Jumat, 09 Mei 2014

Mustika Gaib 7

Bab 11



SEMENTARA itu dari angkasa kembali terdengar suara tawa, gadis Biauw, memecahkan suara irama suling yang masih terus terdengar bercampur aduk dengan suara gerengan-gerengan binatang buas disusul suara teriakan Goat Khouw,“Toa-sianseng, kau kawinilah! Ia masih perjaka ......”

Orang hutan perempuan yang sudah mabok kepingin kawin, mendengar suara perintah dari majikannya, begitu ia kem¬bali lompat turun ke tanah, mengeluarkan pekik kegirangan. Lalu ia menghampiri Kang Hoo yang sudah rebah terlentang. Sedang kedua tangannya masih menggaruk-garuk terus. Dan pedang yang tadi dijepit di lehernya, telah terlempar jatuh ke tanah.Saat itu Kang Hoo, sedang merasakan bagaimana sakit kepalanya ditendang oleh kaki orang hutan* perempuan itu begitu pula punggungnya terasa perih karena tertusuk beberapa duri rumput.

Dengan masih terlentang ia dapat melihat bagaimana sikap orang hutan tadi mendatanginya sambil cengar cengir menggaruk-garuk.Beng Cie sianseng menghadapi orang hutan bulu kuning, begitu ia melihat sang murid sudah roboh terkena tendangan kaki orang hutan tadi, ia juga jadi kaget.Sebenarnya kepandaian Beng Cie sianseng juga tidak rendah, tapi menghadapi orang hutan berbulu kuning ini, ia agak kewalahan, karena beberapa kali pentungan batang kayunya berhasil menggebuk badan orang hutan bulu kuning itu, hanya bisa membuat si kuning memekik mundur, kemudian dengan gesit binatang itu kembali melakukan serangan. Dan ketika ia menampak orang hutan berbulu hitam sedang mendatangi Kang Hoo yang masih menggeletak, cepat-cepat ia menggunakan satu potong kayu, diluncurkan ke arah Toa sianseng!

Orang hutan betina tadi tidak menge¬tahui datangnya serangan dari Beng Cie sianseng, lebih-lebih ia telah terbenam dalam arus nafsu kebinatangannya, hingga tidak mau memperhatikan keadaan sekelilingnya lagi, terus melangkah maju.Kang Hoo bergulingan di atas tumput menjauhi langkah kaki orang hutan hitam itu. Berbarengan mana, potongan kayu yang dilempar oleh Beng Cie sianseng berhasil membentur iga kiri si hitam.Orang hutan itu kaget, ia memekik, dan ketika ia melihat yang membentur itu adalah sebatang kayu, ia tidak mau memperdulikan, rupanya benturan tadi tidak dirasakannya.Kang Hoo juga melihat bagaimana suhunya melemparkan itu potongan kayu, ke arah orang hutan betina, ia juga melihat bagaimana sang suhu di bawah sinar bulan itu kewalahan menghadapi serangan-serangan Ui-jie yang memiliki gerakan sangat gesit, Meskipun sang suhu telah berhasil menggebuk beberapa kali badan si kuning, tapi sang binatang masih memiliki kegesitan yang luar biasa. Kalau saja suhunya menggunakan pedang pastilah, binatang itu sudah sejak tadi berhasil dirobohkan.Sewaktu luncuran potongan kayu itu berhasil membentur iga kiri si hitam yang kenyataannya tak digubris oleh orang hu¬tan besar itu, hati Kang Hoo mencelos. Betapa tebalnya kulit orang hutan ini.

Tapi Kang Hoo tidak sempat berpikir ba¬nyak, karena telinganya kini sudah mendengar suara garukkan orang hutan perempuan itu pada selangkangannya yang penuh bulu.“Kraosss .... kraos, kraos, kraas . . .”

Mendengar suara garukan itu Kang Hoo mengeluarkan keringat dingin, karena sambil rebah demikian ia dapat melihat jelas apa yang sedang digaruk-garuk oleh orang hu¬tan bulu hitam tadi, sampai mengeluarkan suara keraosan.Kembali Kang Hoo menggeser badan ke belakang menjauhi binatang hutan perem¬puan dan akhirnya ia terpojok pada lamping batu di bawah goa dimana tadi ia lompat turun.“Ya Allah!” keluh Kang Hoo dalam hati, kini ia melihat orang hutan bulu hitam itu melangkah sambil membungkukkan badannya, dari mulut binatang orang hutan itu menetes air liur.

Beng Cie sianseng melihat kejadian itu jadi menggeram, mempercepat gerakan serangannya. Seluruh kepandaiannya dikeluarkan untuk menghajar binatang yang bulu kuning.Bertempur tiga jurus kemudian, barulah ia berhasil menghajar batok kepala belakang Ui-jie. Membuat si orang hutan bulu kuning terhuyung ke depan, lalu ambruk di tanah.Begitu ia berhasil merobohkan orang hutan bulu kuning, Beng Cie sianseng lompat ke tempat dimana si Hitam akan menerkam Kang Hoo. Tapi baru saja kakinya melompat ke depan, mendadak di depannya meluncur lagi sinar kuning emas.Menampak sinar kuning emas itu Beng Cie sianseng yang sedang lompat jadi kaget, cepat ia menjatuhkan dirinya rebah di tanah. Dan tepat ketika itu, sinar kuning emas tadi lewat di atas badannya.Si orang hutan betina yang sudah menge¬luarkan air liur dari mulutnya, dengan se¬kali lompat ia sudah berada di atas tubuh Kang Hoo.Kang Hoo jadi gelagapan, ia berusaha berdiri, tapi perut berbulu dari orang hutan itu mendadak menggencet mukanya dan ia kembali jatuh duduk. Dan orang hutan betina berhasil duduk di atas paha Kang Hoo.Begitu Kang Hoo jatuh duduk, tangan si orang hutan perempuan berbulu yang terus-terus menggaruk itu, mendadak diangkat keatas, tangan berbulu tadi meraba pipi Kang Hoo.Kang Hoo jadi kelenger dibuatnya. Betapa tidak, tangan bekas menggaruk-garuk tadi, ber¬bau tidak enak, jari-jari orang hutan itu terasa gemeteran di pipi si pemuda.

Setelah Kang Hoo merasakan bagaimana baunya tangan orang hutan betina yang bergeme¬taran mengelus wajahnya Kang Hoo jatuh pingsan. Tubuhnya menggeloso ke bawah.Berbarengan dengan pingsannya Kang Hoo di bawah perut orang hutan itu, men¬dadak saja suara seruling yang sejak tadi terdengar di dalam hutan berubah iramanya.Suara seruling yang semula terdengar sayup-sayup halus itu mulai terdengar sangat aneh, dan suaranya terdengar keras, pantulan suara suling tadi seperti membuat ke¬adaan hutan dimalam hari jadi bergetar keras.Di atas angkasa malam si gadis Biauw yang duduk di punggung burungnya memandang ke atas, ia memperhatikan dari mana munculnya itu suara seruling. Kemudian gadis itu mengeluarkan siulan panjang, memerintahkan burungnya terbang tinggi ke atas, untuk melihat siapakah yang meniup suling di puncak gunung.Tapi sang burung mendadak tidak mau terbang tinggi, begitu telinganya mendengar suara seruling tadi, Malah burung itu telah merosot terbang turun semakin ren¬dah.

Mengetahui kalau suara seruling itu te¬lah membuat semangat burungnya jadi kuncup, si gadis Biauw berteriak,“Toa sianseng, Ui-jie, kau bunuh orang peniup seruling di atas sana.”Toa sianseng, itu orang hutan betina yang sudah mabok perjaka, bulu-bulunya meriap bangun, ia belum berhasil melampiaskan napsu binatangnya pada diri Kang Hoo, mendadak mendengar suara perintah itu ia jadi melengak kaget. Sebenarnya ketika orang hutan perempuan itu mendengar suara suling aneh, mendadak saja ia juga jadi kaget, dan nafsu birahinya mendadak buyar, begitu mendengar suara perintah sang majikan maka ia cepat lompat ke atas merambat tebing,Begitu pula si kuning Ui-jie, saat itu baru saja bangkit berdiri, begitu mendengar suara perintah sang majikan ia berlompatan ke arah atas gunung.

Setelah memberi perintah pada kedua orang hutan itu, gadis Biauw tadi lompat turun dari atas punggung burung, sambil mengeluarkan siulan dan desisan.Maka di dalam hutan itu terdengar suara gerengan-gerengan binatang buas semakin santer, begitu pula suara desisan ular-ular berbisa semakin ramai, mereka pada bergerak maju mengurung Beng Cie sianseng dan Kang Hoo.Saat mana Beng Cie sianseng sudah lari mendatangi Kang Hoo dan baru saja memeriksa keadaan Kang Hoo yang pingsan, be¬gitu ia mendengar suara gerengan binatang buas dan suara desisan ular berbisa sema¬kin ramai mengurung mereka berdua, hatinya mencelos kaget, ia lompat ke arah mana pedangnya menggeletak di tanah, dengan menggenggam pedang itu, ia lompat lagi ke samping Kang Hoo.

Sementara itu gadis Biauw yang sudah berdiri di tanah berada di luar kurungan binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa ia men¬dongakkan kepala ke atas puncak gunung menyaksikan kedua orang hutannya me¬nyatroni si peniup seruling dan dengan suara keras ia berteriak,“Manusia darimana berani menganggu ketenangan di sini? Ayo hentikan suara suling yang membuat burungku jadi terkejut!”Suara suling masih terus menggetarkan isi rimba. Sejenak kemudian setelah men dengar suara teriakan si gadis Biauw, suara suling itu sirap, dan terdengar suara orang berkata,“Terhadap kedua belah pihak, aku tidak ada permusuhan apa-apa, maka akupun tidak bermaksud untuk mencelakai salah satu pihak, tetapi karena aku telah datang lebih dulu ke tempat ini, dan binatang-binatang buas dan ular berbisa yang terus-terusan menggereng dan mendesis membuat ketenanganku jadi terganggu, karena mengingat binatang-binatang itu ada yang menggerakkan, maka aku tak dapat sembarang membunuh. Kalau saja me¬reka itu tak ada pemiliknya, maka sejak tadi-tadi tentu aku sudah bunuh semua. Tapi memandang dirimu aku tak sampai membunuh mereka, begitu pula aku tak berhak mengusirmu dari hutan ini karena gunung adalah kepunyaan bersama bukan milik seseorang, oleh karena sifat manusia itu ti¬dak mau mengalah satu sama lain, maka akupun merasa tak baik untuk menyuruh orang lain mengalah padaku, tapi suara-suara binatang buas dan ular-ular berbisa sangat memuakkan, mengganggu ketenanganku, maka terpaksa aku meniup seruling dengan irama yang aneh guna menekan suara gerengan-gerengan binatang buas dan desisan-desisan ular berbisa. Maka bila kau suruh binatang-binatang itu berlalu dari tempat ini, dan tidak mengganggu keindahan rembulan malam di atas gunung, akupun akan meniup seruling dengan irama yang enak didengar.”

Setelah kata-kata dari atas ganung itu ber¬akhir, suara seruling kembali terdengar lagi suara itu lebih santer, sehingga seluruh gunung memperdengarkan suara nyaring, seolah-olah menggetarkan udara.Sementara itu, si gadis Biauw bersiul dan mendesis kembali, maka sekalian binatang-binatang buas itu mengeluarkan suara gerengan yang lebih buas lagi, begitu pula ular-ular mendesis-desis tiada hentinya.Begitu suara gerengan binatang buas dan desisan ular berbisa terdengar semakin hebat, suara seruling dari atas gunung itupun terdengar lebih hebat lagi, iramanya berobah-obah, dan yang lebih aneh lagi akibat suara seruling itu, keadaan hutan yang tenang mendadak seperti digulung oleh badai angin yang datang tiba-tiba ranting, pohon bergoyang keras, daun terbang ber-guguran, begitu pula, suara-suara gerengan bi¬natang buas dan ular-ular berbisa seolah-olah mereka tidak sanggup menahan serangan suara suling, suara gerengan-gerengan mereka semakin lama jadi semakin lemah. Macan, binatang buas dan ular-ular berbisa jadi pada lesu, suara gerengan mereka tidak begitu ramai lagi.Beng Cie sianseng sedang terkurung oleh binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa, ia men¬dengar bagaimana suara seruling itu menundukkan gerengan-gerengan binatang buas juga merasakan bagaimana di dalam hutan itu mendadak timbul angin topan, hatinya jadi heran. Tokoh manakah yang telah muncul di atas puncak gunung ini?Ketika itu kedua orang hutan yang mendaki ke atas, sudah tak tampak bayangannya, sedang suara seruling terdengar semakin lama semakin aneh, sebentar mengeluarkan suara seperti bumi ambles, sebentar lagi terdengar seperti suara ombak laut mengamuk, sebentar lagi suara seruling itu ber¬ubah seperti naga malaikat berkelahi mengeluarkan gerengan di angkasa, dan men-dadak berubah lagi seperti suara ratusan ribu tambur yang dipukul santer.Perobahan suara seruling itu, membuat binatang-binatang buas yang pada mengurung Beng Cie sianseng dan Kang Hoo, pada serabutan mundur ke belakang, mereka seperti di¬usir pergi oleh suara seruling tadi. Sedang suara gerengannya sudah tak terdengar lagi.Sedangkan Beng Cie sianseng yang men¬dengar suara seruling tadi hatinya juga jadi berdebaran keras, begitu pula si gadis Bauw yang berdiri di dalam gerombolan pohon ia tidak kalah kagetnya, mendengar suara suling itu, terasa jantungnya hampir mau copot.

Lain halnya keadaan Kang Hoo yang sedang pingsan, ia tidak terpengaruh oleh suara seruling tadi.Sementara itu suara seruling terus terdengar, mendadak saja terjadi lagi keanehan, angin besar yang menggoyang-goyangkan ranting-ranting pohon tambah kuat, kalau semula hanya daun-daun pohon yang berguguran, kini pasir dan batu-batu gunung berterbangan, cabang-cabang pohon bergoyang-goyang keras mengeluarkan suara kerosokan, sehingga daun-daunnya terus terbang berguguran tiada hentinya, sedangkan itu binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa yang pada lari menjauhkan diri, mendadak saja jatuh lemas di atas tanah, ular-ular berbisa meringkel, masing-masing melepotkan kepalanya. Keganasan binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa mendadak lenyap, bahkan kini tampak badan mereka gemetaran keras, seperti minta dikasihani.Keadaan gadis Biauw tidak berbeda se¬perti juga keadaannya binatang-binatang peliharaannya, tubuhnya sudah gemetaran, dan mulutnya terkancing rapat, wajahnya seperti tidak sanggup menahan penderitaan, tapi wajahnya masih menunjukkan sikap tidak mau kalah.

Tidak terkecuali keadaan Beng Cie sianseng, dengan lemas ia bersandar di lamping tebing di bawah lubang goa. Dan Kang Hoo masih terus melingkar pingsan.Saat itu mendadak suara seruling jadi sirap, dan keadaan hutan yang diamuk badai jadi tenang kembali kemudian terdengar lagi suara orang bicara dari atas gunung.“Kau, membawa ini binatang-binatang buas untuk mencelakai orang, itu sebenarrya urusanmu sendiri, tapi bagaimana ketika aku sedang meniup seruling kau perintahkan dua orang hutanmu untuk menyerang diriku. Kalau melihat kelakuanmu ini, seharusnya aku menurunkan tangan kejam membunuhmu, tapi karena urusan disebabkan karena kau ingin mendapatkan suami, dan hatimu terlalu pendek serta kurang pikir, maka aku hanya memberi peringatan padamu, dan kalau kau tahu gelagat, cepatlah bawa ini binatang-binatang buas menyingkir dari tempat ini!”

Berbarengan dengan akhir ucapan orang itu di atas udara terdengar suara jeritan halus terbawa angin dari dua orang hutan yang diperintah gadis Biauw menyerang si peniup seruling, kedua orang hutan itu mengeluarkan suara jeritan, lalu badannya terpental dan jatuh menggelinding ke bawah. Kemudian terdengar suara mendebuk dari dua badan orang hutan yang jatuh di tanah. Kedua orang hutan itu jatuh di tanah tidak berkutik lagi.Menyaksikan jatuhnya kedua orang hutan dari atas tebing, Beng Cie sianseng jadi kaget bercampur kagum, ia sendiri tadi telah melakukan pertempuran sampai beberapa puluh jurus menghadapi serangan seorang hutan bulu kuning. Dan dari hasil pertempuran itu, ia juga tahu kalau orang hutan ini memiliki ketebalan kulit yang luar biasa dan kekuatan sangat hebat, tapi bagaimana orang peniup seruling itu sambil bicara sanggup merobohkan dua ekor binatang hutan sekaligus hingga jatuh mampus ke bawah.
Bab 12

Goat Khouw melihat kedua orang hutannya jatuh binasa, dengan gemasnya ia berjingkrak-jingkrak lalu teriaknya,“Begitu aku mendengar suara suling, aku sudah menduga kalau kau orang bukan manusia baik-baik, karena kau mengelepot bersembunyi dalam lubang goa di atas sana, maka aku suruh dua orang hutan untuk menarik kau keluar, tidak tahunya kau telah turun tangan kejam membunuh mereka.”

“Apa?” terdengar suara orang di atas gunung, “Aku membunuh, siapa yang membunuh, kau periksa, kematian kedua orang hutanmu itu apakah aku bunuh? Ia mampus karena terjatuh dari atas puncak gunung ini siapa suruh ia menyerang diriku? Hmmmmmmmm. Perempuan Biauw, aku di sini memandangi rembulan, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu, bahkan kau di bawah sana dengan menggunakan pengaruhnya binatang buas memaksa orang menjadi suamimu. Dan dengan bertindak keterlaluan kau suruh binatang orang hutan perempuan itu untuk melakukan perbuatan terkutuk. Itu juga sebenarnya bukan urusanku, tapi karena suara gerengan binatang-binatang buasmu itu telah merusak ketenangan di sini. Maka aku terpaksa meniup seruling sedemikian rupa untuk membuat mereka jadi bungkam. Sebenarnya aku ingin mengusir kau begitu kau muncul di tempat ini, tapi dengan bertindak demikian, maka kau tentu akan memaki aku keterlaluan, tidak hujan tidak angin mengusir orang sembarangan. Tapi kau telah berbuat jahat mengirim dua orang hutan itu untuk mencelakai diriku, kalau aku tidak menunjukan sedikit kepandaianku tentunya kau akan memandang enteng lain orang. Dan sebaliknya kau pergilah dari tempat ini jangan paksa orang untuk mengikuti kehendakmu!”Mendengarkan ucapan kata-kata orang itu dengan jelas sekali, tapi Goat Khouw tak pernah melihat wajah orang di atas sana, meskipun sang rembulan memancarkan sinarnya dapat menerangi lamping gunung mata si nona Biauw tidak bisa me¬lihat bagaimana rupa orang itu. Bahkan orang itu berada di bagian mana dari puncak gunung iapun tak tahu.Beng Cie sianseng juga mendengar de¬ngan jelas kata demi kata yang diucapkan si peniup seruling, kening orang tua itu beberapa kali berkerut, memperhatikan arah datangnya suara. Kalau mendengar dari suara yang masuk dalam telinganya seperti orang yang bicara itu sangat de¬kat, tapi bagaimana suara jeritan kedua orang hutan yang jatuh dari atas tadi be¬gitu kecil sekali hampir tak terdengar dan lama baru kedua binatang itu jatuh ke tanah, itulah menandakan kalau goa dimana orang bersuling itu bicara sangat tinggi letaknya.Kekaguman Beng Cie sianseng akibat suara seruling itu, hatinya jadi berdebaran keras, dengkulnya terasa lemas, bahkan itu binatang-binatang buas, ular-ular berbisa yang lari serabutan mundur mendadak saja jatuh ro¬boh, hingga begitu suara seruling sirap tak terdengar binatang-binatang tadi belum berani mengangkat kepala, bahkan ular-ular berbisa, se¬mua bergelayutan di atas dahan pohon ti¬dak berani bergerak.Teringat akan ular emas, yang merayap di dalam goa, dengan memaksakan diri Beng Cie sianseng bangun berdiri lalu merayap naik ke atas lubang goa, memperhatikan ke dalam.Ternyata ketiga ular emas itu sudah pada jatuh di lantai goa, mereka melingkarkan dirinya, hingga tampak di dalam goa itu, tiga gumpalan kecil warna kuning emas.



********0dwkz0lynx0mukhdan0********

JILID 5

SAAT ITU mendadak rembulanpun kembali gelap, ditutup awan, Beng Cie Sianseng yang baru saja melongok ke dalam goa dibuat kaget, karena mendadak di dalam suasana hening itu terdengarnya suara jeritan panjang yang mirip suara burung.Mendengar suara jeritan itu, gadis Biauw yang sejak tadi kehilangan akal menghadapi si orang bersuling mendadak terjengkit girang serunya,“Suhu .... suhuuuuu...”Beng Cie sianseng, dari depan goa yang juga mendengar suara jeritan tadi, ia segera membalik badan, dan diantara gerombolan pohon dimana itu gadis liar bangsa Biauw berdiri tampak berkelebat sesosok bayangan, Karena rembulan masih ditutup awan maka wajah orang yang baru datang itu belum bisa dilihat jelas.

“Siapa meniup seruling?” terdengar bayangan yang baru muncul bertanya pada Goat Khouw yang ternyata adalah suhu si gadis.Goat Khouw menunjuk ke atas lamping gunung, serunya,“Orang itu selalu menyembunyikan kepalanya di dalam goa.”

“Ngggg.” Menggereng sang suhu.Begitu sang rembulan kembali memancar¬kan sinarnya, Beng Cie sianseng yang sejak tadi memperhatikan gadis Biauw dan suhunya dapat melihat jelas, wajah suhu Goat Khouw ternyata suhu gadis liar bangsa Biauw itu, adalah seorang nenek keriput, rambut nenek tadi putih seluruhnya awut-awutan tidak karuan, hampir menutupi wajahnya matanya memancarkan sinar biru, hidungnya bengkok seperti paruh betet, sedang kepalanya bundar seperti jeruk, bibirnya tebal, deretan gigi-giginya hitam mengkilat.Si nenek mendongakkan kepala ke atas ke arah yang ditunjuk Goat Khouw sinar matanya menembusi sinarnya rembulan.

“Dimana kira-kira,” tanya si nenek pada Goat Khouw.

“Suhu, aku tidak tahu pasti, tapi kedua orang hutan ini binasa dari tempat yang begitu tinggi, sukar ditentukan dimana orang itu ngelepotkan kepalanya.”

“Ngggg......”Kembali si nenek rambut putih menggereng lalu dari belakang gegernya, ia menarik sebuah tabung hitam mengkilat sepanjang delapan inch.

Tabung hitam itu, lalu diputar-putarnya di tengah udara kemudian disentakkannya keras ke atas.Mendadak saja dari lubang tabung tadi meluncur segumpalan sinar merah darah ke angkasa. Di tengah angkasa, gumpalan sinar merah darah itu, pecah berserakan, meluncur keempat penjuru.Keadaan malam terang bulan itu, jadi lebih terang lagi, keadaan itu tidak bedanya seperti memancarnya kembang api dimalam Goan-siauw.Berbarengan dengan berpercikannya sinar merah darah di angkasa, si nenek rambut putih, mengeluarkan suara jeritan panjang, mirip suara burung hong, tapi jeritan itu mengandung sifat-sifat keras dan sedih menggetarkan seluruh rimba, menggema panjang berpantulan berulang-ulang.

Beng Cie sianseng dipaksa mendengar suara jeritan itu, hatinya kembali jadi berdebaran, buru-buru ia duduk di samping Kang Hoo yang masih terus pingsan, ia tidak mau meninggalkan sang murid begitu saja, juga ia ingin melihat perkembangan selanjutnya, tentu tak lama lagi satu pertempuran hebat antara si peniup seruling dan si nenek pasti akan terjadi sangat hebat.

Saat itu sinar merah darah yang pecah di angkasa mulai sirap, menyusul mana dari atas puncak gunung terdengar alunan suara seruling, suara seruling itu berbeda dengan suara yang pertama kali terdengar. Suara mana membawakan nyanyian burung-burung kecil, terdengar merdu sekali, dan sedap bagi siapa yang mendengar, kemudian lambat laun suara suling tadi berubah keras, penuh wibawa, membuat orang mendengarnya merasa tunduk.

Kalau dari atas tebing gunung dimalam rembulan itu terdengar suara seruling, maka dari bawah tebing, si nenek rambut putih terus mengeluarkan pekikkannya, melawan datangnya suara seruling itu.Berbarengan dengan pertandingan kekuatan suara itu, dari arah dimana si nenek rambut putih tadi datang, di atas angkasa meluncur delapan titik hitam, seperti bintang-bintang kecil, kian lama delapan titik hitam itu kian besar, dan jelas, rupanya itulah delapan ekor burung yang sedang terbang menda¬tangi.

Delapan ekor burung itu memiliki sayap yang lebarnya beberapa tombak, diantaranya hanya seekor yang kecil berwarna merah, bermata kelabu. Delapan ekor burung tadi, terus meluncur ke arah dimana terdengar suara seruling.

Si nenek rambut putih terus menerus me¬mekik panjang, menyaksikan delapan ekor burung besar tadi datang terbang menerjang ke arah dimana suara seruling keluar, ia memperkeras suara pekikkannya, dan para burung tadi, tiba-tiba mempercepat terbangnya diantaranya terdengar suara pekik ganas mereka, seperti hendak menerkam si peniup seruling di dalam goa.Tapi sungguh aneh, kedelapan burung begitu sampai di depan lubang goa di atas tebing, mendadak menghentikan gerakkannya mereka hanya berputaran di sana, seperti tak sanggup terbang lebih jauh, dan dua diantaranya mendadak turun merendah.Suara seruling yang keluar dari lubang goa di atas lamping gunung, mendadak terdengar berubah keras, seperti suara geledek menyambar.

Delapan ekor burung besar yang masih berputar di angkasa itu, mendadak terbang, melesat berpencaran, dan si burung merah yang memiliki tubuh kecil sudah lari lebih dulu tapi tiga ekor burung yang memiliki badan dan sayap terbesar itu, gerakan mereka agak lamban, dan ketika suara guntur seruling memecahkan kesunyian, tiga ekor burung itu sudah pada jatuh ke bawah.

Burung-burung tadi menggelepar-geleparkan sayapnya menahan agar jangan sampai jatuh di tanah, tapi usaha mereka rupanya agak susah, karena burung-burung tadi telah jatuh diantara pohon-pohon Siong dan Pek yang banyak bertebaran di lereng gunung.

Pohon-pohon Siong dan Pek yang terkena sambaran sayap burung yang lebarnya bagaikan daun pintu besi, pada roboh bergulingan, sedang burung-burung itu terus menggeleparkan sayapnya. Baru setelah sekian lama maka mereka baru bisa naik kembali dengan lemahnya. Meninggalkan daerah berbahaya tadi. Terbang menjauhi bagaikan ayam-ayam jago yang kalah bertarung.

Saat itu, keadaan Beng Cie sianseng sangat kritis, ternyata jago tua itu tidak tahan mendengar suara seruling, tubuhnya jadi lemas tenaganyapun lenyap seketika.Begitu pula keadaannya si gadis liar bangsa Biauw, ia sudah jatuh duduk di atas tanah, sedang suhunya sendiri nenek rambut putih, yang mengeluarkan suara pekikan, melawan suara seruling kini suara pekikkan itu sudah tak terdengar lagi, si nenek rambut putihpun sudah kewalahan menahan serangan suara seruling aneh tadi, dengkulnya sudah dirasa lemas tapi ia masih berusaha menahan dirinya agar tidak roboh di tanah.

Yang aneh adalah keadaan Kang Hoo, ia pingsan di samping suhunya, tapi ketika suara seruling itu terdengar lagi, mendadak si pemuda menggeros, tidur kepulasan, keadaannya bukan lagi seperti orang pingsan tapi sudah seperti seorang yang sedang tidur nyenyak.Perobahan itu juga diketahui oleh Beng Cie sianseng, ia heran, tapi ia juga tidak bisa berbuat sesuatu apa, merasakan keadaan dirinya yang sangat lesu, bersandar pada batu gunung.

Saat itu mendadak irama suara seruling berubah halus merdu, membawakan irama perempuan rindu menantikan sang kekasih, tapi sang kekasih yang dinanti itu tiada datang juga.

Tiga orang yang mendengarkan suara irama seruling hati mereka menjadi sedih, lebih-lebih keadaan si gadis liar bangsa Biauw, keadaannya sudah demikian rupa dengan napas tersengal-sengal menggeletak di atas tanah.Tidak terkecuali si nenek rambut putih ia juga sudah jatuh duduk di atas tanah, tapi sepasang tangannya menunjang bumi seperti ia berusaha untuk bangkit berdiri.

Kalau suara seruling itu membuat tiga orang tadi jatuh lemas tiada bertenaga, lebih-lebih keadaan gadis liar bangsa Biauw ia sudah jatuh pingsan tiada sadar diri, lain halnya keadaan Kang Hoo, ia terus ngorok tertidur nyenyak seperti seorang bayi tidur dinina bobokkan.

Rembulan yang sering-sering tertutup awan beriring itu, membuat keadaan disekitaf hutan berubah-ubah gelap berganti terang, ber¬barengan dengan perubahan-perubahan suasana di dalam rimba itu, irama suara seruling yang terde¬ngar dari atas lamping gunung, kembali berubah, lagu suara seruling itu berobah seperti suaranya hembusan angin musim semi, di mana segala kembang aneka warna sedang mekarnya, orang yang memandang merasa gembira membuat sekujur badan jadi lesu karena diganggu oleh rasa cinta menikmati pemandangan yang paling indah.Begitu suara seruling tadi melagukan suaranya angin musim semi yang sangat aneh luar biasa itu, mendadak saja si nenek rambut putih yang masih berkutet untuk bangun, tubuhnya ambruk di lantai, ia jatuh pingsan!

Keadaan Beng Cie sianseng demikian pula, kelesuan badannya tak tertahankan lagi pelupuk matanya terasa berat, dan ia juga tertidur pulas.Di dalam hutan di bawah tebing itu, dibawahnya sinar rembulan, tampak empat sosok manusia yang sedang tidur berpencaran, mereka seperti tidur nyenyak, diantara ke¬empat sosok badan manusia tadi, masih ter¬dapat ratusan binatang buas yang mendekam, binatang-binatang itu seperti mati tak bergerak sedang ular-ular berbisa melingkar di tanah, di atas pohon ular-ular itu menggelantungkan dirinya, mereka seperti mau jatuh ke tanah.Irama seruling yang membawakan lagu suara angin musim semi perlahan-lahan lenyap di telan angin gunung.Berbarengan dengan sirapnya suara seruling, mendadak saja Kang Hoo yang tidur ngorok itu mendusin, ia kaget melihat keadaan sekitarnya, suhunya di samping sedang menggeros keenakan tidur, dan tidak jauh di depannya, binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa pada melingkar tidak bergerak.

Karena rasa herannya Kang Hoo bangkit berdiri, perlahan-lahan ia melangkah maju untuk melihat apakah binatang-binatang buas itu sudah pada mampus atau bagaimana? Dan kemana itu gadis liar bangsa Biauw? Ia tak tampak bayangannya.Diantara serakan binatang-binatang buas yang mendekam. Kang Hoo melihat dua ekor orang hutan yang sudah menggeletak di tanah tidak jauh di depannya. Hatinya jadi bergidik mengingat bagaimana sifat orang hutan betina itu.Ketika ia sedang keheranan memperhatikan keadaan di sekitar rimba itu, mendadak saja keadaan jadi gelap, karena rembulan kembali ditutup awan.Kang Hoo menengadah ke atas memandang rembulan yang dilewati awan.

“Aaaaaa…….” teriak Kang Hoo begitu kepalanya mendongak ke atas, karena di atas angkasa melayang satu bayangan putih terbang turun. Bayangan putih itu kian lama kian membesar juga. Dari bayangan itu memancar sinar terang.Begitu awan yang menutupi rembulan lewat, maka tampak jelaslah bayangan putih yang perlahan-lahan turun itu, itu bukannya burung, atau binatang terbang apapun, tapi adalah sesosok tubuh manusia yang sedang jatuh turun perlahan, tubuh orang itu melayang menelungkup ke bawah.Mata Kang Hoo terbelalak menperhatikan keadaan orang yang jatuh dari atas puncak gunung itu. Bilamana tubuh orang itu jatuh di bawah pastilah ia akan segera binasa. Ataukah memang orang itu telah mati terkena serangan orang-orang dan jatuh dari atas puncak gunung. Dan itu sinar terang yang terdapat pada badan orang itu, sinar apakah sebenarnya?Kian lama, kian jelas juga keadaan dari rupa orang yang melayang turun ke bawah itu, kepala orang itu tampak dibungkus selendang putih dan pada punggung orang tadi tampak menggelembung ke atas, itulah jubah putih orang itu yang berkembang, bagaikan sayap burung hingga meluncurnya orang itu lambat, tertahan oleh kembanga» jubahnya.

Begitu orang yang jatuh dari atas puncak tebing sudah berada beberapa tombak di atas tanah, mendadak saja tubuh orang itu ber¬putar berdiri lalu meluncur turun dengan cepatnya, lalu berdiri menghadapi Kang Hoo.Kang Hoo mundur beberapa tindak, kini jelaslah kalau orang yang jatuh dari atas itu bukan orang mati, tapi seorang tua berambut putih menggunakan ikat kepala putih yang masih segar bugar, di tangan kiri orang itu memegang sebuah seruling perak yang mengeluarkan cahaya terang.

Yang membuat lebih heran hati si pemuda adalah jubah putih orang tua tadi, pada ujung-ujungnya terikat pada setiap pergelangan tangan dan kaki, bentuknya persis seperti sayap seekor kelelawar , dan ketika ia melayang turun ke bawah bagaikan seekor burung putih yang terbang turun. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat kejadian seperti itu.

Wajah orang tua itu putih dingin, sinar matanya memancarkan kebeningan.Perlahan-lahan orang tua berjubah putih tadi melangkah maju mendapatkan Kang Hoo yang berdiri mematung memandang dirinya.Kang Hoo ingin mundur ke belakang, tapi belum lagi kakinya bisa digerakkan mendadak saja, orang tadi telah menubruk dirinya, dan dengan jubahnya Kang Hoo dikempit dan dibawa lari meninggalkan rimba.Di dalam kempitan di bawah jubah orang tua tadi, Kang Hoo gelagapan, hampir ia tidak bisa bernapas. Terasa bagaimana diri nya seperti dibawa terbang.Haripun mulai fajar, langit di timur tampak sinarnya kuning keemasan menyorot diantara sela-sela puncak gunung.Binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa masih meringkel di bawah udara dingin di pagi hari, Daun-daun terotolan digenangi embun.Diantara berserakannya binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa yang pating keringkel, menggeletak tiga sosok tubuh. Itulah sosok tubuh dari dua orang perem¬puan Biauw tua dan muda yang sedang ngorok tidur di bawah rimbunnya daun-daun pohon.

Tidak jauh dari tempat itu, di bawah kaki lubang goa tampak ngorok menggeros bersandar batu Beng Cis sianseng.Saat itu mendadak saja sehelai daun tua ditiup angin jatuh tepat di atas hidung Beng Cie sianseng. Orang tua itu jadi kaget, ia tersentak bangun, dan mana kala melihat benda yang membentur hidungnya adalah sebuah daun, daun itu ia lempar ke samping. Lalu ia menoleh ke samping kanannya, dimana waktu malam tadi Kang Hoo terjatuh pingsan dan tertidur di situ. Tapi ia jadi heran, karena bayangan si pemuda sudah tak tampak.Beng Cie sianseng berdiri memperhatikan tiga penjuru hutan itu di sana hanya tam¬pak binatang-binatang yang masih mendekam tidak berderak dan di bawah pohon rimbun, itu dua orang perempuan Biauw masih tertidur nyenyak, sedang suara seruling aneh sudah tak terdengar lagi.

Begitu ia mengetahui kalau Kang Hoo sudah tak berada di tempat itu, Beng Cie sianseng memperhatikan kelompokan bina¬tang buas dan ular-ular berbisa, pikirnya,“Aku tokh dengan dua perempuan Biauw guru dan murid tidak ada permusuhan apa-apa, peristiwa malam tadi dikarenakan cintanya si gadis liar yang tak terbalas, dan bukan¬kah gadis itu juga pernah melepas budi menolong Kang Hoo, selagi mereka belum terbangun lebih baik aku cepat meninggalkan tempat ini, mencari jejak Kang Hoo. Entah pergi kemana lagi anak gila itu?”

Setelah berpikir begitu Beng Cie sian¬seng mengambil pedangnya di tanah, kemudian dimasukkan dalam serangka lalu diselipkan dimana gegernya.

Dengan hati-hati ia meninggalkan hutan tadi. Sedang kedua perempuan Biauw guru dan murid yang telah terkena pengaruh suara seruling yang memilukan dan menye¬dihkan malam tadi masih belum bangun, ia masih tidur terus bersama binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa peliharaannya.

Bab 13

MATAHARI mencorong tepat di tengah langit. Suara angin menderu. Puncak-puncak gunung menjulang tinggi ke angkasa.Diantara suara deruan angin dan menco¬rongnya sinar matahari, melesat sesosok bayangan putih menembusi awan ke atas puncak gunung paling tinggi.Begitu kepulan awan mengambang di tengah lereng gunung dilewati, bayangan tadi melesat terus bagaikan anak panah terlepas dari busurnya memasuki sebuah goa.Di dalam goa, bayangan putih itu mengembangkan tangannya, dan dari dalam balik jubah putihnya, keluar terhuyung-huyung mundur seorang pemuda tampan.

“Hmmm.” Gumam bayangan putih tadi, “Di sini goa Hoa-ie-tong di atas puncak gunung Hong-tong-san, kau istirahatlah!”

Pemuda tadi bukan lain adalah jago muda kita Kang Hoo, begitu ia terlepas dari kempitan orang tua jubah putih sudah lantas terhuyung-huyung, kemudian begitu ia berhasil mengendalikan dirinya, ia memandang pada orang tua berjubah putih.Di tangan orang tua itu masih memegang sebuah seruling peraknya.

“Kau...... aki-aki....... siapa?” Tanya Kang Hoo heran.

“Bocah,” seru si orang tua jubah putih, “Kau istirahatlah, setengah hari lebih kau dalam kempitan jubahku. Nah! makanlah buah-buah yang tersedia. Goa ini tempat per¬tapaanku.”“Mana suhuku?” Tanya Kang Hoo.“Si tua tak berguna itu, ketika kau ku¬bawa ke tempat ini ia masih tidur di bawah kaki gunung. Mungkin saat ini ia sudah meninggalkan tempat itu.”

“Dan gadis Biauw itu?”“Eh, kau mencintai gadis liar itu?” Tanya si orang tua.Kang Hoo menundukkan kepala, ia tidak bisa menjawab tegas pertanyaan orang tua itu. Hatinya bingung, dan tiba-tiba saja ia bertanya lagi

“Bagaimana binatang buas dan ular-ular berbisa dan mereka itu bisa pada tidur kepulasan?”

“Kau makan dulu.” kata orang tua ju¬bah putih, kemudian ia membalikkan tubuh lalu keluar goa.

Meskipun waktu itu perut Kang Hoo sudah dirasa lapar, tapi karena menghadapi persoalan aneh itu, ia tidak segera mencari makan, lari keluar goa.Di lubang goa angin dingin santer meniup dari sobekan-sobekan bajunya terasa angin itu menusuk bekas luka-luka di badan Kang Hoo bahkan mata Kang Hoo sendiri terasa perih.Sejauh mata memandang, di sana hanya tampak beberapa buah puncak gunung tinggi, sedang kaki gunung tak kelihatan, karena diantara celah-celah gunung di bawah sana tampak mengambang awan putih menebal bagaikan kapas.Badan Kang Hoo sedikit gemetaran me¬mandang ke bawah, ia menyurutkan langkahnya masuk kembali ke dalam goa. Sedang itu bayangan si orang tua bersuling entah sudah kemana lenyapnya.Di dalam goa, Kang Hoo memperhatikan sekitarnya, ternyata bagian itu terdiri dari dua ruangan, ruangan depan dan ruangan belakang, di bagian belakang terdapat sebuah pembaringan terbuat dari kayu, ke¬adaannya lebih luas dari bagian luar.Meskipun keadaan di dalam goa itu agak gelap remang-remang tapi Kang Hoo sudah bisa melihat kalau dalam goa itu keadaannya bersih.Di sudut pojok goa depan terdapat sebuah paso berisi beberapa butir buah kemerah-merahan.Kang Hoo mengambil sebutir buah, dicium-ciumnya sebentar, buah itu wangi seperti buah apel maka segera juga digigitnya. Terasa garing manis.Baru saja ia menghabiskan sebutir buah, si orang tua berambut putih sudah balik kembali.Datang dan perginya orang tua berambut putih tadi sangat cepat, membuat Kang Hoo kagum, kalau dibandingkan dengan Beng Cie sianseng, orang tua ini tentunya lebih tua dua kali lipat. Tapi gerakannya sungguh gesit luar biasa.Orang tua itu, begitu berada di dalam goa, ia memandang sejenak pada si pemuda, kemudian dengan melangkah ringan ia berjalan ke goa belakang.

Sambil jalan orangtua itu berkata,“Setelah selesai makan kau masuklah ke goa belakang, aku hendak bicara!”

Sebenarnya perut Kang Hoo masih dirasa lapar, tapi mendengar kata orang tua ram¬but putih itu, ia segera berjalan mengikuti langkah si orangtua memasuki goa belakang di mana terdapat pembaringan kayu.Begitu Kang Hoo tiba dalam kamar goa itu, si orang tua telah duduk bersila di atas pembaringan, dan begitu ia meiihat Kang Hoo sudah menyusul datang, tangannya menunjuk ke arah sudut goa, katanya,“Kau ambillah tikar di pojok sana, gelar di bawah, lalu duduk bersila.”

Kang Hoo menuruti kehendak orang tua baju putih itu. berjalan ke pojok goa, dan sana ia mengambil sebuah tikar anyam, kemudian dibawanya ke depan pembaringan kayu dimana si orang tua duduk bersila, ti¬kar anyam itu digelarnya, ia lalu duduk bersila menghadapi si orang tua.

“Aku tidak kenal padamu!” seru si orang tua rambut putih. “Tapi karena kelakuan liarnya si gadis Biauw dan suhunya, aku merasa tertarik pada kekukuhan hatimu. Nah sekarang kau ceritakan, bagaimana kau sampai terlihat urusan asmara dengan gadis liar bangsa Biauw itu, dan siapakah orang tuamu?”

Mendapat pertanyaan demikian, dengan rasa sedih, Kang Hoo menceritakan asal usul dirinya, dan bagaimana sang ayah telah dibunuh mati oleh orang-orang seragam hitam yang tak dikenal. Hingga akhirnya ia berada di dalam hutan di lereng gunung itu, bersama gadis liar bangsa Biauw yang menuntut ia agar bersedia menjadi suaminya.Semua peristiwa itu diceritakan dengan jelas dan panjang lebar.

Oang tua berambut putih manggut-manggut kemudian katanya,“Jadi kau menganut agama baru itu? Hmmm, tak kusangka! Tak kusangka! Agama itu masih bisa merembes masuk ke dataran Tionggoan, dan orang golongan aneh itu juga tidak mau berhenti menum¬pas, belum bisa menerima kehadirannya agama baru.”“Cianpwee,” potong Kang Hoo “Apakah mengetahui tentang agama baru itu?”

“Islam!” kata si orang tua tegas, “Aku bukan saja tahu, bahkan aku pernah mengem¬bara ke negeri asal dimana agama itu mun¬cul, dan aku juga telah mempelajari agama itu boleh dikata sempurna.”

“Aaaaaa......jadi cianpwe ini beragama Islam.” seru Kang Hoo kaget.

“Heee, heee . . . .” Orang tua rambut putih tertawa riang, “Sejak kecil aku mendapat didikan agama Budha, aku anak yatim piatu hidup dan dibesarkan dalam vihara, setelah dewasa aku mengembara mencari guru silat, dan pada beberapa tahun aku berhasil mendapatkan nama daerah utara dan selatan sungai Hong-ho, orang-orang mem¬beri aku julukan Pek kut Ie-su, dan namaku sendiri Kong sun But Ok hampir kulupakan karena tenggelam oleh nama julukanku yang menakutkan itu. Memang keadaan manusia itu sewaktu-waktu bisa berubah. Setelah aku berusia tigapuluh lima tahun, mendadak kembali aku rindu akan ajaran Budha maka kembali aku mengasingkan diri bertapa mempelajari agama, sejak itu aku tidak mau turut campur lagi urusan dunia. Tambah lama aku mempelajari agama Budha itu, bertapa di tempat sunyi hatiku tambah tenang, keadaan jiwakupun tambah kuat. Entah bagaimana pada suatu hari terbetik satu pikiran, bukankah Budha itu di bawa oleh sarjana kita diantaranya sarjana Hwei Hseng dan Sung Yud dari negeri India, kedua sarjana itu membawa bermacam-macam buku Budha Mahayana, semua itu aku telah pelajari. Mengingat akan asal agama itu timbul niatku untuk mengun¬jungi India. Maka segera juga aku berangkat mengambil jalan darat, tapi di tengah jalan aku mendengar tentang adanya agama baru yang merembes di perbatasan Tiongkok, asal agama baru dari negeri Arabia. Men-dengar itu, hatiku berubah, ingin aku mengunjungi negara Arabia dan mempelajari seni bentuk dan ragamnya agama itu, lalu niat itu kulaksanakan. Tanpa memperdulikan penderitaan. Aku akhirnya mengembara ke negeri orang, itulah benua Arabia asal dari agama yang kau anut. Hampir dua puluh tahun aku di sana, mengembara dari pojok ke pojok dunia Arab. Dan kini kau boleh panggil aku Haji ...” berkata sampai di situ, si orang tua menghela napas, memandangi Kang Hoo yang duduk ber¬sila mendengarkan dengan penuh perhatian. Kongsun But Ok berkata lagi, “Setelah aku kembali ke negeri kita, aku bertapa di tempat ini, menghubungkan kedua macam agama yang pernah aku pelajari. Dari penyelidikanku, aku dapat menyimpulkan bahwa dari kedua agama itu mengandung inti sari kejiwaan yang sangat dalam dan kalau saja manusia berhasil menguras inti sari ilmu kejiwaan dari dua ajaran agama itu digabung menjadi satu. Maka akan timbul satu kekuatan tenaga bathin yang sangat luar biasa dan aneh. Sejak berpikir begitu aku memperdalam kedua ajaran agama itu dalam segi kerohanian. Dan akhirnya setelah memakan waktu belasan tahun kemudian berhasillah aku menciptakan satu ilmu kekuatan bathin yang ber¬sumber dari kemurnian jiwa!”

Sampai di situ, Kongsun But Ok Pek-kut Ie-su menatap wajah Kang Hoo yang duduk bersila di bawah pembaringannya.Kang Hoo sendiri yang mendengarkan cerita si orang tua, ia mendengarkan dengan melompongkan mulut, dan takkala si orang tua menatap wajahnya, ia bertanya,“Jadi cianpwe, adalah Kongsun But Ok Pek-kut Ie-su yang pernah menggemparkan rimba persilatan pada tiga puluhan tahun yang lalu?”

“Nnnggg, kau jangan sebut lagi julukan Pek kut Ie-su, julukan itu sudah tidak co¬cok dengan keadaanku sekarang. Kau boleh panggil saja aku Haji Kong-sun But Ok, aku lebih senang mendengar sebutan itu, bukan?”Kang Hoo mengangguk-angguk katanya,“Hamba, pernah mendengar nama itu dari suhu. Harap cianpwe jangan gusar.” 

“Anak tolol!” seru Kong-sun But Ok.“Kau panggil aku Haji Kong-sun But Ok apa, sudah paham.”

“Hamba paham.” seru Kang Hoo.“Paham apa?” tanya Haji Kong-sun But Ok.“Hamba sedang berhadapan dengan Pak Haji Kong sun But Ok.” kata Kang Hoo.

“Ha, . . . ha . . . haaaaa, haaaaaa . . .hua ... a.....” tertawa berkakakan Kong sun But Ok, “Begitu, begitu, kau mesti panggil aku Haji Kong-sun But Ok. Hua haa . . . haaaaa .... aaaa bocah apa kau sudah sembahyang Dhuhur, hmmm, ehe heee.....heee.....”

Mendengar pertanyaan itu, Kang Hoo kelabakan, hatinya berdebar keras, bukankah sembahyang itu wajib bagi dirinya tapi selama ini ia tidak pernah melakukan sembahyang itu, maka dengan gugup ia berkata,“Pak . . . haji , . . selama ini ......hamba tidak lagi melakukan sembahyang, ini karena keadaan hamba yang terus-terusan dikejar-kejar orang jahat, tapi hati sanu¬bari hamba tetap yakin kepada Nya dan utusan Nya Nabi besar Nuhammad!”

“Heheee . . . he . . heeee . . . heeeees . . . …” Kong-sun But Ok tertawa terke-keh, “Mengapa kau mesti takut mengakui kenyataan, aku sendiri tidak pernah mela¬kukan sembahyang . ...”“Eh, tapi .... tapi . . . bukankah pak Haji wajib melakukan lima waktu itu, itu¬lah wajib dalam rukun agama”, tanya Kang Hoo.“Heheee . . . aku tahu.” kata Kong-sun But Ok, “Karena sejak aku kembali dari negeri Arabia, aku sibuk dengan menyeli¬diki persamaan dan perbedaan antara agama yang lama dan agama yang baru, hingga aku tak sempat melakukan sembahyang tapi aku yakin Allah itu Pemurah dan Pengasih. Semoga Ia mengampuni dosaku, dan hal yang wajib itu, bukanlah hanya sembahyang lima waktu, kau tentunya juga tahu mencari ilmu dan menolong orang sengsara itu juga wajib. Nah aku telah menjalankan kewajiban mencari ilmu itu, se¬lama ini waktu kuhabis untuk mencari ilmu. Dan akhirnya aku berhasil, heeehee heeee . . . heeee . . . …”Kembali si orang tua tertawa berkakakan.

Mendengar dan menyaksikan sikap orang tua itu hati Kang Hoo jadi kebingungan, mengapa ucapan orang tua ini agak melantur, dan suara tertawanya tadi, bukankah seperti suara tertawa orang gila. Maka pikir Kang Hoo dalam hati,“Apakah aku ini berhadapan dengan se¬orang Haji gila?”

“Eheee .... heeee ...” Kong sun But Ok terus tertawa melihat perobahan wajah Kang Hoo, lalu katanya,“Mungkin hatimu mengatakan aku ini seorang gila. Heeeheee . . . …”

“Ah. Mana berani,” seru Kang Hoo terkejut.“Hmmm, huaaheeeee.......” kembali Kong-sun But Ok tertawa lagi, “Nah mulai hari ini kau akan kujadikan muridku, aku akan menurunkan ilmu bathin yang selama puluhan tahun ini kuciptakan, nanti setelah kau menerima ilmu itu kau bisa malang melintang di atas dunia ini. Tapi sebelumnya kau harus membaca dulu surat Al-faatihah, sebanyak tujuh kali di hadapanku. Apa kau bisa?”Kang Hoo mengangguk kepala, lalu ia mulai membacakan apa yang diminta oleh orang tua itu.Tapi setelah Kang Hoo membaca surat Al Faatihah, sebanyak satu kali, menda¬dak Haji Kong-sun But Ok mengerutkan kening, katanya dingin,“Aku tidak butuh lagu suara itu. Kau baca dengan bahasa kita!”

“Tafsirnya?” tanya Kang Hoo.“Ya. Tafsirnya, tidak guna kau melagukan ayat demi ayat, bila kau tidak mengerti bagaimana bunyi tafsirnya.” kata Haji Kong-sun But Ok.Maka setelah memandang sang guru, Kang Hoo membacakan tafsir dari Al Faatihah di depan sang guru. Ucapnya dengan pemusatan pikiran ke hadapan Tuhan,1. Dengan nama Allah yang Pemurah dan Pengasih.2. Segala puji bagi Allah Tuhan se¬mesta alam.3. Yang Maha Pemurah dan Pengasih, 4. Yang memerintah di hari Qiamat.5. Engkaulah yang kami sembah dan Engkaulah yang kami minta tolong.6. Tunjukkanlah kami ke jalan yang benar. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan pula jalannya orang yang sesat.Terimalah ya Tuhanku.Sambil duduk bersila di atas pembaringan kayunya, Kong-sun But Ok mendengarkan terus Kang Hoo membacakan tafsir dari ayat Al Faatihah sebanyak tujuh kali. Setelah selesai Kang Hoo membacakan ayat itu, Haji Kong-sun But Ok, manggut-manggut, ia tersenyum,“Bagus, bagus . . . . mulai detik ini kau kuangkat jadi muridku, menerima gemblengan lahir bathin. Nah kau bangkitlah.”Mendenpar perintah itu, Kang Hoo se¬gera bangkit berdiri di depan sang guru agamanya.Kong-sun But Ok masih duduk bersila di atas pembaringannya. Ia memandang Kang Hoo, lalu katanya,'“

“Pelajaran pertama. Pusatkan seluruh perhatianmu! Ciptakan hawa amarahmu!”

Mendapat perintah latihan pertama yang demikian rupa Kang Hoo, jadi berdiri bengong memandang sang guru.“Ah, Ayo! Jangan mematung begitu,” bentak Kong-sun But Ok.

“Guru, .... ini mana mungkin,” kata Kang Hoo memandang gurunya, “Menciptakan hawa amarah, bukankah itu berten¬tangan dengan ajaran agama. Kita harus menjauhkan sifat-sifat jelek, melenyapkan perasaan sirik dengki, menciptakan situasi damai pada jiwa kita. Hari ini guru meme¬rintah aku menciptakan hawa amarah. Mana bisa.”

Mata Kong-sun But Ok, berputaran memperhatikan Kang Hoo, yang berani membantah perintahnya, tampak begitu pipi tuanya yang keriput itu bergerak-gerak, entah perasaan apa yang dikandung dalam dada si orangtua aneh itu.Sementara itu Kang Hoo masih terus berdiri mematung, hatinya sedikit bergidik menyaksikan sikap gurunya yang demikian rupa. Tanpa disadari, kakinya bergeser mundur ke belakang dua tindak.“Nggg ...” menggereng Kong-sun But Ok menyaksikan sang murid mundur ke belakang, lalu katanya,“Kau maju dua langkah!”Mendengar perintah maju dua langkah, sepasang kaki Kang Hoo, bergerak maju lagi dua langkah, mendekati sang guru.“Apakah kau masih ingin mengangkat aku menjadi guru?” tanya Haji Kong-sun But Ok.Kang Hoo mengangguk kepala. Tapi mulutnya bungkam.Kong-sun But Ok masih duduk bersila di atas pembaringan kayunya, ia mengang¬guk angguk kepala lalu katanya,“Dengarlah! Pusatkan perhatianmu! Ciptakan hawa amarah.”

Kembali Kang Hoo mendapat perintah latihan demikian, hatinya jadi gelisah mengapa gurunya ini memerintahkan ia menciptakan hawa amarah Bukankah itu bertentangan dengan ajaran agama. Meskipun ia mesti melanggar ajaran agama itu. Tapi bagaimana secara mendadak tanpa hujan tanpa angin bisa timbul hawa ama¬rahnya. Maka cepat-cepat ia berkata,“Guru. sebenarnya...... hamba bagaimana bisa menciptakan bawa amarah itu. Ini sulit.”

Mendengar jawaban Kang Hoo demikian rupa, Kong-sun But Ok tertawa terbahak-bahak, lalu sambil menunjuk-nunjuk dengan suling peraknya, ia berkata,“Aku tahu, aku tahu, jawabanmu ini benar nah, begitulah harusnya kau menja¬wab, jangan sok pintar soal agama. Aku ini Haji, bertahun-tahun mengembara di tanah suci Mekah, aku lebih tahu darimu. Hmm. Untuk menciptakan hawa amarah, sebenarnya itu mudah kulakukan dengan meniup seruling ini, aku bisa membuat kau marah seperti kerbau gila. Tapi itu tidak sempurna, ilmu yang akan kuturunkan harus dipupuk dari semangatmu sendiri tanpa bantuan suara suling. Apa kau mengerti maksudku?”

Meskipun ia tidak mengerti akan apa yang diucapkan sang guru. Kang Hoo menganggukkan kepala, jawabnya,“Ya.”Jawaban singkat Kang Hoo itu terpaksa, ia kuatir kalau gurunya nanti menunjukkan wajah seperti tadi, Wajah itu sangat menakutkan. Maka meskipun ia sendiri kurang mengerti apa maksud kata gurunya tadi la menjawab saja “Ya.” Urusan belakang bagaimana nanti saja.“Apa kau sudah mulai memusatkan pikiranmu?” tanya Haji Kong-sun But Ok.“Teecu akan mulai.” jawab Kang Hoo tergetar.

“Nah cobalah,” seru sang guru.Kang Hoo memejamkan sepasang mata¬nya, ia memusatkan pikirannya mengum¬pulkan hawa amarah. Otaknya diperas guna menciptakan hawa marah tadi. Pikirannya diarahkan pada lawan-lawan yang pernah melu¬kainya. Dibayangkannya manusia-manusia seragam hitam beselubung muka yang membunuh ayahnya serta melukai dirinya. Tapi yang timbul bukanlah hawa amarah sebaliknya, rasa sedih yang mempengaruhi jiwanya, sedih ia teringat bagaimana sang ayah binasa di tangan musuh gelap, dan bagaimana ia melihat sendiri mayat ayah itu mencair. Tanpa dirasa matanya yang dipejamkan itu mulai membasah.Kong-sun But Ok memperhatikan keadaan Kang Hoo, ia melihat sepasang mata si pemuda yang terpejam itu mengembang air, cepat ia membentak,“Anak tolol! Aku bukan suruh kau bersedih hati.”Mendengar suara bentakan sang guru, Kang Hoo jadi kaget, ia tersentak, mata¬nya dibuka, dengan lengan bajunya ia menggosok air mata tadi. Katanya gemetar,“Teecu teringat akan ayah.”“Hmm. Kalau kau tidak mampu memusatkan pikiranmu,” kata Kong-sun But Ok, “Baiklah aku akan mengambil cara lain. Nah sekarang kau robek baju rombengmu itu.”Kembali Kang Hoo dibuat bingung mendengar perintah sang guru. Tapi ia tidak mau banyak pikir, cepat ia merobek bajunya yang sudah rombeng. Maka di dalam goa itu terdengar suara memberebet yang panjang. Dan berbarengan dengan sirapnya suara koyakan baju itu, di tangan Kang Hoo sudah memegang sobekan kain bajunya.“Kurang lebar.” seru sang guru.“Kurang lebar?” Kang Hoo berkata dalam hatinya. Lalu ia membuang sobekan itu di lantai goa. Kemudim membuka bajunya dan baju yang telah dibuka itu, dirobek-robeknya menjadi beberapa lembar. Lalu ditunjukkan di depan sang guru.Menampak kelakuan gila Kang Hoo. Dengan masih duduk bersila di atas ranjang kayu Kong sun But Ok tersenyum, katanya,“Berikan aku salah satu sobekan itu.”

Kang Hoo memberikan selembar koyak-koyakan kain bajunya yang terlebar pada sang guru, sedang sisa yang lainnya masih dipe¬gangnya di tangan kiri.Sambil manggut-manggut, Kong sun But Ok menerima sobekan baju Kang Hoo, lalu ia meletakkan suling peraknya di atas pangkuan, sobekan baju tadi, diperas-perasnya berulang kali. Tampak wajah Haji Kong sun But Ok serius, seperti ia sedang mengerahkan tenaganya untuk menghancurkan sobekan kain tadi,Tapi sobekan kain tadi bukan dihancurkan setelah diperas-perasnya, lalu ia membuat tiga buah ikatan simpul. Setelah itu baru ia memandang Kang Hoo katanya,“Perhatikan!''Berbarengan dengan kata-katanya, Kong-sun But Ok melemparkan sobekan baju Kang Hoo, ke atas langit-langit goa, maka sobekan baju itu meluncur terbang ke atas, berbareng mana, setelah ia melemparkan sobekan baju tadi, tangannya cepat mengambil itu seruling perak, lalu seruling tadi dilempar ke atas menyusul meluncurnya sobekan kain baju.Luncuran suling perak yang cepat itu membentur sobekan baju di tengah udara, kemudian terangkat naik ke atas lalu membentur langit-langit goa.Kang Hoo yang terus memperhatikan kelakuan gurunya, ia mempelototkan sepasang matanya, hatinya tidak mengerti, tapi ia tidak sempat bertanya apa maksud gurunya berbuat demikian, jelas sekali bagai¬mana suling perak itu meluncur menerjang sobekan kain bajunya lalu menancap membentur langit-langit goa batu. Dan sobekan baju tadi ditembusi suling, tiga simpul ikatan pada kain baju itu terjuntai ke ba¬wah.

“Hmm. Dengar!” seru Haji Kong-sun But Ok.Mendengar seruan sang guru, Kang Hoo memandang wajah gurunya dengan penuh perhatian.“Untuk melatih menciptakan hawa amarah. Kau pukullah tiga simpul kain itu di atas langit-langit goa.”

Mendengar keterangan gurunya demikian rupa Kang Hoo menengadah ke atas, ia memperhatikan tiga simpulan sobekan kain baju itu di atas langit-langit goa. Meskipun la¬ngit-langit goa itu tingginya lebih dari tiga meter, tapi dengan mengandalkan latihan lompat tinggi yang ia pernah latih di bawah asuhan Beng Cie sianseng, baginya tidaklah sulit untuk dapat melakukan serangan di atas tadi. Tapi ia masih bingung, apakah dengan cara demikian benar bisa menciptakan hawa amarahnya. Sesaat ia masih memandangi ke atas langit-langit goa batu, gurunya sudah berkata lagi,“Sebelum kau berhasil melakukan latihan ini, kau dilarang meninggalkan goa, kecuali waktu makan dan waktu kau sembah¬yang, selainnya kau harus terus berlatih memukul tiga simpulan kain di atas sana.”

“Sembahyang?” seru Kang H o o.“Ya.” jawab sang guru tersenyum. “Lima waktu. Ingat jangan kau lalaikan. Sebenar¬nya, latihan ini harus diiringi dengan la¬tihan semadhi, tapi semadhi itu mirip dengan ajaran Budha. Maka dengan jalan melakukan sembahyang lima waktu, itu sama saja kau bersemadhi memusatkan pikiran pada Tuhan Yang Maha Esa. Inilah ciptaan ilmuku. Kau nanti akan tahu bagaimana hasil dari latihan ini. Di bawah goa ini ter¬dapat sebuah goa merupakan mata air, kau boleh turun ke sana menggunakan akar rotan untuk kau membersihkan dirimu, dan mengambil wudlu (air sembahyang). Ingat goa ini menghadap ke timur, jika kau hendak ¬melaksanakan lima waktu kau harus menghadap ke barat. Mengerti?”Kang Hoo nengangguk.“Ayo mulai!” perintah sang guru.Kang Hoo memandang ke atas langit-langit goa lalu ia melempar sisa sobekan bajunya di lantai kemudian ia mengempos tenaganya lalu lompat melambung ke atas memukul sobekan kain bersimpul tiga itu.Gerakan pukulan pertama tadi berhasil dengan baik, Kang Hoo dengan mudahnya memukul sasarannya, kemudian tubuhnya kembali turun ke bawah. Lalu ia memandang sang guru.“Lihat apa?” Tanya Kong-sun But Ok, ketika melihat muridnya itu memandang dirinya.

“Kau pukul benda di atas itu, pu¬satkan perhatianmu, anggap benda itu musuhmu. Ingat jangan berhenti kalau aku tidak memberi perintah. Kalau kau masih bego saja, kulempar kau keluar goa. Anak tolol!”Mendengar makian sang guru, Kang Hoo tidak berani membantah, ia cepat melakukan serangan lagi pada simpulan kain di atas langit-langit goa. Kali ini gerakannya di¬lakukan berulang-ulang, bila ia telah tiba kembali di lantai goa, kembali melejit me¬mukul ke atas.

Latihan berlangsung terus, mataharipun mulai doyong ke barat, hari menjadi sore.Kang Hoo yang melakukan latihan aneh itu, napasnya sudah tersengal, badannya sudah mandi keringat, bahkan pada badannya sudah terdapat luka-luka. Karena dalam latihan itu, tidak jarang Kang Hoo mesti jatuh terguling di lantai dan membuat badannya yang sudah tak berbaju itu mesti merasakan bagaimana tajamnya batu-batu gunung di dalam goa. Tapi ia tidak mau memperdulikan itu semua, tambah ia mendapat luka tambah semangatnya terbangun. Untuk mengulangi menyerang sobekan kain di atas langit-langit goa.Ketika napasnya sedang memburu melakukan gerakan latihan aneh itu, mendadak saja terdengar sang guru berkata,“Berhenti! Waktu Ashar! Kau harus sembahyang empat raka'at.”

Mendengar perintah suhunya, Kang Hoo cepat menghentikan latihan. Tubuhnya su¬dah basah mandi keringat!Melihat kalau Kang Hoo sudah basah kuyup dengan keringat juga napasnya tersengal-sengal Kong-sun But Ok berkata.“Kau makan dulu buah di dalam kuali batu itu di luar sana. Setelah itu kau boleh merambat turun mencuci dirimu mengam¬bil wudhu. Kau harus melakukan sembah¬yang di tempat ini.”

Kang Hoo tidak berani membantah perintah gurunya, ia berjalan keluar meng¬ambil buah di atas kuali tanah. Dengan napas ngos-ngosan ia melahap buah tadi. Setelah itu baru dengan menggunakan akar rotan ia merosot lurun ke arah goa dimana terdapat mata air.Tak lama Kang Hoo sudah merambat kembali naik ke atas goa. Lecet-lecet pada kulit badannya sudah dicuci bersih. Ia mengha¬dap sang guru.Kong-sun But Ok mengetahui kalau sang murid sudah kembali ke dalam goa. Dengan masih duduk bersila ia berkata,“Nah, tunggu apa lagi, ini waktu Ashar jangan sampai terlambat!”

“Ya, ya, teecu tahu,” jawab Kang Hoo, ia memperhatikan letak tempat dalam goa itu, pintu goa menghadap ke timur jadi ia harus menghadap ke barat ke arah qiblat. Yang berarti ia mesti menghadapi gurunya yang masih duduk bersila di atas pemba¬ringan kayu.Selagi Kang Hoo memperhatikan keadaan tempat itu, sang guru sudah bertanya lagi,“Apa celanamu sudah kau cuci bersih?” Kang Hoo mengangguk.“Nah sembahyanglah, gunakan tikar anyam itu!”Mendapat perintah itu, Kang Hoo tidak berani membantah ia mulai berdiri tegak menghadap qiblat lalu hatinya berniat.Sementara itu Kong-sun But Ok masih terus duduk di atas pembaringan kayunya memperhatikan Kang Hoo yang mulai me¬lakukan sembahyang.Kang Hoo tahu kalau gurunya Haji itu masih duduk di depannya, tapi ia tidak mau perduli terus melakukan sembahyang hingga selesai empat rakaat. Setelah mana barulah ia berdiri.“Bagus!” kata Kong sun But Ok.“Guru,” seru Kang Hoo, “Mengapa guru tidak sembahyang?”

“Anak setan?” bentak haji Kong-sun But Ok, “Kau jangan banyak cerewet turut saja perintahku. Nah sekarang mulai kau berlatih lagi, nanti waktu Magrib kau mesti melakukan sembahyang lagi. Kalau kau masih berani banyak mulut akan kucekik batang lehermu.”

Mendengar kalau sang guru menjadi marah besar. Kang Hoo jadi merengket ia cepat membalik badan memulai latihannya, dalam hati Kang Hoo berkata,“Haji gila! Orang dipaksa sembahyang ia sendiri duduk nongkrong di atas tempat tidur!”Hatinya berkata demikian, tangan dan kaki Kang Hoo bergerak melakukan latihan mengerahkan hawa amarah.Latihan tadi berlangsung sampai malam, waktu Maghrib dilewati. Menyusul mana waktu Isya berlalu.Kang Hoopun tidak lupa pada setiap waktu itu melakukan sembanyang tapi sang guru, haji Kong-sun But Ok masih terus saja duduk nongkrong di atas pembaringan kayunya ia tidak pernah melakukan sembahyang.Pengalaman satu hari itu di bawah didikan guru barunya, Kang Hoo mendapatkan pengalaman baru yang sangat aneh, karena di dalam goa pada malam hari itu, keadaan tampak terang, sinar terang mana ternya¬ta keluar dari suling perak sang guru di atas langit-langit batu.Siang tadi Kang Hoo tidak melihat ada¬nya cahaya pada suling perak itu, tapi ketika hari memasuki waktu Magrib, pada batang seruling tampak titik-titik mengkilat yang memantulkan cahaya.“Beginilah setiap hari kau mesti mela¬tih,” kata Kong-sun But Ok, “Setelah lewat waktu Isya kau baru boleh berhenti berla¬tih. Dan itu suling perak mengandung titik sinar di malam hari. Kau jangan heran di dataran Tiongkok negeri kita ini, bukankah banyak benda mustika seperti itu. Tapi suling ini kudapatkan dari negeri Bagdad. Rupanya dunia ini sangat luas, dan sangat banyak dengan keanehan-keanehan, bukan saja negeri kita yang memiliki banyak benda-benda aneh, tapi negeri lain juga tidak kurang terdapat benda-benda' antik. Nah, seperti suling itu, ku dapat hadiah dari seorang Arab di tanah Bagdad. Negeri dari seribu satu malam,”Kang Hoo mendengar cerita gurunya yang pernah mengembara ke benua Arabia itu. Meskipun telinganya mendengarkan semua kata-kata gurunya, tapi pikirannya masih di buat bingung. Bukankah gurunya ini se¬orang Haji? Mengapa ia tidak melakukan sembahyang lima waktu? Terus-terusan duduk nongkrong di atas ranjang kayunya. Juga Kang Hoo sedikit heran, sang guru itu setahunya sejak ia berada dalam goa belum pernah makan barang sedikitpun apa ia tidak merasa lapar?Berpikir bolak-balik akhirnya hati kecil Kang Hoo berkata,“Apakah aku benar-benar telah mendapatkan seorang guru otak miring? Apakah ia ini seorang Haji gila?”Tapi kata hati kecilnya itu ia tak berani utarakan di depan gurunya. Kuatir kalau sang guru timbul marahnya.

“Nah, kau istirahat di goa depan, besok subuh, setelah kau melakukan sembahyang dua rakaat, kau mulai lagi melatih menge¬rahkan hawa amarahmu. Ingat diwaktu malam jangan ganggu aku!”Mendengar perintah gurunya, Kang Hoo membalikkan badan ia jalan keluar goa depan, lalu karena lelahnya terus saja membaringkan diri dan tak lama kemudian ia sudah tidur menggeros.

Bab 14



HARI PAGINYA.Sehabisnya sembahyang subuh, Kang Hoo memulai lagi latihannya.

Haji Kong-sun But Ok masih duduk ber¬sila di atas ranjang kayu, memperhatikan sang murid yang lompat ke atas memukul-mukul ikatan simpul sobekan baju di atas langit-langit goa.Gerakan lompatan Kang Hoo, dalam melakukan serangan pukulan ke atas itu begitu indahnya, ia menggunakan jurus-jurus ilmu silat yang pernah ia pelajari dari Beng Cie sianseng.Tapi pagi ini setelah beberapa kali, ia melakukan serangan pukulan itu, ia tidak dapat berdiri tegak lagi begitu turun di bawah, badannya seringkali terguling ro¬boh di atas lantai batu goa.Begitu ia jatuh roboh, terasa bagaimana kulit badannya dibikin lecet oleh benturan pada lantai goa tadi. Tapi mendadak saja semangatnya terbangun, ia bangkit berdiri lagi dan melakukan serangan pukulan ke atas. Berulang kali gerakan itu dilakukannya, berulang kali pula tubuhnya terguling jatuh di lantai.Sementara itu Kong-sun But Ok terus memperhatikan dari atas pembaringan kayu.

Sang matahari di timur menggelusur naik mengikuti putaran bumi. Dan ketika sinar matahari berada empatpuluh derajat di ti¬mur keadaan Kang Hoo sudah demikian rupa. Ia seperti tidak sanggup lagi untuk melakukan serangan pukulan ke atas. Begitu kakinya lompat dan tangannya bergerak memukul, mendadak badannya roboh terguling.Kang Hoo merasakan keanehan itu muncul tiba-tiba, ia mengerutkan kening, pikirnya,“Apakah aku sudah kehabisan tenaga?”Setelah berpikir begitu, kembali ia lompat menerjang ke atas, tapi gerakkannya kini tak dapat lompat tinggi, begitu ia bangun dan mengayun tangan tubuhnya mendadak terguling lagi.

Kong-sun But Ok yang menyaksikan kalau muridnya terus-terusan jatuh terguling, ia tersenyum-senyum sambil mengangguk kepala.Sementara itu Kang Hoo tambah sengit, begitu ia roboh terguling, tanpa merasakan lagi sakitnya luka-luka pada kulit, ia segera meletik, menggunakan jurus Ikan Gabus Meletik ia lompat ke atas.Tapi sungguh aneh, jurus Gabus meletik yang biasanya begitu hatinya bergerak lantas badannya bisa meletik lompat bangun, kini tak berguna, karena begitu sang hati ingin menggunakan jurus itu, begitu keadaan tubuhnya menjadi kaku tak dapat digerakkan hingga ia hanya berkutetan di lantai goa.

“Cukup!” mendadak Haji Kong-sun But Ok berseru.Waktu itu Kang Hoo masih rebah di atas lantai goa, ia baru saja berkutetan ingin meletik bangun, begitu mendengar perintah sang suhu, maka dengan tersengat ia bangkit duduk. Kini terasa bagaimana seluruh badannya terasa perih karena lukanya.

“Bangun!” perintah sang guru. “Latihanmu sudah selesai!”

Mendengar kalau latihan Kang Hoo sudah selesai, ia jadi heran, bukankah tam¬bah lama Kang Hoo tambah tak becus untuk melakukan serangan pada tiga ikatan simpul sobekan baju. Mengapa kini sang suhu mengatakan latihannya sudah selesai, dengan membawa rasa herannya, ia bangun berdiri menghadapi gurunya, lalu tanyanya,“Guru, apa maksudnya?”

“Anak tolol!” seru Haji Kong-sun But Ok, “Dengan latihanmu yang terakhir itu kau telah berhasil menciptakan hawa ama¬rah!”

“Aaaaaa.....” teriak Kang Hoo, ia memandang ke atas langit goa dimana terdapat sobekan kain bersimpul tiga yang menancap di batang suling perak gurunya.“Nah, kau dengarlah,” kata Kong sun But Ok.

Kang Hoo kembali memandang gurunya dengan sinar mata heran. Sementara itu sang guru sudah berkata lagi,“Bukankah pada akhir-akhir latihanmu, begitu kau niat hendak melakukan serang¬an, seperti ada sesuatu yang membuat ba¬danmu menjadi kaku hingga kau tak dapat melakukan gerakan serangan. Bukankah begitu?”Mendengar pertanyaan sang guru Kang Hoo mengkerutkan kening, kemudian ia mengingat-ingat kejadian selama ia melakukan latihan, lalu mengangguk kepala, katanya perlahan,“Benar, memang aneh, pertama kali dengan mudah aku bisa memukul tiga simpul sobekan kain di atas ini, tapi mengapa tambah lama seperti ada sesuatu kekuatan yang membuat gerakanku jadi kaku dan aku roboh terguling. Bagaimana bisa jadi begitu?”

Mendengar ocehan sang murid, Kong-sun But Ok tersenyum, katanya,“Itulah karena kau telah berhasil menciptakan hawa amarahmu.”

“Jadi?” tanya Kang Hoo masih tidak mengerti.“Sulit untuk kau pahami.” kata sang guru di atas pembaringan kayu, “Karena inilah dasar ilmu tenaga dalam yang akan kuturunkan padamu. Ilmu itu kuambil dari dua intisari kekuatan bathin, yang diambil dari kekuatan ilmu bathin Islam dan kekuatan ilmu bathin Budha.”

“Guru.” potong Kang Hoo, “Guru mengatakan kalau guru seorang haji, tentunya menganut agama Islam itu, tetapi bagaimana selama dua hari ini teecu tidak pernah melihat guru melakukan sembahyang lima waktu. Tapi menyuruh teecu melaksanakannya, sedang guru sendiri hanya nongkrong di atas pembaringan.”

“Nggg ...” Kong-sun But Ok menggereng. “Sudah kubilang, kedua ajaran agama itu telah kupelajari matang, Budha sudah menjadi darah dagingku. Islam sudah mengelotok dalam kepalaku, hingga aku tak perlu mesti bersusah payah melaksanakan ajaran agama itu. Kalau aku mati tentunya aku juga bisa memilih masuk sorga atau masuk nirwana? Dengan hasil penyelidikanku selama bertahun-tahun aku telah berhasil menemukan sesuatu. Itulah perpaduan dari intisari kekuatan bathin. Itulah suatu ilmu yang sangat luar biasa. Tentunya ilmu itu adalah ilmu dari aliran putih. Selama kau dalam didikanku, kau harus melakukan sembahyang lima waktu menurut agama yang kau anut, sebenarnya latihan itu bisa juga diiringi dengan latihan semadhi, tapi dengan melaksanakan sembahyang lima waktu itu, itu lebih dari cukup. Bersemadhi dan berolah raga melancarkan jalan darah di tubuhmu. Bukankah setiap rakaat yang kau lakukan dalam sembahyang itu, mela¬kukan gerakan dan pemusatan pikiran, dengan demikian, berarti sekaligus kau sudah melakukan semadhi dan mengatur membuka jalan darahmu yang beku.”Kang Hoo mendengarkan penuturan sang guru aneh itu, dengan penuh perhatian, sementara sang guru masih terus berkata,“Latihan pukulanmu pada sobekan kain di atas langit-langit goa ini, adalah merupakan latihan pertama, kau sendiri merasakan bagaimana pada hari ini mendadak badanmu terasa tertekan oleh sesuatu kekuatan, bila kau melakukan serangan. Nah aku tanya, apakah dalam kau melakukan pukulan itu hatimu marah, penuh angkara murka?”Mendengar pertanyaan sang guru, Kang Hoo mengangguk, katanya,“Benar, tambah lama, teecu jadi tambah sengit, lebih-lebih setelah hamba jatuh menda¬pat lecet, mendadak kemarahan teecu muncul tiba-tiba, dan ketika itu mulainya adanya keanehan tambah teecu bernafsu tambah tak dapat bergerak.”

“Hehebeeeheeeeeee......” Kong sun But Ok tertawa terkekeh, “Nah dari pe-lajaran pertama itu kau mesti dapat me¬narik satu kesimpulan? Apa kau sudah dapat memahami?”Mendengar pertanyaan demikian Kang Hoo melompongkan mulut, ia tidak bisa menjawab pertanyaan sang guru, kesimpul¬an apakah yang telah dihasilkan dari hasil latihan pertama itu. Setelah lama ia ber¬pikir, akhirnya ia menggeleng kepala.Kong-sun But Ok menyaksikan kebi¬ngungan yang murid ia tersenyum katanya,“Mungkin otakmu terlalu tolol! Bukankah dengan hawa amarahmu kau tak bisa berbuat apa-apa. Nah setiap manusia mempu¬nyai itu kelemahan. Kelemahan itulah yang menghancurkan diri mereka. Kemarah¬an dan hawa amarah yang menggelora dalam dirinya sebenarnya melenyapkan tenaganya. Merusak susunan syaraf. Tinggal sekarang apakah kita bisa menggunakan kesempatan itu untuk merobohkan mereka dengan mudah. Tanpa senjata tanpa banyak mengeluarkan tenaga? Hmmmm. Puluhan tahun umurku kukorbankan untuk mencari rahasia ini, dan setelah aku mengembara ke negeri Arabia, kasrak kusruk ke negara Bagdad akhirnya aku menemukan sesuatu dari ajaran agama Islam. Kemudian kupadukan penemuanku itu dengan ajaran Budha akhirnya terciptalah ilmu yang akan kuterapkan dalam dirimu.”Berkata sampai di situ, haji Kong-sun But Ok, menatap ke atas langit-langit goa dimana terdapat kain bersimpul tiga. Lalu ia berkata lagi,“Sobekan kain itu telah kubuatkan tiga simpul apa kau tahu maksudnya?”Kang Hoo memandang ke atas langit-langit goa kemudian ia menatap wajah sang guru lalu katanya,“Tidak tahu!”

“Hmm. Sobekan baju itu telah kuisi dengan satu kekuatan bathin.” kata sang gu¬ru “Itulah ilmu bathin yang kuciptakan, dan karena ilmu bathin itu berdasar atas kejiwaan, maka ilmu itu kuberi nama ilmu Karakhter.”

“Ilmu Karakhter?” guman Kang Hoo “Apakah ilmu itu bukan semacam ilmu Hoat-sut?”

“Tidak!” jawab tegas Haji Kong-sun But Ok, “Ilmu Karakhter bukan ilmu Hoat-sut. Itulah ilmu bathin yang paling murni bersumber dari jiwa dan darah daging manusia itu sendiri, dan ilmu itu sebenarnya sudah ada sejak manusia itu lahir ke atas dunia.”Mendengar keterangan sang guru, kem¬bali Kang Hoo melompongkan mulutnya, tambah lama ucapan sang guru tambah tak bisa dimengerti.

“He .... heee.....” Kong-sun But Ok tertawa, “Kau tambah lama kelihatan tambah tolol. Apa yang membuatmu itu jadi tolol?”

“Guru,” kata Kang Hoo memandang gurunya, “Ilmu Karakhter itu menurut guru sudah ada pada setiap manusia lahir ke dunia, kalau begitu, untuk apa perlu dila¬tih. Dan tentunya setiap manusia itu ada¬lah jago-jago yang luar biasa.”

“Hmmm. Kalau setiap manusia itu bisa mengerahkan kekuatan Karakhter yang diwariskan sejak ia lahir, di dunia ini tidak akan ada kekacauan. Dunia ini tidak akan ada pembunuhan, saling fitnah dan saling caci maki . Karena setiap orang yang betul-betul ingin mengerahkan kekuatan Karakhter yang ada pada dirinya ia mesti melenyapkan hawa amarahnya Me¬nenangkan pikiran. Menjauhi segala angkara murka. Maka kekuatan itu akan muncul melindungi dirinya. Kalau ti¬dak, huh. Iblis dan setanlah yang akan mengeram dalam jiwa orang itu!”Mendengar ucapan guru ini, kembali Kang Hoo dibikin pusing, dalam penjelasan itu dikatakan kalau ilmu Karakhter itu mesti melenyapkan hawa amarah dan angkara murka, tapi bagaimana sang guru ini, melatih ia melakukan serangan pukulan pada sobekan kain guna menciptakan hawa amarah, maka sambil menggaruk kepala, Kang Hoo bertanya,“Guru. Kalau begitu untuk apa guru melatih aku menciptakan hawa amarah. Dan itu kekuatan Karakhter sebenarnya kekuatan apa dari mana sumbernya?”

“Anak tolol.” kata Kong-sun But Ok. “Latihan mengerahkan hawa amarah itu penting, dengan kau dapat mengerahkan hawa amarahmu maka kau juga bisa memadamkan hawa marah itu dan melenyapkan seketika. Dan sumber kekuatan Karakhter itu adalah merupakan kekuatan tersembunyi yang terdapat pada diri tiap-tiap manusia sejak ia lahir. Bukankah kau dalam kandungan ibumu meronta-ronta ingin keluar dari rahim ibumu. Bagaimana waktu itu kau tahu, bahwa di luar perut ibumu itu masih ada dunia yang mesti kau masuki. Apakah ketika kau masih bayi itu sudah merasakan kehendak hatimu untuk keluar dari dalam kandung¬an itu? Setiap manusia tentu tidak! Gerakan bayi itulah membuktikan adanya kekuatan Karakhter. Itulah kekuatan Karakhter. Dan kekuatan itu begitu sang bayi lahir, lambat-lambat tertutup oleh kekotoran dunia, lenyap hari tambah hari, tahun ke tahun. Hingga kekuatan Karakhter itu bagaikan sebuah permata terpendam dalam lumpur. Nah, dengan hasil penyelidikanku itu aku berhasil menemukan cara membersihkan permata itu agar bersinar kembali. Dan kekuatan Karakhter itu muncul lagi dalam diri manusia. Itupun kalau kau menghendakinya. Syarat pertama tentunya kau mesti mentaati ajaran agama. Tidak perduli agama apa, Budha ataukah agama yang kau anut. Itu sama saja. Apa kau mengerti?”Kang Hoo menggarukkan kepala, ia tidak bisa menjawab mengerti apa tidak.“Sudahlah, waktu ini sudah waktu Dhuhur nah lakukanlah ibadahmu.” kata Kong sun But Ok. “Setelah itu kau boleh istirahat. Dan besok pagi kau akan mendapat latihan yang kedua!”

Dengan membawa perasaan herannya, Kang Hoo keluar goa, menggunakan akar rotan menuruni tebing. Membersihkan diri.



1 komentar: