Kamis, 08 Mei 2014

CerSil Terbaru : Mustika Gaib 1


JILID 1
Bab 1
Gerimis salju laksana benang-benang sutera melayang turun ke bumi.
Daun-daun pohon memutih tak bergoyang bagaikan kembang-kembang kapas menghiasi lereng gunung.
Angin tiada berhembus, dunia laksana hampa tiada isi. Hawa udara dingin beku.
Sejauh mata memandang, di sana-sini salju belaka, putih bertebaran dimuka bumi. Tiada perduli daun atau ranting dan batang-batang pohon, tiada perduli jalan liku pegunungan di lamping-lamping gunung, semua memutih ditebali timbunan salju yang terus turun tiada hentinya.
Diantara kehampaan angin lereng gunung dalam gerimis salju itu tampak berlari mendaki lima orang berseragam hitam. Gerakan mereka sangat gesit, bagai bayang-bayang setan gentayangan di atas salju.
Jenis lima bayangan tadi, sulit diketahui laki-laki atau perempuan, wajah mereka ditu¬tupi selubung hitam, hampir menutupi seluruh mukanya, hanya bagian mata mereka tak tertutup selubung, sinar-sinar mata mereka memancarkan cahaya dingin menembusi gerimis salju di lereng gunung
Pada dada kiri setiap seragam yang dikenakan lima orang itu tampak terlukis sebuah gambar. Itulah lukisan Kalong putih mementangkan kedua sayap.
Mereka meluncur mendaki berliku di atas jalan bersalju berseliweran melewati batang-batang pohon di lereng itu, pandangan mata mereka dingin penuh kemisteriusan di bawah gerimis salju.
Jauh di sana di atas puncak gunung hanya salju memutih bagaikan kapas.
Selagi lima orang seragam hitam berselubung muka itu meluncur di atas salju, sayup-sayup terdengar suara bunyi kentrongan.
Suara kentrongan itu sayup berirama panjang pendek, kemudian tak lama lenyap tiada terdengar lagi, ditelan kehampaan gerimis salju. Haripun merayap gelap menjelang malam.
Berbarengan dengan sirapnya suara kentrongan berirama tadi, mulai terdengar suara teriakan orang yang keluar dari atau lereng gunung. Suara teriakan itu berirama membawakan lagu bersifat seakan memanggil-manggil kalbu.
Mendengar suara aneh sayup-sayup itu, lima orang seragam hitam menghentikan gerakannya, dari balik-balik putihnya batang pohon mereka saling pandang satu sama lain. Mereka tidak mengerti apa maksud irama teriakan suara itu, tapi mereka tahu, itulah serangkaian kata bernada gelombang tinggi, rendah, panjang dan pendek, meskipun mereka tak mengerti apa arti dari suara itu.
Lima orang itu berdiri seperti patung, tubuh-tubuh mereka disirami gerimis salju, kepala mereka menengadah ke atas memandang jauh dimana suara sayup-sayup tadi berkumandang datang.
Kalau tadi, lima orang itu bisa berjalan di atas salju dengan ringannya kini mereka berdiri tegak. kaki-kaki mereka yang mengenakan sepatu khusus jalan di salju itu mulai terbenam, perlahan-lahan amblas ditelan timbunan salju seakan suara sayup-sayup itu mengandung kekuatan magnit menekan diri mereka ambles ke dalam bumi.
Suara irama teriakan sayup-sayup itu masih berkumandang terus menerobos rintikan gerimis salju, bertebaran keempat penjuru dunia dan lima orang seragam dan selubung hitam masih berdiri memaku mendengarkan suara teriakan irama lagu itu, yang mereka tidak mengerti apa maksudnya, mereka seperti ingin mengartikan apa maksud dari irama teriakan lagu terdengar sayup-itu yang masih memasuki telinga mereka, jelas bagaimana suara nada irama itu memasuki pendengaran mereka, dari mulai bergemanya......
“Allahu akbar Allahu akbar, Allahu akbar, Asyhadu alla ilaha illallah.............”
Ayat demi ayat suara tadi sayup-sayup menggema mengumandang ke setiap pelosok permukaan bumi, hingga ayat terakhir.
Tiada lama kemudian, suara itu lenyap tak terdengar lagi, haripun bertambah gelap.
Lima orang tadi yang sejak mulai mendengar suara itu, berdiri mematung, kaki-kaki mereka sedikit demi sedikit terbenam ke dalam salju, dan begitu suara tadi sirap ditelan kegelapan gerimis salju itu mereka terjengkit kaget, mereka sadar kalau sudah dibuat bingung dengan bunyi suara tadi.
Dengan serentak mereka lompat ke atas mengangkat kaki-kaki mereka yang terbenam di salju kemudian melanjutkan perjalanannya meluncur ke arah suara sayup-sayup tadi.
Suara asing apakah itu sebenarnya? Itu adalah suara adzan magrib dari balik-balik rimba di atas pegunungan.

Meluapnya semangat Islam menerobos dari barat memasuki perbatasan Tiongkok gelombang serangan semangat Islam itu, tak dapat dibendung oleh kerajaan Byzantium dan kerajaan Iran.
Untuk menghadapi arus meluapnya semangat gelombang Islam itu pada tahun 640, kerajaan Iran meminta bantuan pada Kaisar Tang Tai Tsung dari Tiongkok, tapi kaisar Tang Tai Tsung tidak memberikan bantuan itu, hingga akhirnya kerajaan Iran tak berhasil membendung masuknya gelombang semangat Islam yang menyerang negerinya. Maka kerajaan itu jatuh dibawah pemerintah orang-orang Islam.
Kerajaan Islam yang timbul pada tahun itu berbatasan dengan daerah kekuasaan Tiongkok, dan perlahan demi perlahan pengaruh Islam mulai merembes masuk ke dataran Tiongkok.
Di bawah rintiknya gerimis salju, lima orang berselubung dan berseragam hitam itu, meluncur terus ke arah datangnya suara adzan magrib tadi.
Gerakan mereka terlalu cepat, sebentar saja mereka telah lenyap di balik bukit bersalju. Di bawah bukit itu tampak satu perkampungan terdiri dari enam buah wuwungan rumah. Dan di utara perkampungan terdapat sebuah bangunan yang lebih besar dan memiliki sebuah menara.
Lima orang jubah hitam tadi memperhatikan perkampungan itu dari atas bukit, tampak atap-atap rumah tadi memutih dipenuhi salju. Kemudian salah seorang menunjuk ke arah bangunan yang bermenara, katanya dingin,
“Aku masuk kesana, kalian yang bunuh manusia-manusia penghuni perkampungan ini. Ingat jangan seorangpun dikasi hidup!”
Setelah memberi perintah tadi, dua orang seragam hitam meluncur turun menuju ke arah bangunan bermenara, dan tiga lainnya berpencaran ke pelosok perkampungan.
Begitu dua orang seragam hitam tadi memasuki pintu rumah bermenara berlantai papan mereka menampak di dalam ruangan besar itu, belasan orang duduk berjejer menghadap ke barat, kepala-kepala mereka memakai pici. Di depan deretan jejeran orang-orang itu, tepat di tengah tampak duduk seseorang mengenakan pakaian putih, kepalanya memakai sebuah pici putih.
Menyaksikan pemandangan itu, dua orang seragam hitam menghentikan langkah mereka di depan pintu, mereka saling pandang, lalu masing-masing mengeluarkan pedang, dan terdengar suara sreett......dari pedang yang dicabut dari serangkanya.
Sementara itu, orang-yang duduk berderet di dalam ruangan itu terdengar suara,
“Assalam mualaikum......”
Berbarengan mana kepala mereka menoleh ke kanan, dan ujung jari mereka yang terletak ditekukkan lutut itu menunjuk ke muka.
Dua orang berjubah hitam di belakang mereka dengan pedang terhunus mendengar suara ucapan itu, mereka tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kalimat tadi, dengan serentak mereka sudah maju, mengayun pedang mengarah pada batang leher orang-orang yang sedang duduk menghadap barat, yang belum lagi menyelesaikan ucapan kalimatnya.
Berbarengan dengan kelebatan sinar pedang, di dalam ruangan tadi terdengar suara kekagetan dari orang-orang yang masih duduk berjejer, tapi mereka tak sempat melihat apa yang terjadi karena secepat itu kepala mereka telah pada menggelinding jatuh di atas lantai papan. Darah mengambang di sana, lantai papan itupun jadi merah.
Orang berbaju dan berpeci putih yang duduk sendiri di paling depan ini, begitu mendengar suara keributan di belakangnya, ia menggosok wajahnya dengan dua tapak tangannya kemudian menoleh ke belakang, tapi begitu cepat sebuah pedang dari salah seorang seragam hitam itu telah menembusi dadanya, darah bermuncratan membasahi baju putihnya. Maka tak ampun lagi tubuh orang itupun terguling rebah di atas lantai papan tadi. Dari mulut orang itu terdengar sesuatu ucapan lemah,
“Asyhadualla illaha illallah, Wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah . . . .”
Setelah mengakhiri kalimatnya orang itu pun menghembuskan napasnya yang ter¬akhir.
Ucapan itu juga tidak dimengerti oleh kedua orang jubah hitam tadi.
Setelah mereka membereskan orang-orang itu, mereka berjalan keluar, di depan pintu mereka berdiri memandang kearah rumah-rumah dalam perkampungan. Dari pintu-pintu rumah perkampungan tadi terdengar beberapa kali suara jeritan kematian disusul dengan suara menyebutkan kalimat seperti diucapkan oleh orang jubah putih berpeci putih.
Mendengar suara itu, kedua orang jubah hitam tadi yang baru saja membunuh belasan orang di dalam ruang bangunan bermenara pada menoleh ke belakang, memperhatikan mayat laki-laki berjubah putih berpeci putih.
Dari gerak-gerak mimik muka dua orang seragam hitam itu yang tertutup oleh selubung hitamnya, tampak rasa ketakutan yang mencekam bathin mereka mendengar suara ucapan kalimat tadi.
Setelah memandang mayat-mayat tadi sesaat mereka memasukkan pedang ke dalam serangka, dua orang itu lari keluar. Menyusul mana tiga orang lainnya, mereka berkumpul kembali berdiri saling pandang di tengah perkampungan.
“Sudah kalian bunuh semua?” tanya si jubah hitam. Yang menjadi pimpinan dengan suara tergetar.
Tiga orang jubah hitam tadi mengangguk kepala. Kemudian mereka meluncur meninggalkan perkampungan tadi.
Malam pun tambah kelam, gerimis salju masih turun terus, seakan tetesan-tetesan air mata malaikat turun ke bumi, menyaksikan kematian umat-umat Tuhan yang taat padaNya.
Dunia berputar terus hari berganti, musim berganti musim, meninggalkan tahun-tahun yang lewat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar