Selasa, 20 September 2011

Cerita Silat : Pendekar Super Sakti [Kho Ping Ho] Tamat

Masih amat muda, wajahnya cantik jelita seperti bidadari, kadang-kadang demikian lembut seperti setangkai mawar yang bergoyang-goyang perlahan terhembus angin, kadang-kadang membayangkan kekerasan yang melebihi baja pilihan. Semuda dan secantik itu telah menjadi seorang pemimpin besar, bahkan kini mengumpulkan para tokoh perjuangan dan para wakil-wakil partai persilatan yang jelas merupakan musuh-musuh besarnya. Demikian beraninya gadis ini! Apa ke­hendaknya mengumpulkan para pejuang yang bagi puteri itu tentu dianggap pem­berontak-pemberontak ini? Diam-diam Han Han merasa khawatir. Puteri ini terkenal cerdik sekali dan ahli siasat yang pandai mengatur tipu-tipu muslihat. Jangan-jangan setelah dikumpulkan di sini, para pejuang dan tokoh partai-partai besar ini akan dibasmi! Han Han berlaku waspada dan siap sedia. Kalau benar se­perti itu siasat Nirahai, biarpun dia sendiri tidak peduli lagi akan perang, ter­paksa dia akan turun tangan menentang kecurangan besar ini!

Pada saat itu, agaknya semua tamu telah mengambil tempat duduk dan ter­dengarlah suara lantang akan tetapi mer­du dari mulut Puteri Nirahai. Han Han memandang penuh perhatian dan men­dengarkan dari tempat sembunyi. Ia men­jadi heran mendengar suara gadis jelita itu, karena biarpun gadis itu bukan ber­bangsa Han, akan tetapi suaranya sama sekali tidak kaku, bahkan kata-katanya teratur dengan rapi, tanda bahwa gadis itu memiliki pengertian yang baik ten­tang kesusastraan.

“Atas nama Kerajaan Ceng-tiauw yang jaya, kami yang bertugas sebagai wakil kaisar dalam hal ini, menghaturkan banyak terima kasih kepada para locian­pwe dan para enghiong yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk datang berkumpul dan bersama-sama menciptakan perdamaian, persahabatan dan kerja sama demi kesejahteraan rakyat jelata!”

Han Han mendengarkan dengan kagum. Puteri itu benar hebat. Selain kata-katanya terdengar rapi teratur, juga nadanya membujuk dan memuji-muji orang gagah, suaranya mengandung dasar ketenangan sehingga amat menarik per­hatian mereka yang mendengarnya. Selanjutnya, secara singkat namun padat dan dengan kata-kata teratur baik, puteri itu menjelaskan mengapa pemerintah Kerajaan Mancu mengulurkan tangan untuk mengajak damai dengan para orang gagah, terutama dengan partai-partai besar. Rakyat sudah terlalu lama hidup tertekan dan menderita sengsara akibat perang, katanya. Karena itu, mengapa perang yang menyengsarakan itu dilan­jut-lanjutkan? Lebih baik semua tenaga rakyat dikerahkan untuk membangun demi kesejahteraaan hidup rakyat, di bawah pimpinan pemerintah Ceng yang jaya dan yang memang sudah ditentukan oleh Thian untuk memimpin rakyat jelata mencapai kemakmuran.

Sejam lebih puteri itu bicara dengan lancar dan tidak membosankan para pendengarnya. Wajah itu demikian cantik jelita seperti setangkai mawar sedang mekar dengan segarnya, siapakah yang tidak terpikat dan siapakah yang akan bosan memandang? Sepasang mata itu berkilat-kilat penuh semangat dan gairah hidup, bibir yang bergerak-gerak ketika bicara itu demikian manis, semanis kata­-kata yang keluar secara teratur dan indah, seolah-olah gadis itu bukan sedang berpidato melainkan sedang mendeklama­sikan sajak-sajak indah!

Tubuhnya agak bergoyang, sesuai dengan sikap kewanitaannya, mengingatkan para pemandangnya akan batang pohon yang-liu terhembus angin musim semi, meliak-liuk dengan lemas dan indahnya. Setelah membeberkan rencana kerja pemerintah dan memberikan janji dengan sumpah bahwa pemerintah tidak akan mengganggu hak milik para tuan tanah dan tidak akan mengganggu milik rakyat, tidak akan memeras rakyat dengan pajak berat seperti yang sudah-sudah dilakukan oleh kaisar-kaisar dahulu, berjanji pula akan menumpas semua kejahatan yang menghimpit penghidupan rakyat, menumpas para pencopet, pencuri, perampok dan mereka yang masih memberontak, terdengar puteri jelita itu berkata.

“Hendaknya cu-wi sekalian tidak membesar-besarkan perbedaan suku bangsa. Kita seluruhnya merupakan bangsa yang besar, dan jangan terpengaruh oleh perpecahan-perpecahan yang ditimbulkan oleh para pemberontak. Kita semenjak dahulu merupakan kesatuan suku bangsa-suku bangsa yang menjadi bangsa besar. Tentu cu-wi sekalian masih ingat akan nama seorang pahlawan dan pendekar yang tiada bandingnya selama sejarah berkem­bang. Siapa yang tidak pernah mendengar nama julukan pendekar besar Suling Emas? Siapa pula yang tidak tahu akan sepak terjangnya, yang tidak memperbedakan bangsa, yang bahkan menjadi suami Ratu Khitan dan mempersatukan suku bangsa-suku bangsa menjadi bangsa yang besar? Bahkan sesungguhnya bangsa-bangsa pun hanya merupakan perpecahan yang di­buat-buat oleh manusia sendiri karena sesungguhnya, tanpa adanya pemecahan bangsa-bangsa, semua manusia di empat penjuru lautan adalah saudara, seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Kong Hu Cu bahwa “Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya!” (Di Empat Penjuru Lautan Adalah Saudara). Nah, cu-wi sekalian, hendaknya cu-wi percaya bahwa andaikata Pendekar Sakti Suling Emas sekarang masih hidup, beliau tentu akan menyetujui persatuan di antara kita, dan sebagai buktinya bahwa saya, Puteri Nirahai, tidak mem­bohong dan masih mempunyai hubungan dengan keluarga Suling Emas, hendaknya cu-wi sekalian suka memandang pusaka ini!” Tangan Puteri Nirahai bergerak dan berkelebatlah sinar kuning emas yang menyilaukan mata. Ternyata sebatang suling emas telah berada di tangan ka­nannya dan diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala.

“Suling Emas....!” Banyak mulut mengucapkan kata-kata ini penuh takjub dan hormat, dan mereka yang tadinya masih ragu-ragu, baru setengah tunduk oleh bujukan kata-kata Puteri Nirahai, kini menjadi tunduk benar ketika menyaksikan senjata pusaka keramat itu berada di tangan sang puteri. Biarpun orangnya sudah puluhan, bahkan ratusan tahun tidak ada, namun nama besar Su­ling Emas dikenal oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw, dan karenanya, melihat senjata keramat ini semua orang menjadi kagum dan tunduk.

Puteri jelita itu tersenyum girang menyaksikan sikap para orang gagah itu dan ia melanjutkan.

“Selain memiliki pusaka keramat ini, juga terus terang saja tanpa maksud membanggakan dan menyombongkan diri, saya berani mengaku bahwa saya adalah seorang yang mewarisi ilmu dari pendekar wanita perkasa Mutiara Hitam. Melihat hubungan saya dengan Suling Emas dan Mutiara Hitam, masih perlukah diragukan bahwa saya tidak mempunyai niat buruk terhadap cu-wi sekalian, orang-orang gagah di dunia kang-ouw?”

Semua orang makin tunduk dan keadaan sejenak menjadi hening. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara Ceng To Hwe­sio wakil Siauw-lim-pai, suaranya tenang namun mengandung wibawa dan suara itu menggetarkan jantung karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang, “Omitohud....! Apa yang diucapkan oleh Kouwnio amat benar dan melihat senjata keramat itu, siapakah yang tidak akan tun­duk? Siapakah pula orangnya di dunia ini yang menghendaki perang yang hanya akan menimbulkan kesengsaraan kepada rakyat jelata? Akan tetapi, Kouwnio, pinceng ingin sekali mengetahui, kalau benar Kouwnio tidak mempunyai niat buruk terhadap kami, mengapakah dua orang murid Siauw-lim-pai, yaitu Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dua di antara Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh?”

Semua orang menjadi tegang hatinya mendengar ini, apalagi ketika Lok Seng Cu, orang pertama dari tiga orang tokoh Hoa-san-pai, berkata nyaring.

“Tepat sekali apa yang diucapkan oleh Ceng To Hwesio. Kalau tidak mempunyai niat buruk, mengapa tokoh besar Siauw-lim-pai dibunuh kemudian kesalahannya ditimpakan kepada Hoa-san-pai dengan jalan melemparkan fitnah?”

Suasana menjadi makin tegang. Apa­lagi bagi Han Han yang mengintai dari tempat persembunyiannya, karena dia sebagai orang luar mengetahui benar akan fitnah itu yang menjadi siasat licin Nirahai, bahkan dia terlibat dalam urusan itu. Maka pemuda buntung ini mendengarkan penuh perhatian dan seperti orang-orang yang hadir di situ, ia pun memandang ke arah Puteri Nirahai, ingin tahu apa yang akan menjadi jawaban puteri itu.

Semua orang tercengang dan terheran melihat puteri cantik itu tetap tenang, bahkan kini tersenyum manis, sedikit pun tidak menjadi gugup menghadapi pertanyaan dari fihak Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang merupakan serangan hebat itu. Puteri itu memandang tajam ke arah Ceng To Hwesio, kemudian menjura dan berkata, suaranya tetap merdu dan tenang.

“Maaf, Losuhu. Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, juga pertanyaan dari Totiang wakil Hoa-san-pai yang sifatnya sama, lebih dulu saya hendak mengajukan pertanyaan dengan harapan agar Losuhu sudi menjawab secara sejujurnya. Pertama, dalam pertandingan perorangan terdapat istilah curang kalau orang itu menggunakan cara-cara yang melanggar ketentuan pertandingan. Akan tetapi, di dalam keadaan perang, terdapat istilah siasat, dan apakah seorang panglima yang menggunakan siasat dalam perang untuk menjebak fihak musuh dapat disebut curang pula?”

“Siasat dalam perang bukahlah kecurangan,” jawab Ceng To Hwesio dan semua orang mengangguk karena siapakah yang akan dapat mengatakan bahwa siasat dalam perang itu curang?

“Terima kasih,” kata Nirahai sambil tersenyum. “Pertanyaan ke dua, kalau seorang perajurit dalam perang membunuh lawan, tanpa peduli siapa lawan yang berada di fihak musuh itu, apakah dia dianggap bersalah dan menjadi seorang pembunuh keji?”

“Tentu saja tidak,” jaweb pula Ceng To Hwesio. “Membunuh musuh dalam perang merupakan pelaksanaan tugasnya.”

Kini Nirahai tersenyum manis sekali, sepasang matanya berseri-seri dan suaranya merdu dan nyaring, “Terima kasih Losuhu. Jawaban-jawaban Losuhu memang tepat sekali dan tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Nah, sekarang ter­jawablah pertanyaan-pertanyaan Losuhu sebagai wakil Siauw-lim-pai dan Totiang sebagai wakil Hoa-san-pai. Sesungguhnya, saya yang kini mendapat kehormatan memegang pusaka keramat dari pendekar sakti Suling Emas, dan mengaku sebagai ahli waris ilmu-ilmu pusaka Mutiara Hi­tam, seujung rambut pun tidak mempunyai rasa permusuhan, apalagi kebencian terhadap para orang gagah di dunia kang-ouw. Sebaliknya, saya bahkan menaruh hormat dan kagum. Akan tetapi mengapa saya membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai? Karena tugas saya, tugas se­orang perajurit kerajaan Ayahanda Kaisar! Dan mengapa pula saya menggunakan fitnah kepada Hoa-san-pai, menggunakan siasat untuk mengadu domba antara Si­auw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Karena tugas saya sebagai panglima dalam pe­rang! Semua yang saya lakukan itu demi tugas dan terjadi dalam perang. Per­musuhan dalam perang bukanlah permu­suhan pribadi, karena kalau peristiwa yang timbul sebagai akibat perang lalu dijadikan dendam pribadi, saya kira di dunia ini akan terjadi dendam-mendendam yang tiada habisnya! Saya harap saja Lo­suhu wakil Siauw-lim-pai dan Totiang wakil Hoa-san-pai dapat menerima pen­jelasan saya ini yang keluar dari hati, bukan sekedar alasan kosong untuk meng­hindarkan diri dari kesalahan.”

Semua orang yang mendengar ucapan puteri itu diam-diam terpaksa harus membenarkannya. Akan tetapi tiba-tiba seorang kakek yang berpakaian pengemis bangkit berdiri. Han Han dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang ang­gauta Pek-lian Kai-pang, yang dengan sikap gagah berkala lantang.

“Semua uraian Kouwnio memang tepat dan sebagai orang-orang gagah kita harus dapat menangkap kebenarannya. Sudah menjadi hak dan kewajiban Kouwnio un­tuk bertugas membela bangsa dalam perang, dan hal ini memanglah kewajiban suci orang gagah. Akan tetapi, kami pun, orang-orang gagah yang menjunjung tinggi kepahlawanan, kami berkewajiban pula untuk membela negara dan bangsa, menentang penjajah tanah air dari bangsa asing! Kalau sekarang kami menyetujui uluran tangan pemerintah Mancu untuk bekerja sama, bukankah hal itu berarti hendak menyeret kami patriot-patriot gagah menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang rendah dan hina?”

Semua mata orang gagah yang hadir di situ mengeluarkan sinar bersemangat, dan Han Han makin tertarik, ingin sekali mendengar bagaimana tangkisan puteri yang cerdik itu terhadap serangan yang amat hebat ini. Akan tetapi puteri itu tersenyum dan tetap tenang saja. Setelah memandang ke arah penyerangnya dengan sinar mata tajam, ia lalu menjawab.

“Pertanyaan Lo-enghiong mengandung beberapa hal yang perlu saya jawab satu demi satu. Pertama, Lo-enghieng menya­takan bahwa tanah air dijajah oleh bangsa asing! Manakah bangsa asing? Bangsa kita yang besar mempunyai pu­luhan suku bangsa, di antaranya suku bangsa Khitan, Mongol, Mancu dan lain-lain suku bangsa yang tersebar di daerah utara dan barat di tanah air kita yang luas. Jadi kalau sekarang negara berada di dalam bimbingan tangan suku bangsa Mancu, tidak dapat dikatakan bahwa tanah air dijajah bangsa asing! Di dalam catatan sejarah masih dapat diperiksa betapa eratnya hubungan antara suku bangsa-suku bangsa ini. Kalau suku bang­sa Mancu dianggap bangsa asing, bagaimana dengan suku bangsa Khitan? Kalau Khitan merupakan bangsa asing, apakah cu-wi sekalian hendak mengatakan bahwa pendekar sakti Suling Emas memperisteri wanita asing? Apakah pendekar wanita Mutiara Hitam juga berdarah bangsa asing, dan sekarang tidak tepat kalau dikatakan bahwa kaisar yang bersuku bangsa Mancu merupakan kaisar asing yang menjajah! Lebih tepat dikatakan bahwa Ayahanda Kaisar telah berhasil menghalau kaisar lalim dan membebaskan rakyat jelata daripada penindasan!”

Semua orang saling pandang dan kem­bali uralan itu sukar mereka jawab secara tepat karena memang mereka tidak dapat memastikan benar apakah bangsa Mancu termasuk bangsa asing ataukah hanya suku bangsa mereka yang besar!

“Sekarang hal ke dua. Tadi Lo-enghiong mengatakan bahwa sudah menjadi tugas kewajiban seorang patriot untuk membela bangsanya. Tepat sekali! Memang tugas seorang gagah perkasa, seorang patriot untuk membela bangsanya yang tertindas, akan tetapi bukan sekali-kali berarti bahwa seorang gagah harus membela kaisarnya yang lalim dan menindas rak­yat, bukan? Buktinya, jauh sebelum suku bangsa Mancu berhasil menumbangkan Kerajaan Beng-tiauw yang bobrok, telah banyak terjadi pemberontakan-pemberon­takan yang sebetulnya merupakan usaha dan perjuangan para orang gagah untuk membela rakyat yang tertindas dan meng­enyahkan kaisar dan antek-anteknya yang lalim. Lo-enghlong sendiri kalau saya tidak salah duga, tentulah anggauta Pek-lian Kai-pang dan apakah Pek-lian Kai-pang itu? Bukankah perkumpulan orang gagah ini merupakan kelanjutan daripada Pek-lian-kauw, perkumpulan yang dahulu tak pernah berhenti berusaha menggulingkan kaisar lalim dari Kerajaan Beng-tiauw? Nah, dengan demikian, bukankah usaha suku bangsa Mancu pun merupakan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan akibat penindasan Ke­rajaan Beng-tiauw yang tidak becus? Dengan demikian, antara kami dengan cu-wi sekalian terdapat cita-cita yang sama, yaitu membebaskan rakyat dari penindasan. Kita sama-sama pejuang dan karenanya sudah sepatutnya kalau kita bergandengan tangan, bekerja sama untuk mengangkat rakyat yang sudah ratusan tahun ditindas itu agar mereka hidup makmur!”

Han Han memandang dengan mata terbelalak. Kagum bukan main hatinya. Wanita ini benar-benar luar biasa, pikirnya dan jantungnya berdebar-debar ketika ia memandang wajah yang cantik itu. Getaran yang aneh seperti terpancar keluar dari wajah itu dan menyentuh lubuk hatinya, membuat ia kagum dan terpesona.

Biarpun semua orang kini tak mampu lagi berkutik, kakek pengemis yang berhati keras itu masih tidak mau menyerah kalah. “Kouwnio, kalau benar bahwa ke­rajaan yang baru ini mengulurkan ta­ngan kepada para patriot, mengapa sam­pai sekarang Se-cuan diserang terus? Bukankah Bu-ongya juga seorang patriot besar yang mengorbankan segalanya un­tuk mempertahahkan nusa bangsanya?”

Wajah puteri itu yang tadinya berseri dan tersenyum-senyum, kini berubah ke­ras, matanya bersinar tajam berwibawa, dan suaranya nyaring berkata, “Bu Sam Kwi sama sekali bukan seorang pejuang yang membela rakyat! Dia berjuang un­tuk kepentingan sendiri, untuk menjadi raja! Lebih buruk lagi, dia adalah peng­khianat yang bermuka dua!”

Semua orang terkejut mendengar ini dan ada yang mengeluarkan seruan-seruan marah dan penasaran. Melihat ini, Nirahai cepat menyambung, “Hendaknya cu-wi sekalian jangan silau oleh tipuan peng­khianat licik itu dan marilah kita ikuti riwayatnya! Bu Sam Kwi dahulunya si­apa? Dia seorang panglima Kerajaan Beng-tiauw. Dan dia telah memberontak terhadap Kerajaan Beng-tiauw! Dengan dalih hendak membasmi Kaisar Beng-tiauw yang lemah dan lalim, dia meng­ajak suku bangsa Mancu yang pada waktu itu dipimpin oleh Paman Pangeran Dor­gan untuk bersekutu. Setelah kami ber­hasil menyerbu ke selatan, Bu Sam Kwi memperlihatkan muka ke dua dan memusuhi kami! Dia tidak hanya berkhianat terhadap Beng-tiauw, akan tetapi ber­khianat pula terhadap kerajaan baru! Orang macam itu mana ada harganya? Dia melawan kerajaan baru semata-mata karena hendak mengangkangi kerajaan dan hendak mengangkat diri sendiri menjadi raja, sama sekali bukan hendak mem­bela rakyat! Hal ini diketahui baik oleh Pangeran Kiu yang bijaksana sehingga kini Pangeran Kiu yang diwakili oleh kedua orang pendeta Lama yang terhor­mat ini, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, bersama-sama suku bangsa Tibet menerima uluran tangan kami. Bu Sam Kwi mengobar-ngobarkan perang, mem­buat rakyat makin sengsara. Akan tetapi, dia hanya tinggal menanti saatnya untuk kami hancurkan. Sekali lagi, harap cu-wi tidak tertipu oleh kepalsuan orang yang bermuka dua itu!”

Hening sampai lama sekali setelah Nirahai mengeluarkan ucapan yang penuh semangat ini. Kakek pengemis mengerit­kan keningnya, berpikir dan menjadi ragu-ragu akan pendiriannya semula. Tiba-tiba terdengar Ceng To Hwesio berkata.

“Bagaimana kami dapat mengetahui bahwa pemerintah baru ini tidak sama buruknya dengan yang lama? Apakah buktinya bahwa suku bangsa Mancu yang telah berhasil memegang pimpinan ini mempunyai niat yang mulia terhadap rakyat?”

Kembali Nirahai tersenyum. “Pertanyaan yang tepat dan penting, Losuhu dan jawabannya tentu saja memerlukan bukti! Saya tidak akan membujuk cu-wi sekalian orang-orang gagah untuk percaya begitu saja. Akan tetapi marilah kita sama-sama membuktikan sendiri! Saya pun mempunyai darah keturunan keluarga Suling Emas, tanpa malu-malu saya pun menggolongkan diri sebagai orang gagah. Andaikata kelak ternyata bahwa kaisar kita lalim, biarpun kaisar itu Ayah saya sendiri, apakah saya akan tinggal diam? Tidak, saya tetap akan bergandeng tangan dengan cu-wi untuk menentang kelaliman dan membela rak­yat yang tertindas!”

Terdengar sorakan gembira menyam­but ucapan ini dan Han Han menarik napas panjang. Wanita hebat! Sukar dicari keduanya! Cantik jelita, lihai ilmu­nya dan cerdik bukan main, akan tetapi juga gagah perkasa. Dia mau percaya bahwa seorang seperti Puteri Nirahai itu tentu akan memegang janjinya.

“Baiklah, Kouwnio. Pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai berjanji akin me­narik semua murid Siauw-lim-pai, tidak akan mencampuri urusan perang. Akan tetapi jangan dikira bahwa kami akan menjadi penonton yang hanya berpeluk tangan saja. Kalau kelak ternyata bahwa pemerintah ini sama buruknya dengan yang lalu, tentu kami akan mencabut senjata lagi melakukan pembalasan ter­hadap rakyat yang tertindas!”

“Kami juga berjanji!”

“Kami juga!”

“Kami juga!”

Ramailah para tamu yang hadir itu membuka suara, dan biarpun ada yang ha­nya tinggal diam, namun jelas bahwa yang setuju untuk berdamai jauh lebih besar jumlahnya, sedangkan yang membantah tidak ada seorang pun. Setelah semua diam ter­dengar Ceng To Hwesio berkata, suaranya keren.

“Kouwnio, ada sebuah hal yang dapat ki­ta pergunakan untuk membuktikan sampai di mana iktikad baik pemerintah baru.”

“Harap Losuhu katakan tanpa ragu-ragu. Hal apakah itu?” Nirahai bertanya ramah.

“Pemerintah yang baik tidak akan mempergunakan kaki tangan yang jahat, dan kalau memang pemerintah meng­hargai orang-orang gagah, tentu tidak akan melindungi orang jahat pula.”

“Maksud Losuhu bagaimana?”

“Terus terang saja, biarpun kini urus­an pemerintah telah dapat diselesalkan dengan damai dan tidak mencampuri perang, akan tetapi bagaimana dengan permusuhan pribadi?”

Sepasang mata itu dengan tajamnya menyambar dan menentang wajah hwesio tua itu. “Maksud Losuhu? Ingat bahwa semua yang saya lakukan dahulu adalah sebagai lawan dalam perang!”

Hwesio itu tertawa. “Kouwnio agak­nya salah mengerti. Dengar Kouwnio, sungguhpun Kouwnio telah membunuh dua orangn murid Siauw-lim-pai, akan tetapi persoalan itu telah beres oleh penjelasan Kouwnio tadi. Yang pinceng maksudkan adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat yang kini menjadi pembantu Kouwnio!”

Nirahai melirik ke arah Gak Liat lalu berkata sambil lalu, “Losuhu maksudkan bahwa antara Losuhu dan Gak-locianpwe terdapat urusan pribadi?”

“Benar, Kouwnio. Urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pangkutnya dengan urusan perang, kejahatan Kang-thouw-kwi terhadap murid Siauw-lim-pai yang hanya dapat ditebus dengan nyawa!”

Nirahai mengerutkan keningnya, ke­mudian menggerakkan kedua pundak mengembangkan kedua lengan sambil ber­kata, “Kita berada di antara para orang gagah. Pemerintah berpendirian untuk membasmi kejahatan, untuk melindungi rakyat. Apabila di antara para orang gagah ada dendam pribadi, tentu saja pemerintah mempersilakan mereka untuk menyelesaikan urusan mereka tanpa cam­pur tangan, bahkan kami berjanji untuk menjadi saksinya agar penyelesaian urus­an pribadi itu dilakukan dengan seadil-adilnya, tidak ada pengeroyokan, tidak ada kecurangan!”

“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Sang Pu­teri benar-benar telah bersikap adil. Nah, orang-orang Siauw-lim-pai! Kalau me­mang kalian mempunyai dendam terhadap diriku, mari kita bereskan sekarang ju­ga!” Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah meloncat ke depan dan dengan sikap menantang memandang kepada Ceng To Hwesio.

Ceng To Hwesio menggerakkan lengan bajunya yang lebar. “Omitohud! Kang-thouw-kwi Gak Liat yang terkenal se­bagai seorang datuk kaum sesat, tentu tidak akan bersikap pengecut dan berani mempertanggungjawabkan kedosaannya! Apakah engkau sudah merasa akan dosa­mu terhadap Siauw-lim-pai?”

“Ha-ha-ha-ha! Dosa? Dosa itu apakah? Kaumaksudkan murid wanita, seorang di antara Kang-lam Sam-eng itu? Ha-ha! Itu kauanggap dosa?”

“Gak Liat, manusia berwatak bina­tang! Siaplah engkau menghadapi pinceng! Sekaranglah, di depan para orang gagah, kita membuat perhitungan!” Sambil ber­kata demikian, Ceng To Hwesio melolos sabuknya dan sekali ia menggerakkan tangan, sabuk kain berwarna kuning itu menjadi kaku seperti baja! Hal ini mem­buktikan betapa kuat sin-kang dari hwe­sio tua ini dan semua tamu memandang dengan hati tegang.

Akan tetapi Gak Liat tertawa bergelak, kemudian suara ketawanya itu tiba-tiba terhenti, matanya melotot me­mandang hwesio itu dan terdengar suara­nya bernada sombong.

“Hwesio bosan hidup! Engkau siapa­kah? Kalau hendak membalas dendam, kenapa tidak Ceng San Hwesio ketuamu saja yang maju menghadapi aku?”

“Tidak perlu ketua kami! Untuk menghajar seekor anjing perlu apa mengguna­kan penggebuk besar? Pinceng Ceng To Hwesio mewakili suheng untuk membalas dendam terhadap kebiadabanmu! Majulah, Kang-thouw-kwi!”

“Susiok-couw (Paman Kakek Guru), karena dia berdosa terhadap sumoi, biar­kan teecu yang melayaninya!” Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng, menggerakkan cambuk besinya me­loncat maju. Orang yang pendek kecil ini merasa sakit hati sekali terhadap Gak Liat yang telah memperkosa Bhok Khim, sumoinya yang tersayang sehingga ia lupa diri dan hendak nekat mengadu nyawa. Akan tetapi Ceng To Hwesio yang mak­lum bahwa cucu keponakan ini masih jauh untuk dapat melawan datuk kaum sesat itu, membentaknya dan menyuruh­nya minggir. Kemudian Ceng To Hwesio menghadapi Gak Liat sambil melintang­kan sabuknya dan menantang.

“Mari, Kang-thouw-kwi. Kita tua sama tua mengakhiri perhitungan kita di sini!”

“Ha-ha-ha, aku telah siap sejak tadi. Kalau kau memang sudah bosan hidup, maju dan seranglah, Ceng To Hwesio!”

“Omitohud, ijinkan hamba membasmi manusia iblis ini, bukan karena benci, melainkan untuk menyelamatkan manusia-manusia lain!” Ceng To Hwesio berkata lirih seperti berdoa, kemudian tubuhnya bergerak dan ia sudah menerjang maju, sabuknya menyambar ke arah muka Gak Liat.

Setan Botak ini tertawa, melangkah mundur dan membiarkan sabuk lewat di depan mukanya, tangan kirinya sudah diluncurkan ke depan mencengkeram ke arah pusar lawan. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang hebat bukan main. Semua penonton, termasuk Han Han, memandang penuh ketegangan.

Ceng To Hwesio adalah sute dari ketua Siauw-lim-pai. Ilmu kepandaiannya biarpun belum dapat disejajarkan dengan Ceng San Hwesio, namun sudah cukup tinggi, bahkan lebih tinggi setingkat kalau dibandingkan dengan seorang di an­tara Siauw-lim Chit-kiam. Juga hwesio tua ini telah berpuluh tahun hidup ber­sih sehingga ia telah berhasil menghim­pun tenaga dalam yang kuat di tubuh­nya. Namun, menghadapi Gak Liat yang tingkatnya sebanding dengan ketua Siauw-lim-pai, ia masih kalah jauh. Betapapun juga, hwesio yang berkemauan keras untuk menyingkirkan lawan yang dianggapnya amat jahat seperti iblis ini, tidak jerih dan cengkeraman itu dapat ia elakkan dengan meloncat ke samping dan dari pinggir ini, sabuknya yang telah ia gerakkan menjadi kaku itu menyodok ke arah perut Setan Botak. Namun datuk kaum sesat ini tertawa dan sengaja me­nerima sodokan itu dengan memasang perutnya menyambut.

“Dukkk! Wuuuttttt!”

“Aihhh....!”

Ceng To Hwesio mploncat tinggi ke be­lakang dan hampir saja ia celaka. Ketika sabuknya yang menjadi kaku menyodok perut, ia merasa betapa senjatanya itu membalik, bertemu dengan benda yang seperti karet, dan tangan Gak Liat sudah melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang mengandung hawa panas melebihi api. Biarpun hwesio Siauw-lim-pai ini sudah meloncat dan menghindar, pundak­nya kena diserempet hawa pukulan dan terasa panas sekali, bahkan bajunya ro­bek dan kulitnya gosong menghitam!

“Ha-ha-ha-ha! Begitu saja kepandaian­mu, Ceng To Hwesio?” Gak Liat tertawa bergelak.

Nirahai mengerutkan keningnya. Dia maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai itu bukanlah lawan Gak Liat yang lihai. Dia tidak memihak Gak Liat, sebaliknya ma­lah hatinya condong memihak kepada hwesio Siauw-lim-pai karena dia dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri murid wanita Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi, dia pun masih membutuhkan te­naga bantuan seorang lihai seperti Gak Liat. Biarlah, pikirnya, makin banyak permusuhan diselesaikan makin baik agar pemerintah tidak banyak pusing meng­hadapi permusuhan-permusuhan pribadi antara tokoh-tokoh kang-ouw ini. Kalau saja hwesio Siauw-lim-pai itu tahu diri, pikirnya, dan mengaku kalah, maka per­musuhan itu akan dihabiskan dan dia dapat menggunakan kekuasaan dan pe­ngaruhnya untuk mencegah Gak Liat melakukan pembunuhan.

Adapun Han Han yang menonton dari tempat sembunyinya, dia tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan itu. Ingin ia membantu Ceng To Hwesio menghadapi Gak Liat, akan tetapi dia tahu bahwa pertandingan itu dilakukan secara adil dan bahkan kalau dia turun tangan, maka dia hanya akan mengacaukan maksud baik Puteri Nirahai. Maka ia hanya me­nonton dan berkali-kali menarik napas panjang, maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai yang nekat itu hanya akan mem­bunuh diri melawan Gak Liat yang amat lihai pukulan Hwi-yang Sin-ciangnya itu.

Ceng To Hwesio benar-benar nekat. Dia sudah menerjang maju lagi, kini sabuknya ia putar-putar dengan tangan kanan melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah dan bagian tubuh yang ber­bahaya, sedangkan tangan kirinya menggunakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) untuk menyerang. Betapa­pun kebal tubuh lawan, kalau terkena cengkeramannya ini agaknya akan celaka!

Gak Liat yang amat lihai dan banyak pengalamannya itu pun maklum bahwa biarpun tingkatnya jauh lebih tinggi, namun dia pun tidak boleh memandang rendah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal memiliki ilmu silat yang kuat sekali. Dia cepat menggerakkan kedua tangan menangkis, dan ada kalanya harus mengelak sambil menanti saat baik. Ke­tika sabuk itu menyambar ke arah lehernya, secepat kilat ia menangkap sabuk itu, membiarkan cengkeraman tangan kiri hwesio ke arah leher itu mengenai pun­daknya dengan jalan miringkan tubuh. Pada saat tangan kiri Ceng To Hwesio mencengkeram pundaknya, tangan kanan Gak Liat menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan.

“Brettt.... desssss!”

Baju di pundak Gak Liat robek, akan tetapi tubuh Ceng To Hwesio terlempar ke belakang dan terbanting roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi karena selu­ruh dada dan perutnya berubah menjadi hitam seperti terbakar!

“Manusia iblis....!” Khu Cen Tiam dan Liem Sian, dua orang di antara Kang-lam Sam-eng meloncat maju. Khu Cen Tiam menyerang dengan cambuk besinya, sedangkan Liem Sian yang tinggi besar sudah menggunakan sin-pan, yaitu toya kuningan yang amat berat.

“Cring-tranggg....!” Dua orang murid Siauw-lim-pai ini meloncat mundur kare­na kaget ketika senjata-senjata mereka ditangkis dan tangan mereka tergetar. Yang menangkisnya adalah Puteri Nirahai, menggunakan pedang payungnya. Puteri itu berdiri dengan keren dan berkata.

“Ji-wi Lo-enghiong harap suka memenuhi janji. Losuhu ini telah kalah dan mati dalam pertandingan adalah yang lumrah. Lebih baik mati dalam pertan­dingan yang adil daripada berlaku curang yang hanya akan merendahkan nama besar Siauw-lim-pai! Lebih baik ji-wi membawa jenazah Losuhu ini dan tidak perlu memperbesar permusuhan karena sudah terang bahwa fihak Siauw-lim-pai telah kalah dalam pertandingan yang syah dan adil.”

Dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu menghela napas, menyimpan senjata me­reka lalu mengangkat jenazah Ceng To Hwesio. Sebelum pergi, Khu Cen Tiam berkata kepada Gak Liat, “Kang-thouw-kwi, urusan di antara kita masih belum habis. Tunggulah kami melaporkan hal ini kepada ketua kami.”

“Ha-ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi, lebih baik ketua Siauw-lim-pai sendiri yang maju, barulah ramai! Aku akan selalu menanti, ha-ha-ha!”

Akan tetapi, sebelum dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu pergi, tiba-tiba ber­kelebat bayangan putih dan terdengar bentakan nyaring, “Setan Botak, nyawa­mu sudah berada di tanganku dan engkau masih bicara sombong!”

Dua orang di antara Kang-lam Sam-eng menengok ke arah wanita berpakaian putih yang muncul tiba-tiba itu dan me­reka berbareng berseru keras penuh kekagetan dan keheranan, “Sumoi....!”

Gak Liat memandang dengan mata terbelalak, dan sinar matanya memba­yangkan rasa ngeri dan cemas. Han Han segera mengenal wanita itu sebagai wa­nita yang dahulu menjadi orang ke tiga dari Kang-lam Sam-eng, yaitu Bhok Khim yang dahulu diperkosa Gak Liat dan kemudian untuk kedua kalinya ia melihat wanita itu membobol dinding kelenteng Siauw-lim-si, keluar dari kamar penyiksa diri dan membawa seorang anak laki-laki. Jantung Han Han berdebar keras dan perasaannya terguncang penuh ke­tegangan.

Orang-orang lain yang berada di situ, termasuk Nirahai, terheran-heran dan tidak tahu siapa gerangan wanita yang wajahnya masih cantik akan tetapi ram­butnya riap-riapan pakaiannya kusut dan wajahnya membayangkan kemarahan dan kelihatan beringas sekali itu.

“Kau.... kau.... murid Siauw-lim-pai itu....!” Gak Liat akhirnya teringat dan di luar kesadarannya ia berteriak.

“Kakek keparat, manusia iblis Gak Liat. Benar, akulah Bhok Khim dan aku datang untuk merenggut nyawamu!” Se­telah berkata demikian, Bhok Khim sudah menyerang dengan hebatnya, menubruk dan kedua tangannya mencengkeram se­perti seekor harimau mengamuk. Namun dari gerakannya itu menyambar hawa yang amat kuat sehingga Gak Liat sen­diri sampai menjadi kaget. Cepat-cepat kakek ini mengelak dengan lompatan ke kiri, namun dengan kecepatan yang amat luar biasa, Bhok Khim sudah mendorong­kan kedua tangannya ke kanan dan.... tubuh Gak Liat terjengkang lalu terguling sampai lima kali. Dia meloncat kaget sekali, akan tetapi merasa lega bahwa dia tidak terluka sungguhpun harus ia akui bahwa tenaga dorongan wanita ini hebat bukan main!

Melihat pertandingan yang sedang dimulai ini, Puteri Nirahai kini mengerti siapa adanya wanita itu, maka ia ber­seru nyaring, “Pertandingan antara dua orang yang mempunyai dendam pribadi, harap yang lain tidak mencampuri!”

Seruan ini menenangkan suasana dan kini semua orang menonton dua orang yang sudah mulai bertanding dengan he­batnya. Diam-diam Han Han yang me­nyaksikan pertandingan itu terkejut dan kagum sekali. Gerakan Bhok Khim amat aneh dan terutama sekali hawa yang menyambar keluar dari kedua tangannya amat kuat, anginnya mengeluarkan suara bercuitan seperti pedang yang digerak­kan dengan tenaga sin-kang kuat. Tahulah dia bahwa wanita itu di dalam kamar penyiksa diri telah dapat mencuri ilmu yang diajarkan oleh kakek sakti Kian Ti Hosiang kepada Siauw Lam Hwesio, pe­layannya. Ilmu inilah yang agaknya di­maksudkan oleh Kian Ti Hosiang, akan tetapi menyaksikan betapa ilmu itu kini amat ganas dan liar, dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu mempelajarinya secura keliru sehingga menyeleweng. Namun, melihat hebatnya gerakan Bhok Khim, dapat diduga betapa hebatnya ilmu yang dicuri oleh wanita itu dari balik dinding kamar penyiksa diri.

Berkali-kali Gak Liat roboh terguling akan tetapi karena dia memiliki kekebal­an luar biasa, maka pukulan hawa aneh itu hanya membuat ia roboh bergulingan, sama sekali tidak melukainya. Melihat ini, Han Han merasa sayang sekali dan ia dapat menduga bahwa wanita itu ternyata hanya mewarisi “kulit” dari ilmu itu, masih kehilangan inti sarinya, karena kalau sudah mengenal “isinya”, agaknya ilmu yang hebat itu pasti tidak akan dapat tertahan oleh Gak Liat.

Agaknya Gak Liat yang jauh lebih matang pengalamannya dalam hal pertan­dingan ilmu silat, juga dapat mengerti akan hal itu. Tiba-tiba ia tertawa bergelak dan kini ia mengimbangi serangan-serangan Bhok Khim yang ganas dan liar itu dengan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang sambit menggulingkan diri.

“Celaka....!” Han Han berseru dalam hatinya. Ia memang sudah tahu bahwa serangan Bhok Khim itu tidak akan ada artinya kalau lawannya bergulingan seperti itu dan kini biarpun memukul sam­bil menggulingkan diri, Hwi-yang Sin-ciang dari Setan Botak itu tidak ber­kurang kedahsyatannya!

Benar saja, setelah Gak Liat membalas serangan dengan bergulingan dan memukul secara bertubi-tubi, Bhok Khim terkejut sekali dan ketika ia agak terlambat mengelak, pinggangnya kena se­rempet pukulan panas itu dan ia men­jerit, roboh terguling dan pakaiannya robek di bagian pinggang!

“Ha-ha-ha!” Gak Liat tertawa bergelak akan tetapi ia menghentikan ke­tawanya dengan tiba-tiba karena ternyata Bhok Khim sudah meloncat bangun kem­bali sambil menubruknya dan mengeluar­kan suara melengking nyaring seperti kuntilanak! Gak Liat masih berusaha membuang diri ke samping sambil me­mukul dengan telapak tangannya. Akan tetapi Bhok Khim sudah mendahuluinya, menangkap kedua tangannya, pada per­gelangan tangan dan gerakan tubrukannya yang kuat itu membuat Gak Liat roboh terlentang, ditindih oleh Bhok Khim!

Kedua orang itu bergulingan, bergumul di atas rumput dan karena bergumul dengan kacau, saling membetot bersitegang melepaskan dan memperta­hankan tangan yang dicengkeram, maka tubuh mereka saling tindih sehingga kelihatan seperti kedua orang laki-laki dan wanita itu sedang bermain asmara dan bersendau-gurau sambil bergumul. Namun, semua yang hadir mengerti bahwa per­tandingan itu merupakan pertandingan mati-matian, siapa yang kalah tentu tewas, maka mereka memandang dengan hati penuh ketegangan.

Memang hebat dan menegangkan per­tandingan yang kini tidak lagi memakai teori ilmu silat itu. Cengkeraman jari-jari tangan Bhok Khim pada kedua pergelangan tangan Gak Liat benar-benar kuat, seolah-olah jari-jari tangannya su­dah terbenam ke dalam lengan kakek itu. Biarpun ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja kesepuluh jari ta­ngan Bhok Khim itu tidak dapat terlepas dari tangan Gak Liat, seolah-olah men­jadi sepuluh ekor lintah yang menghisap darahnya! Gak Liat mulai menjadi gugup dan juga marah bukan main. Kalau dia dikalahkan dengan ilmu silat yang lebih tinggi, dia tidak akan penasaran. Akan tetapi dikalahkan dengan cara wanita berkelahi, mencengkeram dan mencakar, benar-benar amat memalukan! Lebih celaka lagi, kini wanita gila itu mulai berusaha untuk menggigit tenggorokan­nya! Dalam keadaan seperti itu, Gak Liat menjadi makin malu dan bingung. Ia kembali meronta dan menendangkan kaki­nya agar tubuh yang menindihnya itu terlepas, akan tetapi kini Bhok Khim sudah mengaitkan kedua kakinya yang panjang dan berkulit halus itu ke ping­gang Gak Liat dan tiba-tiba mukanya menunduk ke arah tenggorokan! Dilihat sepintas lalu, seolah-olah wanita cantik yang kini rambutnya terlepas dan awut-awutan menyembunyikan mukanya itu hendak mencium Gak Liat!

Terdengar lengking yang serak seperti srigala disusul teriakan Gak Liat karena tenggorokannya telah tergigit oleh Bhok Khim! Hal ini hanya dapat terjadi karena gelora nafsu berahi yang timbul di dalam hati kakek itu. Pergumulan itu, bau keri­ngat dan rambut Bhok Khim, membang­kitkan nafsu berahi di hati Gak Liat sehingga ia sejenak terpesona dan kehilangan kewaspadaan, maka terlambat ia menyadari bahwa wanita itu bukan hen­dak mencium bibirnya seperti yang dikhayalkannya dalam buaian nafsu, me­lainkan menggigit tenggorokannya. Rasa nyeri yang hebat membuat Gak Liat marah sekali. Biarpun tangannya masih dicengkeram, namun ia mengerahkan tenaga memukul sehingga tangan Bhok Khim yang mencengkeram terbawa de­ngan keras sekaii dan pukulan Hwi-yang Sin-ciang bersarang di dada wanita itu!

Pukulan ini hebat bukan main dan tokoh lain yang tinggi kepandaiannya pun kiranya akan tewas seketika menerima pukulan maut ini. Akan tetapi di dalam diri Bhok Khim terdapat hawa aneh yang timbul sebagai akibat dari mempelajari ilmu tinggi yang keliru dan biarpun pu­kulan itu membuat dadanya seperti re­muk akan tetapi tidak membuat ia tewas dan dalam kenyeriannya ia memperkuat gigitannya sampai gigi-giginya menembus kulit daging dan mengoyak urat besar!

“Desss!” Sekali lagi Gak Liat memukul sekuatnya dan tubuh Bhok Khim terkulai dengan dada berubah hitam dan hangus, akan tetapi tubuh Gak Liat sen­diri berkelojotan dalam sekarat karena urat lehernya putus dan lehernya koyak-koyak, matanya mendelik dan dari leher itu keluar suara mengerikan seperti se­ekor babi disembelih, dibarengi darah yang mengucur seperti pancuran air!

Setelah tubuh Gak Liat yang berke­lojotan itu menegang lalu terkulai, baru­lah semua orang menghela napas dengan muka pucat saking tegang dan ngerinya menyaksikan pertandingan hebat yang mengakibatkan matinya Bhok Khim dan Gak Liat. Akan tetapi, benar-benar he­bat wanita itu. Terdengar ia mengeluh dan tubuhnya bergerak perlahan, tangan­nya lemah menggapai ke arah Khu Cen Tiam dan Liem Sian.

“Suheng.... suheng.... harap suheng.... rawat...., anakku....” terdengar suaranya lemah. Suara yang terdengar aneh, seper­ti suara yang datangnya dari lubang ku­bur. Memang aneh sekali melihat tubuh yang sudah menerima dua kali pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan yang sudah hangus menghitam itu masih dapat mengeluarkan suara!

“Kami bukan suhengmu!” Khu Cen Tiam membentak, jijik dan marah. “Anak­mu adalah anak haram, anak iblis, dan engkau sendiri sudah menjadi iblis be­tina!” Memang Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang dahulunya amat mencinta Bhok Khim, menjadi benci ketika mendengar betapa dalam kamar penyiksa diri itu sumoi mereka telah menjadi gila dan melahirkan anak. Kini menyaksikan sepak terjang Bhok Khim, mereka menjadi ma­kin benci karena biarpun Bhok Khim berhasil membunuh Gak Liat, akan tetapi caranya berkelahi tadi amat memalukan, tidak patut dilakukan seorang murid Siauw-lim-pai! Karena itu, mereka tidak mau mengakui Bhok Khim yang diang­gap mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai.

“Kami bukan suhengmu dan engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi!” Liem Sian ikut membentak.

“Suheng.... tolong.... anak.... ku....” Bhok Khim masih mencoba untuk mohon kepada bekas kedua suhengnya sambil mengerahkan seluruh tenaga terakhir.

“Ibils betina!” Khu Cen Tiam dan Liem Sian menggerakkan senjata mereka hendak membunuh bekas sumoi itu ka­rena kalau dibiarkan bicara terus, mere­ka takut kalau ketahuan rahasianya dan akan menjadi bahan penghinaan dan pen­cemoohan para tokoh kang-ouw terhadap Siauw-lim-pai.

“Tring-tringgg....!” Cambuk besi dan toya kuningan itu terlempar diikuti tubuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu terlempar sampai empat meter dan ter­banting ke atas tanah. Han Han telah berdiri di situ dengan kening dikerutkan, memandang marah kepada dua orang itu.

“Pesan seorang yang akan mati adalah pesan keramat, apalagi kalian adalah bekas suhengnya, betapa kejinya hati kalian!” bentak Han Han tanpa mempe­dulikan siapa pun dan ia lalu berlutut dekat tubuh Bhok Khim.

“Toanio, biar siauwte yang akan me­nolong dan merawat puteramu. Di mana dia?”

Bhok Khim membelalakkan matanya, memandang Han Han dan agaknya ia mengenal pemuda ini. “Kau.... dua kali kau menolongku.... ahhh.... terima kasih.... anakku.... kuserahkan padamu.... kasihan dia.... tidak berdosa.... dia.... dia.... aaahhhhh.... dia berada....”

“Di mana? Di mana puteramu, Toanio....?” Han Han bertanya, mengguncang pundak itu. Bhok Khim sudah meramkan matanya, bibirnya berbisik lemah dan lirih sekali sehingga terpaksa Han Han mendekatkan telinganya sambil menge­rahkan tenaga saktinya untuk menangkap kata-kata terakhir yang hampir tidak terdengar itu. Bagaikan hembusan napas yang lemah, suara itu memasuki telinga Han Han bersama dengan napas terakhir Bhok Khim mengucapkan jawaban yang hanya terdengar oleh telinga Han Han sendiri. Han Han bangkit berdiri dan melihat betapa Khu Cen Tiam dan Liem Sian sudah mengangkat jenazah Ceng To Hwesio dan pergi dari tempat itu tanpa mempedulikan mayat Bhok Khim.

Sementara itu, semua orang memandang pemuda buntung itu penuh takjub, terutama mereka yang belum mengenal­nya. Adapun mereka yang telah menge­nalnya memandang Han Han dengan hati gentar karena mereka itu sudah melihat atau mendengar akan kesaktian pemuda buntung itu. Terutama sekali Nirahai memandang Han Han dengan sinar mata tajam, menyembunyikan kekagumannya. Pemuda itu agaknya telah lama berada di situ akan tetapi tidak seorang pun, juga dia sendiri tidak, yang mengetahui kebadiran pemtida itu. Padahal di situ terdapat banyak orang sakti. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya pemuda buntung yang menjadi kakak angkat Lulu yang mengatakan bahwa hanya Han Han inilah yang patut menjadi jodohnya! Teringat akan ini, tanpa dapat dicegah lagi merahlah kedua pipi Nirahai. Dara ini merasa jengah sendiri dan untuk menutupi debar jantungnya, ia segera berkata dengan suara dingin.

“Setelah dibebaskan subo, apa keperluanmu datang ke sini?”

Han Han mengangkat muka lalu berbalik dan memandang puteri itu, kemudi­an menjawab tenang, “Engkau telah me­nawan adikku Lulu, maka aku datang untuk bertanya ke mana perginya adikku itu.”

Kedua alis yang kecil panjang hitam itu berkerut, lalu terdengar suara Nirahai jengkel, “Apa kaukira aku menyembunyi­kan Lulu?”

“Aku tidak mengira atau menyangka apa-apa, hanya aku bertanya ke mana perginya Lulu?” Han Han bertanya, tetap tenang biarpun semua orang yang berada di situ memperhatikan dia bercakap-cakap dengan puteri itu. Sinar matanya tajam dan tidak membayangkan sesuatu, sungguhpun kini setelah berdiri dekat dan memandang wajah gadis itu dengan jelas, ia mendapat kenyataan betapa wajah puteri itu benar-benar amat cantik se­perti bidadari.

“Aku tidak tahu ke mana perginya. Dia melarikan diri dari tempat tahanan ketika murid-murid In-kok-san datang menyerbu. Dia benar sumoiku, akan te­tapi dia mengecewakan hatiku, maka aku tidak mau tahu lagi ke mana dia pergi.”

Ucapan ini melemaskan hati Han Han, karena dia percaya bahwa puteri itu memang benar tidak tahu. Akan tetapi ucapan yang mengandung penyesalan itu pun menyinggung hati Ma-bin Lo-mo karena murid-murid In-kok-san adalah murid-muridnya! Maka ia lalu berseru marah, “Murid-murid In-kok-san adalah murid-muridku yang murtad! Manusia-manusia tidak kenal budi, lupa betapa semenjak kecil dengan susah payah aku mengajar mereka. Terkutuk, akan ku­bunuh mereka seorang demi seorang!”

Tidak ada yang berani mencampuri urusan Ma-bin Lo-mo dengan murid-murid­nya, akan tetapi Han Han menjadi panas hatinya. Ia tahu betapa murid-murid In-kok-san itu masih memiliki kegagahan dan sifat-sifat yang jauh lebih baik daripada watak Iblis Muka Kuda ini, maka ia menengok kepada Ma-bin Lo-mo dan berkata.

“Ma-bin Lo-mo, ucapanmu ini sebenarnya tak perlu kaukeluarkan di depan para orang gagah! Engkaulah yang terkutuk dan murtad, setelah apa yang kaulakukan terhadap orang tua dan keluarga para murid In-kok-san!”

Seketika wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. Sedikit pun ia tidak pernah me­ngira bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah mengetahui rahasianya. Ia hanya memandang dengan mata melotot tanpa dapat menjawab. Han Han juga tidak mempedulikannya lagi lalu berkata, tidak ditujukan kepada siapapun juga.

“Suara yang mengajak damai adalah suara hati yang murni, akan tetapi ma­nusia sudah terlalu dibungkus kepalsuan, maka sayanglah kalau suara damai itu menyembunyikan sesuatu yang jauh dari­pada mendatangkan kedamaian di hati sesama manusia.” Setelah berkata demi­kian, sekali lagi ia mengerling ke arah Puteri Nirahai lalu tubuhnya berkelebat, sekali mencelat lenyaplah tubuhnya, mem­buat semua orang bengong memandang.

“Pemuda Super Sakti!” terdengar orang-orang berbisik kagum. Nirahai juga kagum sekali. Dia dapat melihat bayang­an pemuda itu meloncat-loncat cepat sekali seperti kilat menyambar dan da­lam beberapa loncatan saja sudah amat jauh dari tempat itu. Ia kagum dan juga penasaran ingin sekali ia mencoba kepan­daian pemuda buntung yang amat ter­kenal bahkan kini dijuluki pemuda Super Sakti itu!

Pertemuan itu ditutup dengan janji para tokoh kang-ouw dan wakil-wakil perkumpulan untuk mencuci tangan tidak mencampuri perang, bahkan berjanji akan menarik semua murid dari Se-cuan. Pu­teri Nirahai menjadi lega sekali dan menganggap bahwa tugas dan usahanya berhasil baik sekali. Akan tetapi dalam perjalanan meninggalkan tempat itu, wajah Han Han tidak pernah lenyap dari depan matanya. Ia kagum, dan juga pe­nasaran, belum puas hatinya kalau betum dapat berhadapan sebagai lawan dengan pemuda buntung itu. Akan tetapi, ber­kali-kali Nirahai mencela hatinya sendiri yang tak pernah dapat melupakan Han Han. Dia masih mempunyai banyak ke­wajiban yang harus diseleseikan, harus cepat pulang ke kota raja memberi laporan kemudian ke perbatasan Se-cuan untuk memimpin sendiri pasukan yang mengepung daerah pemberontak itu.



***



Harus diakui kecerdikan Puteri Nira­hai dan para pimpinan tinggi Kerajaan Mancu yang selain pandai berperang, dapat memimpin pasukan-pasukan yang berani mati, tahan uji dan berdisiplin tunduk terhadap pimpinan, juga pandai pula bersiasat. Siasat yang dilakukannya di puncak Tai-hang-san, mengundang para tokoh kang-ouw termasuk para pimpinan partai-partai persilatan, mengajak damai dengan mengemukakan pandangan-pan­dangan dan filsafat-filsafat yang mengesankan, benar-benar telah berhasil baik sekali. Berbondong-bondong orang-orang kang-ouw yang gagah perkasa dan para murid persilatan besar yang tadinya dengan mati-matian membantu perjuangan Se-cuan dalam menghadapi barisan Mancu, mengundurkan diri dan keluar dari Se-cuan memenuhi perintah ketua-ketua dan guru-guru mereka. Sudah tentu saja hal ini membuat Se-cuan menjadi lemah sungguhpun Bu Sam Kwi yang berambisi besar itu tetap mempertahankan keduduk­annya dan mengerahkan seluruh pasukan dan penduduk untuk mempertahankan Se-cuan dari tangan pemerintah Mancu.

Pengunduran para orang gagah dari Se-cuan itu bukan tidak diperhatikan oleh fihak pimpinan pasukan Mancu yang tak pernah meninggalkan perbatasan. Sebaliknya dari itu malah, mereka ini memper­gunakan kesempatan setelah orang-orang gagah itu keluar, lalu pasukan-pasukan terdepan mengadakan serbuan-serbuan kecil untuk mengacau pertahanan musuh. Yang paling aktip dalam pengecauan-pengacauan di perbatasan ini adalah Ouw­yang-kongcu sendiri, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok yang memimpin pasu­kan istimewa untuk menyerbu daerah-daerah yang kini tidak lagi diperkuat oleh orang-orang kang-ouw, melakukan pengrusakan, pembakaran secara kejam, membiarkan pasukannya membunuh, merampok, memperkosa dan membakari rumah. Memang hal ini disengaja untuk mengacaukan pertahanan musuh dan di samping itu, Ouwyang Seng mendapat kesempatan pula untuk melampiaskan nafsu-nafsunya dan memilih wanita-wanita tercantik untuk dirinya sendiri. Apalagi pada waktu Puteri Nirahai meninggalkan daerah perbatasan untuk kembali ke kota raja dan menghadiri pertemuan di Tai-hang-san, Ouwyang Seng seperti seekor kuda tanpa kendali. Kalau ada puteri itu yang ia harapkan untuk menjadi jodoh­nya, harapan yang bukan saja terdorong oleh kecantikan dara itu yang membuat ia tergila-gila, akan tetapi juga sebagai mantu kaisar tentu saja derajatnya men­jadi naik dan ia akan mendapat kedudukan yang tinggi, pemuda bangsawan itu men­jadi “alim” dan bersikap seperti seorang pemuda yang baik.

Han Han yang meninggalkan puncak In-kok-san, melakukan perjalanan cepat sekali ke Se-cuan. Ketika ia meninggal­kan puncak, di tengah jalan di kaki gunung itu, ia melihat dua orang murid Siauw-lim-pai, Khu Cen Tiam dan Liem Sian, membakar jenazah Ceng To Hwesio untuk diperabukan dan dibawa abunya ke Siauw-lim-si, dan ketika ia mengintai, ia mendengar percakapan antara dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini. Kiranya kedua orang tokoh Siauw-lim-pai ini tidak mau menerima uluran tangan Puteri Nirahai yang mengajak damai. Mereka berban­tahan. Liem Sian mengatakan bahwa mendiang Ceng To Hwesio sudah meneri­ma perdamaian itu, akan tetapi Khu Cen Tiam membantah, mengatakan bahwa kini hwesio itu telah tewas sehingga perjanji­an itu juga dapat dibatalkan. Akhirnya mereka berdua bersepakat untuk pergi ke Se-cuan dan membakar hati para saudara mereka yang berjuang di sana untuk lebih memperhebat perlawanan mereka!

Mendengar ini, tentu saja hati Han Han menjadi khawatir sekali. Terutama ia ingat akan Lauw Sin Lian, puteri mendiang Lauw-pangcu yang telah men­jadi murid Siauw-lim Chit-kiam sehingga gadis itu pun kini menjadi tokoh Siauw-lim-pai dan kalau Sin Lian terkena ha­sutan kedua orang yang mendendam ini, berarti gadis itu akan terus berjuang melawan pemerintah Mancu. Han Han bukan hanya mengkhawatirkan keselamatan bekas sucinya itu, akan tetapi terutama sekali ia menjaga jangan sampai tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Sin Lian, mengingkari atau melanggar janji yang telah diucapkan Ceng To Hwesio, seorang tokoh besar Siauw-lim-pai. Karena inilah dia bergegas mendahului dua orang Siauw-lim-pai itu menuju ke Se-cuan untuk memberi tahu kepada Sin Lian akan per­janjian yang diadakan di puncak In-kok-san.

Han Han sama sekali tidak tahu bah­wa kedatangannya di perbatasan Se-cuan itu telah diketahui oleh Ouwyang Seng yang sudah mengatur rencana bersama Toat-beng Cui-sian-li dan Ma-bin Lo-mo. Iblis Muka Kuda ini amat khawatir mendapat kenyataan bahwa Han Han telah mengetahui rahasianya yang busuk terhadap para muridnya, maka ia hendak mengerahkan segala siasat dan kepandaiannya untuk membunuh pemuda buntung itu. Juga Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat betapa kini Han Han menjadi seorang yang berilmu tinggi, khawatir kalau-kalau pemuda itu kelak akan men­celakakannya sebagai balas dendam kare­na dialah yang menyebabkan pemuda itu kehilangan sebelah kakinya. Adalah wajar kalau nenek ini pun ingin sekali mem­bunuh Han Han agar hatinya tidak akan gelisah lagi. Ouwyang Seng memang membenci Han Han, maka tentu saja dia menjadi gembira untuk bersekutu dengan dua orang lihai ini dan menjebak Han Han. Hanya ia merasa sayang sekali mendengar akan kematian gurunya, kare­na kalau ada bantuan Gak Liat, tentu kedudukan mereka lebih kuat lagi.

Ketika sampai di perbatasan, segera Han Han mendengar dari mulut para pengungsi akan keganasan pasukan yang dipimpin Ouwyang-kongcu. Mendengar ini, Han Han menjadi marah. Semenjak kecil ia sudah mengenal Ouwyang Seng sebagai seorang yang sombong dan berwatak jahat. Kini mendengar akan sepak-terjang putera pangeran yang penuh kekejaman, membakari dusun-dusun dan melakukan hal-hal di luar prikemanusiaan, Han Han tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia tidak ingin melibatkan diri dengan perang, akan tetapi apa yang dilakukan Ouwyang Seng sama sekali tidak ada hubungannya dengan perang, melainkan pengumbaran hawa nafsu ja­hat. Kalau Ouwyang Seng dan pasukannya menggempur dan menghancurkan pasukan Se-cuan, dia tidak akan peduli, itu ada­lah perang namanya. Akan tetapi mem­bakari dusun, membunuhi orang yang tidak melakukan perlawanan, memperkosa wanita yang lemah, apakah ini dapat dikatakan siasat perang? Tidak, ia harus mencari dan mengenyahkan pemuda bang­sawan yang jahat itu, karena kalau tidak segera dibasmi orang seperti itu tentu keganasan dan kejahatannya akan makin merajalela dan menimbulkan banyak kor­ban manusia yang tidak berdosa.

Pagi-pagi sekali Han Han telah tiba di perkemahan pasukan yang dipimpin Ouwyang Seng di lereng gunung. Ia langsung memasuki daerah yang dikuasai pasukan ini dan merasa heran melihat keadaan yang sunyi, tidak nampak penjagaan ketat. Bahkan ada beberapa orang perajurit Mancu yang rebah malang-melintang tidur mendengkur dalam ke­adaan mabuk! Pasukan macam begini disohorkan sebagai pasukan yang istime­wa? Diam-diam Han Han memandang rendah, akan tetapi tetap bersikap was­pada karena ia telah mengenal siasat-siasat yang amat berbahaya dari para pasukan Mancu ini. Berindap-indap ia memasuki daerah itu dan meneliti per­kemahan. Di dalam beberapa buah kemah ia mendengar isak tangis wanita diseling kekeh ketawanya laki-laki mabuk. Tentu para perwira pasukan sedang melakukan perbuatan biadab terhadap wanita-wanita tawanan, pikirnya. Akan tetapi tujuan Han Han mencari Ouwyang Seng dan ia menduga bahwa tentu pemuda bangsawan itu berada di dalam kemah yang paling besar. Akhirnya, ia melihat sebuah ke­mah yang besar berwarna kuning, berada di tengah-tengah perkemahan dan dengan gerakan ringan sekali Han Han bergerak mendekat. Tentu kemah besar itulah yang ditempati Ouwyang Seng, pikirnya. Sama sekali Han Han tidak tahu bahwa keadaan yang sunyi itu, adanya penjaga-penjaga mabuk, memang disengaja oleh Ouwyang Seng, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li yang berusaha menjebak­nya. Pasukan disingkirkan, memasang barisan pendam mengurung perkemahan, dan kini tiga pasang mata mengikuti gerak-gerik Han Han dari tempat per­sembunyian di belakang kemah besar. Keadaan Han Han seperti seekor hari­mau yang makin lama makin mendekati jebakan, diintai oleh pemburu-pemburu dengan hati berdebar tegang.

Sesosok bayangan berkelebat di depan kemah besar. Biarpun cuaca seperti itu masih belum terang benar, akan tetapi mata Han Han terbelalak lebar ketika ia melihat bayangan itu. Lulu! Tak salah lagi! Bayangan itu berdiri depan kemah membelakanginya, akan tetapi bentuk tubuh, bentuk tata rambut, dan dagu meruncing yang tampak sedikit dari samping, cara berpakaian, jelas bahwa gadis itu tentu adiknya! Akan tetapi hanya sebentar saja ia dapat memandang penuh selidik dan dengan hati berdebar girang karena gadis itu kini telah melompat ke dalam kemah melalui pintu kemah yang diterobosnya. Ah, betapa lancangnya Lulu, pikir Han Han kaget. Dan tiba-tiba terdengar jerit melengking dari da­lam kemah itu, jerit Lulu yang meng­getarkan jantungnya. Seperti kilat me­nyambar, Han Han sudah meloncat dari tempat persembunyiannya dan dengan tiga kali berjungkir-balik di udara tubuh­nya langsung menukik ke bawah dan menerobos memasuki perkemahan yang terkoyak oleh putaran tongkatnya!

Dari atas tubuh Han Han menyambar ke bawah, matanya tajam mencari dan siap untuk langsung menolong Lulu, akan tetapi di sebelah dalam kemah itu ko­song! Ketika kaki tunggalnya turun ke atas lantai, tiba-tiba lantai itu amblas ke bawah membuat tubuhnya ikut terjeblos ke bawah dengan cepat sekali! Han Han terkejut, maklum bahwa dia memasuki perangkap yang memang se­ngaja diatur dan dipasang lawan. Cepat ia mengerahkan tenaga pada kaki tung­gal dan tongkatnya, tubuhnya siap men­celat ke atas. Akan tetapi pada saat itu, sebongkah batu besar sekali telah jatuh menimpa ke dalam lubang jebakan, de­ngan kekuatan ribuan kati menimpa ke arah tubuhnya!

“Celaka....!” Han Han maklum bahwa untuk meloncat ke luar tidak mungkin lagi, maka ia sudah siap dengan kedua tangannya untuk menerima batu besar yang menimpanya. Pada saat itu, ia ma­sih dapat melihat berkelebatnya dua ba­yangan di luar lubang, hanya sekilas pandang saja ia mengenal mereka sebagai Lauw Sin Lian dan Tan Hian Ceng! Bah­kan terdengar suara jeritan Sin Lian.

“Han Han....! Awas....!” Akan tetapi bayangan itu segera lenyap tertutup batu yang sudah menimpanya, batu yang be­sarnya persis memenuhi lubang di mana ia terjeblos.

Sambil mengerahkan sin-kang kepada sepasang lengannya, Han Han mengangkat kedua tangan ke atas setelah meng­gigit tongkatnya, dengan telapak tangan menghadap ke atas, lalu menerima batu yang berat itu, membiarkan tubuhnya agak merendah lalu mengayun tubuh dan kedua lengan ke atas. Ia harus mengerah­kan seluruh tenaga karena tidak ada ruang lagi untuk mengayun batu itu agar daya luncurnya tersalur kembali ke atas. Dadanya terasa sesak dan tahulah ia bahwa tak mungkin ia bertahan terus dalam keadaan seperti itu, menyangga batu yang luar biasa beratnya. Kalau kedua lengannya dan sebuah kakinya tidak kuat, ia akan terhimpit dan tubuhnya akan hancur tertimpa batu. Bahaya yang mengancam keselamatannya sendiri tidak­lah begitu menyiksa baginya kalau di­bandingkan kekhawatirannya akan ke­selamatan Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng di atas sana. Bukankah tadi terdengar Lulu menjerit begitu mengerikan? Dan Sin Lian bersama Hian Ceng tentu akan terancam musuh yang keji dan kuat. Ia narus dapat cepat menyelamatkan diri sendiri terlebih dulu, kalau tidak, tentu tiga orang gadis itu terancam bahaya hebat. Mulailah Han Han mencurahkan pikiran kepada diri sendiri. Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari tindihan batu berat itu? Ia berusaha mendorong batu ke pinggir dan merasa betapa din­ding sebelah kiri hanya tanah biasa, na­mun tentu saja tidak mungkin mendorong batu sebesar itu ke dalam tanah padat! Tenaganya mulai berkurang dan dadanya terasa makin sesak. Jalan satu-satunya adalah menghindarkan diri tertimpa batu dan membiarkan batu itu turun ke dasar lubang. Akan tetapi dia harus dapat men­cari ruangan untuk tubuhnya agar tidak terhimpit.

Setelah berpikir dan memperhitungkan masak-masak, Han Han hanya tahu akan sebuah cara yang harus ditempuh­nya. Kalau berhasil, ada harapan sela­mat, kalau gagal, paling-paling hanya tewas. Akan tetapi kalau dia tewas, bagaimana dengan Lulu, Sin Lian, dan Hian Ceng? Tidak! Dia tidak boleh tewas dalam saat seperti itu karena dia di­butuhkan tiga orang gadis yang terancam bahaya.

Han Han mengerahkan seluruh tenaga, mendorong batu dari bawah sehingga batu itu mepet di dinding, kemudian ia menggeser kedua tangannya yang me­nyangga itu ke pinggir batu sampai tu­buhnya mengenai dinding. Jauh lebih berat mendorong batu mepet pada din­ding dan menahannya agar tidak jatuh daripada ketika menyangga tadi. Sampai berbunyi tulang-tulang tubuhnya dan dia hampir tidak kuat lagi. Han Han me­mejamkan mata, memanggil semua daya kemauannya, mengumpulkan seluruh te­naga sin-kangnya, kemudian ia mengguna­kan tubuh belakangnya mendesak dinding sambil tetap mempertahankan batu agar tidak menimpanya. Tanah dinding itu mulai melesak dan tubuhnya mulai am­blas di dinding. Sekali lagi ia mendorong sekuat tenaga dan kini tubuhnya sudah sama sekali melesak ke dalam tanah din­ding dan batu itu meluncur jatuh ke dasar lubang!

Tubuh pemuda itu telah terhindar dari bahaya terhimpit, akan tetapi ia masih belum bebas dari ancaman maut karena kini tubuhnya melesak ke dinding tanah dan karena batu itu lebih tinggi dari tubuhnya, dia tertutup dan tidak ada hawa udara untuk bernapas! Selain ini, juga Han Han muntahkan darah segar akibat pengerahan tenaga yang berlebih­an ketika ia menggunakan tenaga untuk memaksa tubuhnya memasuki dinding tanah tadi. Pemuda ini cepat menggerak­kan tongkatnya menggali ke atas, ter­paksa menahan napasnya dan hal ini membutuhkan pengerah sin-kang sehingga dari kedua ujung bibirnya menetes-netes darah segar! Betapapun juga, Han Han yang ingin cepat-cepat bebas untuk me­nolong Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng, tidak mau menyerah kalah dan berusaha terus menggali tanah di atasnya, dekat batu. Ia menggali sambil menundukkan muka menahan napas karena kalau ia menengadah, tentu matanya akan terserang tanah yang berguguran dihujam tongkatnya.

Mengapa Lauw Sin Lian dan Tan Hian Ceng dapat berada di perkemahan itu? Seperti diketahui, dua orang dara perkasa ini adalah dua orang pejuang yang gigih menentang pemerintah Mancu semenjak dahulu dan mereka menggabungkan diri dengan kekuatan penentang penjajah yang berpusat di Se-cuan.

Setelah penyerbuan tentara Mancu berkurang, bahkan hampir terhenti sama sekali, Hian Ceng yang tadinya berjuang di perbatasan timur dan selatan, mengunjungi Cung-king dan bertemu dengan Sin Lian untuk menanyakan perihal Han Han yang selalu menjadi kenangan. Kedua orang gadis ini bercakap-cakap, saling menceritakan pengalamannya, akan tetapi tentu saja menyembunyikan perasaan hati masing-masing terhadap Han Han. Ketika Hian Ceng bertanya tentang Han Han, dengan hati sedih Sin Lian menceritakan bahwa Han Han telah mengundurkan diri dan pergi dari Se-cuan untuk mencari adiknya. Hian Ceng juga menyatakan penyesalannya betapa usahanya mencari Lulu sia-sia, dan diam-diam Hian Ceng memaki-maki Lulu yang dianggapnya seorang adik yang tak tahu diri dan hanya menyusahkan saja. Akan tetapi karena ia kini tahu bahwa Lulu adik angkat Sin Lian, tentu saja dia tidak berani mengeluarkan makiannya dengan kata-kata.

Seperti para pejuang suka rela yang lain, yang datang jauh-jauh ke Se-cuan untuk membantu perjuangan, berperang menentang pasukan Mancu kedua orang perkasa ini pun menjadi kesal hatinya ketika fihak musuh menghentikan serbuan dan jarang sekali terjadi pertempuran. Mercka menganggur dan kesal, maka seperti para pejuang lainnya, mereka juga lalu pergi menjelajah seluruh Se-cuan, dan dengan Hian Ceng sebagai pe­tunjuk jalan, Sin Lian terhibur hatinya melakukan perjalanan di sepanjang per­batasan Se-cuan dengan propinsi-propinsi lain yang telah dikuasai musuh. Ke­tika sedang melakukan perjalanan ini­lah kedua orang dara perkasa itu men­dengar tentang sepak-terjang Ouwyang Seng bersama pasukan istimewanya. Sin Lian menjadi marah sekali mendengar penuturan para pengungsi yang menceritakan segala kekejaman Ouwyang Seng dan pasukannya.

“Si bedebah! Semenjak kecil dia me­mang sudah jahat! Orang macam itu harus dienyahkan dari muka bumi!” Sin Lian berkata sambil mengepal tinjunya.

“Siapakah panglima musuh kejam yang bernama Ouwyang Seng itu, Enci Lian?” tanya Hian Ceng heran melihat sikap Sin Lian yang seolah-olah sudah mengenal panglima yang dikabarkan kejam oleh para pengungsi itu.

“Dia adalah putera Pangeran Ouwyang Cin Kok, murid Setan Botak Gak Liat dan dia....”

Wajah Hian Ceng berubah merah se­kali, matanya bersinar-sinar. “Aihhh! Kiranya si keparat laknat itukah? Mari kita berangkat mencarinya dan aku ingin menyayat-nyayat tubuhnya dengan pe­dangku, Enci Lian!”

Kini Sin Lian yang memandang ter­belalak. “Mengapa engkau membenci dia pula, Adik Ceng?”

Hian Ceng cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan, “Kalau tidak ada Han-twako yang menolongku, tentu aku sudah menjadi korban kebiadaban Kongcu hidung babi itu!”

“Lho, kaumaksudkan hidung belang, bukan?”

“Hidung belang saja masih mending, dia hidung babi dan belang pula!” Hian Ceng bersungut-sungut lalu mencerita­kan pengalamannya ketika ia ditawan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan, betapa ia hampir saja diperkosa oleh Ouwyang Seng kalau saja tidak muncul Han Han yang menolongnya.

Demikianlah setelah kedua orang ga­dis itu membicarakan Ouwyang Seng dengan hati penuh kebencian mereka ber­dua lalu menyelidiki perkemahan pasukan istimewa yang dipimpin Ouwyang Seng. Kebetulan sekali bahwa pada malam hari mereka menyelundup ke daerah perke­mahan, Ouwyang Seng bersama dua orang pembantunya yang lihai, yaitu Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo, telah me­ngatur jebakan bagi Han Han sehingga daerah itu sengaja tidak dijaga ketat dan dengan kepandaian mereka, dua orang gadis itu berhasil menyelinap masuk dan melakukan pengintaian di dekat kamar besar yang berwarna kuning. Dari tempat persembunyian mereka, mereka melihat kesibukan Ouwyang Seng dan dua orang datuk kaum sesat sedang mengatur je­bakan di dalam kemah. Melihat Ouwyang Seng, naik darah Hian Ceng dan gadis ini sudah ingin menyerbu dengan nekat. Akan tetapi Sin Lian memegang lengannya dan memberi isyarat supaya temannya itu tidak terburu nafsu.

“Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo itu lihai sekali,” bisiknya, “Tak mung­kin kita dapat mengalahkan mereka. Kita menanti kesempatan baik....”

Akan tetapi, sampai malam berganti pagi, pemuda bangsawan yang mereka incar itu selalu bersama nenek dan kakek sakti itu sehingga mereka berdua tidak berani turun tangan. Akan tetapi Sin Lian curiga menyaksikan gerak-gerik mereka, bahkan menjadi heran melihat munculnya seorang gadis yang gerak-geriknya gesit akan tetapi yang melihat pakaian dan tata rambutnya mengingatkan ia akan adik angkatnya, Lulu. Gadis itu jelas bukan Lulu, akan tetapi meng­apa gadis itu seolah-olah menjadi saudara kembar Lulu dengan pakaian, tata ram­but, dan gerak-gerik yang serupa benar? Dalam keheranannya, Sin Lian menjadi makin curiga dan mengambil keputusan untuk menanti dan mengintai terus.

Dia dan Hian Ceng sama sekali tidak tahu bahwa pagi hari itu Han Han telah muncul pula dalam penyelidikannya, meng­intai tak jauh dari semak-semak di mana mereka bersembunyi. Mereka hanya melihat gadis yang seperti Lulu itu tiba-tiba tampak berkelebat di depan kemah, lalu meloncat ke dalam kemah disusul suara jeritan nyaring. Peristiwa ini masih membuat mereka berdua terheran-heran, akan tetapi ketika mereka melihat Han Han meloncat dan berjungkir-balik di udara, kemudian menyerbu ke dalam kemah barulah mereka terkejut dan Sin Lian yang cerdik lantas dapat menduga bahwa mereka semua itu telah mengatur jebakan untuk Han Han.

“Han-twako....!” Hian Ceng berbisik ketika ia mengenal tubuh yang meloncat tinggi itu.

“Celaka, dia terjebak. Mari....!” Sin Lian sudah mendahului Hian Ceng dan kedua orang gadis itu cepat meloncat dan lari ke tenda kuning, menguakkan pintu tenda. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka bahwa kemah iru kosong dan kini terdapat lubang besar. Han Han berada di dasar lubang dan se­bongkah batu besar menimpa turun! Me­reka hanya dapat berteriak tak mampu menolong dan dalam beberapa detik saja batu itu telah menutupi lubang dan me­reka tidak tahu apa yang terjadi dengar Han Han.

“Ha-ha-ha-ha! Memasang perangkap untuk seekor harimau ganas, yang di­dapat bukan hanya harimau, akan tetapi juga dua ekor domba yang berdaging lunak. Ini namanya untung besar, ha-ha-ha!”

Sin Lian dan Hian Ceng mencebut pedang dan meloncat keluar dari dalam kemah itu. Kiranya Ouwyang Seng yang mengejek mereka telah berdiri di situ bersama Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo! Hian Ceng adalah seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa. Biarpun ia maklum bahwa kepandaian Ouwyang Seng amat hebat, namun me­lihat pemuda bangsawan yang dibencinva ini, dia sudah tidak dapat menahan sabar lagi dan sambil memaki ia sudah mener­jang dengan tusukan pedangnya.

Ouwyang Seng tertawa mengejek. Betapapun cepat gerakan Hian Ceng, namun dia lebih cepat lagi mengelak sambil tertawa-tawa mengejek. Hian Ceng menjadi makin marah dan terus menyerang secara bertubi-tubi yang selalu mengenai tempat kosong, bahkan dia mendesak dan mengejar terus ketika Ouwyang Seng sambil melompat meman­cing gadis itu menjauhi kawannya.

Adapun Sin Lian yang tahu bahwa kakek dan nenek yang berdiri tenang itu jauh lebih berbahaya dan lihai, membiar­kan Hian Ceng menyerang Ouwyang Seng, sedangkan dia tanpa banyak cakap lagi lalu menggerakkan pedangnya dan main­kan Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang hebat, menyerang Ma-bin Lo-mo. Kakek ini mendengus dan tentu saja dia dapat menghindarkan serangan Sin Lian hanya dengan mengibaskan ujung lengan baju­nya yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat membuat pedang yang menyerang itu menyeleweng. Namun Sin Lian tidak menjadi gentar dan terus melanjut­kan penyerangannya dengan gerakan cepat sekali, mainkan jurus-jurus dari Chit-seng-sin-kiam sehingga pedangnya ber­ubah menjadi gulungan sinar terang dan mengeluarkan bunyi berdesing-desing.

“Hemmm, kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus!” Ma-bin Lo-mo memuji sam­bil mengelak, dan dia tidak ingin cepat-cepat merobohkan gadis ini karena dia tertarik oleh pedang itu, hendak menyak­sikannya lebih dulu.

“Hi-hik, ilmu pedang yang dasarnya adalah Ilmu Silat Siauw-lim-pai. Tentu inilah Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang terkenal itu, ciptaan Siauw-lim Chit-kiam! Si Setan Botak Gak Liat pernah memuji-muji ilmu pedang ini kepada­ku!” kata Toat-beng Ciu-sian-li sambil minum arak dari gucinya, matanya me­nyipit memperhatikan gerakan ilmu pe­dang yang dimainkan Sin Lian.

Sin Liat menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia hanya dapat memperhebat se­rangannya secara nekat. Kecemasannya memuncak ketika ia mendengar Hian Ceng mengeluh dan dengan kerling mata­nya ia melihat Hian Ceng sudah ditawan oleh Ouwyang Seng, dipegang kedua pergelangan tangannya dan dipanggul oleh Ouwyang Seng yang membawanya me­masuki sebuah kemah sambil tertawa-tawa. Kedua kaki Hian Ceng menendang-nendang dan mulutnya memaki-maki, akan tetapi ia tidak dapat terlepas. Ke­marahan membuat Sin Lian makin nekat dan penyerangannya makin hebat. Akan tetapi makin hebat dia menyerang, hal ini agaknya membuat Ma-bin Lo-mo yang selalu mengelak atau menangkis dan nenek yang menonton sambil minum arak itu makin gembira!

Betapapun Hian Ceng meronta-ronta dan memaki-maki, dia tidak berdaya menghadapi Ouwyang Seng yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pa­danya. Akhirnya dara yang biasanya riang gembira ini tertotok dan hanya dapat mengeluh dan menangisi nasibnya yang malang. Di dalam tenda itu terjadilah perkosaan yang keji, perbuatan kejam dan ganas yang hanya akan dapat dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menjadi buta oleh nafsu dan sudah bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang menguasainya!

“Ha-ha-ha-ha, dahulu engkau terlepas dari tanganku, sekarang akhirnya engkau menyerah dan menjadi milikku. Siapa yang akan menolongmu, manis?” Ouwyang Seng manusia biadab itu mengejek sam­bil tertawa memandang korbannya yang terengah-engah seperti hendak pecah dadanya, air matanya bercucuran dan keadaannya amat mengenaskan.

“Ha-ha, aku takkan membunuhmu, manis. Sayang kalau dibunuh, aku belum bosan padamu. Nanti kutemani lagi, aku hendak melihat temanmu itu dan....”

“Ouwyang Seng manusia binatang!” Tiba-tiba Ouwyang Seng terbelalak kaget ketika tiba-tiba muncul Han Han di de­pannya! Bagaimanakah pemuda buntung yang sudah terjebak dan terhimpit batu besar itu tiba-tiba bisa muncul di depan­nya? Setannyakah ini?

Tentu saja bukan! Yang muncul itu adalah Han Han. Setelah dengan susah payah menggali dinding tanah di atasnya, akhirnya Han Han berhasil membuka lubang di sebelah atas batu yang me­nutup setengah lubang sumur itu dan ia cepat meloncat ke atas. Terlalu lama ia tertutup tadi dan ia sungguh cemas akan nasib Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng. Ia mengharap mudah-mudahan tidak terlambat, maka cepat ia meloncat keluar dari ke­mah palsu itu, tidak mempedulikan rasa sesak dan sakit di dalam dadanya. Ketika ia tiba di luar kemah, ia melihat Sin Lian menyerang Ma-bin Lo-mo dengan pedangnya. Kakek itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus, tidak mem­balas, hanya menangkis dan mengelak sambil berulang-ulang memuji keindahan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian.

Adapun Sin Lian yang melihat munculnya Han Han, cepat menjerit, “Han Han! Cepat kautolong Hian Ceng di ke­mah itu!”

Han Han melihat keadaan Sin Lian memang belum terancam, maka ia ber­kelebat cepat ke arah kemah dan mendengar suara ketawa Ouwyang Seng. Begitu ia menerobos memasuki tenda dan melihat keadaan Hian Ceng, hatinya seperti diremas rasanya. Dia telah terlambat! Sekali lirik saja Hian Ceng, ma­ka kemarahannya membuat wajah Han Han menjadi beringas, sepasang matanya terbelalak seperti mengeluarkan api keti­ka ia menatap wajah Ouwyang Seng. Apalagi darah yang tadi keluar dari ujung-ujung bibirnya masih belum dibersihkan, rambutnya masih kotor dengan tanah dan riap-riapan, wajah Han Han pada saat itu seperti wajah maut sendiri! Ouwyang Seng gemetar. Wajahnya pucat dan ia terbelalak, meraba gagang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya masih berusaha mengancingkan bajunya yang baru saja ia pakai kembali.

“Ouwyang Seng.... kau bukan manusia.... kau.... iblis.... tidak berhak hidup lagi setelah apa yang kaulakukan terhadap Hian Ceng....!” Han Han bicara dengan bisik-bisik parau, akan tetapi bagi telinga Ouwyang Seng terdengar makin menyeramkan dan lebih menakutkan dari­pada kalau pemuda buntung itu berteriak-teriak. Namun pemuda bangsawan ini teringat bahwa di luar terdapat dua orang pembantunya yang sakti, maka hatinya menjadi besar dan ia berseru, “Ji-wi Locianpwe lekas ke sini! Si Buntung di sini!” Akan tetapi ia cepat mengelebat­kan pedangnya ketika melihat tubuh Han Han bergerak ke depan menerjangnya. Cepat bukan main gerakan Han Han yang sedang marah ini sehingga Ouwyang Seng secara ngawur saja menyambut berkele­batnya tubuh Han Han itu dengan sabet­an pedangnya. Pemuda bangsawan ini mengeluarkan jerit kesakitan, pedangnya terlepas jatuh ke atas lantai karena per­gelangan tangan kanannya patah tulang­nya ketika bertemu dengan tongkat, kemudian ia terbanting roboh kena disam­bar tamparan telapak tangan kiri Han Han yang amat kuat. Pemuda itu mengerang kesakitan, berusaha bangkit akan tetapi roboh lagi karena tamparan itu membuat dua buah tulang iganya remuk!

Sambil menahan sedu-sedan yang naik ke lehernya dari dalam dada menyaksikan keadaan tubuh Hian Ceng yang masih telanjang bulat, Han Han cepat meng­gunakan jari tangan kanannya membebaskan totokan Hian Ceng. Gadis itu men­jerit dan menangis sedih, meloncat ba­ngun, terhuyung dan menyambar pedang Ouwyang Seng yang terlepas tadi. Han ­Han hanya dapat memandang dengan hati hancur, kemudian malah menundukkan mukanya, tidak kuat lebih lagi memandang tubuh yang masih telanjang bulat itu. Hian Ceng mengeluarkan pekik me­ngerikan, pedang di tangannya berkelebat dan putuslah leher Ouwyang Seng disam­bar pedangnya sendiri. Gadis itu masih terus membacoki mayat Ouwyang Seng sampai menjadi puluhan potong, darah berhamburan memenuhi ruangan dan lantai, kemudian Hian Ceng menggerakkan tangan yang memegang pedang ke arah lehernya sendiri!

Seperti digerakkan sesuatu yang aneh, Han Han mengangkat muka memandang dan wajahnya menjadi pucat, mulutnya berseru, “Ceng-moi....!” Ia menubruk maju, namun kembali untuk kedua kali­nya ia terlambat. Pedang itu telah me­nyambar leher sampai hampir putus! Han Han terisak merangkul Hian Ceng, lalu berlutut menyangga punggung dan leher yang terluka hebat. Hian Ceng membuka matanya yang masih berlinangan air ma­ta akan tetapi bibirnya tersenyum! Han Han merasa seperti jantungnya ditarik-tarik, sakit sekali rasanya menyaksikan betapa sinar mata gadis itu sama benar dengan sinar mata mendiang Soan Li ketika berangkat mati dalam pelukannya.

“Ceng-moi.... Ceng-moi....!” Han Han berbisik dan mendekap tubuh itu, tidak peduli betapa darah gadis itu yang mengucur keluar dari leher membasahi seluruh bajunya. Air matanya sendiri menetes-netes ke muka Hian Ceng yang kini memperlebar senyumnya dan makin memucat wajahnya. Beberapa detik ke­mudian Hian Ceng tewas dalam pelukan Han Han dengan mulut masih setengah terbuka, tersenyum!

Kekejangan terakhir yang disusul ke­lemasan tubuh yang dipeluknya, membuat Han Han merintih, lalu perlahan-lahan ia merebahkan tubuh Hian Ceng ke atas lantai, menarik selimut yang berada di atas pembaringan, menutup jenazah itu dengan selimut, kemudian ia terisak dan meloncat keluar karena teringat akan keselamatan Sin Lian yang menghadapi lawan tangguh.

“Sin Lian....!” Lengking ini hebat sekali keluar dari mulut Han Han ketika tubuhnya mencelat jauh ke depan, ke arah pertandingan itu. Lengking yang keluar mengandung kemarahan memuncak, kecemasan mendalam dan kedukaan yang mengguncang seluruh perasaan hati Han Han. Dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hatinya ketika ia melihat Ma-bin Lo-mo berhasil melibat ujung pedang Sin Lian dengan ujung lengan bajunya, dan dengan pengerahan Swat-im Sin-ciang yang amat kuat, Iblis Muka Kuda ini dengan tiba-tiba membalikkan pedang itu dengan kuatnya sehingga pedang di ta­ngan Sin Lian itu membalik dan menusuk dada dara itu sampai tembus! Sin Lian terhuyung-huyung dan matanya terbelalak memandang gagang pedangnya sendiri di depan dada.

Han Han yang mencelat dengan kecepatan seperti sinar menyambar itu telah menukik ke arah Ma-bin Lo-mo dan menggerakkan tongkatnya menusuk dada kakek itu, sedang tangannya ia pukulkan ke arah kepala Toat-beng Ciu-sian-li!

“Prakkk! Desss....!” Tongkat di tangan Han Han patah-patah bertemu dengan golok melengkung di tangan Ma-bin Lo-mo, ­tangan kanannya terbentur de­ngan lengan Toat-beng Ciu-sian-li yang menangkis pukulannya tadi. Kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget dan muka mereka menjadi pucat ketika tubuh mereka terlempar ke belakang dan ter­banting ke tanah, akan tetapi mereka bergulingan dan sudah meloncat bangun kembali. Han Han yang sudah terluka sebelah dalamnya ketika ia menghabiskan tenaga mengangkat batu, kini mengguna­kan serangan dahsyat yang bertemu de­ngan sin-kang kedua lawannya yang kuat pula, maka tongkatnya patah-patah dan biarpun ia tidak terlempar, namun ujung mulutnya kembali mengucurkan darah segar. Han Han tidak mempedulikan diri­nya sendiri dan berloncatan ke dekat Sin Lian. Gadis itu masih berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang dan kini ia mengeluh.

“Han Han.... ohhhhh, Han Han....” Gadis itu juga mengucurkan darah dari mulutnya dan tubuhnya tentu roboh ka­lau Han Han tidak cepat menyambarnya, memeluk dan memondongnya lalu dibawa berloncatan ke bawah pohon. Dengan menyandarkan punggung di pohon dan memondong tubuh Sin Lian, Han Han menangis.

“Sin Lian.... aduh Sin Lian.... kau.... kau ampunkan aku, Sin Lian....! Aku terlambat menyelamatkanmu....”

Akan tetapi Sin Lian tersenyum sehingga tampak aneh sekali. Dalam keadaan seperti itu, dengan wajah yang makin pucat sehingga darah yang meng­alir ke pipinya kelihatan amat merah, pedangnya menancap di ulu hati, gadis ini masih dapat tersenyum! Perlahan-lahan lengan kiri Sin Lian yang tergan­tung itu diangkat dengan lemah, kemudi­an jari-jari tangan gadis itu mengusap air mata Han Han mengusap darah di pinggir mulut, membelai rambut yang riap-riapan itu dan dibereskannya ke be­lakang, mulutnya berbisik-bisik.

“Han Han.... ohhh, Han Han.... aku rela.... aku senang mati.... dalam pelukanmu....! Han Han.... kau.... kau menangisi aku....?”

Han Han merasa jantungnya seperti diremas-remas. Baru saja menghadapi kematian Hian Ceng yang masih melukai hatinya, kini ia memeluk tubuh Sin Lian yang sedang menghadapi kematian pula! Kepalanya menjadi pening, air matanya menetes-netes dan melihat betapa se­pasang mata itu memandangnya penuh harap, naik sedu-sedan di kerongkongannya dan tak kuasa ia mengeluarkan suara, maka ia hanya mengangguk-angguk dan terisak membenamkan mukanya di leher yang berkulit putih halus itu. Ia merasa betapa leher itu berdenyut-denyut dan merasa betapa jari-jari tangan halus itu membelai rambutnya, dengan mesra men­dorong mukanya sehingga terpaksa ia mengangkat muka memandang wajah yang makin melayu.

“Han.... Han.... aku.... cinta padamu...., aku rela mati.... kau tolong Hian Ceng.... dia.... gadis baik yang mencintamu pula.... selamat tinggal....” Kepala Sin Lian terkulai ke belakang.

“Sin Lian.... aduhhh, Sin Lian....!” Han Han tak kuasa menahan kesedihan­nya yang datang bertumpuk-tumpuk, pu­kulan batin yang datang bertubi-tubi dan ia menangis, mengguguk dan kalau dia tidak bersandar pada batang pohon, tentu ia sudah roboh karena seluruh tubuhnya menggigil.

Melihat keadaan pemuda yang menangis dan agaknya tidak ingat apa-apa lagi itu, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li melihat kesempatan baik. Mereka memang merasa jerih menghadapi pe­muda buntung yang amat sakti itu, akan tetapi kini mereka melihat kesempatan untuk menerjangnya. Akan tetapi tiba-tiba Toat-beng Ciu-sian-li berbisik, “Celaka.... bocah pengacau itu datang....!” Telunjuknya menuding dan Ma-bin Lo-mo yang memegang golok menoleh.

“Kak Han Han....!” Lulu datang berlari seperti terbang cepatnya. Dari jauh ia sudah melihat keadaan Han Han yang memondong mayat seorang gadis yang belum ia kenal siapa.

“Han-twako....!” Ia menjerit lagi melihat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng mempercepat larinya, bahkan kini berloncatan jauh sehingga tiba di depan Han Han.

Han Han tersentak kaget. Seperti baru bangun dari mimpi ia teringat dan sedetik hatinya lega dan girang mendapat kenyataan bahwa adiknya selamat, akan tetapi segera timbul kemarahan dan pe­nyesalannya. Ia memandang Lulu melalui air matanya, mukanya pucat seperti mayat.

Kini Lulu membelalakkan mata memandang mayat gadis yang masih dipon­dong kakaknya itu, lalu menjerit, “Enci Lian....! Dia kenapa....?” Ia merenggut tubuh itu dari kedua lengan Han Han, diletakkannya di atas tanah, diguncang-guncangnya pundak Sin Lian.

“Enci Lian....! Ooohhhh, dia.... dia.... kenapa....? Mati....! Enci Lian mati....!” Lulu memeluk mayat itu dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia mengangkat muka memandang Han Han yang masih berdiri bersandar pada batang pohon, melihat muka yang pucat dan basah air mata itu, melihat pakaian di bagian dada dan perut penuh darah, melihat darah di ujung mulut, segera ia meloncat bangun memeluk kakaknya.

“Han-koko....! Kau.... kau kenapa....? Kau terluka....?” Hatinya penuh kekhawatiran, suaranya menggetar.

“Ah, Lulu anak nakal....!” Han Han merangkul adiknya. “Ke mana saja eng­kau pergi? Sungguh mendatangkan banyak kedukaan di hatiku. Lulu, aku girang melihat engkau selamat dan sehat. Se­karang pergilah, adikku. Pergilah ting­galkan aku, jangan dekat-dekat di sini, berbahaya sekali. Pergilah mencari Sin Kiat, dia seorang yang baik sekali dan amat cinta kepadamu. Pergilah tinggalkan aku bersama mayat Sin Lian....!”

“Koko! Apa kau bilang? Aku tidak mau meninggalkan engkau lagi! Engkau sendiri mau apa?”

“Aku akan mengadu nyawa dengan dua iblis itu!”

“Tapi engkau terluka! Jangan kha­watir, ada Lulu di sini. Tidak ada se­orang pun iblis yang akan berani meng­ganggumu!”

“Lulu, adikku sayang, satu-satunya orang yang kukasihi di dunia ini....! Adikku, pergilah, aku rela mati asal engkau selamat dan bahagia. Sin Lian.... dia.... demi cintanya kepadaku.... dia telah berkorban untuk kakakmu ini.... dia berkorban nyawa dalam usahanya menolongku. Tidak bolehkah aku me­nemaninya mati untuk membalas budi­nya?”

“Tidak!” Dan tiba-tiba Lulu membalik­kan tubuh menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li lalu menundingkan telunjuknya. “Hemmm, kalian dua orang tua bangka yang melukai kakakku dan membunuh enciku, ya? Aku tidak akan mengampunimu!”

“Lulu, jangan....! Jangan mencampuri urusan ini!” Han Han yang mengkhawatir­kan keselamatan Lulu, cepat menubruk dan menyambar lengan adiknya, ditarik ke belakang. “Akulah lawan mereka....!”

Han Han hendak menyerbu, akan tetapi begitu ia mengerahkan sin-kang untuk meloncat, ia mengeluh dan tubuhnya roboh terguling, pingsan di samping ma­yat Sin Lian.

“Koko....! Han-koko....! Jangan engkau mati.... jangan tinggalkan aku, Kak Han Han....!” Lulu menjadi bingung dan menangis sambil memeluki dada Han Han, mengguncang-guncang pundaknya, tidak peduli lagi akan keadaan sekitarnya. Akan tetapi Han Han tidak bergerak, mukanya pucat seperti mayat.

Baru Lulu sadar ketika sebuah tangan halus namun kuat memegang dan meng­guncangkan pundaknya. Ia mengangkat mukanya dari dada Han Han, menoleh dan melihat Nirahai telah berdiri di situ, dengan wajah lembut akan tetapi angkuh, sedangkan tempat itu telah dikurung oleh banyak pasukan Mancu.

Lulu meloncat bangun, mencabut pe­dangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil berkata, “Suci! Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa kalau engkau datang hendak men­celakai Han-koko, aku tidak sudi menjadi sumoimu lagi dan aku akan melawanmu sampai mati di depan kakimu!”

Nirahai tersenyum, kagum menyaksi­kan kesetiaan dan cinta kasih sumoinya terhadap Han Han. Dia datang dan sudah mendengar akan semua yang terjadi di situ, melihat tubuh Ouwyang Seng yang hancur lebur di dalam kemah di samping jenazah Hian Ceng yang masih telanjang, ia dapat menduga apa yang terjadi, men­dengar pula betapa Han Han berhasil lolos dari himpitan batu besar yang mem­buatnya kagum bukan main. Kini melihat sumoinya, ia diam-diam menjadi kagum dan terharu. Ketika melihat sikap Lulu, ia tersenyum menggeleng kepala dan berkata, “Sumoi, simpanlah pedangmu. Aku tidak akan membunuh kakakmu. Pula, kalau engkau melawan aku, apakah kaukira dengan cara itu engkau akan dapat melindungi kakakmu? Sama de­ngan membunuh diri.”

“Aku tidak takut mati! Aku bangga mati membela Han-koko, aku bahagia kalau mati bersama kakakku!”

Nirahai memperlebar senyumnya. “Mengapa bicara tentang mati kalau masih hidup? Aku tidak akan membunuh kalian, akan tetapi karena dia membunuh Ouwyang-kongcu, aku harus menawannya. Engkau boleh ikut dan merawatnya. Li­hat, dia terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya, kalau tidak mendapat perawat­anmu, dia bisa mati.”

Mendengar ini, Lulu menyimpan pedangnya dan menubruk Han Han lagi, penuh kekhawatiran.

“Biarlah dia digotong ke dalam dan kau boleh merawatnya, akan tetapi kalian adalah orang-orang tawananku,” kata Nirahai dan terpaksa Lulu menyerah karena memang ia tidak ingin nekat membiarkan kakaknya mati dan dia sen­diri melawan sampai mati kalau memang masih ada jalan untuk menghindari ke­matian. Dia sudah mengenal Nirahai dan tahu sedalam-dalamnya bahwa sucinya itu pada hakekatnya bukan seorang kejam, malah sebaliknya. Nirahai adalah seorang dara yang berbudi mulia dan lemah lem­but, hanya terlalu “matang” mengurus tugas dan membantu pemerintah.

Han Han dan Lulu dimasukkan dalam tahanan yang khusus dibuat di daerah perbatasan. Dalam sebuah kamar yang cukup kuat dan besar, dengan dua pem­baringan yang baik dan perlengkapan se­cukupnya, akan tetapi kamar itu terbuat dari tembok tebal dengan pintu bertirai besi yang masih dijaga oleh para pen­jaga di luar pintu. Lulu dibiarkan me­rawat Han Han, bahkan Nirahai mengirim obat-obatan yang dimasak sendiri oleh Lulu di dalam kamar, juga apa saja yang dibutuhkan Lulu dapat diminta melalui penjaga. Namanya saja mereka menjadi tahanan, akan tetapi mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu agung!



***



Sampai sebulan lamanya Han Han berada di dalam kamar tahanan bersama adiknya. Ia telah sehat kembali dan diam-diam mereka berdua berterima kasih kepada Nirahai, terutama sekali ketika mereka bertanya tentang kedua jenazah Hian Ceng dan Sin Lian, dijawab bahwa jenazah kedua orang gadis itu telah dimakamkan sepantasnya oleh Nira­hai, bukan disia-siakan seperti mayat-mayat musuh.

“Kini pemerintah tidak lagi memusuhi para orang gagah. Dua orang dara per­kasa itu adalah orang-orang gagah yang patut dihormati. Makam mereka terawat baik dan diberi nisan sehingga akan da­pat dicari dan dikenal semua orang, ter­utama keluarga mereka.” demikian Nirahai menyampaikan pesan melalui seorang perwira. Anehnya, semenjak kedua orang kakak beradik itu ditahan, Nirahai tidak pernah menengok.

“Lulu, kini aku telah sehat kembali. Kita masing-masing telah mendengar semua pengalaman dan menurut pendapat­ku, kita berdua telah salah jalan yang biang keladinya ditimbulkan oleh perpisahan kita. Kalau kita dahulu tidak ber­pisah, tak mungkin engkau sampai terlibat dalam urusan perang, demikian pula aku. Semenjak kecil kita sudah sadar bahwa permusuhan tak boleh dibesar-besarkan. Engkau keturunan Mancu, dan aku seorang pribumi, namun kita telah menjadi kakak beradik. Engkau kehilang­an orang tua yang dibunuh para pejuang, aku kehilangan orang tua yang dibunuh perwira-perwira Mancu, namun kau tidak mendendam kepada bangsaku dan aku tidak mendendam kepada bangsamu. Mengapa kita sampai terlibat sehingga kita menjadi bentrok sendiri? Ahhh, adik­ku sayang, aku telah bersikap terlalu kepadamu, maukah engkau memaafkan aku, Lulu?”

Lulu menangis lalu berlutut di depan Han Han yang duduk di atas pembaring­annya, menangisi kaki yang buntung. “Ahh, Han-koko, jangan kau bicara be­gitu. Akulah yang mohon ampun kepada­mu, Koko. Aku adikmu yang nakal, yang selalu tidak menurut kata-katamu, menimbulkan banyak kesengsaraan padamu. Kakimu.... ah, kakimu sampai buntung sebelah.... Koko.... aku akan rela kalau boleh mengganti kakimu yang buntung....!” Lulu memeluk kaki buntung yang tinggal paha saja itu, dan mena­ngis terisak-isak.

Tiba-tiba Han Han tertawa. “Ha-ha-ha, bocah lucu!” Ia mengangkat tubuh Lulu sehingga gadis itu bangkit berdiri di depan Han Han yang masih duduk dan memeluk pinggang adiknya dengan kedua lengan, sedangkan kedua lengan Lulu merangkul pundak kakaknya. Lulu juga tertawa, apalagi ketika Han Han berkata, “Bocah lucu! Aneh sekali. Andaikata engkau bisa memberikan kakimu dan dapat dipasang di tubuhku, tentu kaki darimu lebih pendek, kakiku pendek se­belah, malah buruk sekali, kalau jalan terpincang-pincang.... ha-ha-ha!”

Keduanya tertawa akan tetapi Lulu melihat betapa kakaknya itu biarpun mulutnya tertawa, matanya menitikkan air mata. Tahulah ia bahwa kakaknya itu terharu dan hanya memaksa diri tertawa untuk menghiburnya, maka ia merangkul leher dan menangis juga. Keduanya lalu bertangisan!

“Han-koko.... dadamu berdebar-debar kencang....!” Tiba-tiba Lulu berkata sambil melepaskan rangkulannya. Han Han terpaksa tersenyum. Adiknya ini tetap nakal seperti dulu, jujur polos blak-blak­an tanpa tedeng aling-aling kalau bicara. Tanpa disadari, ucapan Lulu menikam ulu hatinya dan membuatnya sadar. Ketika berpelukan tadi, rasa haru yang aneh, rasa bahagia yang luar biasa seolah-olah ia memeluk surga dan membuat jantung­nya berdebar keras. Wajahnya menjadi merah sekali dan cepat ia berkata.

“Lulu adikku yang terkasih, engkau tahu betapa kasih sayangku kepadamu. Kebahagiaanku bersembunyi di balik kebahagiaanmu, adikku. Aku baru akan merasa lega dan senang kalau engkau sudah ada yang melindungi, ada yang mencintamu sampai selama hidupmu. Karena itu, engkau harus mentaati ke­hendakku, Lulu. Engkau akan kubawa pergi mencari Sin Kiat, karena aku hen­dak menjodohkan engkau dengan dia. Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik, tampan, gagah perkasa, dan dia amat mencintamu.”

Lulu mengerutkan keningnya dan tidak menjawab sampai lama. Kemudian ia menarik napas panjang, mengangkat muka yang tadi ditundukkan, memandang wajah kakaknya dan berkata, “Aku sudah tahu bahwa dia mencintaku Koko, dan aku tahu pula bahwa dia seorang yang amat baik dan gagah perkasa.”

“Ha....! Kalau begitu kiranya diam-diam engkau telah jatuh cinta kepadanya, bukan?”

Akan tetapi Lulu tidak tertawa atau tersenyum malu, bahkan masih cemberut ddn alisnya berkerut. Ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang sebelum menjawab lirih, “Aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, Koko. Memang aku suka kepadanya dan kagum, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu....! Koko, aku.... aku tidak mau dikawinkan dengan siapa pun juga!”

Han Han melengak kaget, “Eh! Meng­apa? Apakah engkau sudah mempunyai pilihan lain? Bocah nakal, kalau memang engkau mencinta seorang pemuda lain, asal dia itu benar orang baik-baik, ka­kakmu tidak akan memutuskan cintamu.”

Lulu menggelengkan kepalanya pula. “Pendeknya aku tidak mau menikah, Ko­ko.”

“Engkau harus mau!”

“Tidak mau!”

Kembali kakak beradik ini beradu pandang, sama-sama membelalak lebar penuh kekerasan hati, Han Han yang lebih dulu menghalau kemarahannya dan ia menarik napas panjang.

“Ah, sungguh aku yang tidak tahu diri. Ada hak apakah aku hendak memak­samu? Aku hanya seorang kakak angkat. Maafkanlah, Lulu, aku selalu lupa bahwa aku tidak berhak atas dirimu, akan te­tapi semua itu kulakukan di luar kesa­daranku, seolah-olah engkau adalah adik kandungku, aku.... aku hanya ingin melihat engkau bahagia.... hatiku selalu akan menjadi risau dan sengsara, selalu cemas memikirkan engkau kalau engkau belum menjadi isteri seorang yang dapat kupercaya penuh.”

Kekerasan Lulu pun luluh dan ia merangkul kakaknya. “Koko bukan...., bukan seperti yang kausangka, bukan sekali-kali aku hendak merendahkan perminta­anmu dan tidak suka mematuhi perintah­mu. Tidak, Koko. Engkau pun merupakan pengganti orang tuaku, dan aku telah berkali-kali membikin susah hatimu, Ko­ko, aku ingin sekali dapat menyenangkan hatimu, aku amat kasihan kepadamu dan aku.... aku....” Lulu terisak menangis.

Besar sekali rasa hati Han Han ketika ia mengelus-elus rambut panjang hitam dan berbau harum itu. “Lulu, adikku yang manis, yang cantik jelita....”

Tiba-tiba Lulu melepaskan rangkulannya, menatap tajam dan bertanya, “Han-koko, benarkah engkau menganggap aku manis dan cantik jelita?”

Han Han tersenyum, memandang wa­jah adiknya itu. Setelah lama tidak ber­kumpul, kini melihat wajah itu begitu dekatnya, makin nyatalah kecantikan adiknya, kecantikan Nirahai, dengan ben­tuk-bentuk yang sama, terutama sekali sepasang matanya.

“Engkau cantik manis, adikku. Ter­utama sekali sepasang matamu, seperti sepasang bintang di angkasa bercahaya, seperti sepasang mata seekor burung hong, dan.... dan.... juga mulutmu....” Ia terhenti, merasa terlanjur dalam puji­annya.

“Aaahhhhh, lanjutkan, Koko, bagai­mana dengan mulutku?” Lulu bertanya, cemberut dan timbul kembali sifat man­janya seperti ketika ia berada di Pulau Es dahulu.

Terpaksa Han Han melanjutkan sambil memandang mulut adiknya, sepasang bibir yang garis pinggirnya jelas seperti di­lukis, yang berkulit tipis merah dan selalu basah, berdaging penuh, kalau ter­senyum terbuka sedikit tampak ujung gigi seperti mutiara berbaris rapi menyem­bunyikan lidah kecil merah yang selalu bergerak-gerak dalam gua kemerahan itu. “Mulutmu.... hemmm.... seperti telaga madu, menjadi sumber kemanisan yang tiada habisnya.”

Mata yang lebar itu berseri-seri dan Lulu kembali merangkul lalu mencium pipi kakaknya seperti dulu sering kali dilakukannya ketika mereka berdua masih tinggal di Pulau Es. “Terima kasih, Koko, terima kasih! Engkau semulia-mulianya manusia bagiku, engkau satu-satunya manusia yang paling kucinta di dunia ini!”

Han Han kembali menggunakan ke­mauannya untuk menekan debaran aneh pada jantungnya, lalu ia memegang kedua pundak Lulu, didorongkan dan dipandang­nya wajah adiknya. “Lulu adikku, aku hanya mempunyai satu tujuan, yaitu me­lihat engkau bahagia. Karena itu, engkau hendak kuajak mencari Sin Kiat. Kenapa engkau menolak?”

“Koko, kalau aku dijodohkan dengan orang lain, apakah aku harus ikut dengan suamiku?”

“Tentu saja!”

“Dan engkau akan meninggalkan aku?”

“Hemmm.... sudah semestinya begitu, adikku.”

“Kalau begitu aku tidak mau! Aku tidak mau!” Lulu menangis lagi.

Han Han memejamkan mata, menguat­kan hatinya dan bertanya dengan suara tegas, “Kenapa, Lulu?”

“Karena aku tidak mau berpisah lagi darimu, Koko! Aku selamanya tidak mau berpisah dari sampingmu!” Tangisnya mengguguk.

Kembali perasaan aneh sekali me­nikam hati Han Han, perasaan bahagia dan senang luar biasa. Tidak! Ini gila! Dia harus melawan perasaan ini. Dia ini adikku! Adikku, pikirnya.

Ia memaksa diri tertawa. “Ha-ha, engkau bocah nakal! Masa engkau akan ikut kakakmu ini sampai kita menjadi kakek dan nenek?”

“Biar! Aku akan senang sekali, Koko. Biar aku tidak pernah kawin, aku akan ikut denganmu sampai mati!”

Han Han mengeraskan hatinya, mendorong tubuh Lulu dan memandang tajam wajah yang basah air mata itu. “Lulu, tidak boleh! Apakah engkau akan membikin hati kakakmu ini sengsara selama­nya? Engkau adikku, dan seorang adik yang baik akan mentaati kakaknya. Adik­ku Lulu, tidak maukah engkau menyenang­kan hati kakakmu dengan mentaati per­mintaanku? Engkau akan hidup bahagia bersama Sin Kiat, aku yakin akan hal ini. Dia seorang yang amat baik. Lulu, sekali lagi kuminta, penuhilah perminta­anku ini!”

Sampai lama mereka saling pandang, dan akhirnya, dengan suara berat Lulu berkata lirih, “Han-koko.... kalau hal itu berarti kebahagiaanmu.... aku.... baiklah, aku menurut.” Dia lalu mem­benamkan muka di dada Han Han sambil menangis.

Han Han mendiamkan saja, membiarkan adiknya menangis. Setelah tangis adiknya mereda, ia lalu berkata, “Marilah kita menemui Nirahai. Kita minta dibebaskan, kalau dia berkemauan baik, tentu permintaan kita dia pehuhi. Kalau tidak, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!” Tanpa menanti jawaban adik­nya, Han Han menggandeng tangan Lulu, diajak meloncat ke pintu yang tertutup dengan terali besi. Dia sudah mempunyai sebatang tongkat kayu yang diberikan oleh penjaga atas permintaan Lulu.

“Koko, pintunya kuat sekali dan di luar ada penjaga-penjaga....!”

“Ssstttt, kau ikutlah saja,” kata Han Han yang menggunakan tongkatnya me­ngetuk-ngetuk pintu dan ketika para penjaga yang enam orang jumlahnya itu menengok, ia berkata, “Harap kalian suka membuka pintu ini, kami hendak meng­hadap Puteri Nirahai!”

“Ah, kami tidak berani! Kami diharuskan menjaga di sini dan tidak memboleh­kan kalian berdua keluar dari pintu!” Komandan jaga membantah dan enam orang itu sudah meraba gagang senjata golok mereka untuk menjaga segala ke­mungkinan.

Han Han tersenyum. “Kalau begitu, aku akan keluar sendiri!” katanya dan sekali tangan kanannya bergerak, ter­dengar suara keras dan pintu kamar itu jebol berikut jeruji-jeruji besinya, terlepas dari tembok! Enam orang penjaga itu menerjang maju, akan tetapi Han Han mengelebatkan tongkatnya dan ro­bohlah mereka dalam keadaan lemas tertotok! Sambil menggandeng tangan adiknya, tenang-tenang saja Han Han meninggalkan tempat itu, keluar dari rumah tahanan untuk mencari Nirahai.

Para penjaga yang berada di luar menjadi kaget sekali dan mengurung. Han Han dan Lulu berdiri tegak, kemudian gadis itu berseru, “Apakah kalian sudah bosan hidup hendak menghalangi aku? Aku hendak mencari Suci Nirahai, kalian mau apa?”

Para perajurit Mancu sudah tahu bahwa gadis ini adalah adik seperguruan Puteri Nirahai, maka mereka tidak be­rani turun tangan mengganggu. Apalagi, di sudut hati mereka, para perajurit yang sudah mendengar akan kesaktian Han Han yang dijuluki Pendekar Super Sakti, merasa jerih terhadap pemuda berkaki satu itu. Kini mereka hanya dapat me­mandang, kemudian mengikuti dari bela­kang ketika Han Han dan Lulu berjalan menuju ke sebuah kemah besar yang berwarna merah, kemah yang ditinggali Puteri Nirahai. Berbeda dengan perke­mahan yang dijadikan tempat tinggal para pahglima dan perwira yang selalu dijaga perajurit, di depan kemah merah ini tidak nampak penjaga. Nirahai me­mang seorang puteri yang tidak mau bersikap sebagai seorang pembesar tinggi yang gila hormat, ia tetap sederhana dan dia lebih condong hidup dan bersikap sebagai seorang kang-ouw yang mengan­dalkan diri sendiri dan hidup bebas tidak terikat banyak peraturan yang membosan­kan.

Di depan kemah merah itu, para pe­rajurit bergerombol dan hanya meman­dang ketika melihat Han Han dan Lulu dengan tenangnya memasuki kemah. Se­lain para perajurit ini tidak berani meng­ganggu Lulu dan jerih terhadap Han Han, juga mereka telah mendapat peri­ngatan keras dari Puteri Nirahai untuk tidak melakukan pertempuran selama sang puteri menjalankan siasat perdamai­an dengan para pejuang, bahkan tidak boleh menyerbu ke Se-cuan melewati perbatasan sebelum ada perintah. Sisa pasukan istimewa yang tadinya dipimpin Ouwyang Seng, oleh sang puteri telah disuruh tangkap semua dan dikirim ke penjara besar untuk menerima hukuman!

Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu ruangan dalam, Han Han dan Lulu berhenti karena mendengar suara lantang dari Nirahai yang terdengar marah.

“Tidak bisa! Biarpun Ouwyang-kongcu telah terbunuh, akan tetapi Pangeran Ouwyang Cin Kok masih tidak berhak untuk memerintahkan kepadaku mengirim kepala pembunuhnya! Dia kira siapakah dia itu yang bisa menjatuhkan perintah seperti itu kepadaku? Di daerah perang, di perbatasan ini, akulah yang berkuasa. Aku yang mewakili Ayahanda Kaisar dan semua orang tawanan adalah tanggung jawabku dan hanya aku seorang yang dapat menjatuhkan keputusan hukuman­nya! Tidak, aku tidak akan dan belum menjatuhkan hukuman mati kepada Suma Han dan aku tidak akan mengirimkan kepalanya kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti dimintanya! Ji-wi Locianpwe tahu bahwa kita sedang menjalankan politik perdamaian dengan kaum pejuang, sedangkan Suma Han tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Pembunuhan yang dilakukannya terhadap Ouwyang-kongcu adalah urusan pribadi dan ji-wi cukup maklum apa yang menjadi sebabnya!”

Han Han dan Lulu mendengarkan de­ngan hati berdebar. Kemudian mereka mendengar suara Ma-bin Lo-mo penuh desakan dan penyesalan, “Mengapa Pa­duka menolak permintaan Pangeran Ouw­yang Cin Kok? Bukankah pemuda buntung itu telah menimbulkan banyak kekacau­an? Dan apakah Paduka lupa bahwa da­hulu Paduka telah direncanakan untuk menjadi jodoh mendiang Ouwyang-kongcu! Dengan demikian, Ouwyang-kongcu menjadi tunangan Paduka. Setelah tunangan Paduka terbunuh secara keji, apakah Paduka tidak merasa terhina dan merasa sakit hati terhadap pemuda buntung itu?”

“Hi-hi-hik, Ma-bin Lo-mo, engkau ini sudah tua namun masih bodoh!” Terde­ngar suara Toat-beng Ciu-sian-li diseling suara berkerincingnya rantai gelang penghias kedua telinganya. “Apakah tidak depat menjenguk isi hati orang muda? Biarpun kakinya buntung sebelah, hati wanita muda yang manakah tidak akan tertarik? Dan kalau mau bicara tentang hati wanita, dari puteri sampai jembel pun tiada bedanya. Hi-hik!”

Tiba-tiba terdengar suara Nirahai penuh kemarahan, “Ji-wi adalah orang tua yang selalu membawa kotoran dalam hati dan pikiran ji-wi! Lekas ji-wi pergi dari sini, karena aku dapat melupakan bahwa ji-wi pernah membantu kami dan kalau aku turun tangan, apakah ji-wi kira aku tidak mampu membunuh kali­an?”

“Puteri Nirahai, akulah musuh dan lawan mereka! Haiii, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, aku Suma Ham menantang kalian dan kutunggu di depan kemah, keluarlah kalau kalian berani!” Han Han berseru keras, menggandeng tangan adiknya dan keluar dari dalam kemah itu. Para perajurit memandang mereka ini dengan mata terbelalak. Me­reka semua tidak tahu harus berbuat apa, maka hanya mengurung tempat itu sambil menanti perintah Puteri Nirahai.

Tak lama kemudian muncullah Nirahai, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dari dalam kemah. Melihat para pera­jurit, Nirahai lalu melambaikan tangan dan berkata, suaranya berwibawa, “Se­mua perajurit mundur, boleh menonton dalam lingkaran yang lebar, paling dekat sepuluh meter!”

Para perajurit lalu mundur dan karena semua ingin menonton dan mendengar, mereka lalu membentuk lingkaran mengelilingi tempat itu. Bahkan para perajurit lainnya yang mendengar lalu berdatangan sehingga tempat itu penuh oleh lingkaran perajurit-perajurit Mancu.

“Siapa yang mengeluarkan kalian?” Puteri Nirahai bertanya dengan keren sambil memandang Lulu.

“Suci, akulah yang memaksa keluar,” kata Lulu.

“Bukan! Akulah yang menjebol pintu karena para perjaga tidak mau membukanya. Kami hendak bicara denganmu, Puteri Nirahai. Akan tetapi mendengar suara dua orang tua bangka jahat ini, biarlah kutunda dulu pembicaraan kita dan sekarang aku menantang Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk ber­tanding denganku!”

“Hemmm.... di puncak Tai-hang-san sudah kuputuskan bahwa kini kami meng­adakan perdamaian dengan orang-orang kang-ouw. Apakah engkau menjadi wakil pemberontak Bu Sam Kwi dan menantang pembantu-pembantu pemerintah?” Nirahai bertanya.

Han Han menjawab tegas. “Sama sekali bukan. Aku dan adikku Lulu se­karang tidak sudi mencampuri perang. Aku menantang Ma-bin Lo-mo karena urusan pribadi, karena ingin membalaskan dendam puluhan orang anak murid In-kok-san yang orang tuanya telah dibunuh­nya semua oleh Iblis Muka Kuda ini dan untuk membalaskan dendam terhadap kematian Lauw Sin Lian! Aku pun menantang Toat-beng Ciu-sian-li, karena berkali-kali dia hendak membunuhku, bahkan yang terakhir aku tentu telah mati dibunuhnya kalau tidak muncul Kim Cu sehingga hanya sebelah kakiku yang buntung. Aku tantang mereka berdua sebagai musuh pribadi!”

Di dalam lubuk hatinya, semenjak dua orang iblis tua itu muncul sebagai utusan Pangeran Ouwyang Cin Kok untuk minta kepala Han Han sebagai hukuman atas kematian Ouwyang Seng, Nirahai sudah mengambil keputusan untuk mengenyah­kan dua orang itu. Dan ketika Han Han datang bersama Lulu, dia pun sudah tahu maka dia sengaja bicara keras. Kemudian, tantangan Han Han terhadap dua orang itu menggirangkan hatinya, maka puteri cerdik ini tidak mengusir para perajurit, bahkan memperkenankan mere­ka menonton agar mereka mendengar dan menjadi saksi atas pertandingan yang memang ia harapkan ini. Ia tahu bahwa Han Han telah sembuh dan bahwa pe­muda itu amat sakti, tentu sanggup me­nandingi mereka berdua. Maka kini de­ngan aksi mengangkat pundak ia berkata.

“Pemerintah tidak akan mencampuri urusan dendam pribadi, bahkan selalu akan menjadi saksi. Terserah tanggapan Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li atas tantangan Suma Han, kami tidak mencampurinya, hanya ingin melihat per­tandingan yang adil dan sah!”

Dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam merasa jerih terhadap Han Han, akan tetapi untuk menolak tantangan, tentu saja mereka merasa malu. Pula, mereka adalah dua orang tokoh besar, masa harus melarikan diri terhadap tan­tangan seorang pemuda yang buntung sebelah kakinya? Biarpun kini tidak ada tokoh kang-ouw yang menyaksikan, bahkan kedua orang pendeta yang menjadi utusan Pangeran Kiu juga telah kembali ke Se-cuan, namun ada ratusan orang perajurit Mancu menjadi penonton. Akan tetapi, Toat-beng Ciu-sian-li masih berusaha untuk menghindarkan pertandingan dan berkata.

“Suma Han, engkau sekarang mengakui sebagai keturunan Suma! Jai-hwa-sian Suma Hoat adalah Kakekmu! Lupakah engkau bahwa aku adalah isteri Kakek Buyutmu Suma Kiat? Aku adalah Nenek Buyutmu sendiri! Hayo berlutut memberi hormat atas kekurangajaranmu menantangku!”

Akan tetapi Han Han tertawa meng­ejek. “Tidak kusangkal bahwa aku me­nyesal sekali, adalah keturunan keluarga Suma yang jahat seperti keluarga iblis itu! Engkau adalah seorang di antara selir-selir Suma Kiat yang tentu banyak jumlahnya, entah selir yang syah ataukah selir gelap-gelapan! Akan tetapi aku tidak akan mengakuimu, bahkan andai­kata Kakekku yang berjuluk Jai-hwa-sian itu masih hidup, kalau mengingat akan kejahatannya, dia akan kutantang pula! Toat-beng Ciu-sian-li, aku ulangi lagi tantanganku kepadamu, bukan sekali-kali sebagai nenek buyut, melainkan se­bagai seorang datuk kaum sesat yang telah menumpuk dosa. Ataukah kau tidak berani melawan bekas muridmu sendiri yang telah kaubuntungi kakinya? Dan engkau, Ma-bin Lo-mo, apakah engkau telah berubah menjadi pengecut, lebih pengecut daripada perbuatanmu mem­bunuhi keluarga para murid In-kok-san?”

Kemarahan dua orang tokoh tua itu memuncak dan biarpun mereka maklum akan kesaktian Han Han, namun kedua­nya juga memiliki kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya. Toat-beng Ciu-sian-li memekik dan begitu tangannya bergerak, tiga sinar terang menyambar ke arah dahi, dada dan pusar Han Han. Itulah senjata gelap gelang yang ia lolos dari rantai gelang di telinganya.

“Lulu, mundur!” Han Han berteriak.

Lulu meloncat ke dekat Nirahai dan Han Han menggerakkan tangannya, dengan hawa pukulan sin-kang yang kuat sekali ia membuat tiga buah gelang itu menyele­weng dan menghilang ke dalam tanah di depan kakinya!

“Wuuuttt, tring-tring-tranggggg....!” Toat-beng Ciu-sian-li sudah menerjang maju dan sekaligus kedua anting-anting rantai gelang rambutnya yang panjang dan kedua tangannya sudah bergerak me­lakukan penyerangan secara berbareng.

“Singgg.... ngiuuukkkkk....!” Ma-bin Lo-mo juga sudah menerjang maju, golok melengkung di tangan kanan menjadi gulungan sinar, tangan kirinya memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang!

“Cuat-cuattt....!” Tubuh Han Han mencelat seperti kilat dan telah lolos dari kepungan serangan yang amat hebat itu. Tubuhnya bergerak-gerak dengan loncatan aneh sehingga pandang mata Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li menjadi kabur. Mereka harus membelalakkan ma­ta bergerak cepat dan bersikap waspada.

“Heiiiii! Mengapa main keroyok? Ini tidak adil!” Nirahai berseru. Biarpun ia tidak khawatir melihat pengeroyokan atas diri Han Han, namun sebagai saksi dan juri, dia harus mencela agar tidak dianggap berat sebelah.

“Terima kasih, Puteri. Biarlah mereka mengeroyok, memang selama hidupnya orang-orang seperti mereka ini hanya mengandalkan kemenangan dengan ke­curangan!” Han Han mengejek.

Kedua orang itu menjadi makin ma­rah, akan tetapi tentu saja mereka me­nulikan telinga terhadap ejekan-ejekan ini karena maklum bahwa kalau maju seorang demi seorang, tentu mereka akan celaka. Tanpa menjawab, mereka telah mengirim serangan secara bertubi-tubi. Han Han tetap mainkan ilmu Silat Soan-hong-lui-kun yang amat hebat, tubuhnya lenyap dan hanya tampak berkelebatnya bayangannya yang saking cepat gerakan­nya sampai seolah-olah berubah menjadi banyak itu. Dia hanya mengelak dengan loncatan-loncatan ke sana-sini sehingga tampaknya seperti dua orang anak-anak yang canggung mengejar dan berusaha untuk memukul seekor lalat yang amat cekatan.

Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee adalah seorang ahli bermain golok melengkung, dan tenaganya Swat-im Sin-ciang amat kuatnya, bahkan lebih kuat daripada te­naga sin-kang Setan Botak, lebih kuat pula dari tenaga sin-kang Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi nenek itu jauh lebih berbahaya karena biarpun sin-kangnya tidak sekuat Ma-bin Lo-mo, namun dalam hal ilmu silat, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat lebih lihai dan banyak sekali macam ilmunya. Nenek ini puluhan tahun lamanya berkecimpung di dunia kaum sesat, mempelajari bermacam ilmu dan sebagai selir terkasih Suma Kiat, dia menuruni pula ilmu-ilmu aneh dan mengerikan dari suaminya itu. Dia ahli mempergunakan rambutnya sebagai sen­jata. Biar rambutnya sudah banyak uban­nya, namun masih panjang dan rambut yang halus ini berbahaya sekali, dapat melibat senjata lawan, dapat menjerat leher, dan bahkan dapat pula menjadi keras menegang dan digunakan sebagai alat penotok jalan darah! Senjata rantai gelang yang tergantung di kedua telinga­nya juga merupakan senjata yang ampuh sekali, karena selain sukar diduga gerakannya karena digerakkan bukan dengan tangan melainkan dengan gerakan kepala, menjadi imbangan yang membingungkan bagi lawan dengan gerakan penyerangan rambut. Ditambah lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang beracun, telapak tangannya yang mengandung hawa pukul­an Toat-beng-tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa) yang biarpun tidak sekuat Swat-im Sin-ciang, namun me­ngandung hawa beracun yang jahat sekali!

Han Han yang sudah beberapa kali bertanding melawan dua orang ini, tahu bahwa dikeroyok dua orang ini sama dengan dikeroyok sedikitnya sepuluh orang. Yang paling berbahaya baginya adalah si nenek yang sambil menyerang menyembunyikan anting-antingnya, suara­nya berkerincingan mengacaukan perhati­an bahkan bagi para pendengar yang ti­dak memiliki sin-kang kuat, dapat meng­getarkan jantungnya. Baiknya para pera­jurit menonton dari jarak jauh sehingga getaran suara itu hanya membuat mereka menutupi telinga karena amat tidak enak didengar, seperti orang mendengar suara kaleng digurat-gurat. Maka, kini setelah berloncatan ke sana-sini dan gerakan ilmu gerak kilat pada kaki tunggalnya sudah lancar, mulailah ia membalas de­ngan serangan tongkat yang ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut, sedangkan tangan kirinya ia pukulkan dengan sin-kang yang berubah-ubah, kadang-kadang ia menggunakan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang, kadang-kadang ia menghadapi pukulan Ma-bin Lo-mo dengan tenaga yang sama, yaitu Swat-im Sin-ciang, namun jauh lebih kuat!

Kini mulailah Han Han menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun yang memung­kinkan ia berloncatan cepat menjauhi Toat-beng Ciu-sian-li dan mendesak Ma-bin Lo-mo! Toat-beng Ciu-sian-li mak­lum bahwa Han Han hendak merobohkan dulu murid keponakannya, maka berteriak-teriak dan mengejar terus. Namun gerak­annya jauh kalah cepat oleh Han Han sehingga bagi para penonton yang tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata biasa mereka seperti perajurit-perajurit Mancu itu, yang kelihatan hanya berke­lebatan tubuh Han Han dan Ma-bin Lo-mo yang sibuk menangkis dengan goloknya, dan melihat nenek itu berlari-lari memutari tubuh Ma-bin Lo-mo sambil berteriak-teriak memaki seperti orang gila!

Ma-bin Lo-mo mempertahankan diri sekuatnya. Ketika melihat tongkat me­nyambar, ia mengerakkan tenaga mengayun goloknya menangkis, dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah ba­yangan Han Han dengan Swat-im Sin-ciang. Saat inilah yang dinanti-nantikan oleh Han Han. Tongkatnya ia pukulkan dengan kuat, dan tangan kanannya me­nyambut pukulan itu dengan tenaga Im-kang pula yang jauh lebih kuat. Dua sen­jata bertemu di udara, tepat pada saat dua telapak tangan mereka bertemu.

“Krakkk! Desss....!” Golok patah menjadi tiga dan tubuh Ma-bin Lo-mo menggigil, kemudian ia terhuyung mun­dur, dari telinga, mata, hidung dan mu­lut juga dari lubang-lubang di bawah tubuh, mengucur darah dan akhirnya roboh dengan napas putus. Tubuhnya berubah membiru dan kaku seperti se­batang kayu karena tubuh itu sudah membeku!

“Becah setan....!” Toat-beng Ciu-sian-li memaki menutupi rasa gentarnya, se­mua senjatanya yang ampuh, rambut, sepasang rantai gelang dan kedua tangan­nya menyerang kalang-kabut.

Ketika Han Han menggunakan tong­katnya menangkis, sepasang rantai gelang yang panjang dan pendek itu bergerak seperti dua ekor ular, tahu-tahu telah melibat-libat pada tongkat itu dan men­dadak nenek itu menggerakkan kepalanya. Dua helai rantai gelang itu mem­betot ke kanan kiri. Han Han terkejut karena benar-benar amat kuat tarikan dua rantai gelang itu. Dia pun mengerah­kan tenaga membetot.

“Krekkk-krekkk-kraaakkkkk!”

“Aihhhhh....!” Nenek itu menjerit. Tongkat Han Han patah-patah menjadi tiga potong, akan tetapi dua helai rantai gelang itu pun copot dari kedua telinga Si Nenek, merobek bagian bawah daun teli­nga di mana rantai itu tergantung! Nyeri­nya begitu hebat bagi seorang nenek yang demikian sakti, akan tetapi rasa kaget dan malu membuat ia menjadi marah dan nekat. Kepalanya bergerak dan rambutnya sudah membelit leher Han Han.

Pemuda ini tak sempat mengelak, rambut itu seperti hidup, tahu-tahu telah membelit dan mencekik leher. Otomatis kedua tangannya ia gerakkan ke leher untuk melepaskan libatan dan menarik putus rambut itu, akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menggerakkan kedua tangannya yang berkuku panjang, yang kiri mencengkeram ke arah ulu hati, sedangkan yang kanan mencengkeram ke bawah pusar Han Han untuk meremas hancur anggauta kelaminnya!

“Koko, awas....!” Tak tertahankan lagi Lulu yang menyaksikan gerakan ne­kat dan curang itu berseru. Nirahai me­nonton dengan sepasang mata tak pernah berkedip dan hatinya menjadi tegang, namun ia tetap waspada untuk mencegah kalau-kalau Lulu yang sudah tak enak berdiri sejak tadi itu turun tangan mem­bantu kakaknya.

Han Han sekarang bukanlah seperti Han Han dahulu ketika baru keluar dari Pulau Es. Setelah menerima gemblengan dari Khu Siauw Bwee, dia telah mengu­asai ilmu silat tinggi dan memiliki ke­waspadaan seorang ahli. Dia tidak akan patut disebut orang sebagai Pendekar Super Sakti kalau dia tidak melihat ge­rakan kedua tangan nenek itu. Dari ge­rakan pundak saja ia sudah mengetahui lebih dulu sebelum kedua tangan nenek itu menerkam tubuhnya. Ia membiar­kan lehernya tercekik, mengerahkan te­naga untuk melindungi leher sehingga cekikan tidak menghalangi pernapasannya, berbareng secepat kilat ia meng­gerakkan kedua tangan menerima kedua tangan nenek itu sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Nenek itu terus mencengkeram kedua tangan Han Han sambil mengerahkan tenaga Toat-beng-tok-ciang. Akan tetapi Han Han tidak menolak, malah pemuda ini pun mengerahkan sin-kang, yang kiri mengerahkan inti Swat-im Sin-ciang, yang kanan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang!

Dua orang itu berdiri tegak, rambut nenek itu mencekik leher, kedua pasang tangan mereka saling cengkeram dan terjadilah adu tenaga yang amat menegangkan bagi Lulu dan Nirahai. Mereka berdua maklum bahwa Han Han dan ne­nek itu mengadu tenaga sakti yang amat berbahaya.

Kini tangan kiri nenek itu yang bertemu tangan kanan Han Han yang mengepulkan asap dan kuku-kukunya yang panjang hangus, sedangkan tangan kanannya menggigil. Muka nenek itu sebentar pucat sebentar merah, napasnya terengah-engah dan ia berkata parau.

“Aku Nenek Buyutmu.... Nenek Buyutmu....!” dan dari kedua mata nenek itu bercucuran air mata!

Han Han merasa muak, juga kasihan. Air mata hanya dapat dikeluarkan dari hati yang baik! Hanya orang yang berduka, orang yang menyesali perbuatannya, orang yang kalah dan tertekan batinnya saja yang akan dapat mengucurkan air mata. Dan tak dapat disangkal lagi, menangis sama dengan berdoa, karena hanya orang yang menangis saja yang mendekatkan hatinya dengan Tuhan!

“Pergilah!” seru Han Han dan ia me­ngerahkan semua tenaganya, mendorong dan tubuh nenek itu terlempar dibarengi jeritnya yang menyayat hati. Rambutnya masih melibat leher Han Han karena dalam saat terakhir itu, nenek ini masih tidak mau melepaskan niatnya membunuh Han Han, maka masih melakukan per­lawanan. Kalau saja dia mengaku kalah dan tidak melakukan perlawanan dengan seluruh tenaga, agaknya ia akan terlem­par saja dan masih selamat. Akan tetapi ia melawan, maka selain rambut kepala­nya coplok dan tertinggal semua di leher Han Han, juga tenaga yang ia kerahkan di kedua tangannya membalik dan meng­hantam isi dadanya sendiri. Ia terbanting dengan kepala tak berambut lagi, kedua telinga robek, dan tubuhnya hangus se­belah. Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat tewas dalam keadaan yang lebih me­ngerikan daripada kematian Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee!

Lulu berlari menghampiri kakaknya dan memeluk pundak Han Han yang me­lepaskan libatan rambut dan membuang rambut itu dengan helaan napas panjang. Kemudian ia melepaskan pelukan Lulu dan menengok ke kiri. Juga Lulu men­dengar suara ribut-ribut di antara para perajurit. Nirahai sendiri pun memandang ke jurusan itu dan wajahnya berubah, keningnya berkerut.

“Katanya diadakan perdamaian, ke­napa hendak menghadap Puteri Nirahai saja kalian ribut-ribut hendak mengguna­kan kekerasan?” Terdengar suara lantang di antara hiruk-pikuk suara para perajurit.

“Sin Kiat....!” Han Han berseru girang.

“Biarkan mereka menghadap!” perintah Puteri Nirahai. Para perajurit mundur dan membuka jalan, membiarkan serom­bongan orang muda memasuki tempat itu. Mereka terdiri dari belasan orang muda, Sin Kiat berjalan di depan dan orang-orang muda lainnya adalah murid-murid In-kok-san, empat orang gadis dan belasan orang pemuda yang kesemuanya bersikap gagah. Han Han melihat di an­tara mereka para murid In-kok-san ada yang pernah menyerang Nirahai dalam jolinya.

Melihat Han Han dan Lulu, Sin Kiat berteriak girang dan lari menghampiri. Akan tetapi ketika melihat Puteri Nira­hai berdiri di situ, Sin Kiat lalu menghadap puteri itu dan berkata gagah, “Aku bernama Wan Sin Kiat dan kawan-kawan ini adalah murid-murid In-kok-san. Kami mendengar keributan yang terjadi di sini, mendengar bahwa sahabat-sababatku Han Han dan Nona Lulu tertawan, maka kami datang untuk mengajukan protes. Pe­merintah mengumumkan perdamaian akan tetapi mengapa sahabat-sahabatku di­tawan?”

Sementara itu, para murid In-kok-san memandang mayat-mayat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dengan mata terbelalak, bahkan empat orang gadis itu menangis, bukan karena duka melainkan karena terharu melihat betapa musuh besar mereka, Ma-bin Lo-mo be­kas guru yang ternyata menjadi pem­bunuh keluarga mereka, kini telah meng­geletak tak bernyawa.

Puteri Nirahai tersenyum dan memandang dengan sinar mata dingin. “Apa yang terjadi di sini bukanlah urusan pe­rang, melainkan urusan pribadi. Dan kali­an melihat sendiri, kedua orang yang kaumaksudkan itu tidak lagi menjadi tawanan kami. Bahkan kami memberi kebebasan kepada Suma Han untuk ber­tanding melawan dua orang musuhnya tanpa campur tangan dari kami!”

Lega hati Sin Kiat mendengar ini dan ia menghampiri Han Han, memegang ta­ngan sahabatnya itu dan memandang penuh kagum, kemudian menoleh kepada Lulu dengan sinar mata penuh kebahagia­an dapat bertemu kembali dengan Lulu, penuh kemesraan sehingga wajah Lulu berubah merah sekali.

“Suma Han! Engkau sudah merobohkan dua orang musuhmu, dan kalau Lulu Su­moi mau pergi, silakan. Kalau engkau hendak pergi, aku pun tidak akan meng­halangi, hanya di sini aku menantang engkau untuk berpibu mengadu kepandai­an denganku pada malam nanti, tepat tengah malam, di puncak Gunung Ceng­ger Ayam di sebelah utara itu. Aku akan menanti di sana dan kalau engkau tidak datang, aku hanya akan menganggap eng­kau sebagai seorang laki-laki sombong yang hanya berani melawan orang-orang lemah, juga seorang pengecut besar!”

“Nirahai....!” Han Han terkejut dan menyebut nama itu tanpa disadarinya. Akan tetapi, sambil mengebutkan lengan bajunya, Nirahai sudah membalikkan tu­buh dan pergi memasuki kemahnya.

Lulu menarik tangan Han Han dan pergilah orang muda itu dari tempat itu. Dua orang murid In-kok-san mengangkat jenazah Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li sambil berkata, “Mereka ini orang-orang jahat di waktu hidup mereka, akan tetapi ini adalah jenazah-jenazah manusia dan mengingat bahwa kami pernah menerima gemblengan mereka, kami akan memakamkan jenazah mereka se­bagaimana mestinya.”

Han Han menjadi terharu dan memandang kagum. Para perajurit tidak ada yang berani menghalangi rombongan ini keluar dari daerah perbatasan. Setelah murid-murid In-kok-san membawa pergi dua jenazah itu, hanya tinggal Han Han, Lulu dan Sin Kiat yang duduk di dalam hutan. Han Han menceritakan pengalamannya bersama Lulu, sedangkan Sin Kiat juga menceritakan betapa dia menari-cari Han Han dan kemudian kebetulan sekali mendengar bahwa Sin Lian dan Hian Ceng tewas dalam penyerbuan mereka ke perkemahan Ouwyang Seng, mendengar pula berita mengejutkan bahwa Ouwyang Seng juga terbunuh dan Han Han ditawan bersama Lulu. Maka dengan nekat ia lalu menyusul, bertemu dengan rombongan murid In-kok-san yang kesemuanya merupakan teman-teman seperjuangan dan yang ikut pula bersamanya karena pada waktu itu perang telah dihentikan.

Setelah mereka menceritakan perjalanan masing-masing, Han Han lalu bertanya sambil memandang Sin Kiat dengan sinar mata tajam penuh selidik, “Sin Kiat, engkau adalah sahabatku terbaik, sahabat semenjak kita kecil. Katakanlah sejujurnya, di depan adikku, apakah engkau setulus hatimu mencinta Lulu?”

Wajah Sin Kiat menjadi merah, dan Lulu yang kedua pipinya menjadi merah pula menunduk, jari-jari tangan kirinya mencabuti rumput di dekat kakinya, jan­tungnya berdebar. Setelah mendengar ke­putusan Han Han dalam kamar tahanan, ­begitu Sin Kiat muncul, ia amat memperhatikan pemuda itu dan memang pe­muda ini tak dapat dicela, gagah perkasa dan tampan, sikapnya pun menyenangkan. “Han Han, seorang laki-laki sejati tidak akan mempermainkan cinta kasih. Aku telah menyatakan kepada Adik Lulu tentang cinta kasihku kepadanya. Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa aku mencinta Adik Lulu sepenuh hatiku, mencinta dengan jiwa ragaku!”

Lega hati Han Han mendengar ini. “Dan engkau berjanji akan melindunginya seperti engkau melindungi dirimu sen­diri?”

“Lebih dari itu! Kalau aku diberi kehormatan besar itu, aku akan mendahulu­kan keselamatan dan kepentingannya. Aku rela berkorban nyawa untuk melindunginya!”

Han Han menoleh kepada Lulu yang makin menunduk, memegang tangan adik­nya dan berkata, “Nah, engkau mendengar sendiri, Lulu. Engkau tidak akan menyesal selama hidupmu. Maka sekarang jawablah terus terang saja, aku menjadi saksinya. Apakah engkau bersedia kalau dijodoh­kan dengan Sin Kiat?”

Sepasang mata yang indah dan lebar itu terangkat, memandang Han Han dan dua butir air mata jatuh berderai di atas kedua pipinya, bibirnya gemetar ketika ia berkata lirih, “Kalau itu yang kaukehendaki....”

“Memang aku menghendaki engkau berjodoh dengan Sin Kiat, adikku. Akan tetapi tentu saja aku tidak akan memaksamu kalau engkau tidak setuju. Ja­wablah. Maukah engkau menjadi jodoh Wan Sin Kiat?”

Lulu menunduk dan menganggukkan kepalanya. Gerakan ini membuat dua butir air mata baru jatuh lagi. Sin Kiat hampir tidak dapat percaya akan mata dan telinganya sendiri. Mau rasanya ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi tentu saja ia merasa malu, hanya jan­tungnya yang berdebar-debar menari-nari di dalam rongga dadanya.

“Sin Kiat, engkau telah melihat sendiri. Adikku sudah sepatutnya menjadi ratu rumah tangga. Sekarang harap eng­kau suka mengajak Lulu pergi dan mem­persiapkan acara pernikahan. Siapakah yang akan menjadi walimu dan di mana kiranya upacara itu akan dilaksanakan?”

“Aku sudah mengambil keputusan untuk mohon kepada suhu agar suka men­jadi waliku, adapun tempatnya, kurasa paling baik di rumah Tan-piauwsu.”

“Hemmm.... di Pek-eng-piauwkiok? Di kota Kwan-leng?”

“Benar, aku tidak mempunyai keluarga, dan Tan-piauwsu adalah orang yang amat baik, kuanggap keluarga sendiri.”

“Baiklah. Kau berangkatlah bersama Lulu ke Kwan-teng, buatlah persiapan upacara pernikahan. Tiga bulan lagi se­menjak hari ini, aku akan menyusul ke sana.”

Lulu tiba-tiba mengangkat muka dan berkata, “Koko, kenapa begitu? Kenapa engkau tidak sekalian pergi bersama kami? Engkau hendak pergi ke mana?”

“Masih ada urusan yang harus ku­selesaikan, Moi-moi. Pertama-tama, ma­lam ini aku harus memenuhi tantangan pibu dari Puteri Nirahai.”

“Aihhhhh....! Aku.... aku ikut denganmu, Koko! Puteri Nirahai adalah suciku, dan engkau adalah kakakku. Kini kalian hendak mengadu kepandaian. Suci amat sakti, Koko, bagaimana kalau.... kalau.... ahh, aku hendak menjadi saksi!”

“Tidak boleh, Lulu. Dia mengajak pibu di tengah malam di puncak Gunung Ceng­ger Ayam, hal ini berarti bahwa dia tidak akan membawa teman dan tidak menghendaki saksi. Mungkin dia merasa malu kalau-kalau akan kalah. Tenangkan­lah hatimu, aku akan berusaha mencapai kemenangan tanpa harus membunuhnya. Kau berangkatlah sekarang juga bersama Sin Kiat dan tunggu kedatanganku di Kwan-teng tiga bulan lagi.”

Wajah Lulu menjadi pucat dan ia terisak menangis. “Bagaimana kalau.... kalau engkau tidak datang, Koko? Kita baru saja bertemu dan berkumpul dan.... dan.... engkau sudah menyuruhku pergi.... aku tidak ingin berpisah denganmu.”

Han Han merasa jantungnya perih, akan tetapi ia memaksa diri tersenyum dan memegang pundak adiknya. “Aku pasti akan datang, Lulu. Tidak ada peris­tiwa yang lebih penting bagiku melebihi upacara pernikahanmu, melihat engkau berbahagia. Hanya kematian saja yang akan mampu menggagalkan kedatanganku tiga bulan mendatang di Kwan-teng, akan tetapi andaikata demikian, aku pun akan puas karena percaya bahwa di sampingmu ada Sin Kiat yang akan membela dan melindungimu dengan sepenuh jiwa raga­nya. Berangkatlah, Lulu dan kau sudah berjanji akan menjadi adik yang baik, yang mentaati permintaan kakaknya, bukan?”

“Koko....!” Lulu menubruk dan karena Han Han sudah bangkit berdiri, ia me­rangkul kaki tunggal itu sambil me­nangis. Berat sekali rasa hatinya untuk pergi meninggalkan Han Han. Hampir saja Han Han tidak dapat menahan keharuan hatinya dan kalau ia sampai balas memeluk adiknya, tentu dia akan mem­biarkan adiknya ikut dia dan kelak ber­sama-sama ke Kwan-teng. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya, lalu berkata kepada Sin Kiat yang memandang penuh keharu­an dan bingung apa yang harus ia laku­kan.

“Sin Kiat, lekas kauajak Lulu pergi, hari sudah hampir gelap, jangan sampai kalian kemalaman di jalan dan di hutan.”

Sin Kiat menghampiri Lulu, meme­gang lengan gadis itu dengan mesra dan hati-hati, mengangkatnya bangun dan berkata halus, “Marilah, Moi-moi. Kakak­mu memang benar, dan sepatutnya kalau kita mentaati apa yang dikehendakinya. Tiga bulan lagi dia akan menyusul kita di Kwan-teng. Dia bukantah orang yang tidak menepati janjinya, Moi-moi. Mari­lah!” Sin Kiat menarik dengan halus dan terpaksa Lulu menurut, akan tetapi gadis itu terisak-isak dan sambil berjalan di­gandeng Sin Kiat, ia menoleh memandang ke arah kakaknya yang berdiri tegak sambil tersenyum, malah Han Han melambaikan tangan, berkatat “Selamat jalan, Lulu adikku. Selamat berpisah sampai jumpa kembali. Jangan kau nakal, ya?”

Tiba-tiba Lulu merenggutkan lengannya terlepas dari gandengan Sin Kiat, lari menghampiri Han Han, merangkul leher dan mencium pipi Han Han sambil tersedu-sedu. “Koko.... Koko.... sudah tetapkah keputusanmu....?”

Han Han menahan air matanya yang memenuhi pelupuk mata. “Pergilah, adikku sayang. Pergilah, doaku bersamamu....”

Lulu terisak, melepaskan rangkulan lalu lari meninggalkan Han Han. Ter­paksa Sin Kiat juga lari dan dari jauh Han Han melihat kedua orang muda itu lari cepat berdampingan. Air matanya tak dapat ia tahan lagi, mengalir turun ke atas kedua pipinya, bersatu dengan air mata Lulu yang membasahi mukanya, matanya tak pernah berkedip sampai bayangan kedua orang itu lenyap.

“Bodoh! Lemah!” Han Han memaki diri sendiri untuk menguatkan hatinya, akan tetapi kaki tunggalnya menjadi lemas dan ia menjatuhkan diri berlutut di tempat itu, merasa kehilangan, merasa sunyi dan mulutnya berbisik-bisik, “Se­moga Tuhan memberkahimu, Lulu adikku tersayang....!”

Han Han termenung dalam keadaan itu, di tempat sunyi, sesunyi hatinya yang terasa kosong. Setelah kegelapan menyelimuti dirinya, barulah ia teringat akan tantangan Nirahai dan ia lalu me­loncat bangun, menyambar tongkat yang tadi ia buat dari ranting pohon, dan melesatlah tubuhnya cepat sekali menuju ke gunung kecil Cengger Ayam untuk menghadapi Puteri Nirahai!



***

Puncak bukit kecil itu merupakan padang rumput yang rata dan malam itu amatlah terang di situ karena bulan se­dang purnama. Mengertilah Han Han mengapa Puteri Nirahai memilih tempat ini. Memang sunyi dan padang rumput itu luas, leluasa untuk dijadikan tempat ber­tanding, pula malam itu bulan purnama membuat tempat itu terang benderang seperti sinar matahari pagi.

Dia tiba di puncak menjelang tengah malam. Di tempat yang sunyi ini Han Han duduk di atas rumput, diam-diam merasa heran mengapa Puteri Nirahai menantang dia untuk pibu. Benarkah puteri itu hendak memenuhi janji, datang di tempat yang sunyi ini? Benar-benar aneh watak puteri itu. Mengajak pibu di tempat ini, tanpa saksi. Bagaimana ka­lau terjadi seperti yang dikhawatirkan Lulu, yaitu seorang di antara mereka roboh, terluka parah atau tewas? Tentu takkan ada seorang pun manusia menge­tahui dan akan terlantar! Apa boleh buat! Sebagai seorang gagah, dia harus berani menghadapi kekalahan. Dan puteri itu, ahhh, akan tegakah hatinya untuk melukai Nirahai? Dia harus berani mengaku di dalam hatinya bahwa hatinya amat tertarik oleh kecantikan dara itu, bahkan segala gerak-gerik Nirahai amat menim­bulkan gairah hatinya. Dan kini dia akan menghadapi dara itu sebagai lawan! Bagaimana ia harus bersikap? Mengalah? Tidak mungkin! Mengalah terhadap lawan biasa mungkin saja dilakukan, akan tetapi terhadap seorang dara yang memiliki kesaktian luar biasa seperti Nirahai, mengalah berarti menghina dan tentu akan diketahui oleh dara itu!

Tiba-tiba Han Han meloncat berdiri ketika melihat bayangan yang amat ce­pat dan ringan sehingga tidak menimbul­kan suara, berkelebat mendatangi dari depan. Jantungnya berdebar keras. Puteri Nirahai telah berdiri di depannya, cantik jelita seperti dewi bulan turun dari kah­yangan, rambutnya yang hitam mengkilap tertimpa cahaya bulan, wajahnya yang jelita seolah-olah diselaput emas, se­pasang matanya bersinar-sinar. Puteri ini benar-benar telah menepati janji, datang tepat pada tengah malam dan seorang diri! Betapa gagahnya!

“Bagus, engkau telah menanti di sini? Marilah kita mulai!” Dara itu telah me­lintangkan pedang payungnya di depan dada.

Terpincang-pincang dibantu tongkatnya Han Han maju tiga langkah menghadapi puteri itu. “Puteri Nirahai, apakah perlu­nya diadakan pibu ini? Di antara kita tidak ada urusan sesuatu, perlu apa ber­tanding tanpa sebab yang hanya akan mendatangkan kematian bagi yang kalah dan penyesalan di kemudian hari bagi yang menang?”

“Hemmm.... Suma Han, tidak akan mudah bagimu untuk membunuh aku be­gitu saja seperti yang kaulakukan terhadap Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li siang tadi!”

Han Han tersenyum. Puteri ini cantik, lihai, cerdik akan tetapi juga angkuh dan bersikap agung sesuai dengan kedudukan­nya sebagai puteri kaisar! “Katakanlah aku yang akan kalah dan mati di ta­nganmu. Apakah kelak engkau tidak akan menyesal telah membunuh orang tanpa sebab dan tanpa dosa?”

“Tiada gunanya bersilat lidah. Baiklah kukatakan saja sebabnya agar engkau tidak menjadi penasaran dan menganggap aku gila bertanding! Engkau adalah murid Bibi Guru Khu Siauw Bwee yang telah mewarisi ilmu kepandaiannya yang dah­syat, bukan? Dan aku adalah murid guru­ku Nenek Maya. Timbullah keinginan hatiku untuk membuktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!”

Han Han menghela napas panjang. “Puteri Nirahai, sebenarnya di sudut hatiku, aku amat membenci penggunaan kekerasan. Membenci perkelahian. Selama ini aku hanya dipaksa untuk berkelahi, padahal aku tidak suka untuk bertanding, apalagi dengan engkau yang gagah perkasa dan lihai. Engkau adalah pewaris ilmu-ilmu yang dahsyat dari pendekar-pendekar sakti jaman dahulu, pewaris ilmu-ilmu dari pendekar wanita Mutiara Hitam, menjadi murid Nenek Maya yang maha sakti. Biarlah, tanpa bertanding pun aku sudah mengakui keunggulanmu dan aku mengaku kalah.”

“Suma Han, apa kaukira aku ini anak kecil yang dapat kaubujuk dengan kata-kata mengalah seperti diberi kembang gula? Tidak, aku tidak mau menerima alasan seperti itu. Aku menantangmu untuk pibu dan aku hanya akan meniada­kan pibu ini kalau engkau mengaku bah­wa engkau takut dan pengecut, tidak berani melawanku!”

Wajah Han Han menjadi merah. Ia bukan seorang bodoh dan maklum bahwa sengaja puteri itu menggunakan kata-kata “pengecut” hanya untuk memaksa­nya. Dia tidak dapat mundur lagi. Bagi seorang gagah, dianggap takut dan pe­ngecut lebih hebat daripada mati.

“Hemm, baiklah. Agaknya engkau sudah bertekad untuk menguji kepandaianku yang tidak seberapa ini. Hanya satu pesan dan permintaanku kepadamu sebelum kita mulai bertanding, Puteri Nirahai.”

“Katakanlah, engkau cerewet benar. Apa pesanmu?”

Han Han tersenyum. Sikap dara ini, biarpun seorang puteri kaisar yang ang­kuh, mengingatkan ia akan kegalakan Lulu!

“Kalau aku menang dan kesalahan tangan sampai membuatmu tewas dalam pertandingan ini, aku akan menyesali peristiwa ini selama hidupku, engkau akan selalu terbayang olehku dan hidupku akan selalu dibayangi penyesalan yang hebat. Sebaliknya kalau aku yang tewas, dan agaknya begitulah mengingat akan kesaktianmu, aku pesan kepadamu, sudi­lah kiranya engkau tiga bulan mendatang ini mengunjungi Kwan-teng, di Pek-eng-piauwkiok dan mewakili aku melaksana­kan upacara pernikahan antara adikku Lulu dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat. Maukah engkau berjanji?”

Puteri itu kelihatan kaget dan termangu-mangu. “Sumoi.... akan.... kawin?” Akan tetapi ia sudah menguasai hatinya dan menjawab tenang, “Baiklah, aku berjanji memenuhi pesanmu itu. Mari kita mulai!”

“Aku sudah siap!” kata Han Han, memandang tajam penuh kewaspadaan karena ia maklum bahwa senjata berupa payung itu tidak boleh dipandang ringan.

“Sambut serangan!” Nirahai berseru dan tiba-tiba mata Han Han menjadi gelap karena payung hitam itu terbuka menyembunyikan tubuh Nirahai dan tahu-tahu ujung payung yang runcing itu sudah meluncur ke arah dadanya. Hebat bukan main serangan ini. Han Han kaget dan kagum, akan tetapi cepat mengangkat tongkatnya menangkis dengan putaran pergelangan tangannya.

“Cring-cring-cring....!” Setelah tiga kali menangkis, baru Nirahai menghenti­kan tusukan bertubi-tubi dan berganti gerakan, payungnya tiba-tiba tertutup dan tangan kirinya menampar dari sam­ping mengarah pelipis Han Han, sedang­kan payung yang tertutup itu meluncur dengan totokan ke arah lutut kiri lawan!

Han Han cepat mengelak dan melihat serangan itu disusul dengan serangan-serangan dahsyat sekali secara bertubi-tubi, terpaksa ia lalu bersilat dengan gerak kilat yang membuat tubuhnya se­olah-olah menghilang, yaitu Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun! Namun dapat dibayang­kan betapa kagetnya ketika ia melihat dara itu memutar pedang payungnya sambil berputaran, mengarahkan pedang payungnya itu ke atas! Seperti diketahui, ilmunya Soan-hong-lui-kun yang berdasar­kan gerak kilat itu selalu menitikberat­kan serangan dari atas, menggunakan kesempatan selagi tubuhnya mencelat-celat ke atas yang kecepatannya tak mungkin dapat dicapai orang yang ber­kaki dua. Akan tetapi kini Nirahai memutar tubuh dan pedangnya sehingga tubuhnya bagian atas seperti diselimuti atau dilindungi benteng baja yang tak mungkin ditembus oleh air hujan sekali pun! Inilah ilmu terbaru yang diajarkan Nenek Maya kepada Nirahai yang khusus diciptakan untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun!

Han Han menjadi penasaran juga ka­rena sama sekali dia tidak mendapat kesempatan menyerang kalau menggunakan gerak kilatnya, maka ia meluncur turun dan membalas serangan lawan de­ngan mainkan tongkatnya, mencampur-adukkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut dengan gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari kitab-kitab di Pulau Es.

Nirahai sama sekali tidak berani me­mandang rendah. Tadi ketika tubuh Han Han mencelat dan lenyap, ia kaget se­tengah mati. Cepat ia mainkan ilmu yang diajarkan subonya melindungi tubuh­nya bagian atas. Ia maklum bahwa kalau saja dia tidak mempelajari ilmu baru itu, tentu dia akan tak sanggup menghadapi ilmu mencelat-celat seperti itu yang kecepatannya saja sudah membuat pan­dang matanya kabur, seolah-olah yang dihadapinya bukan manusia melainkan iblis yang pandai menghilang! Kini se­telah Han Han menyerangnya dengan tongkat yang dimainkan secara kuat dan cepat, hatinya menjadi tenang dan ia pun menggerakkan pedang payungnya mengimbangi permainan lawan sehingga kedua orang yang sama kuatnya ini bertanding secara hebat dan seru. Berkali-kali terdengar suara nyaring ketika pedang payung bertemu dengan tongkat, dan ter­dengar bunyi bercuitan atau berdesingan kalau senjata mereka yang menyambar itu dielakkan lawan yang menusuk tem­pat kosong.

Han Han merasa tidak tega kalau dia menggunakan sin-kangnya yang luar biasa, yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan masa itu. Juga dia merasa bahwa kalau dia menangkan pertandingan mengandalkan tenaga, ia merasa malu sendiri. Dia adalah seorang pria, dan lawannya seorang wanita. Baru pembawaan mereka saja sudah berbeda semenjak lahir, tentu saja pria lebih kuat. Maka dia hanya menggerakkan tenaga sin-kang sedikit saja untuk mengimbangi kekuatan Nirahai.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa hampir ia kecelik dan celaka karena perasaan sung­kan ini. Ketika pedang payung itu untuk kesekian kalinya menyambar, dan ia me­nangkis dengan tongkat, tiba-tiba tong­katnya melekat pada senjata lawan dan payung itu diputar dengan pengerahan tenaga sin-kang sedemikian kuatnya se­hingga tongkatnya ikut pula terputar! Dia memperbesar tenaganya untuk bertahan, namun masih saja tongkatnya terbawa! Kalau dilanjutkan, tentu tongkatnya itu akan patah atau akan terlepas, maka terpaksa ia mengerahkan sin-kangnya. Setelah mengerahkan delapan bagian te­naganya, barulah tongkatnya terlepas!

“Hebat!” Tak terasa lagi Han Han berseru karena kini ternyata olehnya bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dara ini sama sekali tidak boleh dipandang ren­dah, bahkan belum tentu kalah oleh para datuk kaum sesat, malah agaknya seban­ding dengan tenaga kedua orang pendeta Lama dari Tibet, berarti hanya selisih sedikit di bawah tenaganya sendiri!

“Sombong! Engkau boleh mengandalkan sin-kangmu!” Nirahai berkata dan wajah Han Han menjadi merah. Menghadapi dara secerdik ini dia harus berhati-hati. Baru jalan pikirannya saja yang tadinya tidak mau mengandalkan sin-kangnya telah dapat diterka tepat oleh Nirahai!Han Han mengerahkan kecepatannya dan masih mainkan tongkatnya dengan Siang-mo Kiam-sut. Dasar dari ilmu pe­dang ini tentu saja dikenal oleh Nirahai yang telah mewarisi banyak ilmu-ilmu peninggalan Mutiara Hitam. Siang-mo Kiam-sut diciptakan oleh pendekar wani­ta sakti Mutiara Hitam, akan tetapi tidak pernah dipelajari Nirahai karena memang peninggalan kitabnya tidak ada. Hanya saja, karena Han Han mainkan ilmu pedang ini dengan pencampuran ilmu-ilmu yang dilatihnya di Pulau Es, Nirahai menjadi bingung dan bersikap hati-hati. Pertama-tama dara ini me­nutup payungnya, mainkan payungnya seperti sebatang pedang dengan ilmu pedang Pat-mo Kiam-hoat yang gerakan­nya liar dan ganas, sesuai dengan nama­nya Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis). Hebat bukan main ilmu pedang peninggalan Mutiara Hitam ini, akan tetapi masih belum dapat mendesak Han Han.

Pemuda ini pun merasa jengah dan malu kalau mengalah lagi. Biarpun dia masih tidak mau menggunakan pukulan maut, namun sambil memainkan tongkat­nya, ia masih menggunakan tangan kiri­nya, didorongkan ke depan dari samping atau dari bawah, sehingga hawa yang amat kuat menyambar keluar dari telapak tangannya, kadang-kadang ia meng­gunakan tenaga hawa panas, kadang-kadang hawa dingin, akan tetapi selalu ia memukul ke arah pangkal bahu, lengan, atau paha. Namun betapa kagumnya ke­tika dara itu tak sempat mengelak lagi, dara itu pun dapat menangkis dengan kibasan tangan kirinya yang mengeluar­kan hawa sin-kang yang hampir sama kuatnya sehingga hawa pukulannya me­nyeleweng!

Sampai habis semua jurus-jurus dari Pat-mo Kiam-hoat dimainkan Nirahai, namun keadaannya tetap terdesak oleh tongkat Han Han. Gadis ini memang hendak menguji, maka ia lalu mengeluar­kan bentakan halus dan tiba-tiba ilmu pedangnya berubah sama sekali, berbeda seperti bumi dengan langit kalau diban­dingkan dengan yang tadi. Kalau pedang payungnya tadi bergerak seperti iblis-iblis mengamuk, ganas dan liar, kini gerakannya halus teratur rapi, kelihatan­nya lambat namun sesungguhnya cepat, kelihatan lemah namun sesungguhnya menyembunyikan kekuatan dahsyat sehingga setiap kali pedang payung itu bergerak, terdengar suara bercuitan panjang! Inilah Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang dahulu dicipta sebagai lawan dari Pat-mo Kiam-hoat dan tentu saja lebih kuat dan dahsyat daripada ilmu pedang yang pertama, dan Han Han kagum bukan main karena segera ia terdesak hebat! Namun ia juga mengerahkan seluruh ke­pandaiannya, terutama sekali mengandal­kan gerak kilatnya sehingga dalam kecepatan ia selalu mengetahui dan selalu dapat mengelak atau menangkis sambil membalas dengan hebat sehingga perlahan-lahan ia dapat mengurangi desakan lawan, bahkan setelah lewat seratus jurus lebih, dia kembali telah mendesak puteri itu sehingga perbandingan serangan men­jadi tiga dua yaitu dia menyerang tiga kali hanya dapat dibalas dua kali oleh Nirahai.

Kembali dua ratus jurus telah lewat dan pertandingan sudah berjalan kurang lebih empat jam! Sinar bulan makin me­nyuram tanpa terasa dan tahu-tahu ke­adaan telah menjadi gelap karena bulan sudah lenyap di balik puncak. Tiba-tiba Han Han meloncat ke belakang dan meng­hentikan serangannya.

“Cuaca begini gelap, sebaiknya kita menghentikan pertandingan,” katanya.

“Sambut seranganku!” Nirahai yang kini hanya mengandalkan ketajaman te­linganya sudah menerjang dengan luncur­an ujung pedang payungnya.

“Cringgg....!” Han Han menangkis dan kembali pemuda itu meloncat, meng­gunakan gerak kilat sehingga loncatannya tidak menimbulkan suara dan puteri itu menjadi bingung karena tidak tahu ke mana Han Han menyingkir, sedangkan untuk menggunakan mata sudah tak mung­kin lagi saking gelapnya cuaca yang ke­hilangan sinar bulan sedangkan matahari masih terlalu pagi untuk dapat meng­gantikan kedudukan bulan.

“Hemmm, Suma Han! Di mana eng­kau? Apakah engkau melarikan diri?” Terpaksa Nirahai bertanya, siap dengan pedang payungnya karena begitu Han Han menjawab, dia akan dapat menyerangnya.

Sunyi tiada jawaban.

“Suma Han, apakah engkau seorang pengecut?” Nirahai bertanya lagi, gemas karena merasa dipermainkan. Dia tidak percaya bahwa pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa itu melarikan diri.

“Jangan menyerang dulu! Dalam keadaan gelap seperti ini, bagaimana bisa dilakukan pibu secara jujur dan adil? Kita tunggu sampai pagi dan kita boleh melanjutkan pertandingan. Pula, aku lelah sekali, ingin mengaso!”

“Kita masih mempunyai telinga! Awas serangan!” Nirahai meloncat ke depan dan menusukkan senjatanya ke arah da­tangtiya suara tadi.

“Trakkk!” Nirahai terkejut karena senjatanya menusuk sebuah batu besar. Kiranya pemuda itu bersembunyi di balik batu besar!

Han Han menahan ketawanya dan berkata, “Nirahai, mengapa engkau seper­ti haus akan darahku? Aku memiliki gerakan kilat yang jika kupergunakan dalam gelap ini, aku akan mudah me­nyerangmu dari belakang tanpa kauketahui. Akan tetapi aku bukan seorang pengecut curang yang hendak menggunakan kelebihan ini untuk mencapai ke­menangan dalam gelap. Kita menanti sampai pagi, kalau tidak mau, terpaksa aku akan pergi saja, tidak mau melayani engkau yang haus darah!”

Nirahai penasaran dan marah sekali, tetapi ia tahu bahwa ucapan pemuda itu memang ada benarnya. Ia menghela napas dan segera duduk bersila di atas rumput, menjawab lirih, “Aku akan menanti sampai sinar matahari pagi me­nerangi cuaca.”

Han Han menjadi lega hatinya. Bertanding melawan seorang yang sakti se­perti dara itu di dalam gelap, benar-benar amat berbahaya dan kalau dia menghendaki kemenangan, agaknya dia harus terpaksa merobohkan dara itu yang mungkin akan tewas. Padahal dia sama sekali tidak menghendaki terjadinya hal itu. Sama sekali tidak. Setelah empat ratus jurus lebih bertanding melawan gadis ini, dia merasa makin tertarik, makin kagum dan menaruh hati sayang. Maka ia pun lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaganya dan mengatur pernapasannya.

Setelah berhenti bertanding, berhenti menggerakkan tubuh, baru terasa oleh Nirahai betapa lelahnya dia dan betapa dinginnya hawa udara menjelang pagi itu. Dia ingin mengaso dan memulihkan te­naga, maka tidak mau menggunakan te­naga sin-kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi, dengan demikian ia men­derita oleh hawa dingin sehingga mulut­nya menggigil dan kedua baris giginya saling beradu.

Han Han adalah seorang yang telah tinggal selama bertahun-tahun di Pulau Es, bahkan melatih sin-kang di sana, ma­ka tentu saja hawa dingin di puncak Bukit Cengger Ayam ini baginya sama sekali tidak terasa dingin. Dia boleh me­ngaso dan memulihkan tenaga dengan tenang, sama sekali tidak menderita hawa dingin. Akan tetapi telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menang­kap suara gigi dara itu yang saling ber­adu karena menggigil maka timbullah rasa iba di hatinya. Tanpa bicara sesuatu ia lalu pergi mencari kayu, membuat api unggun di dekat Nirahai. Semua ini ia lakukan tanpa bicara karena ia tahu bahwa seorang dengan hati sekeras itu tentu akan tersinggung kalau ia membuka mulut. Ia membuat api unggun, seolah-­olah dia sendiri yang membutuhkannya, akan tetapi setelah api unggun itu menyala besar, ia lalu pergi menjauh dan duduk di bawah sebatang pohon, menanti datangnya pagi.

Nirahai menjadi gelisah dan tak dapat bersamadhi sebagaimana mestinya. Jan­tungnya berdebar-debar keras. Pemuda yang hebat sekali, kepandaiannya benar-­benar luar biasa dan sukar dicari kedua­nya. Dan hatinya begitu mulia. Kalau keadaan tidak segelap itu, tentu ia akan menyembunyikan mukanya yang terasa panas dan tentu merah sekali ketika Han Han membuat api ungggun. Betapa bijaksana pemuda itu yang tidak mau mengeluarkan suara, namun dia bukan orang bodoh yang tidak mengerti betapa pemuda itu sengaja menbuat api unggun untuk dia! Pemuda itu tahu bahwa dia menderita kedinginan maka membuatkan api unggun sehingga kini tubuhnya terasa hangat dan dia ti­dak terganggu hawa dingin sehingga da­pat mengaso dan memulihkan tenaga dengan bersamadhi. Akan tetapi, kini bukan hawa dingin yang mengganggunya, melainkan hatinya yang berdebar keras!

Sinar matahari pagi mulai bercahaya kemerahan, perlahan-lahan akan tetapi pasti sinar itu makin menjadi terang dan mulai mengusir kabut tebal yang menye­limuti puncak bukit kecil itu. Kabut lari membawa serta hawa dingin sehingga permukaan puncak bermandi cahaya ma­tahari dan bumi mengeluarkan hawa yang hangat seolah-olah menyambut dengan hangat mesra kedatangan sinar matahari. Rumput-rumput hijau tegak semua, kehijauan dengan ujung terhias mutiara air embun, seperti perawan-perawan jelita yang muda dan segar sehabis mandi pagi.

“Suma Han, mari kita lanjutkan per­tandingan!”

Han Han membuka kedua matanya, sejenak ia mengagumi keindahan cahaya matahari bercumbu dengan daun-daun pohon dan rumput-rumput, kemudian ia menoleh dan memandang kepada Puteri Nirahai yang sudah berdiri tegak dengan pedang payung di tangan. Biarpun hampir semalam bertanding dan sama sekali tidak tidur, dara itu tidak tampak lesu atau kusut, bahkan wajahnva segar ke­merahan, hanya rambutnya yang sedikit terurai kusut namun malah menambah kecantikannya yang aseli.

“Suma Han, aku sudah siap! Mari kita lanjutkan!” Nirahai menegur lagi ketika melihat pemuda itu hanya bengong me­mandang wajahnya.

Han Han menghela napas panjang, lalu bangkit perlahan bersandar pada tongkatnya. Ia bersungut-sungut dan suaranya membayangkan penyesalan hati­nya, “Ah, sepagi ini enaknya mandi-mandi lalu minum teh panas menyegarkan tubuh! Akan tetapi engkau sudah mendesakku mengajak bertanding. Nirahai, demikian besarkah rasa sukamu akan berkelahi? Tiada bosan-bosannya setelah setengah malam kita bertanding?”

Sepasang alis Nirahai bergerak. “Semalam kita belum selesai bertanding, terhalang kegelapan dan aku pun belum merasa kalah. Mari kita segera melanjut­kan untuk menyelesaikan pibu agar di­ketahui siapa di antara kita yang lebih unggul!”

Han Han mengerti bahwa seorang seperti puteri ini kalau sudah menghen­daki sesuatu pasti akan dikejarnya sampai dapat. Dia harus menyelesaikan pertan­dingan ini, dan dia akan mengalahkan Nirahai untuk menundukkan hati yang keras ini, untuk menundukkan keangkuh­annya.

“Baiklah, Nirahai, kalau demikian ke­hendakmu. Majulah!” Han Han menantang sambil melintangkan tongkatnya di depan dada dan kaki tunggalnya berdiri tegak, sepasang matanya memandang tajam bersinar-sinar.

Ketika tadi bersamadhi, Nirahai me­mutar otaknya. Dia telah mengeluarkan Pat-mo Kiam-hoat, kemudian malah ma­inkan Pat-sian Kiam-hoat, namun kedua ilmu pedangnya yang sukar dicari tan­dingannya itu ternyata tidak mampu mendesak Han Han. Dia sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan seluruh simpanan ilmunya untuk menguji kepan­daian pemuda berkaki satu ini. Maka begitu melihat sikap Han Han, ia lalu membentak nyaring dan kedua tangannya bergerak.

“Sambut jarum-jarumku!”

Han Han melihat berkelebatnya sinar-sinar kecil dan mencium bau yang amat harum. Ia kagum dan terkejut. Jarum-­jarum yang mengeluarkan bau harum ini amat berbahaya, selain cepat seperti menyambarnya kilat, juga bau yang ha­rum itu memabukkan, dapat menyeret perhatian lawan sehingga kurang cepat menyelamatkan diri, dan mencium baunya yang harum, Han Han dapat menduga bahwa tentu senjata-senjata rahasia yang halus dan paling berbahaya, di antara segala senjata rahasia ini tentulah me­ngandung racun. Maka ia pun cepat menggerakkan tubuhnya, mencelat ke sana ­sini. Nirahai terus menggerakkan kedua tangannya, menyambit dengan jarum­-jarumnya ke mana pun bayangan Han Han berkelebat. Dan dara ini benar-benar kagum sekali. Jarum-jarumnya memang ia pergunakan untuk menguji sampai di mana kehebatan gin-kang dari pemuda itu, sampai di mana kecepatan gerak kilat­nya. Dia sendiri tidak mungkin dapat mengimbangi kecepatan itu dengan ge­rakan tubuhnya, maka ia menggunakan jarum-jarumnya. Dan ternyata, jarum­-jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang biasanya sekali lepas tentu mengenai lawan itu, kini tidak ada arti­nya sama sekali terhadap Han Han. Sam­pai habis semua jarumnya disambitkan, tidak sebatang pun mengenai Han Han yang terus berloncatan mengerahkan ilmu­nya Soan-hong-lui-kun! Setelah dara itu tidak menyambit lagi karena jarumnya habis, barulah Han Han meloncat turun di tempat tadi, mukanya biasa saja ha­nya matanya memandang tajam ke arah Nirahai.

Nirahai yang selain merasa kagum juga merasa penasaran sekali, cepat me­nerjang maju dengan pedang payungnya. Han Han sudah siap dengan tongkatnya, mulai ia mengelak ke sana-sini untuk melihat dulu sifat-sifat serangan gadis itu. Apakah akan menggunakan ilmu pe­dang yang telah dimainkan semalam? Akan tetapi ternyata tidak, dan sekali ini permainan pedang payung itu berbeda lagi dengan kedua ilmu pedang yang sudah dimainkan semalam. Jauh lebih aneh dan hebat karena sekarang Nirahai telah membuka payungnya dan mulailah ia mainkan ilmu pedang simpanannya yang paling diandalkan, yaitu Tiat-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Payung Besi) yang merupakan penggabungan dari Ilmu Pe­dang Pat-mo Kiam-hoat dan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat! Payung itu membuka menutup secara tiba-tiba dan terputar merupakan perisai dan menyembunyikan gerakan-gerakan Nirahai. Sehingga datang­nya serangan dengan ujung payung me­runcing itu sama sekali tidak dapat di­duga oleh Han Han. Setelah Nirahai ma­inkan ilmu pedangnya yang aneh ini, Han Han terkejut sekali dan terdesak hebat! Namun ia dapat menghindarkan bahaya dengan loncatan dan gerak kilatnya.

Sambil mengelak ini ia diam-diam memperhatikan dan merasa kagum karena ilmu yang dimainkan dara ini memang luar biasa sekali, kelihatan kacau-balau namun menyembunyikan jurus-jurus yang mengerikan. Itulah penggabungan dua macam ilmu pedang yang sesungguhnya berlawanan sifatnya!

“Kiam-sut yang aneh!” Han Han ber­seru dan kini terpaksa ia mengerahkan tenaga pada kedua lengannya sehingga tongkatnya menggetar mengandung hawa Hwi-yang Sin-ciang dan setiap kali me­nangkis pedang payung, Nirahai merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat dan hampir saja payung itu terlepas dari pegangannya! Ia mengeluarkan suara me­lengking keras dan memperhebat desakannya. Namun, gerakan Han Han ter­lampau cepat baginya, apalagi pada saat pemuda itu hampir terkena serangan, tangkisan tongkat pemuda itu membuat Nirahai terhuyung mundur. Tangkisan dengan pengerahan tenaga yang mujijat itu benar-benar terlampau kuat bagi Puteri ini.

Kembali dua ratus jurus lewat dan dengan ilmu gabungan itu, masih juga Han Han tak dapat dirobohkan oleh Nirahai! Dara itu menjadi marah dan pena­saran sekali, tiba-tiba ia membentak dan pedang payungnya membuat gerakan se­rangan yang amat ganas. Senjatanya itu berubah menjadi gulungan sinar meling­kar-lingkar yang menutupi jalan keluar Han Han karena sudah mengurung di bagian atas, tidak memberi kesempatan bagi Han Han untuk meloncat ke atas, sedangkan tangan kiri dara itu memukul dengan ilmu pukulan maut Sin-coa-kun-hoat (Ilmu Silat Ulat Sakti)! Bukan main ganas dan dahsyatnya ilmu-ilmu itu se­hingga Han Han berseru kaget. Terpaksa ia mengerahkan tenaga pada tongkatnya, menangkis dan dengan tangan kirinya ia mendorong ke arah pukulan lawan.

“Krekkk! Plakkk.... desssss!” Cepat sekali terjadinya. Payung itu patah menjadi dua, telapak tangan kiri mereka bertemu dan.... lambung kiri Han Han dicium ujung sepatu Nirahai yang mengi­rim tendangan kilat.

Han Han mencelat ke belakang, me­nyeringai menahan rasa nyeri karena biarpun ia tidak terluka dalam, ujung sepatu yang runcing itu membuat kulit lambungnya lecet! Di lain fihak, Nirahai dengan muka pucat memandang gagang payungnya.

“Maaf, Nirahai. Aku telah kena kau­tendang, aku mengaku kalah.”

Nirahai memandang dengan mata mendelik, akan tetapi bagi Han Han, dara itu tampak makin menarik, meng­ingatkan ia kepada Lulu kalau sedang ngambek!

“Suma Han, benar bahwa pedang pa­yungku telah patah, akan tetapi aku pun telah berhasil menendangmu, maka ja­ngan kau mentertawakan aku lebih dulu. Aku belum kalah. Mari kita lanjutkan!” Setelah berkata demikian, Nirahai mener­jang maju menyerang Han Han.

“Aiiihhhhh....!” Han Han terkejut ketika melihat sinar kuning emas yang me­nyilaukan mata dan tahu-tahu ada hawa yang mujijat menyambar ke arah dadanya ketika sinar kuning emas itu meluncur dan menusuk dada.

“Tranggggg....!” Ia menangkis dengan tongkatnya dan keduanya terpental mun­dur.

Han Han memandang dengan mata terbelalak. “Aihhh.... itukah senjata keramat Suling Emas?” Ia berseru.

Nirahai tersenyum mengejek, yakin akan keampuhan senjata di tangannya. “Payungku telah kaupatahkan, akan tetapi aku masih memegang suling keramat ini, Suma Han. Hendak kulihat apakah eng­kau akan dapat mengalahkan senjata keramat ini!”

“Ahhh, Nirahai, mengapa engkau menggunakan senjata keramat itu hanya untuk menguji kepandaianku? Kalau sampai aku tewas, hal itu tidaklah amat penting, akan tetapi kalau senjata keramat itu sampai minum darahku, bukankah hal itu patut disesalkan? Bukankah hal itu berarti engkau mengotorkan senjata keramah itu? Marilah kita hentikan, atau kalau dilanjutkan juga, kita menggunakan kedua tangan kosong!”

“Hemmm, kaukira aku sebodoh itu mudah saja kautipu? Engkau mengandalkan sin-kangmu yang amat kuat, kalau kita bertanding dengan tangan kosong, tentu aku yang kalah. Apakah kau takut menghadapi aku yang bersenjata suling emas?”

“Engkau memang nekat! Marilah!” Han Han berkata, jengkel juga melihat desakan dara ini.

“Sambut ini!” Nirahai sudah menerjang cepat dan kini ia mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat dengan suling emas. Terdengar suara aneh seolah-olah suling itu ditiup, tampak sinar gemerlapan menyilaukan mata dan terbentuklah gulungan sinar kuning emas melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di dalam sinar matahari pagi!

Perlu diketahui bahwa Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang dahulu dimiliki pendekar sakti Su­ling Emas, dan memang paling tepat dimainkan dengan senjata keramat ini. Malam tadi Nirahai sudah mainkan Pat-sian Kiam-hoat untuk menyerang Han Han akan tetapi dia tidak berhasil karena dia mainkan ilmu itu dengan pedang payung. Kini setelah ia mainkan ilmu itu dengan suling emas, kehebatannya men­jadi berlipat ganda sehingga kembali untuk kesekian kalinya Han Han terdesak hebat. Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaiannya, mengandalkan kecepatan­nya, akan tetapi ia lebih banyak meng­elak dan menangkis daripada menyerang sehingga setelah lewat seratus jurus, sudah dua kali ia dicium ujung suling, yaitu pada pangkal lengan kirinya dan pada pahanya sehingga baju di bagian itu robek dan kulitnya berdarah. Untung bahwa dia memiliki sin-kang yang amat kuat sehingga ia masih dapat bertahan dan tidak roboh. Rasa penasaran mem­buat dia melakukan perlawanan sekuat­nya. Tadinya memang dia tidak suka mengandalkan sin-kangnya untuk menga­lahkan Nirahai karena ia khawatir kalau-kalau akan mengakibatkan Nirahai terluka parah atau tewas. Akan tetapi kini melihat desakan Nirahai yang seolah-olah hendak bersikeras membunuhnya, mulailah ia melawan.

Ketika sinar kuning emas yang me­nyilaukan matanya itu menyambar ke arah dada, ia cepat menggerakkan tongkat di tangan kirinya untuk menangkis dan terus mengerahkan sin-kang sehingga suling itu melekat pada tongkatnya. Ni­rahai mengeluarkan seruan kaget karena tiba-tiba suling yang dipegangnya itu menjadi panas seperti dibakar, telapak tangannya terasa panas sekali. Maklum­lah ia bahwa pemuda itu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang. Ia mengerahkan sin-­kangnya untuk bertahan sedangkan tangan kirinya ia hantamkan ke perut Han Han dengan ilmu Sin-coa-kun. Akan tetapi Han Han menerima pukulan ini dengan telapak tangan kanannya sambil menge­rahkan hawa sakti Hwi-yang Sin-ciang.

“Plakkk!” Kepaian tangan Nirahai me­nempel pada telapak tangan kanan Han Han dan seketika tubuh dara itu menggigil!

“Lepaskan sulingmu....!” Han Han membentak, suaranya halus karena dia tidak ingin menyinggung perasaan dara itu.

“Tidak!” Nirahai membantah biarpun tangannya yang memegang suling seperti dibakar rasanya dan dari tangan kirinya menjalar hawa dingin yang membuat ia menggigil.

Kedua orang muda itu berdiri seperti arca, saling tidak mau mengalah, akan tetapi juga saling menjaga agar tidak mencelakakan lawan! Kalau Han Han menghendaki, dengan pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya, tentu Nirahai akan roboh dan tewas, akan tetapi dia tidak tega melakukan hal ini. Di lain fihak, Nirahai yang kini sudah merasa yakin benar bahwa dia tidak dapat mengalah­kan Han Han, diam-diam menjadi kagum sekali dan kini ia membuat ujian ter­akhir, yaitu ingin melihat apa yang akan dilakukan Han Han. Akan membunuhnya? Ataukah.... seperti yang dia harapkan, pemuda ini menaruh hati sayang kepada­nya?

“Memalukan!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali ke arah dua orang muda itu. Nirahai dan Han Han tiba-tiba merasa tubuh mereka terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat.

“Subo....!” Nirahai berseru dan menghampiri Nenek Maya, dua titik air mata menetes di pipinya dan mukanya menjadi merah sekali.

“Subo....!” Han Han berlutut di depan Nenek Khu Siauw Bwee.

Akan tetapi kedua orang nenek itu tidak mempedulikan murid mereka, melainkan berdiri tegak saling pandang de­ngan mata yang sukar dilukiskan. Ada rasa haru, rasa sayang, rasa dendam dan penasaran bercampur aduk menjadi satu pada sinar mata kedua orang nenek sakti itu.

“Suci....!” Akhirnya Nenek Khu Siauw Bwee menegur, suaranya halus dan anehnya, ada rasa iba terkandung di dalam suaranya ini.

“Sumoi....! Syukur.... engkau masih hidup....!” Nenek Maya berkata, suaranya dingin sehingga sukar diduga perasaan apa yang tersembunyi di balik kata-kata­nya.

Han Han dan Nirahai hanya memandang dengan hati tegang menyaksikan pertemuan antara kedua orang nenek sakti itu.

“Sumoi, jangan kira bahwa muridmu telah dapat menangkan muridku. Jelas kulihat tadi bahwa Nirahai tidak bersungguh-sungguh, kalau dia bersungguh-sungguh, tentu dia sudah dapat membunuh muridmu!”

Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum dan dengan suara tenang menjawab, “Suci, tidak terbalikkah wawasanmu itu? Kulihat, Han Han yang mengalah tadi!”

“Tidak bisa. Muridku masih lebih lihai daripada muridmu!” bentak Nenek Maya tidak mau kalah.

Nenek Khu Siauw Bwee yang jelas memiliki watak lebih sabar dan halus, menoleh ke arah Han Han dan bertanya, suaranya keren, “Han Han, mengapa eng­kau tadi tidak menggunakan seluruh te­nagamu di saat terakhir? Mengapa eng­kau mengalah?”

Han Han tidak mau menyinggung hati Nirahai, maka sambil menundukkan muka ia berkata, “Dia terlampau sakti, subo. Teecu memang kalah.”

Wajah Nirahai menjadi makin merah mendengar ini dan ia pun menunduk, tidak berani menentang pandang mata Han Han.

“Nirahai, ketika kalian berdua berdiri mengadu tenaga tadi, ada kesempatan baik bagimu. Sekali menendang dengan tendangan sakti ke arah bawah pusarnya, bukankah lawanmu akan kehilangan nya­wanya? Mengapa engkau mengalah?” Nenek Maya menegur muridnya pula, suaranya galak.

“Maaf, subo. Teecu.... teecu tidak mampu mengalahkannya. Dia terlalu lihai dan teecu memang kalah!”

Han Han mengangkat muka. Nirahai mengangkat muka. Dua pasang sinar mata bertemu pandang, sejenak bertaut, penuh perasaan dan seolah-olah dalam persilangan sinar mata itu terjadi pen­curahan seribu kata-kata yang tak ter­ucapkan, membuat keduanya segera me­nunduk kembali dengan jantung berdebar.

“Hemmm.... bocah-bocah ini saling mengalah, mana bisa diukur siapa di antara ilmu kita yang lebih tinggi? Su­moi, marilah kita lanjutkan sendiri!”

Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum mengejek. “Kita lanjutkan pertandingan puluhan tahun yang lalu, suci? Baiklah, tapi ingat, sekarang aku tidak akan suka mengalah lagi kepadamu, suci.”

Nenek Maya tertawa dan Han Han harus mengakui bahwa biarpun usianya sudah amat tua, akan tetapi ketika ter­tawa nenek itu masih mempunyai daya tarik yang luar biasa! “Sumoi, sekarang pun engkau masih takkan dapat mengalah­kan aku!”

“Bagus! Kaukira setelah kakiku buntung satu, engkau dapat memandang rendah kepadaku?” Nenek Khu Siauw Bwee berkata marah.

“Majulah, Khu Siauw Bwee!”

Nenek Khu Siauw Bwee mengeluarkan suara bentakan halus dan tubuhnya lalu lenyap karena dia sudah mencelat cepat sekali, gerakannya lebih cepat dari Han Han dan bagaikan kilat menyambar, dia sudah menyerang Nenek Maya. Akan tetapi Nenek Maya sudah menggerakkan kedua tangan ke atas dan menyambut serangan sumoinya. Dua lengan ber­temu dan Nenek Khu Siauw Bwee men­celat ke atas lagi, terus menyambar-nyambar dari atas dengan hebatnya. Di lain fihak, Nenek Maya yang sudah siap menciptakan ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu nenek kaki tunggal ini, tetap berdiri tegak, hanya memutar tu­buh menghadapi ke arah menyambarnya tubuh sumoinya dan selalu dapat me­nangkis sambil balas memukul. Pertan­dingan hebat sekali terjadi.

Han Han dan Nirahai yang masih berlutut memandang bengong. Cemas sekali hati mereka, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri urusan antara guru-guru mereka yang masih ada hu­bungan dekat itu, suci dan sumoi! Mere­ka melihat pertandingan yang lebih he­bat daripada pertandingan mereka tadi. Melihat betapa tubuh Nenek Khu Siauw Swee menyambar-nyambar seperti seekor burung garuda, sedangkan Nenek Maya ­tegak seperti seekor harimau yang siap mencakar di saat sang garuda menyambar ke bawah.

Tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee yang masih berjungkir-balik di udara cepat sekali itu mengeluarkan lengking nyaring, tubuhnya menerjang dan menukik ke bawah, tangan kirinya mencengkeram ke ubun-ubun Nenek Maya. Nenek Maya menangkap tangan sumoinya itu dan tangan kedua orang nenek yang tidak sa­ling mencengkeram itu bergerak cepat memukul.

“Plak! Plak!”

“Celaka....!” Han Han dan Nirahai berseru hampir berbareng dan dengan muka pucat mereka berdua memandang betapa guru masing-masing terhuyung ke belakang dan muntah darah lalu roboh terguling. Akan tetapi keduanya dapat merangkak bangun, saling pandang dan tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee berkata lemah.

“Suci, engkau memang hebat!”

“Sumoi, engkau lihai! Pukulanmu mendatangkan maut....!”

“Aku pun takkan dapat hidup lagi, suci. Pukulanmu meremukkan isi dada....”

“Ah, sumoi.... Siauw Bwee.... aku telah berdosa besar padamu. Kasihan sekali engkau, sumoi.... puluhan tahun hidup menderita karena senelah kakimu kubikin buntung.... kaumaafkan aku sumoi....”

“Tidak, Suci Maya.... akulah yang menaruh kasihan kepadamu.... penderitaanku hanya penderitaan lahir, akan tetapi kau.... ah, suheng ternyata mencinta aku seorang dan kau.... kau menderita batin yang hebat....”

“Sumoi....!”

“Suci....!”

Kedua orang nenek itu merangkul saling menghampiri, lalu saling rangkul sambil menangis!

Han Han memandang dengan muka pucat, sedangkan Nirahai memandang dengan air mata bercucuran. Terharu hati Han Han melihat puteri itu menangis. Tadinya, sukar baginya membayangkan Puteri seangkuh dan sekeras itu hatinya mengucurkan air mata!

Setelah bertangis-tangisan dalam menghadapi maut itu, Khu Siauw Bwee berkata, “Suci, apakah engkau melihat apa yang kulihat?”

“Maksudmu?”

“Murid-murid kita....!” Khu Siauw Bwee berkata.

Maya tersenyum menyeringai menahan rasa sakit di dadanya oleh tamparan tangan sumoinya di punggungnya tadi. Ia mengangguk.

Khu Siauw Bwee menekan dadanya yang tadi terpukul sucinya. “Suci...., kita sudah saling memaafkan.... biarlah kita akhiri pertentangan ini dengan persatuan. Aku mewakili muridku, suci.... mengajukan lamaran kepadamu agar muridmu menjadi jodoh muridku....”

Nenek Maya tertawa terkekeh-kekeh girang akan tetapi ia berhenti tertawa karena dadanya menjadi makin sesak. “Baik.... kuterima pinanganmu.... hi-hi-hik, bagus sekali, memang pantas.... Nirahai menjadi isteri Suma Han....! Eh, sumoi, sayang kita tak dapat menyaksikan....”

“Han Han, engkau mendengar sendiri suci telah menerima pinanganku. Engkau tentu suka menjadi suami Nirahai, bu­kan?”

Jantung Han Han memukul keras, seolah-olah akan pecah dadanya. Ia me­noleh ke arah Nirahai yang mukanya juga menjadi pucat. “Subo, teecu.... teecu mana berharga untuk....?”

“Jangan bicara tentang berharga atau tidak. Pendeknya, engkau mau atau ti­dak? Jawab!” Nenek Khu Siauw Bwee berkata sambil menekan dadanya.

Han Han mengangguk dan tidak be­rani melirik ke arah Nirahai. “Tentu saja...., teecu akan merasa bahagia dan terhormat sekali, teecu mau, subo.”

“Hi-hi-hik, itulah jawaban laki-laki! Eh, Nirahai, bagaimana dengan engkau? Maukah engkau menjadi isteri pemuda kaki buntung ini? Engkau pernah mengatakan bahwa engkau hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang dapat mengalahkan engkau. Dan jelas bahwa engkau takkan dapat menangkan Suma Han. Bagaimana?”

Nirahai yang biasanya tabah itu, kini menundukkan mukanya yang menjadi merah kembali, jawabnya lirih, “Teccu.... menurut perintah subo.”

“Eh, bukan jawaban gagah itu! Engkau mau atau tidak? Jawab!” Sikap Nenek Maya persis seperti sikap Nenek Khu Siauw Bwee tadi.

Nirahai menunduk makin dalam. “Teecu.... teecu mau....”

Dua orang nenek itu tertawa, ter­tawa bergelak-gelak sambil saling rang­kul, dengan dua pasang mata tua menge­luarkan air mata.

“Subo....!”

“Subo....!” Seperti berlumba cepat Han Han dan Nirahai sudah menubruk guru masing-masing dan ternyata bahwa dua orang nenek itu telah tewas sambil berpelukan. Mereka dahulu bermusuhan, akan tetapi dalam ambang maut mereka saling peluk dan tertawa, juga menangis!

Nirahai terisak menangis. Han Han berlutut sambil menunduk duka. Setelah reda tangis Nirahai dan gadis itu dengan mata merah menoleh kepadanya, mereka saling pandang dan Han Han berkata halus lirih.

“Lebih baik kita mengubur jenazah mereka. Di mana sebaiknya dimakam­kan?”

Nirahai mengangguk, juga menjawab lirih, “Sebaiknya di sini saja. Tempat ini amat baik, bersih dan sunyi.”

“Tepat sekali. Memang tempat ini amat baik, bahkan merupakan tempat keramat bagi kita.”

Nirahai memandang wajah pemuda itu. “Mengapa begitu?”

“Bukankah tempat ini yang mempertemukan kita, bahkan.... yang menjadi saksi perjodohan kita?”

Nirahai menjadi merah mukanya. Me­reka saling berpandangan, kemudian dara itu berbisik, “Marilah kita menggali tanah untuk makam mereka....”

Han Han meloncat bangun dan pe­muda ini merasakan kegembiraan yang luar biasa sekali, yang membuat tangan­nya terasa ringan ketika ia menggunakan tongkatnya untuk menggali tanah di ba­wah pohon di pinggir padang rumput. Nirahai mengambil pedang payungnya yang sudah patah, lalu menggunakan ujung payung yang runcing itu untuk menggali sebuah lubang di pinggir lubang yang digali Han Han. Mereka berdua seperti berlumba dan Han Han sengaja mengurangi tenaganya sehingga lubang yang dua buah itu selesai digali dalam waktu berbareng. Karena keduanya me­rupakan orang-orang yang memiliki te­naga sakti, dalam waktu pendek saja dua buah lubang yang cukup dalam telah tergali.

Dengan penuh khidmat dan tanpa berbicara, mereka lalu mengubur kedua jenazah itu berdampingan, lalu menutup lubang itu dengan tanah galian. Ketika melakukan ini, Nirahai menangis dan Han Han menghiburnya dengan kata-kata ha­lus. Setelah selesai Han Han mencari dua buah batu besar dan kedua orang muda itu kembali seperti berlumba, mengukir permukaan batu nisan dengan ujung tong­kat dan ujung payung.

Han Han mengukir huruf-huruf yang berbunyi : MAKAM NENEK KHU SIAUW BWEE, SUMOI TERCINTA DARI NENEK MAYA.

Adapun ukiran Nirahai berbunyi se­baliknya: MAKAM NENEK MAYA, SUCI TERCINTA DARI NENEK KHU SIAUW BWEE.

Ukiran Han Han lebih dalam, tanda bahwa tenaganya lebih kuat, akan tetapi ukiran yang dibuat Nirahai lebih halus tulisannya. Kini tanpa bicara kedua orang itu memperbaiki ukiran masing-masing, Nirahai memperhalus ukiran Han Han sebaliknya pemuda itu memperdalam ukiran Nirahai. Setelah selesai, mereka lalu berlutut di depan kedua nisan yang dipasang di depan makam kedua orang nenek sakti itu. Hari telah menjadi malam dan kedua orang itu masih berlutut di depan makam.

Untuk mengusir hawa dingin, Han Han membuat api unggun kemudian duduk menghadapi api unggun, duduk di atas rumput dekat dengan Nirahai. Keduanya merasa canggung, akan tetapi kemudian Han Han menghela napas panjang dan berkata.

“Nirahai, aku merasa seperti mimpi dan masih belum percaya benar bahwa semua ini dapat terjadi. Seorang puteri kaisar seperti engkau, berkedudukan ting­gi dan mulia, cantik jelita, berilmu ting­gi, mau menjadi calon isteri seorang seperti aku.... yang....”

“Ssttttt, jangan lanjutkan, Han Han. Aku yang merasa heran mengapa engkau mau dijodohkan dengan aku?”

Mereka saling pandang dan kini sinar mata mereka saling berusaha menembus dan menjenguk isi hati masing-masing. Sinar api unggun yang bermain di wajah mereka membuat wajah mereka kemerahan dan menyembunyikan warna kedua pipi mereka yang merah sekali.

“Telah lama sekali aku aku jatuh cinta kepadamu, Nirahai. Semenjak aku datang ke Pulau Es....”

“Heee....? Menurut keterangan Lulu, engkau masih kecil, baru berusia belasan tahun ketika kalian datang ke pulau itu....! Betapa mungkin?”

“Benar, dan di sanalah, di dalam Istana Pulau Es itu, pertarna kali aku melihatmu, Nirahai, dan sekaligus hatiku telah terpikat.... dan aku telah jatuh cinta!”

Percakapan itu mengusir rasa cang­gung kedua fihak dan Nirahai tertawa geli.

“Ihhh, kiranya engkau seperti Lulu pula, suka bergurau! Kita baru saling jumpa pertama kali di istana ketika kau datang menyerbu, dan selama hidupku aku tidak pernah datang ke Pulau Es!”

“Memang bukan engkau, Nirahai, me­lainkan sebuah arca yang amat indah buatannya, seolah-olah hidup. Di sana terdapat tiga buah arca, yang sebuah adalah arca Koai-lojin, yang ke dua arca Subo Khu Siauw Bwee dan yang ke tiga adalah arca Subo Maya, yaitu ketika mereka masih muda. Arca Subo Maya itu serupa benar dengan engkau, Nirahai. Karena itu, begitu aku bertemu denganmu, tentu saja bagiku sama halnya de­ngan bertemu orang yang arcanya mem­buat aku tergila-gila itu. Herankah engkau betapa bahagia dan gembiranya rasa hatiku ketika subo menjodohkan aku de­ngan engkau? Serasa kejatuhan bulan purnama....!”

Pada saat itu, bulan purnama mulai muncul dan otomatis Nirahai memandang bulan. Sinar bulan yang kuning emas membuat wajah dara ini tampak nyata dan amat cantik jelita, sehingga Han Han menahan napas saking kagumnya, kemudian ia memberanikan hati meme­gang tangan dara itu yang duduk di sampingnya. “Nirahai.... betapa cantik jelita engkau....”

Tangan Nirahai menggigil, akan tetapi dia tidak melepaskan genggaman Han Han, dan ketika ia menoleh, ia terse­nyum. Wanita manakah yang takkan ber­besar hati penuh kebanggaan kalau di­puji cantik? Apalagi yang memuji adalah seorang pria yang menjadi pilihan hatinya!

“Aku girang sekali mendengar pernyataan isi hatimu, Han Han. Ketahuilah bahwa aku pun merasa beruntung sekali bahwa engkau telah berhasil mengalahkan aku dalam pibu....”

“Engkau tidak kalah! Dan mengapa engkau merasa beruntung kalau kukalahkan?”

“Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata subo tadi. Memang aku telah bersumpah bahwa aku hanya mau menjadi isteri seorang pria yang mampu me­ngalahkann aku. Dan aku semenjak men­dengar obrolan Lulu tentang dirimu, bah­kan bocah nakal itu hendak menjodohkan aku denganmu, semenjak itu, kemudian setelah bertemu, melihatmu dan melihat kegagahanmu, hemmm.... aku akan merasa menyesal sekali andaikata engkau kalah olehku.”

Bukan main besar hati Han Han men­dengar ini dan kegirangan yang meluap membuat ia menarik lengan dara itu. Nirahai seperti lemas tubuhnya dan mem­biarkan kepalanya rebah di dada Han Han. Sejenak mereka berdua tidak ber­gerak, bermandi cahaya bulan yang tersenyum-senyum menyaksikan ulah tingkah dua insan yang mabuk asmara ini. Han Han membelai-belai rambut yang halus dan hitam itu dan Nirahai memejamkan mata, mendengarkan debar jantung di dada Han Han yang baginya seperti bunyi musik yang amat merdu dan indah. Ke­mudian ia membuka matanya, dan meng­angkat pandang matanya ke atas untuk menatap wajah di atasnya itu sehingga sepasang mata itu menjadi lebar sekali dan amat indah seperti mata Lulu!

“Han Han, katakanlah. Mengapa eng­kau jatuh cinta kepada arca subo di waktu muda yang kaukatakan serupa benar dengan aku itu? Mengapa engkau jatuh cinta kepadaku?”

Sampai lama Han Han tidak dapat menjawab, menatap wajah yang tengadah itu seolah-olah hendak mencari jawabnya dari wajah yang jelita itu. Mata itu! Mulut itu! Dan ia teringat akan perasaan­nya di waktu ia memandang arca di dalam Istana Pulau Es, kemudian seperti menemukan jawabannya, lalu berkata girang.

“Aku tahu! Aku tergila-gila kepadamu, Nirahai, karena pertama-tama karena matamu!”

Nirahai terkekeh dan mendekap mu­lutnya sendiri dengan tangan, matanya terbelalak lebar, “Karena mataku? Hi-hik! Mataku kenapa?”

“Matamu begini indah.... seperti sepasang bintang di langit.... kulihat laut yang bening dalam di situ, menghanyut­kan....” jawab Han Han sambil meman­dang sepasang mata yang amat indah itu, seperti mata Lulu!

“Ihhh, seperti laut yang menghanyut­kan? Mengerikan!”

“Tidak! Sama sekali tidak! Aku akan rela dan bahagia sekali kalau mati ha­nyut di situ, tenggelam dalam lautan kenikmatan yang membayang di dalam matamu. Matamu seperti.... seperti.... bulan kembar....!”

“Hi-hik, kau aneh....” Nirahai memejamkan matanya sehingga “bulan kem­bar” itu bersembunyi di balik pelupuk dan dilindungi bulu mata yang kini men­jadi tebal dan panjang, mendatangkan bayangan-bayangan menggairahkan di atas pipi, membuat Han Han makin terpesona. Kalau terbuka mata itu mempesona, kalau tertutup malah menggairahkan. Bukan main!

“Kau bilang tadi, pertama-tama karena mataku. Adakah yang ke dua?” tanya Nirahai tanpa membuka matanya.

“Memang ada, dan aku tidak tahu yang mana yang lebih menarik dan membuat aku tergila-gila. Yang ke dua adalah.... mulutmu, Nirahai!”

Mata itu terbuka kembali, terbelalak dan mengandung senyum terheran-heran.

“Mulutku....? Ada apa dengan mulutku....?” suaranya penuh dengan hati yang riang gembira, bangga dan juga geli dan heran.

“Mulutmu.... bibirmu....” Han Han berbisik dan suaranya gemetar, pandang matanya tak pernah dapat melepaskan sepasang bibir yang lunak halus kemerah­an itu, yang kini bergerak-gerak seperti menggigil seolah-olah bisikan Han Han merupakan penggeli yang membuat bibir itu tak dapat diam, “entah mengapa, Nirahai.... melihat mulutmu.... bagiku seolah-olah ketika aku kelaparan dahulu melibat buah apel yang masak....! Aku.... aku....” Han Han tidak melanjutkan kata-katanya karena desakan rasa kasih bercampur berahi membuat ia tak kuasa menahan hasrat hatinya, membuat ia seperti tak sadar lagi menunduk, men­cium bibir itu, mencium mata itu, lalu mencium bibir kembali, sepenuh rasa kasihnya, semesra-mesranya!

Mula-mula Nirahai tersentak seolah-olah tubuhnya menjadi kaku menegang, kemudian ia menjadi lemas, naik sedu-sedan dari rongga dadanya dan seperti dalam mimpi ia pun tidak sadar bahwa dia telah membalas ciuman pemuda yang sudah menjatuhkan cinta kasihnya itu. Sampai lama mereka saling mendekap berciuman, lupa akan segala. Kemudian, kesadaran datang memasuki pikiran mereka, hampir berbareng dan kedua orang muda yang sejak kecil sudah tergembleng batinnya ini segera sadar dan dapat me­nguasai rangsangan hati masing-masing lalu menghentikan ciuman dan Nirahai terlena di atas dada yang bidang itu, kedua matanya terpejam, dua titik air mata membasahi bulu matanya yang panjang.

“Ahhh, maafkan aku....!” Han Han berbisik, sekuatnya menahan gelora hatinya yang membuat seluruh tubuh terasa panas menggigil.

“Bukan.... bukan salahmu, Han Han....” Nirahai berbisik dan keduanya terdiam sampai berjam-jam. Han Han yang tiada bosannya menatap wajah di atas dadanya itu mengira Nirahai tertidur maka dia pun tidak bergerak, bersandar pada ba­tang pohon tidak mau mengganggu ke­kasihnya yang disangkanya pulas. Akan tetapi tiba-tiba Nirahai membuka mata. Mereka berpandangan dan keduanya ter­senyum, merasa lega bahwa masing-masing dapat menguasai gelora hati se­hingga tidak sampai terjadi yang lebih daripada yang telah mereka lakukan da­lam keadaan mabuk dibuai gelora hati muda.

“Nirahai, kekasih pujaan hatiku.... terima kasih....”

Nirahai bangkit dan duduk bersila. Mereka berhadapan, kedua tangan mereka saling berpegangan. “Mengapa, Han Han? Mengapa berterima kasih?”

“Engkau seperti membangkitkan kem­bali aku dari timbunan duka nestapa, seperti hawa murni yang mengembalikan semua kelelahan hidupku, memberi makan kepada jiwa yang kelaparan, seperti te­tesan embun segar pada tunas melayu di bumi mengering.... engkau yang begini cantik jelita sudi menyambut cintaku. Nirahai, katakanlah, mengapa engkau yang begini mulia bisa jatuh cinta kepada seorang seperti aku yang bunt....”

Nirahai cepat menggerakkan tangan­nya dan jari tangan yang halus kecil meruncing itu menutup bibir Han Han, mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya.

“Aku cinta padamu karena engkau memang tampan dan gagah perkasa, ter­utama sekali karena engkau dapat mengalahkan aku, dan karena engkau adalah seorang laki-laki yang rendah hati, seder­hana, akan tetapi memiliki harga diri yang tinggi, engkau kuat, engkau tahan menderita, engkau tidak pendendam, engkau pandai mengalah dan sabar.”

“Terima kasih, Nirahai. Terima kasih!” Han Han memeluknya dan memberi se­buah ciuman lembut di dahi Nirahai.

Sentuhan cluman ini terasa menyentuh jantung, tidak merangsang seperti tadi, akan tetapi terasa demikian lembut dan mendalam seolah-olah dua hati mereka melekat menjadi satu.

Malam terlewat amat cepat bagi kedua orang yang sedang berbahagia ini. Tahu-tahu pagi telah tiba. Nirahai bang­kit melepaskan diri dari pelukan Han Han. Sambil tersenyum seperti sang ma­tahari pagi sendiri dia berkata.

“Han Han, sekarang aku harus me­ninggalkanmu, kalau tidak tentu akan ada pasukan yang mencariku, khawatir kalau-kalau aku tewas dalam pibu melawanmu.”

“Engkau dan aku tidak tewas dalam pibu, akan tetapi sama-sama jatuh, jatuh cinta!” Han Han menggoda.

“Wah, entah Lulu yang mencontohmu ataukah engkau yang ketularan!” Nirahai berkata sambil membantu Han Han bang­kit berdiri. Akan tetapi ia segera ber­kata dengan sungguh-sungguh, “Aku ha­rus menyelesaikan tugasku lebih dulu, kemudian aku akan pulang ke kota raja. Urusan jodoh di antara kita yang ditetapkan oleh kedua orang guru dan sudah kita setujui, tak mungkin dapat dilaksa­nakan tanpa pengetahuan Ayahanda Kaisar. Aku akan menyampaikan urusan kita ini kepada Kaisar. Maka engkau pergilah ke kota raja dalam waktu sebulan ini, menyusulku ke sana.”

Kekhawatiran muncul di hati Han Han. Semalam ia lupa sama sekali bahwa dara jelita yang dipeluknya, yang diang­gapnya sebagai calon jodohnya, calon isterinya, adalah puteri kaisar! Maka kini, ia melihat nama kaisar sebagai sebuah jurang yang amat lebar, yang mengancam putusnya ikatan di antara mereka.

“Nirahai....!” katanya, suaranya gemetar penuh kegelisahan. “Bagaimana.... kalau.... kalau Kaisar menolak?”

Nirahai menggeleng kepala. “Jangan khawatir, jasaku sudah terlalu banyak dan tentu Ayahanda Kaisar tidak akan menghalangi. Andaikata demikian pun, di dalam hatiku engkau adalah suamiku dan tak seorang pun di dunia ini akan dapat menghalangiku!”

“Nirahai....!” Han Han memeluknya dan sejenak mereka berpelukan.

Akhirnya Nirahai melepaskan dirinya. Setelah mengusap dagu Han Han dengan kedua tangannya, ia berkata, “Sudahlah, Han Han. Aku pergi dan kunanti engkau di istana. Sebulan lagi kita bertemu kem­bali!” Setelah berkata demikian, dara itu meloncat jauh akan tetapi sebelum lari, ia membalikkan tubuh, melambaikan ta­ngan dan tersenyum manis sekali.

Han Han berdiri seperti arca, ter­pesona dan memandang dara itu berlari sampai lenyap dari pandang matanya. Hatinya penuh rasa suka, penuh harap, akan tetapi juga penuh kekhawatiran. Dia akan menjadi suami Puteri Nirahai! Dia akan menjadi putera mantu Kaisar Man­cu! Siapa dapat percaya? Ia merasa se­perti dalam mimpi dan tak terasa lagi ia berloncatan mengejar Nirahai! Setelah tampak olehnya bayangan Nirahai yang sudah jauh, barulah ia merasa yakin bah­wa dia tidaklah mimpi. Semua peristiwa tadi malam adalah kenyataan, bukan mimpi! Dan masih ada buktinya lagi, yaitu dua buah makam. Dia harus melihat lagi kedua makam itu untuk me­yakinkan hatinya bahwa dia tidaklah mimpi.

Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh hendak kembali ke makam, ia terbelalak kaget dan heran melihat se­orang kakek tua renta berdiri seperti arca, tegak dengan kedua tangan ber­sedakap, kepala menunduk, di depan dua makam baru itu! Kakek itu sudah tua sekali, rambutnya yang riap-riapan, jeng­gotnya yang panjang, kumisnya yang menjuntai ke bawah, alisnya yang pan­jang sampai ke pipi telah putih semua, tidak ada yang hitam selembar pun. Akan tetapi, kakek tua renta ini tubuhnya masih tegak, tinggi besar dan nampak sehat kuat. Pakaiannya hitam dari kain kasar dengan potongan sederhana sekali, lengan baju pendek di atas siku, kaki celana pendek di bawah lutut dan kedua kakinya telanjang. Kulit lengan dan kaki­nya putih bersih dan tidak tampak keri­put!

Tiba-tiba kakek itu menoleh ke arah Han Han dan pemuda yang tadinya berniat menghampiri kakek itu tersentak kaget dan terpukau di tempatnya. Sinar mata kakek itu mencorong seperti mata harimau di waktu malam dan mengan­dung pengaruh mujijat yang membuat Han Han merasa kakinya seperti lum­puh! Akan tetapi kakek itu segera mem­balikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari depan makam, tidak menengok lagi kepada Han Han.

“Locianpwe, harap berhenti dulu....!” Han Han berteriak dan meloncat melaku­kan pengejaran. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mempedulikan, menengok pun tidak dan terus melangkah maju dengan enaknya, akan tetapi, ternyata demikian cepatnya sehingga Han Han yang berloncatan itu tidak mampu mengejarnya!

“Locianpwe, tunggu....!” Han Han berteriak lagi dan kini ia mengerahkan gin-kangnya, mempergunakan ilmunya berlari cepat berdasarkan Ilmu Soan-hong-lui-kun sehingga tubuhnya seolah-olah terbang, berloncatan dengan kecepatan laksana kilat menyambar. Akan tetapi mengejar sampai hari menjadi sore dan akhirnya kakek itu lenyap di antara ba­ngunan-bangunan mungil di dekat sebuah telaga! Timbul keinginan hati Han Han untuk menyelidiki siapa gerangan kakek yang memiliki kepandaian luar biasa itu, maka dia lalu menghampiri dua buah bangunan kecil yang berdiri di kanan kiri telaga.

Hari telah senja dan suasana di sekitar telaga itu sunyi bukan main. Han Han menghampiri bangunan dan ternyata bangunan itu kosong. Ia menyelinap ke samping bangunan, berloncatan perlahan dibantu tongkat yang ia pegang dengan tangan kiri dan ketika ia tiba di pinggir telaga, ia berdiri tertegun melihat kakek yang tadi dikejar-kejarnya itu sedang duduk menongkrong (berjongkok) di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, ta­ngan kiri memegang lutut, tangan kanan memegang sebatang tangkai pancing dan matanya termenung memandang ke air telaga. Kakek itu ternyata sedang enak-enak memancing!

“Locianpwe....!” Han Han memanggil. Sungguh aneh sekali, kakek itu tetap berjalan seenaknya, kelihatan perlahan saja, dengan tubuh tegak dan kedua kaki melangkah panjang-panjang, akan tetapi jarak antara dia dan Han Han tidak pernah berubah, masih sejauh tadi.

Han Han merasa seolah-olah dalam mimpi. Ia tidak percaya akan penglihat­annya sendiri. Masa dia tidak mampu mengejar kakek yang hanya berjalan biasa itu? Kalau kakek itu berlari cepat, dia masih tidak penasaran. Akan tetapi kakek itu hanya berjalan biasa, namun tetap saja ia tidak mampu menyusul!

“Locianpwe, teecu hendak bicara, harap suka menunggu dulu!” Untuk ketiga kalinya Han Han berseru keras. Kakek itu menengok sekali lalu berkelebat ce­pat bukan main, sebentar saja sudah amat jauh dan hanya tampak sebuah titik hitam!

Han Han terkejut. Maklumlah ia bah­wa kakek itu adalah seorang yang me­miliki kesaktian luar biasa. Dia menge­jar terus ke arah titik hitam yang masih tampak bergerak maju. Sehari penuh ia sambil berloncatan mendekat.

Kakek itu menengok dan kembali Han Han terkejut ketika bertemu pandang dengan mata kakek itu. Kakek itu pun menatap wajah Han Han dengan tajam, penuh selidik, kemudian berkata dengan ramah dan wajahnya yang membayangkan ketenangan dan kesabaran luar biasa itu berseri, “Orang muda, mengapa engkau mengejar-ngejar aku?”

Han Han berdiri dengan penuh hormat di dekat kakek itu, mengamati wajah itu yang seperti pernah dikenalnya. Kemudi­an dengan sikap hormat dan suara halus ia berkata.

“Teecu mohon maaf sebanyaknya ka­lau teecu mengganggu locianpwe dan lancang datang ke tempat ini.”

“Tidak mengapa, orang muda. Aku tadi segan menghadapimu karena memang sudah terlalu lama aku mengasingkan diri, menjauhkan diri dari dunia ramai.”

Tiba-tiba Han Han teringat dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Ah, sekarang teecu ingat. Mohon locianpwe memaafkan. Kiranya locianpwe adalah Koai-lojin....!” Han Han berkata dengan seruan girang. “Locian­pwe yang telah menolong teecu ketika teecu hendak dibunuh oleh Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi.... dan.... dan locianpwe adalah Kam Han Ki Locian­pwe atau yang terkenal dengan julukan Koai-lojin, penghuni Pulau Es!”

Kakek itu menarik napas panjang. “Bangunlah, Suma Han, dan duduklah di atas batu ini agar kita dapat bicara dengan leluasa.”

Girang bukan main hati Han Han. Bertemu dengan kakek ini baginya seper­ti bertemu dengan seorang guru besarnya sendiri, seperti bertemu dengan dewa! Ia lalu bangkit berdiri dan duduk di dekat kakek yang sedang memancing itu.

“Dugaanmu memang benar, akulah yang disebut Koai-lojin, dahulu penghuni Pulau Es bersama dua orang sumoiku yang telah kaurawat dan makamkan je­nazahnya secara baik. Aku bersyukur melihat kebaikanmu, Suma Han.” Han Han kagum sekali mendapat kenyataan bahwa kakek ini sudah mengenal namanya, mengenal nama keturunannya. Akan tetapi kakek yang amat sakti ini tentu saja mengetahui segala hal!

“Sungguh berbahagia sekali teecu dapat berjumpa dengan suhu!” Han Han menyebut suhu karena bukankah dia mu­rid Pulau Es, berarti murid kakek ini dan murid kedua orang nenek yang telah te­was?

Kakek itu tersenyum tanpa mengalih­kan pandang matanya dari ujung tali pancing yang tenggelam di permukaan air telaga, kemudian ia mengangguk. “Yah, boleh juga engkau menyebut aku suhu setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Es. Dan aku girang sekali melihat sepak terjangmu selama ini. Eng­kau keturunan keluarga Suma yang ba­nyak melakukan penyelewengan dalam hidup mereka. Dari kakek buyutmu Suma Boan, sampai kakek buyutmu Suma Kiat, dan kakekmu Suma Hoat. Aku gembira melihat sepak terjangmu tidak seperti mereka dan agaknya engkau mewarisi watak yang baik dari kakak nenek buyut­mu, yaitu pendekar sakti Suling Emas. Dan aku girang sekali melihat kakimu yang kiri buntung.”

Di dalam hatinya, Han Han merasa heran dan tercengang mendengar ini, dan ia teringat akan nasihat hwesio tua renta di Siauw-lim-si, Kian Ti Hosiang yang menasihatkan agar dia membuntungi kaki kirinya! Rasa penasaran agaknya ter­bayang di wajahnya karena kakek itu tertawa dan menoleh kepadanya sambil berkata.

“Suma Han. Perlu diketahui agar engkau tidak penasaran. Andaikata tidak terjadi seperti sekarang, andaikata kaki kirimu tidak dibuntung orang, agaknya sekarang ini engkau sudah mati.”

“Ahhhhh....!” Han Han terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, tidak percaya. “Suhu, mohon petunjuk mengapa begitu? Dahulu pernah Kian Ti Hosiang dari Si­auw-lim-si menasihatkan teecu agar tee­cu membuntungi kaki kiri teecu!”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Kian Ti Hosiang kiranya masih berpemandang­an awas, sungguh mengagumkan. Ketahuilah, Suma Han, entah bagaimana asal mulanya aku sendiri tidak tahu, akan tetapi berbareng dengan hawa mujijat yang terpancar keluar dari pandang ma­tamu itu, ada sebuah penyakit yang amat jahat mengeram di dalam tubuhmu, yaitu di kakimu yang kiri. Penyakit itu tim­bul di dalam daging betismu dan me­nanam akar-akarnya pada urat-urat halus dan jalan darahmu. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat membasmi penyakit itu dan jalan satu-satunya hanyalah mem­buntungi kaki yang dihinggapi penyakit itu. Kalau tidak dibuntungi, akar penya­kit itu akan menjalar terus, makin lama makin meluas, dari kdkimu akan naik ke perut, kemudian kalau sudah mencapai jantungmu, darahmu akan habis dihisap­nya dan engkau akan mati. Maka sung­guh untung sekali bahwa kakimu dibun­tungi orang sebelum akar penyakit naik ke perutmu sehingga bersama dengan kakimu yang buntung itu, penyakitnya ikut pula terbuang.”

Han Han bergidik ngeri. Kiranya be­gitukah? Bagaimana timbulnya penyakit itu? Apakah sejak.... sejak ia melihat ibu dan encinya diperkosa orang kemudi­an ia dibanting ke dinding oleh perwira Mancu?

“Terima kasih atas keterangan suhu. Sungguhpun teecu tak dapat mengerti bagaimana dapat terjadi hal yang seaneh itu, akan tetapi teecu percaya dan se­telah kini secara kebetulan Thian mem­beri berkah kepada teecu dapat berjumpa dengan suhu, teecu mohon petunjuk-petunjuk suhu.”

“Hemmm.... petunjuk apalagi yang dapat kuberikan kepadamu? Ilmu kepan­daianmu telah cukup setelah engkau me­nerima warisan Ilmu Song-hong-lui-kun dari Sumoi Khu Siauw Bwee. Hemmm.... dua buah bangunan ini kubuat di sini untuk mereka, kedua orang sumoiku, siapa kira mereka telah mendahuluiku meninggalkan dunia yang keruh oleh per­buatan manusia ini. Tidak ada lagi yang dapat kuberikan kepadamu, Suma Han, hanya obrolan-obrolan kosong yang kira­nya ada gunanya kalau engkau mampu menangkap inti sarinya. Aku sudah bosan akan keramaian dunia, sudah makin ter­himpit perasaanku menyaksikan ulah ma­nusia di dunia ramai. Engkau sudah da­tang ke sini, segala pertanyaanmu akan kujawab. Aku sudah menjauhkan diri dari­pada perbuatan-perbuatan yang hanya akan menambah keruhnya dunia. Aku le­bih senang hidup bebas lepas, menyatu­kan diri dengan alam semesta dan melihat segala kewajaran terjadi demikian indah dan gaibnya, tiada terganggu oleh manusia yang penuh kepalsuan nafsu-nafsunya, semua berjalan lancar seperti gerakan awan, matahari, bulan dan bin­tang.”

Han Han adalah seorang pemuda yang amat peka perasaannya terhadap filsafat, dan dia jujur, kritis dan berani menyata­kan suara hatinya. Mendengar ucapan kakek yang dianggap gurunya sendiri itu, dia lalu berkata.

“Harap suhu maafkan pertanyaan teecu yang lancang. Suhu tadi menyata­kan tidak suka akan ulah manusia yang dipalsukan oleh nafsu, dan suhu lebih senang hidup menyatukan diri dengan alam bebas, akan tetapi.... maaf, suhu, mengapa suhu masih suka memancing ikan? Bukankah perbuatan ini berarti membahayakan kebebasan hidup ikan-ikan di telaga ini?”

“Ha-ha-ha! Bagus sekali! Aku sudah khawatir kalau-kalau engkau hanya tun­duk secara membuta saja, muridku yang baik! Pertanyaanmu itu membuktikan bahwa engkau pandai mempergunakan akal budi dan kesadaranmu sendiri, tidak hanya ikut-ikutan dan tidak menganut pelajaran secara membuta tanpa meng­adakan wawasan dan mempergunakan nalar (logika). Engkau heran melihat aku memegang tangkai pancing? Nah, lihat­lah!” Kakek itu mengangkat tangkai pan­cingnya dan Han Han terbelalak heran. Di ujung tali pancingnya, hanya tali biasa saja yang dipasangi sepotong kerikil!

“Ah, maaf, suhu. Teecu berani menduga yang bukan-bukan, akan tetapi.... apakah gunanya suhu memancing tanpa umpan, melainkan memakai batu? Mengapa suhu.... eh, bermain-main seperti anak kecil?”

“Ha-ha-ha, tepat sekali! Anak-anak kecil yang masih gemar bermain-main itulah manusia-manusia yang wajar dan murni, muridku. Betapa bahagianya kalau seorang kakek-kakek dapat kembali wajar seperti kanak-kanak! Aku memang bermain-main, muridku, bermain dengan apa yang disebut manusia dengan kata-kata nasib, yaitu nasib ikan!”

Han Han tidak mengerti dan meman­dang kakek itu dengan sinar mata penuh pertanyaan. Koai-lojin tertawa lagi dan berkata, “Banyak ikan di telaga ini, akan tetapi kenapa kebetulan ikan ini dan ikan itu yang mendekat pancing dan menyen­tuh batu dengan mulutnya? Kalau pan­cing ini pancing benar-benar, bukankah ikan itu akan terkait pancing dan mati? Aku senang bermain-main dengan ini melihat-lihat dan menduga-duga ikan mana gerangan yang akan berjodoh, menyentuh umpan batu ini, ha-ha!”

Han Han ikut tertawa dan diam-diam ia menggeleng kepala. Betapa aneh se­lera kakek ini dalam mencari kesenangan bermain-main! Apa sih senangnya dengan permainan seperti itu? Namun permainan ini saja sudah membuktikan betapa tajam pandang mata kakek itu sehingga dapat melihat ikan di dalam air. Kalau tidak dapat melihat tentu tidak akan senang, karena tidak melihat ikan yang menyen­tuh umpannya.

“Marilah ikut ke dalam pondok, Suma Han. Perutku sudah lapar, dan engkau tentu suka menemani aku minum sambil bercakap-cakap, bukan?”

Girang hati Han Han, akan tetapi menjadi makin heran melihat sikap kakek ini yang biasa saja, tidak sedikit pun memperiihatkan keanehan seperti orang-orang sakti lainnya. Ia lalu mengikuti kakek itu yang memanggul tangkai pan­cingnya dan berjalan melenggang seenak­nya dengan wajah gembira seperti wa­jah seorang tukang pancing yang mem­perolch banyak hasil!

Ketika memasuki pondok kecil mu­ngil yang berada di sebelah kanan, Han Han melihat makanan sudah tersedia di atas meja yang serba lengkap. Sayur-sayuran dimasak tidak kurang dari lima macam, ada buah-buahan yang masak dan bermacam-macam, bahkan tersedia arak wangi! Pemuda ini makin terheran-heran memandang semua itu.

“Duduklah, Suma Han. Makanan ini aku sendiri yang memasaknya, buah-buah­an itu pun aku sendiri yang mencari di hutan, dan arak ini.... ha-ha, kubeli dari warung arak di dusun sebelah utara. Marilah kita makan nasi ditemani sayur dan minum arak!”

Bagaikan seorang petani tua yang ramah sedang menjamu tamunya, Koai-lojin mengajak Han Han makan bersama, sikapnya biasa saja seperti seorang pe­tani sederhana sungguhpun masakan-masakan itu ternyata enak juga, agak­nya memakai bumbu yang cukup dan araknya pun amat baik!

Han Han tidak berani bertanya lagi dan makan tanpa berkata apa-apa. Se­telah mereka menghabiskan nasi dan sa­yur, makan buah-buahan dan minum arak, kakek itu menarik napas penuh kepuasan lalu berkata.

“Suma Han, mengapa engkau menyimpan keherananmu di dalam hati? Kalau engkau terheran menyaksikan sikap dan perbuatanku, tanyalah. Hanya dengan bertanya orang dapat mengerti, dan ber­tanya adalah senjata seorang yang rendah hati, sedangkan hanya orang rendah hati saja yang akan mendapatkan kemajuan dalam perjalanan hidupnya.”

Kembali Han Han terkejut. Kakek ini kelihatannya biasa sederhana dan wajar tidak membayangkan keanehan dan tidak bersikap sebagai orang sakti, namun mengapa dapat mengetahui isi hatinya?

“Maaf, suhu. Teecu memang amat terheran-heran menyaksikan suhu dan agaknya inilah sebabnya suhu disebut Koai-lojin (Orang Tua Aneh). Suhu meng­asingkan diri dari dunia ramai. Biasanya, seorang pendeta yang mengasingkan diri dari dunia ramai adalah orang-orang yang tekun bertapa, berpuasa atau kalau ma­kan pun seadanya saja, daun dan rumput, minum pun air yang keluar dari sumber, pekerjaannya hanya memuja Tuhan dan bersembahyang demi keselamatan umat manusia. Akan tetapi suhu, maaf.... agaknya suhu masih suka menikmati hidangan yang lezat biarpun tanpa da­ging.”

“Untuk bersembahyang dan memuja Tuhan tidak perlu mencari tempat sunyi karena Tuhan berada di manapun juga dan kekuasaan-Nya bekerja di dalam se­gala benda dan mahluk di seluruh alam. Tidak, Suma Han, aku tidak seperti me­reka yang mencari tempat sunyi meng­asingkan diri untuk memuja Tuhan. Aku meninggalkan dunia ramai, menjauhkan diri daripada manusia lain karena dunia ramai menggoncangkan ketenteraman ha­tiku, membuat aku kecewa dan berduka. Manusia telah menyelimuti diri dengan kepalsuan-kepalsuan yang mereka sebut peradaban, yang pada hakekatnya bagai­kan sebatang pohon tua yang jahat, yang berakar di dalam seluruh kehidupan ma­nusia, yang kembang-kembangnya berupa murka, dengki, iri, dendam dan segala perbuatan jahat, buah-buahnya berupa kesengsaraan, ketakutan dan penderitaan.”

Han Han mendengarkan dengan penuh perhatian dan memandang kakek itu yang mengaso sebentar untuk minum seteguk arak wangi dari cawannya.

“Aku meginggalkan keramaian bukan untuk bersembahyang dan hidup sebagai pendeta atau pertapa, karena bersem­bahyang adalah nyanyian hatiku, dan setiap sembahyang akan terdengar oleh Tuhan biarpun hanya dibisikkan hati di antara kebisingan dan keramian. Aku tidak berpuasa dan menuntut hidup per­tapa karena aku tidak mau menyiksa tu­buh dan perasaan. Tubuh manusia merupakan rumah bagi jiwa, maka adalah kewajibanku untuk memelihara baik-baik rumah yang diberikan oleh Tuhan kepada­ku ini. Aku pun tidak menolak anugerah Tuhan berupa kenikmatan bagi tubuhku, asal saja dapat dipisahkan kenikmatan yang berguna dan yang merusak. Yang merusak tentu takkan kulakukan karena aku segan untuk merusak rumah jiwa­ku.”

Han Han mengangguk-angguk, takjub akan filsafat yang demikian sederhana namun wajar tidak mengkhayalkan yang tinggi-tinggi, sungguh jauh bedanya dengan filsafat-filsafat kuno yang sering dibacanya.

“Manusia sekarang lupa bahwa makan adalah kebutuhan tubuh atau langsung adalah kebutuhan perut karena yang me­nampungnya pertama kali adalah perut. Manusia terlalu mabuk akan kesenangan sehingga untuk makan pun yang diutama­kan adalah kelezatannya, yang mendatang­kan rasa enak pada mulut tanpa mem­pedulikan kegunaannya bagi si perut, lupa bahwa yang enak bagi mulut belum tentu enak bagi perut sehingga terlalu sering terjadi mulut menikmati makanan yang sesungguhnya merupakan racun bagi perut dan tubuh seluruhnya!”

“Suhu, kenikmatan dan kegunaan apakah yang suhu dapat peroleh dari pengasingan diri dari dunia ramai ini?”

“Aku hidup di alam bebas dan menikmati keindahan dan keagungan alam yang sudah tak dapat tampak lagi oleh mata manusia yang hampir buta oleh kesenangan duniawi, melihat cahaya ke­emasan matahari, menikmati keharuman bunga-bunga, mendengarkan dendang merdu anak sungai mengalir dan bisikan-bisikan angin pada daun-daun pohon. Aku mengagumi kekuasaan Tuhan yang tam­pak nyata di mana-mana, dan aku ber­usaha untuk menyatukan diri dengan segala keindahan alam ini, sesuai dengan kekuasaan Tuhan.”

Demikianlah, dengan filsafat yang gamblang, yang tidak berliku-liku, Han Han menerima gemblengan batin dari kakek itu selama belasan hari di pinggir telaga. Pada hari ke lima belas, kakek itu berkata setelah mereka sarapan pagi, “Hari ini kita berpisah, muridku. Aku akan pergi dari tempat ini.”

“Suhu hendak pergi ke manakah dan kapan teecu diperkenankan menghadap suhu lagi?”

Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya. “Entahlah, aku ingin mengikuti jejak angin dan awan! Dan apabila Tuhan menghendaki, tentu kita dapat saling berjumpa lagi.”

Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut. “Suhu, sebelum suhu meninggalkan teecu, teecu mohon petunjuk suhu dan sudilah memberi tambahan ilmu untuk teecu pergunakan dalam tugas teecu membela kebenaran dan keadilan, me­nentang kelaliman dan kejahatan.”

“Ha-ha-ha! Memang amat merdu dan indah bunyinya! Membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan ke­jahatan! Betapa merdu dan indah bunyi­nya, akan tetapi betapa lucu kenyataan­nya, seperti judul adegan panggung se­rombongan badut! Karena itu, kuperingat­kan kepadamu, Suma Han, jangan engkau menjadi seorang di antara badut-badut yang tidak lucu itu. Membela kebenaran dan keadilan siapa? Kebenaran dan ke­adilan untuk siapa? Kalau hanya benar dan adil untukmu sendiri, jangan disebut-sebut lagi karena semua itu palsu! Me­nentang kelaliman dan kejahatan yang mana? Hati-hatilah menentukan ini, Suma Han, dan yang terpenting adalah menga­lahkan kelaliman dan kejahatan yang me­rajalela di dalam hati sendiri, dibangkit­kan oleh nafsu kesenangan pribadi. Yang baik itu belum tentu baik, sedangkan yang buruk juga belum tentu buruk. Dan jangan sekali-kali engkau memandang rendah yang buruk karena sudah jelas bahwa hanya karena adanya buruk maka ada baik, karena ada kedosaan maka manusia mengejar kesucian. Karena ada­nya Neraka maka ada Sorga. Tanpa ada keburukan mana mungkin ada kebaikan? Karena itu, pengejaran kebaik­an itu pertama-tama dicetuskan oleh keburukan! Kepandaianmu sudah cukup, engkau minta ilmu apa lagi? Di samping ilmu-ilmu silatmu yang tinggi, tenaga sin-kangmu yang sukar dilawan, gin-kang­mu yang luar biasa dengan ilmu Soan-hong-lui-kun, engkau masih memiliki kekuatan dahsyat yang mujijat, yang masih terpendam. Tanpa kausadari, mung­kin timbul berbareng dengan penyakitmu yang aneh itu, engkau telah memiliki tenaga i-hun-to-hoat yang amat kuat dan dengan kekuatan batin yang dahsyat ini, siapakah yang akan dapat mengalahkanmu?”

Han Han teringat akan ilmu mujijat yang sering kali timbul dalam dirinya, teringat akan pengalaman-pengalamannya yang lalu di mana tanpa disadarinya ia dapat menundukkan lawan hanya dengan kekuatan kemauannya menguasai kemauan orang lain. Akan tetapi ia pun terkejut mendengar disebutnya ilmu itu, dan teringat pula betapa dahulu ketika ia masih kecil, ia dituduh memiliki ilmu I-hun-to-hoat oleh mendiang Lauw-pangcu. Se­telah ia dewasa dan banyak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw, ia tahu bahwa I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu sihir yang dimiliki oleh Thai Li Lama. Maka ia terkejut dan cepat berkata.

“Suhu, teecu tidak pernah mempelajari I-hun-to-hoat. Bukankah ilmu itu semacam ilmu sihir yang berbahaya dan jahat?”

“Ilmu tetap ilmu, baik atau jahatnya tergantung si pemakai. Akan tetapi me­mang benar bahwa makin tinggi ilmu itu, makin berbahaya karena besarnya ke­gunaan ilmu yang tinggi membuat manu­sia lupa diri dan mempergunakannya untuk mengejar kesenangan pribadi dengan merugikan orang lain. I-hun-to-hoat adalah ilmu untuk menguasai pikiran dan kemauan orang. Engkau sudah memiliki tenaga yang amet kuat, yang timbul se­cara aneh melalui pandang matamu. Ha­nya tinggal kau menguasainya saja, se­hingga mampu mempergunakannya. Aku percaya bahwa engkau akan dapat me­manfaatkan ilmu itu sebaik-baiknya. Ca­ranya hanya melalui siulian dan pemusat­an kekuatan yang kemudian diluncurkan keluar melalui pandang mata dan suara.” Dengan jelas Koai-lojin memberi petun­juk kepada Han Han sampai dua jam lebih. Akhirnya Han Han dapat mengerti jelas dan sebelum pergi, kakek itu ber­pesan.

“Engkau harus berhati-hati benar de­ngan ilmu ini, Suma Han. Dengan ilmu ini, yang kutahu amat kuat berada da­lam dirimu, engkau akan menjadi seorang yang sukar terkalahkan dan dengan ilmu itu engkau dapat melakukan apa saja sehingga akan mudah menyeretmu sendiri ke jurang kehancuran. Selamat tinggal!” Koai-lojin berkelebat pergi meninggalkan muridnya yang masih berlutut.

Hati Han Han menjadi makin kuat karena kepercayaan kepada diri sendiri makin kokoh. Ilmu baru yang dimilikinya membuat ia menjadi makin tenang, akan tetapi juga makin hati-hati mengendali­kan perasaan dan hatinya, karena ia tahu bahwa dengan ilmunya ini ia akan dapat menguasai manusia lain yang tentu saja tidak memiliki kekuatan batin yang amat kuat.

Karena waktu yang dijanjikan oleh Puteri Nirahai tinggal beberapa hari lagi maka Han Han lalu mempergunakan ge­rak kilatnya untuk berloncatan cepat me­ninggalkan tempat itu, menuju ke kota raja. Biarpun ia menghadapi saat yang amat menenangkan, yaitu perjumpaannya kembali dengan puteri itu, namun hatinya tetap diliputi kekhawatiran kalau-kalau akan muncul penghalang besar bagi ke­bahagiaannya bersama Nirahai.



***



Han Han tiba di kota raja tepat pada hari yang dijanjikan, yaitu sebulan se­telah berpisah dengan Nirahai. Pagi hari itu, dengan tenang ia berjalan memasuki kota raja dan langsung ia menuju ke istana. Akan tetapi jauh sebelum ia tiba di pintu gerbang istana, seorang perwira muda tinggi besar memanggilnya.

“Suma-taihiap....!”

Han Han menoleh dan memandang perwira muda itu dengan heran. Dia tidak mengenal perwira itu memanggilnya, karena kini perwira itu dengan lang­kah lebar menghampirinya, menoleh ke kanan kiri dan berkata perlahan.

“Harap taihiap suka mengikuti saya. Ada pesan penting dari Puteri Nirahai untuk taihia!”

Han Han mengangguk dan keningnya berkerut, hatinya tidak enak rasanya ketika ia terpincang-pincang mengikuti perwira itu yang berjalan menuju ke tempat sepi di jembatan sebelah barat. Di tempat sepi ini ia berhenti dan meng­ajak Han Han menyeberangi jembatan. Kemudian ia berkata.

“Saya diberi tugas oleh Sang Puteri untuk menghadang taihiap dan menyerah­kan surat ini. Maaf, saya tidak dapat menemani taihiap lebih lama lagi karena kalau sampai ketahuan, tentu saya akan ditangkap. Dan sebaiknya kalau taihiap lekas keluar dari kota raja karena tai­hiap dianggap sebagai seorang pelarian yang harus ditangkap.” Setelah berkata demikian, perwira muda itu cepat pergi meninggalkan Han Han.

Makin tidak enak rasa hati Han Han, akan tetapi ia menekan perasaannya dan tetap bersikap tenang. Dibukanya sampul surat itu dan dikeluarkannya sehelai ker­tas yang penuh dengan tulisan indah dan halus, tulisan Nirahai yang sudah dikenal­nya ketika mereka bersama mengukir batu nisan untuk makam kedua orang nenek di puncak Bukit Cengger Ayam. Han Han mulai membaca dan kerut di antara alisnya makin mendalam, sinar matanya menjadi tajam berapi memba­yangkan kemarahan. Apakah isi surat kekasihnya itu? Kabar buruk. Terlampau buruk bagi Han Han yang datang dengan hati penuh harapan dan kegembiraan, sungguhpun kabar buruk seperti yang di­bayangkan dari tulisan Nirahai ini me­mang sudah dikhawatirkannya. Di dalam surat itu Nirahai menceritakan betapa kaisar menjadi marah sekali ketika Nira­hai menceritakan tentang perjodohan itu dan mohon ijin. Kaisar marah-marah dan memakinya sebagai anak yang tak tahu malu, mencemarkan nama besar Kerajaan Mancu. Masa puteri Kaisar Mancu yang mulia, puteri yang terkenal sebagai se­orang panglima besar akan menikah de­ngan seorang bekas pemberontak, se­orang yang telah membunuh Ouwyang Seng yang tadinya direncanakan hendak dijadikan suami Nirahai, bahkan seorang yang buntung sebelah kakinya! Kemarahan kaisar amat hebat sehingga kaisar memerintahkan para pengawal untuk menangkap Nirahai dan memasukkan puterinya sendiri itu ke dalam penjara istana!

“Aku ditahan di dalam kamarku sen­diri di istana,” demikian Nirahai menutup suratnya, “dilayani seperti biasa akan tetapi dikurung pasukan pengawal dan tidak boleh keluar dari kamar. Aku bi­ngung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Han Han, aku cinta padamu akan tetapi aku pun berat kepada keluar­ga dan kerajaanku. Biarlah kuanggap hal ini sebagai ujian, ujian bagi cinta kasih kita, terutama ujian bagi cintamu. Ter­serah kepadamu apa yang akan kaulaku­kan kini untuk mencari jalan keluar!”

Dengan sinar mata berapi Han Han membaca kalimat-kalimat terakhir, “Aku tahu bahwa Ayahanda Kaisar telah ter­kena hasutan Pangeran Ouwyang Cin Kok sehingga membencimu dan menyatakan bahwa aku lebih baik mati daripada men­jadi isterimu!”

Han Han membaca sekali lagi isi surat itu dari awal sampai akhir, kemu­dian ia meremas hancur kertas itu. Nira­hai menantangnya! Menantangnya untuk mengambil keputusan, untuk bertindak demi cinta kasihnya! Dan Pangeran Ouw­yang Cin Kok adalah biang keladi dari kegagalan ini. Timbul niatnya untuk men­datangi istana pangeran itu dan hendak mengamuk untuk kedua kalinya, mem­bunuh pangeran tua itu. Akan tetapi, teringat akan wejangan Koai-lojin, ia cepat menarik kembali dan menekan nafsu amarahnya, menghapus dendamnya dengan kesadaran bahwa Pangeran Ouw­yang Cin Kok bersikap seperti itu tentu ada sebabnya. Dan sebabnya adalah kematian putera tunggalnya, yaitu ouwyang Seng. Ayah manakah yang tidak akan menjadi marah, sakit hati, dan bertekad untuk membalas dendam atas kematian puteranya yang dibunuh orang? Han Han menghela napas dan mengusir pergi ba­yangan Pangeran Ouwyang Cin Kok, bah­kan lalu memusatkan pikirannya untuk menyelundup ke istana dan bagaimana untuk dapat membebaskan Nirahai. Ia harus membebaskan Nirahai dari tahanan dan membawanya lari! Jelas bahwa ke­kasihnya itu menantangnya untuk bertindak. Ia tahu bahwa dengan ilmu kepandaiannya dan pengaruhnya, tentu saja Nirahai dapat membebaskan diri sendiri tanpa ada pengawal yang berani meng­halanginya, akan tetapi puteri itu agaknya tidak suka memberontak terhadap keputusan ayahnya. Maka puteri itu menantangnya untuk bertindak, karena kalau Han Han yang turun tangan membebas­kannya, hal itu tidak dapat dianggap sang puteri memberontak.

Dengan ilmu kepandaiannya yang ting­gi, tidak sukar bagi Han Han untuk me­loncat ke atas benteng yang mengelilingi istana, kemudian cepat sekali, dilindungi oleh kegelapan malam, pemuda ini me­loncat turun ke dalam taman istana. De­ngan mudah ia dapat menemukan kamar Puteri Nirahai karena kamar ini merupa­kan sebuah bangunan mungil dan mewah tak jauh dari taman, dan bangunan ini dijaga oleh kepungan pasukan pengawal yang jumlahnya seratus orang lebih! Ti­dak mungkin memasuki bangunan itu tanpa diketahui mereka karena sekeliling bangunan kecil itu dikepung ketat.

Kebetulan sekali Han Han melihat empat orang wanita-wanita muda yang cantik-cantik, berpakaian sebagai pelayan-pelayan istana jalan beriringan datang menuju ke bangunan itu sambil membawa baki-baki yang tertutup kain, agaknya hidangan untuk sang puteri. Han Han cepat mengerahkan kekuatan batinnya dan meloncat ke depan, muncul dari balik pohon dan berkata.

“Adik-adik yang manis, aku adalah rekan kalian! Aku pelayan dari istana Ibunda Sang Puteri, diperintahkan oleh beliau untuk menjenguk keadaan puteri­nya.”

Empat orang wanita pelayan itu tertegun melihat berkelebatnya bayangan, akan tetapi hati mereka lega ketika me­lihat seorang wanita cantik yang ber­pakaian seperti mereka! Mereka adalah pelayan-pelayan Puteri Nirahai dan biarpun belum pernah melihat “gadis pelayan” yang muncul ini, akan tetapi mereka percaya bahwa tentu ini pelayan dari ibunda sang puteri, kalau tidak siapa lagi berani menyamar di tempat itu?

“Kalau begitu, marilah ikut bersama kami, Cici. Kami pun hendak mengantar hidangan malam Sang Puteri,” jawab seorang diantara mereka. Han Han yang sudah berhasil menguasai empat orang wanita pelayan itu menggunakan kekuat­an gaib yang memancar keluar dengan pengaruh mujijat sehingga mereka melihat dia sebagai seorang pelayan cantik, lalu berjalan perlahan di belakang empat orang pelayan itu. Mereka mengambil jalan memutar dan menghampiri pintu samping yang terjaga oleh lima orang pengawal. Melihat datangnya empat pela­yan Sang Puteri Nirahai, lima orang pengawal itu segera mengenal mereka dan tidak berani main-main karena pe­layan-pelayan Puteri Nirahai ini selain memiliki ilmu silat yang tak boleh di­pandang ringan, juga para pelayan Nira­hai terkenal galak-galak dan tidak boleh diganggu.

Han Han sudah menggunakan kekuatan matanya sehingga lima orang pengawal itupun melihatnya sebagai seorang gadis pelayan dan membiarkan Han Han lewat bersama empat pelayan lain. Begitu me­masuki sebuah kamar besar yang berbau harum dan indah, empat orang pelayan itu sudah mengatur isi baki di atas meja dan Han Han yang melihat Puteri Nirahai duduk termenung di dekat pembaringan, di atas sebuah bangku menghadapi meja bundar, cepat menghampiri dengan jantung berdebar saking terharu dan gi­rangnya.

Karena para pelayan masih berada di ruangan kamar itu, terpaksa Han Han lalu menggunakan kekuatan matanya, sambil beriutut ia berkata, “Puteri, hamba datang menghadap....”

Nirahai membalikkan mukanya me­mandang dan dara ini bangkit berdiri. Sejenak matanya seperti orang bingung, dikejap-kejap beberapa kali dan terpaksa Han Han harus mengerahkan pandang matanya dengan tenaga mujijatnya sambil berkata lagi untuk memperkuat pengaruh­nya, “Hamba adalah seorang pelayan Ibu Paduka.”

Biarpun Nirahai juga memiliki kekuat­an batin yang besar serta kemauan yang keras tidak mudah dipengaruhi orang lain, namun setelah kelihatan bingung sejenak, akhirnya ia terpengaruh juga dan berkata dengan lesu, “Mau apa engkau?”

“Hamba akan menyampaikan sesuatu yang amat rahasia kepada Paduka, di bawah empat mata saja.”

Nirahai yang sedang kesal hatinya itu hampir marah, akan tetapi mengingat bahwa pelayan ini adalah utusan ibunya, ia lalu menoleh kepada empat orang pelayannya dan berkata, “Kalian keluarlah dulu dari kamar ini!”

Empat orang pelayan yang sedang mengatur hidangan itu, sejenak menengok ke arah Han Han, kemudian mereka ke­luar dari kamar dan menunggu di luar kamar, di ruangan depan sambil berbisik-bisik, hati mereka merasa iri dan tak senang karena belum pernah Puteri Nira­hai mengusir mereka hanya karena hen­dak bicara dengan seorang pelayan lain!

Setelah empat orang itu keluar dari kamar dan pintunya ditutup perlahan, Han Han bangkit berdiri dan berkata halus penuh rasa haru, “Nirahai....!”

Nirahai meloncat ke belakang dan mukanya seketika berubah pucat ketika melihat Han Han telah berdiri di depan­nya. Ia mengejap-ngejapkan matanya, menggoyang-goyang kepala, memandang bingung dan sampai lama tak dapat me­ngeluarkan suara, kadang-kadang matanya mencari-cari ke kanan kiri, mencari pe­layan utusan ibunya tadi.

“Nirahai, jangan bingung. Pelayan tadi akulah yang jadi, akalku agar dapat ma­suk ke sini.”

Kini Nirahai memandang Han Han de­ngan mata terbelalak lebar, penuh ka­gum. Hatinya girang dan bangga bukan main, akan tetapi juga penuh heran. Dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kesaktian yang hebat, jauh melampaui kepandaiannya sendiri, akan tetapi apa yang dilakukan pemuda itu tadi benar-benar membuat dia tidak mengerti.

“Han Han....! Bagaimana....? Tadi.... eh, bagaimana engkau bisa mengubah diri menjadi pelayan....?”

Han Han tersenyum dan melangkah maju, menyambar tangan kekasihnya itu dan memandang dengan wajah berseri, tersenyum dan sinar matanya mesra. “Nirahai, aku sejak tadi tidak mengubah diri, hanya pandangan mereka dan juga pandanganmu yang kuubah dan tunduk kepada kemauaku....”

“Ihhhhh.... I-hun-to-hoat....?” Nirahai bertanya, tidak percaya. “Aku sudah melihat ilmu I-hun-to-hoat yang dilaku­kan oleh Thai Li Lama, dan memang banyak yang terjatuh di bawah pengaruh­nya, akan tetapi aku sendiri dapat me­lawannya dan aku tidak terpengaruh!”

Han Han yang sudah merasa rindu sekali kepada Nirahai merangkul pundak dara itu. “Mungkin aku lebih kuat dari­pada dia, dan mungkin karena suaraku telah kaukenal, mungkin pula karena engkau tidak tahu bahwa aku menggunakan ilmu kekuatan kemauanku, maka engkau terpengaruh. Nirahai.... ahhh, Nirahai, mengapa menjadi begini ikatan kita....?”

Nirahai balas merangkul dan dara ini yang kini diingatkan akan keadaannya, terisak di atas dada Han Han. “Sudah nasibku.... nasibku yang buruk dan malang....!”

“Tidak, Nirahai. Tidak ada nasib buruk dan malang. Yang terjadi semua di dunia ini, yang menimpa kepada kita, baik maupun buruk, sudahlah semestinya dan tidak boleh kita terima sebagai na­sib buruk. Hanya kita harus berusaha untuk mengatasi segala persoalan. Se­karang, setelah aku berhasil masuk di sini bertemu denganmu, apa yang kau­kehendaki?”

Nirahai melingkarkan kedua lengannya di leher Han Han. “Aku menyerahkan kepadamu. Engkau pilihan hatiku.... terserah.... aku hanya menurut....”

Han Han menjadi girang sekali dan baru sekarang ia merasa sebagai seorang laki-laki yang berdiri tegak, penuh tang­gung jawab dan dibutuhkan seorang se­perti Nirahai! Dahulu, melindungi dan membela Lulu ia anggap sebagai hal yang semestinya, tidak menimbulkan perasaan kagum seperti sekarang karena yang telah menyerahkan nasib diri ke­padanya adalah seorang puteri kaisar! Saking terharu dan girangnya, ia me­megangi kedua pipi dara itu, mengangkat mukanya dan mencium bibir yang tak pernah membosankan itu. Ia berbisik mesra, “Nirahai, pujaan hatiku, calon isteriku.... biarlah aku yang melarikan engkau dari tempat ini. Aku yang mempertanggungjawabkan kesemuanya!”

Tiba-tiba Nirahai melepaskan pelukan Han Han, menyambar baju tebal, topi bulu dan pedang payungnya yang baru. “Han Han, kita lakukan bersama, dan mempertanggungjawabkan bersama! Kalau kita berdua menghendaki, siapakah yang akan mampu mencegah kita keluar dari sini?”

“Tidak, Nirahai. Tidak boleh begitu. Engkau ditahan sebagai tawanan oleh Ayahmu sendiri, tidak baik kalau engkau memberontak. Biarlah aku yang....”

Tiba-tiba empat orang pelayan wanita itu yang tadi mendengar isak tangis sang puteri, kini membuka daun pintu dan memasuki kamar. Nirahai berdiri tegak memandang, sama sekali tidak terkejut karena dia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah Han Han berada di sampingnya, puteri ini menjadi besar hatinya, dibesarkan oleh rasa girang bahwa ujian terakhir bagi cinta kasih Han Han ternyata membuktikan bahwa pemuda itu tidak gentar menghadapi tan­tangan dan bahaya untuk datang ke kamarnya, kamar tahanan dalam istana yang dikepung ratusan orang pengawal! Kini hatinya besar dan ia menanti reaksi dari kekasihnya ketika empat orang pelayan itu masuk.

Sejenak, empat orang pelayan itu ter­belalak dengan muka pucat. Han Han segera berkata sambil menggunakan ilmu­nya, “Akulah Dewa berkepala singa!”

Wajah empat orang pelayan itu men­jadi pucat sekali ketika mereka melihat seorang laki-laki berkaki buntung sebelah, memegang tongkat dan berkepala singa dengan sepasang mata mencorong mulut bergigi runcing terbuka. Kemudian, de­ngan kaki menggigil dan tubuh gemetar, empat orang pelayan itu melarikan diri keluar dari pintu sambil menjerit-jerit seperti orang mengigau saking takutnya. Mereka adalah pelayan-pelayan Nirahai yang memiliki ilmu silat lumayan, untuk menghadapi lawan manusia, mereka cu­kup dapat diandalkan. Akan tetapi, melihat orang berkepala singa tentu saja menjadi ketakutan.

Han Han mempergunakan kesempatan itu berkata cepat, “Nirahai, engkau menjadi tawananku. Biarlah aku melarikan engkau dari tempat ini!” Nirahai hanya mengangguk karena masih kagum me­nyaksikan pengaruh ilmu Han Han ter­hadap empat orang pelayannya. Bagi kedua matanya, Han Han tetap seperti biasa, sama sekali tidak berkepala singa! Han Han cepat menggerakkan jari tangan kanannya, menepuk pundak Nirahai dan menotok jalan darahnya sehingga Nirahai terkulai lemas. Han Han lalu menyambar tubuh kekasihnya, memanggulnya di pun­dak kanan setelah menyelipkan senjata kekasihnya di pinggangnya. Cepat seperti kilat menyambar ia sudah meloncat ke­luar dari dalam kamar itu, terus berlari keluar dari pintu samping dari mana tadi ia masuk bersama empat orang pelayan.

Keadaan di luar geger tidak karuan ketika empat orang pelayan itu menjerit-jerit dan berlari keluar. Sampai lama mereka tidak dapat bicara, hanya mengeluarkan jerit seperti orang mengigau, “Ssseeettttt.... taaaaannn.... singaaa....!” sehingga akhirnya para pengawal yang kebingungan menangkap lengan mereka untuk ditanyai.

Memang inilah yang dikehendaki Han Han maka dia tadi membikin takut em­pat orang pelayan, yaitu untuk mengacau­kan keadaan para pengawal yang menjaga di luar. Dalam keadaan kacau-balau dan tidak teratur itu karena semua pengawal menjadi panik melihat betapa empat orang pelayan sang puteri yang biasanya gagah perkasa itu menjerit-jerit karena melihat setan sehingga mereka lupa mem­bunyikan tanda bahaya dan lupa melapor, tiba-tiba Han Han berkelebat, mencelat keluar sambil memondong tubuh Nirahai yang terkulai lemas.

“Celaka....! Tangkap penjahat!” teriak seorang di antara mereka.

“Itu dia....! Puteri telah diculik!”

“Tangkap!”

“Kejar....!” Makin paniklah para pengawal itu dan geger keadaan di istana ketika bunyi kentongan tanda bahaya dipukul gencar. Para pengawal melakukan pengejaran, akan tetapi siapakah yang dapat mengejar pemuda buntung yang meloncat dengan gerakan seperti terbang ke atas dan dalam sekejap mata saja lenyap ditelan kegelapan malam? Han Han memang sengaja tidak mau menggunakan kekerasan menghadapi banyak pengawal karena menghadapi banyak sekali orang tentu saja tak mungkin Ilmu I-hun-to-hoat dipergunakannya untuk mempengaruhi sedemikian banyaknya orang. Dia memang tidak takut untuk menggunakan kekerasan melawan mereka, akan tetapi, semenjak bertemu dengan Koai-lojin dan menerima wejangan-wejangan kakek sakti itu, ia merasa menyesal atas sepak terjangnya yang sudah-sudah dan berjanji dalam hatinya tidak akan lagi melakukan pembunuhan dan hanya akan menundukkan lawan dengan kepandaiannya. Tentu saja dia tidak suka untuk melawan para pengawal dan kesalahan tangan membunuh mereka yang tidak berdosa, apalagi kalau bahwa hal itu akan memperbesar pertentangan antara Nirahai dengan keluarganya.

Gerakan Han Han yang amat cepat tidak memungkinkan para pengawal un­tuk mengejarnya, tidak dapat menggunakan anak panah karena khawatir kalau-kalau mengenai tubuh Puteri Nirahai yang dipanggul pemuda itu. Dengan de­mikian, tanpa banyak kesukaran lagi Han Han berhasil membawa Nirahai keluar dari istana, kemudian melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja. Bebera­pa puluh orang tentara penjaga yang berusaha menghadangnya, roboh terpelan­ting ke kanan kiri dan senjata-senjata mereka terlempar beterbangan ketika Han Han menggerakkan tongkatnya, dan da­lam waktu beberapa menit saja Han Han telah menerobos keluar dari pintu ger­bang dan lenyap dalam gelap.

Setelah keluar dari benteng, Han Han menurunkan Nirahai dan membebaskan totokannya, kemudian tanpa bicara lagi mereka melanjutkan perjalanan dan lari dengan cepat. Han Han mengerti bahwa perasaan Nirahai tertekan sekali maka dia tidak mengeluarkan kata-kata, hanya berlari sambil menggandeng tangan kekasihnya.

“Ke manakah kita pergi?” Tiba-tiba Nirahai bertanya tanpa mengurangi ke­cepatannya berlari.

“Kita pergi ke tempat yang sunyi dan indah di dekat telaga.”

Nirahai tidak berkata-kata lagi dan mereka berlari terus. Han Han merasa tidak enak hatinya. Bagi dia sendiri, tentu saja peristiwa ini amat menyenang­kan hatinya. Ia mencinta puteri yang jelita ini dan mereka telah dijodohkan oleh kedua orang guru mereka, Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee. An­daikata dia diterima oleh kaisar dan tinggal di istana, tentu dia akan merasa sengsara dan tidak betah. Dengan cara sekarang ini, membawa Nirahai melarikan diri, dia merasa lebih bebas dan dia yakin akan mendapatkan kebahagiaan besar apabila dapat hidup berdua sebagai suami isteri bersama Nirahai dan me­rantau berdua, atau tinggal di suatu tempat berdua saja! Memang, bagi dia, peristiwa di istana ini amatlah menye­nangkan. Akan tetapi, dia mengerti betapa peristiwa itu amat menghimpit pe­rasaan hati Nirahai. Dia mengenal Nira­hai sebagai seorang puteri kaisar yang luar biasa, tidak hanya cantik jelita dan berilmu silat tinggi, malah juga menjadi pimpinan angkatan perang yang menum­pas para pemberontak dan sisa-sisa ke­rajaan lama yang belum mau tunduk terhadap pemerintah Mancu! Dara jelita yang perkasa ini mempunyai kesetiaan besar terhadap kerajaan ayahnya dan kini dia melarikan diri sebagai seorang tahan­an dan pelarian. Betapa hal ini tidak akan menghancurkan cita-citanya? Hati Han Han khawatir sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa dan mempercepat gerakannya untuk mengimbangi larinya Nirahai yang amat cepat itu. Mereka seolah-olah berlumba, berlumba ke mana? Ke arah pantai bahagia? Mudah-mudahan begitu, bisik hati Han Han. Dengan me­sra ia menggunakan tangan kanannya menangkap tangan kiri Nirahai. Dara itu yang tadinya lari cepat tanpa bicara seperti orang termenung, menoleh dan mereka berdua saling pandang. Nirahai tersenyum dan balas menggenggam jari tangan Han Han. Sambil bergandeng ta­ngan, kedua orang muda yang berilmu tinggi itu berlari cepat sekali, bayangan mereka menjadi satu berkelebat cepat di antara bayang-bayang pohon.

“Indah sekali....! Indah dan sunyi....!” Nirahai berseru penuh kagum ketika mereka berdua tiba di pinggir telaga di mana terdapat dua buah bangunan mungil yang tadinya dijadikan tempat tinggal kakek sakti Koai-lojin.

Akan tetapi ketika pagi hari itu mereka tiba di situ dan Nirahai mengagumi pemandangan indah di kala sinar matahari pagi membakar permukaan telaga dengan warna kemerahan, Han Han tidak melihat semua keindahan itu karena tidak ada keindahan di dunia ini pada saat itu yang dapat menandingi keindahan wajah yang dipandangnya dari samping. Wajah yang lembut namun menyembunyikan kekerasan, wajah yang sejuk namun menyembunyikan api menggairahkan, wajah yang mirip benar dengan wajah Lulu!

“Memang indah, Nirahai. Indah sekali.... akan tetapi tidak sunyi. Dengan adanya kita berdua di sini, kesunyian musnah, dunia akan penuh dengan kita, dengan cinta kasih kita.... Nirahai....!”

Dara itu tergugah dari pesona dan menoleh lalu tersenyum penuh kebangga­an ketika ia mendapatkan sinar mata penuh kemesraan dan kasih sayang ter­pancar dari sepasang mata Han Han. Sinar mata yang demikian mesra dan hangat, cerah dan lembut, mengalahkan sinar matahari pagi. Nirahai menarik napas panjang ketika Han Han merangkul pundaknya. Ia merebahkan kepala, disandarkan di dada pemuda itu.

“Aaahhhhh....!” Nirahai menarik napas panjang, hatinya terasa lapang seolah-olah penuh dengan sinar matahari pagi, membuat ia merasa seperti akan terbang dan menari-nari di antara mega-mega putih berarak dan mandi cahaya matahari pagi yang mulai berwarna keemasan, indah sekali. “Han Han, adakah sinar matamu itu mencerminkan rasa hatimu? Adakah engkau benar-benar mencintaku seperti matahari mencinta permukaan telaga?”

Han Han menundukkan mukanya, me­nyentuh dan menelusuri permukaan dahi dan alis itu dengan ujung hidungnya se­belum menjawab lirih, “Nirahai kekasihku, aku cinta kepadamu, Nirahai....” Ia mempererat pelukannya dan hatinya pe­nuh dengan cinta mesra. “Ahhh, betapa aku mencintamu, dengan sepenuh jiwa ragaku, sepenuh hatiku, aku rela mengor­bankan jiwa ragaku untukmu, Nirahai!”

Dara itu memejamkan matanya, kembali menarik napas dan membelaikan pipinya di dagu Han Han yang menunduk, sikap yang amat manja bagi Han Han, mengingatkan ia akan sikap seekor ku­cing yang minta dibelai.

“Betapa hebat kekuasaan cinta....!” Hanya demikian Nirahai berkata, suara­nya lirih seperti orang mengeluh, atau lebih mendekati lagi seperti orang me­rintih, rintihan yang menjadi penyambung antara nyeri dan nikmat, antara suka dan duka.

Bisikan ini membuat Han Han sadar akan anehnya peristiwa yang terjadi se­karang ini. Yang dipeluknya, yang di­ciumnya adalah seorang puteri kaisar! Seorang panglima besar dan merupakan orang amat berpengaruh, berkuasa dan penting dalam Kerajaan Mancu! Seorang dara yang cantik jelita sukar ditemukan keduanya, namun kini berada dalam pelukannya! Sukar untuk dapat dipercaya! Dan memang hebat sekali kekuasaan cinta, memungkinkan terjadinya hal yang agaknya tak masuk akal!

“Nirahai, apakah engkau juga telah benar-benar mencinta aku seperti cintaku kepadamu?” Han Han tak dapat menahan pertanyaan yang timbul dari hatinya yang masih sukar untuk dapat menerima ke­nyataan yang dianggapnya aneh itu.

Mendengar pertanyaan ini Nirahai mengangkat kepalanya yang bersandar di dada Han Han, memutar tubuh sehingga mereka berdiri berhadapan di pinggir telaga itu. Sejenak mereka beradu pan­dang kemudian terdengar suara Nirahai yang halus merdu namun tegas.

“Han Han, aku mengerti mengapa engkau masih mengajukan pertanyaan itu biarpun engkau yang cerdik tentu sudah merasa yakin akan cintaku dengan bukti yang sekarang kita hadapi. Aku telah meninggalkan kerajaan Ayahku, meninggalkan kedudukan dan kemuliaan, meninggalkan cita-cita dan lebih daripada itu semua, aku bahkan telah menjadikan diriku dimusuhi kerajaan dan keluarga. Semua ini hanya karena cintaku kepada­mu. Masih belum cukupkah bukti dan pengorbanan itu?”

Han Han menarik napas panjang, hatinya penuh keharuan karena ia merasa sangsi apakah seorang pemuda berkaki buntung sebelah seperti dia, yang yatim piatu dan miskin, tidak mempunyai tem­pat tinggal, patut menerima cinta kasih seorang puteri seperti Nirahai?

“Maaf, Nirahai, bukan sekali-kali aku masih menyangsikan perasaan cintamu yang suci. Hanya saja.... yang membuat aku sukar untuk dapat percaya, bagaimana mungkin scorang puteri bangsawan seperti engkau menghancurkan nasib dan masa depanmu sendiri? Sudah tentu aku.... aku akan berbahagia sekali kalau engkau selalu berada di sampingku, akan tetapi hatiku pun akan selalu tertekan dan han­cur kalau melihat engkau menjadi sengsara kelak....”

Nirahai menubruk Han Han, merang­kulnya dan menutup mulut Han Han de­ngan jari tangannya yang halus. “Jangan lanjutkan....! Aku cinta padamu, karena hanya engkau satu-satunya pria yang patut menjadi suamiku! Kita sudah di­jodohkan oleh kedua orang guru kita, dan kita sudah saling mencinta. Itu sudah cukup! Aku pun tidak ingin perjodohan kita dirayakan besar-besaran, bahkan tidak peduli kalau tidak dirayakan oleh kita berdua! Tentang kedudukan dan ke­muliaan? Dengan kepandaian kita, apa sukarnya mendapatkan itu?”

“Tapi, Nirahai.... demi menjaga namamu, semestinya kalau pernikahan kita dirayakan, disyahkan! Ohhh, dua bulan lagi Lulu akan menikah, bagaimana kalau kita rayakan bersama-sama dan....”

“Hussshhhhh....! Mengapa meributkan soal tetek-bengek seperti itu sedangkan aku berada di dekatmu? Apa kau lupa bahwa aku lelah, bahkan aku lapar, bahwa aku....”

Han Han tertawa dan menutup mulut Nirahai dengan ciuman untuk menghenti­kan celaannya, kemudian ia memondong tubuh kekasihnya itu, dibawa berloncatan ke dalam pondok di sebelah kiri telaga di mana ia pernah tinggal bersama Koai-lojin.

Han Han adalah seorang pemuda yang telah dewasa, seorang pria yang selama hidupnya belum pernah terjun ke dalam lautan cinta asmara seorang wanita. Dia telah berkali-kali menerima cinta kasih wanita, cinta kasih murni yang dibukti­kan dengan pengorbanan-pengorbanan. Kim Cu yang mencintanya berkorban menjadi nikouw, Soan Li tewas karena hendak menolongnya dan dara itu pun mengaku mencintanya. Demikian pula Tan Hian Ceng dan Lauw Sin Liam, me­reka itu mencintanya dan tewas ketika bendak menolongnya. Betapapun juga, tidak pernah dia bermain cinta dengan seorang di antara mereka, apalagi karena di lubuk hatinya, ia tidak menemukan cinta kasih terhadap mereka. Kini, hati­nya roboh di bawah kaki Nirahai. Dia mencinta puteri kaisar ini, bahkan Nirahai juga mencintanya, dan mereka telah dijodohkan oleh kedua orang guru mereka. Adapun Nirahai adalah seorang dara bangsawan yang tinggi hati. Belum pernah ia tertarik kepada pria, apalagi jatuh cinta. Memang pernah ia dikabarkan akan dijodohkan dengan Ouwyang-kongcu puteri Pangeran Ouwyang Cin Kok, akan tetapi di dalam batinnya ia tidak mengandung perasaan apa-apa terhadap pemuda itu. Kini, begitu bertemu dengan Han Han, menyaksikan sepak terjang pemuda bun­tung itu dan terutama sekali setelah dia merasa kalah pibu menghadapi pemuda ini, dia tertarik dan sekaligus tunduk dan jatuh cinta. Apalagi setelah Nenek Maya mengambil keputusan menjodohkannya dengah Han Han, sudah bulatlah tekad di hati Nirahai untuk menjadi isteri Han Han! Dia memiliki kekerasa hati yang luar biasa, maka untuk memenuhi ke­putusan ini, dia sanggup menempuh rintangan apa pun juga!

Kedua orang muda itu sudah sama dewasa, sama mencinta dan cinta kasih mereka makin mesra dan mendalam ka­rena peristiwa di istana sehingga mereka merasa bersatu hati, sehidup semati. Tempat di mana mereka bersembunyi, di pinggir telaga itu merupakan tempat yang sunyi, tenang, indah dan romantis. Tiada sesuatu yang menjadi penghalang di an­tara cinta kasih mereka, bahkan Nirahai tidak lagi peduli akan upacara perjodoh­an, menganggap bahwa dia sudah menjadi isteri Han Han semenjak ia minggat dari istana. Tidaklah mungkin menyalahkan mereka ini kalau keduanya sebagai orang-orang muda yang saling tergila-gila, saling mencinta dan saling menderita, kini menumpahkan semua perasaan cinta kasih mereka di tempat sunyi itu. Bagi kedua­nya, hal ini merupakan pengalaman per­tama sehingga membuat mereka lupa akan segala dan mabuk oleh manisnya madu asmara, terlupa masa lalu tak peduli masa depan, yang teringat hanya­lah perpaduan kasih, di dalam pondok, di tepi telaga, di antara bunga-bunga yang tumbuh di hutan kecil pinggir telaga. Mereka bersendau-gurau, saling meng­goda, saling memanja, saling menyayang, tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu!

Betapapun besarnya badai dan ombak, akhirnya akan mereda juga. Gelombang nafsu asmara yang lebih besar dan dah­syat daripada badai dan ombak pun akhirnya akan mereda juga. Selama satu bu­lan, Han Han dan Nirahai seolah-olah lupa segala, tidak peduli akan masa lalu dan masa depan, ingatnya hanya berlum­ba merenggut madu asmara yang makin direguk makin mendatangkan dahaga. Setelah lewat sebulan, cinta kasih mere­ka yang menyala-nyala terbakar nafsu berahi, mulai mereda dan mulailah mere­ka berdua sadar bahwa cinta kasih bu­kanlah cinta berahi semata, dan mulailah keduanya merenungkan masa depan mere­ka!

Bagaikan dua orang yang mengaso tenang setelah diombang-ambingkan ge­lombang dahsyat, selama sebulan lebih, pada pagi hari itu mereka duduk di tepi telaga. Han Han duduk bersandar batu hitam yang dulu sering kali dijadikan tempat duduk Koai-lojin di waktu “memancing”. Nirahai duduk di depannya, setengah dipangkunya dan merebahkan kepala dengan rambut terurai lepas itu di atas dada Han Han. Sampai berjam-jam keduanya duduk seperti itu, tak bergerak dan penuh dengan kebahagiaan, dengan kepuasan, saling menikmati ke­hadiran kekasih masing-masing yang ha­nya terasa oleh detik jantung dan alunan nafas.

Angin semilir dari tengah telaga da­tang, bertiup membuat rambut yang hitam berikal melambai dan menggelitik leher Han Han, menyadarkan pemuda ini dari lamunan nikmat yang membuatnya tenggelam. Ia menggerakkan lehernya mengusir rasa gatal dan geli, kemudian melanjutkan gerakan jari-jari tangannya dengan mengelus rambut halus di atas dadanya itu penuh kasih sayang dan mesra. “Nirahai, isteriku tercinta....”

Nirahai bergerak, menengadah dan tersenyum memandang wajah Han Han. “Dan engkau suamiku....”

Han Han menunduk dan memberi hadiah ciuman mesra untuk sebutan yang menggetarkan perasaannya itu. Biasanya, selama sebulan ini, sebuah ciuman saja sudah cukup membuat keduanya teng­gelam dalam lautan asmara, tidak ingat lagi akan hal lain, menghapus semua niat yang hendak dibicarakan, karena semua kemauan sudah lumpuh dan kalah oleh gelombang asmara yang menghanyutkan. Akan tetapi kini Han Han dapat menahan diri dan ia berbisik.

“Nirahai, aku teringat bahwa sebulan lagi Lulu akan menikah. Aku harus hadir dan menyusulnya ke Kwan-teng. Marilah kita pergi ke sana....”

Sepasang mata Nirahai yang selama sebulan ini selalu dalam keadaan seperti orang mengantuk, kini mulai menemukan kembali sinarnya ketika mendengar ucapan Han Han itu. Sudah sebulan mereka berdua tidak pernah mengucapkan kata-kata yang lain daripada cumbu rayu se­hingga kini seperti baru sadar dari mimpi. Sadar bahwa di sana masih terdapat banyak hal lain di samping urusan cinta kasih mereka! Matanya mulai bersinar, perlahan ia bangkit dari dada suaminya, lalu duduk di atas tanah bertilam rum­put, memutar tubuh berhadapan dengan Han Han. Kedua tangannya mulai me­milin-milin rambutnya yang selama ini dibiarkan terurai lepas untuk dibelai dan dipermainkan jari-jari tangan Han Han yang penuh cinta kasih.

Baru saat itulah keduanya saling pandang dalam keadaan sadar, dan otomatis tim­bul kerut-kerut kecil di wajah mereka, Han Han pada dahinya, Nirahai di antara kedua matanya.

“Han Han, engkau tahu bahwa tidak mungkin bagi aku untuk pergi ke Kwan-teng atau ke manapun juga. Aku telah menjadi seorang pelarian, dan aku me­rasa malu untuk bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw kalau mereka mendengar bahwa aku adalah seorang puteri pelari­an.”

“Mengapa tidak mungkin, isteriku?” Han Han menggenggam tangan Nirahai. “Mengapa tidak mungkin pergi ke sana? Apa yang ditakuti? Andaikata engkau dikejar, apakah kita tidak mampu me­lawan? Dan mengapa pula malu kepada orang lain? Siapa yang akan berani meng­hinamu? Akan kuhancurkan mulut yang berani mengejekmu.”

Nirahai menggeleng kepalanya, lalu berkata, suaranya tegas, “Tidak, suamiku. Aku tidak mau pergi ke Kwan-teng atau ke mana saja. Aku sudah mempunyai rencana matang yang sudah berhari-hari ini kupikirkan dan baru sekarang akan kusampaikan kepadamu.”

Berdebar jantung Han Han, seolah-olah ada firasat tidak enak terasa oleh­nya. Ia menatap wajah Nirahai dan de­ngan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa wajah yang cantik itu diselubungi kekerasan hati yang sukar ditembus. Diam-diam ia menjadi gelisah, akan te­tapi ia menekan hatinya dan bertanya halus.

“Nirahai, bagaimanakah rencanamu itu?”

“Di selatan ini aku yang telah membuat jasa besar telah dimusuhi oleh ke­rajaan. Karena itu, jalan satu-satunya bagiku adalah kembali ke utara! Di Khi­tan aku akan lebih dihargai, dan aku mempunyai seorang paman, adik Ibuku, yang kini menjadi seorang panglima besar dari suku bangsa Mongol. Aku hendak menyusulnya ke sana dan engkau.... kuharap saja suka pergi ke sana bersamaku, Han Han.”

Sejenak kedua orang yang selama sebulan lebih mabuk dan tenggelam da­lam lautan asmara itu, kini saling ber­pandangan penuh kesadaran dan penuh kekhawatiran menyaksikan jalan pikiran dan cita-cita mereka yang saling ber­tentangan.

“Aku harus mengurus pernikahan adikku....” Han Han membantah lemah, berpegang kepada alasan ini untuk menarik Nirahai yang dicintanya itu dari cita-citanya akan pergi ke utara di luar tem­bok besar.

Nirahai mengangguk-angguk, tersenyum lalu merangkul Han Han, menciumnya mesra yang dibalas Han Han sepenuh hatinya. Akan tetapi, kedua orang ini merasa betapa dalam ciuman mereka terdapat sesuatu yang mengganjal, tidak seperti yang sudah-sudah dan keduanya menjadi gelisah.

“Aku tahu, Han Han. Memang seharus­nya engkau menghadiri pernikahan Lulu. Pergilah ke Kwan-teng dan uruslah pernikahan adik kita itu. Aku akan menanti­mu di sini dan kalau engkau sudah kem­bali ke sini dari Kwan-teng, kita berdua baru pergi ke utara.”

Han Han mengerutkan keningnya de­ngan jantung berdebar tegang. Ke utara? Mau apa ke sana? Hidup di antara suku bangsa Mongol yang sama sekali asing baginya? Teringat akan sejarah betapa bangsa Mongol pernah menjadi penjajah bangsanya, dia tahu bahwa tentu dirinya akan terlibat urusan politik dan pemerin­tahan lagi di utara yang asing itu dan ia maklum bahwa dia tidak akan merasa bahagia di sana. Ia seolah-olah dapat merasa betapa bahaya besar bagi ke­bahagiaan dia dan Nirahai menunggunya di utara!

Cepat ia memegang kedua pundak Nirahai, memaksa kekasihnya itu meng­hadapnya dan memandang wajah yang jelita itu penuh selidik. “Nirahai, ke­kasihku, pujaan hatiku! Engkau adalah isteriku, dan aku akan hidup sengsara tanpa engkau di sampingku! Marilah eng­kau ikut bersamaku, ke Kwan-teng, ke­mudian merantau ke mana saja, berdua, hidup penuh bahagia, jangan kita melibatkan diri lagi dengan urusan kerajaan. Aku.... aku mendapat firasat buruk, kalau kita pergi ke utara.... tentu kita akan terlibat dan terseret lagi dalam urusan kerajaan, politik dan perang! Aku ingin kita berdua hidup merantau, bebas lepas tidak terikat urusan duniawi, seper­ti sepasang burung dara di angkasa.... marilah, Nirahai sebelum terlambat.”

Han Han yang merasa gelisah itu menjadi terharu dan hendak memeluk isterinya, akan tetapi tiba-tiba Nirahai melepaskan diri dari pelukan Han Han, mundur tiga langkah dan menatap wajah Han Han dengan sinar mata tajam dan wajah diliputi sikap dingin murung.

“Han Han, sudah kukhawatirkan hal ini akan terjadi semenjak malam pertama aku terlena dalam belai rayumu. Engkau lupa bahwa aku adalah seorang puteri! Bahwa tak mungkin bagiku hidup seperti seorang petualangan yang tak tentu tem­pat tinggalnya! Engkau lupa bahwa di dalam tubuhku mengalir darah pahlawan, yang semenjak nenek moyangku dahulu rela mengorbankan jiwa raga demi untuk negara dan bangsa! Biarpun kini kerajaan menganggap aku seorang pelarian, namun aku tetap harus bersetia kepada kerajaan Ayahku.”

Han Han menjadi pucat wajahnya dan ia membantah lemah, “Nirahai, akan tetapi engkau isteriku yang tercinta!”

Nirahai tersenyum pahit. “Memang, aku isterimu yang mencintamu, Han Han. Aku cinta kepadamu, demi Tuhan aku cinta padamu, tapi....”

“Tapi engkau lebih cinta kepada bangsamu?” Han Han berseru penasaran dan hatinya berduka sekali. Sadarlah ia kini bahwa ia lupa akan sebuah hal yang membuat Nirahai amat jauh bedanya dengan Lulu. Memang wajah mereka mirip sekali, mempunyai segi-segi ke­indahan yang sama, akan tetapi ia lupa bahwa Nirahai tidak mungkin bisa me­miliki jiwa seperti Lulu yang lebih polos dan jujur, yang menganggap sama antara bangsa-bangsa sehingga Lulu tidak me­naruh dendam terhadap bangsa pribumi, bahkan telah mengambil tindakan me­ngagumkan dengan mengangkat Lauw-pangcu, pembunuh orang tuanya, sebagai ayah angkat! Nirahai juga tidak mem­punyai permusuhan pribadi dengan kaum pejuang, akan tetapi Nirahai ini adalah seorang pejuang sampai ke sumsum-sumsumnya, seorang yang lebih mencinta negara dan bangsa melebihi apa pun juga!

Mendengar tuduhan Han Han itu, Nirahai tersenyum dan mengangguk, “Me­mang betul, Han Han. Aku mencintamu, akan tetapi aku lebih cinta kepada bang­saku yang melebihi cintaku kepada diriku sendiri. Engkau adalah seorang yang ber­pengetahuan luas, tentu mengerti akan watak keturunan pahlawan. Betapapun juga, aku cinta kepadamu, suamiku, ahhh, betapa cintaku kepadamu. Karena itu, kau kasihilah aku, sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan dan yang akan menghancurkan kebahagiaan kita berdua, marilah sekarang saja kita pergi ke utara dan melupakan segala! Marilah, Han Han, demi cinta kasih kita....!”

Suara Nirahai makin melemah dan akhirnya ia terisak perlahan. Han Han ter­kejut dan makin terharu. Isterinya, ke­kasihnya yang berhati baja itu, kini ternyata telah menderita tekanan batin hebat sekali!

Ia segera memeluknya dan mereka berciuman penuh kemesraan. Sesaat per­tentangan faham yang timbul dari percakapan tadi terlupa dan lenyap, teng­gelam oleh rasa cinta kasih mereka. Akan tetapi badai kecil asmara ini pun lewat dan mereka kembali sadar dan teringat akan urusan penting yang me­reka hadapi dan yang tak mungkin me­reka hindari.

“Han Han, kau sendiri mengatakan bahwa Lulu telah mendapatkan jodoh yang amat baik, yang boleh dipercaya, aku pun percaya bahwa Wan Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik sekali, gagah perkasa dan bertanggung jawab. Karena itu, mengapa engkau masih mengkhawatirkan keadaan Lulu? Marilah kita pergi ke utara sekarang juga.”

Han Han menggeleng kepala. “Tidak mungkin aku pergi jauh sebelum aku menyaksikan pernikahan adikku, Nirahai.”

“Kalau begitu, pergilah cepat dan kembalilah cepat pula. Aku akan me­nantimu di sini, suamiku.”

Han Han termenung, keningnya ber­kerut dan wajahnya muram. Tak disangka­nya sama sekali bahwa dia harus meng­hadapi keputusan yang begitu sukar dan yang akan menghancurkan hidupnya! Dia membayangkan masa depannya bersama Nirahai di utara, di antara bangsa Mo­ngol yang asing baginya sama sekali! Dia membayangkan Nirahai menjadi seorang pahlawan puteri di antara bangsa Mongol dan dia sendiri.... dia hanyalah suami sang puteri yang bagaimanapun juga ti­dak mungkin dapat menjadi pahlawan bangsa itu, dan dia hanya akan “mem­bonceng” kemuliaan isterinya! Dia akan merasa terhina, seorang suami bangsa asing, yang buntung pula. Han Han ber­gidik ngeri.

“Tidak, Nirahai. Aku akan pergi ke Kwan-teng dan engkau harus ikut ber­samaku! Setelah aku merayakan pernikah­an Lulu, kita berdua akan pergi, ke ma­na saja, asal bebas dari ikatan. Ke utara pun boleh, akan tetapi dengan janji bah­wa kita berdua tidak akan mengikatkan diri dengan urusan negara!”

Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu bersinar merah dan Han Han terkejut, maklum bahwa datangnya badai yang lain lagi daripada badai asmara yang memabukkan. Setelah berulang kali menarik napas panjang sampai terdengar nyata, Nirahai berkata, “Sudah kukhawatirkan akan menjadi begini....! Jodoh takkan dapat kekal hanya didasari cinta berahi saja! Yang penting adalah kese­suaian faham dan cita-cita! Ahhh, Han Han, tak mungkin aku dapat memenuhi permintaanmu itu. Kalau engkau memang mencintaku, engkau harus memenuhi per­mintaanku ikut dengan aku sekarang juga ke utara.”

“Engkau yang tidak sungguh-sungguh mencintaku, Nirahai. Engkau lebih men­cinta cita-citamu!”

“Dan engkau, Han Han, engkau seperti telah buta. Engkau memang mencintaku, cinta nafsu, cinta berahi, padahal sesungguhnya engkau mencinta.... Lulu!”

Han Han meloncat kaget dan meman­dang Nirahai dengan mata terbelalak.

“Apa.... apa kau bilang....?”

Nirahai tertawa pahit dan anehnya, dua titik air mata membasahi kedua pipinya. Ia tertawa akan tetapi me­nangis, amat mengharukan ketika suara­nya yang gemetar berkata, “Kuketahui setelah terlambat! Baru pada akhir-akhir ini.... engkau mencumbu dan merayu, mencinta tubuhku, akan tetapi hatimu lari mencari Lulu. Tanpa kausadari, mu­lutmu yang menciumi bibirku membisik­kan nama Lulu! Saat itulah aku tahu bahwa sesungguhnya engkau telah jatuh cinta kepada Lulu! Akan tetapi, sudah terlanjur! Dan kini aku teringat akan sikap dan kata-kata Lulu. Adikmu itu, adik angkatmu itu, dia pun mencintamu, Han Han. Mencintamu dengan sepenuh jiwa raganya, mungkin cintanya terhadap­mu jauh lebih murni daripada cintaku kepadamu. Mungkin dia akan melakukan apa saja yang kaukehendaki. Akan tetapi, semua itu telah lewat, tiada gunanya lagi disesalkan, kita telah menjadi suami isteri! Kita tidak boleh berpisah lagi karena hal itu akan berarti menghancur­kan kebahagiaan kita. Aku mencintamu dan engkau mencintaku. Sungguhpun mungkin cinta kasih di antara kita lebih disuburkan oleh nafsu berahi karena kita saling mengagumi, namun kita dapat menikmati cinta kasih kita bersama. Se­karang belum terlambat, marilah kita pergi ke utara.”

Han Han menjadi pucat sekali wajah­nya, matanya kehilangan sinarnya. Pukul­an batin yang dideritanya sekali ini ter­lalu berat baginya. Kenyataan yang di­buka secara terang-terangan oleh Nirahai merobek-robek hatinya dan ia harus mengakui kebenaran ucapan Nirahai. Be­tapa bodohnya! Lululah yang dia cinta! Bahkan mungkin sekali karena kemiripan wajah Nirahai dengan Lulu maka dia ter­gila-gila kepada puteri ini! Dan sekarang sudah terlanjur!

“Nirahai, terima kasih. Engkau hebat dan jujur, aku amat menghargai keterus­teranganmu. Maafkan aku, Nirahai, kalau tanpa kusengaja aku menyakiti hatimu. Sudah semestinya kalau aku menebus dosa-dosaku dengan menuruti kehendak­mu. Akan tetapi, engkau bersabarlah. Aku akan pergi ke Kwan-teng lebih dulu, merayakan pernikahan adikku, baru kita bicara lagi tentang ke utara.”

Nirahai membanting kakinya. Dia sudah marah sekali dan sudah habis ke­sabarannya. “Tidak! Sekarang juga kita harus dapat mengambil keputusan! Han Han, kita bukanlah anak-anak kecil lagi! Kita bukan orang-orang yang lemah dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Kita harus dapat menentukan nasib sen­diri karena hal ini menyangkut masa depan dan kehidupan kita. Dengarlah keputusan yang tak dapat diubah-ubah lagi, Han Han. Aku cinta padamu, dan akan bersedia melayanimu sebagai seorang isteri yang mencintannu sampai kematian memisahkan kita. Akan tetapi, di sam­ping itu aku harus pergi ke Mongol dan aku harus mengabdikan diriku untuk nusa bangsaku, biarpun dengan cara lain dari­pada yang sudah-sudah. Aku hanya minta engkau tidak menghalangi cita-citaku itu dan aku bersumpah bahwa cintaku kepadamu takkan berubah!”

Sementara itu, biarpun amat berduka, Han Han sudah pula berpikir masak-masak, maka ia menjawab, “Aku pun sudah mengambil keputusan, Nirahai. Aku cinta padamu dan aku akan mencintamu selamanya, akan tetapi aku tidak mau terikat dengan urusan pemerintah. Aku harus menikahkan Lulu lebih dulu, ke­mudian aku akan mengikutimu ke mana­pun engkau pergi, akan tetapi aku hanya minta engkau tidak mencampuri urusan negara yang hanya akan merenggangkan hubungan kita suami isteri.”

Sejenak sunyi dan mereka berpandangan. Akhirnya Nirahai bertanya nyaring. “Sudah tetapkah keputusan hatimu itu?”

Han Han mengangguk tanpa mengalih­kan pandang matanya yang bertaut de­ngan pandang mata Nirahai. Tiba-tiba Nirahai tertawa nyaring dan terkekeh-kekeh.

“Nirahai....!” Han Han maju hendak merangkul. Ia ngeri melihat Nirahai ter­tawa seperti itu, dengan muka pucat, dengan air mata bercucuran, dengan mulut tertarik seperti orang menangis, seperti mayat tertawa!

“Jangan dekati!” Nirahai membentak, kemudian ia berkata lirih bercampur isak, “Kalau begitu keputusan kita, kita harus berpisah, sekarang juga, lebih ce­pat lebih baik. Nah, selamat tinggal, Han Han. Engkau kekasihku, engkau suamiku, akan tetapi juga musuhku! Engkau ku­cinta, akan tetapi juga kubenci!” Setelah berkata demikian, puteri jelita itu me­loncat dan lari pergi secepat kilat.“Nirahai....!” Han Han menjerit, hanya lirih keluar dari mulut, akan tetapi amat nyaring keluar dari hatinya yang berdarah. Ia berdiri termenung meman­dang sampai bayangan Nirahai lenyap, berdiri seperti patung, agak terbongkok seolah-olah terlampau berat beban yang menimpa punggungnya, bersandar pada tongkatnya dan diam tak bergerak. Hanya air matanya saja yang jatuh satu-satu tak dihiraukannya.

“Nirahai.... Nirahai....!” Hatinya menjerit-jerit.

“Nirahai....! Lulu....! Lulu....!” Ia menjadi bingung, pukulan batin yang dideritanya membuat ia seolah-olah men­jadi batu.

Kalau saja Nirahai tidak sedemikian keras hatinya. Kalau saja ia meragu dan kembali ke tempat itu, tentu hati wanita ini akan hancur luluh dan mencair me­lihat keadaan Han Han. Sampai tiga hari tiga malam Han Han masih berdiri di tempat itu, bersandar pada tongkatnya, tak pernah bergerak kecuali untuk mem­bisikkan nama Nirahai dan Lulu! Dan yang amat mengharukan adalah rambut­nya. Rambut yang gemuk dan panjang, yang biasanya berwarna hitam mengkilap itu kini telah menjadi putih semua! Putih seperti benang-benang perak, seperti rambut seorang kakek berusia seratus tahun! Selama tiga hari tiga malam ini, terjadi perubahan hebat pada dirinya. Badannya menjadi semakin kurus, mukanya kuyu pucat tidak ada cahayanya, seperti muka orang yang kehilangan semangat dan kegairahan hidup. Tiada sepercik pun sinar kegembiraan terlukis di mukanya. Dan memang selama tiga hari tiga ma­lam itu Han Han hanya memikirkan na­sibnya. Hidup semenjak kecil baginya hanya merupakan serangkaian kesengsa­raan yang tidak ada putus-putusnya. Ma­kin diingat makin menghimpit perasaan.

Teringat ia akan wejangan-wejangan Koai-lojin yang dia tahu juga banyak mengalami duka nestapa dalam hidupnya, mengalami kekecewaan-kecewaan besar. Sayup sampai bergema di telinganya wejangan kakek sakti itu sebelum me­ninggalkannya, “Hidup itu menderita du­ka? Hidup itu menikmati suka? Tidak benar semua itu. Hidup adalah hidup, adapun suka atau duka adalah urusan hati, tidak ada sangkut-pautnya dengan hidup. Peristiwa yang menimpa kita tak lepas dari perbuatan kita sendiri. Seni yang amat indah dan besarlah cara penerimaan kita terhadap segala peristiwa. Penerimaan, sekali lagi penerimaan! Kalau engkau sudah dapat menguasai nafsu dan hati, sudah pandai menggunakan pikir­an sehingga mendapat kesadaran, engkau akan pandai pula menerima segala hal yang menimpa dirimu sehingga engkau bisa saja bersuka dalam duka, dan ber­duka dalam suka!”

Tiba-tiba Han Han tersenyum setelah ia teringat akan wejangan ini dan mulai­lah tubuhnya yang kaku membatu itu dapat bergerak lagi. Seolah-olah tubuhnya “hidup” kembali sungguhpun ia merasa betapa hatinya hampa dan kosong. Dia tidak sadar bahwa rambutnya sudah putih semua dan bahwa ada sinar aneh ter­pancar dari matanya yang biasanya ber­sinar tajam luar biasa. Dengan langkah terpincang-pincang Han Han meninggal­kan tempat itu menuju ke Kwan-teng.

Selagi Han Han berjalan terpincang-pincang menuruni sebuah lereng sambil melamun, tiba-tiba tampak belasan orang hwesio berloncatan keluar dan menghadapinya dengan sikap mengancam. Han Han mengangkat muka memandang dan ia mengenal Ceng San Hwesio dan belas­an orang anak murid Siauw-lim-pai, semuanya pendeta-pendeta berkepaia gundul yang tingkatnya sudah tinggi. Han Han merasa heran. Kalau sampai ketua Siauw-lim-pai sendiri keluar dari Siauw-lim-si, tentulah ada urusan yang amat pen­ting. Biasanya yang mewakili ketua Si­auw-lim-pai ini adalah Ceng To Hwesio, sute dari Ceng San Hwesio. Akan tetapi ia teringat bahwa Ceng To Hwesio telah tewas dalam pertandingan melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat.

Han Han menjura dengan hormat kepada ketua Siauw-lim-pai itu dan ber­kata, “Kiranya locianpwe dan para lo­suhu dari Siauw-lim-pai yang bertemu dengan saya di tempat sunyi ini, dan agaknya menghadang perjalanan saya. Tidak tahu ada kepentingan apakah?”

“Hemmm, orang muda tidak tahu malu! Dahulu engkau membikin kacau Siauw-lim-si, hal itu telah pinceng lupa­kan dan dianggap habis. Sekarang engkau yang tadinya telah membuat nama di Se-cuan, secara tidak tahu malu sekali ber­sekongkol dengan Nirahai perempuan iblis itu....!”

“Maaf, locianpwe. Nirahai adalah isteriku, bukan iblis. Aku melarang siapa saja menghina dan memaki isteriku! Apa­kah kesalahan Nirahai? Bukankah di pun­cak Tai-hang-san telah diadakan per­damaian?”

“Hemmm, perdamaian? Engkau kini menjadi suami Nirahai? Bagus, seperti yang telah pinceng duga, engkau seorang yang tak tahu malu! Kau bicara tentang perdamaian atas nama Nirahai? Perdamai­an yang mengorbankan nyawa Sute Ceng To Hwesio dan engkau yang telah di­tolong murid kami Lauw Sin Lian sampai dia mengorbankan nyawa, engkau.... malah menjadi suami pembunuhnya? Su­ma Han, pinceng telah mendengar keturunan siapakah engkau ini, maka pinceng tidak merasa heran bahwa engkau hanyalah seorang rendah budi yang tak patut dinilai sepak-terjangnya!”

Han Han merasa heran sekali meng­apa hatinya tidak marah seujung rambut pun mendengar penghinaan yang luar biasa itu. Entah bagaimana, hatinya se­perti kosong melompong, tidak dapat diusik lagi oleh perasaan apa pun. Mesti­nya ia marah mendengar kata-kata yang menghina itu, akan tetapi ia malah ter­senyum! Bukan dibuat-buat, melainkan senyum wajar karena ia merasa geli menyaksikan kebodohan seorang kakek yang sudah menganggap diri pendeta dan menjadi ketua partai besar.

“Locianpwe, harap jangan salah sang­ka. Mendiang Ceng To Hwesio tewas dalam sebuah pertandingan perorangan melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sama sekali bukan kesalahan Nirahai. Adapun kematian Sin Lian.... hemmm, semoga Thian memberi tempat yang penuh damai bagi arwahnya, kematiannya pun di luar kesalahan Nirahai karena vang melaku­kannya adalah Ouwyang-kongcu dan para pembantunya.”

“Pinceng tidak sudi melayani percakapan seorang yang tak boleh dipercaya seperti engkau. Sekarang, lebih baik engkau menebus semua kesalahanmu de­ngan dua hal. Pertama mengembalikan anak Bhok Khim, dan ke dua, memberi tahu di mana adanya iblis betina Nira­hai!”

Kembali Han Han tersenyum sambil menghela napas panjang. “Locianpwe, ketika Bhok Khim Toanio hendak meng­hembuskan napas terakhir, dia minta tolong kepada kedua orang suhengnya, akan tetapi kedua orang suhengnya me­mandang rendah sehingga akhirnya Bhok-toanio menyerahkan puteranya kepada saya. Sekarang locianpwe memintanya, untuk apa?”

“Untuk apa, kau tidak perlu tahu. Anak itu adalah anak Bhok Khim seorang murid kami, kamilah yang berhak atas dirinya.”

“Saya sendiri belum menemukan anak itu, locianpwe, maka tidak dapat saya serahkan, dan kalau locianpwe hendak mencarinya, silakan mencari sendiri. Adapun tentang Nirahai, saya tidak dapat memberi tahu kepada siapa juga ke mana perginya karena saya harus melindungi isteri saya.”

“Omitohud! Bicara berbelit-belit, padahal maksudnya hanya menentang dan menolak! Suma Han, apakah terpaksa pinceng harus turun tangan memaksamu?” Ceng San Hwesio membentak.

Berkerut kening Han Han, bukan karena marah melainkan karena penasaran menyaksikan sikap seorang ketua partai besar yang sungguh tidak patut itu. Sepasang matanya yang tajam itu mengelu­arkan sinar yang aneh, menyapu belasan orang hwesio itu, kemudian berhenti ke wajah Ceng San Hwesio dan ia berkata, “Bukan saya yang mencari perkara, sila­kan kalau locianpwe hendak mengguna­kan kekerasan!”

Para murid Siauw-lim-pai sudah menyaksikan sikap Han Han yang mereka anggap kurang ajar dan tidak menaruh hormat kepada ketua mereka. Terdengar bentakan mereka dan mereka sudah melolos senjata masing-masing, toya, golok dan pedang, gemerlapan tertimpa sinar matahari.

“Hemmm, cu-wi hendak menggunakan kekerasan? Jangan mengira bahwa saya takut menghadapi cu-wi. Lihat baik-baik, saya sudah siap, apakah cu-wi kira akan dapat mengalahkan saya?”

Para hwesio yang sudah menerjang maju dengan senjata di tangan itu tiba-tiba terbelalak dan berdiri di tempat masing-masing dengan muka pucat. Bah­kan Ceng San Hwesio sendiri berkali-kali mengucapkan “omitohud!” dan mem­baca mantera ketika melihat pemuda berkaki buntung itu kini berdiri dengan tegak, tubuhnya berubah menjadi dua! Kakinya tetap sebuah, akan tetapi kepalanya dua dan lengannya menjadi em­pat buah, yang dua memegang tongkat yang dua lagi mengepai siap melakukan perlawanan!

“Omitohud! Dia menggunakan ilmu silat siluman! Jangan takut, serbu!” Ceng San Hwesio berseru penuh wibawa.

Sebelas orang anak murid Siauw-lim-pai yang sudah tinggi tingkatnya itu, biarpun hati mereka gentar sekali, me­maksa diri menyerbu ke arah Han Han yang masih berdiri tegak. Ketika senjata-senjata para anak buah Siauw-lim-pai itu datang menyambar seperti hujan, tiba-tiba tampak dua batang tongkat berkele­bat seperti dua ekor naga.

“Trang-cring-cring-trakkk!” Golok dan pedang beterbangan, toya-toya patah ketika bertemu dengan dua batang tong­kat itu. Bahkan Ceng San Hwesio sendiri yang menyerbu dengan kepalan tangan­nya, bertemu dengan telapak tangan yang mengandung hawa panas sekali, membuat ia terhuyung mundur!

“Ceng San Hwesio, jalan kekerasan hanya akan mendatangkan maut dan ke­rusakan kepada diri sendiri. Selamat tinggal dan ingatlah selalu bahwa saya sedikit pun tidak pernah dan tidak akan memusuhi Siauw-lim-pai yang saya hor­mati dan kagumi!” Pemuda ini mengguna­kan kekuatan matanya dan menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun, sekali ber­kelebat lenyap dari depan mata para murid Siauw-lim-pai.

“Di.... dia menghilang seperti siluman!” Para murid Siauw-lim-pai berbisik dengan suara gemetar. Namun ketua Siauw-lim-pai yang sudah tinggi ilmunya itu maklum bahwa Han Han menggunakan ilmu gin-kang yang luar biasa sekali di samping pengaruh pandang matanya yang dapat menyihir para muridnya ter­masuk dia sendiri. Maka dia menarik napas panjang dan mengajak murid-murid­nya pergi dari situ untuk melanjutkan usaha mereka mencari Nirahai yang ten­tu saja sia-sia belaka karena pada waktu itu, Nirahai telah pergi jauh ke utara dengan hati yang sama hancurnya seperti yang diderita Han Han.

Setelah mengalami peristiwa pertemu­annya dengan ketua Siauw-lim-pai yang amat tidak enak itu, Han Han tidak mau lagi termenung dan ia melakukan per­jalanan cepat sambil mengerahkan ke­pandaian, menghindarkan pertemuan dan terutama sekali bentrokan dengan orang lain.

Demikianlah, pada suatu pagi, saat yang ia rindu-rindukan, yang dinanti-­nantikan tiba, ketika ia memasuki kota Kwan-teng dan dengan jantung berdebar ia langsung menuju ke Pek-eng-piauw­kiok, yaitu gedung perusahaan ekspedisi milik Hoa-san Pek-eng Tan Bu Kong, murid Hoa-san-pai yang ramah itu.

“Han-koko....!” Lulu menjerit dan lari menyambut kedatangan Han Han ketika Han Han memasuki ruangan depan Pek-eng-piauwkiok.

“Lulu....!” Han Han memeluk adiknya dan menumpahkan seluruh kerinduan hatinya.

“Han-koko rambutmu.... ahhh rambutmu kenapa....?” Lulu yang sudah menangis itu menggunakan kedua tangannya membelai rambut yang putih semua itu. “Han-koko.... kenapa engkau? Kenapa rambutmu.... jadi begini?”

Kembali Han Han merasai keanehan pada dirinya. Rasa haru menyusup ke dadanya, akan tetapi segera tenggelam seperti sebuah batu dilempar di permuka­an telaga dan lenyap tak berbekas! Dia malah dapat tersenyum sambil mengelus rambut adiknya.

“Lulu, adikku. Rambut hitam menjadi putih apa anehnya? Sudah wajar dan harap jangan diributkan.”

“Koko.... Han-koko.... ahhh, Han-koko....!” Lulu merintih-rintih sambil menangis air matanya membasahi baju di dada Han Han, dipandang penuh ke­haruan oleh Wan Sin Kiat yang pada saat itu merasa benar betapa besar cinta kasih calon isterinya kepada kakaknya. Akhirnya Sin Kiat yang bijaksana me­ninggalkan kakak dan adik itu masuk ke dalam dengan alasan hendak menyampaikan kepada gurunya akan kedatangan Han Han.

Setelah tinggal berdua saja, Lulu mempererat pelukannya dan tangisnya makin tersedu-sedu. “Koko.... Koko jangan tinggalkan aku lagi, Koko. Marilah kita pergi berdua.... hu-hu-huuukkk....”

“Eh, eh, bocah nakal! Apa pula yang kaukatakan ini? Engkau akan menikah dengan Sin Kiat. Bukankah engkau cinta kepadanya?”

“Aku.... aku suka menjadi isterinya akan tetapi aku tidak akan bahagia kalau berpisah darimu, koko. Baru berpisah tiga bulan saja, engkau sudah tertimpa malapetaka lagi. Pertama kali, perpisahan kita membuat engkau kehilangan sebelah kakimu....” Lulu mengguguk tangisnya. “Dan sekarang.... rambutmu putih semua!”

“Hushhh jangan berkata demikian. Engkau akan hidup bahagia di samping suamimu, jangan pikirkan aku lagi.” Bi­arpun mulutnya berkata demikian, hati Han Han tidak karuan rasanya. Memeluk adiknya ini teringatlah ia ketika ia me­meluk Nirahai dan diam-diam ia kini harus membenarkan ucapan Nirahai yang menyatakan bahwa sesungguhnya dia mencinta Lulu. Memang benar. Baru sekarang dia tahu Lululah yang dicinta­nya! Dicintanya sejak dahulu! Bukan ha­nya dicinta sebagai adiknya, melainkan dicintanya sebagai seorang wanita satu-satunya di dunia ini yang akan mem­bahagiakan hidupnya!

“Tidak mungkin, Han-koko. Tak mung­kin aku tidak memikirkan engkau. Biarpun aku menjadi isterinya, aku akan sengsara kalau kau tidak berada di de­katku. Lebih baik aku selamanya tidak kawin, biarlah aku ikut bersamamu.... hu-hu-huk, kita kembali ke Pulau Es....!”

Han Han tersentak kaget. Permintaan Lulu ini cocok sekali dengan perasaan hatinya. Dia harus melawan ini. Tidak boleh begini! Kalau dia menuruti perasa­annya, dia tahu bahwa dia akan menemu­kan bahagia asmara yang sejati di sam­ping Lulu. Akan tetapi hal itu hanya akan menambah dosanya yang sudah ber­tumpuk-tumpuk.

“Tidak! Lulu, jangan berpikiran gila seperti itu! Engkau adikku, dan adik berada di samping kakaknya di waktu kecil, setelah dewasa dan bertemu jodohnya, harus berpisah.”

“Aku tidak mau....! Tidak mau....!” Lulu terisak-isak dan membanting-banting kakinya. Kembali Han Han teringat ke­pada Nirahai. Selama sebulan itu, ketika ia memeluk dan mencinta Nirahai, bukan­kah setengah hatinya menganggap bahwa Nirahai menjadi pengganti Lulu? Dan sekarang dia memeluk Lulu! Akan tetapi Lulu yang dipeluknya ini adalah adiknya! Lebih patut menjadi isteri Wan Sin Kiat.

“Lulu! Apakah engkau ingin melihat kakakmu makin sengsara? Aku bisa mati karena duka jika engkau bersikap seperti ini!”

Lulu merintih dan melepaskan peluk­annya, melangkah mundur sambil meman­dang kakaknya dengan mata terbelalak dan muka pucat. “Han-koko, benar-benarkah engkau menghendaki aku kawin dengan Sin Kiat?”

Sejenak mereka berpandangan. Lulu memandang dengan matanya yang lebar penuh selidik. Han Han berusaha meng­elak dan menyembunyikan perasaan hati­nya. Jelas sekali tampak olehnya betapa sinar mata adiknya itu menyorotkan cin­ta kasih yang mendalam, penuh pemasrahan, cinta kasih dengan pemasrahan total tanpa halangan perbedaan faham seperti yang dimiliki Nirahai, dan agaknya kare­na kenyataan bahwa mereka kakak ber­adik yang membuat Lulu tidak berani menyatakan perasaan melalui mulutnya.

Han Han mengerahkan seluruh kekuat­an kemauannya untuk menekan perasaan­nya, kemudian ia tersenyum lebar dan memandang adiknya seperti memandang seorang anak nakal sambil berkata, “Lulu.... lulu adikku sayang, mengapa kau masih ber­tanya lagi? Engkau tahu, satu-satunya kebahagiaan bagiku adalah melihat eng­kau bahagia adikku. Dan aku yakin eng­kau akan bahagia menjadi isteri Sin Kiat. Bukankah selama ini dia bersikap amat baik padamu?”

Lulu menarik napas panjang, menggunakan punggung tangan untuk menge­ringkan air mata dari pelupuk mata dan pipi. “Dia baik, akan tetapi engkau jauh lebih baik”

“Hushhhhh! Tentu lain! Dia adalah calon suamimu, dan aku hanya kakakmu.” Han Han menggandeng tangan adiknya sambil tertawa. “Jangan seperti anak kecil, Lulu. Mari kita masuk menghadap Locianpwe Im-yang Seng-cu, guru Sin Kiat.”

Lulu terpaksa menghentikan tangisnya dan tidak sempat lagi berbantahan dengan kakaknya karena tak lama kemudian Sin Kiat muncul lagi bersama gurunya, Im-yang Seng-cu, Tan Bu Kong dan be­berapa orang anak murid Hoa-san-pai yang telah berada di situ. Ketika melihat Han Han yang rambutnya sudah putih semua, Im-yang Seng-cu membalas peng­hormatannya sambil berkata, “Siancai.... telah banyak sudah aku mendengar akan sepak terjangmu, orang muda, membuat­ku kagum. Kiranya engkau cucu sahabat­ku Suma Hoat telah menjadi seorang pendekar yang amat sakti!”

Han Han yang sudah menjura penuh hormat, segera menjawab, “Harap locian­pwe tidak memuji secara berlebihan. Sa­ya hanyalah seorang kakak yang kini datang untuk merayakan pernikahan adik saya Lulu dengan murid locianpwe. Mo­hon locianpwe maafkan, karena keadaan kami kakak beradik yang tiada orang tua dan tidak memiliki sesuatu, maka segala pelaksanaan upacara dan perayaan kami serahkan kepada fihak locianpwe.”

“Suma-taihiap mengapa bersikap sungkan? Kita berada di antara keluarga sendiri. Tentu saja kami sudah mempersiap­kan segalanya, bahkan kami telah menyebar undangan,” kata Tan-piauwsu yang menjadi tuan rumah.

Ramailah mereka merundingkan rencana pernikahan yang akan diadakan beberapa hari lagi. Kini Lulu tidak pernah rewel lagi sehingga hati Han Han terasa lega sungguhpun tiap kali bertemu pandang dengan adiknya itu, Han Han merasa jantungnya tertikam melihat sinar duka menyuramkan sepasang mata adik­nya yang biasanya berseri dan wajahnya yang biasanya cerah itu.

Akhirnya, tibalah harinya yang telah dinanti-nantikan dan dilangsungkanlah pernikahan antara Wan Sin Kiat, jago muda Hoa-san-pai yang berjuluk Hoa-san Gi-hiap dengan Lulu. Upacara pernikahan dilangsungkan secara sederhana namun cukup meriah dan dihadiri oleh tamu-tamu terhormat dari kota Kwan-teng dan sekitarnya. Han Han dan Im-­yang Seng-cu sebagai wakil kedua mempelai, memandang penuh keharuan ketika sepasang mempelai bersembahyang di depan meja sembahyang, mengangkat dupa wangi, berdampingan dalam pakaian mempelai yang membuat Lulu tampak makin cantik jelita. Dalam keharuannya, ­Han Han merasa lega hatinya. Belum pernah ia merasa begitu lega hatinya seperti ketika menyaksikan adiknya ber­sembahyang di samping Sin Kiat. Adiknya merupakan satu-satunya persoalan yang memberatkan hatinya, karena kalau dia pergi menjauhi segala kesengsaraan du­nia, bagaimana dengan adiknya yang ia ditinggalkannya. Kini adiknya sudah ada yang memiliki, ada yang mengurus, mem­bela dan melindungi. Dan dia percaya bahwa Sin Kiat akan menjadi seorang suami yang baik, dia percaya bahwa tentu Lulu akan hidup sebagai seorang isteri yang penuh kebahagiaan.

Malam tadi, untuk yang terakhir kali­nya Lulu menemuinya dan menangis, dengan terisak-isak minta supaya pernikahan dibatalkan! “Koko.... lebih senang kalau aku pergi saja bersamamu!” Demikian adiknya itu rewel lagi.

“Eh, eh, bagaimana engkau ini, Lulu? Besok dirayakan perkawinan, tamu-tamu akan datang, mana bisa dibatalkan? Eh, terus terang saja. Katakanlah, apa engkau tidak cinta kepada Sin Kiat?”

Lulu mengangguk. “Aku suka padanya, Koko. Aku mau menjadi isterinya, akan tetapi.... berat sekali kalau aku harus berpisah darimu. Kau berjanjilah bahwa setelah aku menikah, engkau akan tinggal bersama kami untuk selamanya!”

“Hush, bocah nakal! Apa kau akan mengikat kakiku seperti seekor burung? Jangan begitu, adikku. Engkau mencinta Sin Kiat, dia pun mencintaimu. Kalau kalian sudah menjadi suami isteri, ber­arti kalian merupakan dua tubuh satu hati, sehidup semati dan mengenai aku.... ah, aku hanya kakakmu, dan aku.... aku akan mencari jodohku sendiri!” Terpaksa Han Han menggunakan alasan ini dan benar saja, wajah adiknya menjadi berseri dan biarpun pipinya masih basah, kini Lulu dapat tersenyum.

“Benarkah, Koko? Kenapa tidak dengan Suci Nirahai?”

Kalau saja kini rongga dada Han Han tidak sudah kosong melompong, tentu ­disebutnya nama Nirahai ini akan mem­buat perasaannya tertikam hebat. Akan tetapi tikaman itu mengenai tempat kosong dan ia hanya memejamkan mata sesaat, kemudian menjawab, “Entahlah, adikku. Soal jodoh berada di tangan Tu­han, seperti jodohmu dengan Sin Kiat ini pun sudah ditentukan oleh Thian Yang Maha Kasih.”

Bujukan-bujukannya ini membuat Lulu dapat bersikap wajar dan gembira ketika sepasang mempelai bersembahyang dan mengikuti upacara pertemuan. Setelah upacara selesai dan sepasang mempelai duduk bersanding, barulah pesta dimulai dan suasana menjadi gembira sekali. Se­bagai kedua wali sepasang mempelai, Han Han duduk berhadapan dengan Im-­yang Seng-cu dan minum arak wangi.

Akan tetapi, mendadak suasana gem­bira itu dipecahkan oleh suara yang nya­ring menggema, datang dari luar pe­karangan gedung Pek-eng-piauwkiok, “Su­ma Han, pinceng tidak ingin mengganggu pesta pernikahan. Keluarlah agar kita dapat bicara!”

Han Han dan semua orang yang ber­ada di situ terkejut karena suara ini mendatangkan getaran hebat yang seolah-­olah menimbulkan gempa bumi. Han Han mengenal suara Thian Tok Lama, pen­deta Tibet, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata kepada para tamu, “Harap cu-wi melanjutkan makan minum, urusan ini adalah urusan saya sendiri yang akan saya bereskan di luar!” Setelah berkata demikian, Han Han lalu terpincang-pincang keluar dari ruangan pesta itu.

Akan tetapi, Im-yang Seng-cu yang mengerti bahwa orang yang mengeluarkan suara seperti itu tentulah memiliki ke­pandaian yang luar biasa, segera bangkit dan diam-diam mengikuti Han Han. Lulu juga cepat bangkit berdiri dan sebelum dapat dicegah, sudah lari keluar. Tentu saja Sin Kiat tidak mau membiarkan isterinya pergi sendiri, dan cepat ia pun ikut keluar. Melihat betapa sepasang mempelai keluar, tentu saja para tamu menjadi tertarik dan ingin tahu, maka tanpa dapat dicegah lagi, berbondong-bondong mereka keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Ternyata yang berada di depan ge­dung Pek-eng-piauwkiok itu adalah dua orang pendeta Tibet, bukan lain Thian Tok Lama dan Thai Li Lama yang ber­diri dengan sikap tenang, akan tetapi mata mereka memandang marah.

“Kiranya ji-wi yang datang,” kata Han Han, sikapnya tenang. “Ada keperlu­an apakah mengganggu aku yang sedang merayakan pernikahan adikku?”

“Suma-taihiap, kami berdua masih mengingat akan hubungan lama, karena itu kami datang bukan dengan niat men­cari keributan. Tak perlu kiranya kami jelaskan lagi dan tidak perlu pula urusan ini dibicarakan panjang lebar. Kami ha­nya ingin tahu di mana adanya Sang Puteri sekarang.”

Han Han memandang tajam dan melihat betapa sepasukan pengawal kerajaan yang jumlahnya dua puluh empat orang, kesemuanya pengawal pilihan dan yang berbaris rapi di belakang dua orang pen­deta itu, telah siap menerjang. Akan tetapi ia didahului oleh Im-yang Seng-­cu yang telah meloncat maju mendekati kedua orang pendeta Lama itu sambil menudingkan tongkatnya, “Pinto sebagai tuan rumah yang mengadakan pesta pernikahan murid pinto, mengharap agar ji-wi Losuhu tidak menggangu perayaan kami, atau, kalau ji-wi beriktikad baik, kami persilakan untuk masuk sebagai tamu-tamu yang kami hormati.”

Thian Tok Lama memandang tosu kurus itu dengan alis berkerut, kemudian ia berkata tegas dan angkuh, “Kami ti­dak ingin mengganggu dan tidak mau diganggu! Kami tidak mempunyai urusan dengan siapapun juga, kecuali dengan Suma Han. Harap yang lain tidak mencampuri urusan kami!”

Bayangan Lulu berkelebat dan dia sudah berdiri di dekat kakaknya. Dengan tirai masih menutupi mukanya, dia me­nudingkan telunjuknya dan membentak. “Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Aku mengenal siapa kalian! Beranikah kalian menghinaku dengan mengacau hari pernikahanku dan menghina kakakku?”

Wan Sin Kiat juga sudah berkata keras, “Ji-wi Losuhu sudah menyeberang ke fihak musuh, hal itu tidak ada sang­kut-pautnya dengan kami! Mengapa ji-wi sekarang datang mengganggu?”

Thian Tok Lama memandang sepasang mempelai itu lalu tertawa. “Omitohud....! Seorang puteri Mancu berjodoh dengan seorang tokoh pejuang! Betapa manis dan baiknya! Kami tidak mengganggu kalian, melainkan hendak berurusan dengan Suma Han!”

“Suma Han adalah wali mempelai wanita, menjadi tamu agung bagi pinto. Siapapun juga tidak boleh mengganggu­nya. Pinto sebagai tuan rumah berhak melindunginya. Harap ji-wi suka pergi!” Sambil berkata demikian, Im-yang Seng-­cu meloncat maju dan menggerakkan tongkatnya.

“Locianpwe, jangan....!” Han Han berseru mencegah.

Namun terlambat. Im-yang Seng-cu yang dapat menduga bahwa kedua orang pendeta itu tentu lihai dan berbahaya sekali, telah menyerang dengan tongkatnya. Thian Tok Lama tertawa dan meng­gerakkan tangan kanan menyambut tongkat.

“Krekkk....!” Tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah menjadi dua dan tosu ini terhuyung ke belakang. Kagetlah Im-­yang Seng-cu. Dia merupakan seorang sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi ternyata dalam segebrakan saja, tang­kisan tangan pendeta aneh itu telah me­matahkan tongkatnya dan ia merasa se­buah tenaga panas mendorongnya sehingga ia terhuyung. Mengertilah ia bahwa hwe­sio ini amat sakti!

“Pendeta sesat!” Lulu dan Sin Kiat bergerak hendak menyerang, akan tetapi Han Han sudah melonjorkan lengannya mencegah, lalu berkata penuh wibawa, “Kalian sedang merayakan pernikahan, tidak boleh bergerak dan berkelahi. Urus­an ini memang tiada sangkut-pautnya dengan lain orang, biarlah aku sendiri yang membereskan!”

Mendengar ucapan Han Han ini, Lulu dan Sin Kiat mundur dan kini Han Han sendiri menghadapi dua orang pendeta Lama itu. “Ji-wi Losuhu, baiklah per­tanyaan ji-wi tadi kujawab. Tentang Puteri Nirahai, aku tidak tahu dia berada di mana sekarang. Jawabku ini sama se­kali tidak membohong, karena memang aku tidak tahu ke mana dia pergi setelah berhasil kuselamatkan dari tahanan is­tana. Akan tetapi, perlu ji-wi ketahui pula bahwa andaikata aku tahu di mana dia berada sekalipun, takkan keberitahu­kan kepada siapapun juga jika tidak dia kehendaki. Nah, setelah kujawab sejujurnya, harap ji-wi tidak mengganggu lagi dan suka pergi dari sini.”

Ramailah anak buah pasukan pengawal itu bicara sendiri mendengar jawaban Han Han. Thian Tok Lama mengerutkan keningnya dan nampak marah. “Suma Han! Engkau telah melakukan dosa besar, menyerbu istana dan melarikan Sang Puteri, sekarang sengaja hendak menyembunyikannya. Namun, pinceng masih ingat akan hubungan antara kita dan pinceng persilakan engkau ikut bersama kami untuk menghadapi kaisar dan memberi jawaban sendiri.”

“Kalau aku tidak mau?”

“Berarti engkau tidak mengindahkan iktikad baik kami dan terpaksa kami menggunakan kekerasan menangkapmu!”

Han Han tertawa. “Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, apakah yang kalian andalkan untuk dapat menangkap aku? Kalau hendak menggunakan kekerasan silakan!”

Kedua orang pendeta Tibet itu sudah mengenal kelihaian Han Han, maka de­ngan cerdik mereka tadi hendak meng­gunakan bujukan halus. Kini melihat pe­muda itu tak dapat dibujuk, Thian Tok Lama lalu mengangkat tangan dan mem­beri perintah kepada para pasukan pengawal pilihan, “Tangkap si pemberontak!”

Terdengar suara nyaring dan tampak sinar berkilauan ketika dua losin pasukan pengawal itu mencabut senjata mereka. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama pun sudah bersiap-siap untuk menyerbu kalau pasukan itu sudah mengeroyok. Akan tetapi Han Han yang tidak ingin mem­bunuh orang, sudah mendahului mereka. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara keras sekali, “Jangan bergerak!” Dan tubuh­nya sendiri mencelat ke atas seperti se­ekor burung garuda menyambar. Aneh sekali, dua puluh empat orang yang su­dah mencabut senjata itu kini berdiri diam seperti arca dan sekali tubuh Han Han menyambar turun, dengan mudahnya Han Han merampas dan melucuti senjata-senjata mereka, mematah-matahkan se­mua senjata itu dengan kedua tangan seperti orang mematah-matahkan sekum­pulan lidi saja! Kemudian ia membuang senjata-senjata yang sudah patah itu ke atas tanah.

Melihat ini, semua orang terheran-­heran. Thian Tok Lama dan Thai Li La­ma terkejut sekali. Terutama Thai Li Lama yang merupakan seorang tokoh dan ahli sihir. Dia tadi sampai ikut diam tak mampu bergerak mendengar bentakan Han Han, maka tahulah pendeta ini bah­wa sekarang Si Pemuda berkaki buntung telah memiliki kekuatan yang mujijat, jauh lebih kuat daripada dahulu ketika bertanding kekuatan sihir dengannya. Namun, sebagai dua orang yang memiliki sin-kang tenaga batin kuat, dua orang pendeta Tibet ini sudah dapat menguasai dirinya kembali dan sambil berseru ma­rah mereka menerjang maju dari kiri kanan memukul dengan pengerahan sin-­kang ke arah Han Han.

Menghadapi pukulan dari kiri kanan yang amat kuat ini, Han Han malah ber­diri tegak dan memejamkan matanya! Tentu saja Im-yang Seng-cu, Lulu dan Sin Kiat menjadi terkejut dan amat kha­watir menyaksikan dua pukulan yang mendatangkan angin mendesir kuat sekali itu. Tiba-tiba Han Han mengembangkan kedua lengannya dan berseru.

“Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, pergilah kalian!”

Kedua telapak tangan Han Han me­nyambut pukulan dua orang lawannya. Terjadilah pertemuan tenaga yang amat hebat! Tubuh Han Han diam seperti arca, akan tetapi tubuh dua orang pendeta Lama itu tergoncang hebat. Mereka ma­sih hendak bertahan, namun mereka ter­guncang makin hebat dan kalau dilanjut­kan pertahanan mereka, tentu isi dada mereka akan hancur. Mengerti akan ba­haya maut, keduanya lalu melompat mun­dur dan terhuyung-huyung, lalu roboh terpelanting dan cepat mereka duduk bersila mengatur pernapasan!

Pasukan itu menjadi gempar. Mereka tadi tak dapat menggerakkan kaki tangan sama sekali, dan barulah sekarang mere­ka dapat bergerak, namun apa yang da­pat mereka lakukan? Senjata telah di­rampas begitu mudah, dan dua orang pendeta itu telah terluka hebat.

“Pergilah, dan bawalah mereka pergi dari sini,” Han Han berkata halus kepada pasukan itu. Akan tetapi dua orang pen­deta itu sudah bangkit kembali, sejenak memandang kepada Han Han dengan sinar mata penuh kemarahan, kekaguman dan juga penasaran. Mereka benar-benar merasa heran sekali mengapa baru ber­pisah beberapa bulan saja, agaknya ke­pandaian Si Pemuda buntung ini sudah meningkat secara luar biasa!

“Suma Han, semenjak saat itu, engkau adalah musuh negara dan kami akan selalu berusaha untuk membunuhmu! Engkau seorang pelarian, seperti halnya Pu­teri Nirahai!” kata Thian Tok Lama.

Han Han menghela napas panjang. “Sudah untung kami! Akan tetapi, pe­ganglah aturan orang-orang gagah ji-wi losuhu. Kalian boleh saja mencari aku dan Sang Puteri, akan tetapi jangan sekali-kali mengganggu orang lain yang tiada sangkut-pautnya dengan kami. Sang Puteri telah pergi, dan aku pun akan pergi dari sini. Kalian boleh mencari kami kalau bisa, suatu usaha yang sia-­sia belaka karena sesungguhnya aku tidak peduli akan urusan dunia lagi. Nah, per­gilah!”

“Engkau.... siluman!” Thai Li Lama berseru penuh keheranan. “Engkau patut dijuluki Pendekar Siluman!”

Para pasukan yang masih terheran-heran menyaksikan cara pemuda itu me­rampas senjata mereka, otomatis berseru, “Pendekar Siluman....!”

“Kalian jangan memaki kakakku! Hayo pergi, kalau tidak, sekali aku turun ta­ngan, aku tak akan sesabar kakakku dan takkan puas sebelum kepala kalian menggelinding di sini!” Lulu meloncat maju­ dan memaki-maki marah mendengar ka­kaknya dijuluki Pendekar Siluman.

Dua orang hwesio Lama itu menghela napas lalu membalikkan tubuh, melangkah pergi diikuti para pasukan yang masih merasa ngeri dan takut. Semua tamu yang menyaksikan peristiwa ini juga me­mandang Han Han seperti orang meman­dang mahluk aneh bukan manusia, kagum heran dan juga serem. Hanya Im-yang Seng-cu yang memandang penuh kekagum­an, menjura kepada Han Han sambil berkata lirih.

“Sungguh bahagia sekali bagi mata tuaku ini menyaksikan cucu sahabat baik Suma Hoat menjadi seorang yang ke­saktiannya jauh melampaui nenek moyangnya. Siancai.... siancai!”

Lulu sudah menggandeng tangan Han Han diajak memasuki gedung dan dara yang sejenak lupa bahwa dia sedang men­jadi pengantin ini menegur kakaknya, “Han-koko, mengapa kau tidak menceritakan aku tentang Suci Nirahai? Engkau melarikan dia dari istana? Aihhh, engkau nakal sekali. Kau harus menceritakan hal itu kepadaku, Koko....!”

Setelah pesta pernikahan itu selesai dan para tamu sudah pulang, barulah pada malam hari itu Han Han terpaksa bercerita kepada Lulu dan Sin Kiat. Dengan terus terang Han Han menceritakan bah­wa atas keputusan mendiang Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee, dia dijodoh­kan dengan Nirahai.

Mendengar penuturan Han Han sampai di sini, Lulu menangis. Menangis karena gurunya, Nenek Maya, telah meninggal dunia, dan menangis saking terharu men­dengar bahwa kakaknya dijodohkan dengan Nirahai.

Han Han melanjutkan ceritanya yang menyedihkan, betapa kaisar bukan hanya melarang perjodohan itu, bahkan men­jebloskan Nirahai ke dalam penjara. Be­tapa dia menyerbu istana untuk mem­bebaskan Puteri Nirahai.

“Di mana suci sekarang, Koko? Kena­pa tidak ikut ke sini?” Lulu bertanya tak sabar.

“Benar sekali pertanyaan isteriku, Han Han. Kenapa dia tidak ikut ke sini dan.... alangkah baiknya kalau tadinya dirayakan pernikahan kalian di sini,” kata pula Sin Kiat yang menyebut Lulu “isteriku” de­ngan suara mesra, akan tetapi tidak dapat mengubah panggilannya terhadap Han Han yang dianggapnya sahabat sejak kecil.

“Ya, kenapa tidak begitu, Koko? Ma­na suci?” Lulu bertanya lagi penuh de­sakan.

Han Han merasa jantungnya seperti ditusuk, akan tetapi hanya untuk bebe­rapa detik saja karena perasaan ini telah tenggelam dan lenyap. Betapapun juga, wajahnya membayangkan kesayuan dan kekosongan, sayu dan layu, sinar matanya seperti lampu kehabisan minyak. Ia meng­hela napas dan menggeleng kepalanya. “Dia telah pergi, Lulu. Dan harap jangan mendesakku.... cukup kalau kuberitahukan bahwa.... bahwa.... di antara kami tidak sefaham.”

“Koko....!” Lulu memegang pundak kakaknya dan menangis. Dia telah me­ngenal betul wajah kakaknya dan maklum bahwa pada saat itu, kakaknya sedang menderita tekanan batin yang amat he­bat.

“Huuussshhhhh, jangan begini, Lulu.” Dari atas pundak Lulu, Han Han mem­beri isyarat kepada Sin Kiat untuk meng­hibur Lulu. Dia bangkit berdiri dan ber­kata, “Lulu, tentang diriku tak perlu kauhiraukan lagi. Bagiku, yang terpenting adalah keadaanmu. Sudah menjadi ke­wajibanku untuk berusaha sekuat tenaga demi kebahagiaanmu. Kini engkau telah menemukan jodoh, telah mendapatkan seorang suami yang kupercaya penuh akan mencintamu selamanya, akan men­jagamu, membimbingmu dan melindungi­mu dengan seluruh jiwa raganya. Maka legalah hatiku, adikku. Cukuplah hidup ini bagiku kalau melihat engkau bahagia. Kini aku dapat pergi dengan hati lapang, tidak lagi mengkhawatirkan hidupmu. Yang pandai-pandailah engkau menjaga dan mengatur rumah tanggamu, Lulu. Yang hati-hatilah engkau bersama suamimu mendayung biduk rumah tanggamu menuju ke pantai bahagia. Aku.... aku hanya dapat mendoakan setiap saat un­tuk kebahagiaanmu.”

“Koko....! Engkau.... engkau akan ke mana....?” Lulu bertanya dengan muka pucat melibat kakaknya bangkit berdiri dan agaknya siap hendak pergi itu.

Han Han tersenyum, senyum yang menyayat jantung Lulu. “Ke mana? Ten­tu saja pergi dari sini, adikku. Aku sudah bebas sekarang, bebas lepas seperti bu­rung di udara, bebas daripada tugas, bebas dari segala-galanya. Aku akan pergi, sekarang juga....”

“Koko, jangan pergi sekarang....!” Lulu berteriak, mukanya makin pucat dan air matanya mengucur deras. Melihat keadaan isterinya ini, Sin Kiat cepat merangkul pundak isterinya dan ikut berkata.

“Han Han, mengapa tergesa-gesa? Tinggallah di sini barang sepekan....”

Han Han menengok keluar jendela. Bulan sedang purnama dan di luar rumah terang seperti siang. “Tidak, aku harus pergi sekarang! Malam ini merupakan malam bahagia bagi kalian, dan merupakan malam keramat bagiku. Aku harus pergi, selagi bulan sedang purnama, selagi hatiku sedang terang....”

“Han-koko....!” Lulu menjerit menahan isak. “Engkau hendak pergi ke manakah? Malam-malam begini....? Ke mana....?”

Kembali Han Han memaksa tersenyum kepada adiknya. “Ke mana? Ke manakah semua manusia akan pergi? Hemmm, aku tidak tahu, adikku. Dunia ini terlalu luas, dan di manapun sama saja. Terserah kepada hati dan kakiku ke mana aku pergi. Jangan engkau memikirkan aku lagi, adikku. Nah, selamat tinggal....”

“Koko....!”

“Han Han, jangan pergi seperti ini! Besok saja....!” Sin Kiat mencegah.

“Tidak, sekarang inilah saatnya,” Han Han berpincangan keluar.

“Koko, aku antar engkau....” Lulu mengejar. Sin Kiat juga mengejar. “Kami antar sampai keluar kota!” kata Sin Kiat yang terharu menyaksikan penderitaan isterinya. Han Han tak dapat membantah lagi.

Di luar ruangan gedung, mereka bertemu dengan Tan-piauwsu, atau Tan Bu Kong pemilik Pek-eng-piauwkiok. Ketika mendengar bahwa malam hari itu juga Han Han akan pergi, Tan Bu Kong menyatakan keheranannya, akan tetapi dia tidak berani mencegah bahkan ikut pula mengantar.

Setibanya di luar kota, Han Han berkata, “Sudah cukup, adikku Lulu. Cukuplah Sin Kiat dan Tan-piauwsu. Kembalilah kalian ke kota, aku akan melanjutkan perjalananku.”

“Koko....! Ahhh, Koko.... jangan.... jangan tinggalkan aku....!” Lulu tidak mempedulikan apa-apa lagi, menubruk Han Han, merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil menangis sesunggukan.

“Lulu, engkau bukan anak kecil lagi, mengapa bersikap begini? Tidak baik begini, Lulu....”

“Bawalah aku, Koko.... bawalah aku...., aku tidak bisa berpisah lagi darimu....!”

“Lulu!” Han Han membentak sehingga Lulu tersentak kaget. Dengan gerakan halus Han Han mendorong Lulu mundur, kemudian berkata, “Ingat, engkau adalah isteri Wan Sin Kiat yang mencintamu dan kaucinta. Adikku sayang, selamat tlinggal, semoga Tuhan melindungimu selamanya!” Setelah berkata demikian, Han Han membalikkan tubuh dan berjalan terpincang-pincang meninggalkan mereka.

Lulu seperti terkena pesona berdiri seperti patung, mukanya pucat, air matanya bercucuran, matanya tak pernah berkedip menatap tubuh yang pergi itu. Tubuh seorang laki-laki yang berkaki satu, terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya, rambutnya terurai lepas berwarna putih. Sesosok tubuh yang menimbulkan haru dan iba kepada yang melihatnya, terutama sekali Lulu.

“Koko....! Han-koko.... kakakku....!”

Sin Kiat sudah memegang lengannya. “Kuatkan hatimu, isteriku. Biarkan kakakmu pergi, di sini ada aku suamimu yang mencintamu lahir batin....” Sin Kiat menahan isak yang bercampur dalam suaranya.

Lulu membalikkan tubuh memandang suaminya, lalu menubruk suaminya dan menangis tersedu-sedu. “Han-koko.... ah, Han-koko.... betapa malang dan sengsara nasib kakakku.... dia.... selalu berusaha menolong orang sengsara.... akan tetapi dia sendiri selalu dirundung malang.... ohhh, kakakku....”

Sin Kiat memeluk isterinya, kemudian mereka berdua memandang tubuh yang makin menjauh itu. Tubuh yang berjalan terpincang-pincang di bawah sinar bulan purnama, dan tidak pernah sekali juga Han Han menoleh. Bukan karena tidak ingin, oh, dia ingin sekali menoleh, akan tetapi dia tidak mau tampak oleh mereka betapa kedua pipinya basah oleh tetesan air matanya....!

Berbareng dengan kepergian Suma Han atau Han Han, yang dikenal sebagai Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman, maka berakhirlah cerita yang berjudul Pendekar Super Sakti ini. Khu­sus untuk para pembaca yang masih ingin mengikuti perjalanan hidup Han Han yang selama ini banyak menderita, pengarang menyusun sebuah cerita baru yang merupakan lanjutan cerita ini, yang ber­judul “Sepasang Pedang Iblis”. Dalam cerita ini, pembaca akan berjumpa kem­bali dengan Han Han, dengan Nirahai, Lulu dan tokoh-tokoh dalam cerita Pendekar Super Sakti.

Semoga cerita Pendekar Super Sakti ini mengandung manfaat bagi pembaca, dan pengarang menyertakan salamnya bersama salam dari Han Han kepada para penggemar dengan ucapan: “Semoga Tuhan memberkahi kita semua dan sampai jumpa dalam cerita “Sepasang Pedang Iblis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar