Jumat, 09 Mei 2014

Cersil Buyung Hok Mustika Gaib 3

KANG HOO, dilarikan kuda melesat meninggalkan perkampungan.
Badan Kang Hoo tertelungkup di atas sadel kuda itu bergerak-gerak digoyang langkah lari kuda yang semakin keras.
Sang kuda yang merasa kedua samping perutnya terus-terusan dibentur-bentur oleh kepala dan kaki Kang Hoo, menyangka kalau si penunggang kuda itu menyuruhnya lari kabur lebih keras, sedang dua utas tali kekang kuda, laksana dua ekor ular lompat-lompatan di atas kepala kuda yang lari cepat itu.
Ketika Kang Hoo sadar dari pingsannya, hari sudah gelap ia jadi kaget, karena tubuhnya sedang menelungkup seakan dibawa terbang.
Karena kekagetan itu hampir saja tubuh Kang Hoo jatuh dari sadel kuda, tapi ia seorang pemuda yang berkepandaian silat dengan cekatan ia bergerak bangun lalu duduk di atas sela kuda, kedua tangannya menjambret dua tali kekang yang seakan lompat-lompatan terbang di atas kepala kuda. Setelah itu ia menarik tali kekang kuda tadi. Dan kuda yang ditarik meringkik keras, mengangkat kedua kaki depannya ke atas. Lalu lompat lagi ke depan, kemudian berhenti, menggoyang-goyangkan kepala.
Kang Hoo lompat dari atas punggung kuda, ia memperhatikan empat penjuru tempat itu, ternyata itulah sebuah rimba.
“Dimana ini?” pikir Kang Hoo.
Hari tambah gelap, Kang Hoo kehilangan arah, ia niat untuk pulang ke rumahnya tetapi ia tidak tahu kemana jalan harus ditempuh. Ia tiba ke tempat itu dibawa lari oleh kuda dalam keadaan pingsan. Keadaan di tempat itu merupakan hutan belukar di sana sini hanya gerombolan-gerombolan pohon.
Selagi ia kebingungan, mendadak dari antara sela-sela gerombolan pohon di bawah bantuan cahaya bintang yang kelap-kelip matanya melihat berkelebatnya bayangan merah lari menuju ke arah utara.
Dalam keadaan bingung itu Kang Hoo tidak banyak pikir, ia lompat ke atas punggung kuda lalu mengejar ke arah berkelebatnya bayangan merah tadi, ia tidak perduli bayangan itu manusia, setan, atau binatang buas, yang perlu ia mesti mencari jalan untuk dapat keluar dari rimba gelap ini.
Melewati beberapa tombak Kang Hoo kehilangan jejak bayangan merah tadi.
Di bawah sinar bintang yang kelap kelip ia memacu kudanya menerobos semak-semak belukar, setelah berjalan sejauh lima enam lie, mendadak ia mengangkat kepalanya memandang ke depan, serunya dalam hati,
“Di depan sana tampak mencorot sebatang sinar penerangan, menembusi sela-selanya ranting pohon tentu tidak jauh dari tempat ini terdapat sebuah perkampungan.”
Kang Hoo menggeprak kudanya, lari ke jurusan sinar api tadi. Setelah melewati jarak dua lie betul saja diantara lebatnya gerombolan pohon terdapat sebuah rumah atap.
Sekeliling rumah atap itu, dipagari pagar bambu, sedang di bagian lainnya tak terdapat bangunan rumah lagi.
Sejenak Kang Hoo ragu-ragu, pikirnya, “Rumah itu terpencil di dalam hutan, apakah penghuninya tidak kuatir kalau diganggu binatang buas atau diganggu orang jahat? Apakah tidak mungkin kalau rumah atap itu merupakan sarangnya berandal?” Tapi mengingat keadaan dirinya yang sehari penuh itu belum makan atau minum, sedang sang perut sudah kerocokan. Ia tidak lagi memperdulikan apakah itu rumah sarang penjahat atau rumah setan, ia jalan terus karena ia juga ingin menanyakan pada penghuni rumah atap itu tempat ini berada dimana.
Kang Hoo lompat turun dari atas kudanya lalu jalan menghampiri pagar bambu. Dengan bantuannya bintang di langit, Kang Hoo mengintip di sela-sela pagar bambu, dari sana ia bisa melihat dari daun kertas jendela rumah atap itu tampak menyorot ke luar sinarnya pelita.
Di depan pintu pagar rumah atap itu, Kang Hoo mengetuk pintu, dan baru saja ia mengetuk dua kali, suara ketukan mana membuat kaget seekor anjing, yang lantas lari menggonggong di dalam pagar.
Berbarengan dengan suara gonggongan anjing dari dalam rumah gubuk terdengar suara bertanya,
“Siapa diluar pagar?”
Itulah suara pertanyaan seorang perempuan!
“Aku orang liwat jalan, hendak menumpang nginap satu malam?” jawao Kang Hoo cepat.
Belum lagi jawaban Kang Hoo habis diucapkan pintu rumah atap itu sudah terbuka, dari sana jalan keluar menghampiri pagar bambu seorang perempuan tua, dari balik pagar bambu perempuan tua itu memperhatikan dengan teliti perawakan Kang Hoo, setelah memandang penuh selidik perempuan tua tadi, tersenyum lalu mengusir anjingnya yang terus-terusan menggonggong.
Sang anjing mengerti, sambil menggoyang-goyangkan buntutnya ia lari pergi.
Perempuan tua tadi lalu membukakan pintu pagar dan berkata,
“Bukankah kau ini bernama Kang Hoo?”
Mendengar namanya disebut si nenek, Kang Hoo melengak, ia kaget memperhatikan wajah keriput nenek itu, tapi seumurnya ia belum pernah kenal dengan si nenek, maka dengan rasa heran bertanya,
“Dari mana nenek tahu aku?” berkata sampai di situ Kang Hoo tidak berani meneruskan ucapannya. Ia ingin merahasiakan siapa dirinya.
Si nenek jadi tertawa, katanya,
“Kau tidak perlu takut menyebut namamu, masuklah, belum lama seorang tua dengan nama Beng Cie sianseng telah datang ke tempat ini, ia mengatakan kalau menemukan seorang pemuda bernama Kang Hoo supaya dapat memberikan bantuan, dan cepat-cepat suruh menyusulnya ke kota raja. .”
“Aaah. . . . jadi suhu sudah sampai di sini.” Tanya Kang Hoo, melangkah masuk, sambil jalan memasuki pekarangan, ia berkata lagi,
“Kalau begitu, aku tidak bisa lama-lama tinggal di sini, hanya tolong beri tahu kemana jalan yang mesti kutempuh untuk menuju ke kota raja. Dan tolong berikan aku sedikit air untuk menghilangkan rasa hausku.....”
“Mana bisa!” Kata si nenek sambil jalan di depan Kang Hoo, “Dalam keadaan malam gelap, bagaimana kau bisa menempuh perjalanan, lebih-lebih tempat yang akan kau lewati sangat berbahaya, belakangan ini kaum berandal merajalela, sebaiknya kau tunggu sampai fajar nanti baru kau melanjutkan perjalananmu. Dan eh . . . ya, rumahku ini terlalu sempit, aku tinggal di sini seorang diri, maka tempat ini kurang terurus, kau boleh pilih tempat sendiri.”
“Tidak apa,” jawab Kang Hoo “Kalau malam ini aku tidak bisa meneruskan perjalanan, aku bisa tidur di mana saja, asal ada tempat untuk membaringkan diri. Begitupun aku sudah merasa berterima kasih.”
“Kalau begitu kau masuklah duduk di dalam.” kata si nenek.
“Di luar masih ada kudaku,” kata Kang Hoo “Kalau bisa aku minta sedikit rumput untuk makan binatang itu. Ai . . . aku hanya membuat kau orangtua repot saja.”
“Jangan bilang begitu,” kata si nenek, “Beng Cie sianseng tadi, telah berpesan kalau bertemu dengan kau ia minta tolong untuk memberikan bantuan padamu, ia juga telah menitipkan sejumlah uang untuk bekalmu dalam perjalanan. Dan katanya, kau tidak perlu lagi kembali ke rumahmu …..”
“Hmmm ….” Kang Hoo bergumam mendadak saja tanpa disadari matanya digenangi air mata. Teringat akan nasib sang ayah.
Sementara itu si nenek berlalu ke belakang rumah, lalu kembali lagi dengan membawa rumput, dan Kang Hoo, juga telah menarik masuk kudanya, yang terus dikasi makan.
Setelah mana si nenek menyilahkan Kang Hoo duduk di dalam kamar, lalu ia mengambil secangkir air teh.
Kang Hoo yang memang sudah merasa haus ia segera menyambut pemberian air teh itu dan sekali minum telah habis isinya, ia merasakan air teh itu sangat wangi sekali.
Si nenek kembali menuang teh ke dalam cawan, baru ia duduk di depan sang tamu muda, dan bertanya,
“Sebenarnya kau she apa, bagaimana bisa kelayapan ke tempat ini. Ada hubungan apa dirimu dengan Beng Cie sianseng.”
Kang Hoo menceritakan siapa dirinya, tapi ia tidak menyebutkan tragedi pembunuhan misterius yang dilakukan oleh orang-orang seragam hitam itu.
“Oh, kiranya kau satu kongcu bangsawan aku sungguh berlaku kurang hormat,” kata si nenek, “Si tua Beng Cie sianseng itu keterlaluan, ia tidak menyebutkan asal usul dirimu, ia hanya berpesan agar aku memberikan bantuan pada kau bila kebetulan kau lewat ke tempat ini. Kukira dalam per-jalanan kau telah mendapatkan sengsara, tentunya dalam perutmu sudah kerocokan kelaparan, tunggu sebentar aku akan ambil makanan, cuma di sini di dalam tempat yang terpencil tidak terdapat arak dan sayuran, yang mana sungguh kurang pantas untuk melayani kongcu.”
Setelah berkata demikian si nenek lalu masuk ke kamar belakang, dan tak berapa lama ia telah datang lagi dengan membawa satu nampan berisi nasi dan makanan yang terdiri dari dua macam sayur dan dua potong daging, yang masih mengepulkan asap lalu diletakkan di atas meja.
“Kongcu silahkan makan sedikit,” kata si nenek.
Kang Hoo menghaturkan terima kasih, sebelum ia memakan hidangan yang disediakan si nenek, ia bertanya,
“Nenek ini daging apa?”
“Aaaah.....” wajah si nenek sedikit berubah. “Di tempat ini tak terdapat ma-kanan enak, inilah daging menjangan yang telah dikeringkan. Binatang ini juga hasil buruanku sendiri dalam hutan. Apakah kongcu merasa jijik dengan makanan ini.”
“Tidak! Tidak! Terima kasih sebenarnya aku tak suka makan daging babi! Maka aku tanyakan pada nenek .... .”
“Oh, ... .ini betul-betul daging menjangan, kongcu jangan ragu-ragu.” jawab si nenek tersenyum. Tapi hatinya merasa heran mengapa anak hartawan ini tidak doyan daging babi.
Kang Hoo yang mengetahui kalau daging itu daging menjangan, ia tidak ragu-ragu lagi memakan semua apa yang dihidangkan hingga perutnya dirasa kenyang.
Setelah Kang Hoo selesai makan, si nenek membereskan sisa makan itu. Lalu ia kembali duduk di depan si pemuda.
“Numpang tanya,” tanya Kang Hoo, “Kau orang tua mempunyai she apa, dan bagaimana bisa tinggal di dalam tempat yang begini sepi, cara bagaimana kau bisa tangkap seekor menjangan?”
“Aku she Cu,” jawab si nenek, “Almarhum suamiku she Hek, ia seorang pemburu, dari suamiku almarhum aku mempelajari bagaimana membuat perangkap untuk menangkap binatang, dengan kepandaianku itu, aku menyambung hidup dalam gubuk terpencil ini di dalam rimba!”
Mendengar kalau si nenek istri dari seorang pemburu, Kang Hoo cepat berkata,
“Oh, . . . kalau begitu nenek juga pandai ilmu silat.”
“Seorang perempuan sepertiku bagaimana pandai silat?” kata si nenek tertawa “Aku lihat kongcu yang begini muda dan gagah, dengan sendirian menunggang kuda melakukan perjalanan jauh, tentunya paham ilmu silat.”
Kang Hoo yang mendapat umpakan demikian ia merasa jengah, karena tibanya ia di tempat ini, ia sendiri tidak sadar dalam keadaan pingsan, maka cepat-cepat ia berkata,
“Soal ilmu silat, cuma sedikit mengerti.” jawab Kang Hoo “Beng Cie sianseng pernah mengajar aku beberapa jurus ilmu silat.”
Si nenek mengangguk kepala. Kemudian berkata lagi,
“Kongcu tentunya sudah lelah, nah pergilah istirahat.”
Baru saja si nenek menutup kata-katanya mendadak saja pintu rumah atap itu didobrak orang. Di sana bermunculan lima orang seragam dan berselubung hitam.
Si nenek kaget, ia bangkit bangun, kemudian bentaknya,
“Manusia liar dari mana berani main gila di sini!”
“Nenek peot!” bentak salah seorang jubah hitam berselubung muka, “Serahkan bocah itu. Kau jangan turut campur urusan!”
“Hmmm .. .” si nenek mendengus “Kalian keluar, jangan ganggu orang dalam rumah ini!”
Sementara itu Kang Hoo sudah bangkit berdiri, ia memperhatikan lima orang berseragam hitam itu. Hatinya sedikit bingung bagaimana ia harus menghadapi manusia-manusia ini. Kalau ia lari meninggalkan mereka ini tentunya mereka akan membuat susah si nenek, kalau ia melakukan perlawanan pastilah setidak-tidaknya ia mesti membunuh orang. Sedangkan pembunuhan itu diharamkan menurut ajaran agama yang dianutnya. Ia sendiri sebenarnya tidak mengerti mengapa orang-orang seragam hitam berselubung muka ini memusuhi keluarganya.
Selagi Kang Hoo masih bingung si nenek sudah berkata,
“Kalian manusia-manusia liar, ayo cepat keluar tinggalkan gubuk ini!”
Lima orang seragan hitam berselubung muka itu, pada tertawa, salah seorang membentak,
“Nenek pikun, kalau kau ingin meneruskan daging-daging keriputmu di atas dunia ini sebagusnya kau minggir saja.”
“Nenek!” Seru Kang Hoo, menyelak ke depan. “Menyingkirlah, biar kuhadapi manusia-manusia ini.”
Si nenek mundur, merapatkan tubuhnya pada dinding.
“Kita bertempur di luar.” seru Kang Hoo, berbarengan dengan seruannya, tubuh si pemuda melambung ke atas, membentur atap gubuk rumah itu.
Disinari cahayanya bintang kelak kelik di langit, tampak beberapa sosok bayangan berlompatan menerobos keluar dari atas atap gubuk di dalam rimba itu.
Di dalam kegelapan malam enam bayangan saling kejar, menerobos semak-semak belukar. Kang Hoo yang paling depan, karena memang ia memancing orang-orang seragam hitam berselubung ini meninggalkan gubuk si nenek agar mereka tidak mencelakai jiwa nenek tak berdosa itu.
Setelah lari satu lie. Napas Kang Hoo sudah tersengal-sengal. Bayangan-bayangan hitam yang mengejarnya masih terus lari ke arah dirinya.
“Kalau lari terus begini, aku bisa kehabisan napas,” pikir Kang Hoo, “Biar kuhadapi mereka, kalau perlu apa boleh buat aku harus melanggar larangan agama!”
Setelah berpikir begitu, mendadak saja badan Kang Hoo melesat ke atas. Lalu berdiri di atas dahan pohon.
Gerakan lesatan Kang Hoo sangat cepat luar biasa, lebih-lebih medan di situ merupakan semak belukar yang gelap, suasana malampun banyak membantu Kang Hoo melarikan diri maka kelima orang yang lari mengejar di belakangnya itu tak melihat kalau Kang Hoo sudah lompat ke atas. Mereka terus lari ke depan.
Di atas dahan pohon yang lebat itu Kang Hoo menunggu lima orang seragam hitam berselubung muka itu lewat. Begitu mereka lewat di bawah dahan pohon tadi, Kang Hoo menunggu hingga orang terakhir berada di bawahnya, kemudian ia lompat turun menubruk seorang yang lari paling belakang.
Lompatan Kang Hoo dari atas dahan pohon itu merupakan jurus Pok-tee-houw, Macan menubruk tanah. Kedua kaki Kang Hoo, tepat mengenai kedua tulang pundak orang seragam hitam berselubung itu, sedang kepalan tangannya menghajar batok kepala orang tadi. Tak ampun lagi tubuh orang itu, lantas jatuh ambruk di atas semak senak, pedangnya terpental.
Setelah berhasil merobohkan lawan, ia lompat ke arah terpentalnya pedang lawan.
Sementara itu empat orang seragam hitam berselubung mendengar suara berisik di belakang mereka, serentak menghentikan larinya membalik badan, tampak di atas semak belukar sang kawan telah roboh terjengkang. Dalam kegelapan malam berbintang itu, badan si jubah hitam tadi mulai mencair. Sedang pemuda yang dikejar telah berada di depannya dengan mencekal se-batang pedang. Itulah pedang sang kawan yang telah binasa.
Menyaksikan kalau kawan mereka berhasil dirobohkan oleh Kang Hoo, keempat orang tadi jadi kaget, mereka tak menduga semula kalau pemuda yang sejak tadi lari kabur itu bisa merobohkan salah seorang kawan mereka, bahkan berhasil merebut senjata. Mereka serentak lompat, membuat posisi mengurung di tiga segi.
Sinar bintang berkelap kelip di langit bulan masih belum nongol. Lima orang dalam kegelapan malam di tengah rimba siap bertempur mempertahankan nyawa masing masing.
Empat bilah pedang terhunus di tangan orang-orang seragam hitam berselubung, sinarnya berkeredap ditimpa cahaya bintang. Mengurung Kang Hoo.
Meskipun di tangan Kang Hoo telah memegang sebatang pedang, ia masih sedikit bingung, karena selama melatih ilmu silat di bawah asuhan Beng Cie sianseng ia hanya mempelajari jurus-jurus serangan tangan kosong. Belum pernah melatih diri menggunakan senjata, meskipun sang guru sendiri dalam melakukan serangan latihan pada dirinya selalu menggunakan senjata tongkat bambu tujuh ruas.
Bab 4

TERINGAT akan ilmu tongkat bambu tujuh ruas dari sang suhu, otak Kang Hoo mengingat-ingat, bagaimana gurunya selalu menggerakkan senjatanya untuk menyerang dan untuk mengelakkan serangan pukulannya. Karena kecerdasan otak Kang Hoo, maka tanpa disadarinya, tangan kanannya yang mencekal pedang perlahan-lahan berputar. Itulah gerak putaran yang selalu ia lihat kalau gurunya sedang melakukan serangan terhadap dirinya.
Kian lama, putaran pedang di tangan Kang Hoo kian cepat, dan kesiuran angin mulai terdengar berbunyi mendengung laksana ribuan tawon.
Rembulan sabit mulai menongolkan wajahnya di langit timur, laksana mata malaikat mengintip jalannya peristiwa malam di atas dunia.
Empat orang seragam hitam berselubung, menyaksikan lawan di depannya menggunakan gerak jurus ilmu pedang aneh itu, mereka rada ragu-ragu, selagi mereka dalam keraguan, mendadak saja badan Karg Hoo yang memutar pedang itu meluncur ke atas di bawah terangnya bulan sabit
Empat orang seragam hitam kaget, serentak mereka melihat bagaimana gerak tubuh lawan muda itu di atas angkasa, dengan senjata siap di tangan mereka menunggu datangnya serangan lawan untuk melakukan serangan balasan.
Begitu serangan udara Kang Hoo tiba, empat pedang bergerak, menyabet membacok dan menusuk ke arah tubuh Kang Hoo yang mulai turun menerjang.
Terjadilah pertempuran singkat dimalam bulan sabit itu, terdengar beberapa kali suara berdentingan dari beradunya pedang-pedang yang digerakkan dalam jurus-jurus tempur tadi, diiringi dengan suara mendengungnya pedang yang diputar di tangan Kang Hoo.
Pertempuran tersebut hanya berlangsung tiga jurus, suara desingan yang keluar dari pedang Kang Hoo mendadak sirap, digantikan suara keluhan si pemuda yang lompat ke luar dari medan tempur.
Maka pertempuran itupun berhentilah sudah.
Empat orang seragam hitam berselubung saling pandang, di bawah terangnya keremangan cahaya bulan sabit, tampak salah seorang telah mengucurkan darah pada bahunya.
“Luka ringan!” bisik orang yang terluka. “Bocah itu akan segera mampus, luka-luka akibat sabetan pedang kukira tidak ringan.”
Dengan bantuan sinar bulan sabit keempat orang seragam hitam itu memperhatikan keadaan Kang Hoo, si pemuda berdiri limbung, tangannya masih mencekal pedang, bajunya sudah pada robek-robek terkena sabetan pedang lawan dari koyakan baju itu mengucur darah.
Wajah Kang Hoo mengerinyit menahan sakit luka-lukanya, tubuhnya kini sudah berubah merah, itulah disebabkan dari darah yang mengucur keluar dari luka-luka sekujur badannya akibat serangan pedang lawan. Lebih-lebih pada bahu kanannya terasa luka itu begitu perihnya. Sampaipun untuk mencekal pedang saja terasa sudah tidak kuat.
Kang Hoo memang bukan tandingan empat orang seragam hitam itu, meskipun ia telah menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong diri Beng Cie sianseng, tapi selama itu ia hanya mempelajari gerak-gerak kasar, hanya mengandalkan kekuatan tenaga luar saja, ia sama sekali belum pernah melatih ilmu tenaga murni. Juga serangan jurus ilmu pedang yang ia gunakan tadi, sebetulnya belum pernah ia latih, ia hanya meniru gerakan sang suhu yang selalu dilihatnya memutar tongkat bambu tujuh ruas. Sedang empat orang jubah hitam itu adalah jago-jago rimba persilatan yang memiliki kepandaian tidak boleh dianggap enteng, pengalaman mereka bertumpuk lebih banyak dalam bidang pertempuran. Boleh dikata mereka telah kenyang makan asam garamnya pertempuran. Kedudukan mereka sebenarnya sejajar dengan kedudukan Beng Cie sianseng.
Hanya disayangkan, dalam menurunkan ilmu silatnya, Beng Cie sianseng tidak sungguh-sungguh, ia hanya memberikan pelajaran serangan dan pembelaan tangan kosong, cukup untuk Kang Hoo membela diri dari serangan orang-orang jahat biasa, tapi tak cukup untuk menghadapi jago-jago rimba persilatan.
Tindakan Beng Cie sianseng demikian itu, dikarenakan ia pernah mendapat peringatan dari ayah Kang Hoo, agar sang murid dilarang mempelajari ilmu silat, maka dari itu Beng Cie sianseng menyembunyikan pedangnya dalam tongkat bambu tujuh ruas. Agar rahasia dirinya tak diketahui oleh ayah Kang Hoo. Ia juga melatih ilmu silat itu dengan sembunyi. Hingga hasilnya tidak bisa dikatakan memuaskan.
Kini di bawah cahaya remangnya bulan sabit Kang Hoo merasakan sendiri bagaimana kekurangan pada dirinya. Hingga ia mesti menerima luka-luka pada tubuhnya akibat serangan pedang lawan.
Kalau saja Kang Hoo bertempur satu lawan satu, mungkin ia masih dapat menghadapi lawan misterius itu, tapi menghadapi keroyokan empat orang sekaligus, itulah suatu pekerjaan yang sulit!
Selagi Kang Hoo merasakan bagaimana sakitnya luka-luka berdarah pada tubuhnya itu mendadak saja empat orang seragam hitam berlompatan mengurung dirinya di empat penjuru.
“Nah, anak kuya,” seru salah seorang seragam hitam. “Berdoalah menurut ajaran agamamu. Malam ini disaksikan rembulan sabit, arwahmu akan segera melayang ke akherat.”
Mendengar ancaman itu, Kang Hoo memindahkan pedang ke tangan kiri, karena tangan kanannya sudah tak dapat digerakkan lagi, perlahan-lahan pedang tadi diangkat ke atas, mulutnya berkata,
“Bismillah..................”
Belum lagi ucapan itu selesai keluar dari mulut Kang Hoo, empat orang jubah hitam mendadak tertawa berkakakan, suara tawa mereka menggema isi rimba.
“Bagus-bagus................” terdengar suara salah seorang seragam hitam sambil tertawa, “Nah untuk sekalian meramaikan pesta kematianmu, aku akan melepas tanda api ke udara!”
Berbarengan dengan ucapan orang seragam hitam itu, dan saku bajunya ia mengeluarkan sebuah tabung, kemudian tabung tadi disentakkan ke atas. Dari lubang tabung tadi meluncur gumpalan warna merah terang ke udara, di tengah udara gumpalan merah itu pecah, berserakan menerangi jagat.
Hutan yang tadinya gelap, kini tampak terang benderang, sekilas tampak bagaimana wajah Kang Hoo yang pucat pasi, tubuhnya sudah merah penuh darah.
Di bawah penerangan sinar api yang keluar meluncur dari tabung orang seragum hitam tadi Kang Hoo berseru dalam hatinya,
“Ya, Allah lindungilah diriku.... . .”
Berbarengan dengan seruan doa dalam hati Kang Hoo, sinar api di tengah udara tadi sudah padam, keadaan hutan itu kembali menjadi gelap, hanya sinarnya rembulan sabit memberikan keremangan di malam itu.
“Kita bunuh perlahan-lahan,” terdengar lain suara seragam hitam.
“Kau potong kedua kakinya.”
“Babat tangan berpedang itu.”
“Bagus, aku jaga bagian atas, kalau ia coba lompat ke atas, pastilah batang lehernya akan segera putus.”
Suara-suara itu terdengar jelas di telinga Kang Hoo. Ia sadar kalau jalan keluar telah tertutup, sedang keadaan dirinya telah lemah demikian rupa, tangan kanannya lumpuh tak dapat digerakkan lagi. Kini ia hanya mengandalkan kekuatan tangan kiri untuk menghadapi serangan maut yang sebentar lagi akan merenggut nyawanya.
Kang Hoo menyilangkan pedang di depan dada, ia tidak berani melakukan gerak berputar, maksudnya siap sedia untuk menghadapi serangan lawan, matanya dipentang lebar-lebar, agar bisa melihat dari bagian mana yang menyerang lebih dulu. Jika lawan tidak melakukan serangan iapun tetap berdiri seperti itu, tanpa memperdulikan darah yang mengucur keluar dari luka-lukanya telah melelehan jatuh di atas tanah
Dalam saat-saat kritis itu, mendadak saja daun pohon disekitar rimba bergoyang-goyang berisik diiringi terdengarnya suara siulan saling sambut, ditengah kegelapan malam.
Empat orang seragam hitam mendengar suara siulan itu mereka pada tersenyum salah seorang terdengar berkata,
“Sudah kumpul semua!”
Baru saja suara orang seragam hitam tadi ditelan angin malam, di sana sudah bertambah belasan orang seragam hitam berselubung muka, rupanya mereka melihat tanda api di udara yang dilepas oleh si orang seragam hitam yang mengurung Kang Hoo, maka mereka sudah pada lari berdatangan.
“Cincang ribuan keping!” terdengar suara teriakan dari salah seorang seragam hitam yang baru muncul itu.
Kang Hoo bisa melihat dari mana orang-orang seragam hitam itu datang, jumlahnya belasan orang, membuat posisi mengurung dirinya, berdiri diantara semak-semak belukar. Ucapan orang tadi terdengar jelas di telinga Kang Hoo, hatinya menjadi ciut, harapan untuk dapat lolos dari kematian sangat tipis. Dan sebentar lagi tubuhnya akan jadi daging-daging ribuan keping. Bagaimana harus mengatasi kesulitan ini?
Dalam keputus asaan itu kepala Kang Hoo menengadah ke langit memandang awan yang menggelusur menutupi rembulan sabit, keadaan hutanpun jadi gelap, kemudian berteriak keras,
“Allahu akbar..........”
Belasan orang seragam hitam yang mendengar suara teriakan Kang Hoo, serentak mereka tertawa berkakakan, suara tawa mereka menggetarkan isi rimba, malam hari itu.
Selagi suara gema tawa itu menggetarkan rimba ditengah kegelapan malam, mendadak di tengah udara terdengar suara menyebut nama Budha yang nyaring laksana bambu pecah, memecahkan suara tawa orang-orang seragam berselubung muka hitam itu.
“O . . . . mie . . . . to . . . . hud . . .”
Berbarengan dengan suara menyebu nama Budha itu, diantara suara gema tawa terdengar suara jeritan, disusul robohnya beberapa sosok manusia seragam hitam.
Belasan orang seragam kaget, serentak suara tertawapun lenyap. Beberapa diantara mereka telah roboh terguling.
Belum lagi rasa kaget orang-orang seragam hitam itu lenyap dari benak pikiran mereka, di tengah udara berkelebat bayangan merah, bayangan merah tadi turun bagaikan kupu-kupu di tengah-tengah kurungan mereka, berdiri di samping Kang Hoo, sejenak bayangan merah tadi memandang si pemuda, lalu berkata,
“Aku dipihakmu!”
Setelah berkata demikian, bayangan merah itu lompat ke belakang tubuh Kang Hoo ia berdiri di sana, tangannya mencekal sebilah pedang.
Kang Hoo heran, dari mana mendadak munculnya bantuan si misterius ini, lebih-lebih orang yang datang itu adalah seorang gadis usianya tidak lebih tua dari pada dirinya sendiri, dengan bantuannya sinar bulan sabit yang baru saja diliwati awan, sepintas ia dapat melihat wajah si nona yang cantik.
Kalau Kang Hoo diherankan oleh munculnya gadis aneh baju merah tadi, maka rombongan orang-orang berseragam hitam lebih bingung lagi. Karena begitu berkelebat, gadis berpedang itu telah berhasil merobohkan empat orang kawan mereka. Dan merekapun mendengar di tengah udara tadi itu suara menyebut nama Budha.
“Lagi-lagi sundel kecil bikin gangguan!” bentak salah seorang seragam hitam di depan si nona. “Baiknya kau menyingkir, jangan turut ambil bagian dalam sengketa ini. Golongan kami tidak bermusuhan dengan kaum Budha.”
Gadis baju merah mendengarkan perkataan orang seragam hitam di depannya, bulu matanya berkedip-kedip ditimpa sinarnya bintang, sedang permata anting-anting di daun telinganya berkeredepan memantulnya sinar rembulan sabit.
Tangan kirinya mengelus-elus batang pedang. Ia tidak memperdulikan ucapan orang di depannya, dengan suara perlahan ia berbisik pada Kang Hoo di belakangnya,
“Ingat! Tubuhmu sudah terluka! Kau harus segera lari dari tempat ini, Lihatlah bulan sabit di depanmu. Bila bulan itu tertutup awan, kau boleh ucapkan sebutan nama kebesaran nama Tuhanmu, kemudian kau lempar pedang di tanganmu ke muka serang orang di depanmu. Apabila kau mendengar sebutan nama Budha, kau balik badan, dan lari kabur ke belakang, kau jangan lari ke depan. Dan berusahalah jangan sampai menyentuh mayat-mayat orang ini. Sudah mengerti?”
Suara bisikan si nona sayup-sayup terdengar di telinga Kang Hoo, meskipun ia agak sulit mendengarkan suara bisikan halus bagaikan suara semut itu diantara suara kesiuran angin, tapi Kang Hoo bisa mengerti apa maksud si nona. Dalam hatinya jadi heran. Bukankah nona ini dari golongan Budha, sedang dirinya sendiri menganut ajaran agama yang baru saja merembes masuk kedataran Tiongkok. Mengapa gadis ini bersedia membantu dirinya. Aneh!
“Hai, apa kau paham!” bentak si nona menyikut iga Kang Hoo.
Kang Hoo kaget, serunya,
“Ya, Tapi .....”
“Jangan banyak bicara! Perhatikanlah! Nah mulai lihatlah apa yang kukatakan tadi.” kata si gadis baju merah,
Rombongan orang seragam hitam hanya mendengar dialog antara si gadis dan Kang Hoo yang terakhir, tapi mereka tidak mengerti kemana juntrungan maksud kata-kata tadi.
Selagi orang-orang itu dibingungkan oleh pembicaraan kedua anak muda itu, Kang Hoo terus memperhatikan awan yang beriring di langit bagian barat, awan-awan hitam mulai mengambang terbang mendekati rembulan sabit.
Pedang Kang Hoo mesti dilempar ke depan, maka dengan menggunakan kecerdikannya, ia mulai memutarkan pedangnya, maka di tengah malam itu terdengarlah suara desingan bagai ribuan tawon.
Para seragam hitam menyaksikan Kang Hoo memutar pedangnya, mereka telah bersiap-siap untuk menghadapi serangan nekad si pemuda.
Begitu sang awan beriring, menutupi rembulan, keadaan di dalam rimba itu menjadi gelap. Berbarengan mana, Kang Hoo berteriak menyebutkan kebesaran nama Tuhannya.
“Allahu ……….. akbar....!''
Berbarengan pedang yang berputar mendesing dilepas meluncur ke depan.
Suasana gelap sangat menguntungkan Kang Hoo, karena lawannya hanya bisa menampak sinar pedang berkelebat mendesing datang menyerbu, tentu saja mereka jadi kaget, disangkanya Kang Hoo telah maju menerjang. Dan berbarengan dengan lemparan pedang dan berakhirnya suara menyebut kebesaran nama Tuhan itu, si nona yang berdiri di belakang mendadak berteriak menyebut kebesaran nama Budha,
“Omi….....to…….hud........”
Berbarengan dengan sebutan nama Budha itu, tangan kiri si nona bergerak ke arah depan, dan di sana terdengar suara keluhan tertahan beberapa orang seragam hitam mendadak roboh terguling.
Kang Hoo mendengar suara disebutnya nama Budha itu, cepat membalik belakang, dalam hatinya berkata,
“Bismillah..........!”
Maka kaburlah si pemuda menerobos semak belukar melompati mayat-mayat orang seragam hitam yang roboh menggeletak. Ia tidak lagi memperdulikan rasa sakit luka-luka berdarah pada tubuhnya, dengan mengempos tenaganya, ia lari ngacir menyelamatkan diri.
Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik saja, awan beriring berlalu sang rembulan pun kembali sudah memancarkan sinarnya.
Orang-orang berkerudung hitam mendengar suara sebutan kebesaran nama Tuhan yang dicetuskan oleh Kang Hoo, mereka sudah merasa bingung, entah permainan apa yang akan dilakukan oleh dua anak gila ini di depan mereka, dalam kebingungan itu mendadak saja sinar bulan menjadi gelap, dan berbarengan mana pedang yang diputar di tangan kiri Kang Hoo, mendesing berkelebat ke muka menyerang.
Beberapa orang seragam hitam kaget, waktu melihat pedang berputar itu meluncur ke depan, serentak mereka maju untuk mengejar. Tapi mendadak mereka sadar karena itu hanyalah pedang yang dilemparkan, sedang pemiliknya tentu masih tetap berada di tempatnya. Selagi mereka itu ke-bingungan, mendadak di bagian lain terdengar suara sebutan nama Budha dari mulut si nona baju merah dibarengi dengan suara keluhan dari beberapa orang seragam hitam yang mendadak roboh terguling. Saat mana Kang Hoo telah membalik badan dan melesat kabur.
Begitu sang rembulan menongol lagi, di sana sudah tak tampak bayangan Kang Hoo.
Gadis baju merah dalam kurungan sisa orang orang seragam hitam itu tertawa cekikikan.
“Sundel kecil.” bentak seorang seragam hitam gemuk pendek. “Kau membantu bocah itu dengan senjata gelap. Berarti kau telah melibatkan diri dalam sengketa ini!”
Si nona baju merah masih cekikan, sambil tertawa ia berkata,
“Kalian sebenarnya jurig dari mana? Kalian keberatan aku menggunakan senjata gelap bukan. Nah, ini kuberi lagi hadiah untukmu.”
Berbarengan dengan akhir kata-kata si nona tangan kirinya bergerak, di bawah sinar bulan sabit meluncur lima titik hitam menyerang ke arah si seragam hitam berselubung muka bertubuh pendek itu.
Begitu melihat lima titik-titik hitam meluncur ke arah dirinya, orang tadi lompat ke udara, mengelakkan datangnya sambaran sinar hitam. Dan senjata rahasia si nona berhasil dielakkan, lima titik bayangan hitam itu meluncur lewat di bawah kaki orang seragam hitam.
Berbarengan dengan lompatnya si pendek yang meletik ke udara, enam orang seragam hitam lainnya maju bergerak semua menyerang si nona.
Si nona baju merah tertawa dingin, tangan kirinya kembali bergerak, dari sana meluncur titik-titik hitam menyerang orang-orang yang tidak berani memperlihatkan wajah-wajah aslinya itu.
Gerakan enam orang-orang seragam itu ternyata cukup gesit, di bawah cahaya sinar bulan, mereka melihat titik-titik hitam berterbangan mengarah tubuh, mereka serentak berlompatan ke atas, dan dari udara itu mereka masing-masing mengayun pedang membabat kepala si nona baju merah.
Begitu enam orang berhasil mengelakkan serangan titik-titik hitam yang dilepas nona baju merah, tadi dua titik senjata rahasia itu berhasil membentur dua orang jubah hitam yang berdiri di belakang. Kedua orang itu tidak menduga dan tidak sempat mengelakkan setelah mengeluarkan suara jeritan tertahan, mereka roboh terguling.
Sementara itu serangan enam pedang dari orang-orang seragam hitam yang berhasil lompat ke atas mengelakkan serangan senjata rahasia, batang-batang pedang mereka telah berkesiuran di atas kepalanya nona baju merah, tapi sambil tersenyum, si nona memutar pedangnya menyambuti serangan enam batang pedang dari udara, maka di tengah udara itu, terdengar suara berisik dari beradunya pedang-pedang mereka.
Nona baju merah memutar pedangnya di atas kepala ia berhasil mengusir pergi serangan enam pedang dari udara tadi, maka orang-orang seragam hitam itu kembali berlompatan di atas tanah. Karena tidak mungkin mereka bisa bertahan lama di tengah udara, meskipun betapa tingginya ilmu kepandaian mereka.
Saat itu kembali rembulan sabit tertutup awan. Keadaan dalam rimba tadi kembali jadi gelap.
“Awaaasss!!! Sembunyi!” Teriak salah seorang seragam dan berselubung hitam.
Mendengar suara peringatan itu, belasan orang seragam hitam sadar, cepat-cepat mereka lari ke belakang batang pohon. Menunggu terangnya kembali sinar bulan yang ditutup awan.
Menyaksikan kecerdikan orang-orang seragam hitam itu, si nona baju merah jadi memuji dalam hati.
Bukankah dalam keadaan gelap itu, senjata rahasia yang merupakan maut kejam bisa merengut nyawa setiap waktu?
Si nona tersenyum, menyaksikan kelakuan orang-orang seragam hitam itu yang sembunyi di balik batang pohon, menghindari serangan senjata rahasianya, sambil bertolak pinggang, ia melejit ke atas menerobos ranting-ranting pohon, di dalam kegelapan itu berkelebatlah bayangan merah meninggalkan medan tempur tadi.
Begitu sang rembulan kembali memancar kan sinarnya, bayangan si nona sudah lenyap dari sana.
Para seragam dan selubung hitam melompongkan mulut, begitu rembulan memancarkan sinarnya lagi, merekapun pada berlompatan keluar dari balik batang pohon. Tapi di sana si nona sudah lenyap. Hanya yang tinggal cairan-cairan mayat dari kawan-kawan mereka yang membasahi tanah dalam rimba.
Siapakah gadis baju merah yang telah membantu Kang Hoo menyelamatkan diri dari kepungan orang-orang seragam hitam misterius itu?
Untuk mengetahui siapa sebenarnya si nona baju merah, maka pada bab berikut cerita mundur beberapa tahun.
********endofbab3********


Bab 4
DI SEBUAH kampung, di bawah kaki gunung Hong-san yang sunyi, dilebati pepohonan, tinggallah sebuah keluarga, terdiri dan ayah ibu dan seorang anak perempuan kecil.
Lo Siauw Houw demikian nama kepala keluarganya, sedang nyonya rumah tangga bernama Lie Sian Nio dan anak perempuan nya bernama Siong In.
Ketika Siong In berusia sepuluh tahun, mendadak Lo Siauw Houw meninggalkan kampung halaman mereka, ayah itu menyatakan hendak pergi ke kotaraja.
Setahun kemudian dilewati, tapi sang ayah belum juga datang kembali, si putri meningkat usianya menjadi sebelas tahun.
Dalam mengisi waktu senggang, sang ibu selalu melatih putrinya itu ilmu silat warisan keluarga mereka.
Pada suatu hari setelah salju berhenti turun, Siong In yang baru saja selesai melatih silatnya, merasakan badannya kegerahan, maka ia berjalan ke belakang rumah untuk menghirup hawa segar.
Selagi ia menikmati kesegarannya udara di kaki gunung, dan menikmati pemandangan daun-daun yang memutih di siram salju, hidungnya mengendus harumnya bunga teratai, Siong In jadi heran, dari mana mendadak berkesiw bau harum bunga teratai itu?
Setelah memperhatikan sejenak, hidungnya kembang kempis me-nyedot2 bau harum tadi, tahulah dia kalau wangi itu di bawa angin dari atas gunung.
Karena rasa tertarik, Siong In mulai mendaki gunung meneari sumber wangi itu, tapi setelah ia tiba di tengah2 lamping gunung di sana ia tidak menemukan sesuatu, belum juga ia mendapatkan itu bunga yang mengeluarkan bau harum, sedang sepatunya sudah lepek karena terkena air salju.
Karena disekitar lauping gunung itu tidak menemukan bunga yang mengeluarkan bau harum tadi, sedang ia telah berada pada lamping gunung yang tinggi ia tidak berani mendaki terus. Siong In lari turun kembali, tapi baru saja ia berlari beberapa kaki, mendadak tampak sepasang kupu-kupu merah terbang berputaran di atas kepalanya.
Siong In menengadahkan kepala memandang sepasang kupu-kupu merah tadi, hatinya jadi girang, ia lompat ke atas untuk menangkap sang kupu-kupu, tapi sang kupu-kupu juga gesit, mereka melambung melayang ke udara, kemudian terbang rendah di atas lereng gunung.
Karena rasa girangnya, Siong In terus mengejar sepasang kupu-kupu merah yang terbang rendah di depannya, ternyata kupu-kupu tadi seperti jinak, tapi juga gesit, karena bilamana tangan Siong In yang mungil ingin menangkap kupu-kupu tadi mendadak saja kupu itu melesat dan terus terbang ke atas gunung.
Tanpa merasa lelah Siong In terus berlarian mengejar terbangnya sepasang kupu-kupu merah tadi akhirnya tampak olehnya di atas lereng gunung itu sebuah kelenteng tua, dan sepasang kupu-kupu tadi menerobos memasuki lubang angin pada atas pintu kelenteng.
Siong In mengejar terus.
Di depan pintu kelenteng, Siong In merandek, ia memandang ke atas, di atas pintu kelenteng tertulis dengan tinta emas yang sudah buram beberapa huruf yang berbunyi,
“Kelenteng Ciok-lian-san.”
Membaca tulisan itu, hati Siong In jadi bergetar, ia memandang kebawah gunung, di sana tampak lereng gunung memutih dilapisi salju. Tanpa dirasa tubuhnyapun jadi gemetar.
“Bukankah, kelenteng ini, yang sering diceritakan orang-orang kampung di bawah gunung merupakan kelenteng aneh, sudah seratus tahun tidak pernah dikunjungi orang, karena di dalam kelenteng terdapat dua jurig yang menakutkan?” demikian pikir si gadis.
Cerita tentang kelenteng Ciok-lian-san diketahui benar oleh para penduduk desa di bawah kaki gunung Hong-san, kalau di atas gunung, terdapat sebuah kelenteng tua yang angker, sejak seratus tahun yang lalu tak ada orang berani berkunjung kesana. Karena di dalam kelenteng itu pernah terjadi suatu peristiwa aneh, yang amat menyeramkan.

PADA seratus tahun yang lalu, di atas puncak gunung Hong-san yang sunyi sepi terdapat sebuah kelenteng.
Menurut Cerita turun temurun, di dalam kelenteng Ciok-lian san pernah terjadi satu kejadian aneh.
Di suatu hari, kelenteng Ciok-lian-san didatangi seorang gadis, gadis mana menerangkan maksud kedatangannya ke kelenteng tersebut, ia meminta obat untuk mengobati penyakit sang ibu yang telah lama diderita.
Tapi para nikho yang mendiami kelenteng tersebut mereka bukanlah tabib, mereka tak dapat memberikan obat pada si gadis. Tapi si gadis masih tetap kukuh untuk meminta obat dari kelenteng tersebut, karena berdasar mimpi yang dialami, hanyalah kelenteng itu yang dapat memberikan obat guna menyembuhkan penyakit sang ibu.
Para nikho dalam kelenteng itu jadi bingung atas desakan gadis aneh itu, dan ketika para nikho itu kebingungan, mendadak seorang nikho tua berkata pada si gadis,
“Di sini bukan rumah tabib, inilah sebuah kelenteng, kalau kau memang sungguhi hendak memberi pengobatan pada ibumu, nah kau boleh potong dagingmu sendiri, untuk digunakan sebagai obat.”
Mendengar perkataan nikho tua itu, si gadis segera menjura dan berkata,
“Bilamana ibuku telah sembuh, aku akan segera bercukur rambut menjadi padri.”
Setelah berkala demikian gadis itu lalu turun gunung.
Beberapa hari kemudian gadis tadi naik kembali ke atas puncak gunung mendatangi kelenteng Ciok-lian san, ia menceritakan bagaimana ibuya telah dibikin sembuh dengan daging kulit pipinya yang diiris untuk memberi pengobatan pada sang ibu, hingga wajah gadis itu menjadi rusak.
Sejak hari itu gadis tadi bercukur rambut menjadi pendeta, selama hidupnya dengan wajah yang rusak karena daging-daging kulit pipinya diberikan untuk sang ibu guna menyembuhkan penyakit yang diderita, ia melakukan pertapaan di dalam kelenteng, meninggalkan keramaian dunia.
Hari berjalan terlalu cepat, tanpa dirasa enampuluh sembilan tahun telah dilewati si gadis yang bertapa dalam kelenteng itu telah menjadi seorang nenek, dan para nikho penghuni kelenteng sudah mulai tua, di antara sudah ada yang menutup mata.
Suatu ketika si nenek yang telah bertapa selama enampuluh sembilan tahun dalam kelenteng itu berjalan keluar, lalu duduk bersila di atas sebuah batu di depan pintu kelenteng, memandang keindahannya lereng gunung.
Mendadak saja, terjadi keanehan, batu di mana bekas si nenek duduk tumbuh sekuntum kembang teratai, dan saat itu si nenek yang tua itu melayang ke langit.
Batu berbunga di depan kelenteng bekas diduduki si nenek, masih tampak di sana, batu itu sering dikunjungi sepasang kupu-kupu warna merah.
Kisah itu telah lewat seratus tahun berselang. Orang tidak tahu kebenaran kisah sebenarnya, hanya di sana, di depan kelenteng tua yang sudah kosong itu masih terdapat sebuah batu berbunga. Yang selalu dikitari oleh sepasang kupu-kupu merah.
Tiada seorangpun yang berani lagi berkunjung ke kelenteng tersebut, karena sejak terjadi peristiwa aneh itu, di dalam kelenteng itu sering timbul kejadian aneh orang-orang yang berkunjung ke dalam kelenteng sering menemui hal-hal ganjil. Lebih-lebih kalau orang yang datang ke kelenteng itu seorang berhati busuk, orang tadi akan menampak dua iblis bengis menakutkan dengan mata mendelik hendak menerkam orang tersebut.
Manusia manakah yang tidak mempunyai salah? Setiap pengunjung pasti menemukan iblis seram itu. Lama kelamaan, tidak ada lagi orang berani berkunjung ke kelenteng Liok-lian-san.
Karena tak seorangpun berani lagi berkunjung ke kelenteng itu, hingga kelenteng menjadi sunyi, begitupun para nikho tak seorang yang bisa tahan tinggal di sana. Akhirnya kelenteng itu ditinggalkan. Merupakan sebuah kelenteng tua yang angker menyeramkan.

Siong In juga pernah mendengar cerita tentang kelenteng itu, hatinya jadi ciut, bagaimanakah kalau sekiranya di dalam kelenteng ini benar-benar dihuni oleh dua iblis, dan iblis itu mungkin bisa mencelakai dirinya.
Maka mengingat akan cerita-cerita itu, Siong In membalikkan badan hendak berlalu, tapi sang kaki dirasa gemetar, dicekam oleh rasa takut yang muncul tiba-tiba.
Baru saja ia membalik badan dengan kaki gemetar, mendadak saja di belakangnya terdengar suara pintu dibuka. Itulah suara pintu kelenteng yang mendadak menjeblak!
Mendengar suara pintu terbuka itu, hati Siong In semakin berdebar keras, ia niat lari turun dari sana, lapi sang kaki sudah gemetar lemas, meskipun hatinya ingin lari kabur, tapi kakinya tak mau menurut perintah sang kaki tetap bergemetaran di sana. Mulutnya menganga lebar, ia berteriak, tapi suara teriakannya juga tak keluar. Seakan ia menjadi seorang gadis bisu.
Angin dingin pegunungan bersalju, menambah seramnya suasana.
Lama Siong In berdiri seperti itu, tapi setelah suara pintu kelenteng itu terbuka, ia tidak mendengar suara lain yang mecurigakan. Maka rasa takutnyapun perlahan-lahan jadi lenyap, hati Siong In berkata,
“Kalau di dalam kelenteng ini terdapat dua jurig, tentulah mereka telah mencekik diriku. Mungkin suara tadi, akibat daun pintu kelenteng yang terbuka ditiup angin!”
Setelah berkata sendiri demikian, per-lahan-lahan ia memberanikan dirinya, membalik badan untuk melihat apakah suara itu betul-betul dari suara pintu kelenteng yang di tiup angin.
Begitu badan Siong In menghadap pintu kelenteng, mendadak saja, ia mundur ke belakang, kemudian karena lemasnya, ia jadi jatuh duduk. Sepasang matanya menatap dengan sinar ketakutan ke arah pintu kelenteng yang sudah terbuka lebar. Di depan pintu kelenteng itu entah sejak kapan su-dah berdiri seorang niko, wajah niko itu begitu cantiknya, usianya tidak lebih dari tiga puluhan tahun, ia tersenyum berseri-seri memandang Siong In.
Siong In sudah dicekam oleh rasa takut, bayangan setan penghuni kelenteng itu menjelma sebagai wanita cantik? Begitu ia menampak seorang niko cantik itu, pikirannya sudah dipengaruhi oleh setan yang muncul mendadak, bukankah niko ini jelmaan setan penghuni kelenteng.
Selagi Siong In duduk numprah ketakutan, si niko dengan tersenyum berkata,
“Anak, .... kau jangan takut.”
Setelah berkata begitu niko tadi berjalan maju mendapatkan Siong In.
Melihat si niko jalan mendatangi mendadak saja Siong In berteriak keras,
“Jangan! Jangan dekat! Jangan sentuh aku......aku akan segera meninggalkan tempat ini.”
Niko jadi bergoyang kepala. Begitu Siong In berteriak, ia menghentikan langkahnya, kemudian mundur setindak, lalu katanya sambil tersenyum,
“Anak, jangan takut, aku tidak akan mencelakaimu! Bukankah kedatangan-mu ke tempat ini karena tertarik oleh harumnya bunga dan sepasang kupu-kupu merah?”
Melihat si niko melangkah mundur, dan mengatakan tidak akan mencelakainya, dengan masih diliputi rasa takut, Siong In bertanya,
“Kau . ..kau siapa. . . . orang apa setan ....?”
Mendengar pertanyaan itu si niko tersenyum lalu berkata,
“Kau sangka aku setan, hmmm . . . di mana ada setan bisa bicara dengan manusia ... . o…. mie ……. to . . . hud.”
Song In mendengar kalau niko ini menyebut nama Budha, rasa takutnya mulai lenyap separuh, pikirnya, “Kalau ia ini setan, tentunya tidak akan menyebutkan nama Budha.”
“Anak ........” kata lagi siniko, “Sampainya kau ke tempat ini karena dibawa oleh sepasang kupu-kupu merah, dan kau juga mencari itu bau harumnya bunga. Nah, batu dimana kau duduk, itulah batu berbunga bunga, batu itulah yang mengeluarkan bau harum.”
Siong In kaget, bukankah hidungnya sejak tadi sudah mencium baunya harum bunga itu, kini ia memperhatikan keadaan batu yang didudukinya, benar saja di belakang batu dimana ia duduk di sana tumbuh sekuntum kembang teratai yang memancarkan bau harum.
“Nah, kau sudah lihat,” kata si nikho “Sekarang bangunlah, jangan takut!”
“Apa kau ini betul-betul manusia?” tanya Siong In sambil bangun berdiri.
Nikho cantik itu tersenyum riang, katanya,
“Jangan ragu-ragu lagi, aku manusia seperti juga dirimu. Sudah lama aku senang denganmu, kau berbakat, maka hari ini sengaja sepasang kupu-kupu merah itu membimbingmu datang ke tempat ini. Kau akan kuangkat jadi murid, apa kau suka?”
Mendengar itu, Siong In cepat-memegangi kedua kepang rambutnya, dan berseru,
“Aku tak mau. Aku tidak mau jadi nikho. Aku tidak mau cukur rambut.”
“Ahh! Aku bukan hendak menjadikan kau nikho,” kata nikho sambil tertawa, “Tapi aku akan mengajarkan kau ilmu silat, karena aku tahu, selama ini kau melatih ilmu silat warisan keluargamu, tapi semua latihan itu hanya mengandalkan tenaga luar saja, meskipun kekuatan tenaga luarmu dari hasil latihan silat itu boleh dikata lumayan, tapi tidak mungkin bisa mengalahkan orang yang berkepandaian tinggi, maka sungguh disayangkan bila mana kau hanya mempelajari ilmu luar saja, tanpa mendapat didikan tenaga dalam. Bila kau suka maka di tempat ini aku akan berikan kau pelajaran ilmu iweekang juga beberapa kepandaian yang berguna untuk dirimu.”
Siong In berpikir sesaat lamanya, kemudian ia berkata,
“Kukira kepandaian yang diberikan oleh ibuku juga sudah cukup. Untuk apa mesti belajar lagi dari lain orang.”
“Hmmm. Ucapanmu memang benar!” kata nikho itu tertawa. “Tapi ilmu silat yang kau pelajari itu apa gunanya, untuk menangkap seekor kupu-kupu terbang rendah saja kau tak mampu.”
Siong In menganga mendengar ucapan si nikho hatinya berdesis,
“Benar! Berulang kali sepasang kupu-kupu merah itu terbang rendah di depan diriku, tapi beberapa kali aku berusaha menangkapnya selalu tidak berhasil.”
Setelah berpikir demikian, ia bertanya pada si nikho,
“Apakah setelah aku mendapatkan pelajaran darimu, aku bisa menangkap kupu-kupu dengan mudah.”
“Jangankan kupu-kupu,” kata nikho itu. “Burung yang terbang setinggi duaratus kaki kau bisa jatuhkan.”
“Kalau begitu,” kata Siong In girang. “Aku akan pulang dulu memberitahukan pada ibuku di rumah.”
“Bagus, ucapanmu itu memang terpuji,” kata nikho tadi. “Hanya dalam urusan ini kau tidak boleh memberitahukan pada ibumu, bahkan siapapun kau tidak perlu beri tahu. Kau harus pegang rahasia, kalau saja sampai ada orang tahu. Maka gagallah semua cita-citamu.”
“Kalau begitu ...” kata Siong In. “Baiklah! Aku akan merahasiakan ini. Dan mulai hari ini aku mengangkat kau menjadi suhu.”
Mendengar ucapan Siong In nikho tadi tertawa riang, katanya,
“Kau memang anak aneh!”
Sejak hari itu Siong In, setiap hari naik ke atas puncak gunung, ia melatih ilmu silat dan juga mendapat pelajaran agama Budha Dan tanpa dirasa lima tahun telah dilewati.
Dalam waktu lima tahun itu, Siong In telah mahir menggunakan senjata rahasia Kim-chi-hui-piauw, dan ilmu menotok jalan darah. Begitupun ilmu tenaga dalamnya boleh dikata sudah sempurna.
Lima tahun sudah dilewatkan pertumbuhan badan Siong In juga sudah berubah jauh, dari seorang gadis kecil lincah nakal, sudah berubah menjadi seorang gadis cantik gagah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar