Jumat, 09 Mei 2014

Cersil Tiongkok Porno Mustika Gaib 6

Bab 8 - 9

SETELAH berkata demikian, si gadis Biauw berjalan keluar pintu goa, di sana ia bersiul. Kemudian terdengar berkata,
“Ui-jie, kau bawa makanan kemari.”
Setelah berkata begitu, kembali si gadis Biauw menghampiri Kang Hoo, dan berkata,
“Aku sudah perintahkan Ui-jie untuk mencari makanan untukmu.”
“Ui-jie? Siapa Ui-jie? dan kau siapa, di mana ini?” tanya Kang Hoo keheranan memperhatikan sekeliling ruangan goa. Kemudian memandang si gadis.
“Tempat ini daerah Thiat-gan-tong, tidak jauh di belakang bukit terdapat perkampungan Biauw.” jawab si gadis.
“Hmmm. Jadi kau gadis Biauw?” tanya Kang Hoo.
Si gadis mengangguk, ia menyendok lagi godokan ramuan di dalam timba kayu, diserahkan pada Kang Hoo, katanya,
“Kau minumlah ramuan ini, kugodok dari berbagai tumbuh-tumbuhan yang banyak mengandung khasiat bisa menyembuhkan luka dan menambah darah.”
Kang Hoo merasakan bagaimana keadaan lukanya yang begitu berat sudah hampir sembuh sebagian, ia percaya akan ucapan gadis Biauw tadi, tanpa banyak tanya lagi, ia menerima sodoran daun yang terisi air obat itu, lalu ditenggaknya sekaligus.
Baru saja Kang Hoo meminum air obat yang terasa sepat asam manis, dari pintu goa, berjalan masuk seekor orang hutan berbulu kuning.
Melihat orang hutan berbulu kuning tadi, Kang Hoo kaget, ia menggeser badannya ke belakang.
Gadis Biauw menoleh ke arah pintu goa, katanya,
“Dia adalah Ui-jie , nah kau jangan takut.”
“Ui-jie ... . Ui-jie ..... Ui-jie . . .” gerutu Kang Hoo.
Orang hutan berbulu kuning mendengar disebut namanya be-ulang-ulang oleh Kang Hoo menggaruk-garuk pinggangnya.
“Ui-jie, mana makanannya?” tanya gadis Biauw pada si orang hutan bulu kuning.
Orang hutan tadi melempar sebuah benda ke depan gadis Biauw. Luncuran benda itu disambut oleh gadis tadi, kemudian diserahkan pada Kang Hoo.
Kang Hoo masih bengong, memandangi orang hutan bulu kuning itu, otaknya mengingat beberapa hari yang lalu, ketika ia sudah terluka parah, mendadak saja di sekitarnya dikurung oleh puluhan binatang buas. Dan bagaimana orang-orang berseragam hitam bertempur dengan si gadis baju merah, dilain bagian di atas bukit juga terdapat kelompok pertempuran yang terjadi antara orang-orang seragam hitam dengan gadis hitam manis. Kini gadis hitam manis itu berada di samping dirinya, ia juga ingat, bagaimana gadis itu berteriak “Ui jie, cepat bawa anak itu,” dan kemudian muncullah ini binatang orang hutan bulu kuning, tapi setelah itu ia tak ingat lagi.
“Hei, ini, makanlah,” seru si gadis Biauw.
Kang Hoo tersentak kaget, ia menerima pemberian buah tadi, tanyanya,
“Apakah, kau yang memerintahkan orang hutan ini? Dan bagaimana membawa aku kemari.”
Gadis Biauw tersenyum, katanya,
“Namaku Goat Khouw, orang-kampungku menyebut aku dengan sebutan putri binatang, itulah disebabkan karena kepandaianku menundukkan binatang-binatang buas. Waktu kau dikejar oleh orang-orang berselubung muka, malam itu, aku kebetulan sedang menunggu munculnya seekor binatang aneh, yang jarang sekali terdapat di muka bumi ini, kami orang-orang Biauw percaya binatang itu mengandung khasiat luar biasa, siapa yang bisa meminum darah dan memakan nyali binatang itu, ia akan menjadi awet muda, dan memiliki tenaga besar. Tempat dimana binatang itu akan muncul tidak jauh dari tempat kau mendapat keroyokan, karena waktu itu kau lari lewat dimana binatang aneh itu akan keluar, hingga kau telah menyebabkan binatang itu jadi terkejut. Maka gagallah cita-cita ku itu. Tapi aku masih tetap menunggu munculnya binatang tadi!”
“Binatang apa?” tanya Kang Hoo memotong pembicaraan Goat Khouw.
“Kuya bumi!” kata Goat Khouw, “Karena gerakanmu membuat berisik hutan alang-alang itu hingga mengejutkan binatang tadi, dan selanjutnya ia tak mau muncul lagi. Semula aku hendak membunuhmu. Dan ketika aku hendak turun tangan membunuhmu, mendadak datang itu perempuan baju merah ia mencegah gerakanku. Maka terjadi pertempuran aku dengan ia hanya dalam beberapa jurus, aku tidak mengenal perempuan baju merah itu, ia juga tidak mengenal diriku, kami bertempur dengan berlainan tujuan, ia mempertahankan kau agar kau lolos dari kematian di tanganku, dan aku akan menghabiskan nyawamu. Selagi kami bertempur, muncul itu orang-orang seragam hitam, begitu mereka muncul mereka sudah mengeluarkan kata-kata kotor, membuat hatiku panas. Dan kami berbalik menyerang mereka. Pertempuran berlangsung sampai fajar, dan kami memencar menjadi dua kelompok pertempuran, sedang binatang-binatang buasku kuperintahkan untuk menjaga dirimu, karena aku masih penasaran dan ingin membetot nyawamu dengan tanganku sendiri...... . . . .”
“Mengapa kau tidak bunuh aku?” potong Kang Hoo.
Goat Khow memandang wajah Kang, Hoo, lalu katanya,
“Umurku sudah tujuh belas tahun, sudah waktunya aku menikah, maka .... . mengingat itu aku telah memilih dirimu untuk calon suamiku, dengan adanya pikiran itu, aku batal membunuhmu dan kau kubawa ke tempat ini, kurawat dan kuobati dengan obat-obat ramuan bangsa kami.”
Mendengar keterangan gadis Biauw hitam manis itu, hati Kang Hoo jadi berdebaran. Wajahnya merah matang.
“Hmmm. Kau malu.” seru Goat Khouw, “Gadis-gadis Biauw, memiliki sifat polos dan terus terang, dan ia boleh mencari jodohnya sendiri, kini pilihan jodohku terhadap dirimu, meskipun kau seorang pemuda Han, tapi mengingat kalau aku telah melepas budi padamu, apakah kau bisa menolak kehendak hatiku?”
“Aku tidak menolak,” seru Kang Hoo, “Tapi mana mungkin, aku nikah denganmu.”
“Jangan banyak putar lidah!” seru si gadis Biauw, “Kalau kau bersedia, jawab yang tegas. Kalau tidak itu berarti dagingmu akan kuserahkan pada binatang-binatang buas.”
“Soal kawin bisa diurus belakangan,” kata Kang Hoo, “Aku masih punya banyak urusan, ayahku dibunuh orang, dan aku di kejar-kejar golongan pembunuh-pembunuh itu. Lagi pula aku harus mencari isteri yang seagama dengan diriku.”
“Agama?” tanya Goat Khouw membelalakkan mata. “Apapun agamamu aku tidak perduli yang penting kau harus bersedia kawin denganku.”
“Tidak mungkin!” sela Kang Hoo, “Seorang perempuan yang menjadi isteriku harus seagama denganku. Kalau tidak mana mungkin.”
“Kalau begitu, aku bersedia menganut agamamu.” kata Goat Khouw tegas.
Mendengar kesediaan si gadis Biauw, hati Kang Hoo dibuat kebingungan, bagaimana seseorang bisa dengan mudah memeluk agama yang dipeluknya. Maka katanya,
“Itu juga tidak gampang.”
“Kalau begitu kau memang memilih jalan kematian, dikoyak binatang buas,” seru Goat Khouw marah.
“Jika Tuhan menghendaki aku binasa di tempat ini, tak seorangpun bisa menghalangi. Begitu pula sebaliknya, bila Ia menghendaki aku berumur panjang, apa artinya segala macam binatang buas, kau boleh suruh binatang-binatang buasmu itu membunuh diriku, aku ingin lihat apa yang mereka bisa kerjakan.”
Mendengar kalau Kang Hoo berkeras hati pada pendiriannya. Biauw Kouw mengkerut kening, kemudian katanya,
“Kau memiliki hati keras. Lebih keras dari pada batu. Tapi mau atau tidak kau mesti jadi suamiku.”
“Perempuan setan! Kau gila!” seru Kang Hoo, “Bagaimana seorang perempuan memaksa laki-laki menjadi suaminya?”
Goat Khouw tertawa cekikikan, “Hatiku telah memilih kau menjadi suamiku, hidup atau mati,” katanya. “Tentang cara untuk menundukkanmu, itu bukan urusan susah, tunggu sampai luka-lukamu sembuh benar, baru kau akan tahu bagaimana kau merayap mencariku......”
Mendengar ucapan itu, sebenarnya Kang Hoo ingin memaki gadis liar bangsa Biauw ini, tapi mendadak otaknya berpikir. Tidak guna ia panjang lebar tarik urat di tempat itu tunggu setelah luka-lukanya sembuh, ia akan segera mencari daya untuk dapat lolos dari cengkeraman gadis Biauw liar ini.
Mendapat pikiran begitu, Kang Hoo tersenyum katanya,
“Seseorang yang menjadi isteri dari golongan agamaku, ia juga mesti menganut agama yang kuanut. Pertama ia harus melakukan upacara khitanan. Kemudian mempelajari ayat demi ayat ajaran agama. Mentaati Hukum dan Rukun agama.....”
“Aku bersedia,” potong Goat Khouw, “Kau tunjukkan saja bagaimana harus mempelajari agamamu, upacara khitanan atau apa saja aku sanggup menjalankannya.....”
“Tidak begitu gampang,” seru Kang Hoo “Lebih-lebih, untuk mengkhitankanmu .... itu ......”
Kang Hoo tidak bisa meneruskan ucapannya, ia menahan rasa geli yang mendadak timbul di hatinya.
“Hei, kenapa?” tanya Goat Khouw, “Kau boleh segera khitan aku.”
“Gila . . . .” seru Kang Hoo, “Tabiblah yang melakukannya!”
“Kau bilang saja, apa itu khitan? nanti aku bisa cari tabib bangsa Biauw, menyuruh mengkhitankan diriku!”
Kang Hoo jadi gelagapan mendengar ucapan gadis itu, bagaimana ia menerangkan bagian anggota tubuh si gadis yang mesti dikhitan. Ia jadi melongo memandangi wajah ketololan gadis Biauw yang liar.
. “Bagaimana?” tanya Goat Khouw, “Apa kau juga sudah menjalani upacara itu?”
“Tentu,” jawab singkat Kang Hoo.
“Bisa kau tunjukkan.” pinta Goat Kouw.
Kang Hoo tersenyum, bagian tubuh yang dikhitankan itu adalah anggota rahasianya yang amat vital. Bagaimana ia mesti menunjukkannya di depan gadis ini, sambil menggeleng kepala ia berkata,
“Mana bisa, mana bisa, urusan bisa jadi lebih berabe lagi.”
“Bilang saja kau tidak menerima kehendakku!” bentak gadis Biauw, “Jangan lagi banyak bicara bertele-tele. Huh! Macam agama apa yang kau anut itu?”
“Nggg.....” dengus Kang Hoo. “Kau dengar baik-baik aku menganut ajaran Islam!”
Mendengar disebutnya agama tadi, wajah Goat Khouw sedikit mengkerut, seumur hidupnya baru pertama kali ini ia mendengar nama aliran agama itu. Setelah sekian saat memandang Kang Hoo iapun bertanya,
“Dari mana kau dapatkan ajaran agama itu?”
“Ayahku, almarhum berikan aku ajaran agama tersebut.” jawab Kang Hoo.
“Dan ayahmu, mendapat darimana?” tanya lagi Goat Khouw.
“Eh, untuk apa kau banyak bertanya tidak keruan, kalau kau hendak menganut agamaku, aku bisa memberikan kau pelajaran tapi......”
“Tapi apa pemuda Islam?” seru Goat Khouw.
“Sudahlah, kau jangan banyak bicara tentang urusan agama, karena aliran agama ini kemungkinan besar yang menyebabkan terjadinya teror terhadap ayahku. Ada suatu golongan melakukan teror!!!”
“Siapa menteror kalian?” tanya gadis Biauw.
“Orang-orang seragam berselubung hitam,”' jawab pemuda Islam Kang Hoo.
“Mereka juga manusia-manusia aneh,” gerutu Goat Khouw, lalu ia bangkit keluar goa meninggalkan Kang-Hoo.
Kang Hoo memandangi belakang tubuh Goat Khouw, berlenggak-lenggok keluar goa, bibirnya tersungging senyum. Entah apa yang dipikirkan si pemuda.
********endofbab8.2********



Bab 9
TANPA DIRASA dua hari telah dilewati.
Luka di punggung Kang Hoo sudah sembuh, tangan kanannyapun sudah bisa digerakkan dengan leluasa. Hanya pakaiannya masih itu juga, pakaian robek-robek penuh noda darah.
Selama dua hari itu dalam rawatan gadis liar bangsa Biauw, ia merasakan bagaimana gadis tadi begitu telaten dan telitinya menjaga dirinya. Hingga bagaimanapun kuatnya hati seorang pemuda, mendapat pelayanan demikian rupa, maka goyanglah pendiriannya.
Ia tidak bisa menolak dengan ketus permintaan gadis Biauw itu untuk menjadi suaminya, juga ia tidak bisa menerima begitu saja lamaran yang diajukan gadis tersebut.
Teringat bagaimana dirinya sampai berada di dalam goa dalam daerah perkampungan suku bangsa Biauw, Kang Hoo terkenang pada gadis baju merah yang pertama kali ia temui, dan gadis itupun pernah melepas budi menolong dirinya dari cengkeraman orang-orang seragam hitam.
Dua orang gadis sekaligus membayang dalam otaknya, ia membanding-bandingkan kecantikan kedua gadis itu. Mereka hampir memiliki perawakan dan potongan tubuh yang sama, berkepandaian silat sama tinggi, mereka hanya beda dari asal keturunan, satu dari suku bangsa Biauw, berkulit hitam manis dan masih liar, dan satu keturunan bangsa Han berkulit putih kekuningan. Kecantikan kedua gadis itu boleh dibilang masing-masing punya kelebihan dan punya kekurangan. Tapi keduanya cukup menarik dan membuat hati Kang Hoo terkenang dan terbayang-bayang.
Begitu kenangan wajah kedua gadis tadi berlalu dari rongga otaknya, Kang Hoo meneteskan airmata, ia terkenang akan ayah tercinta, tewas di bawah keganasan orang-orang berseragam hitam berselubung muka misterius. Dan yang lebih mengenaskan, kematian ayahnya mengalami proses pelumeran daging, akibat terkena cairan mayat seragam orang seragam hitam yang berhasil dibunuh sang guru.
Teringat akan suhunya Beng Cie sianseng yang selama sepuluh tahun lebih mengajarkan ia ilmu surat dan juga memberikan pelajaran ilmu silat secara diam-diam pada dirinya, Kang Hoo jadi menghela napas. Karena tak disangkanya suhunya itu seorang jago rimba persilatan yang menyembunyikan diri. Dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana ia melihat gerakan suhunya memainkan tongkat bambu tujuh ruas menghadapi orang seragam hitam, bahkan dengan bengis sang suhu menyuruh ia membunuh orang berseragam hitam, yang telah membunuh ayahnya. Kemanakah suhunya itu, siapakah sebenarnya Beng Cie Sianseng? Pertanyaan itu berkecamuk dalam rongga otak Kang Hoo. Karena terlalu memikirkan keadaan dirinya, Kang Hoo lupa ia sedang berada di tempat apa, ia melangkah keluar goa, ternyata hari sudah mulai sore.
Di luar sana, Goat Khouw dan binatang buas berbulu kuning itu tidak kelihatan di sana, suasana sore di depan goa sangat sunyi, hanya daun-daun pohon yang terus bergoyang tiada hentinya ditiup angin.
Kang Hoo maju ke depan dan berada di depan goa ia memperhatikan keadaan medan di sana, itulah sebuah hutan di bawah kaki gunung yang sunyi disaaa sini hanya tumbuhan lebat.
Lereng gunung ditumbuhi pohon-pohon lebat, jauh di atas puncak gunung, tampak kepulan awan mengambang memotong tengah-tengah gunung, hingga tak tampak sampai dimana tingginya puncak gunung itu, di utara dan timur masih terdapat puncak gunung yang menjulang tinggi.
Tanpa disadari, Kang Hoo melangkah mendaki lereng gunung, tubuhnya menerobos rimbunnya ranting-ranting pohon.
Selagi ia mendaki lereng gunung tanpa arah tujuan itu, mendadak di belakangnya terdengar suara orang memanggil,
“Kang Hoo....!”
Kang Hoo terkejut, ia menoleh ke belakang, suara itu sudah ia kenal, bagi telinganya suara tadi tidak asing lagi.
“Suhu ........” teriak Kang Hoo berlari datang.
Orang yang berteriak memanggil ternyata adalah si orang tua Beng Cie Sianseng, di punggungnya tersembul ujung bambu tujuh ruasnya. Ia cepat menghampiri Kang Hoo serunya,
“Ayo berangkat! Gadis liar itu sedang mengadakan persiapan pesta besar di kampung Biauw.”
“Aaaaah......jadi, ia benar-benar ingin melaksanakan niatnya?” tanya Kang Hoo.
“Ayo berangkat! Jangan banyak tanya lagi!” seru Beng Cie sianseng. “Belum waktunya kau mengurusi perempuan!”
“Suhu.....” seru Kang Hoo, sambil jalan terus ke atas lereng gunung, “Gadis itu meskipun liar, tapi ia telah melepas budi menolong diriku.”
“Aku tahu! Ia juga cukup cantik!” kata Beng Cie sianseng, menarik tangan Kang Hoo, mempercepat jalannya, “Berhari-hari aku mencari jejakmu, beruntung di tengah jalan aku bertemu dengan gadis baju merah, ia menceritakan bagaimana kau di bawa terbang oleh perempuan Biauw, maka dari keterangannya, aku menyusul ke daerah ini.”
“Suhu pernah berjumpa dengannya?” tanya Kang Hoo sambil mempercepat langkah kakinya.
“Nggg ..... apa benar, ia pernah menolong dirimu dari kurungan orang-orang seragam hitam?!” tanya sang suhu.
“Benar. Dia penganut ajaran Budha.” jawab Kang Hoo.
“Jangan bicara soal Budha atau apapun, kau lupakan semua itu, yang perlu selamatkanlah dirimu.” kata Beng Cie sianseng dengan suara agak marah, “Selama ini aku hanya menurunkan ilmu silat kosong, tiada artinya untuk menghadapi manusia-manusia kukuai rimba persilatan. Itu karena aku menghormati ayahmu, yang tidak menghendaki kau mempelajari ilmu silat. Bila kita berhasil keluar dari tempat ini, maka kau harus memperdalam ilmu silatmu. Dan kau juga harus berusaha membasmi perkumpulan Kalong itu guna membalas sakit hati ayahmu.”
Sambil lari menerobos semak-semak belukar mereka bicara perlahan.
“Suhu, tapi agama melarang aku membunuh!” kata Kang Hoo setelah ia mendengar perkataan suhunya agar membalas dendam.
“Anak tolol. Dalam agama yang kau anut itu, memang dilarang membunuh, tapi untuk melakukan Darul dan mempertahankan serta menegakkan agama kalau perlu melakukan perang.”
“Perang?” tanya Kang Hoo kaget. “Dari mana suhu tahu.”
“Lama aku mengikuti jejak ayahmu, aku juga pernah mendengar ketika ayahmu mendapat pelajaran agama itu dari seorang tua bersorban, ketika itu usiamu masih tiga tahun. Orang tua itu bercita-cita untuk melakukan Darul Islam!”
“Jadi suhu sudah lama mengenal ayah,” tanya Kang Hoo. “Dan apa itu Darul Islam?”
“Mengembangkan agama. Kalau perlu dengan perang!” jawab Beng Cie sianseng “Sebenarnya ayahmu seorang pembesar negeri yang bijaksana. Aku senang dengan dirinya. Dan aku bersedia menjadi budaknya.”
“Hmm kemana kita?” tanya Kang Hoo sambil terus lari menerobos ranting-ranting pohon.
“Meninggalkan daerah ini sejauh mungkin,” jawab sang suhu sambil menoleh ke belakang, “Gadis liar itu telah melepas budi padamu, dan bilamana kehendaknya tidak kau penuhi, ia bisa membunuh kau. Dari kalau sampai terjadi demikian itulah kejadian yang sangat membingungkan, kita tidak bisa melukai dirinya, lebih-lebih membunuhnya, orang yang telah melepas budi, kita harus ingat atas budi itu.”
Tanpa dirasa mereka menyusuri bukit-bukit pegunungan penuh gerombolan pohon itu, hari pun sudah mulai gelap.
Sambil lari menerobos hutan Kang Hoc berkata,
“Sebentar lagi malam tiba.”
“Dalam keadaan gelap, menguntungkan kita.” jawab Beng Cie Sianseng.
Angin malam berhembus, hawa udara yang mulai dingin, bertambah dingin lagi, lebih-lebih keadaan Kang Hoo yang sebagian besar bajunya telah robek akibat serangan pedang orang-orang seragam hitam, siliran angin tadi menusuk-nusuk bekas luka-lukanya.
Dalam cekaman hawa dingin tadi, mendadak saja terdengar suara tetabuhan alat musik sayup terdengar mengumandang ke seluruh lereng gunung.
Beng Cie sianseng mendengar suara tetabuhan alat musik itu, ia jadi melengak, begitu pula Kang Hoo, ia menatap wajah sang suhu.
“Eh, suara musik apa?” Tanya Kang Hoo.
“Gadis liar tadi rupanya telah menyiapkan pesta kawin untukmu. Ia sudah kembali ke goa untuk menyambut pengantin laki-laki, Kau lihatlah, di bawah sana bukankah di depan goa dimana kau tinggal, itu nyala-nyala api obor menerangi keadaan. Kau kira betapa marahnya gadis itu, begitu melihat kau tak ada di dalam goa!”
Hoo tertawa, “Dia liar tapi lucu sekali. Bagaimana membikin pesta kawin tanpa menunggu persetujuan laki-laki.”
“Kau jangan banyak bicara! Cepat jalan!” bentak Beng Cie sianseng.
Sementara itu, rombongan musik yang telah disiapkan oleh Goat Khouw untuk menyambut pengantin laki telah berbondong-bondong datang ke depan goa. Obor-obor membuat keadaan gelap di depan goa jadi terang benderang.
Empat orang laki-laki Biauw berwajah hitam menggotong sebuah joli yang terhias bunga-bunga serta lukisan khas suku bangsa Biauw, di belakang penggotong tandu berbaris rombongan seni musik.
Di belakang barisan rombongan alat musik, tampak berlerot barisan binatang-binatang buas peliharaannya Goat Khouw.
Di depan pintu goa, Goat Khouw sudah dandan demikian rupa, ia memerintahkan beberapa orang pelayan laki-laki membawa satu perangkat pakaian kemantin baru. Agar mereka menggantikan pakaian Kang Hoo di dalam goa. Sementara itu, Goat Khouw dan rombongannya menunggu berdiri di depan pintu goa.
Tiga orang laki Biauw memasuki goa, mereka membawa sebuah obor, tugas mereka menggantikan pakaian Kang Hoo yang sudah robek-robek itu, dan meriasi si pemuda menjadi kemantin laki-laki kemudian membawa si pemuda keluar lalu dengan tandu ia akan dibawa ke perkampungan Biauw untuk me-lakukan pesta perkawinan.
Lama Goat Khouw menunggu di luar, hatinya sudah gelisah benar. Ingin lekas memandang wajah sang kekasih yang sudah dandan rapi.
Suara musik tetabuhan bangsa Biauw terus mengumandang dimalam hari, rembulan yang mulai bundar sudah nongolkan dirinya, mengintip peristiwa malam di atas dunia.
Tak lama tiga orang laki-laki Biauw sudah jalan keluar, salah seorang membawa obor, wajah mereka agak cemas. Dan dua orang lainnya, dengan masih membawa buntalan pakaian lari mendekati Goat Khouw, katanya perlahan,
“Di sana tak ada orang!”
“Hah!” Goat Khouw kaget, ia lari mengambil sebuah obor, lalu memasuki goa.
Begitu berada di dalam goa mendadak saja ia membanting-banting kaki, gerutunya,
“Laki-laki terkutuk! Dengan baik hati aku merawatmu. Kini kau kabur meninggalkan aku hmmm. Rupanya kau telah terpincuk dengan perempuan baju merah itu. Biar kelak akan kubunuh ia agar kau bisa tahu siapa aku!”
Goat Khouw yang mendapatkan goa sudah kosong, ia jadi marah tidak kepalang, karena kemarahannya itu, telah terbetik rasa cemburunya, bukankah di dalam hutan rumput alang-alang itu, si nona baju merah Siong In juga berusaha untuk menolong diri Kang Hoo dari tangan maut. Maka berpikir begitu kemendongkolannya merembet diri Siong In.
Setelah menggerutu di dalam goa, Goat Khouw lari keluar, ia melempar obor di dalam goa.
“Kalian balik ke perkampungan.” Teriak Goat Khouw pada rombongannya, “Pesta dibatalkan.”
Semua orang-orang laki perempuan jadi terheran-heran mendengar perintah si nona, mereka melompongkan mulutnya, suara musikpun sirap seketika.
Goat Khouw tidak memperdulikan rombongan kesenian itu, dengan wajah merah penuh kemarahan ia bersiul.
Suara siulan si nona liar mengumandang angkasa malam. Dan tak lama di atas udara di bawah sinar rembulan, tampak meluncur lima titik bayangan hitam menukik ke bawah, lima titik bayangan hitam tadi kian lama kian jelas bentuknya itulah lima ekor burung aneh. Mereka berterbangan di atas kepala Goat Khouw.
Goat Khouw mendongak kepala ke atas kemudian, ia bersiul lagi, suara siulan itu panjang pendek seperti suara burung.
Lima ekor burung aneh, mendengar suara siulan itu mereka terbang berpencaran ke setiap pelosok rimba.
Setelah memerintahkan kelima burung-burungnya, Goat Khouw bersiul lagi, suara siulannya disusul dengan terdengarnya suara gerengan-gerengan binatang buas, memenuhi hutan di depan goa.
“Ui-jie,” seru Goat Khouw begitu ia menampak binaiang orang hutan bulu kuning jalan menghampiri. “Kau panggil Toa sian-seng.”
Mendengar perintah si nona, orang hutan bulu kuning mengeluarkan suara pekikan, lalu ia lompat lari memasuki hutan. Dan tak lama kemudian sudah balik kembali dengan seekor orang hutan hitam berbadan besar, tubuh orang hutan itu dua kali lebih tinggi dan lebih besar dari pada orang hutan bulu kuning.
Ternyata yang dimaksud dengan Toa sian-seng adalah itu orang hutan hitam besar.
Di depan si nona Biauw, orang hutan besar Toa sianseng mulutnya cengar cengir, kepalanya miring ke kiri ke kanan memandang Goat Khouw.
“Kurang ajar, kau jangan cengar cengir!” bentak Goat Khouw, “Ayo ikut aku, kalian harus bekuk itu laki-laki Han. Kalau ia tidak mau kawin denganku, biar kuserahkan padamu. Rupanya ia lebih suka memilih kau dari pada menikah dengan aku.”
Toa sianseng yang baru datang mendengar ocehan Goat Khouw lompat kegirangan, mulutnya mengeluarkan suara pekik-pekikan.
“Jalan!” bentak Goat Khouw.
Maka kedua orang hutan itu tak berani membantah perintah majikan perempuannya, mereka pada jalan mendaki lereng gunung.
Rupanya si toa sianseng itu adalah orang hutan betina, ia jadi girang mendengar akan diberi seorang laki-laki untuk menghiburi dirinya.
Sebenarnya sifat orang hutan perempuan besar itu sangat buas, ia tidak boleh melihat laki-laki cakep, pasti laki-laki itu diterkam. Maka jika tidak perlu betul menggunakan tenaga orang hutan yang diberi nama Toa sianseng itu, ia jarang mengajaknya bepergian. Karena diantara sekalian binatang-binatang, Toa siansenglah yang paling susah diatur.

Bab 10
DENGAN menarik tangan Kang Hoo, menerobos gerombolan-gerombolan pohon di lereng gunung itu Beng Cie sian-seng berkata,
“Cepat perempuan itu sudah mengetahui kau tidak berada di dalam goa.”
Kang Hoo yang lari terseret-seret oleh suhunya, berkata,
“Suhu, jarak yang telah kita lalui cukup jauh, dalam keadaan malam begini kukira tak mungkin dengan mudah ia menemui jejak kita. Untuk apa mesti menyeret-nyeret diriku. Duri-duri semak belukar telah melukai tubuhku. Jangan-jangan aku bisa mengalami luka bernanah.”
“Kau mana tahu, jarak dan waktu untuk gadis liar itu tidak ada artinya, Kau lihat di atas sana. Kau lihat dengan teliti.”
Kang Hoo menengadah ke atas, memandang langit yang bening bercahayakan sinar rembulan.
“Bintang bertebaran!” seru Kang Hoo.
“Tolol.” bentak Bersg Cie sianseng. “Aku bukan suruh kau lihat bintang! Itu binatang yang terbang di atas kepalamu,”
“Aaa, burung itu.” seru Kang Hoo.
“Anak tolol.” kata Beng Cie siansent, “Itulah sejenis burung aneh, diwaktu malam matanya dapat melihat apapun dengan jelas. Itulah tentunya piaraannya gadis liar bangsa Biauw. Ia diperintah mencari jejak kita!”
Mendengar keterangan suhunya, Kang Hoo jadi kaget, ia mendongak terus ke atas memperhatikan burung yang terbang di angkasa, tampak burung tadi terbang berputaran di atas kepala mereka.
“Eh, suhu, melihat gerakan terbang burung sial itu, ia sudah tahu kita berada di sini.”
“Hmmm . . .” gumam Beng Cie sianseng, “Nah kau lihat ia menukik rendah.”
Berbarengan dengan ucapannya, Beng Cie sianseng, memotong sebatang ranting pohon dijadikan tiga potong, lalu menunggu burung tadi menukik rendah, ia melempar ketika potongan ranting pohon itu ke udara menyambar burung yang sedang terbang menukik.
Di bawah sinarnya rembulan, tampak tiga batang warna hitam meluncur ke atas, menuju burung aneh yang sedang menukik terbang turun.
Kang Hoo terus memandang ke atas, ia bisa melihat bagaimana tiga batang ranting kayu yang dilempar oleh suhunya itu meluncur ke atas, sedang dari atas udara, tampak itu burung hitam meluncur ke bawah. Dan buah benda luncuran itu saling mendatangi.
Burung tadi seperti tidak melihat adanya serangan yang datang dari bawah, ia masih terus terbang menukik turun, sedang tiga batang potongan kayu yang dilempar ke udara oleh Beng Cie sianseng seperti tiga buah titik hitam yang meluncur ke atas menuju satu titik sasaran. Tampak jelas bagaimana semakin tinggi tiga potongan kayu itu seakan bergerak melancip mengarah pada burung aneh.
“Heheheheheeee . . .... burung itu segera mampus,” kata Kang Hoo, “Badannya segera akan ditembus tiga potong ranting pohon,”
Berbarengan dengan akhir ucapan Kang Hoo, terdengar suara pekik burung di atas langit. Burung tadi kembali mencelat ke udara, kemudian terbang miring, mengelakkan datangnya serangan tiga ranting pohon.
Kang Hoo jadi melengak kaget, tiada disangka, kalau burung tadi berhasil mengelakkan sambaran tiga potong ranting kayu.
“Huhhh!” seru Beng Cie sianseng, “Ayo cepat lari. Burung itu pasti balik memberitahukan majikannya, Kalau saja ia berhasil mengejar jejakmu, itulah membuat kepalaku pusing tidak keruan macam.”
“Mengapa harus pusing-pusing?” kata Kang Hoo.
“Anak tolol! Kau kira perempuan liar itu mau mengerti begitu saja atas kaburnya kau dari goa tadi. Pastilah ia akan membalas dendam sakit hatinya. Entah rencana apa yang telah ia siapkan untuk menyiksa dirimu. Kalau saja ia belum pernah menolong dirimu, itu bukan persoalan. Tapi gadis liar itu bukankah pernah memberikan rawatan dan pengobatan. Kita mesti bertindak bagaimana menghadapi sifat-sifat aneh gadis liar itu, juga kau harus tahu suhunya .... suhunya .... aih .... urusanmu ini mengapa begitu banyak keruwetan . . .”
“Suhu jangan kuatir,” kata Kang Hoo, “Serahkan aku untuk menyelesaikan urusan ini dengan gadis liar itu. Atau suhunya.”
“Hmmm. Suhunya lebih gila lagi.” kata Beng Cie Sianseng. “Nah, di atas sana ada sebuah goa, sebaiknya kita tunggu kedatangan mereka di dalam goa itu.”
Kang Hoo mengikuti arah yang ditunjuk sang suhu, di atas lamping batu terdapat sebuah goa kemudian katanya,
“Kita lari saja terus.”
“Mana mungkin, burung itu akan membawa gadis liar itu ke tempat kita, ia akan terus mengejar, dan dalam kejar mengejar ini, pastilah akan banyak menghabiskan tenaga, sedang ia sendiri, di belakang gadis itu masih banyak terdapat binatang-binatang buas. Bagaimana kau kira untuk menghadapi mereka setelah kita kehabisan tenaga. Maka lebih baik kita menunggu saja kedatangan mereka di dalam goa itu. Dengan begitu kita tidak membuang tenaga percuma. Juga keadaan goa sangat menguntungkan, mereka bisa menyerang dari depan, tapi tak bisa melakukan serangan bokongan dari be-lakang.”
Mendengar keterangan sang suhu, Kang Hoo diam-diam memuji kecerdikan gurunya, langkah kakinya dipercepat merambat naik ke atas lamping batu di mana terdapat lubang goa.
Baru saja mereka tiba di atas lamping batu di depan lubang goa, mendadak dimalam rembulan itu terdengar sayup-sayup suara seruling.
Di depan lubang goa Beng Cie sianseng menahan langkah, ia memegang lengan Kang Hoo, katanya,
“Kau dengar suara seruling itu?”
Kang Hoo mengangguk.
“Suara itu datangnya dari atas puncak gunung,” guman Beng Cie sianseng “Entah manusia aneh mana lagi yang muncul di tempat begini sunyi.”
Setelah bergumam begitu, ia menarik ujung tongkat bambu yang tersembul di belakang gegernya.
“Eh,” Kang Hoo heran melihat tongkat bambu itu, karena kini suhunya bukan memegang sebuah tongkat bambu tujuh ruas seperti ia pernah lihat. Itulah sebilah pedang. Gagang pedang terbuat dari ruas bambu. Sedang sarung pedang terbuat dari kulit.
“Kau minggir!” seru Beng Cie sianseng menarik pedang dari serangkanya.
Kang Hoo melangkah mundur, menyaksikan sang suhu, dengan pedang terhunus memasuki lubang goa. Dan tak lama kemudian terdengar dari dalam goa sang suhu berteriak memanggil.
“Masuklah!”
Kang Hoo melangkah masuk, ternyata goa tadi sempit, karena sinar bulan tak dapat memasuki lubang goa, maka dalam goa itu sangat gelap.
Berbarengan dengan masuknya Kang Hoo ke dalam goa, di tengah udara terdengar suara pekikan burung memecahkan suara irama seruling.
Mendengar suara pekikan itu Kang Hoo menoleh ke arah sang suhu, kemudian ia jalan ke mulut lubang goa, mendongakkan kepala ke atas.
Di tengah udara melayang lima ekor burung besar, di bawah sinarnya bulan, bulu-bulu burung yang lebar, berkilauan memantulkan cahaya bulan. Berputaran terus di atas udara di depan lubang goa dimana Kang Hoo dan suhunya ngelepot di dalamnya.
“Aneh, mengapa ia tidak segera turun,” kata Kang Hoo “Bukankah burung kecil itu sudah mengetahui kita berada di sini.”
Beng Cie sianseng memegang pedangnya, memandangi ke atas angkasa, dari kelima burung tadi, tampak seekor yang terbesar, di atas punggung burung itu duduk seorang gadis. Itulah Goat Khouw dengan rambutnya yang riap-riapan ditiup angin.
“Suhu, dia mau tunggu apa lagi.” tanya Kang Hoo “Eh, suara seruling itu masih terus mengumandang!”
“Lihat saja, permainan apa yang diperlihatkan perempuan Biauw itu.” kata Beng Cie sianseng.
Kang Hoo terus memandang ke angkasa di mana burung-burung itu beterbangan terus, dan mendadak saja terdengar suara teriakan dari gadis Biauw di atas punggung burung yang melayang berputaran.
“Pemuda dungu! Dengar! Kau mengkhianatiku. Kau tidak suka kawin denganku. Nah, binatang-binatang buasku akan segera membuat kau menjadi pengantin dari seekor orang hutan perempuan!”
Kang Hoo mengenali suara itu, itulah suaranya Goat Khouw. Ia memandang sang suhu. Tapi suhu itu hanya menggeleng kepala saja. Tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Dari atas angkasa, terdengar suara tertawa cekikikan gadis Biauw, disusul dengan ucapannya,
“Hai, mengapa kalian terlambat. Ayo, tangkap orang itu, bikin upacara perkawinan. Hai Toa sianseng......”
Berbarengan dengan suara ucapan dari angkasa, di bawah lereng gunung terdengar suara gerengan-gerengan binatang buas, sedang di atas angkasa suara suling masih terdengar terus.
Mendengar suara gerengan-gerengan binatang buas itu, Beng Cie sianseng, menoleh ke arah Kang Hoo, katanya,
“Kau tunggu di dalam!”
Belum lagi Kang Hoo mengerti maksud kata-kata suhunya, sang suhu sudah lompat turun ke bawah tebing memasuki semak belukar.
Dari atas lobang goa Kang Hoo memandangi kepergian suhunya itu. Ia menunggu selama awan beriring menutupi rembulan, begitu sinar rembulan memancar kembali, sang suhu sudah lari datang, di tangan kirinya membawa dua batang kayu.
“Kau gunakan pedang ini.” kata Beng Cie sianseng ia lompat naik masuk dalam lubang goa. “Bunuh saja setiap binatang yang coba menerjang masuk.”
Setelah berkata begitu, orang tua tadi, menggunakaa dua potong kayu di tangan kanan dan kiri sebagai senjata
Baru saja Kang Hoo menerima pemberian pedang bergagang bambu itu, dari dalam gerombolan pohon di bawah lubang goa keluar dua sosok tubuh orang hutan, satu berbulu kuning. Itulah orang hutan yang bernama Ui-jie. Dan satu lagi berbulu hitam, badannya tinggi besar, dua kali lebih besar dari orang hutan bulu kuning. Pada kedua dadanya tampak mendoyot dua buah susunya. Di belakang kedua orang hutan tadi terdengar suara gerengan-gerengan binatang-binatang buas yang terus menggereng, membuat suasana malam dalam rimba itu jadi berisik, mereka seperti mengurung medan di bawah lamping batu di depan lubang goa. Sedang itu dua binatang orang hutan dengan lenggak lenggok, jalan mendatangi. Inilah gaya Toa sianseng yang khas!
Kang Hoo melihat kedua orang hutan itu, hatinya sudah bergidik, meskipun tangannya mencekal pedang, mengingat kekuatan terjangan seekor orang hutan bulu kuning saja ia sudah tak sanggup hadapi. Apalagi kini mesti menerima serangan dari dua orang hutan.
“Kau hadapi yang kuning.” seru Beng Cie Sianseng, “Dan yang betina ini serahkan padaku.”
Baru saja, Beng Cie sianseng berkata sampai di situ, mendadak saja, dari atas udara meluncur tiga batang sinar emas menyerang ke arah dadanya.
Beng Ce sianseng kaget, ia tidak tahu dari mana munculnya tiga batang sinar emas itu, panjangnya hanya sejengkal meluncur ke arah dada.
Berbarengan dengan luncuran tiga sinar emas menyerang dada Beng Cie sianseng, dari atas angkasa terdengar suara tertawa cekikikannya gadis Biauw di atas punggung burungnya, disusul dengan suara kata-katanya,
“Tua bangka, kau turut campur urusanku hehihihiheeee........”
“Perempuan liar.” gerutu Beng Cie sianseng sambil mengelakkan datangnya serangan tiga batang sinar keemasan itu.
Kalau saja gerakan Beng Cie sianseng kurang cepat, pastilah ketiga serangan batang sinar emas tadi akan membentur dadanya. Tapi dengan ringannya ia telah berhasil mengelakkan datangnya serangan luncuran sinar emas itu dengan memiringkan badannya ke samping. Berbarengan mana batang kayu di tangannya diayun membentur ketiga batang sinar emas itu.
Tapi benturan kayu itu tidak mengenai sasaran. Karena ketiga sinar emas itu sudah meluncur lewat, dan membentur dinding batu belakang goa.
Sementara itu dua ekor orang hutan yang juga melihat adanya serangan sinar emas tadi mereka tak meneruskan langkahnya. Berdiri di bawah pohon menyaksikan gerakan ketiga batang sinar emas itu. Tampaknya mereka seperti takut menghadapi tiga batang sinar emas tadi. Tampak dari keadaan diri mereka yang pada merengket di bawah pohon.
Kang Hoo juga melihat adanya itu serangan tiga batang sinar emas. Semula ia ingin berteriak memperingatkan sang suhu, tapi gerakan suhunya lebih cepat, mengelakkan datangnya serangan tadi. Ketika ia melihat ke arah kedua orang hutan di bawah sinar bulan, kedua orang hutan itu seperti merengket. Ketakutan di bawah pohon. Hingga mereka tidak berani maju mendekati.
Sementara itu, Beng Cie Sianseng baru berhasil mengelakan serangan tiga batang sinar emas ke arah dadanya. Dan ketika serangan batang kayunya tidak berhasil membentur tiga batang sinar emas itu. Ia jadi tersentak kaget.
Di dalam goa itu keadaannya gelap, sedang sinarnya rembulan tidak dapat menembusi ruangan goa itu, tapi senjata sinar emas yang membentur batu goa dinding itu begitu membentur lantas melekat, tampak sinar emas tadi seperti hidup, bergerak perlahan.
Beng Cie sianseng melihat kejadian itu, melangkah mundur setindak, serunya,
“Ular mas!!!!”
“Suhu, biar kubunuh binatang melata itu.” seru Kang Hoo melangkah maju.
“Diam! Jangan bergerak!” kata Beng Cie sianseng mendorong mundur badan Kang Hoo dengan tongkat kayu. “Tiga binatang ini sangat berbisa. Tinggalkan goa.”
Berbareng dengan ucapan Beng Cie sianseng, tubuhnyapun sudah lompat turun keluar goa. Diikuti lompatan Kang Hoo.
Begitu mereka lompat keluar, dua orang hutan yang sejak tadi merengket di bawah pohon, mendadak mengeluarkan pekikkan, seekor orang hutan besar bersusu lari ke arah Kang Hoo, dan yang berbulu kuning menerkam Beng C e Sianseng.
Beng Cie sianseng telah siap dengan dua potong kayu pohon itu, ia segera menyambut dengan kemplangan kedatangan orang hutan bulu kuning. Tapi orang hutan bulu kuning juga cerdik, ia tidak mau kepalanya terkena kemplangan orang. Sambil memekik lompat mundur.
Sementara itu, si orang hutan raksaksa dengan cengar cengir memandangi Kang Hoo. Di tangan si pemuda mencekal pedang ia menuding-nuding orang hutan itu dengan ujung pedang.
Dari atas angkasa kembali terdengar suara tertawa gadis Biauw di atas punggung burungnya, disusul dengan ucapannya,
“Hai! Pemuda, percuma pedangmu menghadapi orang hutan betina itu, tangan-tangan berbulunya keras bagaikan baja, beruntung ia begitu melihat wajahmu sudah jatuh cinta, heeeeeheheeeeeee.... bukankah ia saat ini sedang memandangmu sambil tersenyum girang. Nah kau nikmatilah kemantin perempuan itu. Heeeheee.....”
Mendengar suara si gadis Biauw, hati Kang Hoo mendongkol, teriaknya,
“Gadis liar. Hmmm.....”
Tapi hanya itulah yang bisa keluar dari mulut Kang Hoo, karena mendadak saja ia melihat mulut orang hutan besar itu sedang cengar cengir mendatanginya, dan kedua tangan orang hutan perempuan itu menggaruk-garuk selangkangannya.
“Kang Hoo!” seru Beng Cie sianseng yang terus menempur orang hutan bulu kuning, “Gunakan pedang itu, tusuk matanya dan kau lari kabur!”
Mendengar teriakan sang suhu, Kang Hoo sadar, ia tidak boleh bertindak ayal, kalau tidak tentunya keadaannya akan lebih runyam lagi. Lebih-lebih melihat bagaimana orang hutan besar bersusu itu, tidak henti-hentinya cengar cengir terus sambil menggaruk-garuk selangkangannya yang penuh bulu lompat-lompatan di depan dia, rupanya si orang hutan perempuan tidak pandang mata dengan pedang yang diarahkan pada dirinya, ia lebih tertarik dengan ketampanan wajah Kang Hoo, hingga sifat nafsu binatangnya telah memuncak ke otak sampai ia tak henti-henti terus menggaruk-garuk selangkangan. Entah benda yang digaruk-garuk itu terasa gatal ataukah bagaimana Kang Hoo tidak mengerti. Yang mengerti hanyalah si orang hutan perempuan itu sendiri yang nafsu sexnya sudah mengalir dalam darah binatangnya.
Begitu Kang Hoo mendapat teguran sang suhu pedangnya cepat ditusukkan ke arah biji mata si orang hutan yang mengkilat berputaran.
Orang hutan itu mendapat serangan tusukan ujung pedang, ia tidak mengelak dengan tangannya. Tangan itu masih terus menggaruk-garuk, ia hanya memiringkan kepala ke samping, lalu lompat maju ke depan. Dengan gerakan itu orang hutan tadi berhasil mengelakkan tusukan ujung pedang.
Serangan tusukan pedang begitu dapat dielakan oleh orang hutan perempuan itu, Kang Hoo menarik pedangnya, ia hendak mengulang serangannya, tapi mendadak saja, orang hutan yang baru saja berhasil me-ngelakkan serangan pedang, menubruk maju ke arah batang pedang, lalu dengan dagunya ia menjepit batang pedang itu, kemudian badannya lompat ke atas.
Kang Hoo jadi kaget, ia membetot pedang tadi, tapi jepitan leher orang hutan betina itu sangat keras, belum lagi ia berhasil menarik pedangnya, mendadak saja orang hutan tadi sudah lompat ke atas. Karena gerakan lompatan itu, maka pedang yang masih terjepit pada leher orang hutan tadi juga turut terbawa naik. Dan saat itu Kang Hoo sudah dibuat bingung dengan gerakan aneh orang hutan perempuan tadi, ia melepaskan cekalan pedang dan lompat mundur.
Berbarengan dengan gerak kaki Kang Hoo yang lompat mundur, mendadak saja sepasang kaki orang hutan perempuan yang lompat ke atas tiba-tiba menendang ke muka Kang Hoo. Si pemuda yang sedang kebingungan, mendapat tendangan kaki orang hutan perempuan tadi ia tak dapat mengelak, dan keningnya terhajar tendangan kaki berbulu itu. Kang Hoo mundur sem-poyongan lalu jatuh terguling.

2 komentar:

  1. ini rupanya cerita untuk menjelekkan Islam ya....

    BalasHapus
  2. ini cerita anti Islam tapi ditutupi seolah cerita silat ya...dasar cina2 anjing.

    BalasHapus