Selasa, 20 September 2011

Cerita Silat : Pendekar Super Sakti [Kho Ping Ho] 9

me­megang bendera kebesaran Su-ciangkun.

“Han Han....!” Jerit suara Soan Li melengking amat nyaringnya. Akan tetapi terdengar bentakan dari belakangnya.

“Robohlah, bocah keras kepala!”

Serangkum tenaga yang amat dahsyat menyambar dari belakang. Soan Li yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, maklum bahwa Ma-bin Lo-mo menyerang­nya dengan pukulan sin-kang, pukulan jarak jauh yang amat kuat. Cepat ia mengelak dengan meloncat ke samping, akan tetapi tetap saja hawa pukulan Swat-im Sin-ciang menyerempetnya dan ia terhuyung-huyung, merasa betapa tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi dingin sekali. Pada saat tubuhnya terhuyung itu, terdengar teriakan Han Han.

“Soan Li....!”

“Han Han.... awas.... tertipu....!”

“Syut-syut-syut-ser-ser-ser....!” Ketika tangan Kek Bu Hwesio, yaitu hwesio gemuk yang menjadi pembantu Ma-bin Lo-mo bergerak, belasan batang panah tangan telah beterbangan menyambar ke arah tubuh Soan Li dari belakang. Me­mang hwesio yang menjadi pelarian Kong-thong-pai ini memiliki keahlian mem­pergunakan panah tangan.

Soan Li sedang terhuyung dan perhatiannya tertarik kepada Han Han, ma­ka biarpun ia berusaha melempar tubuh mengelak, tetap saja ada enam batang anak panah mengenai tubuhnya, menan­cap di pundak, punggung dan lengan.

“Aduhhhhh....! Han Han.... Han-twako.... awas....!”

“Soan Li....!” Han Han sudah sejak tadi mencelat dari atas kudanya dan de­ngan kecepatan luar biasa sekali tubuh­nya berloncatan ke depan sehingga dalam beberapa detik saja ia sudah tiba di tempat itu. Namun terlambat. Dengan mata terbelalak pemuda ini melihat be­tapa tubuh Soan Li penuh dengan anak panah dan dara ini merangkak ke arah­nya dengan tangan terulur ke depan dan bibir mengeluarkan kata-kata.

“Han Han.... mereka akan membunuhmu.... kau terjebak....!”

Akan tetapi Han Han tidak mendengarkan lagi ucapan gadis itu. Tongkat­nya sudah bergerak seperti kilat menyambar ke arah Ma-bin Lo-mo dan hwe­sio yang hanya gundul kepalanya akan tetapi di tengkuknya tumbuh rambut, jenggotnya seperti jenggot kambing dan kumisnya melingkar itu. Kek Bu Hwesio meloncat ke belakang, lalu melepas anak panah ke arah Han Han, sedangkan Ma-bin Lo-mo cepat mengelak. Akan tetapi dengan gerakan tongkatnya, Han Han berhasil meruntuhkan semua anak panah dan melihat betapa tubuh Soan Li penuh anak panah, kemarahannya meluap ke arah hwesio itu dan tubuhnya secara tiba-tiba sudah mencelat ke depan Kek Bu Hwesio. Ma-bin Lo-mo mendengus dan menerjang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Akan tetapi dengan tangan kirinya Han Han menangkis.

“Desss!” Tubuh Ma-bin Lo-mo mencelat sampai hampir sepuluh meter. Kakek ini berjungkir-balik dan matanya terbelalak saking heran dan gentarnya. Han Han sudah menggerakkan tangannya dan keti­ka itu ada serangan dari belakang, yaitu serangan pedang yang dilakukan oleh Ciuw Kian dan serangan pecut besi di tangan Swi Coan si Muka Tengkorak, dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo.

“Haiiiiittttt!” Han Han menggerakkan tongkatnya ke belakang, cepat sekali sampai tak dapat diikuti pandangan mata.

“Prakk! Prakkk!” Tanpa dapat menge­luh lagi Ouw Kian dan Swi Coan roboh dengan kepala pecah!

Kek Bu Hwesio sudah dapat melom­pat mundur dan enam orang pengawal yang berkuda sudah datang menerjang. Han Han mengamuk. Tongkatnya ber­gerak sedemikian rupa sehingga enam orang pengawal itu mencelat dengan tubuh remuk, tiga ekor kuda roboh akan tetapi tongkat Han Han tertinggal di perut kuda terakhir! Dia terpaksa melepaskan tongkatnya karena pada saat itu, belasan batang anak panah yang dilepas Kek Bu Hwesio datang menyam­bar. Dengan kedua tangan kosong Han Han menangkap belasan batang anak panah lalu kedua tangannya bergerak. Ter­dengar teriakan-teriakan ketika belasan orang pengawal roboh dan beberapa ekor kuda roboh pula terkena anak panah yang dilontarkan Han Han. Kini sekali kakinya mengenjot tanah, tubuhnya sudah menyambar ke depan, tahu-tahu jubah depan Kek Bu Hwesio sudah ia cengkeram dengan tangan kiri.

“Han Han.... Twako.... awas.... larilah....!”

Han Han menoleh dan melihat betapa Soan Li merangkak-rangkak ke arahnya, dan kini menyentuh lututnya, tak ter­tahankan lagi air matanya bercucuran. Gadis itu, dalam keadaan hampir mati, masih saja memikirkan keselamatannya! Dengan kemarahan meluap, ketika pada saat itu ada seekor kuda yang ditung­gangi seorang pengawal meloncat hendak menubruk, Han Han menggunakan tangan kanan menampar ke arah perut kuda.

“Bukkk!” Kuda meringkik, terlempar ke udara bersama penunggangnya dan terbanting roboh menindih penunggangnya yang mati seketika karena tulang punggungnya patah.

“Jahanam engkau.... penjahat berpakaian pendeta....!” Mulut Han Han mendesis, kedua matanya bercucuran air mata dan ia membanting tubuh hwesio itu ke atas tanah.

“Prokk!” Hwesio itu tewas dengan kepalanya hancur tidak merupakan kepala lagi.

“Han-twako....!” Soan Li mengeluh. “Larilah....!”

“Soan Li.... ah, Soan Li....!” Han Han menyambar tubuh gadis itu, dipang­gulnya dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, ketika turun, kakinya menen­dang roboh dua orang pengawal.

“Tangkap.... kepung....!” Terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang juga mengejar sungguhpun ia terbelalak menyaksikan sepak terjang pemuda itu. Betapa mung­kin pemuda buntung itu menjadi sedemi­kian lihainya setelah kakinya buntung?

Han Han menangkap seorang pengawal dengan sebelah tangan dan melontarkan­nya ke arah Ma-bin Lo-mo yang menge­jarnya. Terpaksa kakek ini mengelak, akan tetapi Han Han sudah merobohkan lagi empat orang pengawal yang berani membayanginya dan melihat keganasan sepak terjang pemuda buntung itu, para perajurit menjadi gentar. Han Han terus melompat dan mengerahkan ilmu yang ia pelajari dari Khu Siauw Bwee sehingga tubuhnya yang memanggul tubuh Soan Li itu sebentar saja mencelat berulang-ulang, makin jauh dan lenyap dari situ!

“Kejar....! Tangkap....!”

Entah mulut siapa yang berteriak-teriak ini, terlalu banyak. Dan mereka memang mengejar, akan tetapi karena hati telah menjadi gentar, tidak ada yang mendahului kawan dan pengejaran itu sia-sia belaka.

Dengan air mata bercucuran, Han Han merebahkan tubuh Soan Li ke atas rumput setelah mencabuti anak panah yang menancap di bagian belakang tubuh gadis itu. Akan tetapi Soan Li rebah tak bergerak, mukanya pucat, seluruh pakai­annya berlumuran darah, kedua matanya meram.

“Soan Li....! Soan Li.... ah, Soan Li!” Han Han menangis dan mengguncang tubuh itu, seolah-olah hendak memanggil kembali nyawa yang sudah hampir me­ninggalkan raga itu.

Soan Li membuka kedua matanya, memandang Han Han dan.... tersenyum! Senyum ini merupakan tangan maut sendiri yang merenggut jantung Han Han.

“Soan Li....! Mengapa engkau mengorbankan diri untukku....?”

“Han.... Twako.... syukur engkau selamat.... hatiku puas....”

“Soan Li! Soan Li.... kenapa engkau begini....? Apa kaukira aku akan bahagia melihat engkau mati karena hendak menyelamatkan aku? Soan Li.... kau tidak boleh mati hanya untuk aku....!” Han Han seperti orang gila, mengguncang-guncang tubuh gadis itu yang sudah memejamkan mata kembali.

Soan Li membuka mata untuk kedua kalinya dan pandang mata gadis itu per­sis pandang mata Kim Cu, persis pan­dang mata Sin Lian. Begitu mesra! Han Han menangis, mengguguk. Tak mampu ia bicara lagi.

“Han-twako.... aku bahagia.... aku.... aku cinta padamu, Han-twako....”

“Soan Li....!”

Mulut gadis itu megap-megap seperti ikan dilempar ke darat. Han Han men­jerit, lalu menutup mulut gadis itu de­ngan mulutnya sendiri, seolah-olah ia ingin menyambung nyawa gadis itu, ingin menambah napas gadis itu dengan napasnya.

“Han-twako....” gadis itu mengeluh dan Han Han seperti merasa betapa na­pas terakhir terhembus dari mulut itu memenuhi dadanya sendiri dan ia ter­gelimpang, pingsan sambil memeluk Soan Li!

Tentu saja Han Han sama sekali tidak tahu bahwa siasat yang diaturnya ber­sama Lauw-pangcu itu sebetulnya telah diketahui semua oleh fihak Mancu! Dua orang utusan yang dibunuhnya dan di­rampas suratnya, adalah utusan dari Pu­teri Nirahai. Puteri ini memiliki kecer­dikan yang luar biasa, maka tentu saja ketika mengirim utusan kepada Su-ciang­kun untuk membawa perintah sepenting itu, Puteri Nirahai tidak mau bertindak sembrono. Setengah hari setelah dua orang utusan pertama itu berangkat dia mengirim utusan ke dua yang bertugas menyelidiki apakah perintah yang dibawa utusan pertama itu telah tiba di markas Su-ciangkun dengan selamat.

Tentu saja utusan ke dua ini menemukan mayat dua orang kawannya di tengah jalan maka cepat ia melanjutkan per­jalanan ke markas Su-ciangkun. Ketika ia menyampaikan laporan tentang terbunuh­nya utusan dari kota raja dan lenyapnya surat perintah, saat itu Han Han sedang mengunjungi Lauw-pangcu.

Demikianlah, ketika Han Han muncul di markas itu mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai, tentu saja Su-ciangkun sudah tahu bahwa pemuda buntung itu sebetulnya adalah mata-mata pemberon­tak yang membunuh utusan kota raja dan merampas surat perintah. Ketika Han Han menyerahkan surat perintah itu ke­padanya dan ia membaca isinya yang tulen, Su-ciangkun sebagai seorang per­wira perang mengerti bahwa fihak pem­berontak menggunakan surat perintah itu untuk mengatur jebakan. Dia lalu sengaja mencoba ilmu kepandaian Han Han, terkejut menyaksikan kelihaian pemuda bun­tung itu, maka ia menerimanya dengan baik akan tetapi diam-diam ia mengirim utusan untuk memanggil Ma-bin Lo-mo agar dengan bantuan orang sakti itu, pe­muda buntung yang lihai ini dapat di­tangkap dalam keadaan hidup. Dia ingin menggunakan pemuda buntung itu untuk memaksa para pemberontak agar suka menyerah tanpa perang.

Dan mengapa Ma-bin Lo-mo yang terkenal sebagai seorang pejuang itu tiba-tiba bersekutu dengan perwira Man­cu? Mengapa pula dia mau diundang oleh pasukan utusan Su-ciangkun, dan datang menunggang perahu, bahkan mengajak pula tiga orang pembantunya untuk membantu pasukan Mancu?

Hal ini sebetulnya sudah terjadi jauh sebelum Ma-bin Lo-mo mendatangi tem­pat tinggal Lauw-pangcu. Jauh sebelum itu, Ma-bin Lo-mo telah bertukar haluan, diam-diam ia telah membalik dan mem­bantu Kerajaan Mancu. Hal ini tadinya ia lakukan secara terpaksa sekali karena tekanan yang dilakukan Kang-thouw-kwi Gak Liat sesuai dengan rencana yang diatur oleh Puteri Nirahai. Gak Liat telah menemui Ma-bin Lo-mo dan mem­bujuk Iblis Muka Kuda ini untuk bekerja sama membantu Kerajaan Ceng dan menghancurkan pertahanan Bu Sam Kwi di Se-cuan. Tentu saja Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dahulu pernah menjadi seorang menteri di Kerajaan Beng, menolak dan memaki-maki Gak Liat.

“Setan Botak tak tahu malu!” Demikian jawabnya. “Engkau telah melupakan bangsa dan mengekor kepada bangsa Mancu, itu adalah urusanmu sendiri. Mengapa engkau membujuk-bujuk aku? Kalau aku tidak sudi, engkau mau apa? “Hemmm.... Hwi-yang Sin-ciang darimu itu sama sekali tidak membuat aku takut!”

“Ha-ha-ha-ha, Si Kuda Iblis sombong sekali bicaramu!” Kang-thouw-kwi Gak Liat memaki dan tertawa mengejek. “Siapakah tidak tahu bahwa Siangkoan Lee dahulu adalah seorang menteri Kerajaan Beng? Akan tetapi siapa pula tidak tahu bahwa Menteri Siangkoan Lee menjadi rusak namanya karena selain tukang me­rampas anak bini orang, tukang meram­pas harta dan tanah ladang, juga tukang korupsi besar-besaran?”

“Setan Botak mau mampus! Mulutmu sama busuknya dengan hatimu! Mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di an­tara kita!”

Melihat Ma-bin Lo-mo sudah dapat dibikin panas hatinya dan hendak me­nyerang, Gak Liat cepat berkata, “Tahan dulu! Sama sekali aku tidak takut ke­padamu, kuda iblis! Akan tetapi sayang kalau kau mampus sekarang, tenagamu masih amat dibutuhkan pemerintah. Se­karang kau boleh pilih, membantu pe­merintah Ceng ataukah engkau mati dikeroyok murid-muridmu sendiri?”

“Hahhh? Apa maksudmu, Setan Botak keparat?”

Gak Liat tertawa. “Ma-bin Lo-mo, marilah kita bicara sebagai orang-orang tua yang sudah matang pikirannya. Aku tahu, juga pemerintah bahwa engkau berjuang untuk dirimu sendiri. Engkau bercita-cita mengalahkan Pemerintah Ceng agar engkau dapat membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah run­tuh dan engkau akan menjadi kaisarnya! Hemmm, boleh saja bercita-cita menge­jar kemuliaan, akan tetapi jangan terlampau tinggi. Engkau mimpi di siang hari. Lebih baik engkau mengabdi kepada Kerajaan Ceng dan engkau tentu akan menikmati kemuliaan dan kedudukan yang cukup tinggi, sesuai dengan kepandaian­mu. Pemerintah Ceng pandai menghargai orang. Kalau engkau menolak, murid-muridmu yang menjadi pasukan In-kok-san akan tahu siapa sebetulnya yang membasmi keluarga mereka!”

Wajah Ma-bin Lo-mo berubah. Ia pura-pura tidak mengerti dan memaki lagi, “Gak Liat, apa artinya ucapanmu itu?”

“Wah, engkau masih pura-pura lagi, Siangkoan Lee? Engkau bermaksud mem­bentuk pasukan yang kuat, terdiri dari murid-muridmu di In-kok-san. Untuk ke­perluan itu, engkau memilih banyak bo­cah yang berbakat, diam-diam kaubunuh keluarga mereka dan kaukatakan bahwa orang Mancu yang membunuh, sehingga engkau menanamkan benih kebencian di hati para muridmu terhadap Pemerintah Mancu agar kelak dapat kaupergunakan tenaga mereka untuk membantu kau mencapai cita-citamu....!”

Wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. “Setan....! Cukup, tak perlu membuka mulut lagi. Katakan, apa kehendakmu?”

“Aku hanya melakukan tugas yang diperintahkan Puteri Nirahai.”

“Hemmm, apa kehendaknya?”

“Tidak lain, kau diminta untuk bekerja sama, membantu pemerintah untuk meng­hancurkan para pemberontak, terutama sekali pemberontak Bu Sam Kwi di Se-cuan. Untuk jasa-jasamu, tentu kaisar tidak akan melupakan dan kelak kita tentu akan menikmati hari tua yang mulia dan terhormat.”

Demikianlah, siasat yang dijalankan oleh Gak Liat atas perintah Puteri Nirahai itu berhasil baik. Ma-bin Lo-mo mem­bujuk murid-muridnya yang berjumlah hampir seratus orang untuk membalik dan membantu Pemerintah Mancu. Tentu saja sebagian besar muridnya tidak sudi karena bukankah kduarga mereka ter­basmi habis oleh orang-orang Mancu? Mereka yang tidak mau mengikuti jejak guru mereka lalu meninggalkan In-kok-san dan sebagian menggabung pada para pejuang. Banyak pula yang lari ke Se-cuan untuk membantu Bu Sam Kwi meng­adakan perlawanan terhadap bala tentara Mancu yang berusaha menalukkan Se-cuan.

Ketika tidak berhasil menangkap Han Han, bahkan tiga orang pembantunya yang setia dan pandai itu tewas secara mengerikan di tangan pemuda kaki bun­tung yang amat luar biasa itu, Ma-bin Lo-mo menjadi marah dan menyesal se­kali. Juga di dalam hatinya ia merasa heran. Dia maklum bahwa Han Han te­lah mewarisi ilmu-ilmu aneh dari Pulau Es, akan tetapi dia pernah bertanding melawan Han Han sebelum kaki pemuda itu buntung, dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi mengapa seka­rang pemuda itu setelah kakinya buntung menjadi makin hebat kepandaiannya? Bahkan tadi ketika menangkis pukulan saktinya juga membuktikan bahwa tenaga sin-kang pemuda itu jauh lebih matang daripada sebelum kakinya buntung! Dan ilmunya bergerak seperti kilat itu, berloncatan seperti terbang saja! Ilmu apakah itu dan dari mana pemuda buntung itu memperolehnya? Diam-diam ia me­rasa gentar sekali, maklum bahwa kini tingkat kepandaiannya tidak akan dapat menandingi kepandaian pemuda yang mujijat itu!

Pasukan yang dipimpin oleh Su-ciang­kun, dibantu oleh Ma-bin Lo-mo, melan­jutkan perjalanan mereka menyerbu sa­rang Pek-lian Kai-pang. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Han Han dan Soan Li tadi tidak mengubah rencana mereka menghancurkan sarang pemberontak. Su-ciangkun sebagai seorang ahli perang yang pandai, maklum bahwa pasukannya akan menghadapi jebakan kaum pembe­rontak, maka diam-diam dia memecah-mecah pasukannya menjadi empat bagian. Bagian pertama sengaja ia biarkan untuk dijebak, akan tetapi diam-diam dua pasu­kan menyusul dari kanan kiri merupakan sayap untuk melindungi induk pasukan yang akan dijebak musuh. Sedangkan bagian ke empat menggunakan perahu-perahu menyerbu melalui air! Dengan siasat yang lihai ini, bukan pasukan Mancu yang terancam, sebaliknya malah fihak pemberontak yang berada dalam bahaya.

Lauw-pangcu yang sudah mengatur barisan pendam di dalam hutan, menjadi girang sekali ketika melihat pasukan Mancu terdiri dari dua ratus lima orang memasuki hutan itu, memasuki jebakan, memasuki perangkap yang dipasangnya! Hari telah menjelang senja ketika pasu­kan Mancu itu memasuki hutan yang di­jadikan tempat perangkap untuk menyer­gap pasukan Mancu. Setelah pasukan Mancu yang megah itu semua memasuki hutan, tiba-tiba terdengar suara meleng­king dan itulah tanda yang diberikan oleh Sin Lian. Dari lubang-lubang dalam tanah menyambar ratusan batang anak panah ke arah dua ratus lima orang tentara Mancu yang menggunakan perisai-perisai dan golok menangkis anak panah dan melindungi diri. Akan tetapi ada beberapa orang terjungkal dan beberapa ekor kuda roboh. Selagi pasukan Mancu menjadi bingung karena diserang dari kanan kiri dan muka belakang, para pejuang ber­sorak-sorak dan berteriak-teriak, melon­cat keluar dari tempat persembunyian mereka dalam tanah berlubang, dari balik-balik batang pohon dan semak-semak, dari atas pohon dan menyerbu pasukan yang sedang bingung itu.

Jumlah anak buah Lauw-pangcu tidak kurang dari tiga ratus orang dan hampir semua adalah ahli-ahli silat yang pandai. Apalagi di situ, terdapat Lauw-pangcu sendiri yang mengamuk, dan terutama sekali Lauw Sin Lian dan Wan Sin Kiat yang membabati para perajurit Mancu seperti orang membabati rumput saja. Kalau Su-ciangkun tidak mengatur siasat lebih dulu dengan membagi-bagi pasukan­nya, dan andaikata pasukannya hanya berjumlah lima ratus dan semua terjebak, tentu akan hancurlah pasukannya. Pasu­kan induk ini melawan sekuatnya, namun karena mereka diserbu dari empat penjuru secara tiba-tiba, mereka menjadi kacau-balau.

Para pemberontak atau pejuang sudah merasa girang sekali dan mengang­gap bahwa siasat mereka berhasil. Tidak sampai setengah malam tentu semua pasukan Mancu akan dapat mereka basmi semua, demikian pikir Lauw-pangcu dan anak buahnya.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara terompet tanduk berbunyi dari empat penjuru di luar hutan itu dan menyerbu­lah tujuh ratus lima puluh orang tentara Mancu dari empat penjuru, dipimpin oleh Su-ciangkun sendiri dan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo! Kalau tadi anak buah Lauw-pangcu meayergap dan mengurung, kini mereka sendiri dikurung dan keadaan menjadi kacau-balau. Perang terjadi amat hebatnya. Anak buah Lauw-pangcu yang terjepit itu menjadi nekat dan mengamuk mati-matian. Mereka akan mati seperti tikus-tikus terjepit, maka lebih baik me­lawan dan mati sebagai sekumpulan hari­mau.

Lauw-pangcu terkejut bukan main. Juga Sin Lian dan terutama sekali Sin Kiat menjadi khawatir sekali. Bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan sumoinya dan Han Han. Kalau sampai keadaan berubah seperti ini, hanya berarti bahwa Han Han dan sumoinya tentu telah gagal. Namun, me­reka tidak sempat banyak berpikir karena fihak musuh datang menyerbu bagaikan air membanjir. Dikeroyok banyak lawan, satu lawan empat, mulai berjatuhanlah fihak pejuang. Di bawah sinar obor yang dipegang kedua fihak, tampak darah muncrat, diselingi bunga api berpijar dan teriakan-teriakan bercampur dengan rin­tihan. Tubuh-tubuh manusia berjatuhan tumpang tindih, mayat-mayat yang mandi darah mulai berserakan.

Lauw-pangcu yang mengamuk hebat, setelah merobohkan tidak kurang dari dua puluh orang lawan dengan tongkatnya yang lihai, akhirnya roboh juga dengan dada tertembus tombak. Melihat ayahnya roboh, Sin Lian menjerit dan dengan isak tertahan gadis ini mengamuk. Pedangnya berkelebat seperti naga mengamuk dan tentara musuh yang berani mendekatinya tentu roboh hanya dalam dua tiga ge­brakan saja. Melihat kenekatan Sin Lian yang mencoba mendekati ayahnya, Sin Kiat menyerbu dan membantunya. Makin mawutlah fihak musuh.

“Hemmm, kalian sudah bosan hidup!” Bentakan ini disusul dengan menyambarnya angin pukulan dingin dan ternyata Ma-bin Lo-mo yang menyaksikan sepak terjang dua orang muda ini sudah maju menyerang. Melihat kakek ini, Sin Lian membentak marah.

“Kiranya engkau iblis tua bangka! Kiranya engkau adalah anjing penjilat Mancu pula!”

Akan tetapi terpaksa Sin Lian harus membuang diri menghindar dari sambaran angin pukulan Ma-bin Lo-mo seperti yang dilakukan Sin Kiat, kemudian ia mem­balas dengan terjangan ke depan dan menusukkan pedangnya ke dada kakek itu. Sin Kiat juga menerjang dari kiri, pedangnya membabat leher.

Ma-bin Lo-mo sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang kedua orang muda itu, maka ia tidak berani memandang rendah. Melihat dua sinar pedang me­nyambar, ia cepat melompat ke belakang, ujung lengan bajunya menampar untuk menangkis pedang Sin Lian yang melanjutkan tusukan dengan babatan kilat.

“Brett!” Pedang Sin Lian terpental dan cepat ia mennutar tubuh agar pe­dangnya tidak terlepas, akan tetapi ujung lengan baju Ma-bin Lo-mo terbabat pu­tus! Kakek ini marah sekali, setelah ia mengelak dari tusukan pedang Sin Kiat yang menyambar, secepat kilat kedua tangannya mendorong ke arah dua orang muda itu. Sin Kiat dan Sin Lian mak­lum akan kelihaian pukulan jarak jauh ini. Mereka tidak keburu mengelak, dan menangkis dengan gerakan tangan sambil mengerahkan sin-kang pula. Akan tetapi, tetap saja tubuh mereka terdorong hebat ke belakang, membuat mereka terhuyung dan pada saat itu, dua orang perwira pembantu Su-ciangkun sudah menubruk dan menusukkan tombak mereka ke arah kedua orang muda yang sedang terhuyung itu. Sin Kiat yang sedang terhuyung me­lihat datangnya tusukan tombak dengan tenaga yang kuat itu, cepat menjatuhkan diri, berguling ke depan sehingga tombak lewat di atas kepalanya, kemudian ia menusukkan pedangnya yang amblas ke dalam perut lawan. Ketika darah me­ngucur menyusul pedang yang dicabut­nya, Sin Kiat sudah meloncat kembali sehingga tidak terkena semprotan darah. Adapun Sin Lian yang tadinya juga ter­huyung, ketika ditusuk dari arah kanan oleh perwira Mancu, tidak sempat me­nangkis. Ia mempergunakan tangan kiri menyambar leher tombak, meminjam tenaga lawan menarik tombak sehingga tubuh lawan ikut terdorong ke depan, lalu menggunakan tenaga sin-kang ia me­nekuk tombak sehingga patah tengahnya, lalu terus ia tusukkan ke lambung per­wira itu sehingga tembus!

Melihat betapa dalam keadaan ter­huyung kedua orahg muda itu masih sem­pat merobohkan dua orang perwira menengah, Ma-bin Lo-mo menjadi penasaran dan marah. Ia menerjang maju, bertubi-tubi menggerakkan kedua tangan ke arah Sin Lian dan Sin Kiat yang menjadi sibuk mengelak dan menangkis, tidak sempat lagi menyerang, padahal para pengeroyok sudah mengelilingi mereka dan siap-siap menghujankan senjata kepada dua orang muda lihai ini apabila mereka roboh oleh desakan Ma-bin Lo-mo. Menghadapi kakek bermuka iblis, murid Siauw-lim Chit-kiam dan murid Im-yang Seng-cu benar-benar kewalahan karena Ma-bin Lo-mo menggunakan Swat-im Sin-ciang yang luar biasa kuatnya.

Tiba-tiba keadaan perang menjadi makin kacau ketika banyak tentara Mancu roboh dan bahkan ada yang terlempar ke sana-sini seperti diamuk badai. Ternyata yang datang mengamuk itu adalah Han Han! Setelah dia siuman dari pingsannya dan menangisi Soan Li yang telah tewas, akhirnya Han Han teringat akan bahaya yang mengancam Lauw-pangcu dan anak buahnya. Teringat akan itu, dengan hati berduka sekali ia lalu menggali lubang dan menguburkan jenazah Soan Li. Kemudian ia menggunakan kepandaiannya berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat tinggal Lauw-pangcu.

“Han Han.... mana sumoi....?” Sin Kiat merasa lega melihat pemuda bun­tung itu, akan tetapi ia gelisah karena tidak melihat sumoinya datang bersama Han Han.

Ditanya tentang Soan Li, Han Han diingatkan kembali, air matanya mengalir turun dan tanpa menjawab ia lalu mener­jang maju, menghadapi Ma-bin Lo-mo yang sedang mendesak Sin Kiat dan Sin Lian.

Ma-bin Lo-mo yang marah sekali itu ketika melihat Han Han, lalu menerjang sambil mengeluarkan suara meringkik keras seperti kuda marah. Ia masih me­rasa penasaran dan kini ia mengerahkan seluruh tenaganya yang ada. Terdengar suara bercuitan ketika tenaga Swat-im Sin-ciang dengan kekuatan sepenuhnya menyambar ke depan! Han Han mengenal pukulan sakti, cepat ia berseru.

“Kalian minggirlah!”

Sin Kiat dan Sin Lian yang sudah berkali-kali mengenal pukulan dahsyat dari kakek itu, cepat melompat ke kanan kiri. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mau melompat minggir. Ia sudah marah sekali, kemarahannya yang timbul dari kedukaan yang hebat karena kemati­an Soan Li, maka kini menyaksikan be­tapa Ma-bin Lo-mo mengerahkan pukulan Swat-im Sin-ciang, ia pun berteriak keras dan dengan berdiri di atas sebelah kaki­nya, ia mendorongkan kedua tangannya ke depan menyambut pukulan Ma-bin Lo-mo! Han Han sudah kehilangan tongkat­nya yang tertinggal di perut kuda ketika ia mengamuk di depan benteng, kini ia tidak bertongkat lagi. Akan tetapi sin-kang yang keluar dari kedua lengannya adalah inti sari dari tenaga Im-kang yang amat dahsyat, yang sudah dia kuasai ketika ia berlatih di Pulau Es.

“Desssss....!” Hebat bukan main benturan dua tenaga sakti yang sama-sama mengandung hawa dingin itu. Empat orang tentara Mancu yang berdiri terlalu dekat, memekik ngeri dan roboh tak bernyawa lagi, karena jantung mereka membeku terkena sambaran tenaga sakti yang sa­ling bertabrakan. Tubuh Han Han mencelat ke atas, tinggi sekali, akan tetapi ia sudah meloncat lagi ketika kakinya menyentuh dahan pohon, kini tubuhnya mencelat ke depan menyambar Ma-bin Lo-mo yang terhuyung ke belakang dengan mulut muntahkan darah segar!

Melihat betapa tubuh Han Han dari atas pohon menukik ke bawah, Ma-bin Lo-mo mengeluarkan seruan kaget, cepat tubuhnya melesat ke bawah, bergulingan dan lenyap di antara kaki para pengawal.

“Bresssss!” Lima orang pengaWal roboh dan tewas seketika dengan tulang-tulang remuk ketika terjangan Han Han dari atas itu menyambar ke arah mereka. Akan tetapi Ma-bin Lo-mo tidak tampak lagi bayangannya.

Han Han mengamuk terus dengan hebatnya. Juga Sin Lian dan Sin Kiat mengamuk dengan pedang mereka. Setelah kini Ma-bin Lo-mo terluka dan tidak muncul lagi, tidak ada yang dapat mengimbangi amukan tiga orang muda yang perkasa ini. Akan tetapi, di fihak para pejuang, ternyata hanya tinggal mereka bertiga karena yang lain-lain semua telah tewas dalam perang tanding yang amat seru di dalam hutan itu. Ada­pun di fihak tentara Mancu juga meng­alami kerugian tidak sedikit, kurang lebih sama jumlahnya dengan anak buah Pek-lian Kai-pang!

“Han Han, mari kita pergi....!” kata Sin Kiat. “Semua saudara telah tewas, tak perlu melawan lagi!”

Akan tetapi Han Han tidak mau men­dengarkan kata-kata Sin Kiat. Hatinya sudah terlalu sakit dan ia akan bertem­pur sampai mati untuk membalaskan dendam Soan Li. Melihat itu, Sin Lian lalu menyambar tubuh ayahnya yang telah menjadi mayat, sambil menangis terisak ia mendekati Han Han yang masih mengamuk.

“Han Han.... bantulah aku.... menyelamatkan jenazah Ayah....!”

Mendengar suara wanita menangis, Han Han seperti baru sadar dari keadaan yang tidak wajar itu, yang membuatnya mengamuk seperti orang gila. Ia mene­ngok dan ketika ia melihat Sin Lian menangis sambil memondong mayat Lauw-pangcu, Han Han terkejut sekali.

“Ah, Lauw-pangcu....!”

“Dia gugur, Han Han, tolonglah aku membuka jalan keluar dari sini....!”

Han Han mengangguk, kemudian ber­sama Sin Kiat ia mengawal Sin Lian yang memondong mayat ayahnya keluar dari kepungan. Sebetulnya hal ini tidak perlu karena para pengepung itu tidak ada yang berani mengganggu melihat tiga orang muda itu keluar dari hutan. Mere­ka telah menjadi jerih menyaksikan se­pak terjang mereka tadi, apalagi sepak terjang pemuda yang buntung kakinya.

Sin Lian yang menangis sambil me­mondong tubuh ayahnya, berlari terus sampai pagi, baru ia berhenti di pinggir Sungai Huang-ho paling barat, di mana air sungai itu datang mengalir dari utara dan di tikungan itu membelok ke timur. Daerah ini penuh pula dengan hutan dan amat sunyi.

Setengah malam mereka tadi berlari, tanpa berkata-kata, masih tegang dan berduka menghadapi malapetaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang. Yang paling gelisah adalah Sin Kiat. Pemuda ini ingin sekali mengetahui akan keadaan sumoi­nya, ia pun ingin tahu bagaimana fihak Mancu sampai dapat melakukan sergapan seperti itu, bahkan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo. Ia menduga bahwa tentu Han Han tahu akan itu semua, akan tetapi mengingat akan kedukaan Sin Lian, Sin Kiat menahan keinginan tahunya. Setelah dia dan Han Han membantu Sin Lian mengubur jenazah Lauw-pangcu di dalam hutan itu, barulah Sin Kiat mengajak Han Han menjauhi Sin Lian yang ber­kabung dan menangis di depan kuburan ayahnya.

“Han Han, ceritakanlah lekas, bagai­mana dengan sumoi!”

Akan tetapi, mendengar pertanyaan ini, Han Han menjatuhkan diri duduk di atas tanah, matanya memandang jauh dengan sinar muram dan kosong, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Sin Kiat. Melihat ini, Sin Kiat berlutut dan menyentuh lengan Han Han, mengguncang­nya dan bertanya tegang.

“Han Han, apa yang terjadi dengan sumoi? Di mana dia?”

Tiba-tiba Han Han mengipatkan le­ngannya dan Sin Kiat terlempar ke be­lakang, terjengkang. Ia meloncat lagi dan terkejut melihat Han Han sudah berdiri di atas sebelah kakinya dan menudingkan telunjuk ke mukanya sambil membentak, “Sin Kiat, kenapa engkau membolehkan sumoimu pergi menyusulku? Kenapa tidak kaucegah dia? Percuma saja engkau men­jadi suhengnya!”

Pucatlah wajah Sin Kiat. Tanpa mem­pedulikan kemarahan Han Han, ia me­nubruk maju dan memegang lengan pemuda buntung itu. “Han Han....!” Ia menjerit, suaranya gemetar. “Lekas katakan, di mana dia? Di mana sumoi....? Dia sendiri yang memaksa hendak me­nyusulmu, karena mengkhawatirkan ke­adaanmu. Han Han, di mana sumoi?”

Mendengar suara Sin Kiat menjerit-jerit ini, Sin Lian yang menangis di de­pan kuburan ayahnya menjadi terkejut, menengok dan cepat ia menghampiri mereka karena ia melihat Han Han ber­diri seperti orang marah dan Sin Kiat menjerit-jerit seperti orang gila.

“Ada apakah? Han Han, apa yang terjadi?”

Suara Sin Lian ini mengusir kemarah­ann di hati Han Han. Ia menghela napas panjang, menundukkan muka sehingga air mata yang memenuhi pelupuk mata itu menetes jatuh satu-satu. “Soan Li.... dia.... dia telah tewas....!”

“Sumoi....!” Sin Kiat memekik keras. Matanya melotot, mukanya pucat seperti mayat dan tangannya mencengkeram lengan Han Han. “Apa....! Sumoiku.... mati? Han Han, bagaimana? Siapa yang membunuhnya?”

Han Han menjatuhkan diri lagi duduk di atas rumput. Sin Lian juga duduk di atas tanah, mukanya makin berduka. Sin Kiat duduk dan mengangkat kedua lutut, menunjang kedua siku dengan lututnya dan menutupi mukanya mendengarkan penuturan Han Han yang menceritakan semua peristiwa itu dengan suara geme­tar.

Setelah habis cerita Han Han, Sin Kiat masih menutupi mukanya. Perlahan-lahan dari celah-celah jari tangannya ke­luar beberapa tetes air mata. Dadanya bergelombang, diseling sedu. Hancur hati Sin Kiat. Teringat ia akan wajah sumoi­nya yang menengok dan tersenyum ketika hendak meninggalkannya. Senyum manis di antara linangan air mata duka!

“Aduh, sumoi....! Ah, dia seperti adikku sendiri.... ahhh, bagaimana aku harus bertanggung jawab terhadap suhu, terhadap.... keluarga tunangannya....?”

Tiba-tiba Han Han menggerakkan kepala, menoleh memandang Sin Kiat. “Tunangannya?”

Sin Kiat yang maklum akan isi hati sumoinya, dan dapat menduga bahwa Han Han yang kelihatan demikian berduka dan menyesal atas kematian sumoinya agaknya juga sudah tahu akan perasaan cinta Soan Li terhadapnya, tanpa menoleh kepada Han Han berkata lirih.

“Ya tunangannya. Beberapa tahun yang lalu, atas kehendak suhu, sumoi telah ditunangkan dengan putera sahabat suhu, seorang siucai she Tan yang tinggal di Nan-king.”

Han Han menghela napas panjang. “Dan dia mati berkorban untukku....” Ia berbisik lirih. “Betapa mulia hatinya.... dan betapa besar dosaku....!”

Sin Lian melirik dan melihat betapa wajah Han Han muram daripada biasanya, betapa wajah yang menarik itu makin bertambah guratannya. Ia merasa kasihan dan teringatlah ia akan pernyataan Lulu bahwa banyak wanita yang jatuh cinta kepada Han Han. Kini mengertilah ia dan biarpun tidak ada yang bicara di saat itu, Sin Lian dapat menduga apa yang telah terjadi di dalam hati Soan Li. Tentu dara jelita murid Im-yang Seng-cu itu diam-diam jatuh cinta kepada Han Han, akan tetapi karena merasa bahwa dia telah terikat jodoh dengan orang lain, maka Soan Li menahan diri. Betapapun juga, cinta kasihnya membuat gadis itu nekat hendak menyusul Han Han untuk melindunginya dan akhirnya mengorbankan nyawa sendiri.

“Kasihan Adik Soan Li....!” Sin Lian berkata dan menyentuh lengan Han Han, berkata, “Han Han, sudahlah, tak perlu kita terlalu berduka karena kematian orang-orang yang kita sayang. Ayahku tewas, juga Soan Li tewas sebagai orang-orang gagah, tewas dalam pelaksanaan tugas. Perlu apa harus berduka? Tidak, Han Han. Sebenarnya, menurut patut, kita malah harus bangga bahwa mereka tewas sebagai orang-orang gagah, dan sudah menjadi kewajiban kita untuk me­lanjutkan cita-cita dan kegagahan mere­ka. Kita harus melanjutkan perjuangan mendiang Soan Li, menentang penjajah Mancu sampai detik hidup terakhir!”

Mendengar ucapan gadis perkasa ini, hati Han Han dan Sin Kiat kagum bukan main. Gadis ini baru saja kematian ayah­nya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi keluarganya dan mereka dapat mengerti betapa duka hati Sin Lian. Na­mun gadis itu masih mampu menghibur mereka berdua, dua orang pria yang semestinya lebih kuat hatinya!

“Nona Lauw benar-benar mengagumkan sekali dan apa yang diucapkannya tak dapat disangkal kebenarannya! Hidup atau mati bukanlah urusan manusia, bagi ma­nusia yang paling tepat hanya menjaga agar hidup atau mati sebagai manusia-manusia yang membela kebenaran dan keadilan! Han Han, marilah engkau ikut bersamaku ke Se-cuan. Agaknya tinggal di sanalah satu-satunya tempat di mana kita dapat menyumbangkan tenaga me­nentang penjajah sampai berhasil atau hancur!”

“Aku.... aku harus mencari Lulu....” Suara Han Han masih tidak bersemangat. Memang Han Han masih merasa tertekan oleh runtutan peristiwa yang amat me­nyedihkan hatinya. Urusan Kim Cu, gadis yang berkorban demi cinta kasihnya ter­hadap dirinya merupakan urusan yang amat menindih hatinya dan yang takkan pernah dapat ia lupakan, yang membuat ia merasa berdosa, merasa menjadi pe­nyebab hancurnya kebahagiaan hidup seorang gadis semulia Kim Cu. Kemudian ditambah lagi dengan lenyapnya Lulu yang amat membingungkan dan menggelisahkan hatinya, lalu kekecewaan karena belum juga ia berhasil membunuh seorang pun di antara tujuh orang musuh besar keluarganya. Kini peristiwa yang menim­pa diri Soan Li dan menyebabkan dara itu tewas, tewas di depan matanya sen­diri, sebagai pengorbanan dalam usaha gadis itu yang hendak menyelamatkan­nya. Ia merasa berduka sekali, bertubi-tubi perasaan hatinya mengalami hantaman yang berat, membuat ia kehilangan semangat, merasa seperti hanyut dalam arus yang penuh kesengsaraan, membuat ia kehilangan pegangan dan dalam keada­an seperti itu, dia harus cepat bertemu Lulu. Hanya adiknya itulah tempat ia berpegang dalam arus penuh kesengsa­raan ini, hanya adiknya Lulu itulah yang akan dapat menghiburnya, yang akan dapat mengembalikan semangatnya.

“Aku harus mencari adikku Lulu....” katanya lagi penuh rindu.

“Han Han, aku pun ingin sekali bertemu dengan adikku itu. Aku pun akan mencarinya. Bahkan aku akan mengum­pulkan sisa teman-teman seperjuangan, dan aku akan berusaha mencari Lulu untuk kemudian kuajak mereka semua ke Se-cuan,” kata Sin Lian.

“Aku pun akan membantumu mencari adikmu itu, Han Hari. Akan tetapi, meng­ingat bahwa adikmu pun tentu sedang mencari-carimu seperti yang ia katakan kepada Nona Sin Lian, apakah tidak mungkin kalau dia itupun pergi mencari­mu ke Se-cuan, mengira bahwa engkau berada di sana? Lebih baik kita berang­kat ke Se-cuan sambil mendengar-dengar dan mencari-cari.”

Han Han mengangguk-angguk. “Pen­dapatmu benar juga, dan aku pun me­mang harus pergi ke Se-cuan karena urusan pribadi.” Ia teringat akan penu­turan Sie Leng encinya bahwa sebagian besar musuh-musuhnya berada di Se-cuan, yaitu memimpin bala tentara yang di­tugaskan mengurung dan menggempur Se-cuan.

“Memang demikian lebih baik,” kata Sin Lian. “Kalian berdua berangkatlah lebih dulu ke Se-cuan, sedangkan aku sendiri akan mengumpulkan sisa teman-teman dan sekalian mencari Lulu di ba­gian timur. Kalau bertemu, tentu akan kuajak menyusul ke barat.”

Setelah mereka melakukan penghor­matan terakhir di depan kuburan Lauw-pangcu, Sin Lian lalu meninggalkan dua orang pemuda itu untuk mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan yang pada malam itu sebagian besar terbasmi oleh tentara Mancu. Adapun Han Han atas desakan Sin Kiat mengantar temannya ini berkunjung ke makam Soan Li di mana Sin Kiat berkabung dan Han Han juga tak dapat menahan runtuhnya air mata­nya.

“Han Han, ketahuilah, hanya kepada aku seorang mendiang sumoi membuka rahasia hatinya bahwa dia mencintamu.”

Han Han menghela napas. “Sin Kiat, kalau engkau tahu bahwa dia sudah di­tunangkan dengan laki-laki lain, mengapa engkau tidak menegurnya?”

“Sudah kutegur, akan tetapi akhirnya aku harus membela dia. Dia ditunangkan ­dengan Tan-siucai atas kehendak suhu, bahkan dia belum pernah bertemu dengan tunangannya itu. Kalau dia bertemu denganmu dan jatuh cinta, salahkah itu? Karena itu, aku mewakili mendiang su­moiku untuk bertanya terus terang ke­padamu, Han Han. Adakah engkau men­cinta sumoi?”

Han Han menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. “Manusia cacad ma­cam aku ini bagaimana berani menjatuhkan kasih sayang kepada seorang wanita, Sin Kiat? Tidak, semenjak kakiku bun­tung, aku tidak lagi berani membiarkan hatiku menjatuhkan cinta kepada seorang wanita karena aku maklum bahwa tidak ada seorang pun wanita di dunia ini da­pat hidup bahagia di samping seorang suami cacad memalukan seperti aku. Tidak, aku tidak berani dan tidak dapat mencinta seorang gadis murni cantik dan perkasa seperti sumoimu itu....”

Sin Kiat menarik napas panjang. Di dalam hatinya pemuda ini dapat mengerti akan sikap rendah hati Han Han ini, sikap yang mungkin timbul karena peris­tiwa yang menyedihkan di samping bun­tungnya kaki pemuda ini. Ia pun tidak mau menyinggung-nyinggung lagi akan hal itu, namun diam-diam timbul rasa khawatir di hatinya karena sebagai seorang pemuda yang berpandangan tajam, Sin Kiat dapat menduga bahwa Sin Lian pun seperti adiknya, jatuh cinta kepada pe­muda kaki buntung yang mengagumkan ini.

Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu adalah seorang kaisar yang benar-benar pandai sekali, bukan hanya di bidang kemiliter­an akan tetapi juga di bidang pekerjaan sipil seperti pembangunan dan lain-lain. Kaisar yang amat pandai dan amat lama memegang kendali pemerintahan Kerajaan Mancu ini (tahun 1663-1722) telah ber­hasil dengan baik menarik bangsa pribumi yang tadinya menentang penjajahan men­jadi tenaga-tenaga yang amat penting dan berguna demi memajukan negara di bawah pemerintahannya. Untuk mencapai hasil baik, Kaisar Kang Hsi memajukan kebudayaan pribumi, bahkan mengundang bangsa pribumi yang terkenal sebagai kaum cendekiawan, kaum cerdik pandai, untuk menduduki jabatan-jahatan penting dalam pemerintah. Tentu saja kaum sastrawan dan kaum persilatan menyambut undangan ini dengan gembira sehingga banyaklah sastrawan-sastrawan dan ahli-ahli silat muda mengalir ke kota raja. Mereka diterima oleh kaisar dan diberi jabatan-jabatan yang penting.

Juga dalam urusan membersihkan negara daripada para pemberontak, kaisar yang pandai ini berhasil baik sekali. De­ngan bantuan tokoh-tokoh kang-ouw yang kena terbujuk, pula karena memang bala tentara Mancu merupakan bala tentara yang kuat, tahan uji, dan berdisiplin, maka gerombolan-gerombolan bersenjata yang menentang Kerajaan Ceng satu demi satu dapat dihancurkan. Sudah men­jadi kenyataan sejarah bahwa di antara gerombolan-gerombolan pejuang yang menentang penjajah Mancu demi perasaan patriotik, terdapat banyak pula gerombol­an yang sebenarnya adalah penjahat-penjahat dan perampok yang mempergu­nakan dalih “perjuangan” untuk dapat memeras dan merampok rakyat jelata. Dengan dalih perjuangan, mereka yang mengotorkan dan mencemarkan perjuang­an itu mengancam rakyat yang dipaksa membantu perjuangan mereka dengan menyerahkan harta benda untuk biaya perjuangan!

Sebetulnya, kenyataan itulah yang merupakan sebuah di antara kelemahan perjuangan kaum patriot di masa itu. Karena nama perjuangan dibikin cemar, maka ketika tentara Mancu datang dan menyapu para perampok yang berkedok pejuang itu, rakyat menyambut dengan gembira, menganggap bahwa pemerintah yang baru berhasil membebaskan rakyat daripada pemerasan dan penindasan pe­juang-pejuang yang kini disamakan de­ngan perampok jahat itu! Hal ini adalah satu di antara sebab-sebab mengapa pen­duduk pribumi dapat cepat melenyapkan perasaan kebencianhya terhadap bangsa Mancu yang menjajah. Selain itu juga Kaisar Kang Hsi dengan taktiknya yang tepat dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan tradisi-tradisi lama di Ti­ongkok. Para pembesar Mancu diharuskan belajar bahasa dan sastra Tiongkok dan bahkan diharuskan bicara dalam bahasa pribumi, bukan dalam pertemuan-pertemu­an resmi saja bahkan di antara keluarga para pembesar Mancu pun mereka meng­gunakan bahasa pribumi. Hal ini adalah karena Kaisar Kang Hsi yang bijaksana itu maklum bahwa sekali bangsanya su­dah menjadi “bangsa aseli”, maka dalam abad-abad selanjutnya tidak akan ada lagi “pribumi” yang menganggap bahwa pemerintah Kerajan Ceng adalah kerajaan asing!

Biarpun hampir seluruh daerah Tiong­kok telah dikuasai, dan semua pemberon­tak di perbatasan-perbatasan telah dapat dihancurkan, namun hanya Se-cuan yang masih tetap bertahan. Hal ini adalah karena pemerintah Ceng yang cerdik memang sengaja membiarkan daerah ini agar menjadi pusat pelarian bagi para pemberontak. Agar dengan adanya wadah ini, para pemberontak yang sudah kehilangan kesatuannya akan melarikan diri ke Se-cuan dan kelak akan mudah untuk menyerbu satu tempat saja daripada kalau harus mengejar pemberontak-pem­berontak yang tersebar di mana-mana. Selain sukar juga membutuhkan benyak tenaga dan biaya.

Karena sengaja didiamkan, dan hanya sekali-kali diadakan pengepungan dan penyerangan kecil, maka terjadilah se­macam perang dingin dan tapal batas. Se-cuan merupakan daerah gawat. Pedagang-pedagang petualang yang berani hilir-mudik melewati perbatasan yang gawat ini tentu akan memperoleh keuntungan yang besar sekali, akan tetapi tentu saja dengan resiko ditembus tombak perutnya, baik oleh tentara di fihak Se-cuan mau­pun tentara Mancu, karena dicurigai sebagai mata-mata musuh.

Dan biarpun belum diadakan penyer­buan besar-besaran, namun telah terjadi ketegangan karena di fihak orang-orang gagah di dunia kang-ouw terpecah dua, ada yang pro Se-cuan, ada pula yang pro Kerajaan Ceng. Bentrokan-bentrokan kecil terjadi di mana-mana dan tentu saja mata-mata kedua fihak pun disebar de­ngan leluasa karena di fihak pemerintah Mancu pun memiliki banyak kaki tangan orang kang-ouw yang terdiri dari orang pribumi.

Han Han dan Sin Kiat yang melaku­kan perjalanan ke barat, di sepanjang jalan mereka menyelidiki tentang Lulu. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk. Bahkan banyak kaum pejuang yang hilir-mudik ke Se-cuan, yang mengenal Sin Kiat, juga tidak ada yang pernah melihat Lulu. Hati me­reka kecewa sekali, terutama Han Han yang menjadi makin gelisah. Masih hidup­kah adiknya itu? Kalau hidup, di mana dan mengapa tidak ada jejaknya?

Pada suatu pagi, kedua orang muda ini memasuki kota Tiang-koan-bun yang letaknya dekat dengan perbatasan Se-cuan. Di bagian ini telah ada pelarangan membawa senjata yang dilaksanakan de­ngan keras oleh para penjaga, berbeda dengan pedalaman yang biarpun ada pula pelarangan umum itu, namun pelaksanaannya tidaklah begitu ketat. Karena mak­lum akan hal ini dan tidak ingin mencari perkara di daerah gawat, Sin Kiat menyembunyikan pedangnya di balik baju dan ia berpakaian sebagai seorang pen­duduk biasa. Han Han masih berpakaian seperti biasa, sederhana dan berwarna putih, tangan kirinya memegang sebatang tongkat kayu yang dibuatnya begitu saja dari sebuah ranting pohon.

“Malam nanti kita menyelundup lewat perbatasan, masuk daerah Se-cuan,” kata Sin Kiat perlahan ketika mereka tiba di sudut kota.

Han Han berhenti melangkah dan pandang matanya termenung, keningnya berkerut. Ia menoleh ke kanan kiri se­perti orang mencari-cari, dan memang ia selalu tak pernah berhenti mencari-cari dengan pandang matanya, seolah-olah se­tiap saat ia mengharapkan akan melihat berkelebatnya bayangan Lulu.

“Sin Kiat, agaknya yang kaupenting­kan hanya perjuangan saja,” kata Han Han lirih.

Sin Kiat memandang heran. “Habis, bagaimana kalau tidak begitu, Han Han? Dalam masa seperti ini, siapa tidak me­mentingkan perjuangan?”

Terdengar derap kaki kuda dan se­orang penunggang kuda lewat di jalan itu. Han Han tidak mempedulikan, bah­kan menengok tidak memandang Sin Kiat dan berkata.

“Bagiku, yang terpenting adalah men­cari Lulu sampai dapat ditemukan!”

Sin Kiat juga mengerutkan keningnya. “Hemmm, Han Han, mengapa kau me­nekankan hal itu? Apakah kaukira aku pun tidak gelisah memikirkan Nona Lulu? Kiranya tidak perlu kujelaskan lagi bahwa engkau tentu paham akan isi hati­ku terhadap adikmu! Aku pun ingin sekali bertemu dengan dia, ingin melihat dia selamat. Akan tetapi, kita memiliki tuju­an dalam perjalanan ini, yaitu ke Se-cuan! Tentang adikmu yang kau tahu amat kucinta.... hemmm.... bukankah kita sudah selalu menyelidiki tentang dia? Bukankah aku pun selama ini me­ngerahkan seluruh tenaga untuk mencari dia? Siapa tahu, dia berada di Se-cuan.”

Han Han menarik napas panjang dan kini ia menoleh memandang wajah Sin Kiat yang tampan itu. Tentu saja dia ta­hu bahwa pemuda perkasa ini, pemuda yang gagah dan berwatak pendekar, jatuh cinta kepada Lulu. Dan diam-diam ia pun akan merasa setuju sekali kalau adiknya mendapatkan jodoh seperti Sin Kiat. Akan tetapi itu adalah perkara nanti. Yang perlu mencari Lulu sampai dapat! Apa perlunya memikirkan perjodohan Lulu kalau gadis itu sendiri masih belum dapat ditemukan, belum diketahui masih hidup atau sudah mati?

“Begini sajalah. Engkau pergilah dulu ke sana, aku akan mencarinya di sekeli­ling perbatasan ini. Selain itu, dulu sudah kukatakan bahwa aku mempunyai urusan pribadi yang harus kuselesalkan sebelum aku menyusulmu ke Se-cuan. Kita ber­pisah di sini saja, Sin Kiat.”

Selama dalam perjalanan, Sin Kiat sudah mengenal Han Han lebih baik lagi dan ia mengerti bahwa pemuda berkaki buntung itu sedang menderita tekanan batin hebat sekali sehingga apa yang keluar dari mulutnya selalu merupakan keputusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ia maklum bahwa akan per­cuma saja dia membantah, maka kata­nya.

“Baiklah, Han Han. Kalau engkau menghendaki demikian, biar aku yang masuk ke sana lebih dulu dan akan ku­cari Nona Lulu di sana. Kalau berhasil, aku akan kembali ke sini dan biarlah tempat ini menjadi tempat pertemuan kita. Selain itu, harap kau suka melihat-lihat kalau-kalau Nona Lauw Sin Lian tiba di sini, kalau Nona Lulu tidak ada di Se-cuan, barangkali dia akan datang bersama Nona Lauw.”

Han Han mengangguk dan mereka lalu berpisah, baru beberapa langkah Sin Kiat sudah membalikkan tubuhnya. “Han Han, ada urusan apakah sebetulnya? Apakah aku tidak bisa membantumu sebelum kita berpisah?”

Han Han hanya menggeleng kepala. “Urusan ini adalah urusan pribadiku. Be­rangkatlah, Sin Kiat dan sampai jumpa. Percayalah, kalau memang aku memerlukan bantuanmu, tentu aku akan minta bantuan. Sekarang ini, bantuanmu satu-satunya yang kuperlukan hanya mencari Lulu sampai dapat.”

Sin Kiat menghela napas. “Kau tentu tahu bahwa aku siap mengorbankan apa saja untuk adikmu. Sampai jumpa!” Sin Kiat lalu pergi meninggalkan Han Han yang masih berdiri termenung-menung di tempat itu.

Aku harus mencari Lulu dan juga mencari musuh-musuhku, pikirnya. Dan menurut encinya tidak hanya cihunya berada di perbatasan Se-cuan, akan te­tapi juga musuh besarnya nomor satu, Giam Kok Ma, dan mungkin juga empat perwira lainnya. Ia merasa menyesal kalau teringat betapa dia tidak berhasil membunuh Su-ciangkun karena pada wak­tu itu ada Ma-bin Lo-mo dan dia sedang menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara sehingga Su-ciangkun mendapat banyak kesempatan untuk melarikan diri.

Sekali ini aku tidak boleh gagal, pikirnya. Kembali terdengar derap kaki kuda, kini ada banyak kuda yang datang ke kota itu. Ketika Han Han menengok, ia melihat pasukan yang terdiri dari belasan orang penunggang kuda berhenti di tempat ramai dan kepala regu berkuda itu membacakan pengumuman dengan suara lantang dari atas kudanya yang menggerak-gerakkan kepala. Han Han mendengarkan. Kiranya pasukan itu adalah pasukan yang bertugas mengumumkan bahwa berhubung dengar ulang tahun ke sepuluh dari kaisar, yaitu sepuluh tahun semenjak kaisar memegang kendali kera­jaan, maka di seluruh negara diadakan pesta perayaan yang dibiayai oleh peme­rintah dan rakyat akan dihibur dengan tontonan-tontonan gratis, bahkan di beberapa tempat akan disediakan arak dan roti kering yang boleh dimakan dan di­minum di tempat itu secara gratis pula. Pesta akan dimulai malam nanti sampai tiga hari tiga malam lamanya.

“Terutama di daerah ini, akan diada­kan pesta besar-besaran, rakyat diberi kesempatan bersuka ria!” Demikian kepa­la regu itu menutup pengumumannya dengan suara lantang. Penduduk kota itu menjadi girang dan bersorak-sorak. Diam-diam Han Han memuji kecerdikan peme­rintah. Justeru di perbatasan ini peme­rintah agaknya akan membuktikan per­bedaan yang menyolok antara kehidupan rakyat di daerah pemerintah dan di se­berang lewat perbatasan, daerah pem­berontak. Di samping merayakan ulang tahun kedudukan kaisar, juga pesta itu dapat dipergunakan untuk mempengaruhi penduduk di daerah pemberontak agar mereka melihat bahwa prikehidupan rak­yat di daerah pemerintah lebih makmur!

Waktu itu permulaan tahun 1673 dan memang sudah sepuluh tahun Kaisar Kang Hsi menduduki singgasana pemerintah Ceng.

Han Han yang berjalan-jalan di kota sambil menyelidiki adiknya, juga men­cari keterangan tentang perwira-perwira Mancu yang bertugas di perbatasan, melihat persiapan-persiapan yang dibuat untuk pesta malam nanti. Panggung-panggung dibuka, panggung wayang dan lain-lain, suasana mulai ramai dan me­riah karena rakyat juga menghias rumah-rumah mereka dengan bunga-bunga kertas yang dibagi-bagikan oleh petugas pemerintah setempat.

Tadinya Hen Han hendak mencari tempat penginapan yang tidak usah bayar, seperti di kelenteng atau kalau perlu di bawah jembatan, akan tetapi ketika ia merogoh saku bajunya, ia mendapatkan uang di situ dan ketika dilihatnya, ternyata ada beberapa potong uang perak dan dua potong uang emas! Han Han menghela napas dan maklum bahwa ten­tulah Sin Kiat yang menaruhkan uang di sakunya di luar tahunya, mungkin malam tadi ketika mereka tidur di hutan di luar kota. Dan ia maklum mengapa Sin Kiat melakukan hal itu. Pertama, karena Sin Kiat maklum bahwa dia memang tidak beruang sama sekali, ke dua karena ka­lau Sin Kiat memberi secara terang-terangan, tentu dia akan menolaknya!

Karena mempunyai uang, Han Han tidak jadi mengisi perut dengan roti kering dan arak gratis, juga tidak mencari penginapan gratis, melainkan menyewa sebuah kamar sederhana di sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota. Setelah mandi dan bertukar pakaian ber­sih, sore hari itu ia keluar dari kamar, terpincang-pincang pada tongkatnya, hen­dak menonton keramaian dengan harapan mungkin Lulu akan datang pula. Adiknya itu paling suka menonton pertunjukan, maka seandainya Lulu berada di tem­pat yang berdekatan, tentu adiknya itu akan datang ke kota Tiang-koan-bun ini untuk nonton wayang!

Akan tetapi, sama sekali bukan Lulu yang dilihatnya di antara ribuan orang yang tak dikenalnya yang memenuhi kota di malam hari itu, melainkan seorang pria muda yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya akan dia jumpai lagi, Gu Lai Kwan! Atau suhengnya, murid Toat-beng Ciu-sian-li, pemuda In-kok-san yang lihai, yang dulu diperintah oleh Toat-beng Ciu-sian-li untuk membunuhnya! Golok pemuda inilah yang telah mem­bacok putus kakinya!

Han Han terkejut sekali dan cepat menyelinap di antara orang banyak. Dia tidak membenci Gu Lai Kwan yang dahulu di waktu kecilnya adalah temannya main-main, juga teman berlatih. Biarpun senjata pemuda ini yang membuntungi kakinya, akan tetapi pemuda itu hanyalah mentaati perintah Toat-beng Ciu-sian-li, karena murid yang tidak taat akan menerima hukuman lebih berat lagi. Lai Kwan adalah seorang di antara mereka berempat yang diambil murid oteh Toat-beng Ciu-sian-li. Lai Kwan, dia sendiri, Kim Cu dan Phoa Ciok Lin yang bermata tajam dan berwajah serius itu!

Melupakan semua persoalan yang pernah timbul di antara mereka, Han Han yang tadinya girang melihat Lai Kwan dan hendak menegur, tiba-tiba teringat bahwa Ma-bin Lo-mo kini telah berse­kongkol dengan pemerintah Mancu. Kalau Ma-bin Lo-mo telah menjadi kaki tangan Mancu, sangat boleh jadi Toat-beng Ciu-sian-li juga menjadi kaki tangan Mancu dan tentu murid-muridnya sama saja. Mengingat akan hal ini, ia membatalkan niatnya menegur bekas suheng ini dan Han Han malah membayanginya dengan diam-diam. Ia melihat Lai Kwan dengan senyum-senyum di wajahnya yang tampan itu berjalan-jalan dan menonton pertun­jukan wayang sebentar, kemudian pemuda In-kok-san itu lalu berjalan lagi memasuki sebuah rumah penginapan besar. Pengurus rumah pengirapan itu menyambutnya dengan membungkuk-bungkuk penuh hor­mat dan Han Han yang menyelinap di sudut hotel itu bersembunyi di balik dinding mendengar suara Lai Kwan ber­tanya dengan suara angkuh.

“Ouwyang-kongcu sudah datang?”

“Sudah, sudah, Gu-taihiap. Malah semua orang sudah berkumpul, tinggal menanti taihiap dan beberapa orang tamu agung lagi,” pengurus hotel itu berkata hormat.

Han Han mengangguk-angguk. Tak salah dugaannya. Kalau Lai Kwan sudah berhubungan dengan Ouwyang-kongcu yang ia duga tentulah bukan lain Ouwyang Seng adanya, jelas bahwa pemuda ini pun mengikuti jejak Ma-bin Lo-mo dan bersekongkol dengan pemerintah Mancu. Hemmm, dahulu Ouwyang Seng pernah menculik Lulu dan biarpun tidak mengganggu Lulu, namun dapat diharap­kan bahwa pemuda putera pangeran itu kini mengetahui di mana adanya Lulu. Sungguh pertemuan yang tak pernah disangka-sangkanya. Hatinya girang sekali dan timbul harapan baru. Dengan cepat, tanpa diketahui siapa pun, Han Han me­nyelinap ke belakang, menggunakan ke­pandaiannya bagaikan seekor burung tu­buhnya sudah mencelat ke atas. Ia mak­tum bahwa di tempat itu terdapat ba­nyak sekali orang pandai, maka ia ber­sikap hati-hati, dan selain mempergunakan gin-kangnya sehingga kakinya tidak menimbulkan suara dan tongkatnya tidak pernah menyentuh genteng, ia juga selalu bersembunyi di dalam bayangan yang gelap sampai ia berhasil mengintai dari atas ruangan yang dimasuki Lai Kwan.

Ruangan itu merupakan ruangan pa­ling belakang di hotel itu dan dari atas Han Han dapat melihat bahwa hotel itu ternyata tidak dimasuki tamu lain kecuali rombongan orang-orang penting. Agaknya hotel ini telah diborong. Buktinya Li Kwan memasuki hotel itu tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya dan agak­nya semua kamar di hotel itu hanya di­tempati oleh orang-orang mereka sendiri. Ketika Han Han melihat mereka yang duduk memenuhi ruangan itu, sejumlah belasan orang, ia makin kaget mengenal tokoh-tokoh yang ia jumpai dahulu ketika ia terjebak oleh Giam Kok Ma di kota raja. Ia mengenal Ouwyang Seng, Kang-thouw-kwi Gak Liat, cihunya sendiri Giam Cu, musuh besarnya, Giam Kok Ma, kemudian tokoh-tokoh aneh seperti Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang kepalanya seperti burung berondol bulunya itu, ka­kak beradik Tikus Kuburan Bhong Lok dan Bhong Poa Sik, juga tiga orang mu­rid Setan Botak, yaitu Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio! Masih ada beberapa orang per­wira dan tokoh-tokoh aneh yang tak dikenalnya, akan tetapi semua ini sudah cukup bagi Han Han bahwa di situ diada­kan rapat yang amat penting oleh per­wira-perwira Mancu dan tokoh-tokoh lihai dunia kang-ouw yang menjadi kaki tangan pemerintah Mancu.

Dia akan mendengarkan dulu apa yang hendak mereka bicarakan, siapa tahu kalau-kalau mereka akan menyinggung-nyinggung nama Lulu. Andaikata tidak, masih belum terlambat baginya untuk mencari kesempatan menangkap Ouwyang Seng dan memaksa pemuda bangsawan itu bicara tentang Lulu. Kalau dia turun tangan, ia masih merasa sangsi apakah ia akan mampu menghadapi sekian banyak­nya orang-orang yang memiliki kepandai­an tinggi.

Ketika Lai Kwan muncul, sebagian dari mereka berdiri dan menyambut de­ngan hormat, terutama para perwira. Hanya Gak Liat dan tiga orang muridnya yang tidak berdiri, bahkan Gak Liat lalu menegur.

“Gu-sicu, mana gurumu dan Si Kuda Iblis?”

Gu Lai Kwan menjura ke arah Gak Liat yang dianggapnya orang yang lebih tinggi kedudukannya, lalu menjawab sam­bil duduk di atas kursi yang masih ba­nyak yang kosong.

“Siankouw.... eh, maksudku subo (Ibu Guru) tidak dapat hadir sendiri dan me­wakilkan kepada saya, juga Siangkoan suhu tidak dapat datang, akan tetapi dalam waktu tiga hari suhu den subo akan datang ke Tiang-koan-bun.”

Gak Liat mengangguk-angguk. Tak la­ma kemudian masuklah tiga orang per­wira Mancu dan agaknya para anggauta rapat sudah terkumpul semua, buktinya Giam Cu, kakak iparnya bangkit berdiri dan menjura kepada semua orang sambil berkata.

“Cu-wi sekalian tentu sudah maklum mengapa saat ini kita berkumpul semua di kota ini. Bertepatan dengan ulang tahun ke sepuluh dari Hong-siang (Kaisar) yang bijaksana dan yang dalam sepuluh tahun telah mendatangkan kemajuan pe­sat di negara kita, maka kita dihadapkan pada pemberontak yang kini telah ber­kumpul semua di Se-cuan. Menurut pe­rintah dari Hong-siang sendiri, dalam ta­hun ini juga kita diharuskan menyerbu dan menghancurkan pusat pemberontak itu dan untuk tugas ini telah diserahkan kepada yang mulia Puteri Nirahai yang akan memimpin sendiri penyerbuan ke Se-cuan. Kita semua sudah mengetahui akan kecerdikan dan keahlian Sang Puteri, maka kini beliau telah mengutus Gak-locianpwe yang mewakili beliau untuk memimpin penyerbuan ke Se-cuan. Maka kami serahkan kepada Gak-locianpwe yang akan mengemukakan pendapat dan rencananya.” Giam Cu lalu duduk kembali dan menoleh kepada Gak Liat, dan se­mua orang pun kini memandang kepada Si Setan Botak itu.

Kang-thouw-kwi Gak Liat menggaruk-garuk botaknya, lalu berkata tanpa berdiri.

“Sesungguhnya, dalam soal ketentara­an saya tidak memiliki pengertian apa-apa dan untuk pelaksanaan penyerbuan, tentu saja saya mengharapkan petunjuk-petunjuk para perwira tinggi yang sudah berpengalaman dalam soal perang. Akan tetapi, untuk menghadapi para tokoh pemberontak yang kabarnya memiliki banyak orang pandai, saya dan teman-teman siap untuk turun tangan. Adapun Sang Puteri yang menyuruh saya mewakili beliau hanya mengatakan bahwa penyerbuan harus dilakukan dengan raha­sia sehingga fihak musuh tidak sedang berjaga, dan di dalam suasana pesta ini kiranya mereka tidak akan menyangka akan datangnya penyerbuan. Maka telah diputuskan oleh Sang Puteri untuk me­lakukan penyerbuan pertama pada bulan depan hari ke tujuh.”

Han Han terkejut mendengar ini. Ah, kiranya tentara Mancu akan melakukan penyerbuan besar-besaran tak lama lagi menggunakan kesempatan selagi fihak Se-cuan tidak menyangka-nyangka karena dalam suasana pesta itu agaknya tidak mungkin tentara Mancu akan melakukan penyerangan. Dan agaknya Kaisar Mancu hendak mempergunakan penyerbuan Se-cuan ini sebagai hadiah ulang tahunnya! Han Han tidak begitu peduli akan perang, akan tetapi mengingat akan keganasan tentara Mancu, ia dapat membayangkan betapa akan sengsaranya rakyat yang tinggal di daerah Se-cuan dan ia merasa telah menjadi kewajibannya untuk mem­beri tahu ke Se-cuan agar di sana orang dapat berjaga-jaga. Apalagi kalau diingat bahwa banyak sahabat baiknya berada di sana, bahkan Sin Lian sendiri pun tak lama lagi tentu akan masuk ke Se-cuan bersama teman-temannya.

Akan tetapi, tidak mungkin ia me­ninggalkan Giam Kok Ma begitu saja. Musuh besar yang paling dibencinya itu, Si Muka Kuning yang dahulu memperkosa ibunya, telah berada di situ. Bagaimana ia dapat melewatkan kesempatan baik ini begitu saja? Dia harus turun tangan me­lakukan pembalasan terhadap perwira keji ini, baru ia akan memaksa Ouwyang Seng bicara tentang Lulu. Setelah itu, barulah ia akan pergi ke Se-cuan untuk menyampaikan berita penyerbuan itu kepada Wan Sin Kiat!

Dengan sabar ia mendengarkan semua percakapan mereka dan mengingat-ingat nama tempat-tempat yang akan dijadikan dasar tempat penyerangan mereka, tempat-tempat di fihak musuh yang akan diserbu dan lain-lain. Tentu saja Han Han tidak dapat ingat semua, akan te­tapi setelah mengingat beberapa nama tempat yang penting, ia merasa sudah cukup. Ketika pembicaraan yang penting dihentikan dan pertemuan diubah menjadi pesta di mana mereka silih berganti mengangkat cawan arak dan minum untuk memberi selamat kepada kaisar, makan minum sambil tertawa-tawa, Hen Han lalu melesat meninggalkan tempat pengintaiannya, turun di belakang hotel lalu berjalan perlahan keluar dari jalan samping ke jalan besar. Ia menyelinap di antara para penonton dan menonton pertunjukan silat dan barongsai yang dimain­kan di panggung dekat hotel. Dari tem­pat ia menonton, di antara ratusan orang penonton, ia dapat melihat ke arah hotel untuk memata-matai orang yang keluar dari tempat itu.

Betapa mengkal hati Han Hen ketika ia menanti hampir tengah malam, belum ada juga yang keluar dari hotel, apalagi Giam Kok Ma yang ia tunggu-tunggu munculnya. Ia mulai tidak sabar dan sudah melangkahkan kaki untuk turun tangan di hotel itu saja, tidak peduli di situ banyak terdapat orang pandai! Untuk membalas dendamnya, ia tidak takut mengorbankan nyawanya. Kalau tadi ia bersikap hati-hati, bukan karena takut ia akan celaka. Akan tetapi takut kalau gagal. Ia tidak rela mati sebelum ia mampu membalas dendam ibunya! Akan tetapi ternyata sampai sekarang perwira muka kuning yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul.

Selagi bergerak terpincang-pincang tiga langkah, tiba-tiba ia berhenti dan matanya memandang ke depan hotel. Sebuah kereta datang dari luar memasuki halaman hotel itu, kereta yang dikusiri oleh seorang berpakaian pengawal, dan di belakang kereta berdiri pula dua orang pengawal memegang tombak! Cepat Han Han menyelinap dan mengintai agak de­kat pekarangan hotel. Jantungnya berdebar dan diam-diam ia mengharap mu­dah-mudahan jerih payahnya bersabar sejak tadi tidak akan sia-sia belaka.

Wajah Han Han berseri ketika tak lama kemudian ia melihat orang yang dituggu-tunggu muncul dari dalam hotel itu. Giam Kok Ma! Pemuda ini menggeget gigi ketika melihat wajah perwira muka kuning yang amat dibencinya itu. Dan di samping orang ini berjalan cihu-nya (iparnya), Giam Cu, Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Agaknya musuh besarnya itu akan duduk sekereta dengan tiga orang ini. Dugaannya benar, sambil tertawa bebas tanda pengaruh arak, mereka berempat memasuki kereta dan kusir lalu memecut empat ekor kuda besar yang bergerak menarik kereta ke­luar dari pekarangan hotel.

Tanpa diketahui oleh siapapun, Han Han menggunakan kepandaiannya memba­yangi kereta itu. Di ujung kota sebelah barat, kereta berhenti dan Han Han ce­pat mendekat sambil berjongkok di balik batu di pinggir jalan. Dia mendengar Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan tertawa-tawa dan dua orang muda itu ke­luar dari kereta. Kereta berjalan lagi keluar kota! Han Han girang bukan main. Kesempatan yang amat baik ini sama sekali tidak disangka-sangkanya. Akan tetapi di dalam kereta masih ada cihu-nya dan dia tidak mau membawa-bawa cihu-nya dalam urusan membalas dendam ini. Dia sudah berjanji kepada encinya untuk tidak mengganggu Giam Cu, dan kalau dia turun tangan di depan cihu-nya lalu Giam Cu membantu musuh, agaknya ia akan bisa lupa diri dan melanggar janji kepada encinya. Biarlah, dia akan tunggu sampai dua orang itu berpisah, baru ia akan turun tangan. Kalau Giam Kok Ma turun lebih dulu, ia akan me­nyergap pembesar ini di rumah tempat ia bermalam.

Kereta berhenti pula di depan kelom­pok rumah besar yang agaknya merupa­kan rumah-rumah penginapan perwira. Giam Cu keluar dari kereta sambil ter­tawa-tawa dan setelah perwira ini di­sambut oleh pengawal yang mengantarnya masuk ke dalam, kereta bergerak lagi!

“Thian menghendaki agar manusia ter­kutuk macam engkau menerima hukum­an!” Han Han berbisik dalam hatinya. Ketika kereta itu agak jauh meninggal­kan rumah itu dan agaknya hendak me­nuju ke tempat penginapan Giam Kok Ma, Han Han meloncat ke atas dan sekali ia menggerakkan tangan, dua orang pengawal yang berdiri di belakang kereta telah tewas dalam keadaan berdiri dan tengkuk mereka patah. Han Han me­loncat ke belakang kereta sambil melem­parkan dua tubuh yang tak bernyawa lagi itu, kemudian ia meloncat lagi ke depan kereta. Kusir kereta yang sedang men­cambuki kuda agar berjalan lebih cepat karena ia pun ingin sekali mengaso, terbelalak kaget ketika melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada orang du­duk di sampingnya. Namun ia tidak sem­pat berteriak, tubuhnya sudah terlempar jauh dalam keadaan tidak bernyawa tagi. Han Han menyambar kendali kuda dan menggerak-gerakkan cambuk yang me­ngeluarkan bunyi meledak-ledak. Empat ekor kuda itu membalap cepat.

“Heiiiii....! Mengapa terlalu cepat? Perlahan-lahan saja, kepalaku pening.... ah! Heh, ke mana ini? Kenapa membelok ke kiri?”

Giam Kok Ma yang tadinya sudah setengah mabuk, tiba-tiba merasa teng­kuknya menjadi dingin sekali ketika mendengar suara tertawa dari tempat kusir kereta. Suara ketawa itu aneh sekali, dan kusirnya tidak akan berani tertawa seperti itu kalau ia tegur.

“Heh, apa ini? Hayo berhenti....!” Giam Kok Ma memukul-mukul pintu ke­reta sambil berteriak-teriak marah. “Pe­nggwal, suruh kusir berhenti dan beri sepuluh kali cambukan pada pantatnya!”

Akan tetapi tidak ada jawaban dari belakang. Giam Kok Ma cepat menyingkap tirai bagian belakang dan.... betapa kagetnya ketika ia melihat tempat pe­ngawal di belakangnya itu sudah kosong! Ia melongok keluar jendela, akan tetapi tidak dapat melihat wajah kusir karena gelap.

“Berhenti....!” Ia berseru lagi dan kini kusir menahan kuda, kereta pun berhenti.

Dengan kemarahan meluap-luap Giam Kok Ma yang juga memiliki ilmu silat lumayan, meloncat keluar dari kereta sambil mencabut pedangnya, pedang kebesaran. Kalau perlu akan membunuh kusir yang lancang ini, dan ia bisa pulang dengan menunggang kuda!

Ia terheran-heran dan menjadi ngeri melihat seorang yang buntung sebelah kakinya, yang turun dari tempat kusir, dengan sikap seenaknya dan tenang se­kali mencabut lampu kereta dan berjalan menghampirinya, bukan berjalan melain­kan meloncat dengan kecepatan luar biasa sekali. Han Han memegang lampu kereta, mengangkat lampu tinggi-tinggi sehingga mereka berdua dapat saling me­mandang muka masing-masing. Han Han memandang wajah yang kekuningan itu penuh kebencian, sedangkan Giam Kok Ma agaknya tidak mengenal Han Han. Sungguhpun perwira ini merasa seperti pernah melihat wajah tampan yang ber­mata seperti sepasang api bernyala de­ngan rambut panjang terurai itu, namun ia tidak ingat pernah bertemu dengan seorang laki-laki buntung seperti ini.

“Siapa.... siapa engkau....? Di mana kusirku? Mana pengawal-pengawalku?”

Han Han tersenyum, senyum yang tampak mengerikan dan menyeramkan bagi Giam-ciangkun. “Giam Kok Ma, tidak perlu mencari kusir dan penga­wal-pengawalmu. Mereka telah kubunuh di tengah jalan tadi. Giam Kok Ma, apa­kah engkau lupa kepadaku?”

“Siapa.... siapa engkau....?” Suaranya meragu karena kini ia teringat akan suara ini, suara orang yang pernah mem­buat ia tidak enak makan tidak nyenyak tidur.

“Ingatlah baik-baik, pandang mukaku. Lupakah engkau akan peristiwa terkutuk yang kaulakukan di Kam-chi dekat Nan-king, di sebuah dusun kecil di mana engkau melakukan perbuatan terkutuk di rumah keluarga Sie Bun An?”

“Kau.... kau....?”

“Benar! Kulihat engkau mulai teringat. Tentu engkau ingat akan anak laki-laki yang berteriak-teriak seperti gila ketika engkau memperkosa ibunya, kemudian engkau membunuh ibu anak itu, kawan-kawanmu membunuh seluruh keluarga anak itu, merampas barang-barangnya! Akulah anak itu! Akulah anak yang kau­lemparkan ke dinding! Ingat?” Pandang mata Han Han seperti pandang mata be­ekor harimau marah.

Giam Kok Ma menggeleng-geleng kepalanya dan berteriak, “Tidak.... tidak....! Ah, tolooonggg....!”

Han Han tersenyum lebar. “Benar kata orang bahwa manusia yang berhati kejam sebenarnya adalah seorang penge­cut besar! Giam Kok Ma, bersiaplah engkau untuk menebus dosamu, menerima hukumanmu atas perbuatanmu yang ter­kutuk terhadap Ibuku!” Han Han melang­kah maju karena perwira itu dengan muka sepucat mayat kini mundur-mundur, agaknya siap untuk melarikan diri. Akan tetapi kemudian perwira itu menguatkan hatinya. Orang ini kakinya buntung dan dia sendiri memegang pedang! Masa tidak akan dapat melawan seorang buntung?

“Mampuslah, buntung!”

Makian ini dikeluarkan oleh Giam Kok Ma untuk membesarkan hatinya dan menggugah keberaniannya dan pedangnya berkelebat membacok ke arah muka yang mengerikan hatinya itu. Akan tetapi Han Han menggerakkan tangan dan Giam Kok Ma tidak tahu entah bagaimana, nemun pedangnya sudah berpindah ke tangan kiri Han Han yang memegang tongkat!

Han Han tersenyum, senyum seorang yang dikuasai kemarahan dan kekejaman. “Bagus, Giam Kok Ma, masih ada lagikah perlawananmu? Jika engkau melawan, sedikitnya engkau memperkecil sebutan pengecut!”

Kedua kaki perwira itu mulai meng­gigil, mukanya sudah tidak ada sinar merahnya lagi. Ia hendak lari, akan te­tapi kedua kakinya tidak mempunyai kekuatan lagi dan dia menjadi nekat, tangannya dikepal dan dihantamkan ke dada Han Han.

“Bukkk! Aughhh....!” Perwira itu memegangi kepalan tangan kanannya yang terasa nyeri sekali, seolah-olah ia tidak memukul dada, melainkan memukul baja. Serasa remuk tulang-tulangnya! Saking takutnya tanpa ia sadari lagi celananya menjadi basah! Kiranya rasa ngeri dan takut membuat perwira yang biasanya galak ini menjadi terkencing-kencing! Tiba-tiba ia menggerakkan kakinya, membalikkan tubuhnya dan hendak lari. Akan tetapi ia terguling oleh sabetan tongkat pada kakinya. Han Han mengempit tong­katnya, mengangkat lampu kereta dan kini pedang rampasan di tangannya berkelebat.

“Brettt-brettt....!” Pakaian pembesar itu koyak-koyak dan ia telanjang bulat. Pedang itu telah merobek semua pakaian­nya tanpa menggores sedikit pun kulit­nya! Giam Kok Ma menggigil, bukan karena dingin setelah ia telanjang bulat, melainkan saking takutnya. Tanpa malu-malu lagi ia merangkak bangun dan berlutut, bersoja-kwi (menyembah-nyembah) sampai dahinya penuh debu tangan dan ia meratap.

“Taihiap.... ampunkan.... ampunkan hamba.... ampuuunnnnn....!” Dan ia menangis mengguguk seperti anak kecil!

Akan tetapi sepasang mata Han Han mengeluarkan sinar yang lebih ganas dan beringas daripada tadi. Di bawah sinar lampu kereta ia melihat tubuh perwira yang telanjang bulat itu berlutut dan menyembah-nyembah, mengingatkan ia akan keadaan perwira itu belasan tahun yang lalu di kamar ibunya! Mengingatkan ia ketika perwira itu memperkosa ibunya! Ia seolah-olah dapat melihat ibunya di bawah tubuh perwira itu, ibunya yang meronta-ronta, menggeliat-geliat dan merintih-rintih!

“Bedebah! Keparat! Manusia berhati iblis! Manusia terkutuk! Terimalah hukum­anmu!”

Giam Kok Ma mengangkat muka, ketika melihat wajah Han Han yang be­ringas di bawah sinar lampu kereta, semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya. “Aduhhh.... ampunkan, taihiap.... apa.... apa yang akan taihiap lakukan....?”

“Apa yang akan kulakukan? Ha-ha-ha, Giam Kok Ma, apa yang dulu kaulakukan kepada Ibuku? Jawablah.... heh-heh, jawab!”

“Ampunnn....!”

“Giam Kok Ma, ingatkah engkau betapa tangan-tanganmu yang kotor itu menyentuh Ibuku, menelanjangi Ibuku? Hemmm, ingatlah peristiwa itu dan rasakan hukumanmu!” Pedang itu berkelebat, Giam Kok Ma menjerit dan merintih-rintih sambil momegangi tangan kirinya yang tidak berjari lagi. Kelima jari ta­ngan kirinya telah dibabat putus tenpa ia rasai dan tahu-tahu ia hanya merasa perih dan jari-jari tangannya sudah lenyap!

“Ampum.... aduh, ampun....!”

“Manusia terkutuk, ingatlah engkau akan ratap tangis Ibuku! Betapa engkau tertawa mengejek ketika memperkosanya dan dia menjerit-jerit, betapa engkau dan kawan-kawanmu tertawa ketika kau bu­nuh seluruh keluargaku! Betapa tanganmu yang menjijikkan mengotori Ibuku kemudian membunuhnya. Terimalah hukumanmu!” Kembali tampak sinar pedang berkelebat menyambar dan kini kelima buah jari tangan Giam Kok Ma terbang lenyap, yaitu jari tangan kanan yang memegangi tangan kiri yang sudah tak berjari itu.

“Aduhhhh.... mati aku.... aduh, ampunnnn.... taihiap....!”

“Mintalah ampun kepada Tuhan, atau mintalah ampun kepada iblis! Akan tetapi jelas aku tidak dapat mengampunimu!” Pedang di tangan Han Han berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, disusul jerit-jerit mengerikan yang keluar dari mulut Giam Kok Ma! Darah muncrat-muncrat dan keadaan perwira yang ber­telanjang bulat itu benar-benar amat mengerikan. Jari-jari tangannya putus semua, disusul jari-jari kakinya, kemudian alat kelaminnya dibabat pedang se­hingga terputus. Darah muncrat-muncrat, Giam Kok Ma tidak dapat menjerit lagi, hanya berkelojotan dan mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih. Han Han tertawa, suara ketawanya tidak seperti manusia, sepertinya iblis telah menguasai dirinya dan suara itu adalah suara ketawa iblis sendiri yang menyo­raki kemenangannya!

“Ha-ha-ha-ha! Rasakan engkau! Hen­dak kulihat apakah engkau ini akan mampu lagi memperkosa wanita! Ha-ha-ha!”

Sejenak Han Han seperti menikmati pemandangan yang disinari lampu kereta di tangannya itu. Tubuh telanjang bulat yang mandi darah, yang menggeliat-geliat dan berkelojotan, sepasang mata di muka calon mayat yang terbelalak penuh ketakut­an, mulut yang menjadi menceng saking menahan rasa nyeri menusuk-nusuk. Ke­mudian Han Han tertawa lebih keras.

“Ha-ha-ha! Lihatlah Ibu! Lihatlah musuh besarmu!” Pedangnya yang sudah merah itu bergerak dan kini menyayat-nyayat kulit tubuh telanjang itu. Tidak terlalu dalam, hanya menggurat-gurat kulit sehingga kulit di seluruh tubuh Giam Kok Ma pecah disayat-sayat, dan seluruh tubuh dari muka sampai ke kaki­nya menjadi merah oleh darahnya sendiri! Bukan main rasa nyeri diderita orang ini karena pedang itu tidak menggurat terlalu dalam sehingga dia tidak pingsan. Dalam keadaan sadar merasai siksaan seperti itu benar-benar amat mengerikan. Sambil terus tertawa-tawa pedang Han Han berkelebat, terdengar jerit ter­akhir Giam Kok Ma ketika ujung pedang memasuki rongga perut, dari ulu hati terus merobek ke bawah, sehingga ter­bukalah perutnya, usus dan semua isi perut yang tidak tertutup lagi itu berhamburan keluar semua! Han Han masih belum puas, karena iblis kebencian dan dendam masih menguasai hatinya. Pe­dangnya menyambar-nyambar. Leher itu putus, disusul pinggang dan dalam se­kejap mata saja tubuh Giam Kok Ma sudah putus menjadi beberapa potong!

Han Han berdiri terengah-engah, tak bergerak seperti patung, memandang daging-daging berdarah yang berceceran di depannya, matanya terbelalak, hidung­nya kembang-kempis dan pedang bernoda darah di tangan kiri, lampu di tangan kanan. Tiba-tiba kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan aneh, matanya yang terbelalak dan yang tadi bersinar ganas dan liar, kehilangan sinar itu, ter­ganti sinar penuh takut dan ngeri. De­ngan tangan menggigil ia melempar pe­dang yang berlumuran darah itu ke atas tanah. Matanya tak pernah berkedip me­mandang daging berceceran itu, kini kedua pundaknya yang menggigil seolah-olah ia diserang demam.

“Tidak! Tidak!” Ia menggeleng-geleng kepalanya seolah-olah tidak percaya bah­wa pemandangan mengerikan itu adalah akibat perbuatannya. Kemudian ia meng­angkat kedua tangan menutupi muka, terus menggeleng-geleng kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang seperti pohon muda terlanda angin besar.

“Tidak....! Tidak mungkin....!” Ia berteriak, kemudian menurunkan tangan dan memandang ke kanan kiri mencari-cari.

“Iblis....! Iblis menguasai aku! Iblis, di mana engkau....? Harus kuhancurkan engkau!” Tubuhnya melesat ke sana ke mari, tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah suara hiruk-pikuk. Kereta han­cur, empat eker kudanya terlepas dan lari ketakutan. Pohon-pohon di sekitar tempat itu jebol dan tumbang.

Akhirnya Han Han roboh terkulai di atas tanah dan menangis. “Ibu.... Ibu.... mengapa aku menjadi begini? Iblis.... mengapa aku begini kejam dan ganas? Ah, Giam Kok Ma, engkau boleh jadi seorang manusia jahat dan kejam, telah memperkosa Ibuku dan membunuh keluargaku. Akan tetapi.... ya Tuhan.... yang kulakukan tadi.... ah, jauh lebih kejam....! Giam Kok Ma, engkau manusia keji dan jahat, akan tetapi aku tidak lebih baik daripada engkau....!”

Tiba-tiba Han Han mencelat dan le­nyap dari situ, di dalam gelap masih terdengar suaranya, “Tuhan.... ampunkan aku.... Ayah Ibu, ampunkan aku....!” Disusul suara tangisnya dan tubuhnya ber­kelebatan keluar dari tempat itu, menuju ke kota Toang-koan-bun kembali.

Peristiwa yang terjadi di hutan itu, yang amat mengerikan, adalah peristiwa yang sering kali terjadi pada setiap ma­nusia. Manusia adalah mahluk yang sebenarnya amat lemah menghadapi nafsu-nafsunya sendiri. Sekali nafsu menguasai diri, pertimbangannya menjadi miring, akal diperalat pemuasan nafsu, dan budi lenyap sinarnya, tertutup oleh uap hitam dari nyala nafsu yang berkobar. Han Han dikuasai nafsu dendam kebencian yang bertahun-tahun ditekannya, kini meledak dan sepenuhnya menguasai dirinya se­hingga ia melakukan pembalasan dendam yang amat kejam, tidak kalah kejamnya dengan perbuatan yang dilakukan Giam Kok Ma sendiri ketika perwira itupun dikuasai nafsunya. Setelah iblis atau nafsu meninggalkannya dan ia sadar, pe­nyesalan datang menimpanya. Baru ter­buka mata pemuda itu betapa kejam dan kelirunya perbuatannya tadi, baru ter­ingat olehnya akan wejangan-wejangan kebatinan yang pernah dibacanya bahwa membalas kekejaman dengan kekejaman, membalas kejahatan dengan kejahatan, adalah perbuatan manusia yang lemah.

Han Han lupa bahwa dahulu ia meng­anggap tepat wejangan filsafat yang mengatakan bahwa perbuatan jahat harus dibalas dengan keadilan! Akan tetapi, keadilan itu sendiri akan menjadi kotor dan tidak murni, tidak adil lagi kalau pelaksanaannya dikuasai pula oleh nafsu dendam dan kebencian. Dengan demikian bukanlah keadilan lagi namanya, melain­kan kejahatan dalam bentuk lain! Keadil­an hanya murni kalau dilaksanakan tanpa pengaruh benci dan suka, tidak berat sebelah dan pelaksanaannya hanya demi keadilan itu sendiri yang sudah ada batas-batasnya dan ada hukum-hukumnya.

Memang tidaklah mudah bagi orang-orang muda seperti Han Han untuk dapat menerima dan menghayati filsafat itu. Manusia, terutama yang masih muda memang masih amat kuat sifat memen­tingkan diri pribadi (egoism) yang tentu saja amat berguna untuk mengejar cita-cita dan mencapai kemajuan duniawi. Karena sifat ini maka mudah sekali men­jadi mangsa nafsu, mudah dikuasai nafsu sehingga lupa diri. Terutama sekali dalam soal mendendam, bagi orang muda amat sukariah untuk menekan nafsu a­marah dan dendam kebencian yang men­ciptakan keinginan melihat orang yang dibencinya itu mengalami siksa sehebat-hebatnya. Terciptalah sifat kejam (sadis­tic) yang dibentuk nafsu marah dan ben­ci, ingin melihat orang yang telah men­celakakan dan menyengsarakan dirinya itu tertimpa malapetaka yang lebih sengsara lagi!

“Lulu.... ah, Adikku Lulu.... di mana engkau....?” Han Han berloncatan dan kini ia mengeluh memanggil-manggil nama adiknya. Ia merasa seperti hanyut terbawa air yang deras, hanyut tidak berdaya dan tidak ada sesuatu yang da­pat menolongnya kecuali Lulu yang merupakan bayang-bayang di permukaan air yang menghanyutkan. Kalau berjumpa dengan Lulu, tentu dia tidak akan seng­sara seperti ini.

Teringat akan Lulu, hati Han Han berduka dan ia kini berjalan perlahan dibantu tongkatnya, menuju ke Tiang-koan-bun yang sudah tampak dalam cua­ca pagi yang remang-remang.

“Aihhhhh....!”

Jerit yang hanya satu kali ini, seolah-olah mulut yang menjeritnya itu kena dekap, cukup bagi Han Han. Itulah jerit yang keluar dari mulut seorang wanita! Tubuhnya melesat ke kiri, memasuki hutan kecil dari mana ia mendengar suara jerit itu. Dan di belakang beberapa buah batu gunung yang besar, ia melihat pemandangan yang membuat mukanya menjadi merah sekali. Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan sambil tertawa-tawa sedang mempermainkan seorang wanita muda yang cantik. Lai Kwan menelikung lengan wanita itu dari belakang dan men­dekap mulutnya. Wanita yang kelihatan­nya memiliki kepandaian itu meronta-ronta dan sambil tertawa-tawa Ouwyang Seng merenggut pakalan wanita itu se­hingga terlepas dari tubuhnya dan te­robek, membuka dan menelanjangi tubuh yang berkulit kuning langsat! Di atas tanah menggeletak tiga orang laki-laki tua yang sudah tewas.

“Kuda betina ini liar! Lebih baik bu­nuh saja sekali pemberontak ini!” Lai Kwan berseru karena la kewalahan juga menelikung gadis yang meronta sekuat tenaga itu.

“Wah, sayang kalau dibunuh begitu saja, Lai Kwan. Dia manis sekali, heh-heh!” Ouwyang Seng meraba dada yang telanjang itu. “Kita permainkan dulu sepuas kita, baru dibunuh. Lai Kwan, apakah engkau tidak mau....?”

Wajah Lai Kwan merah sekali. “Aku.... aku.... tidak pernah, Kongcu....”

“Ha-ha-ha-ha! Benar-benar engkau masih hijau! Engkau lihatlah aku, sesudah aku, engkau boleh belajar, ha-ha!”

“Akan tetapi.... itu.... itu perbuatan rendah....” Lai Kwan berkata lagi.

Ouwyang Seng yang sudah hendak merangkul gadis yang tak berdaya itu, membalik dan memandang Lai Kwan. “Ucapanmu sungguh tolol Lai Kwan. Engkau tahu siapa gadis ini? Seorang pemberontak! Dia agaknya seorang petugas pemberontak yang memata-matai kita, yang hilir mudik lewat perbatasan. Dia ini amat berbahaya, dia musuh kita! Apa salahnya kalau sebelum dibunuh kita menikmati tubuhnya yang indah, wajah­nya yang manis ini? Sayang bukan kalau kembang yang harum dibuang begitu saja sebelum kita kenyang menciuminya dan mengambil sari madunya yang manis?”

Gadis itu meronta-ronta dan hampir terlepas dari pegangan Lai Kwan. “Kau totok dia agar lumpuh, Kongcu. Wah, dia kuat bukan main!”

“Ha-ha-ha, lebih baik dia meronta-ronta begitu daripada ditotok lumpuh seperti orang mati! Rebahkan dia di rumput dan kaupegangi kedua tangannya, Lai Kwan. Biarkan kakinya menendang-nendang, ha-ha-ha!”

“Tidak, Kongcu.... aku.... aku malu melihatnya. Biar kuikat dia.... eh, dia terlepas....!”

Lai Kwan yang melepaskan sebelah tangan untuk memegangi tali hitam yang tergulung dan tergantung di punggung­nya, yaitu yang biasanya ia pergunakan sebagai senjata tidak kuasa lagi menahan ketika gadis itu meronta dan terlepas, kemudian gadis itu membalik cepat, me­ngirim tendangan ke arah selangkangan Lai Kwan dengan cepat dan kuat. Lai Kwan terkejut dan terpaksa ia meloncat ke belakang sambil melepaskan senjata­nya, tali hitam.

“Ha-ha-ha, biarkan dia lepas, mari kita kejar dan tangkap lagi, lebih meng­gembirakan begitu. Ha-ha, lari tanpa pakaian ia kelihatan menarik sekali!” Ouwyang Seng tertawa.

Cadis yang sudah telanjang bulat itu tersipu-sipu, malu bukan main dan mem­balikkan tubuh melarikan diri. Lai Kwan menggerakkan tangan, tali hitam yang dipergunakan sebagai cambuk itu mengeluarkan bunyi meledak dan meluncur ke depan, hendak menjerat leher si gadis yang melarikan diri.

“Ahhh....!” Tiba-tiba Lai Kwan berseru kaget. Ujung talinya tertahan dalam gigitan seorang pemuda berkaki buntung yang tahu-tahu telah berdiri di depannya! Gadis telanjang itu lenyap di balik batu besar.

“Engkau.... Sie Han sute....?” Lai Kwan berseru kaget.

“Ha-ha-ha, kiranya Han Han si bocah jembel itu masih hidup! Lai Kwan, jadi dia ini sutemu? Punya sute kurang ajar macam itu, tangkap saja dia!” Ouwyang Seng bertolak pinggang dan memandang dengan kening berkerut.

Gu Lai Kwan mengerahkan tenaganya dan membetot-betot tali hitam. Kalau si buntung ini tidak mau melepaskan gigit­annya, tentu akan rontok giginya, pikir pemuda ini. Akan tetapi, betapapun ia nengeluarkan semua tenaganya, tali itu tetap tak bergerak sedikit pun dari gigit­an Han Han!

“Han Han, lepaskan senjataku!” Lai Kwan membentak. “Kalau tidak....”

Tiba-tiba Lai Kwan terjengkang dan cepat ia menggulingkan tubuhnya. Kalau ia tadi kurang cepat bergerak, tentu ia akan kena hantaman senjatanya sendiri yang tiba-tiba meluncur ke arah mukanya ketika Han Han melepaskan gigitannya. Ia sudah meloncat bangun dan meng­hadapi Han Han dengan muka merah.

“Gu Lai Kwan, sampai begini jauhkah engkau menyeleweng? Engkau tidak saja menghamba kepada pemerintah Mancu, hal yang masih dapat dimengerti dan di­maafkan, akan tetapi engkau menjadi pembantu Ouwyang-kongcu, membantunya hendak memperkosa wanita! Ke manakah perginya kegagahanmu sebagai murid In-kok-san?”

“Han Han, kaki buntung yang lancang mulut dan sombong! Wanita itu adalah seorang pemberontak, seorang tawanan. Seorang tawanan boleh diperlakukan se­suka hati yang menawannya. Engkau mau apa? Aku tidak memperkosa wanita!”

“Lai Kwan, bocah buntung ini sudah begitu menghinamu. Perlu apa banyak bicara lagi? Mungkin dia kini pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Tang­kap saja atau bunuh!” Ouwyang Seng berseru.

Lai Kwan memang merasa agak jerih kepada Han Han. Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu kepandaian dari Pulau Es. Akan tetapi karena sekarang Han Han sudah buntung kakinya, biarpun tadi sin-kangnya masih luar biasa sehingga dia tahu takkan dapat mengalahkan te­naga Han Han, dia merasa yakin bahwa dalam pertandingan, pemuda yang bun­tung sebelah kakinya ini tentu tidak lincah dan mudah dikalahkan. Apalagi di situ ada Ouwyang-kongcu yang ia tahu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari padanya.

“Han Han, engkau menyerahlah agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan merobohkanmu!”

Han Han menghela napas panjang. “Sayang seorang muda perkasa seperti engkau, kini tidah lebih hanya seperti seekor anjing yang suka menjilat apa saja atas perintah majikannya.”

“Keparat buntung!” Lai Kwan marah sekali dan tali hitam di tangannya ber­gerak, mengeluarkan suara “tar-tar!” dan berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ke arah kepala Han Han.

“Wuuuttttt....!” Han Han menundukkan kepala dan sinar hitam itu menyambar lewat atas kepalanya, membuat rambutnya berkibar. Dari belakang, sinar hitam itu membalik dan kini ujung cambuk menotok tiga jalan darah di tengkuk, punggung dan lambung.

Han Han masih tidak bergerak, bahkan tidak mengelak sama sekali. Girang hati Lai Kwan. Ilmu cambuknya memang lihai dan kalau sekali luput menyerang dari depan, ujung cambuk itu disendal kembali dan dari belakang tubuh lawan dapat melakukan penyerangan yang lebih dahsyat lagi tanpa diduga lawan sehingga serangan membalik inilah yang sering kali merobohkan lawan. Kini agaknya Han Han tidak menduganya, maka ia merasa yakin bahwa tiga kali totokan ujung cambuknya akan mengenai sasaran secara tepat sekali.

“Tes! Tes! Tes!” Memang tiga kali totokan ujung cambuk itu mengenai sasaran dengan tepat. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak bergeming, apalagi roboh seperti yang dan disangka Lai Kwan. Malah Han Han sudah menggerakkan tangan kanan menangkap cambuk itu, dan tongkat di tangan kiri­nya meluncur ke depan menotok ke arah pergelangan tangan Lai Kwan yang memegang cambuk.

“Ayaaaaa....!” Lai Kwan cepat meloncat ke belakang dan terpaksa ia harus melepaskan cambuknya.

“Lai Kwan, jangan engkau turut campur. Aku mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh Ouwyang Seng!”

“Setan buntung sombong kau! Lai Kwan, hayo kita bunuh dia!” Ouwyang Seng berteriak keras dan sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut pedang dari punggungnya dan tampaklah sinar yang menyilaukan mata. Pedang itu terbuat daripada logam yang putih dan sinarnya menyilaukan seperti sinar matahari.

Lai Kwan yang sudah dirampas sen­jatanya, pulih kembali ketabahannya me­lihat kawannya sudah mencabut pedang. Ia lalu berteriak keras dan menubruk maju, mengerahkan tenaganya dan memukul dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari tangan kanannya, sedangkan tangan kiri­nya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Han Han dengan ilmu pukulan Toat-beng-tok-ciang yang mengandung racun ampuh. Agaknya karena maklum akan kelihaian Han Han, sekali menye­rang Lai Kwan ingin merobohkannya dan telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanan­nya sekaligus, dua macam pukulan sakti yang amat hebat dan sukar dilawan!

Ouwyang Seng bukanlah seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan juga dia memiliki kepandaian tinggi. Selain menerima gemblengan Si Setan Botak yang lihai sehingga ia mewarisi ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang, juga pemuda bangsawan yang suka sekali mempelajari ilmu silat ini telah berguru kepada banyak tokoh pandai, dan ia bahkan memiliki pedang terbuat daripada logam putih yang luar biasa, pedang yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) dan Gak Liat sendiri telah menciptakan ilmu pe­dang yang diambil dari inti ilmu-ilmu pedang yang pernah dipelajari Ouwyang Seng yaitu ilmu pedang yang diberi nama Jit-kong Kiam-hoat, sesuai dengan nama pedangnya!

Sekali pandang saja, ketika Han Han menggigit cambuk, kemudian kebal ter­hadap totokan, bahkan dalam segebrakan Han Han berhasil merampas cambuk, mengertilah Ouwyang Seng, bahwa Han Han yang dahulu memang amat lihai se­hingga perlu dikeroyok oleh gurunya dan Ma-bin Lo-mo, kini setelah buntung kaki­nya ternyata tidak kehilangan kelihaian­nya! Maka ia menggunakan saat Lai Kwan menerjang dengan dahsyat itu un­tuk meloncat pula dan pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar me­nyilaukan, menyerang Han Han dari belakang.

“Syuuutttt.... syuuuttt....!” Dua pukulan sakti Lai Kwan menghantam.

“Ciuuutttt.... singggg....!”

“Heiii....! Ayaaa....!”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lai Kwan dan Ouwyang Seng ketika tiba-tiba tubuh Han Han melambung ke atas dan karena gerakan Han Han ini amat tiba-tiba setelah serangan dari depan dan belakang sudah dekat, tak dapat dicegah lagi hawa pukulan Lai Kwan bertemu dengan sinar pedang Ouwyang Seng. Keduanya kaget dan cepat menahan diri, namun tetap saja mereka terpelanting ke kanan kiri. Dengan enak saja Han Han yang memegang tongkat di tangan kiri dan cambuk di tangan kanan turun lagi, berdiri di atas tanah dengan kakinya yang hanya satu tanpa dibantu tongkat.

“Ouwyang Seng, jawablah, di mana adanya Lulu Adikku?”

Ouwyang Seng memandang marah. “Persetan dengan adikmu bocah liar itu!” bentaknya dan pedangnya sudah meluncur ke depan menusuk dada Han Han. Lai Kwan juga sudah menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi. Namun, sekali lagi mereka berdua hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Han Han sudah pindah tempat.

“Ouwyang Seng, jawablah. Dahulu engkau menculik Lulu....” Han Han berhenti untuk mencelat lagi ke lain tempat merghindarkan serangan susulan dua orang pengeroyoknya, lalu menyambung, “.... dan adikku itu lari dari istana. Di manakah dia sekarang....?”

Ouwyang Seng menjadi penasaran bukan main. Dia dan Lai Kwan menyerang dengan hebat secara berbareng, akan tetapi sampai tiga kali berturut-turut Han Han lenyap begitu saja, gerakannya demikian cepat seperti menghilang dan tahu-tahu sudah pindah tempat. Dan semua itu dilakukan oleh Han Han dengan seenaknya, malah sambil bicara!

“Dia sudah minggat, mana aku tahu?” Ouwyang Seng menyerang lagi mendahului Lai Kwan yang kaget bukan main menyaksikan kehebatan gerakan Han Han. Dulu sebelum buntung, tidak sehebat ini kelincahan Han Han. Bagaimana sekarang setelah buntung malah menjadi begini lihai? Ia menubruk maju, kini meloncat ke atas karena tadi ia melihat betapa Han Han selalu mencelat ke atas kalau diserang. Ia hendak memapaki tubuh Han Han kalau mencelat lagi ke atas menghindarkan serangan pedang Ouwyang Seng.

“Ouwyang Seng bersumpahlah....” Han Han benar saja mencelat lagi ke atas ketika sinar pedang yang menyilaukan itu meluncur ke arah lehernya. Lai Kwan yang sudah meloncat, dengan girang memapaki tubuh Han Han dengan dua pukulan saktinya.

“Syuuut.... syutttt!” Lai Kwan berseru kaget karena kembali pukulannya itu hanya mengenai angin kosong. Bayangan tubuh Han Han yang tadi mencelat ke atas itu secara aneh meluncur ke kiri dan dengan enaknya turun dan berdiri lagi melanjutkan kata-katanya, “.... ber sumpahlah bahwa kau benar-benar tahu di mana adanya Lulu!”

“Setan! Mampuslah!” Kembali Ouwyang Seng menyerang, ia tidak mau sembarangan menusuk atau membacok, melainkan memutar pedangnya sehingga gulungan sinar pedangnya membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin lebar dan lingkaran itu mulai mengurung tubuh Han Han! Lai Kwan juga sudah menerjang maju dan siap menyam­but dengan pukulan maut kalau Han Han mengelak dari sinar pedang Ouwyang Seng yang kini benar-benar mengerahkan segala kepandaiannya untuk merobohkan Han Han.

Han Han berdiri tenang saja, menanti sampai lingkaran sinar pedang itu makin menyempit, makin menghimpit dirinya dan tiba-tiba pada saat pedang meluncur dengan gerakan melingkar hendak mem­babat pinggangnya, Han Han menggerak­kan tangan dan seperti seekor ular hidup, pecut yang dirampasnya dari tangan Lai Kwan tadi bergerak maju, menyambut pedang dan di lain detik pedang itu su­dah terbelit oleh cambuk hitam! Ouw­yang Seng berseru kaget dan mengerah­kan tenaga membetot untuk merampas kembali pedangnya, untuk melepaskan libatan atau kalau perlu membabat putus cambuk itu dengan ketajaman pedang pusakanya. Akan tetapi pedangnya seperti telah melekat dengan cambuk, sama sekali tidak bergerak.

“Bersumpahlah....!” Han Han yang berdiri sambil memegang ujung tali atau cambuk dengan tangan kanan, memper­tahankan dengan menyalurkan sin-kang menggunakan tenaga “menempel dan menyedot”.

Melihat kesempatan baik selagi Han Han mengadu tenaga dengan Ouwyang Seng, Lai Kwan menerjang dari belakang menghantam punggung Han Han dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-jiu yang amat kuat. Hawa dingin sekali menyam­bar ke arah punggung sebelum kepalan yang memukul itu sendiri tiba.

“Desssss....!” Lai Kwan merasa betapa hawa pukulan amblas memasuki telapak tangan Han Han yang luar biasa dinginnya, seperti sebongkah batu di­lempar ke telaga.

“Ayaaaaa....!” Ouwyang Seng yang masih membetot-betot gagang pedang­nya, tiba-tiba merasa betapa ada hawa dingin menyerangnya melalui pedang dan tangannya, terus menjalar ke dadanya. Ia terkejut dan cepat melepaskan pedang­nya, terhuyung ke belakang dengan muka pucat.

Lai Kwan yang kaget merasa betapa tenaga sin-kangnya amblas, berseru keras dan tiba-tiba tubuhnya terlempar ke belakang sampai lima meter lebih. Ia berbanting dan kepalanya pening, tubuh­nya menggigil karena terasa dingin se­kali. Tadi ia dilontarkan oleh hawa pu­kulan yang dingin sekali dari telapak tangan Han Han. Cepat ia duduk bersila untuk mengerahkan sin-kang dan memulihkan kesehatannya maklum bahwa hawa pukulannya sendiri ditambah hawa yang amat kuat telah membalik dan melukai dadanya!

“Ouwyang Seng, apa sih sukarnya menceritakan tentang adikku?” Han Han menegur.

Ouwyang Seng bangkit berdiri dengan muka masih pucat. Tahulah ia kini bahWa pemuda buntung di depannya ini luar biasa lihainya. Dia akan menjadi manusia segoblok-gobloknya kalau masih nekat hendak melawan. Maka ia tersenyum dan berkata.

“Adikmu itu aneh seperti engkau, tidak mengenal budi orang. Dia diangkat menjadi pelayan istana malah minggat dan kabar terakhir yang kudengar, dia bersekongkol dengan pemberontak! Malah menjadi anak buah Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho. Kini Pek-lian Kai-pang telah berantakan, entah adikmu itu mati atau hidup, siapa yang tahu?”

Han Han memandang tajam penuh selidik. Tentang keadaan Lulu setelah lari dari istana dan tinggal bersama Lauw-pangcu, dia sudah tahu. Yang perlu ia ketahui adalah sekarang! Di mana adanya Lulu sekarang?

“Ouwyang Seng, benarkah engkau tidak tahu di mana adanya adikku seka­rang?”

Ouwyang Seng menggeleng kepala.

“Bersumpahlah!”

Sepasang mata pemuda bangsawan itu memancarkan kebencian. “Setan engkau, Han Han! Tidak percaya kepadaku? Baiklah, aku bersumpah bahwa aku tidak tahu di mana adanya adikmu itu sekarang! Dan aku bersumpah lain kali aku tentu akan berhasil mencabut nyawamu!”

Han Han mengerutkan keningnya. Ia tidak peduli akan ancaman pemuda bangsawan ini. Ia kecewa mendengar bahwa pemuda itu tidak tahu di mana adanya Lulu. Dengan sembarangan ia melemparkan cambuk dan pedang ke atas tanah dan ia menghampiri Lai Kwan yang masih duduk bersila.

“Lai Kwan, kalau aku mengingat bah­wa engkau yang membuntungi kakiku, kalau aku menuruti nafsu dendam, agaknya sekarang engkau pun akan kehilangan sebuah kakimu. Akan tetapi aku tidak akan melakukan hal bodoh dan keji itu, Lai Kwan, karena dahulu engkau hanya melaksanakan perintah Toat-beng Ciu-sian-li. Dan mengingat akan hubungan di antara kita sewaktu kecil, kuperingatkan kepadamu bahwa engkau telah tersesat. Menjadi sahabat atau kaki tangan seorang pemuda bangsawan seperti Ouw­vang Seng amat berbahaya, akan menyeretmu ke jurang kemaksiatan dan kesesatan! Orang-orang muda yang kaya raya dan putera bangsawan biasanya mudah tersesat, karena mereka mengan­dalkan kekayaannya dan kedudukan orang tua, dan semua ini timbul dari sikap orang tua mereka yang terlalu memen­tingkan kesenangan pribadi, mabuk pangkat dan mabuk harta, tidak memperhati­kan pendidikan anak-anaknya, atau tidak dapat melarang karena si orang tua sen­diri sudah mencandu melakukan kemak­siatan. Insyaflah engkau Lai Kwan, demi kebaikanmu sendiri!”

“Han Han manusia sombong engkau!” Ouwyang Seng memaki dan menghampiri Lai Kwan, menarik lengan pemuda itu dan memaksanya bangun berdiri. “Hayo, Lai Kwan, kita pergi. Muak aku men­dengar ocehannya, dan jijik aku melihat kakinya yang buntung!”

Han Han hanya menarik napas pan­jang untuk menekan kemarahannya oleh penghinaan Ouwyang Seng itu. Semenjak kecil, pemuda bangsawan itu menghinanya. Sampai sekarang pun, putera pangeran itu masih belum mengubah wataknya yang angkuh, sombong den memandang rendah orang lain. Akan tetapi, apakah dia sendiri pun seorang yang baik, lebih baik dari Ouwyang Seng? Hemmn, ia kini meragukan hal itu. Dia keturunan bangsawan yang lebih jahat lagi, yang terkenal sebagai keluarga yang luar biasa keji dan jahatnya. Keluarga bangsawan Suma sudah terkenal, bahkan kakeknya sendiri dahulu adalah seorang yang ber­juluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bu­nga). Jai-hwa-sian! Tidak sembarang pen­jahat cabul mendapat julukan Sian (De­wa), tentu kejahatannya sudah melewati takaran! Menurut cerita Im-yang Seng-cu, kakeknya itu sedemikian jahat dan kejinya sehingga tokoh besar Siauw-lim-pai yang berniat hendak menyadar­kannya masih dia bikin celaka! Keluarga­nya, kakeknya, demikian jahatnya dan dia sendiri? Dia telah melakukan hal-hal yang menimbulkan bencana, telah ke­salahan tangan membunuhi orang-orang yang tak berdosa, dan dia telah menyik­sa Giam Kok Ma secara kejam sekali, sungguh bukan seperti manusia lagi. Darah keluarga Sumakah ini? Maka ia menekan kemarahannya dan membiarkan Ouwyang Seng bersama Gu Lai Kwan pergi setelah mereka mengambil senjata masing-masing.

“Kenapa kau membiarkan mereka pergi? Kejar dan bunuhlah! Mereka itu adalah orang-orang penting dari kerajaan penjajah! Kalau kau membunuh mereka, kau akan berjasa besar dan Bu-ongya ­tentu akan berterima kasih sekali. Si bedebah itu adalah putera Pangeran Ouwyang Cin Kok!” Suara wanita itu nyaring dan penuh semangat. Han Han berkata suaranya lemah, sama sekali tidak bersemangat.

“Saya bukan anak buah Bu Sam Kwi.”

“Ehhh! Kalau begitu, kenapa kau me­nolong aku?”

Mendengar suara yang lincah galak dan nyaring, yang mengingatkannya akan adiknya, Han Han seperti tergugah dari lamunan dan ia tersenyum sambil membalikkan tubuh. Matanya terbelalak melihat gadis itu yang muncul dari balik batu besar masih telanjang bulat! Begitu telanjang seperti bayi baru lahir aka' tetapi juga begitu wajar seolah-olah ga­dis itu lupa bahwa dia tidak berpakaian sama sekali. Gadis itu memandahg ke arah lenyapnya bayangan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan, wajahnya yang cantik itu kelihatan marah dan penasaran sekali, agaknya ia merasa amat menyesal meng­apa dua orang musuh penting seperti mereka itu, setelah dikalahkan, tidak dibunuh.

Han Han masih terbelalak. Selama hidupnya, baru sekali ini ia melihat se­orang wanita berdiri telanjang bulat di depannya, dan baru sekali ini melihat pemandangan yang begini menggairahkan, begini mempesonakan sehingga dia berdiri melongo seperti terkena hikmat mujijat. Tiba-tiba gadis itu seperti merasa ada sinar mata panas merayapi kulit tubuh­nya yang halus, ia membalik menghadapi Han Han. Melihat sinar mata pemuda itu, agaknya gadis yang tadi dipergaruhi kemarahan dan penasaran sehingga lupa akan keadaan dirinya, baru teringat. Ia menjerit kecil, jari-jari tangan kanannya cepat menutup tubuh bagian bawah se­dangkan jari-jari tangan kirinya otomatis berusaha menutupi dadanya yang tentu saja tidak membawa hasil baik seperti yang diharapkan. Mata gadis itu yang tajam bersinar-sinar kini kelihatan marah sekali, wajahnya merah seperti udang direbus dan mulutnya mencaci-maki!

“Laki-laki monyet binatang hutan! Engkau sama saja seperti mereka! Kau biadab, kurang ajar, ceriwis, genit tak tahu malu....!”

Han Han yang tadinya hanya membelalakkan mata, kini membuka mulutnya pula dan tarpa memindahkan matanya dari penglihatan yang amat mempesonakan itu ia berkata gagap, “Nona.... eh.... apa maksudmu....?”

“Matamu itu! Mata jahat! Mata cabul! Matamu melihat apa, heh?”

Baru sekarang Han Han berkedip, wajahnya pucat. Celaka, ini tentu gara-gara darah kakeknya! Ia menampar ke­palanya sendiri, begitu keras sehingga ia terpelanting!

“Eh....! Eh, apa kau gila....?”

Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan teguran ini, tongkatnya bergerak hendak memukul kepalanya. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu meloneat maju dan menangkap tongkat itu. “Eh, kau benar sudah gila! Celaka benar....!”

Han Han teringat bahwa kalau tadi ia melanjutkan pukulannya dengan tongkat ke arah kepalanya, tentu kepalanya sudah pecah dan nyawanya akan melayang. Ia menghela napas panjang, meloncat ba­ngun membelakangi gadis itu, tangan kirinya dilonjorkan ke arah tumpukan pakaian gadis itu yang robek-robek dan sekali ia menggerakkan tangan.... pakaian itu seperti hidup, terbang ke arah tangan­nya! Gadis itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum. Han Han lalu menyodorkan pakaian itu ke arah Si Gadis di belakang tubuhnya tanpa menengok berkata.

“Nih, pakaianmu, pakailah Nona!”

Gadis itu menyambar pakaiannya dan memakainya. Karena pakaian itu robek di bagian depan, maka ia memakai pakaian dalam berwarna merah muda itu dengan terbalik, yaitu bagian punggung yang tidak robek ditaruh di depan sehingga yang robek adalah bagian belakang, ke­mudian menutupi pakaian dalam itu de­ngan pakaian luarnya. Biarpun pakaian luar ini robek di bagian depan, akan tetapi tubuhnya sudah tertutup aman oleh pakaian dalam yang dibalik. Sambil memegangi bagian depan yang robek itu ia berkata.

“Sudah.... sudah kupakai....”

Barulah Han Han berani membalikkan tubuhnya dan mukanya kini merah sekali ketika ia bertemu pandang dengan sinar mata gadis itu. Ia menunduk dan ber­kata, “Maafkan aku, Nona. Aku tadi telah bersikap tak tahu malu. Engkau benar, aku.... aku memang kurang ajar, biadab.... selamat tinggal....!” Ia lalu melangkah pergi, berjalan terpincang-pincang dibantu tongkatnya dengan tubuh lemas.

“Eh, nanti dulu....!” Akan tetapi Han Han tidak menoleh dan melanjutkan lang­kah kakinya. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti mendengar suara tangis yang amat memilukan. Hebat bocah ini, pikirnya. Tangisnya pun seperti tangis Lulu! Ia menghela napas dan menengok. Ketika melihat betapa gadis itu memeluki tubuh seorang di antara tiga buah mayat yang menggeletak di situ, hatinya terharu. Apalagi ketika gadis itu dalam tangisnya menyebut “ayah.... ayah....” ia lalu meloncat dan sekali loncat saja ia sudah berdiri di belakang gadis itu. Dilihatnya bahwa yang ditangisi gadis itu adalah mayat seorang laki-laki tua yang usianya ­tujuh puluhan tahun, tubuhnya kurus ke­cil. Mayat ke dua adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang usianya juga lima puluh tahun lebih, mayat ke tiga seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kepalanya be­sar.

“Nona, yang sudah mati tiada guna ditangisi, takkan hidup kembali....”

Tiba-tiba nona yang menangis itu membalik dan meloncat bangun. Agaknya ia kaget mendengar suara Han Han yang disangkanya sudah pergi itu karena kedatangan Han Han sama sekali tidak diketahuinya. Ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah pemuda pincang yang aneh itu, ia marah sekali.

“Kau....! Aku sudah tahu bahwa orang mati tidak akan hidup kembali, akan tetapi aku menangisi kematian Ayahku, apa sangkut-pautnya denganmu? Kenapa kau melarang? Aku tidak meminjam air matamu untuk menangis. Kau benar-benar menjemukan! Agaknya kau mau ­menghina seorang perempuan yang sudah yatim piatu, ya?” Tiba-tiba gadis itu menerjang maju, gerakannya ringan dan cepat sekali dan tahu-tahu jari telunjuknya sudah menotok jalan darah di dada Han Han. Pemuda ini kaget, bukan ka­rena kecepatan gerak tangan gadis itu yang cukup mengagumkan hatinya, me­lainkan kaget karena melihat gadis itu marah-marah seperti itu. Dia tidak takut menerima totokan jari telunjuk ini, akan tetapi kalau ia menutup jalan darah dan mempergunakan sin-kang menerima totok­an, tentu gadis itu akan merasa makin tersinggung di samping telunjuknya yang kecil runcing bisa patah tulangnya. Maka Han Han lalu miringkan tubuhnya menge­lak. Akan tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa tangan yang luput menotok itu cepat sekali sudah membalik, telun­juk kiri itu kembali menotok lambung, sedangkan telunjuk kanan menotok pundak! Heran dia, gadis ini dapat bergerak cepat sekali dan caranya menotok jalan darah juga aneh, hanya dengan sebuah jari telunjuk, tidak dengan dua jari seperti yang lajim dilakukan ahli totok jalan darah!

“Plak-plak-plak....!” Han Han menangkis dengan telapak tangannya, menepuk lengan gadis itu dengan pengerahan se­dikit tenaga. Gadis itu kelihatannya penasaran sekali, bergerak lebih cepat lagi dan kini totokan-totokannya mengarah jalan darah yang mematikan! Han Han tertarik dan kagum. Gerakan gadis ini benar-benar luar biasa cepatnya dan agaknya dalam hal kecepatan tidak kalah oleh Sin Liang sungguhpun keistimewaan ilmu sitatnya hanyalah totokan-totokan satu jari. Ternyata gadis ini adalah seorang ahli totok satu jari yang memiliki gin-kang cukup hebat, sungguhpun tentu saja tidak secepat Lulu gerakannya! Ia pun mengimbangi kecepatan gadis itu dan setelah Han Han mempergunakan ilmunya gerak kilat, gadis itu menjadi bingung karena berkali-kali pemuda buntung itu lenyap dari depannya!

“Eh, di mana kau....?” Gadis itu membalik sambil menotok tubuh Han Han yang tahu-tahu berada di belakangnya, akan tetapi kembali pemuda itu lenyap.

“Eh, menghilang? Kau setankah....?” Kembali ia menyerang kalang-kabut be­gitu tampak berkelebatnya tubuh Han Han.

Karena gerakan-gerakannya yang ce­pat, gadis itu lupa bahwa pakaian luarnya masih terbuka di bagian depan. Biar­pun pakaian dalamnya masih menutupi tubuh depannya, akan tetapi pakaian dalam itu tipis, tidak mampu menyembu­nyikan lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan tubuhnya. Han Han menjadi silau dan ia meloncat jauh ke belakang dan berseru.

“Stoppp....! Berhenti, Nona. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Aku bukan musuh dan aku tidak bermaksud menghina. Aku bermaksud menghiburmu.”

Gadis itu cemberut dan teringat akan bajunya lalu menggunakan tangan kiri menutup bagian depan, telunjuk kanannya yang kecil runcing, yang dapat diper­gunakan sebagai senjata penotok yang ampuh, kini menuding ke arah hidung Han Han sehingga pemuda ini merasa hidungnya gatal seperti akan ditotok!

“Kau hendak menghibur ataukah mengejek? Kalau menghibur mengapa menga­takan mayat takkan hidup lagi kalau di­tangisi? Yang betul kau bicara! Apakah kalau engkau sudah menolongku tadi, pertolongan yang tak kuminta, kau lan­tas boleh bicara sesukamu?”

Han Han menghela napas. Kalau gadis ini tidak banyak sekali persamaan dalam wataknya dengan Lulu, tentu ia sudah pergi. Galak bukan main dan.... tidak mengenal budi!

“Maafkanlah Nona kalau kata-kataku kauanggap keliru. Nah, lanjutkantah tangismu, aku tidak akan mencegahmu. Menangislah sepuas hatimu.”

“Kau mengejek, ya? Biarpun kau se­puluh kali lebih pandai, aku Tan Hian Ceng bukan gadis penakut! Mati bukan apa-apa bagi seorang gadis pejuang, tahu?”

Celaka, pikir Han Han. Bicara begini salah, begitupun tidak betul. Lebih baik tidak bicara. Dia hanya mengangkat pun­dak dan memandang bengong ke arah tiga mayat itu. Tentu mereka itu pejuang-pejuang atau mata-mata dari Se-cuan, pikirnya. Mereka itu tewas sebagai pejuang. Betapa bahagianya. Dan gadis ini, di samping kegalakannya yang luar biasa, juga mengagumkan. Bukan menga­gumkan keindahan tubuhnya dan kecantikannya, cepat-cepat Han Han memban­tah pikirannya sendiri, melainkan mengagumkan kegagahan dan keberaniannya.

“Heh, jawablah! Aku tidak takut mati! Ibuku sudah tiada, kini Ayahku mati, aku tidak takut mati, kau tahu?”

Han Han memandang gadis itu dan ia terharu, merasa kasihan kepada gadis ini yang biarpun bersikap galak seperti itu, sesungguhnya gadis ini menderita duka yang hebat. Ia mengangguk.

“Jadi engkau tidak mengejek aku?”

Han Han menggeleng kepala.

“Dan engkau mengapa kembali lagi? Matamu tidak kurang ajar lagi. Engkau tidak akan kurang ajar dan mengejekku, bukan?”

Han Han menggeleng kepala.

“Kalau begitu, mengapa engkau menolongku? Engkau membenci Ouwyang Seng dan pemuda lihai yang membantu­nya tadi?”

Han Han mengangguk.

Gadis itu bertolak pinggang dan kem­bali pakaian luarnya terbuka. Han Han meramkan mata dan menunduk. “Eh, pemuda buntung yang memiliki kepandai­an seperti iblis! Mengapa engkau? Tadi kau pandai bicara, kata-katamu me­manaskan perut, sekarang kenapa tiba­-tiba menjadi gagu?”

Han Han menarik napas panjang. Baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang membuat dia bingung dan bohwat (kehabisan akal). Banyak bicara tidak benar, kalau didiamkan saja tentu akan marah pula. Sepasang mata yang bening dan tajam itu kini pun sudah mulai menyala. Ia tahu bahwa mata seperti ini kalau sudah berkobar karena marah, bisa repot dia!

“Nona, aku tidak gagu. Aku tidak berani bicara, karena tiap kali aku bi­cara, engkau salah terima dan mengira aku mengejek dan menghina.”

Gadis itu memandang wajah Han Han dengan penuh perhatian, sepasang mata­nya tidak pernah berkedip, menjelajahi wajah Han Han terus ke bawah sampai ke kakinya yang buntung, naik lagi ke atas dan berhenti pada matanya sehingga pandang mata mereka bertaut dan me­lekat. Han Han merasa seolah-olah dia menjadi seekor kuda yang sedang diteliti, diperiksa dan ditaksir-taksir oleh seorang calon pembeli!

Tiba-tiba sikap kaku gadis itu ber­ubah dan dia berkata lirih, “Maafkan aku.... maafkan bahwa aku telah salah duga.... ah, tentu In-kong menganggap aku sebagai seorang yang bocengli dan tak kenal budi. Akan tetapi tadi.... mata In-kong.... sungguh.... mengerikan hatiku....” Gadis itu kembali berlutut di dekat jenazah ayahnya dan menangis. Biarpun hatinya amat terharu, namun ada rasa geli juga. Bocah ini benar-benar amat menarik, mengingatkan ia akan Lulu. Adiknya itu, Lulu, kadang-kadang kalau sudah kumat penyakitnya juga sifatnya aneh sekali. Gadis inipun aneh, sekejap marah-marah seperti seekor harimau betina diganggu anaknya, di lain detik sudah menjadi lembut dan lunak seperti seekor domba! Ia pun lalu berlutut dan berkata hati-hati.

“Nona Tan, marilah kita mengubur jenazah-jenazah ini, tidak baik dibiarkan begini saja.”

Tan Hian Ceng, nona itu, menoleh kepadanya dengan mata merah dan muka basah air mata, lalu mengangguk. “In-kong benar. Kita harus cepat menguburnya, kalau tidak, ada bahayanya datang pasukan Mancu.... sudikah In-kong membantuku mengubur Ayah dan Paman-pamanku ini?”

Han Han sebenarnya merasa geli. Dia yang mengusulkan untuk mengubur jena­zah tiga orang itu, eh, kini dia dimintai tolong membantu. Akan tetapi dengan wajah serius ia menjawab, “Tentu saja. Marilah, Nona.”

Gadis itu kembali bengong terheran-heran ketika melihat betapa dengan tong­katnya, pemuda buntung itu menggali tanah dengan kecepatan yang luar biasa sehingga dalam waktu singkat tiga buah lubang yang cukup dalam telah digali berjajar di bawah pohon. Apa yang di­lakukan pemuda buntung itu seperti main sulap saja dan diam-diam ia menjadi kagum bukan main. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian sehebat ini. Seperti bukan manusia!

Tiga jenazah itu lalu dimasukkan lubang. Dengan suara penuh duka, se­telah tiga jenazah dimasukkan lubang, Hian Ceng berkata sambil menunjuk jenazah-jenazah itu satu demi satu.

“Ini adalah ayahku, seorang pejuang kenamaan yang telah berjuang puluhan tahun membela nusa bangsa, bernama Tan Sun dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai It-ci Sin-mo (Iblis Sakti Satu Jari).” Han Han mengangguk-angguk. Nama ini pernah ia dengar dan kini me­ngertilah ia mengapa gadis ini amat pan­dai menggunakan satu jari untuk me­notok jalan darah di tubuh lawan.

“Dia itu adalah Paman Giam Ki, se­orang pejuang gagah sahabat baik Ayah, terkenal pula dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Bertenaga Selaksa Kati).”

Han Han juga pernah mendengar na­ma ini dan diam-diam ia mengagumi kakek yang bertubuh tinggi besar itu. Tentu dahulu menjadi seorang ahli gwa-kang (tenaga kasar).

“Dan yang itu adalah seorang sahabat Ayah pula, bernama Thio Kai, seorang ahli dalam menyelundup perbatasan. Atas petunjuk dia inilah maka kami dapat me­lakukan tugas dengan sebaiknya, dapat memata-matai gerakan tentara Mancu dan mengumpulkan segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh teman-teman pe­juang di Se-cuan.”

Han Han kagum dan terharu. Tiga orang ini adalah orang-orang gagah yang biarpun sudah tua namun masih berse­mangat tinggi untuk melaksanakan tugas perjuangan sehingga kini tewas mengor­bankan nyawa untuk bangsa! Ah, betapa mulia mereka ini, jauh lebih mulia dan lebih berguna daripada dia! Akan tetapi, betapa mungkin dia memusuhi bangsa Mancu sedangkan Lulu adiknya yang tercinta itupun seorang gadis Mancu pula? Dan keluarga Lulu telah habis dibunuh Lauw-pangcu dan para pejuang, namun Lulu adiknya yang berhati mulia itu sa­ma sekali tidak membenci bangsa Han, bahkan tidak membenci Lauw-pangcu. Sebaliknya malah! Adiknya itu menghapus dendam dan kebencian, menggantinya dengan kasih sayang sehingga ia rela menjadi anak angkat Lauw-pangcu, musuh besarnya! Betapa mulia mereka itu, tiga orang pejuang yang kini menjadi mayat ini, dan Lulu adiknya! Saking terharu dan merasa betapa dia sendiri adalah seorang yang tidak berharga, Han Han menjatuh­kan diri berlutut, memberi hormat ke­pada tiga jenazah itu dan dua titik air mata mengalir turun dari kedua matanya!

Hian Ceng melongo memandang Han Han, air matanya nerocos turun mengalir di kedua pipinya. “In-kong.... engkau.... engkau mengucurkan air mata untuk Ayahku? Ah, maafkan aku, In-kong.... betapa kurang ajar sikapku terhadapmu tadi.... kiranya In-kong adalah seorang pendekar sakti yang budiman....”

Han Han bangkit perlahan-lahan, bersandar pada tongkatnya. “Nona Tan, aku hanya seorang yang rendah, seorang tak berharga. Karena kagum kepada Ayah dan kedua sahabatnya ini aku merasa betapa aku lebih rendah lagi. Marilah kita kubur mereka baik-baik.”

Hian Ceng kini sudah berubah sikapnya. Amat taat dan amat menghormat. Ia pun berdiri. “Baiklah, In-kong....” ia lalu mengambil tanah segenggam dan menaburkan tanah itu ke dalam kuburan ayahnya dan kedua orang pamannya. Han Han lalu menggunakan sin-kangnya, mendorong ke arah tanah galian dan angin yang amat kuat menyambar, membuat tanah itu beterbangan. Hian Ceng ter­paksa meloncat mundur dan ia hanya melihat tanah berputaran seperti ada angin puyuh. Matanya berkunang me­nyaksikan ini dan ketika putaran tanah berdebu lenyap, ternyata lubang galian itu telah teruruk tanah yang menggunduk, merupakan tiga buah kuburan yang rapi!

Hian Ceng menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan ayahnya yang berada di tengah, menangis sesenggukan. Han Han membiarkan gadis yang sedang berkabung dan berduka itu menangis. Dia lalu me­loncat ke dekat batu besar yang rata permukaannya, dan berdiri di depan batu yang tingginya sama dengan dia, tongkatnya diangkat dan dengan kening ber­kerut tongkatnya menggurat-gurat pada permukaan batu. Dengan pengerahan tenaga sin-kang, ia telah mengukir huruf-huruf di permukaan batu itu.



Sepanjang usia dicurahkan membela bangsa

tak kunjung padam sampai nyawa meninggalkan raga

Tan Sun, Giam Ki, dan Thio Kai tiga pahlawan

patut dijadikan sari tauladan!

Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia!



“Indah sekali.... ah, In-kong hebat luar biasa....!” Suara itu membuat Han Han menengok. Kiranya Hian Ceng telah berdiri di dekatnya, membaca ukiran huruf-huruf itu dengan air mata bercu­curan.

“Ah, tidak ada artinya, Nona. Hanya sekedar untuk peringatan di depan kuburan Ayahmu.”

“Akan tetapi.... batu ini begini besar, tentu berat sekali. Betapa mungkin kita berdua menggesernya ke depan kuburan yang begitu jauh, In-kong?” Hian Ceng terbelalak. Ayahnya adalah seorang ahli lwee-keh, memiliki tenaga lwee-kang (te­naga dalam) yang kuat, dan dia pun te­lah mewarisi tenaga lwee-kang yang cu­kup lumayan, sudah mengimbangi ayah­nya. Akan tetapi dia dan ayahnya takkan mungkin menggeser batu sebesar ini.

“Biarlah aku yang menggesernya, Nona. Harap kau suka minggir.”

Hian Ceng melompat menjauhi dan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar. Han Han lalu menggunakan tongkatnya, menusuk bawah batu besar itu, kemudian ia mengerahkan sin-kang, tongkat dipantulkan dan.... batu besar ini melayang dan jatuh menimpanya!

“Ahhhhh.... awas! In-kong....!” Hian Ceng menjerit, akan tetapi ia segera menutup mulutnya dengan tangannya, matanya terbelalak kagum kaget dan heran melihat betapa pemuda berkaki buntung itu menerima batu dengan ta­ngan kanannya, kemudian berloncatan dua kali membawa batu itu sampai ke depan kuburan ayahnya, lalu menurunkan batu itu perlahan-lahan ke depan ketiga buah kuburan!

“Bukan main....!” Hian Ceng berbisik, lalu melangkah perlahan menghampiri Han Han. “In-kong.... kiranya In-kong adalah seorang taihiap yang sakti. Ah, dengan bantuan taihiap di Se-cuan, ja­ngan harap penjajah Mancu akan dapat menaklukkan Se-cuan. Tentu In-kong akan ke sana, bukan?”

Akan tetapi betapa kecewa hati Hian Ceng ketika melihat pemuda itu meng­geleng kepada. Han Han yang meman­dang wajah gadis melihat kekecewaan membayang di wajah yang cantik dan yang ia duga tentu biasanya cerah itu, cepat ia berkata.

“Tidak, Nona. Aku.... aku bukanlah seorang pejuang gagah perkasa dan mulia seperti Ayahmu dan engkau. Aku.... aku hendak mencari adikku.”

Gadis itu menggeleng kepalanya. “Su­kar dapat dipercaya! Seorang gagah per­kasa seperti In-kong, seorang yang memiliki kesaktian hebat.... yang budiman tidak membantu perjuangan? Ah, betapa mungkin.... dan siapakah adikmu kalau aku boleh bertanya, In-kong?”

“Adikku bernama Lulu, sudah hampir dua tahun lenyap.... sampai sekarang aku mencarinya tanpa hasil....”

Mendengar suara Han Han yang penuh duka, Hian Ceng menjadi kasihan. “Yang terakhir kalinya engkau mendengar adik­mu itu berada di mana, In-kong?”

“Di lembah Huang-ho, bersama Lauw-pangcu....”

“Eh? Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Gadis itu bertanya kaget dan heran.

“Benar, dia diambil anak angkat oleh Lauw-pangcu....”

“Ah....! Kalau adikmu itu anak angkat Lauw-pangcu, tentu mudah dicari. Aku yakin bahwa kalau dia lenyap tak dapat kautemukan jejaknya, dia pasti berada di daerah Se-cuan! Semua pejuang akhirnya pergi ke sana, In-kong. Marilah kita ke Se-cuan dan aku tanggung engkau akan dapat menemuinya di sana.”

“Memang tadinya aku hendak mencari di sana, menyusul sahabat baikku Wan Sin Kiat....”

“Wah, In-kong sahabat baik Hoa-san Gi-hiap?”

Han Han mengangguk. “Kami, yaitu aku, dia dan Nona Lauw Sin Lian....”

“Puteri Lauw-pangcu, murid Siauw-lim Chit-kiam yang lihai?” Gadis itu memotong lagi.

Han Han mengangguk, girang bahwa nona pejuang ini ternyata mengenal se­mua tokoh pejuang. “Kami berjanji akan bertemu di Se-cuan. Sin Kiat lebih dulu, Nona Sin Lian hendak mengumpulkan sisa-sisa anggauta Pek-lian Kai-pang yang habis dibasmi oleh tentara Mancu di lembah Huang-ho....”

“Aaahhhhh....!”

“Lauw-pangcu juga gugur dalam penyerbuan itu.”

“Ahhhhh....!”

Tiba-tiba terdengar derap banyak kuda dari jauh. Gadis itu cepat berkata, “Mereka datang, In-kong, mari kita lari. Cepat....!”

Gadis itu dalam ketegangannya agaknya lupa bahwa Han Han memiliki ke­pandaian hebat. Dia menyambar tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu me­larikan diri. Han Han maklum bahwa kalau pasukan Mancu yang besar jumlahnya tiba, tentu mereka berdua tidak akan mampu melawan. Dia sendiri akan dapat melarikan diri dengan mudah, akan tetapi belum tentu akan mudah bagi Hian Ceng untUk menyelamatkan diri. Maka ia tidak melepaskan tangan gadis itu yang menggandengnya, bahkan ia balas memegang dan tubuhnya lalu berloncatan cepat sekali, membawa tubuh Hian Ceng yang terbawa meloncat-lonca­ dan melayang-layang.

“Heiii.... eeeiiitttt.... eh, kita terbang....!” Hian Ceng menjerit kaget dan ngeri, akan tetapi tak lama kemudian ia tertawa-tawa gembira.

“Waduhhhhh.... hebat sekali.... eiiihh, ngeri.... terlalu tinggi kita meloncat.... aihhhhh!” Saking ngerinya melihat be­tapa tubuh mereka mencelat ke atas pohon, kemudian dengan mengenjotkan kaki satu ke ranting lalu melambung lagi, Hian Ceng memejamkan mata dan merangkul Han Han!

Han Han mendiamkannya saja, bahkan berloncatan makin cepat sehingga tidak terdengar lagi suara kaki kuda. Mereka telah berada jauh di balik sebuah bukit, dan Han Han menurunkan tubuh Hian Ceng. “Kita sudah aman, Nona.”

Hian Ceng turun dan membuka mata­nya. Kedua pipinya merah sekali dan ia memandang Han Han dengan sinar mata penuh kagum. “In-kong, aku kagum sekali.... ah, betapa senangku dapat berkenalan denganmu, In-kong.”

Han Han memandang wajah Hian Ceng yang kedua pipinya kemerahan. Gadis ini amat cantik dan memiliki ke­lincahan yang sama dengan Lulu. Juga wajahnya cerah, tadi baru saja menyedih­kan kematian ayahnya kini sudah dapat tersenyum amat manis.

“Nona, engkau mengingatkan aku akan adikku, Lulu.”

“Ah, adikmu tentu cantik jelita se­kali, In-kong!” kata Hian Ceng ketika mereka melanjutkan perjalanan.

“Memang cantik jelita dan manis sekali, Nona.”

“Dan dia tentu amat lihai.”

“Memang dia amat lihai!”

“Dan dia tentu amat menyenangkan hati, In-kong.”

“Memang sesungguhnyalah dia amat menyenangkan hatiku, aku amat sayang Nona.”

Hian Ceng tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh memandang Han Han, alisnya yang hitam kecil menjelirit itu mengerut, suaranya terdengar agak marah, “Kalau begitu, In-kong telah tega hati untuk membohongiku dan memper­mainkan aku!”

Nah-nah-nah, sudah kumat lagi, pikir Han Han. “Mengapa, Nona? Aku tidak bohong! Masa aku bohong kalau mengata­kan bahwa adikku Lulu cantik jelita, manis, lihai dan menyenangkan hatiku?” Dia benar-benar tidak mengerti karena biarpun Lulu kadang-kadang juga merajuk dan mengambek, akan tetapi ada sebab­nya, bukan seperti nona ini yang tiada hujan tiada angin lalu menyambar-nyam­bar seperti kilat di siang hari!

“In-kong bohong! Kalau begitu, mana bisa aku mengingatkan In-kong kepada adik In-kong itu?”

Han Han mengangkat alis membelalakkan mata dan di dalam hatinya ia tertawa bergelak, akan tetapi mulutnya menahan ketawa itu sehingga ia menye­ringai seperti orang sakit gigi. “Oohhh.... mengapa tidak? Engkau hampir sama de­ngan dia, juga watakmu hampir sama dengan wataknya.”

“Akan tetapi dia cantik manis....”

“Engkau juga.... ehhhh!” Han Han menutup mulutnya, khawatir disangka mengejek lagi. Akan tetapi melihat kini gadis itu menahan senyum dan kelihatan gembira karena wajahnya berseri, ia me­lanjutkan, “Dan engkau pun lihai dan menarik, menyenangkan hati....”

Dengan muka berseri girang Hian Ceng berkata, suaranya penuh semangat, “Aku akan mencari adikmu sampai dapat, In-kong! Percayalah, kalau memang benar dia berada di daerah Se-cuan, aku pasti akan dapat menemukannya! Setelah Pa­man Thio Kai meninggal dunia, akulah satu-satunya orang yang paling mengenal keadaan daerah Se-cuan. Sudah kujelajahi semua daerah karena hal ini amat pen­ting bagi tugasku sebagai penyelidik. Sssttttt.... kita sekarang harus berhati-hati, In-kong. Lembah di depan itu disebut Lembah Neraka oleh kaum pejuang karena di situ musuh melakukan pen­jagaan keras.”

Dari tempat yang agak tinggi itu Han Han memandang tajam ke depan. “Akan tetapi kelihatannya sunyi saja.”

Gadis itu mengangguk. “Itulah bahaya­nya. Kaum pejuang yang menyeberang dan belum mengenal keadaan, akan ter­jebak, mengira bahwa jalan itu aman. Padahal tentara penjajah yang tidak ku­rang dari seribu orang jumlahnya ber­sembunyi di kanan kiri lembah itu, ada yang mendirikan perkemahan di dalam jurang-jurang di kedua sampingnya, dan ada yang memasang barisan di atas te­bing, siap dengan anak panah mereka. Karena jalan di bagian lereng sebelah kiri itu merupakan jalan satu-satunya dan di sana terapit dinding batu gunung maka jalan itu sempit dan sekali orang lewat di situ, sukar untuk menyelamatkan diri jika diserang dari kanan kiri, atas dan kedua jalan itu ditutup oleh mereka dari depan belakang. Dahulu, setahun yang lalu, tidak kurang dari dua ratus orang pengungsi dari timur, yang hendak melarikan diri ke Se-cuan dan lewat di lo­rong itu, disembelih habis semua oleh mereka, laki-laki wanita dan kanak-kanak!”

Han Han bergidik, teringat akan ke­ganasan bala tentara Mancu yang me­lakukan pembunuhan terhadap para peng­ungsi. Kalau kaum pejuang yang mereka bunuh, hal itu memang sewajarnya, se­bagai musuh dalam perang. Akan tetapi tentara Mancu yang ganas itu banyak pula membunuhi rakyat yang tidak tahu apa-apa, hal ini benar-benar merupakan perbuatan kejam yang harus ditentang.

“Kalau jalan itu demikian berbahaya, bagaimana kita akan dapat lewat? Meng­apa Nona tidak mengambil jalan lain yang lebih aman?”

“Jalan depan itu yang terdekat dan bagiku, yang paling aman.”

“Eh, bagaimana bisa begitu? Bukankah kaukatakan tadi bahwa....”

“Bagi yang tidak mengerti bagaimana akalnya memang berbahaya, juga bagi rombongan yang terdiri dari banyak orang. Akan tetapi biasanya kami berempat....” dia berhenti sebentar, teringat akan ayahnya dan dua orang pa­mannya yang tewas, “kami selalu meng­gunakan jalan ini. In-kong lihat, pegu­nungan yang menjulang di sebelah kanan itu adalah Pegunungan Min-san. Dan yang menjulang tinggi di sebelah kiri itu ada­lah Pegunungan Ta-pa-san. Kita sekarang ini berada di Pegunungan Cin-ling-san. Dan lihatlah baik-baik di balik jurang di bawah itu.”

Han Han memandang daerah yang dikelilingi pegunungan ini dan ketika ia melihat ke arah yang ditunjuk, ia melihat garis kebiruan yang panjang berliku-liku seperti tubuh seekor naga biru. “Kaumaksudkan sungai itu, Nona?”

“Benar, sungai yang mengalir ke se­latan itu adalah Sungai Cia-ling dan kita akan memasuki daerah Se-cuan melalui sungai itu.”

“Naik perahu?”

“Tidak mungkin naik perahu, In-kong. Di kedua tepi sungai itu penuh dengan perkemahan musuh dan barisan tentara sudah siap menghujani setiap perahu yang lewat dari luar perbatasan dengan panah api....!”

“Habis, bagaimana?” Han Han memandang heran. Gadis itu tersenyum manis, agaknya merasa bangga sekali bahwa dalam hal ini dia dapat mengatasi Han Han, dan dialah yang memimpin. Meng­hadapi pemuda buntung ini ia merasa kecil tak berarti, merasa bukan apa-apa karena kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, akan tetapi kini dialah yang men­jadi “pemimpin”!

“Marilah, In-kong. Aku akan menunjukkan jalan dan caranya nanti!” Hian Ceng memegang tangan Han Han dan menariknya ke kanan, menuruni jalan menurun yang curam. Melihat jurang yang dituruni ini dan cara gadis itu menuruni dengan merayap seperti itu, se­betulnya Han Han tidak sabar. Kalau dia mau, dengan menggendong Hian Ceng ia dapat saja turun dengan gerak kilatnya sehingga dapat cepat tiba di Sungai Cia-ling. Akan tetapi ia merasa betapa tela­pak tangan gadis yang menggandeng tangannya itu hangat sekali, tanda bahwa gadis itu gembira dan bersemangat. Ia dapat menyelami perasaan Hian Ceng yang kini merasa menjadi orang yang lebih pandai, menjadi pemimpin, maka dia tidak tega untuk menghancurkan kegembiraan dan kebanggaannya. Maka ia pun ikut merayap turun.

Akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Cia-ling. Hian Ceng mengajak Han Han bersembunyi di balik semak-semak di tepi sungai, lalu menuding ke arah selatan. Han Han memandang dan melihat sebuah perahu dengan lima orang ten­tara Mancu berada di pinggir. Perahu ditambatkan pada pohon dan lima orang itu mengobrol sambil makan minum perbekalan mereka.

“Kita bunuh mereka dan rampas perahunya?” bisik Han Han.

Hian Ceng menggeleng kepala dan mendekatkan mulutnya di telinga pemuda itu, berbisik, “Jangan, kalau kita bunuh dan akhirnya diketahui, penyeberangan perbatasan menjadi sulit. Dan perahu itupun tidak ada gunanya bagi kita.”

Akan tetapi Han Han hampir tidak dapat menangkap arti ucapan gadis itu karena merasa betapa bibir itu bergerak-gerak menyentuh daun telinga, hawa yang hangat dari mulut meniup-niup te­linga, hidung itu menyentuh-nyentuh pipi dan pelipis, jantungnya berdebar keras. Selama hidupnya Han Han belum pernah berdekatan dengan wanita seperti seka­rang ini. Dahulu pernah dia mengalami hal luar biasa dengan Lulu ketika berada di Pulau Es, hal yang sampai sekarang kalau ia ingat membuat ia menjadi merah mukanya, akan tetapi ketika itu ia dan Lulu berada dalam keadaan tidak sadar dan diamuk gairah nafsu berahi yang dibangkitkan oleh racun ular merah. Mereka dulu keracunan dan masih dapat melawan sehingga mereka berdua ter­hindar dari perbuatan yang akan mem­buatnya menyesal selama hidupnya. Dan selain peristiwa itu, memang sering kali Lulu dengan sikapnya yang manis me­meluknya, mengambung pipinya, akan tetapi Lulu adalah adiknya dan perbuatan itu tidak menimbulkan sesuatu dalam batinnya. Kemudian, pernah pula berdekapan dengan Kim Cu, akan tetapi, hal itupun dia lakukan ketika ia diamuk ke­dukaan karena kakinya buntung dan di­amuk keharuan melihat cinta kasih Kim Cu yang demikian mendalam kepada diri­nya. Berbeda dengan sekarang ini. Sekarang dia berada dalam keadaan sadar dan gadis ini baru saja dia kenal!

“Lalu.... bagaimana....?” bisiknya.

“Kau pandai renang.... ah, maafkan, In-kong. Tentu kau tidak bisa....” Gadis itu melirik ke arah kaki yang tinggal satu itu.

Han Han menghela napas, bukan karena menyesal melihat kakinya buntung. Kebuntungan kakinya bukan apa-apa lagi baginya, akan tetapi ia menyesal bahwa kebuntungan ini selalu mendatangkan rasa kasihan dan tidak enak, canggung bagi orang lain.

“Akan tetapi memang tidak perlu berenang,” gadis itu cepat menyambung dengan kata-kata lirih. “Aku memerlukan selonjor batang pohon itu ke tengah su­ngai dan kita bersembunyi di bawahnya, berpegang dan bergantung kepada cabangnya. Dengan demikian, tanpa susah payah kita akan dapat melewati barisan musuh dengan aman.”

Han Han mengangguk-angguk. Jadi beginikah akalnya gadis cerdik ini? Cer­dik dan penuh keberanian karena kalau sampai akal ini diketahui musuh, tentu dia akan menjadi seperti tikus terjebak!

“Baik sekali, Nona. Akan tetapi bagaimana kita akan bernapas dalam air?”

Gadis itu tersenyum, senyum kemenangan penuh bangga karena kembali dialah yang akan dapat mengatasi ke­sulitan itu. Tangan kirinya meraih ke kiri dan jari-jari tangannya yang kecil dan kuat itu telah mematahkan sebatang alang-alang, mematahkan batang itu ke mulutnya. “Dengan dua tiga batang alang­-alang di mulut, dapat kita menyedot hawa dari permukaan air.”

Har Han memandang kagum. Memang cerdik sekali. Dengan pipa batang alang-alang itu memang mereka akan dapat tinggal di bawah permukaan air sampai berapa lamanya pun! Permainan yang cerdik, akan tetapi amat berbahaya. Dengan tubuh dalam air, berarti sama se­kali tidak dapat melindungi tubuh ter­hadap bahaya dari luar. seolah-olah ha­nya menggantungkan nyawa kepada berhasilnya akal itu. Menggantungkan nyawa kepada batang alang-alang! Betapa baha­yanya! Akan tetapi, ia tidak mau menge­cewakan orang dan mengangguk-angguk, bahkan ia lalu berkata, “Aku akan men­cari batang pohon itu di sana.” Sebelum Hian Ceng menjawab, tubuhnya sudah melesat dan lenyap. Gadis itu tertegun dan mengintai ke arah para tentara yang ­berada di perahu, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak melihat gerakan Han Han. Sedangkan dia sendiri yang biasanya membanggakan matanya, dan yang berada dekat sekali dengan Han Han, tidak da­pat melihat bagaimana pemuda buntung itu lenyap begitu saja dari depan hidung­nya!

Karena percaya penuh akan kelihaian Han Han, maka Hian Ceng tidak mau tinggal diam dan ia lalu mulai mencari dan mengumpulkan batang alang-alang yang cukup besar dan tua sehingga batangnya kuat, tidak mudah patah. Ia mengumpulkan sampai sepuluh batang dan tak lama kemudian Han Han kembali dan berbisik.

“Batang pohon sudah siap di sana, dekat tikungan.” Ia menuding.

“Bagus, mari kita ke sana, In-kong. Ini batang jerami alang-alang, kau pakai sebagian.”

Berindap-indap mereka lalu maju ke tepi sungai di tikungan sehingga tidak tampak oleh lima orang tentara di perahu. Melihat sebatang pohon besar yang jebol bersama akar-akarnya, Hian Ceng terbelalak. Kalau keadaan tidak demikian genting, tentu ia ingin sekali tahu bagai­mana caranya pemuda buntung itu me­numbangkan pohon ini berikut akarnya! Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang muda itu lalu menyeret batang pohon ke sungai, menghanyutkan batang pohon itu sampai ke tengah sungai dan mereka bergantung pada dahan di bawah batang. Dan batang alang-alang menyambung mulut mereka dengan hawa di permukaan air, bersembunyi di antara daun-daun pohon sehingga mudah bagi mereka untuk bernapas. Batang pohon itu hanyut de­ngan cepat karena arus air kuat juga di bagian itu. Han Han bergantung pada dahan pohon dengan jantung berdebar te­gang. Bagaimana ia tidak akan merasa tegang kalau berada dalam keadaan se­perti itu, sama sekali tidak dapat menjaga diri, tak dapat menggunakan kepan­daiannya, tidak dapat melihat musuh dan menggantungkan keselamatan dirinya pada dua batang alang-alang?

Tiba-tiba tangan Hian Ceng menceng­keram lengah Han Han. Han Han membuka matanya memandang ke arah atas yang ditunjuk gadis itu. Mula-mula hanya tampak bayangan hitam, akan tetapi lalu tampak kayu lonjong bergerak. Perahu! Han Han khawatir sekali, jelas ada perahu mendekati batang pohon. Ia lalu me­nyembulkan kepalanya, bersembunyi di antara daun-daun pohon itu. Benar saja, perahu dengan lima orang tentara Mancu berada dekat sekali, dan mereka semua sudah berdiri di perahu dengan tombak di tangan. Seorang di antara mereka berteriak.

“Awas kawan! Di hawah pohon ini tentu ada ikan-ikan pemberontak, kita panggang mereka, ha-ha-ha!”

Han Han terkejut sekali. Untung dia menyembulkan kepalanya, kalau tidak tentu mereka benar-benar akan disate oleh tombak-tombak itu. Mereka yang berada di perahu akan dapat melihat Han Han dan Hian Ceng, sebaliknya mereka yang berada di dalam air sukar untuk dapat melihat gerakan mereka yang di ­perahu!

Cepat Han Han menyelam lagi dan ketika perahu sudah cukup dekat bagian depannya. Han Han menggerakkan tong­katnya, mendorong perahu dengan gerak­an tiba-tiba sehingga perahu itu terbalik dan lima orang tentara Mancu itu terlempar ke air! Han Han kagum sekali melihat betepa dengan gerakan yang cepat, Hian Ceng sudah mengerjakan jari-jari tangannya yang lihai sehingga tanpa mendapat kesempatan sama sekali, dua orang telah ditotok dan tewas se­ketika, rambut kepala mereka dicengkeram oleh tangan Hian Ceng. Han Han juga mengerjakan tongkatnya dan tiga orang tentara yang lain tewas tanpa dapat mengerti mengapa mereka mati dan oleh siapa. Han Han menahan mayat-mayat mereka dengen tongkat. Mereka berdua terpaksa menyembulkan kepala ke permukaan air. Untung kedua tepi sungai sunyi di saat itu sehingga peristiwa itu tidak teriihat oleh tentara lain.

“Kita harus membawa mayat mereka ke tepi, kalau terhanyut, kita celaka....” kata Hian Ceng yang hendak berenang minggir sambil menyeret dua mayat kor­bannya.

“Biarkan aku melempar mereka ke darat!” Han Han mencegah dan tongkatnya bergerak dan.... tubuh seorang tentara terlempar dan terbanting di tepi sungai. Lima kali Han Han menggerakkan tongkatnya dan lima mayat itu kini se­mua sudah menggeletak di pantai sungai. Perahunya yang tersangkut pada pohon itu, oleh Han Han didorong. Kekuatan mendorongnya luar biasa sekali sehingga perahu itu terdorong bagaikan anak panah cepatnya sehingga setibanya di tepi, ujung perahu itu menancap pada tanah!

Mereka cepat menyelam lagi. Tiba-tiba tangan gadis itu sekali lagi men­cengkeram lengannya, Han Han membuka mata memandang gadis itu yang kelihat­an lucu dan aneh sekali karena gerakan air membuat wajah gadis itu peletat-peletot dan bengkak-bengkok. Hian Ceng mengangkat tangan kanan yang dikepal jari-jarinya kecuali ibu jari yang diangkat ke atas, di depan hidung Han Han. Ah, kiranya gadis itu hanya ingin menyatakan kagumnya, hanya ingin memujinya dan karena di dalam air itu tak mungkin mengeluarkan suara, maka gadis itu mengacungkan jempolnya di depan hidung untuk memuji.

“Kita sudah masuk perbatasan daerah Se-cuan, di sini aman. Pakaian kita ba­sah, kalau tidak dijemur dulu, bisa masuk angin!”

Han Han hanya mengangguk-angguk kemudian ia membalikkan tubuhnya mem­biarkan gadis itu membuka dan menjemur pakaian. Ia mendengar gadis itu mandi di anak sungai yang memuntahkan airnya di Sungai Cia-ling. Benar-benar mengherankan sekali. Setengah hari la­manya sudah merendam tubuh di air, sekarang masih mandi lagi! Benar-benar wanita merupakan mahluk yang paling aneh, merupakan manusia yang wataknya­ kadang-kadang mengherankan sekali. Bah­kan watak adiknya sendiri pun kadang-kadang membuat dia bengong dan meng­geleng-geleng kepala, menggaruk-garuk belakang telinga. Kini ia pun menggeleng kepala dan menggaruk telinga tanpa disadarinya.

“Heiiiiii....! In-kong, kenapa kau menggeleng kepala dan menggaruk belakang telinga?” terdengar teriakan gadis itu dari belakangnya. Bukan main! Sudah mandi, kiranya masih mencurahkan per­hatian kepadanya sehingga semua gerak-geriknya diketahuinya belaka!

“Aku heran mendengar engkau mandi, Nona,” kata Han Han sambil membuka bajunya, memeras air dari bajunya dan menggantungkannya di tempat panas bersama pakaiannya yang hanya satu stel. Celananya tetap ia pakai dan dia pun duduk di tempat panas untuk mengeringkan celana yang dipakainya.

“Mengapa heran mendengar orang mandi? Apakah engkau belum pernah mendengar orang mandi?”

“Bukan begitu maksudku. Baru saja kita keluar dari dalam sungai di mana kita berendam sampai setengah hari. Mengapa engkau mandi lagi, Nona?”

“Mengapa tidak? Air Sungai Cia-ling kotor, dan air sungai kecil ini amat jernih.” Kini suara gadis itu terdengar de­kat, agaknya sudah selesai mandi. “Dan engkau tidak perlu lagi membelakangiku, In-kong. Aku sudah bersembunyi di balik semak-semak.”

Han Han membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi semak-semak dan su­ngai. Namun ia masih dapat melihat bayangan tubuh gadis yang telanjang itu di antara celah-celah daun semak-semak itu. Terpaksa ia menundukkan mukanya agar matanya jangan sampai melihat bayangan itu.

Sunyi sejenak. Gadis itu memeras pakaiannya yang basah dan yang baru saja dicucinya, kemudian dari bayangan yang dikerlingnya sebentar untuk menge­tahui apa yang dilakukan Hian Ceng, Han Han depat menduga bahwa gadis itu se­dang menyambung bagian kain yang robek dengan benang-benang yang ia cabut dari kain pengikat kepalanya.

“Mengapa diam saja, In-kong? Apa yang kau pikirkan?” Tiba-tiba pertanyaan ini mengejutkan Han Han dan menyadarkannya dari lamunan.

“Eh, tidak apa-apa. Akalmu tadi baik sekali, Nona.”

“Uh, baik apa? Buruk sekali! Hampir saja celaka. Akal itu sudah kuno, tidak memenuhi syarat lagi. Musuh sudah tahu, perlu diganti dengan akal yang lebih tepat.” Hian Ceng lalu bercerita panjang lebar tentang semua pengalamannya sam­bil menanti keringnya pakaian. Dari cerita ini tahulah Han Han bahwa gadis ini memang seorang gadis pejuang, gadis yang semenjak berusia tujuh tahun sudah ditinggal mati ibunya, kemudian ikut dengan ayahnya ke manapun It-ci Sin-mo Tan Sun yang sudah tua itu pergi. Dia diajak berjuang oleh ayahnya, tak tentu tempat tinggalnya, sebagian besar hidup di dalam hutan-hutan di atas gu­nung-gunung dan di tempat-tempat liar! Mengertilah Han Han mengapa sikap gadis ini terbuka, lincah liar dan polos. Agaknya, hidupnya selama ini di tempat-tempat terbuka, bersama-sama dengan para pejuang, hidup penuh kekerasan, menghadapi banyak bahaya maut bersama pejuang yang sudah mengeras wataknya dan menjadi kasar, membuat gadis ini menjadi gadis alam. Pantas saja tidak pemalu seperti gadis-gadis kota, dan tidak merasa canggung biarpun kini ia bercakap-cakap dengan Han Han dalam keadaan telanjang, biarpun tertutup se­mak-semak.

Setelah pakaian mereka kering dan tubuh mereka yang tadinya dingin menjadi hangat oleh sinar matahari, Hian Ceng berpakaian dan muncul dari balik semak-semak. Wajahnya segar dan ber­sih, rambutnya terurai lepas, pakaiannya sudah tertutup rapat dan dia memandang Han Han yang sudah sejak tadi berpakai­an dengan wajah berseri.

“In-kong, marilah kuperlihatkan padamu daerah Se-cuan yang indah, kuperkenalkan daerah pejuang!” Ia lalu berlari-lari cepat. Han Han segera berloncatan mengejar gadis yang mendaki pundak itu dan kegembiraan gadis itu menular kepadanya sehingga dengan ka­get dan heran akan tetapi juga senang ia sadar dan teringat betapa kini hatinya tidak begitu tertekan lagi, semangatnya tidak lemah lagi seperti sebelum ia bertemu dengan Hian Ceng. Ah, melihat gadis itu yang demikian lincah gembira, melihat dia hidup seperti tidak mengenal susah padahal baru saja ditinggal mati ayahnya, benar-benar menyadarkannya bahwa hidup ini sebetulnya tidaklah begitu buruk!

Tak lama kemudian tiba di sebuah puncak di Pegunungan Cin-ling-san dan Hian Ceng berhenti. Han Han kagum se­kali. Memang pemandangan di situ amat indahnya, sungguhpun dia harus mengakui bahwa ia lebih tertarik dan merasa lebih indah ketika memandang sepasang mata yang bersinar-sinar gembira, bibir yang tersenyum dan agak terbuka karena ter­engah-engah, pipi yang kemerahan dan segar, rambut yang sudah kering betul dan melambai-lambai tertiup angin seper­ti benang-benang sutera.

“Lihatiah, In-kong. Puncak-puncak Pegunungan Ta-pa-san di timur dan puncak-puncak Pegunungan Min-san dibarat tampak semua dari sini. Seperti juga di lembah Cin-ling-san ini, di lembah kedua gunung itupun terjaga oleh barisan Mancu. Berkali-kali fihak Mancu menyerang dari tiga daerah pegunungan ini, akan tetapi kami selalu dapat memukul mundur mereka. Daerah Se-cuan memang amat tepat menjadi pusat perjuangan melawan Mancu. Daerah yang dikurung gunung-gunung. Puncak yang amat tinggi dan jauh di barat itu, di balik Pegunungan Min-san, adalah Pegunungan Bayangkara. Di sebelah selatan Min-san disambung dengan Pegunungan Ciung-lai-san, dan di tapal batas sebelah selatan masih disambung lagi oleh Pegunungan Ta-liang-san. Daerah timur ditutup oleh Sungai Yang-ce-kiang dan bala tentara Bu-ongya dikerahkan untuk menjaga tapal batas di timur sepanjang Sungai Yang-ce-kiang, dan di utara di lembah-lembah Gunung Ta-pa-san dan Min-san.”

Sambil memandang ke sekeliling dari tempat tinggi ini, Han Han kagum akan pengetahuan gadis itu tentang keadaan dan daerah itu.

“Pusat pemerintah di mana Bu-ongya tinggal berada di kota raja Cung-king, dan semua benteng pertahanan yang di­jadikan pusat para pejuang yang mem­bantu Bu-ongya tersebar di tiga tempat, yaitu Cung-king, Kwan-yang dan Wan-sian. Engkau sendiri harus ke Cung-king, In-kong, selain untuk bertemu dengan Bu-ongya, juga di sana tentu engkau akan bertemu dengan para pejuang lain yang sudah In-kong kenal. Mari kita turun dan melanjutkan perjalanan. Biarpun sekarang telah memasuki daerah sendiri yang aman, akan tetapi perjalanan masih harus ditempuh dua hari dua malam dan amat sukar perjalanannya, baru kita akan berte­mu dengan penjaga-penjaga. Nanti aku akan menyuruh mereka mengantar In-kong ke Cung-king.”

“Dan kau sendiri, Nona?”

“Aku akan pergi mencari adikmu, kumulai dengan mencarinya di Kwang-yang.”

“Aku pun hendak mencari adikku. Memang untuk keperluan itulah aku me­masuki Se-cuan.”

“Benar, akan tetapi sebagai seorang yang baru saja memasuki Se-cuan, In-kong adalah seorang asing. Kalau tidak menghadap dulu ke Cung-king, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan bagi In-kong sendiri yang akan dicurigai di mana-mana. Selain itu, sudah sepatutnya­lah kalau orang memasuki daerah yang sedang bergolak, terlebih dahulu meng­hadap Bu-ongya yang dapat dikatakan sebagai tuan rumahnya.”

Gadis itu pandai sekali berdebat dan Han Han terpaksa membenarkannya. Me­reka lalu menuruni puncak itu dan se­telah hari menjadi gelap, Hian Ceng mengajak Han Han beristirahat di sebuah lereng gunung di mana terdapat sebuah gubuk kecil di pinggir hutan, gubuk yang menurut kata Hian Ceng sengaja dibuat oleh para pejuang untuk tempat istirahat.

Hian Ceng benar-benar mengenal dae­rah itu. Dia pergi sebentar dan datang lagi membawa buah-buahan dan seekor ayam hutan yang gemuk. Sambil bernyanyi-nyanyi Hian Ceng membersihkan dan memanggang daging ayam itu, kemu­dian mereka makan dan minum air jernih.

Malamnya, Hian Ceng yang sudah lelah sekali tidur di dalam gubuk, di atas dipan bambu, rebah miring. Dingin sekali malam itu. Han Han duduk tidak jauh dari tempat Hian Ceng rebah karena gubuk itu hanya sempit saja, dan biasa­nya, para pejuang yang kemalaman di tempat ini tidur saja di ataS dipan yang memenuhi gubuk, berderet-deret seperti ikan bandeng. Hal ini juga sudah dikata­kan oleh Hian Ceng tadi ketika gadis yang sudah biasa hidup di alam liar ini hendak tidur dan merebahkan tubuhnya miring.

“In-kong, mari kita tidur. Kita harus mengaso karena perjalanan besok masih jauh!”

Wajah Han Han merah sekali men­dengar ajakan itu, untung bahwa sinar api unggun yang merah menyembunyikan warna mukanya. “Tidurlah, Nona.”

“Eh, masa engkau duduk saja? Tidur­lah, tempat ini cukup lebar. Biasanya kami juga tidur di sini, bersama Ayah dan para Paman. Mengapa malu? Nih, di belakangku masih lega, rebahlah di sini.”

Akan tetapi tentu saja Han Han ha­nya dapat menggeleng kepala dan pura-pura tidak memperhatikan gadis itu de­ngan menambah kayu pada api unggun. Ia mengerti bahwa gadis yang biasa hidup di alam terbuka, biasa mengalami ke­sukaran hidup bersama para pejuang lain­nya, menganggap tidur bersama seperti itu biasa saja! Bahkan bertelanjang di depannya pun tadinya dianggap bukan apa-apa. Ia baru marah karena pandang mata Han Han yang terpesona! Benar-benar gadis yang jujur, polos dan murni. Akan tetapi dia yang sudah kenyang membaca kitab-kitab, tahu akan segala peradaban, segala kesusilaan dan kesopanan, bagaimana mungkin dapat rebah di samping seorang gadis? Kalau rebah dan tidur sepembaringan dengan Lulu, hal itu sih tidak terlalu menyiksa perasaan. Akan tetapi dengan gadis yang baru dikenalnya ini? Tak mungkin!

Perut yang kenyang membuat Han Han mengantuk juga. Memang tubuhnya amat lelah dan sudah beberapa malam ia tidak tidur. Sambil duduk bersandar tiang bambu gubuk itu, Han Han melenggut.

“Huhhhhh.... dinginnnnn....!” Suara Hian Ceng membangunkannya dan ia melihat api unggun hampir padam. Hawa malam itu memang dingin sekali. Bagi Han Han tentu saja tidak terasa dingin. Dibandingkan dengan hawa di Pulau Es, hawa dingin malam ini di puncak gunung bukan apa-apa! Akan tetapi ia melihat tubuh gadis yang rebah miring itu agak menggigil. Hian Ceng masih tidur dan mungkin saking dinginnya tadi sampai terucapkan mulutnya. Kedua kakinya di­tekuk, kedua lengan memeluk tubuh sen­diri, kepala ditundukkan sedalam mungkin sehingga tubuh itu seperti hendak melingkar macam tubuh ular!

Han Han merasa kasihan, lalu me­nambah kayu pada api unggun. Setelah api unggun membesar, ia lalu mengeluar­kan satu stel pakaiannya yang tadi sudah dikeringkan, duduknya digeser mendekati Hian Ceng dan diselimutkanlah pakaian­nya itu ke atas tubuh Hian Ceng.

Hian Ceng menghela napas senang, tangannya meraih “selimut” ini dan tanpa disengaja jari-jari tangannya menceng­keram pula tangan Han Han. Ia menarik “selimut” itu makin ke atas dan memeluk pula tangan Han Han. Pemuda ini berde­bar jantungnya, akan tetapi tidak berani bergerak, khawatir kalau membangunkan gadis itu sehingga Hian Ceng tentu akan menjadi malu sekali. Maka ia membiar­kan saja tangannya dipeluk dan didekap ke atas dada Hian Ceng. Terasa oleh telapak tangannya betapa jantung gadis itu berdetak halus, betapa dada itu turun naik dengan halus pula, tanda bahwa gadis itu sudah pulas. Akan tetapi ta­ngannya didekap dengan kedua tangan oleh gadis itu dan Han Han terpaksa menyandarkan lagi tubuhnya ke dinding, menekan perasaannya, “mematikan” pe­rasaan tangannya yang menumpang dada, lalu ia pun tertidur.

Paginya, kokok ayam hutan dan bau sedap menyengat hidung membuat Han Han terbangun. Ia membuka mata dan cepat menengok ke arah tangannya yang masih terulur ke kanan. Kiranya tangan­nya itu kini bukan terletak di atas dada Hian Ceng, melainkan di atas tumpukan pakaiannya yang semalam ia selimutkan gadis itu. Ia menengok ke arah kiri dan melihat Hian Ceng dengan wajah segar, agaknya sudah mandi sepagi itu, sedang memanggang daging, agaknya daging kelinci. Mendengar Han Han terbangun, gadis itu menengok dan berkata mencela.

“In-kong, engkau sungguh terlalu. Semalam suntuk tidur sambil duduk saja!”

Han Han menjadi merah mukanya, teringat betapa semalam ia meletakkan tangan di atas dada orang, perbuatan yang sungguh tidak patut sungguhpun tidak ia sengaja.

“Nona, sepagi ini sudah memanggang daging?”

Nona itu tertawa. “Lekaslah mencuci muka, daging sudah hampir matang!”

Han Han tersenyum dan menyambar tongkatnya, berloncatan ke anak sungai yang mengalir dekat gubuk itu. Setelah mencuci muka dan mulut, ia kembali ke gubuk. Hian Ceng sudah menyiapkan panggang daging dan dua cawan besar berisi air panas. Kiranya di sudut gubuk itu memang tersedia ceret untuk me­masak air dan beberapa buah cawan.

tersedia ceret untuk me­masak air dan beberapa buah cawan.

Setelah selesai makan daging yang se­dap, mereka menghirup air panas. Han Han berkata, “Nona, mulai sekarang harap kau­hilangkan saja sebutan In-kong itu. Andaikata benar aku pernah menolongmu, namun sudah terbalas impas oleh pertolonganmu yang berkali-kali terhadap aku.”

“Habis, disuruh menyebut apa? Kong­cu?”

“Ihhh, orang macam aku mana patut disebut Tuan Muda?”

“Ah, ya! Semestinya aku menyebutmu taihiap!”

“Jangan, sebut saja namaku, atau sebut saja twako karena aku lebih tua daripadamu, Nona.”

“Ah, mana pantas? Aku menjadi tidak sopan kalau begitu!”

“Nona, setelah apa yang kita bersama alami selama ini, menghadapi bahaya maut dan kita sudah seperti sahabat lama, bahkan lebih dari itu, seperti sau­dara, perlu lagikah kita bersopan-sopan?”

“Hemmm, kalau engkau begitu sopan terhadap aku, In-kong, bagaimana aku tidak seharusnya bersikap sopan kepada­mu? Engkau menyebutku Nona, bukankah itu bersopan-sopan namanya? Kalau eng­kau menyebutku adik, tentu aku akan menyebutmu kakak.”

Han Han tersenyum. Memang harus ia akui kalau berhadapan dengan seorang gadis yang masih asing, dia merasa likat dan janggal, malu-malu dan gugup. “Baiklah, Moi-moi. Baikiah, Ceng-moi (Adik Ceng), dan kau sebut saja Twako kepada­ku.”

“Twako siapa? Engkau sudah mengetahui namaku, akan tetapi aku belum tahu siapakah sebetulnya penolong besarku ini!”

Kembali Han Han tersenyum. Berde­katan dengan Hian Ceng ini benar-benar mendatangkan kegembiraan mengusir mendung kedukaan yang selama ini me­nyelimuti pikirannya, sejak ia kehilangan Lulu.

“Adikku yang baik, namaku Sie Han. Akan tetapi Lulu dan kawan-kawan baik­ku menyebutku Han Han.”

“Han-twako!” Dengan sikap manja dan genit dibuat-buat sehingga tampak lucu sekali Hian Ceng lalu menjura dan ber­soja kepada Han Han.

Mereka melanjutkan lagi perjalanan itu, naik turun gunung dan pada keesokan harinya, setelah malam tiba, kembali mereka hermalam di puncak terakhir. “Sekali ini terpaksa kita harus bermalam di bawah pohon, Twako.”

Han Han merobohkan seekor kijang dengan batu dan malam itu perut mereka kenyang dengan daging kijang yang sedap dan gurih, akan tetapi yang dimakan setelah dipanggang tanpa bumbu. Mereka duduk berdekatan di bawah pohon, bersandar batang pohon yang amat besar itu, melepaskan lelah. Setelah kini ber­ganti sebutan, Han Han merasa biasa dan tidak begitu likat lagi terhadap Hian Ceng, dan makin sukalah hatinya kepada gadis ini yang dapat mengobati sakit di hatinya karena rindu kepada adiknya.

“Lima tahun yang lalu, kdlau tidak ada Paman Thio Kai, aku dan Ayah telah mati di sini,” kata Hian Ceng sambil termenung, teringat akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan dengan ayah­nya dan lewat serta bermalam di tempat itu.

“Mengapa? Apa yang terjadi?” Han Han menoleh, melihat betapa rambut gadis itu menjadi kekuningan tertimpa sinar bulan yang telah muncul tinggi.

“Kami diserang halimun beracun....”

“Halimun beracun? Apa itu?”

“Aku sendiri tidak tahu, Twako, akan tetapi menurut keterangan Paman Thio kemudian, halimun beracun itu mengandung inti hawa yang tak mungkin tertahan oleh manusia sehingga manusia yang bertemu dengan halimun beracun di atas gunung tentu akan mati membeku kalau tidak mempunyai pengalaman dan dapat cepat menyelamatkan diri seperti yang dilakukan Paman Thio.”

“Apa penolaknya?” Han Han tertarik sekali. “Kan bisa membuat api unggun?”

“Api akan padam karena kayu bakar­nya tiba-tiba menjadi dingin membasah. Untung Paman Thio yang sudah biasa menjelajahi gunung-gunung tinggi bahkan pernah mendaki Gunung Himalaya, sudah cepat menuangkan minyak di atas kayu dan membakarnya. Dengan terus menambah minyak, api unggun itu tidak menjadi padam, dan Paman Thio menyuruh kita menggali lubang secepatnya di tanah dekat api unggun. Kami semua berlindung di dalam lubang dan dihangatkan oleh api minyak. Kami selamat, akan tetapi pada keesokan paginya kami mendapatkan sebelas orang teman yang juga diserang halimun beracun itu telah mati dalam keadaan mengerikan. Mereka itu ada yang masih duduk bersila, ada yang memeluk batang pohon, akan tetapi kesemuanya sudah mati kaku dan semua darah di tubuh mereka membeku!”

Han Han tertarik sekali. Ia mem­bayangkan betapa panik dan menderita­nya orang-orang yang terserang hawa dingin yang melebihi kekuatan daya ta­han tubuh manusia. Orang-orang yang menjadi teman-teman seperjuangan ayah gadis ini tentulah bukan orang semba­rangan dan sudah memiliki sin-kang yang kuat, namun tetap saja tidak dapat ber­tahan terhadap serangan hawa dingin dari halimun beracun itu.

“Twako, celaka....!” Tiba-tiba Hian Ceng berteriak kaget. Han Han cepat menoleh dan baru ia melihat betapa api unggun yang tadi bernyala besar tiba-tiba padam dan tempat itu menjadi ge­lap, rambut Hian Ceng tidak bersinar kuning lagi, bahkan makin lama tak tam­pak sedangkan hawa menjadi luar biasa dinginnya!

“Han-twako.... halim.... mun.... beracun.... kita lari saja...., akan tetapi ke mana.... yang tidak ada halimunnya....?” Suara Hian Ceng sudah menggigil dan agaknya gadis itu takkan dapat bertahan lama. Memang terasa oleh Han Han betapa dinginnya kabut hitam yang disebut halimun beracun ini.

“Han-twako....!”

“Ceng-moi, tenanglah. Ada aku di sini, jangan khawatir.”

“Di.... dinginnn.... tak tertahankan....”

“Menggeserlah, jangan tempelkan pung­gungmu ke pohon. Biar kubantu engkau melawan dingin.”

Hian Ceng tadi sudah mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi percuma saja, hawa dingin makin menusuk-nusuk dan telinganya mendengar suara menderu aneh seperti banyak iblis tertawa-tawa.

Ia masih dapat mendengar perintah Han Han maka ia menggeser duduknya ke kiri, mendekati pemuda itu dan tiba-tiba ia merasa betapa sebuah telapak tangan meraba lalu menempel di pung­gungnya, tepat di tulang punggung. Be­lum lama telapak tangan pemuda itu menempel di punggungnya, tiba-tiba ia merasa ada serangkum hawa panas me­nyengat punggung. Ia terkejut dan merintih lirih, akan tetapi kemudian hawa panas membakar itu perlahan-lahan mem­buyar dan tergantilah hawa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya dan terus hawa hangat itu berputaran dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun! Serangan ha­wa yang tadinya amat dingin itu kini terasa hangat dan nyaman sekali se­hingga Hian Ceng menjadi mengantuk bukan main! Tanpa disengaja ia menyan­darkan tubuhnya ke belakang dan kepala­nya berbantal dada Han Han, matanya sukar dibuka lagi saking mengantuknya! Akan tetapi ada bisikan di dekat telinganya.

“Ceng-moi, jangan tidur.... kerahkan sin-kangmu, terima bantuan Yang-kang dariku dan salurkan ke seluruh tubuh, kalau kau tidur, berbahaya....!”

Hian Ceng teringat dan menjadi ter­kejut. Biarpun ia masih menyandarkan kepalanya, kini ia mengerahkan sin-kang­nya dan benar saja, hawa hangat itu yang tadinya berhenti kini mengalir kembali.

Kurang lebih sejam kemudian, Han Han berkata, “Sudah aman.... kabut dingin sudah lewat!”

Akan tetapi begitu ia menghentikan pengerahan sin-kangnya, Hian Ceng tak dapat menahan kantuknya dan ia sudah tidur nyenyak berbantal pundak Han Han dan karena kepalanya miring maka dahi­nya menempel dagu Han Han!

Pemuda ini menghela napas panjang, berbahaya, pikimya. Benar-benar kekuasa­an alam amat dahsyat. Kalau saja ia da­hulu tidak tekun berlatih di Pulau Es, agaknya sin-kangnya tidak akan mampu melawan halimun beracun itu. Suara aneh seperti banyak iblis tertawa tadi adalah suara daun-daun yang membeku dan ron­tok! Kini sinar bulan tampak lagi dan ia menunduk. Wajah Hian Ceng tertimpa sinar bulan, bukan main cantiknya. Jan­tung pemuda ini berdebar keras dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi panas.

“Alangkah cantiknya.... bibir itu.... begitu dekat, mata tertutup dihias bulu-bulu mata yang bersatu, kelihatan pan­jang melentik, kedua pipi yang merah, segar bagaikan buah apel.... hawa yang hangat berhembus dari hidung dan mulut yang setengah terbuka. Kalau aku men­ciumnya, siapa yang tahu?” Demikian terdengar bisikan hatinya dengan suara merayu dan membujuk.

“Gila engkau!” hardik suara lain di dasar hatinya. “Buang jauh-jauh niat busuk, kotor dan cabul itu!”

“Aaahhhhh, siapa bilang kotor dan cabul? Dia begini cantik manis, seperti setangkai bunga atau sebutir buah masak. Betapa sayangnya bunga harum tidak di­cium dan buah manis tidak digigit. Hayo­lah, sekali ciuman di bibir yang menggairahkan itu, apa salahnya? Dia tidak akan marah, karena dia tidak tahu dan....” suara itu makin lembut, “Andaikata dia tahu sekalipun, dia tidak akan marah. Sinar matanya padamu begitu lembut, membayangkan kagum dan sayang....”

“Tidak!” Suara ke dua membentak. “Seorang gagah menggunakan kesempatan begini, untuk mencuri ciuman!”

“Bukan mencuri....” bantah suara ke dua halus, “baru saja kau menyelamatkan nyawanya dari bahaya maut, dibalas se­kali ciuman mesra apa salahnya? Dan ingat, dia sendiri yang menyandarkan kepalanya di bahumu, dia begitu mesra.... kau seorang laki-laki muda, masa begitu bodoh....?”

Han Han memandang wajah itu, bibirnya menggigil, matanya menjadi sayu. Bukan main! Wajah itu demikian cantik­nya, cantik jelita melebihi segala kein­dahan yang pernah dilihatnya! Tak dapat menahan lagi dia! Dia harus mencium wajah Hian Ceng, biarpun hanya satu kali, biarpun dengan mencuri. Mulut itu begitu dekat, dia tinggal menunduk se­dikit saja dan bibir mereka akan ber­temu. Mesra! Han Han sudah menunduk, tiba-tiba bagaikan kilat berkelebat me­masuki otak dan ingatannya, ia terbayang akan peristiwa di Istana Pulau Es ketika dia terpengaruh racun dan dengan penuh gairah dan berahi memuncak, dia dan Lulu juga saling mencumbu, dan saling memeluk cium dan betapa kemudian dia merasa amat menyesal dan untung masih belum terlanjur!

Ketika bibirnya menyentuh bibir Hian Ceng, Han Han teringat dan dengan kaget sekali ia mendapat kenyataan bahwa saat itu ia hendak mengulangi lagi adegan yang dulu ia lakukan bersama Lulu di bawah pengaruh racun! Dan sekarang, tidak ada racun yang mempengaruhi dirinya, namun mengapa ada dorongan yang mujijat mendesaknya sehingga ia ingin sekali melumat bibir itu penuh nafsu, mencengkeram dan membelai tubuh di depannya ini? Mengapa?

Tiba-tiba Han Han merenggutkan mukanya dari muka gadis itu, membalik­kan tubuhnya dan membentak, “Bedebah Suma Hoat....!” Tangannya yang mengerahkan tenaga sin-kang telah meng­hantam pohon itu sehingga terdengar suara keras, tangannya menerobos masuk ke dalam batang pohon besar sampai sesiku dan pohon itu bergoyang keras daun-daunnya banyak yang rontok berguguran!

“Aihhhhh....! Ada.... ada apa....?” Hian Ceng meloncat kaget dan mundur-mundur melihat Han Han berdiri tegak dengan muka tersinar cahaya bu­lan, amat menyeramkan. Tiba-tiba gadis ini menjerit lagi ketika Han Han melom­pat dan menghantam sebatang pohon di sebelah kirinya, kini menggunakan do­rongan dengan tenaga sin-kang sehingga pohon itu roboh, lalu meloncat ke kanan mendorong roboh pohon lain, mulutnya memaki-maki.

“Si keparat engkau, Suma Hoat....!”

Sudah ada sepuluh batang pohon roboh oleh amukan Han Han.

“Han-koko....!” Seruan yang merupakan jerit melengking ini memasuki teli­nga Han Han seperti suara Lulu, seketika lemaslah tubuhnya, otot-ototnya seperti dilolos dan ia menoleh dan berbisik.

“Lulu....!” bisiknya mengandung isak.

Hian Ceng menubruk dan merangkul­nya, berkata dengan suara penuh kekhawatiran.

“Han-koko....! Kau kenapakah....?”

Han Han mengangkat tangannya, me­ngelus kepala gadis itu dan hatinya lega. Kini telah minggat nafsu berahi yang tadi membakarnya, telah lenyap dorongan hati yang ia anggap sebagai warisan watak dan darah kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat. Kini ia dapat membelai ram­but gadis itu tanpa nafsu berahi, sewajarnya timbul dari kasih seperti kalau dia membelai rambut Lulu.

“Tidak apa-apa, Ceng-moi. Tadi aku mengusir setan....”

Tubuh gadis itu menggigil. “Aihhh.... betul-betulkah ada iblis yang menggerak­kan halimun beracun tadi?”

Han Han mengangguk. Pada saat se­perti itu lebih baik dia membohong. Ti­dak mungkin ia menceritakan keadaan yang sebenarnya. “Agaknya begitulah, Moi-moi. Akan tetapi iblis-iblis itu telah pergi dan kabut dingin telah lenyap. Mari kita membuat api unggun.”

Setelah api unggun menyala dan hawa menjadi hangat, keduanya bersandar pada pohon dan berusaha untuk tidur. Namun Han Han tak dapat memejamkan mata sekejap pun, hatinya masih ngeri kalau ia membayangkan gelora nafsu yang me­nguasainya tadi. Juga gadis itu tidak tidur lagi, hatinya masih ngeri kalau mengingat halimun beracun.

“Twako, besok kita berpisah, Twako akan ke Cung-king bersama para penjaga yang akan kita temui di kaki gunung besok pagi, dan aku akan mulai mencari adikmu ke Kwang-yang.”

“Hemmm, baiklah, Ceng-moi.”

“Twako, dua kali kau sudah menyela­matkan aku. Pertama menyelamatkan aku daripada bahaya yang mengerikan sekali, ke dua menyelamatkan aku daripada maut di cengkeraman iblis halimun be­racun. Twako, kau sungguh baik sekali....”

“Sudahlah, Moi-moi. Tidak perlu menyebut-nyebut hal itu lagi....” Han Han mendekati api unggun dan menambah kayu sehingga api menyala lebih besar. “Tidurlah....”

“Twako, aku akan mencari adikmu sampai dapat! Sungguh, akan kukerahkan segala kemampuanku untuk mencarinya. Kalau sudah dapat kubawa kepadamu.... Twako, kau berjanjilah.... kau perbolehkan aku ikut denganmu. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan di dekatmu aku merasa aman, merasa tenteram dan senang.”

“Ceng-moi, hal itu belum perlu dibicarakan sekarang. Tidurlah....” Suara Han Han terdengar terharu penuh duka, dan kembali pemuda ini menambah kayu pada api unggun sehingga nyalanya makin membesar.

Tiba-tiba Hian Ceng sudah berjongkok di sebelahnya, memegangi kedua lengan­nya dan berkata, “Han-koko, mengapa engkau berduka lagi? Engkau agaknya menderita sekali.... ah, percayalah, Koko, aku akan berusaha dengan seluruh jiwa ragaku untuk membahagiakanmu....”

Han Han memandang dan betapa kaget hatinya ketika melihat pandang mata gadis ini persis pula pandang mata Kim Cu, juga pandang mata Sin Lian dan pandang mata mendiang Lu Soan Li! Pandang mata penuh cinta kasih! Cepat ia membuang muka dan merenggut le­ngannya dengan halus.

“Ceng-moi.... maafkan aku, biarkanlah aku sendiri.... tidurlah dan besok pagi kita bicarakan lagi....!” Di dalam suaranya terbayang penuh permintaan sehingga gadis itu menjadi kasihan, menarik napas panjang dan kembali ke pohon, bersandar dan mencoba tidur. Akan tetapi, berkali-kali ia menengok dan memandang Han Han yang duduk menghadapi api unggun, membelakanginya. Baru setelah menjelang pagi gadis itu dapat tidur pulas.

Akan tetapi, ketika sinar matahari yang menembus celah-celah daun men­cium pipinya dan membangunkannya, Hian Ceng tidak melihat lagi Han Han berada di situ. Pemuda itu sudah pergi dan di atas tanah dekat api unggun yang sudah padam, Hian Ceng melihat tulisan yang cukup jelas.



“Aku ke Cung-king, tak pertu dikawal. Sampai jumpa.”

Hian Ceng menghela napas panjang. Dunia terasa sunyi setelah pemuda bun­tung itu meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir bahwa Han Han pergi ke Cung-king tanpa pengawal. Pe­muda buntung itu bukan manusia biasa, kepandaiannya hebat dan agaknya akan mampu mengatasi segala perkara yang dihadapinya. Hian Ceng kembali menghela napas teringat akan semua pengalamannya dengan Han Han yang biarpun hanya berkumpul beberapa hari namun amat mengesankan dan menegangkan hatinya. Ah, ia merasa yakin bahwa Han-koko-nya akan mampu mengatasi segala perkara yang menimpa dirinya, akan tetapi ia ragu-ragu apakah pemuda itu akan dapat mengatasi dirinya sendiri. Pemuda itu kelihatan selalu berduka, dan peristiwa malam itu sungguh mengerikan, ketika pemuda itu berperang dengan “iblis” yang ia dapat menduga tentu berada dalam dirinya sendiri. Pemuda itu sering kali menderita hebat karena di dalam tubuhnya terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan!

Dia harus mencari Lulu sampai dapat, membawanya kepada Han Han kemudian dia tidak akan mau berpisah lagi! Setelah mengambil keputusan ini dalam hati­nya, Hian Ceng pergi dari situ ke Kwang-yang.

Seperti ketika dia memasuki kota raja Peking, ketika Han Han memasuki Cung-king buntungnya sebelah kakinya tidak menarik perhatian orang karena di Se-cuan pun banyak terdapat penderita ca­cad akibat perang. Hanya rambutnya yang panjang dan sinar matanya yang tajam luar biasa itulah yang menarik perhatian orang. Sebaliknya, Han Han menjadi kagum ketika ia memasuki kota besar ini karena ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dunia yang lain. Amat jauh bedanya keadaan di kota ini dengan kota-kota lain di luar perbatasan. Bukan hanya cara berpakaian dan rambut, di mana tidak tampak rambut dikuncir se­perti di kota-kota jajahan, juga cara mereka itu bicara, pandang mata dan sikap penduduk ini semua bersemangat dan gagah. Belum lama ia memasuki kota Cung-king dan sedang mencari-cari di mana gerangan istana tempat tinggal Bu Sam Kwi, raja muda yang menguasai daerah Se-cuan dan yang namanya ter­kenal sekali, atau di mana kiranya ia akan dapat bertemu Sin Kiat, tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan berkata.

“Sahabat muda, marilah singgah di rumahku. Tentu engkau baru datang dari garis depan, bukan?”

Han Han menengok dan melihat se­orang laki-laki setengah tua yang sikap­nya ramah sekali. Hatinya terharu ketika melihat bahwa orang inipun buntung sebelah kakinya, terpincang-pincang dan membawa tongkat seperti dia. Tubuhnya tinggi besar dan kuat, dan seluruh sikap­nya jelas membayangkan bahwa orang ini tentu seorang pejuang.

“Terima kasih, Paman. Aku ada perlu penting, tidak mempunyai banyak waktu,” jawab Han Han ramah.

“Kalau begitu, mari kita minum teh hangat di warung itu. Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang perang. Tentu menarik sekali. Nasib kita sama, aku pun kehilangan sebelah kakiku dalam perang. Akan tetapi aku tidak menyesal, jangankan hanya satu kaki, biar nyawaku sekalipun kurelakan demi membela bang­sa dari cengkeraman penjajah!”

Han Han merasa jantungnya tertikam. Dia terharu sekali. Orang ini benar-benar bahagia. Biar kehilangan kaki, namun orang ini kehilangan dengan hati rela karena kakinya hilang tidak percuma, melainkan untuk perjuangan membela bangsa. Kehilangan kakinya bahkan me­rupakan pupuk bagi suburnya semangat perjuangan. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia. Konyol! Hatinya terharu dan ia tidak dapat menolak lagi. Keduanya terpincang-pincang memasuki warung makan. Penjaga warung menyambut me­reka dengan wajah ramah.

Mereka makan bubur ayam dan mi­num teh panas yang dipesan laki-laki besar buntung itu. Bermacam-macam pertanyaannya yang dijawab dengan sing­kat saja oleh Han Han. Untuk menyenang­kan hati orang itu dan tidak menimbul­kan kecurigaan, ia membenarkan bahwa ia kehilangan kaki ketika ia membantu fihak pejuang dalam perang melawan penjajah. Akhirnya Han Han menutup kata-katanya dengan ucapan sungguh-sungguh.

“Paman yang gagah, terima kasih atas keramahanmu. Memang sebetulnya aku bukanlah anggauta pasukan pejuang, akan tetapi kedatanganku ini membawa berita penting sekali yang harus kusampaikan sendiri kepada Bu-ongya. Di manakah istananya?”

Tiba-tiba laki-laki buntung itu bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya dan bertanya dengan suara yang kaku, tidak seramah tadi, “Orang muda, di fihak siapakah kau berdiri? Pangeran Kiu atau­kah Raja Muda Bu?”

Han Han menjadi bingung dan meng­geleng kepalanya. “Aku tidak tahu, aku tidak di fihak siapa-siapa.”

“Bagus! Mari kita keluar dari sini dan bicara di luar.” Orang itu membayar harga bubur dan teh, menggandeng ta­ngan Han Han dan terpincang-pincang keluar. Karena kini ada dua orang bun­tung jalan bersama dan bercakap-cakap, hal ini menarik perhatian orang juga, akan tetapi yang ditujukan kepada mereka adalah mata yang mengandung kasihan.

“Hiante, engkau orang yang baru datang, akan tetapi jasamu sudah jelas karena engkau telah mengorbankan se­belah kaki untuk perjuangan. Kesetiaan dan kebaktianmu terhadap tanah air dan bangsa sudah terbukti. Aku tidak tahu apa yang akan kausampaikan kepada Bu-ongya, akan tetapi kiranya perlu kuberitahukan kepadamu bahwa di sini terjadi perbedaan faham sehingga timbul tiga macam faham. Pertama adalah faham Bu-ongya yang bertekad untuk berjuang mati-matian sampai titik darah terakhir mempertahankan kerajaannya. Memper­tahankan kerajaannya! Mengertikah eng­kau, Hiante? Dan ke dua adalah faham Pangeran Kiu yang menganjurkan agar berdamai, bukan takluk, berdamai dengan penjajah Mancu dengan syarat-syarat yang menguntungkan fihak Se-cuan. Nah, yang ke tiga adalah faham yang paling murni, tidak mementingkan diri pribadi, yaitu faham para pejuang yang datang dari luar Se-cuan, yang berjuang demi tanah air dan bangsa, sama sekali tidak ingin menjadi raja atau mendapat kemuliaan. Seperti.... seperti engkau dan aku. Nah, selamat berpisah, kalau engkau masih hendak mengunjungi Bu-ongya, hal yang tentu saja tidak mungkin atau akan sulit sekali, nah, itu di sana istananya, yang atapnya menjulang tinggi!” Laki-laki buntung itu lalu meninggalkan Han Han. Pemuda ini berdiri termangu-mangu dan heran mendengarkan keterangan yang diucapkan dalam bisikan-bisikan itu.

Ah, dia tidak akan peduli akan urusan itu. Yang penting, dia harus menyampai­kan rencana penyerbuan tentara Mancu untuk menyelamatkan Se-cuan. Perebutan kekuasaan terjadi di mana-mana dan dia tidak akan melibatkan diri. Tugasnya hanya menyampaikan rencana Mancu yang merupakan ancaman bagi rakyat Se-cuan, kemudian ia akan mencari Lulu. Han Han yang telah melangkah, berhenti lagi. Teringat ia akan ucapan laki-laki gagah yang buntung tadi. Laki-laki itu kehilangan kakinya untuk berdarma bakti kepada tanah air dan bangsa. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia! Tidak, dia harus pula menyumbangkan tenaga untuk membantu rakyat dan bangsanya yang terancam penyerbuan Se-cuan. Bala tentara Mancu dibantu orang-orang pan­dai seperti Setan Botak, Iblis Muka Kuda, Toat-beng Ciu-sian-li dan masih banyak lagi tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Mereka itu bukan hanya membantu penjajah, akan tetapi juga terkenal sebagai tokoh-tokoh kaum sesat yang sudah se­patutnya kalau dia tentang. Dia akan membantu Se-cuan, bukan semata-mata untuk ikut melibatkan diri dalam perang yang dibencinya, melainkan terutama sekali untuk membela rakyat yang akan menderita karena penyerbuan bala ten­tara Mancu untuk menentang tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat itu. Bukankah adik­nya Lulu, juga telah membantu perjuang­an Pek-lian Kai-pang? Adiknya benar. Bukan memusuhi bangsa Mancu atau bangsa apa pun juga, melainkan menen­tang kelaliman dan kejahatan, dari mana­pun juga datangnya!

Dengan langkah lebar Han Han me­nuju ke pintu gerbang besar di depan istana yang cukup megah itu. Beberapa orang penjaga segera menghadangnya dan tak lama kemudian ia sudah berhadapan dengan tujuh orang penjaga dengan se­orang komandan jaga.

“Ho-han (Orang Gagah) hendak mencari siapakah? Apakah hendak mengunjungi Ho-han Bu-koan?” tanya komandan jaga dengan sikap hormat. Kalau saja Han Han menjawab dengan anggukan kepala, tentu ia akan diberi jalan karena memang para penjaga sudah biasa melihat orang-orang kang-ouw, yang aneh-aneh memasuki istana untuk pergi ke Ho-han Bu-koan, yaitu sebuah gedung besar yang khusus disediakan oleh Bu Sam Kwi untuk menampung orang-orang gagah dari luar Se-cuan yang melarikan diri ke Se-cuan untuk menggabungkan diri menghadapi penjajah.

Akan tetapi Han Han menggeleng kepala! Bahkan ia lalu menjawab, “Tidak, aku mohon menghadap Bu-ongya.”

Para penjaga itu terkejut dan memandang Han Han penuh perhatian dan kecurigaan. “Ada keperluan apakah hendak menghadap Ongya?”

“Urusan penting yang hanya akan saya sampaikan kepada Bu-ongya sendiri.”

“Tidak begitu mudah, orang muda. Kalau engkau membawa surat penting, katakan dari siapa. Kalau engkau mem­bawa pesan, katakan engkau utusan siapa, agar kami dapat melaporkan ke dalam.”

Han Han menggeleng kepala. “Lapor­kan saja bahwa aku mohon menghadap Bu-ongya untuk keperluan yang amat penting, aku membawa berita yang amat penting bagi keselamatan Se-cuan.”

Ada yang terbelalak mendengar ini, ada pula yang tertawa. Agaknya pemuda ini seorang yang miring otaknya, pikir mereka. Berita apakah yang dapat menyelamatkan Se-cuan? Seolah-olah Se-cuan dapat diancam begitu saja!

Akan tetapi komandan jaga yang da­pat menduga bahwa pemuda buntung itu tentu bukan orang sembarangan, melihat sikapnya yang dingin dan sinar mata yang tajam mengerikan itu, lalu berkata.

“Kalau Ho-han hendak menghadap Ongya, harus lebih dulu menghadap ke Ho-han Bu-koan. Mari, silakan, Ho-han!”

Han Han tidak tahu apa itu yang disebut Ho-han Bu-koan (Rumah Silat Kaum Ho-han) dan ia pun tidak peduli asal dia diperbolehkan bertemu dengan Bu Sam Kwi untuk melaporkan rencana penyerbuan oleh tentara Mancu seperti yang ia dengarkan dari rapat yang di­pimpin Setan Botak. Ia mengangguk dan terpincang-pincang mengikuti komandan jaga itu. Mereka memasuki pekarangan istana yang lebar dan karena dikawal oleh komandan jaga, maka para penjaga dan pengawal hanya memandang Han Han penuh perhatian. Agaknya mereka merasa heran mengapa ada pemuda pincang hen­dak pergi ke Ho-han Bu-koan. Selihai-lihainya orang pincang bisa apa sih? Kakinya pun tinggal satu!

Komandan jaga itu membawa Han Han memasuki sebuah gedung yang besar, juga di samping kanan istana. Di depan gedung ini terdapat papan nama dengan huruf-huruf besar dan gagah, tulisan tangan yang indah sekali, hanya empat huruf : HOHAN BU KOAN. Berbeda dengan istana yang bagian depannya penuh dengan penjaga dan pengawal, gedung ini tidak dijaga dan pintunya yang lebar pun terbuka. Komandan jaga mengajak Han Han memasuki pintu. Ruangan depan kosong saja dan komandan itu berkata kepada Han Han.

“Para Ho-han tentu sedang berkumpul di dalam. Mari kita masuk saja, Ho-han!”

Han Han mengangguk dan bersikap waspada, akan tetapi ia hanya mengikuti komandan jaga itu memasuki ruangan dalam sambil terpincang-pincang dibantu tongkatnya. Begitu melewati pintu tem­busan, tampaklah sebuah ruangan yang amat luas dan di situ tampak berkumpul banyak sekali orang, ada empat puluh orang lebih dengan sikap seenaknya, ada yang duduk di atas meja, ada pula yang duduk bersila di atas tanah dan rebah-rebahan di lantai. Sikap orang-orang kang-ouw yang tidak acuh!

“Apapun yang terjadi di atasan, apa pun yang mereka perebutkan, kita tidak peduli, yang penting, hancurkan penjajah Mancu!” Terdengar seorang laki-laki ting­gi kurus berkata sambil menggunakan sepasang sumpit yang istimewa panjang dan besarnya, sumpit gading, menjemput sepotong daging dari mangkok di atas meja dan melempar daging itu ke mu­lutnya. Ya, melemparnya karena ia ha­nya menggerakkan sumpit itu dan da­gingnya terlempar memasuki mulutnya yang ternganga, lalu dikunyahnya mengeluarkan suara seperti babi sedang makan! Orang ini yang menarik adalah ma­tanya, karena matanya buta sebelah, hanya sukar dikatakan yang mana yang buta, karena yang kiri hanya tampak putih saja sedangkan yang kanan hanya tampak guratan hitam!

Agaknya mereka sedang membicara­kan tentang pertentangan faham antara Bu-ongya dan Pangeran Kiu seperti yang ia dengar dari laki-laki buntung tadi. Munculnya Han Han bersama komandan jaga membuat semua orang menghenti­kan percakapan dan mereka menengok, memandang ke arah Han Han penuh per­hatian dan penyelidikan, agak curiga karena mereka tidak mengenal pemuda buntung ini.

“Harap cu-wi Ho-han (Orang-orang Gagah Sekalian) suka memaafkan. Ho-han muda ini datang dan mengatakan mohon menghadap Ongya karena mem­bawa berita yang penting bagi kesela­maian Se-cuan tanpa mau memberi tahu kepada saya. Karena meragukan keterang­annya maka saya antar ke sini agar cu-wi dapat menyelidik dan memberi keputusan. Terserah!” Komandan jaga itu lalu keluar dari situ setelah sekali lagi memandang Han Han penuh kecurigaan.

Sejenak sunyi di ruangan itu ketika semua mata ditujukan kepada Han Han. Pemuda ini memandang ke sekeliling, memperhatikan ruangan yang bersih dan indah itu. Di tengah ruangan terdapat permadani berwarna biru tua yang bersih dan indah, dan di dekat pintu terdapat jendela besar yang tidak berdaun, terbuka memperlihatkan sebuah kebun yang ­indah pula sehingga ruangan ini men­dapat hawa dari luar yang amat sejuk. Karena ruangan itu amat bersih, tidak heran orang-orang kang-ouw itu duduk atau rebah di atas lantai begitu saja.

Karena tidak ada orang yang menegurnya, Han Han menjadi tidak sabar dan ia bergerak maju terpincang-pincang ke te­ngah ruangan, di atas permadani biru tua dan berkata.

“Maafkan saya. Sesungguhnya komandan jaga itu keliru mengantar saya ke sini karena saya tidak mempunyai urusan dengan cu-wi Enghiong sekalian. Saya hanya ingin bertemu dengan Raja Muda Bu Sam Kwi untuk menyampaikan urusan yang amat penting.”

Akan tetapi alangkah heran hati Han Han ketika melihat betapa semua orang memandangnya dengan mata marah, bah­kan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh kurus dan bermuka pucat sudah meloncat maju menghadapi­nya di atas permadani biru dan memben­tak.

“Sahabat yang gagah, perkenalkan namamu!”

Han Han menjadi makin heran. Laki-laki ini bersikap gagah, kata-katanya pun bersahabat karena menyebutnya sahabat yang gagah, akan tetapi nada suaranya marah! Ia menjura dan menjawab, “Namaku Han Han.”

“Siapa gurumu? Dari golongan mana? Selama berjuang ikut rombongan yang dipimpin siapakah?”

Menghadapi pertanyaan bertubi-tubi seperti seorang hakim memeriksa pe­sakitan ini, berkerutlah alis Han Han, akan tetapi karena pertanyaan itu di­ajukan dengan sopan dan semua orang agaknya memperhatikan, ia menganggap bahwa memang sikap orang-orang kang-ouw ini aneh, maka ia pun menjawab singkat.

“Nama guruku tidak boleh kuperkenal­kan orang lain, aku bukan dari golongan manapun dan aku tidak pernah ikut berjuang!”

“Aaahhhhh....!” Seruan ini terdengar dari banyak mulut dan semua orang me­mandang dengan penuh kecurigaan, bah­kan ada bisikan dari sudut, “Jangan-jangan mata-mata anjing Mancu....!”

Mendengar ini, Han Han mengangkat muka memandang mereka dan berkata lagi, “Aku bukan pejuang, bukan pula mata-mata Mancu, akan tetapi aku da­tang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi Raja Muda Bu Sam Kwi!”

“Manusia sombong!” laki-laki kurus yang berdiri di depannya membentak lagi. “Tidak perlu banyak bicara yang tidak-tidak lagi, aku Sin-jiauw-eng (Ga­ruda Cakar Sakti) Lo Hwat menyambut tantanganmu. Lihat serangan!”

Han Han terkejut sekali karena men­dadak orang kurus itu mencengkeram ke arah dadanya. Ia pikir tidak perlu mem­bantah lagi, biarlah kalau dia dianggap sombong dan menantang. Dia pun tidak menangkis atau mengelak, hanya menge­rahkan sin-kang pada dadanya yang di­cengkeram. Melihat betapa pemuda bun­tung ini sama sekali tidak mengelak maupun menangkis, Sin-jiauw-eng Lo Hwat kaget dan cepat mengubah serang­an mencengkeram menjadi dorongan tela­pak tangan. Dia adalah seorang gagah, tentu saja tidak mau membunuh orang yang tidak mau mempertahankan diri, sungguhpun orang ini telah berani berdiri di atas permadani biru! Han Han sama sekali tidak tahu bahwa sudah menjadi “hukum” di Ho-han Bu-koan itu bahwa siapa yang berdiri di atas permadani biru itu berarti menantang yang hadir untuk pibu (mengadu ilmu silat)!

“Bukkk!”

Tubuh Han Han sedikit pun tidak ber­goyang akan tetapi sebaliknya Lo Hwat yang memukulnya dengan dorongan keras malah terjengkang! Semua orang yang hadir mengeluarkan seruan kagum. Lo Hwat terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga lwee-kang kuat sekali di samping keahliannya mempergunakan jari tangan sebagai cakar garuda. Kini, Si Garuda Cakar Sakti itu memukul dada pemuda buntung ltu dan roboh terjeng­kang sendiri!

“Aku tidak ingin berkelahi,” kata Han Han.

Akan tetapi Lo Hwat sudah mencelat bangun lagi, matanya menjadi merah sa­king malu, marah dan penasaran. Dia tadi menaruh kasihan, siapa akan mengi­ra bahwa dia malah dibikin malu oleh bocah buntung ini. Sambil berseru keras ia lalu meloncat ke atas, kemudian dari atas tubuhnya menyambar bagaikan se­ekor burung garuda, kedua tangannya membentuk cakar, yang kanan mencakar ke arah kepala Han Han sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah pundak.

Han Han menjadi penasaran. Serangan lawan sekali ini amat berbahaya dan kalau dia diam saja, hanya menggunakan sin-kang melindungi tubuh, dia tentu akan dianggap menghina atau juga takut. De­ngan kaki satu masih berdiri tegak, ia mengelebatkan tongkatnya ke atas. Ge­rakan tongkatnya cepat bukan main, tahu-tahu sudah menempel kedua lengan lawan dan sekali ia membanting, tubuh Lo Hwat sudah terguling ke atas lantai dan terbanting, sedangkan Lo Hwat ini sama sekali tidak tahu mengapa tubuhnya tiba-tiba jatuh. Ketika ia memandang, pemuda buntung itu masih berdiri tegak di atas satu kaki, tongkatnya dikempit di bawah ketiak kiri dan kedua lengannya bersedakap! Kemarahan Lo Hwat memun­cak. Dia terjatuh di depan pemuda itu dan ketika ia merangkak bangun dan berlutut, tampak seolah-olah ia berlutut di depan pemuda buntung itu! Kemarah­an membuat orang menjadi mata getap. Demikian pula dengan Lo Hwat. Dia ter­kenal sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dua kali ia dirobohkan oleh pemuda buntung ini yang kelihatannya sama sekali tidak bergerak, dijatuhkan di depan sekian banyaknya orang gagah. Inilah yang membuat dia malu dan merasa terhina sehingga ke­marahannya membakar hati dan kepala. Tiba-tiba ia menggereng dan tangan kanannya yang sudah ia kepal dengan pe­ngerahan lwee-kang sekuatnya, ia pukul­kan ke arah pusar Han Han dengan tubuh masih berlutut atau setengah berjongkok. Hebat bukan main pukulan maut ini dan terdengarlah seruan-seruan kaget dari mulut heberapa orang gagah di situ yang menganggap perbuatan Lo Hwat ini me­lewati batas dan juga amat keji dan cu­rang.

“Desssss!” Pukulan itu memang hebat sekali karena dilakukan dengan pengerahan te­naga dalam yang keluar dari pusar, se­dangkan yang dipukul juga bagian yang lemah, yaitu pusar. Tentu saja bagian lemah bagi orang biasa, akan tetapi pe­muda buntung itu sama sekali ia tidak mengelak bahkan mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada orang yang gagah akan tetapi berangasan ini. Ia mengerahkan sin-kang, menerima pukul­an dan mengembalikan hawa yang men­dorong pukulan itu, kepada penyerangnya. Tenaga dalam itu membalik dan menye­rang Lo Hwat sendiri sehingga dia me­mekik keras dan roboh terlentang di atas permadani dalam keadaan pingsan karena dadanya terluka oleh pukulannya sendiri!

“Omitohud....! Bukan main bocah buntung ini, ilmunya boleh juga!” Oua orang yang berpakaian seperti hwesio, kepala mereka gundul dan mereka berkalung sarung berwarna kuning, bangkit berdiri dan melangkah maju, yang tinggi besar dan gemuk di depan sedangkan yang kecil pendek kurus di belakangnya.

Akan tetapi, pada saat itu terdengar bentakan keras, “Bocah buntung yang sombong, engkau berani menghina muridku? Biarlah aku yang mencoba kelihaianmu. Perkenalkan aku, Tok-gan-siucai (Pelajar Bermata Tunggal) Gu Cai Ek!” kiranya kakek berusia lima puluhan tahun yang matanya putih satu hitam satu dan yang memegang sumpit gading tadi sudah ­berdiri di atas permadani menghadapi Han Han. Pemuda ini masih berdiri de­ngan kaki satu, tongkatnya dikempit dan kedua lengannya bersedakap, dengan sua­ra menyesal berkata.

“Lo-enghiong, aku tidak ingin ber­kelahi dengan siapa pun juga!”

“Omong kosong! Lihat seranganku!” Kakek ini sudah menyerang Han Han de­ngan sepasang sumpit gadingnya yang kini dipegang di kedua tangan. Caranya memegang seperti orang memegang alat tulis dan begitu menyerang ia menotok jalan darah sehingga maklumlah Han Han bahwa orang ini adalah seorang yang ahli mainkan senjata siang-pit (sepasang pensil) dan ahli totok, hanya dia tidak menggunakan pensil melainkan sepasang sumpit gading yang dapat ia pergunakan untuk makan! Mengertilah ia mengapa orang ini memakai julukan Siucai (Pela­jar). Karena serangan itu memang hebat, tentu saja jauh lebih lihai daripada ilmu kepandaian muridnya tadi. Han Han ce­pat mengelak. Dia masih bersedakap dan mengempit tongkatnya, hanya kakinya yang tinggal satu itu tiba-tiba mengen­jot dan tubuhnya mencelat ke atas.

“Haliiittttt! Eh....?” Si Mata Satu terkejut sekali karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu sudah pindah ke tempat lain. Ia ce­pat mengejar dan kedua senjatanya me­luncur cepat, menotok secara bertubi-tubi, memilih jalan darah yang berbahaya. Namun Han Han hanya melawannya dengan berloncatan, mengerahkan sedikit saja dari ilmunya gerak kilat dan semua serangan itu hanya mengenai tempat kosong, bahkan Si Mata Satu itu berkali-kali mengeluarkan seruan bingung dan kaget karena sering kali lawannya lenyap. Dan kasihan sekali dia yang bermata tinggal satu itu kadang-kadang harus menengok ke kanan kiri mencari lawannya!

“Lo-enghiong, aku tidak ingin ber­kelahi denganmu!” Sudah tiga kali Han Han berkata sabar, akan tetapi makin lama kakek bermata satu ini menjadi makin penasaran dan marah karena se­mua totokannya luput. Benar-benarkah pemuda buntung ini pandai menghilang seperti setan, ataukah matanya yang tinggal satu ini agaknya sudah tidak awas lagi?

“Cuit-cuit-cuit.... sing-singgg....!”

Han Han terkejut karena kini kakek bermata satu itu menggerakkan sepasang gading kecil berbentuk sumpit itu ber­gerak secara hebat dan aneh, cepat dan juga bertenaga, merupakan dua sinar kecil yang gemerlapan dan membentuk lingkaran-lingkaran yang menutup semua “pintu” di delapan penjuru. Ia kaget dan kagum. Kiranya kakek ini hebat juga ilmu kepandaiannya. Kalau ia mengerah­kan seluruh ilmunya gerak kilat, tentu akan menarik perhatian, maka ia pun cepat menggerakkan tongkatnya menang­kis.

“Trak-tringgg....!”

“Ayaaaaa....!” Kakek mata satu itu terkejut dan cepat membuat tubuhnya sendiri berputar setengah lingkaran untuk mematahkan tenaga tangkisan lawan yang hampir membuat kedua senjatanya terlempar dari tangan.

“Lo-enghiong hebat, aku kagum dan terima kalah!” Han Han berkata, dan memang ia benar-benar merasa kagum ketika menangkis tadi dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian Tok-gan-siucai ini benar-benar tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat Lauw-pangcu!

“Cuat-cuat-cuatt....!” Kembali sepasang sumpit itu melakukan totokan bertubi-tubi dan kini dari jauh saja Han Han sudah merasa sambaran angin yang kuat, tanda bahwa kakek itu telah meng­gunakan sin-kang dan melawan mati-mati­an. Ia merasa menyesal sekali. Mengapa­kah dia selalu dimusuhi oang? Mengapa kehadirannya selalu menimbulkan keribut­an? Apakah kesalahannya? Memang ia bernasib buruk, selalu sial. Maksud baik­nya selalu ditanggapi keliru oleh orang lain sehingga dia selalu dimusuhi orang. Dan kini kakek bermata satu yang lihai ini menyerangnya dengan hebat, melaku­kan serangan totokan-totokan yang amat berbahaya.

“Mengapa engkau mendesakku?” teri­aknya dengan suara berduka, tongkatnya bergerak ke bawah dari bawah ketiaknya ketika tubuhnya meloncat ke atas. Pada saat itu, sumpit gading di tangan kiri Tok-gan-siucai menyambar, disusul sumpit kanannya. Cepat bagaikan kilat menyam­bar, sebelum tubuhnya turun, Han Han sudah menggerakkan tongkatnya, menge­rahkan gin-kang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya seolah-olah dapat tertahan di udara, sin-kang di tangan yang memegang tongkat amat kuat ketika tongkat berturut-turut menangkis se­pasang sumpit, melekatnya dan sekali renggut, Tok-gan-siucai berseru kaget, kedua batang sumpitnya tak dapat ia tahan lagi, terbang lepas dari kedua tangannya dan terus terbang mencelat ke atas, menancap pada langit-langit ruang­an itu yang tinggi!

“Omitohud.... benar mengagumkan....!”

Kini seruan kagum ini terdengar dari mulut hwesio kurus dan tiba-tiba hwesio itu menggerakkan tangannya ke atas. Angin yang keras menyambar ke langit-langit ketika jubahnya yang lebar pada lengannya itu berkelebat dan.... dua batang sumpit yang tadinya menancap ke langit-langit itu tiba-tiba menyambar ke bawah, ke arah Han Han!

Han Han terkejut sekali. Itulah de­monstrasi tenaga sin-kang yang amat tinggi, dan cepat ia mengulur tangan kanannya menyambut dua batang sumpit itu dengan gerakan seenaknya, lalu me­lemparkan sepasang sumpit itu kepada Tok-gan-siucai sambil berkata.

“Maaf, Lo-enghiong. Saya tidak ingin ­berkelahi!”

Tok-gan-siucai sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, maklum bahwa dia bukanlah lawan pemuda bun­tung itu, maka ia menyambut sepasang sumpitnya, kemudian menyambar tubuh muridnya yang masih pingsan, membawanya loncat ke pinggir, keluar dari permadani biru. Ia merasa lega ketika memeriksa bahwa muridnya itu hanya ping­san karena tenaga sendiri yang membalik. Ia menotok beberapa jalan darah dan Sin-jiauw-eng Lo Hwat siuman sambil mengeluh perlahan.

“Omitohud, seorang muda yang luar biasa! Biarlah pinceng mencobanya!” Hwesio tinggi besar gendut yang mukanya seperti anak kecil itu menggerakkan kakinya. Tidak kelihatan ia membuat ge­rakan meloncat, namun tubuhnya seperti terbang ke depan dan sudah berdiri di atas permadani menghadapi Han Han.

“Maaf, Losuhu. Saya tidak ingin berkelahi,” kata pula Han Han, kembali ter­kejut menyaksikan gerakan ini.

“Ha-ha-ha, jangan terlalu merendahkan diri, orang muda. Memang engkau memiliki kepandaian yang patut diperlihatkan dan diuji! Bersiaplah, pin­ceng menyerang!”

Ucapan ini ditutup dengan gerakan tangan kirinya. Seperti juga gerakan hwesio kecil kurus itu hwesio gemuk ini seperti menggerakkan tangan sembarangan saja, akan tetapi dari balik lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin yang luar biasa kuatnya, mendorong ke arah dada Han Han. Han Han maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pan­dai. Tingkat kekuatan sin-kang kedua hwesio aneh ini kiranya tidak di bawah kepandaian Gak Liat, Ma-bin Lo-mo atau bahkan Toat-beng Ciu-sian-li sendiri! Ia heran menyaksikan orang-orang pandai yang berkumpul di tempat ini, maka ia tidak ingin melawan. Cepat tubuhnya mencelat dan pukulan itu lewat di bawah kakinya.“Bagus! Sin-kangmu hebat, juga gin-kangmu amat luar biasa. Belum pernah pinceng menyaksikan gerakan seperti kilat cepatnya itu!” Hwesio gendut itu mulutnya memuji, akan tetapi tangan kirinya kembali menampar dan angin pukulan yang lebih kuat lagi menyambar ke arah tubuh Han Han yang masih di udara. Akan tetapi dia membelalakkan matanya lebar-lebar ketika melihat be­tapa tubuh pemuda buntung itu kembali mencelat ke samping, padahal kakinya belum menginjak lantai! Bagaimana mungkin dapat bergerak seperti itu sehingga kembali tamparannya luput? Ia mulai penasaran dan beberapa kali tangan kiri­nya menampar-nampar dan angin ber­bunyi bercuitan ketika tamparan itu me­nyambar dari kanan kiri dan mengejar bayangan Han Han yang terus berpindah-pindah secara aneh.

Semua orang yang berada di situ menjadi silau matanya. Mereka hanya melihat pendeta gendut itu menggerak-gerakkan tangan kirinya se­perti orang mengebut-ngebutkan kipas dan mereka tidak dapat melihat lagi tubuh pemuda pincang, atau melihat tubuh pemuda itu berubah menjadi ba­nyak karena mencelat ke sana ke mari dengan amat cepetnya!

Han Han sambil meloncat ke sana-sini memperhatikan pendeta gendut itu dan melihat bahwa sejak tadi, hwesio itu hanya menggunakan tangan kirinya untuk mengirim angin pukulan, sedangkan ta­ngan kanannya selalu disembunyikan di bawah jubahnya, menekan pinggang. Bukan main, pikirnya, baru maju tangan kirinya saja sudah begini hebat, apalagi kalau tangan kanannya yang bergerak. Dia menaksir bahwa tangan kanan itu tentulah hebat sekali dan agaknya kini masih belum dipergunakan si hwesio se­bagai ilmu simpanan atau cadangan yang hanya akan dipergunakan kalau perlu saja. Semenjak ia keluar dari tempat persembunyian gurunya, nenek berkaki buntung, belum pernah ia bertemu lawan yang sepandai ini, maka diam-diam Han Han menjadi gembira dan ingin menguji kemampuannya sendiri, ingin pula me­lihat bagaimana hebatnya tangan kanan hwesio gendut itu.

Setelah timbul keinginan ini, ketika kakinya turun menotol lantai, ia mem­buat gerakan untuk mengurangi tenaga pantulan kakinya dengan berjungkir-balik sehingga tubuhnya berjungkir-balik ber­putaran sampai belasan kali seperti kitir­an, barulah kakinya turun ke lantai dan ketika pada saat itu hwesio gendut itu kembali memukul ke arahnya dengan tangan kiri, kini pukulan jarak dekat karena memang Han Han turun di depan hwesio itu yang agaknya ingin pula meng­uji kekuatan Han Han, pemuda inipun menerima pukulan yang merupakan tam­paran dengan telapak tangan terbuka itu dengan dorongan telapak tangan kanannya.

“Bresssssi!”

“Omitohud.... luar biasa....!” Tubuh hwesio itu bergoyang-goyang, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia mcrasa betapa seluruh tubuhnya panas sekali karena ketika menyambut pukulan tadi, Han Han sengaja mengerahkan te­naga inti Hwi-yang Sin-ciang!

Han Han kagum bukan main karena melihat betapa hwesio itu dapat meneri­ma tenaga sakti ini dengan hanya ter­goyang tubuhnya dan merah mukanya. Benar persangkaannya bahwa hwesio itu memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh Si Setan Botak Gak Liat!

“Orang muda, engkau menarik sekali. Coba terima ini!”

Hwesio gendut itu tiba-tiba menge­luarkan tangan kanannya dari balik jubah dan alangkah kagetnya hati Han Han melihat tangan itu berwarna biru sekali, biru kehitaman akan tetapi seperti ber­cahaya! Dan dengan tangan kanan itu kini hwiesio itu menyerangnya! Serangkum tenaga dahsyat memecah hawa udara menyambar ke arah Han Han dengan me­nimbulkan uap hitam yang panas sekali! Han Han cepat menggerakkan kakinya menotol lantai dan tubuhnya mencelat dengan kecepatan yang luar biasa sehing­ga uap hitam itu lewat di bawah kaki­nya. Akan tetapi kini ia sudah mengenal pukulan itu, yang ia dapat menduga ten­tulah pukulan itu berdasarkan hawa Yang-kang seperti Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi jauh lebih berbahaya karena uap hitam itu tentu mengandung penga­ruh yang luar biasa. Timbul pula keingin­annya mencoba. Tadi ia sengaja meng­gunakan Hwi-yang Sin-ciang, karena ia masih belum berani mempergunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, maklum bahwa tenaganya itu luar biasa sekali kuatnya sehingga membahayakan nyawa lawan. Akan tetapi kini, melihat pukulan tangan kanan hwesio itu yang ia duga tentu amat kuat, setelah ia turun, ia menanti hwesio itu memukul lagi.

Hwesio gemuk itu menjadi penasaran sekali. Jarang memang ia mengeluarkan tangan kanannya. Ia merasa malu kalau tangan kanannya yang hitam itu kelihat­an orang, maka kalau tidak terpaksa sekali, biarpun dalam pertandingan, ia tidak mengeluarkan tangan kanannya. Kalau sekali ia mengeluarkan tangan kanannya, sekali pukul saja ia harus da­pat mencapai kemenangan. Akan tetapi sekali ini, pukulannya yang amat dahsyat itu tidak mengenai sasaran, padahal biasa­nya, baru terkena tiupan sedikit hawanya saja, tubuh lawan sudah menjadi hangus! Hwesio gemuk ini bersama temannya yang kurus, adalah dua orang tokoh be­sar di Tibet, pada waktu itu menjadi pembantu yang terpercaya dari Dalai Lama sebagai pendeta besar dan ketua di Tibet. Hwesio gendut itu bernama Thian Kok Lama, terkenal sekali dengan ilmu kepandaiannya yang hebat sin-kangnya yang jarang bertemu tending, dan tangan kanannya yang mengerikan karena tangan kanannya inilah ia dijuluki Hek-in Hwi-hong-ciang (Tangan Awan Hitam Angin Berapi)! Adapun hwesio kurus itupun bukan orang sembarangan, karena diban­dingkan dengan hwesio gemuk, sukar dikatakan, mana yang lebih lihai karena mereka memiliki keahlian sendiri-sendiri. Hwesio kurus ini selain hebat sin-kangnya, juga terkenal sebagai ahli ilmu sihir yang disebut I-hun-to-hoat (semacam hypnotism) yang dapat menguasai se­mangat lawan, dan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek (Sihir Tangan Sakti)!

Ketika Thian Tok Lama yang sudah terlanjur mengeluarkan tangan kanannya itu tidak mampu mengalahkan Han Han dengan sekali pukul, kini melihat pemuda itu sudah turun lagi, ia cepat mengerah­kan tenaga, dari perutnya yang besar langsung dari pusar keluar suara “kok-kok-kok” tiga kali den tangan kanannya yang hitam itu memdorong ke arah Han Han.

Bukan main hebatnya pukulan ini. Warna biru kehitaman itu makin mencorong dan uap hitam yang keluar dari telapak tangan itu seolah-olah mengandung api menyala dan terasa amat pa­nasnya sehingga ruangan itu ikut terasa hangat, pukulan hebat ini sepenuhnya meluncur ke arah dada Han Han.

Han Han yang timbul kegembiraannya melihat ilmu yang dahsyat ini, cepat mengerahkan sin-kangnya, menggunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, disalurkan tangan kirinya mendorong maju menyambut telapak tangan hitam itu. Dengan pukulan macam ini, yang merupakan inti dari Swat-im Sin-ciang yang paling hebat, Han Han mampu me­mukul air menjadi beku, menjadi bong­kah-bongkah es sebesar anak kerbau! Kini dua pukulan sakti yang amat dahsyat itu saling menerjang untuk bertemu!

Hwesio gendut itu, Thian Tok Lama menjadi kaget dan menyesal. Ia merasa sayang kepada pemuda kaki buntung yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu, dan hanya karena penasaran, bukan karena marah atau benci, ia menggunakan tangan kanannya, dan tadinya ia mengira bahwa pemuda itu tentu akan menggunakan ilmunya mencelat yang luar biasa itu untuk menghindar. Siapa kira pemuda itu malah menerima pukulannya dengan langsung, menggunakan telapak tangan kirinya! Namun, ia sudah terlanjur memukul dan kalau ditariknya kembali tentu akan membahayakan isi dadanya sendiri, maka terpaksa dia melanjutkan pukulannya dengan hati menyesal karena ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan roboh dan tewas, tak mungkin dapat ditolong lagi.

“Desssss.... cessshhhhh!”

Semua orang memandang dengan mata terbelalak! Dua telapak tangan bertemu dan berbareng dengan bunyi keras seperti besi panas membara dimasukkan air, tampak asap hitam mengepul dan meng­gelapkan tempat itu!

“Ihhhhh....!” Han Han berseru keras ketika merasa seolah-olah seluruh le­ngannya menjadi lumpuh dan ia cepat menarik kembali lengannya itu.

“Omitohud....!” Thian Tok Lama juga berseru dan ia pun menarik kembali ta­ngan kanannya, berdiri agak terengah dan kini mukanya menjadi pucat kebiruan dan kedua pundaknya agak menggigil seperti orang terserang dingin yang hebat.

“Ibliskah engkau....?” Thian Tok Lama kini mencelat maju dan mengirim tendangan dengan kakinya yang sebesar kaki gajah.

“Wuuuuttt!” Han Han meloncat, akan tetapi kedua kaki itu biarpun amat be­sar, telah mengirim tendangan berantai sehingga angin bersiuran. Terpaksa Han Han yang sudah merasa cukup menguji kepandaiannya, mencelat ke pinggir ruangan itu sambil berseru, “Aku tidak ingin berkelahi, kalau cu-wi tidak suka menerimaku biarlah aku pergi dari sini....”

“Tahan....! Jangan berkelahi....! Dia kawan kita sendiri! Eh, Han Han, meng­apa ribut-ribut dengan para locianpwe?”

Sesosok bayangan berkelebat dan Wan Sin Kiat telah berada di situ. Han Han girang sekali, berlari hendak menghampiri Sin Kiat dan melewati permadani biru sambil berpincangan.

“Han Han, jangan menginjak permadani itu!” Sin Kiat berteriak. Han Han terkejut dan cepat ia mencelat lagi mun­dur, lalu memandang Sin Kiat yang lari kepadanya sambil mengitari permadani, tidak berani menginjaknya.

“Ah, agaknya ada salah pengertian di sini. Han Han, agaknya engkau tadi menginjak ini.” Sin Kiat tertawa sambil menudingkan telunjuknya ke arah permadani biru.

Han Han mengangguk. Ia teringat bahwa ketika masuk tadi, untuk meng­hampiri para ho-han yang berada di situ, ia memang berdiri di situ. “Ya, aku tadi berdiri di situ, mengapa?”

“Ha-ha-ha, pantas! Ketahuilah bahwa ada peraturan di sini bahwa siapa yang berdiri menginjak permadani ini, berarti dia itu menantang pibu kepada para locianpwe yang hadir di sini.”

“Ohhhhh.... maaf....!”

Sin Kiat lalu menjura kepada dua orang pendeta Tibet dan para ho-han sambil berkata.

“Mohon cu-wi locianpwe dan para Ho-han suka memaafkan Han Han. Kare­na dia tidak tahu maka seolah-olah me­nantang pibu. Dia merupakan sahabat saya yang paling baik dan beberapa kali dia telah membantu para pejuang meng­hadapi tokoh-tokoh anjing Mancu.”

“Hoa-san Gi-hiap Wan-sicu!” kata Thai Li Lama hwesio Tibet yang bertubuh kurus kering itu. “Kalau dia itu sahabat­mu, mengapa dia datang seperti ini? Dia menimbulkan kecurigaan besar!”

“Ah tidak, locianpwe. Dia datang untuk mencari adiknya, dan untuk membantu kita menghadapi tokoh-tokoh penjajah.”

“Hemmm, kalau mencari adiknya dan hendak membantu, mengapa dia berkeras hendak bertemu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar