Lo-mo melotot dan membentak. “Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?”

Gadis muda yang bersikap lincah dan masih muda sekali, tidak lebih tua dari Sin Lian, tersenyum mengejek, lalu men­jura ke arah Lauw-pangcu dan Sin Lian, dan berkata lantang.

“Cu-wi sekalian tidak perlu heran mengapa dia ini menentang Se-cuan. Siapakah yang tidak tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah bekas menteri Kerajaan Beng, bernama Siangkoan Lee? Siapa yang ti­dak tahu bahwa dia melatih murid-murid­nya di In-kok-san untuk membentuk ba­risan yang kuat? Berbeda sekali dengan kita yang berjuang tanpa pamrih pribadi, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee berjuang untuk dapat mengangkat diri sendiri men­jadi kaisar menggantikan Kerajaan Mancu. Tentu saja dia menentang Bu Sam Kwi raja muda di Se-cuan!”

Diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut, akan tetapi dia adalah seorang yang ang­kuh dan percaya kepada diri sendiri, maka dengan mata melotot ia memben­tak, “Memang benar! Dan mengapa ti­dak? Aku jauh lebih berharga daripada si pengkhianat Bu itu! Dan siapa yang menentang pendapat ini, boleh maju mem­buktikan sendiri bahwa aku lebih patut kalian jadikan pemimpin dalam perjuang­an menentang penjajah daripada si peng­khianat bangsa Bu Sam Kwi!”

Melihat kakek yang menjadi amat marah dan mengambil sikap menantang-nantang itu, Lauw-pangcu cepat meng­hadapinya dan menjura penuh hormat. “Harap Siangkoan-locianpwe sudi meng­habiskan saja urusan ini. Marilah, sila­kan duduk sebagai tamu terhormat dan dalam kesempatan ini kiranya tidak perlu kita melanjutkan pembicaraan yang hanya menimbulkan pertentangan itu. Yang penting, garis besar kita semua sama, ialah menentang penjajah Mancu. Sila­kan!”

“Tidak bisa!” Ma-bin Lo-mo mem­bentak, pandang matanya masih marah membayangkan ketidakpuasan dan kemarahan ditujukan kepada dua orang muda yang baru tiba itu. “Kalau kalian ­semua masih melanjutkan keinginan hen­dak mengabdi kepada pengkhianat Bu, tak mungkin aku tinggal diam saja! De­ngan demikian kalian berarti menjeru­muskan diri ke dalam penyelewengan dan menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa pula! Bagaimana aku, Siangkoan Lee, boleh tinggal diam saja melihat orang-orang mengkhianati Kerajaan Beng?”

Kakek yang menjadi datuk golongan sesat ini lalu melangkah maju menghadapi Lauw-pangcu dan berkata, “Lauw-pangcu, percuma bagiku bicara dengan segala macam bocah lancang. Lauw-pangcu ada­lah seorang yang sudah tua dan sudah banyak pengalaman, maka kuminta agar mulai sekarang juga insyaf dan mem­belokkan kembali perjuangan ke arah jalan benar. Jangan lagi membantu peng­khianat Bu Sam Kwi dan marilah kita bekerja sama. Kalau memang ada pahala di kemudian hari setelah perjuangan ber­hasil, kitalah yang patut menerimanya, bukan pengkhianat Bu itu. Nah, harap putuskan sekarang juga, Lauw-pangcu. Bagaimana pendirianmu?”

Lauw-pangcu menghela napas panjang. “Siangkoan-locianpwe terlalu mendesak, apa boleh buat. Kalau menurut saya pribadi, saya tetap akan membantu Se-cuan, karena berhasil tidaknya perjuangan kita sesungguhnya tergantung kepada kekuatan Se-cuan sebagai tempat pertahanan terakhir.” Ketua Pek-lian Kai-pang itu berhenti sebentar lalu menoleh ke arah para tamu yang memandang te­gang. “Tentu saja pendirian saya ini merupakan pendirian Pek-lian Kai-pang pula dan kami tidak akan mempengaruhi pen­dapat para sahabat pejuang yang saat ini menjadi tamu kami.”

Para tamu berteriak-teriak menyata­kan persetujuan mereka dengan pendirian Lauw-pangcu. Mereka bersorak riuh-ren­dah dan hal ini membuat wajah Ma-bin Lo-mo menjadi merah. Jelaslah bahwa tidak banyak yang mendukungnya.

“Lauw-pangcu! Kalau begitu engkau ini bukan lain adalah pemimpin pengkhianat! Pantas.... pantas....! Memang semenjak dahulu, jauh sebelum penjajah Mancu datang, Pek-lian Kai-pang (Partai Teratai Putih) memang terdiri dari orang-orang pemberontak dan pengkhianat! Se­karang, sudah menjadi pengemis jembel gelandangan pun masih menjadi peng­khianat! Sungguh tak tahu malu!”

“Ma-bin Lo-mo, siapa yang tak tahu malu?” Lauw Sin Lian membentak marah mendengar ayahnya dimaki-maki. “Eng­kaulah yang tidak tahu malu! Sebagai tamu, seharusnya menghormati dan mentaati peraturan tuan rumah, kalau tidak cocok boleh pergi karena engkau bukan­lah tamu yang diundang!”

“Hi-yeh-heh-heh! Lauw-pangcu, kalau engkau memang gagah, marilah kita men­coba-coba kepandaian agar semua tamu terbuka matanya dan melihat siapa di antara kita yang lebih pantas menjadi pemimpin!”

“Siangkoan Lee! Biarpun sudah tua dan lemah, kalau ditantang aku tidak akan mundur....!” Lauw-pangcu menjadi marah.

“Tahan, Ayah! Biarlah aku yang menghajar anjing tua ini!” bentak Sin Lian dan dia sudah menerjang maju dengan pedangnya. Karena ia maklum akan ke­lihaian datuk kaum sesat ini, tentu saja ia tidak memandang rendah seperti keti­ka menghadapi Ouw Kian si Muka Bo­peng tadi, melainkan mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedang sehingga ujung­nya menimbulkan tujuh sinar yang berturut-turut meluncur ke arah tujuh bagi­an berbahaya dari tubuh Ma-bin Lo-mo.

Di antara tokoh-tokoh kang-ouw, agaknya tingkat kepandaian Sin Lian sudah amat hebat dan sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam, agaknya sukar dicari tan­dingannya di kalangan orang muda. Akan tetapi sekali ini yang diserang adalah Ma-bin Lo-mo, seorang di atara tokoh-tokoh yang sudah mendapat sebutan da­tuk, yaitu datuk golongan hitam atau golongan sesat. Ilmu kepandaian Ma-bin Lo-mo jauh lebih tinggi daripada tingkat Sin Lian. Apalagi hanya dara remaja ini, biar Siauw-lim Chit-kiam sekalipun maju bersama, belum tentu akan dapat mengatasi kepandaian Ma-bin Lo-mo yang tingkatnya dapat disejajarkan dengan ketua Siauw-lim-pai yaitu guru Siauw-lim Chit-kiam!

Melihat sinar pedang gadis itu yang memecah menjadi tujuh sinar, diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut dan kagum, me­muji ilmu pedang ciptaan Ceng San Hwe­sio ketua Siauw-lim-pai yang telah di­kuasai dengan baik oleh gadis ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mu­dah Ma-bin Lo-mo akan dapat meroboh­kan Sin Lian dengan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang dahsyat. Akan tetapi dia mempunyai cita-cita lain. Kedatang­annya sebetulnya bukan hendak memusuhi Pek-lian Kai-pang, melainkan hendak me­narik mereka menjadi sekutu dan mem­bantunya. Kini menghadapi puteri Lauw-pangcu, dia tidak mau sembrono me­nurunkan tangan keji, dan hanya ingin membuktikan bahwa dia patut menjadi pemimpin dengan kepandaiannya yang paling lihai di antara mereka semua.

“Hi-yeh-heh.... kiam-sut yang bagus, akan tetapi tidak ada artinya kalau kau­pergunakan untuk menyerangku, Nona Cilik!” Ia mengejek, kedua tangannya bergerak ke depan membuat gerakan melingkar-lingkar dan tujuh sinar pedang itu seperti diseret angin puyuh yang amat kuat. Betapapun Sin Lian mengerahkan tenaganya untuk menahan, tetap saja pedang dan tangannya ter­seret oleh gelombang hawa yang amat dahsyat dan dingin sehingga gerakan pedangnya kacau dan semua serangannya gagal dengan sendirinya.

“Ma-bin Lo-mo, sungguh tak patut menghina nona rumah!” Tiba-tiba pemuda yang datang bersama gadis jelita tadi menerjang maju. Mereka berdua sudah menerjang dengan pedang mereka dan yang amat hebat adalah gin-kang mereka karena gerakan kedua orang muda ini cepat seperti kilat!

Pedang di tangan pemuda dan gadis ini telah menolong Sin Lian karena pu­teri Lauw-pangcu yang tadinya terancam untuk terputar tubuhnya oleh hantaman angin pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dahsyat, kini berhasil meloncat ke pinggir ketika Ma-bin Lo-mo terpaksa menghentikan gerakan tangannya untuk menghadapi serangan kedua orang muda itu. Ia pun terkejut menyaksikan kece­patan gerakan mereka. Matanya silau menyaksikan sinar dua pedang yang amat cepat datangnya. Kakek ini mengeluarkan suara meringkik dan tubuhnya sudah men­celat ke atas menghindarkan diri dari­pada sambaran dua pedang.

Akan tetapi, kini Sin Lian sudah maju lagi dengan pedang diputar cepat. Kini murid Siauw-lim Chit-kiam ini bersikap hati-hati karena maklum betapa lihainya kakek bermuka kuda itu. Pedangnya mem­bentuk segulung sinar yang mencuat ke depan amat terangnya menusuk dada kakek itu yang baru melayang turun. Dua orang muda yang lihai itupun menyambut turunnya tubuh Ma-bin Lo-mo dengan tusukan dan bacokan pedang.

Ma-bin Lo-mo kembali mengeluarkan suara terkekeh seperti bunyi ringkik kuda. Ujung kakinya tiba-tiba menangkis atau menotol ujung pedang tiga orang muda itu dengan “meminjam” tenaga mereka, tubuhnya sudah melesat ke belakang tiga orang lawan. Tiga orang muda itu cepat membalikkan tubuhnya. Mereka kaget se­kali karena tidak mengira kakek itu se­demikian lihainya. Juga para tamu ter­kejut dan menjadi jerih.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara keras, “Harap hentikan pertanding­an! Saya datang membawa berita pen­ting!”

Semua orang menoleh, dan tiba-tiba Ma-bin Lo-mo mengeluarkan suara me­ringkik aneh, wajahnya berubah pucat ketika memandang kepada pemuda ber­kaki buntung yang jalan terpincang-pin­cang maju dibantu tongkatnya. Ma-bin Lo-mo meloncat dan menghadang Han Han sambil berkata.

“Kau.... kau masih hidup....?” Tentu saja Ma-bin Lo-mo sudah mendengar berita di In-kok-san bahwa Han Han dan Kim Cu telah menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li kepada dua orang murid itu, dan dia mendengar bahwa selain dibuntungi, juga kemudian Han Han dan Kim Cu dilempar ke dalam jurang maut yang tak berdasar! Tentu saja ia menjadi kaget sekali me­lihat bekas murid ini tahu-tahu muncul di situ! Karena menyangka bahwa seperti juga dahulu, bocah aneh tentu hanya akan menimbulkan keonaran dan akan meng­halangi cita-citanya, Ma-bin Lo-mo tidak mau banyak cakap lagi, setelah menegurnya lalu mengulur tangan kanannya yang menuding tadi, mengerahkan Swat-im Sin-ciang menyerang ke arah jantung Han Han di balik dadanya. “Siangkoan-locianpwe, engkau banyak baikkah?” Han Han menyoja (mengangkat tangan ke depan dada) untuk memberi hormat. Tidak ada seorang pun yang menduga bahwa pada detik itu, dua buah tenaga tak tampak yang amat dahsyat bertemu di antara mereka dan akibatnya, wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat se­perti kertas dan ia menahan darah yang sudah naik ke kerongkongannya agar tidak muntah! Tenaga Swat-im Sin-ciang yang ia lancarkan untuk menyerang Han Han tadi membalik dengan cepat dan tidak terduga-duga olehnya sehingga me­lukai rongga dadanya sendiri! Memang ia tahu bahwa bocah bekas muridnya yang telah menggembleng diri di Pulau Es ini memiliki kepandaian aneh dan tenaga dahsyat, akan tetapi dia telah buntung dan betapa dalam waktu tak lama saja telah mampu menangkis Swat-im Sin-ciang tanpa gerakan memukul melainkan hanya bersoja sudah mampu mengembali­kan pukulannya? Hal yang tidak diduga-duga oleh Ma-bin Lo-mo ini membuat ia terluka dan jerih. Dengan mulut tertutup rapat ia menggapai Ouw Kian dan pergi dari tempat itu diikuti Si Muka Bopeng yang terheran-heran, juga para tamu menjadi lega ketika melihat bahwa kakek yang ditakuti itu pergi tanpa pamit.

“Han Han....!” Suara ini keluar dari mulut Sin Lian dan pemuda tampan itu secara berbareng.

“Han-twako....!” gadis yang datang bersama pemuda itupun berseru, wajah­nya menjadi merah, akan tetapi, seperti juga Sin Lian dan pemuda yang datang bersamanya tadi, gadis ini pun meman­dang ke arah kaki buntung Han Han dengan heran.

Han Han tersenyum lalu menjura ke arah Sin Lian dan dua orang muda itu yang bukan lain adalah dua orang murid Im-yang Seng-cu, Wan Sin Kiat dan su­moinya, Lu Soan Li.

“Lauw-siocia, Lu-siocia, Saudara Sin Kiat, bagaimana keadaanmu bertiga? Ku­harap baik-baik saja.”

Tiga orang muda itu tetap meman­dang ke arah kakinya dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa orang yang mereka kagumi itu kini mendadak muncul dengan kaki bun­tung, mereka bertiga begitu heran dan kaget sehingga sukar mengeluarkan kata-kata. Leher serasa dicekik keharuan dan kasihan.

“Ah, engkau Sie Han....? Akan tetapi, kenapa kakimu....?” Lauw-pangcu sudah melangkah maju dan memegang pundak Han Han. “Benar, engkau bocah aneh yang dahulu itu, akan tetapi mengapa kakimu itu, Han Han?”

Han Han menjura kepada Lauw-pangcu dan berkata tenang, “Karena kecelakaan kaki saya menjadi buntung, Lauw-locian­pwe. Saya merasa girang dapat bertemu dengan locianpwe dalam keadaan sehat dan biarlah saya menggunakan kesempat­an ini untuk ikut pula mengucapkan se­lamat ulang tahun ke tujuh puluh tahun, semoga locianpwe diberkahi panjang usia dan kesehatan!”

Lauw-pangcu tersenyum dan meman­dang wajah pemuda itu dengan kagum. Ia melihat betapa pemuda ini telah menjadi seorang yang selain tampan dan gagah, juga matang bahkan ada sesuatu yang amat aneh terpancar dari pandang mata pemuda itu. Akan tetapi sebelum ia sem­pat bicara lagi, Wan Sin Kiat sudah me­megang lengan tangan Han Han dan ber­kata.

“Kebetulan sekali engkau datang, Han Han. Dan di mana.... di mana Nona Lulu?”

Ditanya tentang Lulu, wajah Han Han menjadi muram, dan ia menggeleng ke­palanya. “Entahlah, aku sedang mencari dia.”

“Mencari Lulu? Ahhh, tadinya kusang­ka bahwa engkau datang bersama Lu-moi!” kata Sin Lian dan Han Han menjadi terheran-heran mendengar gadis itu menyebut Lulu dengan suara demikian akrab. Melihat ini, Lauw-pangcu tertawa dan berkata, “Marilah kita bicara di dalam!” Ia memberi perintah kepada se­orang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk melayani para tamu, kemudian ia meng­ajak Han Han, Sin Lian, Sin Kiat dan Soan Li memasuki pondoknya.

Setelah mereka duduk di dalam pondok mengelilingi meja dan disuguhi makanan dan arak oleh anak buah kai-pang yang cepat keluar kembali, Lauw-pangcu lalu berkata.

“Agaknya banyak sekali urusan yang harus kita bicarakan, Han Han. Akan tetapi lebih dulu perkenalkanlah dua orang muda perkasa yang membantu kami menghadapi Ma-bin Lo-mo ini.”

“Kiranya Lauw-locianpwe dan Lauw-siocia....”

“Iiihhh, kenapa engkau sekarang ber­ubah seperti ini, Han Han? Masa me­nyebut aku nona-nonaan segala, apakah aku harus menyebut tuan muda kepada­mu?” Tiba-tiba Sin Lian menegur dengan mulut cemberut. Hati Soan Li yang me­lirik dan melihat ini menjadi berdebar dan terasa tidak enak. Akan tetapi Sin Kiat dan Lauw-pangcu tertawa menyaksi­kan sikap Sin Lian ini.

Merah wajah Han Han ditegur gadis itu. “Eh.... baiklah. Kuulangi lagi, agaknya Lauw-pangcu dan Sin Lian belum mengenal dua saudara ini. Dia adalah Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat dan Nona ini adalah Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li!”

“Ah, kiranya murid-murid dari Im-yang Seng-cu? Maaf kalau saya yang tua tidak mengenal dan bersikap kurang hor­mat.” Akan tetapi Sin Lian tidak ber­sikap seperti ayahnya, bahkan memandang kepada dua orang muda itu dengan alis berdiri. Betapapun juga, di dalam hati gadis ini masih ada bekas luka aki­bat siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.

Soan Li yang cerdik tentu saja dapat mengerti akan sikap Sin Lian ini dan ia cepat berkata.

“Nama besar Enci Sin Lian sebagai murid tokoh-tokoh Siauw-lim Chit-kiam telah lama saya mendengarnya. Enci Sin Lian, kedatangan kami berdua ini adalah hendak menghapus segala peristiwa hitam yang timbul di antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, yang sesungguhnya ditimbulkan oleh siasat buruk adu domba oleh Pemerintah Mancu. Kiranya Enci sudah pula mendengar akan hal itu, peristiwa yang patut disesalkan sehingga menyeret pula Han-twako yang sama sekali tidak berdosa. Han-twako yang terseret oleh siasat adu domba di antara kedua partai, sampai-sampai mendatangi Pek-eng-piauw­kiok dan bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai, bahkan mengalami penghina­an pula. Sungguh kami merasa menyesal sekali....”

Wajah keruh di muka Sin Lian segera menghilang. Memang pada dasarnya, wa­tak Sin Lian adalah lincah dan peramah, kalau tadi ia berwajah keruh melihat munculnya dua orang tokoh Hoa-san-pai adalah karena ia teringat akan kematian dua orang di antara ketujuh orang gurunya. Ia cepat tersenyum dan berkata.

“Adik Soan Li, aku telah tahu akan hal itu semua. Aku telah mengetahui betapa kalian berdua sampai bentrok dengan orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Aku telah diceritakan oleh adikku Lulu yang pandai bercerita sehingga peristiwa di piauw-kiok itu seolah-olah dapat ku­bayangkan dengan mata sendiri!”

“Eh, Non eh, Sin Lian, apa artinya semua ini? Adikmu Lulu.... bagaimana ini?”

Kembali Lauw-pangcu tertawa, agaknya kakek ini merasa girang sekali dapat bertemu dengan Han Han yang sudah ba­nyak ia dengar dari Lulu. Ia memandang pemuda ini dan diam-diam kakek yang sudah berpengalaman ini dapat mem­percayai omongan Lulu yang pernah me­ngatakan bahwa di dunia ini kakaknya adalah yang paling sakti! Sungguhpun ia maklum bahwa Lulu melebih-lebihkan akan tetapi ia dapat menangkap wibawa yang amat luar biasa dan sinar aneh ter­pancar keluar dari sepasang mata pemuda itu.

“Ha-ha-ha-ha, agaknya telah terjadi banyak sekali hal yang amat kebetulan dan yang perlu kita saling tuturkan, Han Han. Akan tetapi biarlah kita mulai satu-satu dan lebih dulu kiranya lebih baik kalau kita persilakan dua orang murid Im-yang Seng-cu untuk menuturkan mak­sud kunjungannya yang terhormat.”

Kini Wan Sin Kiat bicara, suaranya halus dan tegas, “Tadi telah disinggung oleh sumoi akan maksud kedatangan kami berdua. Tidak lain hanya untuk me­nemui Nona Lauw sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam untuk menjelaskan per­soalan salah faham akibat adu domba fihak Mancu antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kami tidak berani lancang menghadap ke Siauw-lim-si, maka men­dengar bahwa locianpwe dan Nona Lauw berada di sini dan kebetulan sekali meng­adakan pesta ulang tahun, kami sengaja datang menyampaikan selamat ulang ta­hun dan ingin penjelasan untuk meng­hapus permusuhan. Siapa mengira bahwa Nona Lauw telah mendengar persoalan­nya. Kami merasa girang sekali kalau Nona Lauw sudah mengerti bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap kedua orang locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam bukanlah orang Hoa-san-pai.”

Sin Lian mengangguk-angguk. “Saya telah menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan ternyata beliau semua telah mendengar dari keterangan Han Han sendiri yang datang ke sana. Apalagi setelah saya mendengar penuturan su­moi, semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai telah terhapus dengan sendirinya dan kini kami hanya ingin membalas kematian kedua orang suhu saya itu kepada fihak Mancu.”

Lauw-pangcu menghela napas. Me­mang perang adalah peristiwa yang men­jijikkan dan menyedihkan. Dan orang-orang Mancu telah menggunakan siasat yang amat busuk! Nah, sekarang biarlah aku menuturkan tentang adikmu, Han Han. Ketahuilah bahwa adikmu Lulu te­lah menjadi anak angkatku, dan menjadi adik angkat Sin Lian.”

“Aaahhh....!” Han Han membelalakkan matanya dan menjadi bengong. Mana mungkin bisa terjadi hal ini? Bukankah Lauw-pangcu adalah musuh besar Lulu? Bukankah keluarga perwira Mancu, ayah Lulu, telah terbasmi oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya? Dia sejak dahulu mengkhawatirkan pertemuan antara Lulu dengan Lauw-pangcu, akan tetapi ternyata kini adiknya itu malah menjadi anak angkat musuh besarnya!

“Aku mengerti, tentu engkau bingung dan heran. Semestinya Lulu datang dan membunuh aku untuk membalas den­dam atas kematian keluarganya, bukan? Akan tetapi, ah.... adikmu itu adalah seorang manusia yang benar-benar me­miliki watak murni dan bersih, dan aku merasa bahagia sekali bisa menjadi ayah angkatnya.” Lauw-pangcu lalu menuturkan semua pengalaman Lulu semenjak ber­temu dengannya sampai menjadi anak angkatnya dan betapa sampai setahun Lulu memperdalam ilmu silatnya di lem­bah Huang-ho itu.

“Enam bulan yang lalu dia berangkat meninggalkan tempat ini untuk mencari­mu, bahkan telah berjanji untuk datang pada saat perayaan ulang tahun Ayah, berjanji untuk datang bersamamu. Akan tetapi mengapa engkau datang sendiri? Mana Lulu?” Sin Lian menutup cerita ayahnya yang didengar oleh Han Han dengan muka terheran-heran dan hati terharu, juga girang. Akan tetapi per­tanyaan Sin Lian membuat wajahnya muram kembali dan ia menghela napas panjang.

“Aku mencarinya ke kota raja tanpa hasil....”

Melihat kesedihan Han Han dan karena tertarik dan kagum mendengar pe­nuturan Lauw-pangcu sehingga hatinya yang dahulu sudah terpikat oleh Lulu itu kini menjadi makin kagum, Sin Kiat se­gera berkata.

“Han Han, jangan khawatir. Aku akan membantumu mencari Nona Lulu sampai dapat!”

Han Han tersenyum mendengar janji yang dikeluarkan dengan suara sungguh-sungguh ini. Dia memandang wajah Sin Kiat, dapat melihat sinar penuh kasih dari mata pemuda gagah itu. Diam-diam ia merasa senang sekali kalau adiknya yang nakal itu kelak dapat berjodoh dengan pemuda ini! “Terima kasih, Sin Kiat. Aku hanya khawatir kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa diri adikku. Dia itu terlalu berani dan sembrono....”

“Han Han, engkau tidak tahu bahwa semenjak berlatih di sini selama satu tahun, Lulu bukanlah Lulu yang dahulu lagi. Ilmu kepandaiannya melonjak secara hebat sehingga Ayah sendiri dan aku, kiranya bukan tandingannya lagi!” kata Sin Lian tentu saja ia melebihkan, kare­na dalam hal kematangan ilmu silat, tentu saja Lulu tidak dapat menandingi­nya.

“Sekarang tiba giliranmu, Han Han. Ketika engkau muncul tadi, kaukatakan bahwa engkau datang membawa berita penting. Akan tetapi sebelum kaucerita­kan itu, aku ingin sekali mendengar mengapa.... kakimu sampai buntung, Han Han.”

Han Han tersenyum pahit dan memandang ke arah kakinya yang buntung, menghela napas panjang dan kemudian berkata, “Urusan kecil.... salahku sendiri dan sudah semestinya buntung. Kakiku buntung akibat hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li....”

“Iblis betina yang kejam....!” Sin Lian berteriak marah, seperti mengeluarkan api. “Dan.... Lulu-moi belum tahu akan hal itu?”

Han Han menggeleng kepala dan memandang. Alangkah kaget dan heran­nya ketika ia melihat mata Sin Lian merah seperti hendak menahan tangis!

“Hemmm, aku sudah mendengar dari suhu akan kekejaman iblis betina itu! Sungguh keji sekali! Han-twako, ke­napa dia melakukan hal sekejam itu?” Han Han menoleh kepada Soan Li yang wajahnya menjadi pucat.

Ia tersenyum. “Tidak kejam, melain­kan sudah menjadi peraturan di In-kok-san begitu. Murid yang melarikan diri aken dihukum buntung kakinya. Dan aku pernah menjadi muridnya, kemudian aku melarikan diri. Ketika akhir-akhir ini tertawan olehnya, kakiku dibuntungi se­belah. Sudahlah, hal ini sudah terjadi, tidak ada gunanya dibicarakan lagi,” Ia terpaksa mengeluarkan ucapan hiburan ini karena melihat betapa Sin Lian dan Soan Li ketihatan marah dan kebencian hebat terpancar keluar dari mata mereka ter­hadap Toat-beng Ciu-sian-li. “Yang pen­ting adalah keperluan yang membawaku datang ke sini. Lauw-pangcu, saya me­rampas sebuah surat dari tangan utusan-utusan Mancu yang ditujukan kepada Su-ciangkun komandan pasukan Mancu yang bertugas melakukan pembersihan. Inilah suratnya, harap Lauw-pangcu dan cu-wi sekalian membaca agar dapat diatur bagaimana baiknya.”

Mata Lauw-pangcu terbelalak ketika ia membaca surat perintah rahasia dari Puteri Nirahai itu dan ketika ia mem­berikan surat itu kepada Sin Lian, kemudian dibaca pula oleh Sin Kiat dan Soan Li, Sin Kiat berseru, “Ahhh! Puteri Ni­rahai inilah orangnya yang menjadi blang keladi permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai! Dia kabarnya amat lihai dan amat cerdik mengatur siasat-siasat licik! Lauw-pangcu, kalau begitu, keadaan pangcu di sini berbahaya, harus cepat-cepat pindah....!”

Lauw-pangcu tetap tenang dan menggeleng kepala. “Wan-sicu lupa bahwa pasukan Mancu belum menerima surat perintah ini.” Tiba-tiba kakek itu memukul telapak tangan kirinya dengan ke­palan kanannya, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh semangat. Biar­pun sudah lama sekali ia tidak lagi aktip dalam perjuangan karena selain merasa tua juga setelah menjadi ayah angkat Lulu hatinya menjadi hambar terhadap perjuangan, kini agaknya timbul kembali jiwa kepahlawanannya. “Ah, ini kesem­patan bagus sekali untuk menghancurkan mereka! Surat ini harus disampaikan ke­pada Su-ciangkun, biarkan mereka me­lakukan penyerangan ke sini. Kita meng­atur barisan pendam, menjebak mereka dan dengan mudah kita akan dapat mem­basmi mereka! Akan tetapi surat perin­tah ini harus disampaikan kepada mere­ka!”

Han Han menerima kembali surat itu dan menyimpannya dalam sampul lalu mengantonginya. “Tepat seperti dugaan saya bahwa pangcu akan mengambil keputusan seperti itu, karena itulah maka saya lebih dahulu datang ke sini. Biarlah saya menyerahkan urusan memasang ba­risan pendam itu kepada pangcu, dan saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi Su-ciangkun untuk menyerah­kan surat ini.”

“Heeiii....! Ah, itu berbahaya sekali! Han Han, biarlah surat itu diserahkan oleh anak buah Pek-lian Kai-pang!”

“Lauw-pangcu, apakah kalau yang menyerahkan anak buahmu tidak ber­bahaya?”

“Memang tetap berbahaya, akan tetapi andaikata anak buahku sampai mati sekalipun dia akan mati dengan rela, mati sebagai gugurnya seorang pejuang.”

“Hemmm, pangcu. Apakah saya takut mati? Tidak, saya sendiri yang harus menyerahkan surat ini, bukan sekali-kali untuk membantu perjuangan karena saya masih belum bisa mengikatkan diri de­ngan perang, melainkan karena alasanku pribadi. Nah, selamat tinggal, aku harus pergi sekarang. Kalau terlalu lama, kha­watir kalau-kalau fihak Mancu tahu bah­wa utusan mereka telah kubunuh dan pembawa surat ini bukan utusan mereka, melainkan palsu!” Setelah berkata demi­kian, Han Han menjura dan cepat ia ter­pincang-pincang keluar dari pondok itu. Setibanya di ruangan depan, para tamu memandangnya dengan penuh perhatian, akan tetapi Han Han tidak mengacuhkan mereka dan terus keluar dari tempat itu, menuruni puncak.

Setelah tiba di lereng puncak itu di mana tidak ada orang lain lagi yang akan melihatnya, Han Han lalu meloncat dan mengerahkan ilmu kepandaiannya yang mujijat, yaitu gerakan-gerakan kilat yang membuat ia dapat bergerak secara luar biasa, berloncatan seperti terbang.

“Han Han....!” Teriakan ini membuat Han Han cepat membuang ilmunya, me­matahkan daya dorongan hebat yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang, cepat ia melayang turun ke atas tanah. Kiranya di situ berdiri Sin Lian yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh kekaguman.

“Han Han.... kau.... kau ah, betapa hebat gerakanmu tadi....!”

Wajah Han Han menjadi merah. Ia merasa jengah karena ilmunya terlihat oleh Sin Lian. “Ah, kau terlalu memuji, Si Lian. Ada urusan apakah engkau me­nyusulku?”

Sin Lian menundukkan muka untuk menghindarkan pertemuan pandang, akan tetapi justeru karena menunduk, ia melihat kaki buntung itu dan seperti diingatkan ia merasa kasihan dan terharu sekali. Kini, di luar tahunya orang lain, ia tidak memaksa diri mempertahankan air matanya dan dua butir air mata menitik turun ke atas sepasang pipinya.

“Eh, Sin Lian.... kau menangis? Kenapa?”

Sin Lian menggigit bibir. Sukar sekali untuk bicara. Akhirnya setelah meng­hapus dua butir air mata dari pipinya tanpa disadarinya bahwa ada dua butir lagi menggantikan yang ia hapus, ia da­pat berkata lirih.

“Aku.... aku kasihan melihatmu.... ngeri hatiku membayangkan betapa kakimu dipotong....”

Han Han tersenyum. “Ah, semenjak kecil engkau adalah seorang gadis yang amat baik hati, Sin Lian. Berkali-kali engkau membelaku dan sampai sekarang pun engkau masih menaruh kasihan ke­padaku. Terima kasih, Sin Lian, engkau benar-benar seorang gadis yang amat berbudi. Aku girang bahwa Lulu telah menjadi adik angkatmu.”

“Han Han, harap kaumaafkan aku....”

“Ehhh? Maafkan? Kenapa?”

“Dahulu, aku telah salah sangka, me­ngira engkau membantu orang-orang Hoa-san-pai untuk memusuhi Siauw-lim-pai sehingga aku menghinamu, menyerangmu.”

Han Han menarik nafas panjang. “Aku­lah yang harus minta maaf kepadamu, Sin Lian. Aku menganggap saudara-sau­daramu orang-orang Siauw-lim-pai se­bagai perampok. Ahhhhh, sudahlah, semua adalah akibat siasat busuk Puteri Nirahai. Percayalah kalau aku dapat bertemu dengan dia, akan kuberi hajaran puteri yang jahat itu! Nah, sekarang aku harap kau suka pulang, aku hendak melanjutkan perjalananku.”

Pemuda buntung itu sudah membalikkan tubuh ketika ia mendengar suara Sin Lian memanggil, “Han Han....!”

Ia memutar tubuh. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, terpesona dan Han Han terkejut bukan main melihat betapa sepasang mata Sin Lian itu mengeluarkan sinar yang sama benar dengan sepasang mata Kim Cu! Salahkah penglihatannya? Ataukah.... ah, mungkinkah seorang dara seperti Sin Lian ini mem­punyai rasa kasih sayang kepada dia seorang buntung? Tentu ia salah menyangka. Hemmm, tak tahu diri, celanya kepada hatinya sendiri sambil cepat mengalihkan pandang, menunduk. Tak tahu diri, seorang pemuda buntung ma­cammu ini mana mungkin menarik kasih sayang seorang dara seperti Sin Lian? Kalau Kim Cu memang benar mencinta­nya, akan tetapi cinta kasih Kim Cu terhadapnya timbul sebelum kakinya bun­tung. Hanya Kim Cu-lah satu-satunya gadis di dunia ini yang dapat mencinta­nya, tentu saja di samping Lulu, adiknya yang ia tahu merupakan satu-satunya manusia yang ia cinta dan yang men­cintanya sepenuh jiwa! Sin Lian men­cintanya? Tak mungkin! Hanya dugaan yang timbul dari rasa iba diri.

“Ada apakah, Sin Lian?” tanyanya dan ia berani lagi mengangkat muka meman­dang setelah berhasil menguasai hatinya. Kini ia tidak melihat lagi sinar aneh dari mata Sin Lian dan diam-diam ia men­tertawakan dirinya sendiri yang ternyata telah salah menduga.

“Han Han, biarkan aku pergi menema­nimu mengantar surat itu ke markas pasukan Mancu. Aku sudah bilang kepada Ayah.”

Han Han terkejut. “Ahhh, tidak mungkin! Semua orang tentu mengenal engkau sebagai puteri Lauw-pangcu dan hal itu amat berbahaya!”

“Apakah kalau engkau yang pergi ke sana tidak berbahaya? Kalau memang akan menghadapi bahaya, biarlah kita hadapi bersama. Aku tidak takut!”

Han Han tersenyum di dalam hatinya. Kalau sudah berkeras kepala begini, Sin Lian seperti masih kanak-kanak, tidak ada perubahan sama sekali sejak dahulu! Akan tetapi ia segera berkata dengan halus.

“Sin Lian, bukan demikian maksudku. Tentu saja engkau pun tidak takut akan bahaya, dan tentu saja kalau ada engkau, kita berdua akan dapat menghadapi musuh lebih kuat lagi. Akan tetapi, kalau engkau ikut, tentu rusak rencana kita semua. Mana mungkin orang-orang Mancu itu percaya akan surat yang ku­bawa ini? Mereka tentu akan curiga dan semua siasat yang diatur Ayahmu akan gagal. Percayalah, kalau aku sendiri yang ke sana dan mengaku sebagai kepercaya­an Puteri Nirahai, tentu mereka akan percaya dan akan dapat terjebak oleh barisan pendam Ayahmu. Selain itu, ada lagi alasan pribadi mengapa aku sendiri harus menghadap perwira she Su itu, Sin Lian.”

“Akan tetapi....”

“Tidak ada tapi, Sin Lian. Engkau tinggallah di sini, dan Ayahmu amat memerlukan bantuanmu untuk menghadapi para penyerbu nanti.” Ketika melihat betapa sinar mata gadis itu masih ber­keras, Han Han cepat menyambung, “Sudahlah, Sin Lian, kalau sudah selesai tugas kita, kelak kita bicara lagi sepuas­nya. Selamat berpisah!” Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat dan ter­kejutlah Sin Lian karena tiba-tiba pemuda buntung itu sudah lenyap dari de­pannya. Ia mengangkat muka, melihat bayangan pemuda itu mencelat ke atas dan terus berloncatan amat cepatnya seperti terbang saja. Sebentar saja ba­yangan pemuda itu hanya tampak seperti sebuah titik hitam yang bergerak-gerak seperti seekor belalang berloncatan.

“Han Han....!” Ia mengeluh, penuh kagum, penuh iba melihat kaki buntungnya dan penuh.... perasaan aneh di hatinya. Sejenak Sin Lian memandang sampai bayangan itu lenyap, lalu ia termenung, dan menundukkan mukanya, teringat ia akan ucapan Lulu tentang Han Han itu. Betapa secara berkelakar Lulu ingin men­jodohkan dia dengan Han Han, betapa Lulu itu secara tepat mengatakan bahwa dia mencinta Han Han. Sin Lian yang berdiri seorang diri itu tersenyum-senyum malu dengan kedua pipi berubah merah sekali, matanya berseri dan sampai lama ia berdiri melamun lupa akan segala. Dia menjadi amat heran akan sikapnya sen­diri, heran akan isi hatinya. Betapapun tampannya, betapapun gagahnya, Han Han adalah seorang pemuda cacad, se­orang buntung! Mengapa hatinya begini tertarik, lebih tertarik dan suka daripada dahulu ketika mereka berdua masih kanak-kanak, bahkan lebih tertarik ketika ia mendengar cerita Lulu, padahal ketika itu ia membayangkan Han Han seorang pe­muda tanpa cacad? Mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kecewa atau ter­hina melihat pemuda buntung itu, mem­bayangkannya berada di sampingnya se­bagai teman hidup? Bahkan ada rasa bangga di hatinya, bangga bahwa biarpun kakinya buntung sebelah, namun Han Han memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan hal itu terbukti dari gerakan pemuda itu yang benar-benar belum pernah ia lihat pada orang lain! Bangga bahwa sebagai seorang buntung kakinya, seorang penderita cacad, Han Han memiliki kelebihan yang banyak sekali ka­lau dibandingkan dengan orang yang utuh badannya.

Sin Lian sama sekali tidak tahu bah­wa bukan hanya dia seorang yang me­ngenang dan memikirkan pemuda buntung itu. Juga Lu Soan Li, gadis tokoh Hoa-san itu, yang semenjak pertemuan per­tamanya dengan Han Han ketika masih belum buntung kakinya dahulu telah jatuh hati, kini setelah bertemu lagi dengan Han Han yang telah buntung kakinya, merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk penuh rasa iba dan haru melihat pemuda itu. Dia merasa heran mengapa hatinya seperti itu, ingin ia menghibur pemuda buntung itu, ingin membela, ingin membahagiakan hidupnya dan meng­usir awan kesengsaraan yang seolah-olah menyelimuti wajah tampan yang berambut panjang itu.

“Suheng, aku merasa khawatir sekali kalau-kalau dia akan menemui bencana di markas pasukan Mancu. Dia seorang diri saja dan.... kakinya sudah buntung. Ah, suheng, mengapa kau tadi tidak mence­gahnya pergi? Bukankah lebih baik su­heng atau aku yang pergi mewakilinya? Sungguh kita keterlaluan sekali, membiarkan seorang buntung menempuh ba­haya di sarang harimau!”

“Engkau maksudkan Han Han?” Sin Kiat bertanya, kemudian ia mengangguk. “Memang berbahaya sekali. Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, sumoi?”

“Suheng, biarlah secara diam-diam aku membayanginya. Dia berjuang untuk perjuangan bersama, kalau sampai gagal, bukan hanya dia akan celaka, akan tetapi kita di sini semua pun akan mengalami malapetaka. Akan tetapi hal ini lebih baik dirahasiakan, suheng. Suheng mem­bantu persiapan di sini, membantu Lauw-pangcu yang akan mengatur barisan pen­dam untuk menjebak pasukan Mancu, sedangkan aku membantu Han-twako....”

Sin Kiat memandang wajah sumoinya dengan tajam, kemudian menghela napas dan berkata, suaranya tegas mengandung pertanyaan yang menuntut jawaban se­jujurnya.

“Sumoi, engkau jatuh cinta kepada Han Han, bukan?”

Sunyi sejenak. Soan Li menundukkan mukanya dengan kedua pipi merah sekali, tak berani menentang pandang mata suhengnya yang penuh selidik, kemudian sambil menunduk ia menjawab, suaranya juga penuh tuntutan yang membela diri.

“Suheng, agaknya tidak banyak bedanya dengan perasaan hati suheng ter­hadap Lulu.”

Sin Kiat menarik napas panjang, lalu memegang pundak sumoinya, memaksa tubuh sumoinya menjadi tegak untuk memandang wajah sumoinya. “Soan Li, sumoiku yang manis. Engkau tahu bahwa aku adalah sebagai kakakmu sendiri. Aku tidak akan menyalahkan perasaan hatimu, tidak pula hendak menekan kebebasan hatimu. Bahkan aku tidak akan mencela kalau engkau jatuh cinta kepada Han Han, karena memang dia seorang pemuda yang hebat! Aku sendiri amat kagum kepadanya. Dan aku tidak akan menyangkal lagi bahwa aku jatuh cinta kepada Lulu, maka akan amat picik dam liciklah kalau aku mencela sumoi jatuh cinta kepada Han Han. Akan tetapi, keadaanmu berbeda dengan keadaanku, sumoi. Engkau telah ditunangkan dengan Tan-siucai (Sastrawan Tan) oleh suhu. Engkau tidak bebas lagi, menjadi calon isteri orang lain! Karena itu, sebagai wakil suhu, aku peringatkan kepadamu, sumoi, agar engkau selalu ingat akan kenyataan itu dan jangan menurutkan perasaan hati yang akan menyeretmu ke jalan sesat.”

Tiba-tiba Soan Li bangkit berdiri dan memandang suhengnya dengan mata pe­nuh kemarahan. “Suheng, apakah suheng menilai saya serendah itu?”

“Eh, sumoi, apa maksudmu?” Sin Kiat juga bangkit berdiri, alisnya berkerut.

“Suheng sendiri mengerti bahwa saya ditunangkan oleh suhu dan sebagai murid yang tidak mempunyai orang tua lagi, saya harus mentaati kehendak suhu. Saya belum pernah melihat wajah tunanganku, dan tentu saja saya tidak mencintanya. Kalau sekarang saya mencinta orang lain, adakah itu merupakan pelanggaran? Ada­kah itu merupakan perbuatan atau pe­rasaan sesat? Aku mencinta Han Han, akan tetapi hal ini hanya merupakan perasaan hati saja. Jangan suheng me­ngira bahwa saya akan melupakan kesusi­laan, akan melakukan hal-hal yang rendah dan hina, akan mengkhianati ikatan jodoh yang sudah dilakukan suhu! Jangan sekali-kali suheng mengira bahwa dengan cinta kasihku ini aku lalu akan melaku­kan hal-hal yang sesat!”

Melihat sumoinya berdiri dengan muka mangar-mangar (kemerahan) saking marah dan penasaran, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan dua butir air mata seperti dua butir mutiara yang perlahan-lahan menetes turun ke atas kedua pipinya yang kemerahan menandakan bahwa hatinya terluka dan berduka, Sin Kiat lalu memegang kedua lengan sumoinya dan berkata.

“Maafkan aku.... maafkan aku.... sumoi. Sungguh tidak patut aku mencuri­gai sumoiku yang bijaksana. Ahh, sumoi, kalau memang sedemikian kuat pendiri­anmu, aku pun tidak akan ragu-ragu lagi. Memang sebaiknya kalau Han Han di­bantu, karena tugasnya amat penting. Silakan, akan tetapi, hati-hatilah, sumoi.”

Soan Li terisak, saking girangnya dan saking terharu hatinya. Ia menghapus air matanya dan mencengkeram lengan suhengnya. “Suheng,” katanya gemetar, “terima kasih, suheng. Akan tetapi berjanjilah jangan sampai rahasia hatiku ini terdengar oleh siapa pun juga.... akan kusimpan sebagai rahasia.... kubawa mati....”

Melihat sumoinya berkelebat hendak pergi, Sin Kiat memanggil. “Sumoi!” Su­moinya menahan kakinya, menengok.

“Sumoi, hati-hatilah, sumoi....!”

Soan Li tersenyum manis kepada kakaknya, senyum mulutnya akan tetapi berlinangan air matanya. Setelah sumoi­nya pergi, Sin Kiat termenung. Takkan terlupakan selamanya bayangan wajah sumoinya ketika menengok tadi, wajah yang tersenyum manis akan tetapi yang diliputi kedukaan besar, kedukaan yang timbul karena kekecewaan hati, cinta kasih yang takkan dapat tersampaikan karena gadis itu telah terikat oleh jodoh yang ditentukan oleh suhu mereka. Wa­jah yang manis, akan tetapi betapa menyedihkan senyum di antara linangan air mata! Berulang kali Sin Kiat menarik napas panjang dan diam-diam ia menyesal mengapa suhunya menentukan jodoh bagi sumoinya. Ia merasa yakin bahwa calon suami yang dipilihkan suhunya itu tentulah seorang yang benar-benar baik, akan tetapi apakah artinya kebaikan seseorang sebagai calon suami tanpa di­sertai rasa cinta dari fihak calon isteri?

Sin Kiat mencoba melupakan rasa duka di hatinya itu dengan menyibukkan dirinya membantu Lauw-pangcu yang mu­lai mengumpulkan anak buahnya bahkan dibantu oleh para tamu mengatur jebakan untuk menyambut serbuan pasukan Mancu.

Tidaklah terlalu sukar bagi Han Han untuk mendapatkan markas pasukan Man­cu yang dicarinya. Markas itu berada di tepi sungai, sebuah dusun yang penduduknya telah diusir dan kini dusun itu di­ubah menjadi sebuah markas yang terjaga kuat. Ketika ia berjalan terpincang-pincang dan berhadapan dengan puluhan orang tentara penjaga yang segera meng­urungnya dengan todongan golok dan tombak, diam-diam Han Han merasa beruntung bahwa dia membawa surat perintah rahasia itu untuk dapat bertemu dengan Su-ciangkun. Tanpa surat itu, biarpun ia sanggup menerobos memasuki markas, namun hal itu tentu saja akan amat berbahaya mengingat betapa ketatnya penjagaan dan bahwa markas itu tentu dihuni oleh ribuan orang tentara yang tak mungkin akan dapat dilawannya sendirian saja.

“Berhenti! Siapa engkau dan mau apa mendekati benteng penjagaan?” bentak seorang pemimpin regu yang mengurung­nya sambil menodongkan ujung goloknya di leher Han han.

Han Han bersikap angkuh dan ia menjawab, “Jangan bersikap kurang ajar kalau kalian tidak ingin dihukum oleh Su-ciangkun! Aku adalah utusan pribadi Puteri Nirahai dari kota raja, membawa surat pribadi beliau untuk disampaikan kepada Su-ciangkun!”

Ujung golok itu agak menjauhi lehernya, namun pengurungan masih ketat. Suara kepala regu itupun tidaklah galak lagi ketika bertanya.

“Hemmm, bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau adalah utusan dari kota raja? Masa kota raja mengutus seorang.... eh, pincang.... dan apa tandanya bahwa engkau adalah utusan kota raja?”

Han Han tersenyum di dalam hatinya. Biarpun masih memperlihatkan keraguan, setidaknya kepala regu ini sudah berhati-hati sehingga tidak berani menyebutnya buntung, melainkan pincang sungguh­pun ia tidak dapat membedakan mana yang lebih merendahkan antara sebutan pincang dan buntung,

“Hemmm, beranikah engkau meragu­kan utusan Sang Puteri Nirahai? Tidak tahukah engkau, apa pura-pura tidak tahu bahwa Puteri Nirahai terkenal mempunyai banyak pembantu orang-orang kang-ouw sebagai pengawal-pengawal pribadi dan pengawal-pengawal rahasia? Karena se­kali ini Puteri Nirahai mengirim perintah rahasia dan pribadi kepada Su-ciangkun, tentu saja mengutus seorang di antara pembantu-pembantu pribadinya, dan tidak mengutus utusan resmi. Mengertikah?”

Tentu saja para penjaga itu mengenal atau setidaknya sudah mendengar akan kekuasaan Puteri Nirahai, karena pemim­pin pasukan-pasukan yang bermarkas di situ, Su-ciangkun, adalah anak buah pu­teri yang amat mereka kagumi dan hor­mati itu. Akan tetapi karena Han Han hanya seorang pemuda buntung yang sama sekali tidak mengesankan, tentu saja mereka pun ragu-ragu apakah benar orang muda macam ini menjadi utusan pribadi Puteri Nirahai.

“Maafkan kami kalau engkau betul utusan dari kota raja, orang muda. Akan tetapi, betapapun juga, kami sebagai petugas-petugas yang melakukan pen­jagan, tidak akan berani memperbolehkan orang luar lewat tanpa lebih dulu yakin bahwa engkau benar-benar utusan dari kota raja.”

“Hemmm, kalian boleh juga, tahu akan kewajiban sebagai penjaga-penjaga yang tertib. Nah, sekarang lihatlah ini, apakah engkau masih ragu-ragu melihat cap dari Sang Puteri?” Ia mengeluarkan surat bersampul dan memang di baglan depan sampul itu, di atas kiri terdapat cap dari puteri yang berwarna merah. Tentu saja sebagian tentara biasa, para penjaga itu selamanya belum pernah melihat cap sang puteri, hanya mereka merasa malu untuk mengakui kebodohan mereka. Kepala regu mengangguk-angguk dengan hati bingung, lalu berkata.

“Baiklah, mari kuajak menghadap Su-ciangkun!”

Dengan hati berdebar Han Han lalu dikawal kepala regu itu memasuki ben­teng dan diam-diam ia terkejut melihat banyaknya tentara dengan perlengkapan yang hebat. Tidak mengherankan kalau pasukan-pasukan Mancu selalu mendapat kemenangan, kiranya selain bala tentara­nya banyak, juga perlengkapan mereka cukup, dipimpin pula oleh orang-orang pandai. Dia dibawa memauki sebuah gedung besar di tengah markas dan juga di sini terdapat penjagaan yang ketat. Setelah melalui lima lapisan penjagaan yang makin lama makin kuat, akhirnya Han Han dibadapkan pada seorang per­wira Mancu yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan alisnya tebal sekali. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang benar-benar patut menjadi seorang pembesar tentara. Melihat wajah perwira ini, jantung Han Han berdebar dan terbayanglah segala peristiwa yang ia lihat belasan tahun yang lalu. Tidak salah lagi, inilah wajah seorang di antara tujuh perwira, wajah yang dulu ikut ter­tawa-tawa ketika berpesta di dalam ru­mahnya, dilayani oleh ayahnya yang membongkok-bongkok dan merendahkan diri! Sungguhpun yang memperkosa encinya dan ibunya hanya dua orang per­wira yang ia kenal sebagai Giam Cu yang kini menjadi cihunya, dan Giam Kok Ma yang kini ia anggap sebagai musuh nomor satu, namun lima orang perwira lain takkan pernah terlupa oleh­nya. Lima orang perwira lainnya itupun ikut bertanggungjawab atas terbasminya keluarga orang tuanya! Ia menekan pera­saan hatinya yang menegang penuh den­dam ketika tiba-tiba perwira tinggi be­sar itu menegurnya dengan suara parau dan penuh wibawa.

“Heh, orang muda yang buntung! Engkau mengaku sebagai utusan Puteri Ni­rahai di kota raja! Kalau benar demiki­an, apa yang ditugaskan padamu?”

Han Han sadar dari lamunannya dan mendengar pertanyaan ini, maklumlah ia bahwa kepala regu yang mengawalnya sudah melaporkan kepada atasannya tan­pa ia ketahui karena ia tadi termenung seperti orang mimpi. Segera ia mem­bungkuk dan menjawab.

“Benarkah saya berhadapan dengan Su-ciangkun yang memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan di sekitar lembah Huang-ho? Karena saya membawa perintah pribadi Sang Puteri untuk meng­hadap Su-ciangkun sendiri, maka saya tidak mau kalau sampai salah alamat!”

“Ha-ha-ha-ha! Bukan aku yang men­curigai engkau apakah betul-betul utusan Sang Puteri, malah engkau yang mencuri­gai apakah aku betul-betul Su-ciangkun. Ha-ha-ha, sungguh lucu!” Perwira tinggi besar itu menepuk--epuk meja dan tiba-tiba mejanya amblas ke dalam lantai bersama kursi yang didudukinya dan se­belum ia lenyap ke bawah melalui lantai rahasia, terdengar suaranya, “Tangkap dia dan rampas suratnya!”

Han Han terkejut sekali dan ketika ia memandang, ternyata ia telah dikurung oleh sembilan orang tinggi besar yang memegang golok dan bersikap mengan­cam. Diam-diam ia merasa heran. Apa­kah perwira itu mengenalnya sebagai utusan palsu? Kalau benar demikian, mengapa tidak sejak tadi ia ditangkap? Dan kalau memang benar demikiang,meng­apa dia dipancing ke sini lebih dulu kemudian hanya dikurung oleh sembilan orang ini? Mengapa tidak dikerahkan pasukan besar untuk menangkap atau membunuhnya? Ah, tak mungkin kalau Su-ciangkun mengetahui bahwa dia adalah seorang utusan palsu. Tentu perwira yang cerdik ini hendak mengujinya karena memang sudah terkenal bahwa para pem­bantu Puteri Nirahai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat ia akan Setan Botak dan tokoh-tokoh aneh lain yang hadir ketika ia hendak ditangkap oleh Toat-beng Ciu-sian-li dahulu. Ia lalu tersenyum dan memandang ke sekeliling, kemudian ber­kata tenang.

“Apakah kalian begini tak tahu diri hendak mengganggu utusan Puteri Nira­hai? Apakah kalian ini masing-masing memiliki nyawa rangkap?”

Sembilan orang itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin menjawab, “Kami hanya melaksanakan perintah So-ciangkun yang bertanggung jawab dan kalau memang engkau benar-benar utusan Sang Puteri, tentu tidak akan gentar menghadapi kami!”

Han Han tertawa derigan hati lega karena yakinlah ia sekarang bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar hanya mengujinya. “Ha-ha-ha! Kalian kira begitu mudah akan merampas surat yang dipercayakan kepadaku? Surat ini sama dengan nyawaku, kalau kalian akan merampasnya, jangan harap sebelum dapat membunuhku!”

Tiba-tiba pemimpin itu berseru dan serentak sembilan orang itu maju menyerang Han Han. Pemuda ini maklum bahwa ia harus mengalahkan sembilan orang pengeroyoknya, akan tetapi ia tidak boleh terlalu menonjolkan kepandaiannya agar jangan mengejutkan hati perwira itu yang ia sangka tentulah mengintai dari tempat rahasia. Maka ia pun lalu mengerakkan tongkatnya sambil mengerahkan tenaga, tidak mempergunakan ilmunya gerak kilat. Ia memutar tongkat menghadapi golok mereka, berpusing pada satu kakinya. Tongkatnya berubah menjadi segulung sinar yang bagaikan seekor naga melingkar menangkis sembilan batang golok yang menyerangnya. Terdengar suara nyaring sekali, sembilan kali berturut-turut, disusul golok-golok itu beterbangan cepat dan robohlah sembilan orang itu seorang demi seorang karena sambungan lutut kanan mereka telah terlepas dicium ujung tongkatnya yang bergerak amat cepat sehingga tak dapat diikuti pandang mata para peiigeroyoknya! Sembilan orang itu saking heran dan kagetnya tidak sempat berteriak dan hanya roboh memegangi lutut dan memandang Han Han dengan mata terbelalak.

Pintu terbuka dari luar dan muncul­lah Su-ciangkun sambil tertawa bergelak dan mengangkat ibu jari kanannya tinggi­. “Ha-ha-ha, bukan main! Para pembantu pribadi Sang Puteri benar-benar hebat dan sicu merupakan seorang di antara yang paling hebat! Merobohkan sembilan orang pengawalku dalam segebrakan saja! Bagaimana mungkin dapat kupercaya kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri? Hebat.... hebat....!”

Menurut keinginan hatinya, Han Han bernafsu sekali untuk bergerak mem­bunuh musuh besarnya ini. Akan tetapi dia tidak mau sembrono. Pertama, ia tidak mau kesalahan tangan. Setelah banyak peristiwa hebat terjadi karena kesalahan sangka sehingga akibatnya ia membunuhi orang-orang Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, kini ia tidak mau ber­tindak sembrono lagi. Ke dua, tempat itu merupakan tempat yang amat berbahaya karena kalau ia dikurung oleh ribuan orang tentara, sangatlah sukar untuk menyelaniatkan diri. Maka ia lalu menjura dan berkata sambil tersenyum.

“Ciangkun terlalu memuji. Apakah kini ciangkun percaya bahwa saya adalah utusan pribadi Puteri Nirahai?”

“Percaya.... percaya....! Hanya kepandaianmu yang membikin aku percaya, sicu. Kalau bukan pribadi, tentu membawa tanda-tanda dari pasukannya. Akan tetapi aku sudah tahu akan pembantu-pembantu pribadi Sang Puteri yang terdiri dari orang-orang aneh. Hanya di antara mereka itu belum pernah aku mendengar akan seorang pembantu yang..... eh, maaf, yang kakinya buntung seperti sicu. Aku mengenal Gak-locianpwe....”

“Maksudmu Kang-thouw-kwi, ciang­kun?”

“Benar, dan masih ada lagi tiga orang murid beliau....” Perwira itu berhenti sambil memandang muka Han Han. Pe­muda ini tahu bahwa perwira itu lagi-lagi mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata.

“Tentu ciangkun maksudkan Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio?”

“Aha, kiranya sicu telah mengenal pula mereka. Tentu saja, sebagai pem­bantu kepercayaan Sang Puteri, sicu tentu mengenal mereka semua. Kini aku tidak ragu-ragu lagi, marilah kita bicara di dalam, sicu.”

Perwira itu lalu menggandeng tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu me­masuki sebuah kamar di dalam gedung itu. Han Han melihat bahwa di depan tiap pintu dan jendela kamar inipun di­jaga oleh belasan orang pengawal, maka ia menjadi makin berhati-hati lagi. Kamar itu besar dan megah, di dalamnya terdapat tiga orang wanita muda yang pakaian suteranya membayatigkan tubuh-tubuh mulus tanpa pakaian dalam. Mere­ka itu cantik-cantik dan begitu memasuki kamar, Su-ciangkiin lalu menyuruh mere­ka pergi. Tiga orang wanita itu tadinya melempar pandang mata mesra kepada wajah Han Han yang tampan, akan tetapi ketika melihat ke bawah, ke arah kaki Han Han yang buntung, mereka mem­buang muka dan segera berjalan pergi dengan langkah-langkah lemah gemulai seperti menari, tubuh mereka yang mem­bayang dari balik sutera tipis itu ber­gerak menggairahkan, lenyap memasuki kamar lain melalui sebuah pintu yang tertutup tirai sutera merah.

“Silakan duduk, sicu. Siapakah nama sicu?”

“Saya she Suma, ciangkun.” Han Han sengaja menggunakan nama Suma, nama keturunannya yang asli malah, karena ia khawatir kalau-kalau perwira ini telah mendengar nama Sie Han.

Agaknya perwira itu tergesa-gesa ingin membaca surat yang dibawanya, maka tidak menanyakan namanya sehingga legalah hati Han Han yang tidak perlu membohong dan mencari nama palsu lagi. Ia lalu mengeluarkan surat bersampul itu dari sakunya, menyerahkan kepada perwira itu.

Perwira itu menerima surat, mengamati tulisan dan capnya, kemudian membuka sampul dan mengeluarkan suratnya. Setelah membaca surat itu, wajah per­wira itu berseri dan ia menepuk pahanya sendiri. “Bagus! Kiranya di sana tempat persembunyian kakek jembel yang telah lama kucari-cari itu? Hemmm, benar-benar Sang Puteri amat hebat dan cer­dik, sudah dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Sekarang ini akan dapat kuhancurkan sisa-sisa Pek-lian Kai-pang yang sudah banyak membikin pusing para petugas keamanan! Silakan Suma-sicu kembali ke kota raja dan melapor­kan bahwa kami akan melaksanakan pe­rintah Sang Puteri sebaik-baiknya. Dan sebaiknya sicu menunggang kuda, akan kuperintahkan menyediakan kuda terbaik dan bekal secukupnya!”

Akan tetapi Han Han mengangkat tangan kanannya dan berkata, “Tidak, ciangkun. Saya menerima tugas dari Sang Puteri untuk menyaksikan sendiri sampai perintah itu dilakukan dengan hasil baik, bahkan saya diperintahkan membantu. Setelah berhasil, baru saya akan kembali ke kota raja dan menyam­paikan pelaporan kepada Sang Puteri.”

“Begitukah? Bagus sekali!” Perwira itu menjadi girang dan wajahnya berseri. “Dengan bantuan sicu yang gagah perkasa, akan lebih cepat para pemberontak itu dihancurkan!” Perwira itu lalu ber­tepuk tangan dua kali. Masuklah lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Dengan suara keras dan singkat Su-ciang­kun memberi perintah untuk mengeluar­kan hidangan.

Han Han merasa sungkan sekali, karena ketika perwira itu mengajaknya makan minum telah memanggil tiga orang wanita cantik setengah telanjang tadi dan menyuruh mereka melayani!

“Ha-ha-ha, jangan sungkan-sungkan, Suma-sicu. Mereka ini adalah selir-selirku yang bertugas mengawani dan melayaniku di sini. Jangan sungkan, kalau sicu menginginkan seorang di antara mereka, tun­juk saja! Ha-ha-ha, aku akan merasa bangga kalau ada selirku yang memenuhi selera seorang seperti sicu.”

“Terima kasih, ciangkun. Ti.... tidak.... saya.... saya amat lelah dan setelah makan akan beristirahat. Per­jalanan jauh yang saya lakukan amat melelahkan. Pula, saya rasa ciangkun akan melakukan persiapan secepatnya untuk segera menyerbu para pemberontak itu.”

“Ha-ha-ha-ha! Suma-sicu benar me­ngagumkan, begini penuh semangat! Baik­lah, kalau sicu ingin beristirahat.” Ia memberi tanda dengan tangan kepada seorang di antara tiga orang wanita itu. “Kau antarkan Suma-sicu ke kamar tamu sebelah kanan!”

Han Han menjura kepada perwira itu, menyambar tongkatnya dan terpincang-pincang mengikuti wanita yang berjalan dengan pinggul menari-nari. Wanita itu membawanya ke sebuah kamar yang indah dan terlalu bersih bagi Han Han yang semenjak meninggalkan Istana Pulau Es belum pernah memasuki kamar se­indah ini.

“Saya akan menemani taihiap semalam di sini....” Wanita itu tersenyum dan membanting tubuhnya ke atas tem­pat tidur. Karena ia menjatuhkan diri terlentang, sutera penutup tubuhnya yang memang tidak rapat itu tersingkap dan tampaklah oleh Han Han kulit paha dan perut yang putih kuning. Matanya menjadi “silau” dan ia memejamkan kedua matanya.

“Hi-hi-hik.... marilah taihiap.... apakah seorang gagah perkasa seperti taihiap takut kepadaku? Hi-hik....!” Han Han merasa betapa kedua lengan wanita itu yang telah bangkit seperti dua ekor ular merayap melingkari lehernya, tubuh wanita itu menggeser-geser tubuhnya dan bau harum memasuki hidungnya. Han Han mengeraskan hati dan sekali renggut dan mendorong, tubuh wanita itu terhuyung ke belakang dan wanita itu menjerit kecil.

“Maaf....!” Han Han membuka matanya. “Aku.... aku mau tidur sendiri.”

Wanita itu tertawa. “Hi-hik, taihiap masih.... masih jejaka tulen?”

Han Han memandang tajam dan berkata agak ketus, “Pergilah, aku mau mengaso!”

Ketika bertemu pandang dengan sinar mata pemuda itu, si wanita kaget dan seperti seekor anjing dipukul dia ter­gesa-gesa pergi dari kamar itu melalui pintu, lupa untuk menggoyang kibulnya seperti biasa!

Hari itu juga Su-ciangkun mengadakan persiapan, memanggil semua perwira pembantunya dan mengatur rencana un­tuk mengirim seribu orang pasukan me­nyerbu tempat persembunyian Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho. Han Han yang diberi kebebasan pura-pura ikut pula melakukan pemeriksaan, bahkan ia lalu membantu untuk melakukan penjaga­an dengan dalih kalau-kalau ada mata-mata musuh yang menyelundup dan me­ngetahui persiapan mereka. Su-ciangkun yang sudah mempercayainya tidak men­jadi curiga dan Han Han lalu keluar dari benteng untuk “melakukan pemeriksaan” di luar daerah benteng. Padahal ia hendak mengenal tempat itu sehingga kalau sewaktu-waktu ia turun tangan membunuh musuhnya, ia akan mengenal jalan untuk menyelamatkan diri. Ia mengambil keputusan untuk membiarkan Su-ciangkun mengirim pasukannya untuk dibasmi oleh Lauw-pangcu yang mema­sang jebakan, kemudian dengan alasan ikut pula menyerbu, ia akan mempunyai banyak kesempatan “membereskan” musuh besarnya itu.

Hari telah menjadi malam ketika Han Han berjalan-jalan di luar benteng tanpa dicurigai para penjaga yang kini meng­anggapnya sebagai seorang utusan kota raja yang menjadi tamu Su-ciangkun, dan bahkan pemuda yang kabarnya amat lihai itu akan membantu pula penyerbuan sa­rang pemberontak. Tiba-tiba Han Han melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon di luar benteng. Pan­dang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bayangan itu adalah orang yang tidak ingin dilihat penjaga. Cepat ia menengok ke kanan kiri dan setelah me­rasa yakin tidak ada penjaga yang me­lihatnya, ia menggunakan kepandaiannya mencelat ke tempat itu, menyelinap di antara gerombolan pohon, mencelat ke atas dan tampaklah olehnya bayangan hitam berindap-indap di antara batang-batang pohon. Bagaikan seekor burung garuda menyambar, tubuhnya menukik ke bawah, ke arah bayangan itu.

Sebatang pedang yang berkilauan sinarnya menyambut tubuhnya. Han Han cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sambil berbisik, “Sssttttt, aku Han Han, Nona Lu....!”

Lu Soan Li, bayangan itu, kaget bu­kan main. Kaget karena hampir saja pedangnya melukai atau membunuh orang yang hendak dilindunginya! Juga ia amat kagum, bahkan tidak mengerti bagaimana pergelangan tangannya sampai dapat ditangkap oleh orang yang diserangnya itu. Kagum betapa setelah kakinya bun­tung, agaknya Han Han kini malah me­miliki kelihaian yang amat luar biasa!

“Han-twako.... kau.... ahhh, betapa gelisah hatiku setengah hari lamanya, aku berkeliaran di sini, tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mendengarkan hasil kunjunganmu ke sarang harimau itu!” kata Soan Li sambil menyimpan pedangnya, setelah menarik napas lega melihat bahwa orang yang dijadikan ke­nangan ternyata selamat.

“Nona, kenapa engkau bisa berada di sini? Mengapa engkau.... eh, agaknya menyusulku....?”

“Aku.... mengkhawatirkan keadaanmu, twako. Dan aku ingin.... ingin membantumu....”

Han Han memandang muka yang ditundukkan itu. Cuaca sudah gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat muka tun­duk itu di bawah sinar bintang-bintang yang memenuhi langit biru. Heran dia mengapa nona ini susah payah hendak melindunginya? Ingin ia menegur, akan tetapi melihat gadis itu menundukkan muka dan bersikap seperti seorang anak kecil takut dimarahi, ia tidak tega untuk menegur, hanya berkata.

“Ah, kenapa Sin Kiat membiarkan engkau menempuh bahaya ini? Kedatang­anmu ini amat berbahaya, Nona.”

“Apakah kunjunganmu ke benteng itu tidak kurang berbahaya?”

Han Han menghela napas. “Nona, aku telah berhasil bertemu dengan Su-ciang­kun. Besok pagi-pagi pasukan terdiri dari seribu orang akan diberangkatkan ke sana untuk menyerbu. Lebih baik malam ini juga Nona kembali ke sana memberi kabar kepada Lauw-pangcu. Aku akan pura-pura ikut menyerbu. Kembalilah....”

“Akan tetapi.... apakah.... apakah amat yakin hatimu bahwa engkau tidak.... tidak akan terancam bahaya di sana....?” Bertanya demikian, saking khawatirnya, Soan Li sampai lupa diri dan kedua tangannya memegang lengan Han Han.

Han Han merasa betapa dari jari-jari tangan itu tersalur getaran-getaran aneh. Jantungnya berdebar. Apa pula ini? Mengapa gadis ini begini mengkhawatir­kan keselamatannya sehingga melupakan keselamatan diri sendiri? Apakah yang terjadi dalam hati nona ini? Seperti mimpi, tanpa ia sadari, mulutnya mengeluar­kan bisikan hatinya yang penuh dugaan dan pertanyaan.

“Lu-siocia, mengapa tanganmu gemetar....?”

Soan Li yang mendengar ini seperti didongkel isi hatinya, jari-jari tangannya malah mencengkeram lengan Han Han dan suaranya terdengar penuh perasaan dan gemetar!

“Twako.... Han-twako, aku.... amat khawatir kalau-kalau engkau akan cela­ka....”

Han Han tertawa. Teringat ia akan adiknya, Lulu. Dalam keadiaan gelap, ia merasa seolah-olah gadis ini adalah Lulu. Bentuk tubuhnya hampir sama, dan ha­rum rambutnya sama dengan harum ram­but Lulu, suaranya juga hampir sama menggetarkan kekhawatiran dengan per­hatian sepenuhnya atas keselamatan diri­nya. Karena teringat kepada Lulu, Han Han merasa terharu sekali dan mengangkat kedua tangan, ditaruhnya kedua tangan ke atas pundak Soan Li dan ber­kata dengan suara halus.

“Adikku yang baik, jangan engkau mengkhawatirkan aku....!”

Han Han terkejut sekali karena tiba-tiba gadis itu terisak dan ia merasa betapa muka itu menimpa dadanya, dan bajunya menjadi basah oleh air mata yang menembus ke kulit dadanya! Se­jenak ia tertegun, terharu dan tangannya mengusap rambut yang halus itu. Kemu­dian ia teringat bahwa bukan Lulu yang dielus rambutnya, melainkan Lu Soan Li, Hoa-san Kiam-li! Ia menurunkan tangannya dan bertanya.

“Nona Lu.... mengapa kau....?”

Soan Li menahan napas, menahan tangis, kemudian merenggangkan tubuhnya. “Twako.... aku.... aku.... akan merasa sengsara sekali kalau kau sampai celaka.... hati-hatilah, twako....!” Tubuhnya lalu berkelebat dalam gelap dan ia lenyap dari depan Han Han ditelan kegelapan malam. Sampai lama Han Han berdiri termenung di tempat itu, menge­rutkan keningnya dan tiada habisnya mengherankan sikap gadis itu.

Karena ia benar-benar tidak mengerti dan tidak dapat menduga apa yang me­nyebabkan Soan Li berhal seperti itu, menangis di dadanya dan mengucapkan kata-kata seperti itu, ia menggaruk-garuk rambut kepalanya. Mimpikah dia? Diraba­nya bajunya. Masih basah oleh air mata gadis itu. Soan Li telah menangis karena mengkhawatirkan keselamatannya! Betapa mungkin ini? Terbayanglah ia akan wajah Sin Lian. Tak salah lagi, Sin Lian men­cintanya, Seperti Kim Cu. Ahhh, Kim Cu, Sin Lian, dan Soan Li! Tiga wajah gadis jelita itu berganti-ganti terbayang di depan matanya, membuat Han Han menjadi bingung dan pandang matanya kabur, kepalanya pening. Ia cepat-cepat membalikkan tubuhnya kembali ke benteng. Lebih baik menghilangkan kebingungan ini dengan tidur nyenyak, untuk menghadapi peristiwa besok pagi. Besok ia akan membunuh Su-ciangkun, akan tetapi ia harus mendapat kepastian lebih dulu bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar seorang di antara tujuh orang perwira yang menjadi musuh besarnya.

Soan Li berlari di malam gelap sambil masih terisak-isak. Hatinya penuh dengan dua macam perasaan, bahagia dan juga berduka. Han Han mencintanya! Terasa oleh hatinya, ketika tangan pemuda itu terletak di atas kedua pundaknya, ketika jari-jari tangan itu mengelus rambutnya. Dan dia, biarpun tanpa kata-kata, telah memperlihatkan rasa cintanya terhadap pemuda itu. Matanya terasa panas ketika ia teringat akan hal ini. Ia merasa malu sekali. Ah, malu apa? Biarlah! Memang demikian kenyataan hatinya. Dia mencinta Han Han! Biarpun takkan mungkin dia menyambung cinta kasihnya dengan perjodohan, biarpun dia akan menjadi isteri orang lain, hanya tubuhnya saja yang terpaksa ia serahkan kepada suami pilihan gurunya. Akan tetapi hati dan kasih sayangnya telah ia serahkan kepada Han Han!

Soan Li menjatuhkan diri di bawah pohon. Duduk bersandar pohon, menge­nangkan semua peristiwa tadi. Peristiwa yang takkan ia lupakan selama hidupnya. Biarlah, selagi masih jelas terukir di lubuk hatinya, selagi sentuhan tangan Han Han pada pundak dan rambutnya masih terasa hangat, selagi air matanya yang tadi membasahi dada pemuda itu kini masih ada sisanya, biarlah ia me­ngenangkan saat-saat bahagia itu. Gadis itu tersenyum penuh kebahagiaan, akan tetapi air matanya terus mengalir.

Tak lama kemudian ia meloncat ba­ngun dan melanjutkan perjalanannya. Ia teringat akan tugasnya. Dia harus segera melapor kepada Lauw-pangcu agar dapat melakukan persiapan sebaiknya. Musuh akan menyerbu, berangkat besok pagi. Seribu orang banyaknya! Karena malam gelap dan perjalanan itu melalui hutan-hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho, Soan Li tidak dapat mempergunakan lari cepatnya. Ia berjalan dengan cepat menyusuri sungai. Baru nanti menjelang pagi ia akan tiba di sarang Pek-lian Kai-pang. Namun belum terlambat. Pasukan musuh baru akan berangkat besok pagi, tentu akan menyerbu besok sore.

Lewat tengah malam, selagi gadis ini berjalan dekat sungai, tiba-tiba ia melihat dua buah perahu mendarat. Ia menjadi curiga, apalagi ketika melihat betapa orang-orang yang berloncatan keluar dari dua buah perahu itu amat gesit dan ringan tubuhnya. Cepat ia menyelinap di antara pohon dan mendekati mereka. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat orang terakhir yang keluar dari perahu adalah Ma-bin Lo-mo! Ouw Kian si Muka Bopeng juga berada di situ, bersama seorang yang mukanya seperti tengkorak dan seorang hwesio bertubuh gemuk. Dia menduga-duga. Apakah Ma-bin Lo-mo dan pembantu-pembantunya itu akan menyerbu pula ke benteng? Biarpun Ma-bin Lo-mo terkenal seorang pejuang pula, akan tetapi ter­ingat akan sikapnya ketika menghadiri perayaan ulang tahun Lauw-pangcu, Soan Li menganggapnya sebagai musuh dan ia merasa lega bahwa kakek lihai itu mun­cul terakhir sehingga kehadirannya di situ tidak diketahui orang. Kalau Ma-bin Lo-mo yang meloncat ke darat lebih dulu, besar bahayanya kedatangannya men­dekat akan diketahui oleh tokoh In-kok-san itu. Dari perahu ke dua muncul belasan orang berpakaian.... pengawal Mancu! Soan Li memandang dengan jantung berdebar. Apa artinya ini? Ma-bin Lo-mo datang bersama belasan pengawal Mancu? Sungguh aneh dan mencurigakan.

“Siangkoan-locianpwe, ada keperluan apakah locianpwe memanggil saya dan Kek Bu Hwesio di tengah malam begini dan ke mana kita hendak pergi?” Si Mu­ka Tengkorak bertanya kepada Ma-bin Lo-mo.

“Dan mereka itu.... kenapa berada di sini bersama locianpwe?” tanya pula hwesio gemuk.

“Hemmm.... kalian belum mengerti. Telah terjadi perubahan hebat sekali di kalangan para pejuang. Mereka itu telah menyeleweng dan malah membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi! Aku melihat perubahan besar. Kekuasaan Mancu se­perti munculnya matahari yang tak ter­kalahkan, dan sebaliknya pertahanan Bu Sam Kwi memperpanjang perang dan me­nyusahkan banyak rakyat. Sudah tiba waktunya kita berganti haluan dan berlaku cerdik. Aku menerima tawaran Kang-thouw-kwi dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk membantu pemerintah menghancurkan Se-cuan.”

“Omitohud....!” Hwesio itu berkata lirih.

“Apa!? Siapa tidak setuju dan siapa tidak suka membantuku?”

“Ohhh, tidak.... tidak.... pinceng setuju dan suka membantu.”

“Saya pun akan membantu dan selalu siap mengikuti jejak locianpwe,” kata Si Muka Tengkorak.

“Nah, dengarlah baik-baik. Pasukan ini membawa pesan dari Su-ciangkun, yaitu komandan yang bertugas di daerah ini, untuk memanggil aku karena di markas itu muncul seorang mata-mata musuh.”

“Siapa....?” tanya Si Hwesio Gemuk.

“Bocah buntung terkutuk itu. Han Han!”

“Eh, bukankah dia dahulu yang kita bakar di kapal....?” Si Muka Tengkorak bertanya.

“Tidak ada waktu untuk bercerita panjang. Bocah itu telah mehyelundup ke dalam benteng dan mengingat bahwa dia kini lihai bukan main, kita harus menyergapnya, dan menurut perintah Su-ciangkun, harus dapat kita tangkap hidup-hidup untuk memaksa fihak pemberontak agar suka menakluk. Hayo kita berang­kat!”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Soan Li yang mendengarkan semua ini. Tanpa berpikir panjang lagi gadis itu lalu melesat pergi untuk cepat-cepat kembali ke benteng. Dia harus memberi tahu Han Han. Dengan cara apa pun juga. Ternyata, entah bagaimana caranya, rahasia Han Han telah diketahui musuh! Betapa lihainya musuh!

“Heiii.... siapa itu? Kejar!” Ma-bin Lo-mo yang berpendengaran tajam dan bermata jauh lebih awas daripada yang lain, sudah melihat berkelebatnya bayangan Soan Li dan langkah kaki gadis itu. Dia cepat mengejar, diikuti oleh tiga orang pembantunya dan para pengawal pasukan yang sudah mendaratkan kuda mereka. Empat ekor kuda disediakan untuk Ma-bin Lo-mo dan para pembantu­nya. Terdengarlah derap kaki belasan ekor kuda yang melakukan pengejaran.

Soan Li juga mendengar derap kaki kuda yang makin lama makin jelas. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlari secepat mungkin. Dia harus menda­hului mereka tiba di benteng! Dia akan mengamuk sehingga Han Han yang men­dengar amukannya akan keluar dan akan mendengar peringatannya. Han Han harus diselamatkan. Kalau ia terlambat, cela­kalah pemuda itu! Betapapun lihainya Han Han, tidak mungkin dapat melawan Ma-bin Lo-mo, apalagi masih ada empat orang pembantunya dan para pengawal, ditambah ribuan orang tentara di dalam benteng. Dia harus berlari cepat. Nyawa pemuda yang dicintanya itu tergantung pada kekuatan kedua kakinya berlari!

Di dalam tubuh setiap orang manusia memang terdapat kekuatan yang maha dahsyat, yang gaib dan sukar diukur oleh akal manusia. Kekuatan maha dahsyat ini kadang-kadang timbul di luar kesadaran, agaknya selalu bersembunyi di bawah sadar. Timbul apabila si manusia berada dalam keadaan tak sadar oleh perasaan yang menghimpitnya. Orang yang berduka hebat kadang-kadang dapat bertahan untuk berpuasa sampai berbulan-bulan yang takkan mungkin dapat tertahan tubuh seorang manusia dalam keadaan biasa. Seorang yang sedang ketakutan hebat kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang ajaib seperti mengangkat benda yang beberapa kali lipat lebih daripada daya kekuatan tubuhnya, dapat melompat jauh lebih tinggi daripada kemampuannya dalam keadaan biasa. Demi­kian pula dengan Soan Li. Gadis ini se­bagai murid Im-yang Seng-cu, memang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki sin-kang kuat dan gin-kang yang hebat sehingga memungkinkan dia lari cepat sekali. Akan tetapi, dalam keada­an penuh kekhawatiran, ketegangan se­perti saat itu, kekuatan maha dahsyat yang mujijat itu timbul di luar kesadar­annya sehingga membuat kecepatan lari­nya menjadi berlipat ganda apabila di­bandingkan dengan kemampuannya yang biasa. Bahkan kejaran kuda yang dibalap­kan itu masih tidak mampu menyusulnya!

Setelah malam terganti pagi, sinar matahari mulai muncul mendahului mata­harinya sendiri, Soan Li telah lari men­dekati benteng. Peluhnya membasahi se­luruh pakaiannya, napasnya terengah-engah dan kini Ma-bin Lo-mo bersama tiga orang pembantunya yang sudah meninggalkan kuda, sudah amat dekat di belakangnya.

“Berhenti....!” Ma-bin Lo-mo berteriak. “Bukankah engkau gadis yang kemarin dulu berada di rumah Lauw-pangcu?”

Soan Li maklum bahwa kalau ia sam­pai tersusul, ia akan celaka. Akan tetapi hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya. Yang amat menggelisahkan hatinya adalah bahwa kalau dia terpegang oleh Ma-bin Lo-mo, berarti Han Han akan celaka! Maka ia lalu mengerahkan tenaganya dan melompat jauh ke depan. Biarpun Ma-bin Lo-mo suaranya terde­ngar dekat, namun sebenarnya masih agak jauh.

“Berhenti, kalau tidak pinceng terpaksa merobohkanmu!” terdengar pula bentakan dari belakang. Akan tetapi Soan Li berlari terus, tidak mempedulikan teriakan-teriakan di belakangnya.

Pada saat itu, pintu benteng terbuka dan muncullah sepasukan tentara Mancu didahului oleh dua ekor kuda yang di­tunggangi oleh Su-ciangkun sendiri dan Han Han, di samping tentara yang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar