"Jangan ngelantur! Hunuslah senjatamu!” bentaknya.
"Crang” sekali, Kim-liong-cee-hwee-kiam keluar dari
serangkanya.
"Ya, tapi baik2lah sekali ini!"
Pertarungan mengadu senjata melanjuti pertarungan bertangan kosong,
lebih hebat dan berbahaya sepuluh kali.
Pedang Kiu Heng memutar bulat memancarkan sinar berkilauan,
sedangkan si orang tua memainkan huncwenya dengan gapah.
Sewaktu Kiu Heng melancarkan jurus Sin Liong Cut Hay (naga sakti
keluar dari laut), si orang tua membalas dengan jurus Tui Cong Bong Goat
(mendorong jendela menatap rembulan), dengan demikian, serangan Kiu Heng kandas
tak berbekas. Menyusul terlihat si orang tua mengebutkan huncwenya menotok ke
timur, membabat ke barat, tampaknya seperti sedang mabuk arak, dan kesurupan
pula yang sering disebut kelakuan orang yang angin2an, gerak lengannya tidak
tampak terlalu cepat tapi gaya kekuatannya bukan main kerasnya, membuat orang
kaget dan bergidik.
Menghadapi ilmu lawan yang luar biasa aneh ini, Kiu Heng tidak
menjadi gentar, dengan cepat lengan kirinya mengebut, si orang tua
berjingkrak2an seperti kelabakan. Tapi setiap jepitan jarinya dapat memecahkan
serangan si orang tua sehingga luput dari bahaya.
Tu Pei Lojin merasa kagum dan heran, tapi tidak bisa berpikir
terlalu lama karena serangan Kiu Heng kembali datang.
Pertarungan berlangsung terus penuh kehebatan dan mendebarkan
jantung. Tiga ratus jurus berlalu tanpa dirasai mereka.
"Kalau begitu terus, aku tidak bisa menang!" pikir Kiu
Heng, "aku harus menggunakan llmu yang terlihay dari pelajaran yang
terdapat di Bu Lim Tiap!"
Begitu habis berpikir, segera ia berseru: "To Cianpwee,
awas!" seiring dengan peringatan nya, jurusnya segera berubah, tubuhnya
merapung ke udara, lalu menukik turun dengan deras, lengan kiri dan lengan
kanan yang berpedang dipergunakan berbareng dengan jurus Siang-ma-in-coan
(sepasang kuda minum di mata air), langsung menikam dan mengeprak si orang tua.
Tanpa ragu si orang tua melancarkan keahliannya dengan jurus Hoo
I.ui Wan Tie (burung Hoo menangis, orang hutan menjerit), memecahkan serangan
dahsyat lawannya.
Kiu Heng membarengi lagi dengan serangan Keng Liong Cin Kau yang
ampuh, memaksa si orang tua mundur beberapa langkah, dengan demikian ia menang
di atas angin, sampai To Pei Lojin hanya bisa menangkis tanpa bisa menyerang
lagi.
Sungguhpun demikian, benteng pertahanan To Pei Lojin luar biasa
ampuhnya, huncwenya diputar demikian macam, niscaya setitik air pun tidak bisa
tembus. Serangan ber-tubi2 yang ampuh maupun yang ganas dari Kiu Heng tak
berdaya menjebolkan benteng pertahanan musuh, sehingga berkutet terus menerus
tanpa sudah-sudahnya.
Beberapa jam kembali berlalu, parkelahian berubah dari gencar
dan seru menjadi lambat dan ayal, tak ubahnya seperti hujan ribut yang sudah
reda.
To Pei Lojin melawan terus dengan alot dan gerakan lambat
seperti kecapaian. Sebaliknya Kiu Heng yang sudah menerima tenaga luar biasa
dari pedang peninggalan Cie Yang Cinjin, dan separuh tenaga Kong Tat serta
tenaga Ang Hou Kek dari batu hijau, ditambah sering meminum madu lebah hitam
yang berkasiat, tenaganya tetap kuat.
"Mungkinkah bocah ini terbuat dari besi dan baja? Kenapa ia
kuat betul dan tidak terlihat letih?” pikir To Pei Lojin dengan heran.
"To Cianpwee, terimalah serangan ini!"seru Kiu Heng.
Suara tiba pedang sampai, menjurus lurus ke arah dada dengan
kecepatan kilat. To Pei Lojin tidak berani menangkis dengan kekerasan, tubuhnya
miring menghindarkan ujung pedang. Begitu serangannya mengenai angin, Kiu Heng
mengubahnya dengan cepat, Kim-liong-cee-hwee-kiam tidak ditarik, melainkan
dipakai menyerang terus, seperti bayangan mengikuti tubuh si orang tua.
Dengan cepat To Pei Lojin menangkis, lalu mencelat pergi
beberapa tambak dengan gerak ayal2an. Tiba2 si orang tua merasakan di bawah
ketiaknya hawa yang dingin, sewaktu menundukkan kepala menegasi, bajunya sudah
pecah tergores pedang.
"To Locianpwee, bagaimana? Apakah mengaku kalah? Kalau
masih penasaran mari kita lanjutkan lagi!” tantang Kiu Heng sambil ber-gelak2.
"Siau-ko mempunyai tenaga yang sakti sekali, aku menyerah
kalah! Pepatah mengatakan, gelombang Sungai Tiang Kang yang belakang mendorong
yang di depan, yang baru menggantikan yang tua, aku menyerah kalah!"
"Benar2kah kau mengaku kalah atau pura-pura kalah?"
tanya Kiu Heng sambil menyimpan pedangnya ke dalam serangka.
"Kecil2 sudah mengetahui banyak istilah, aku tidak mengerti
apa yang dinamai benar2 menyerah dan apa yang dinamai pura2 menyerah!"
kata To Pei Lojin.
"Lagipula kalau benar2 menyerah bagaimana? Sebaliknya
bagaimana?”
"Kalau pura2 menyerah perkelahian ini cukup sampai di sini,
kemudian hari siapa pun tidak boleh mencoba merintangi atau mengganggu satu
sama lain, lagi pula aku tidak ingin menerima seorang murid setua dirimu,"
kata Kiu Heng.
”Sebaliknya, kalau kau benar2 menyerah kalah, aku bisa
menuturkan asal usuhmu, dan sejak hari ini kau harus mendengar kataku
bagaimana?"
Kiranya To Pei Lojin sejak bertemu dengan Kiu Heng sudah
mengandung niatan menjadikan si anak muda sebagai muridnya, karena itu dalam
pertarungan ia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya, karena ia tahu pemuda yang
dihadapi berhati keras, bilamana tidak menang tidak akan mengerti, sengaja Ia
memberikan lowongan dan pura2 kalah.
Kini Ia mendengar Kiu Heng ingin menyebutkan asal usulnya,
sehingga membuatnya ketarik, karena Ia tahu pasti tiada orang kedua di atas
dunia ini terkecuali suhunya yang mengetahui peladiaran silat apa yang
dipelajarinja.
"Ya, coba kau katakan!" katanya.
"Orang lain tidak mengetahui dirimu dari golongan mana,
tapi aku bisa mengetahui dengan jelas. Kau adalah murid dari Hui Hui Ho-siang
dari Pek Tok Bun. Disebabkan Hui Hui Hosiang melihat sepak terjang Pek Tok Bun
tidak senonoh, Ia meninggalkan pintu perguruan itu dan berdiam di atas gunung
empat puluh lahun lamanya. Ia mengumpulkan berbagai macam ilmu dari perguruan
silat dan mengubahnya menjadi satu gabungan silat yang luar biasa, lalu
diturunkan kepadamu, sehingga merasa sombong dan menganggap paling pintar
mengenali ilmu silat dari golongan manapun. Ya atau tidak?"
"Aku benar2 tunduk! Apa yang kau katakan benar semua, aku
tidak menyangka dan mengira di otak monyet seperti dirimu bisa menyimpan
pengetahuan yang maha tinggi!" kata To Pei Lojin sambil ter-bahak2.
---ooo00oo---
Bu Lim Tiap (Pusaka Rimba Hijau)
Dituturkan Oleh : TSE YUNG
SCAN IMAGE : Lunjuk's Corner dan Arman
jVU : Dewi KZ
JILID
III
"Nah, sejak hari ini kau harus turut denganku dan mendengar
kata2ku, kuyakin kau akan memperoleh banyak kemajuan," kata Kiu Heng.
"Bagus! Aku berusia tujuh puluh tahun mengangkat guru
seorang bocah yang masih ingusan dan berbulu seperti monyet. bukankah hal ini
akan menjadi berita yang menggemparkan dunia Bu Lim. Siluman monyet, kau jangan
mengimpi, kau.....”
Ia tidak melanjutkan kata2nya, tangannya keluar dan ditotokkan
dengan perlahan, inilah ilmu yang luar biasa dari dunia persilatan yang bernama
Pit Kiang Tiam Hiat (menotok terhalang tembok), tahu2 Kiu Heng kena tertotok
urat gagunya, sehingga diam saja tidak bisa menjawab ejekan si orang tua.
To Pei Lojin sengaja mempertunjukkan kepandaiannya ini dengan
tujuan mematikan kecongkakan dan keangkuhan Kiu Heng, agar di kemudian hari
tidak menderita kerugian dari sifat buruknya itu.
Kiu Heng merasa gusar tak alang kepalang, pedangnya dihunus
untuk mengadu jiwa mati2an. To Pei Lojin tetap duduk tak bergerak begitu ia
melihat si pemuda menghampiri, lengannya kembali menotok, membuat Kiu Heng
seperti patung, tinggal matanya melarak-lirik dengan gusar tanpa bisa berbuat
sesuatu apa.
"Kepandaianku sudah cukup sempurna, kenapa kena totok tidak
berdaya untuk memecahkannya?" pikir Kiu Heng,
"Kalau si bungkuk ini tidak bermain sihir pasti menggunakan
ilmu menotok Pit Kiang Tiam Hiat yang lihay luar biasa. Ilmu ini menurut suhu
sudah hilang dari dunia persilatan, kenapa bisa dimiliki si bungkuk ini?"
Dengan wajah serius To Pei Lojin berkata: "Bocah, kau harus
tahu dunia ini luas dan mengandung berbagai keanehan, orang2 berilmu tinggi
tidak terhitung jumlahnya, dengan kepandaianmu yang tidak seberapa, segera
menganggap diri sangat lihay, akibatnya bisa mencari binasa sendiri. Sadarlah,
gunung yang tinggi masih ada yang tinggi! Ilmu dan pelajaran tidak habis untuk
dipelajari! Sudah beberapa kali aku mencoba kepandaianmu dan tabiatmu, dan
yakin kau adalah bibit yang baik untuk dipupuk! Aku sudah tua dan mengharap
mencari seorang murid guna mewariskan kepandaianku. Bocah, kalau kau mendengar
kata2ku yang kuucapkan sejujurnya ini, kau bisa menjadi seorang yang berguna di
kemudian hari."
Sehabis berkata si orang tua menggoyangkan lengannya, Kiu Heng
terbebas dari totokan, cepat ia bertekuk lutut di hadapan To Pei Lojin, kedua
matanya berlinang air mata haru, kepalanya tunduk, seperti menyesal sekali.
"Anak yang baik, kutahu kau seorang murid yang berbakti pada
gurumu yang terdahulu. Karena itu akupun tidak mau mempersukar dirimu. Kalau
kau tidak memandang hina kepadaku, boleh kau memanggil Giehu atau Kan-tia (ayah
angkat) pada diriku !"
Kiu Heng terharu, tanpa disuruh kedua kali Ia berkata: Gihu!
terima hormat anakmu!"
"Kiu Heng menghormat pada diriku dan mengakui aku sebagai
Giehu,” kata si orang tua sambil memimpin bangun, "tapi aku belum
mengetahui namamu, bukankah hal yang lucu? Kan jie-cu (anak angkat) sebutkanlah
namamu!”
"Kiu Heng!"
"Bagus," jawab To Pei Lojin, "sedangkan kau pun
harus tahu, aku she Siauw nama Siong, bergelar Tohiap (pendekar bungkuk). Kini
aku berusia berapa, aku sendiri lupa menghitungnya, ya kira2 tujuh puluh tahun
lebih!"
Siauw Siong tertegun sejenak sambil ber-batuk2, parasnya
menunjukkan tengah terpekur, per-lahan2 Ia bertanya: "Menurut namamu yang
demikian ganjil, mungkin kau hidup mempunyai sakit hati yang hebat, kuharap kau
bisa menuturkan, agar kubisa membantumu memecahkan kesulitan ini!"
Kiu Heng ragu2 sejenak, achirnya menceriterakan kejadian waktu
kecilnya, dengan jujur dan jelas.
"Baiklah! Nanti aku men-dengar2 siapa pembunuh diri ayahmu
dan keluargamu itu!' kata Siauw Siong.
"Atas bantuan Giehu, aku mengucapkan terima kasih, tapi
biar musuh itu berkepala tiga dan bertangan enam, harus beres di tanganku
sendiri!”
"Oh, sudah pasti!" jawab Siauw Siong.
Lengannya merogo saku mengeluarkan semacam benda yang bercahaya
dan diserahkan kepada Kiu Heng. "Kini kau sudah menjadi anak angkatku,
terimalah pemberianku ini sebagai tanda mata.”
"Ah!" seru Kiu Heng terkejut karena ia mengenali benda
itu.
"Bukankah ini yang dinamakan Sam-cun-giok-cee? Dari mana
Giehu mendapatkannya?”
"Kau tentu ingat kejadian di Pek Tio Hong, dari salah
seorang yang kau binasakan, aku mendapatkan benda ini!” jawab Siauw Siong.
Kiu Heng terdiam meng-ingat2.
"Kalau begitu, salah seorang di antara mereka adalah
pencuri Sam-cun-giok-cee dari Pek-bu-siang Siang Siu, kini ia sudah binasa,
bebanku menjadi ringan!" kata Kiu Heng seraya menuturkan pesan2 dari
Pek-bu-siang.
"Aku mengenal Pek-bu-siang maupun Ang Hoa Kek," kata
Siauw Siong, "mereka merupakan tokoh2 Kang Ouw yang aneh dan sudah lama
mengasingkan diri, tak kira kedua2nya sudah meninggal dunia!"
Mereka tertegun sejenak, keadaan menjadi sunyi: "Fajar
hampir menyingsing, kau masih memakai pakaian malam, mari kita pulang,” kata
Siauw Siong.
Dengan secepat kilat mereka turun dari atas gunung, Kiu Heng
bermalam di sebuah hotel yang bernama Huay Yang Lauw, sedangkan Siauw Siong
baru beberapa hari dalang di Hang Ciu, ia belum mempunyai tempat tinggal yang
tetap, kini ia mengikuti ke tempat, bermalamnya si anak.
Malam berganti siang, mereka tidak tidur lagi, melainkan duduk
bersemadi menjalankan pernapasan untuk menghilangkan seluruh kelelahannya.
Tengah hari Kiu Heng dan Siauw Siong pergi belanja, mereka
membeli baju2 yang indah dan menanggalkan bajunya yang buruk, sehingga ayah dan
anak angkat seperti seorang saudagar kaya raya saja. Dengan pakaian yang
ganteng, mereka pesiar beberapa hari di telaga See Ouw dan aksi2an, sambil
makan dan minum sepuas2nya.
Malamnya mereka tidur sekamar. Sewaktu kentongan berbunyi tiga
kali, tiba2 Siauw Siong berbalik badan dan turun dari ranjang, Kiu Heng pun
mengguling tubuh mengikuti turun.
"Ha, ada apa?"
"Di genteng ada orang," bisik Siauw Siong dengan
perlahan.
"Kenapa aku tidak mengetahuinya?” kata Kiu Heng dengan
heran.
"Karena kurang pengalaman dan latihan, semalaman suntuk kau
tak tidur, sampai ada orang di atas genteng tidak mengetahuinya! Bagaimana
jadinya kalau pendatang itu untuk menuntut balas, bukankah kau akan dicelakakan
dengan mudah?”
Kiu Hong merasa jengah, wajahnya merah, untung waktu malam,
sehingga tidak terlihat Siauw Siong.
"Yang datang hanya seorang!" kata Siauw Siong.
Kiu Heng manggut menyusul kakinya menotol bumi dan mencelat
keluar melalui jendela. Sesampainya di atas, ia tidak melihat bayangan maupun
sesuatu yang mencurigakan.
"Jangan2 Giehu sudah pikun, pendengarannya tak tajam lagi!'
pikir Kiu Heng.
Sebelum ia turun, berkelebat sesosok bayangan hitam yang cepat
sebagai meteor! Tahu2 di depan mukanya berdiri seorang pemuda ganteng.
"Kau menyusahkan diriku saja, lekas kau keluarkan
barangmu!" kata si pemuda dengan aseran.
"Aku tidak berhutang maupun meminjam barangmu, apa yang harus
kukeluarkan?"
"Apakah kau tidak mengerti?"
"Bertanya pada dirikukah?”
"Ya, kalau tidak pada siapa?"
"Aku tak mengerti!”
"Kau jangan berlagak pilon! Lekas kau keluarkan kotak Bu
Lim Tiap, perkara menjadi beres. Bilamana tidak jangan sesalkan aku berlaku
kurang ajar!”
Kiu Heng baru sadar pemuda itu menjadi Bu Lim Tiap.
"Kenapa ia bisa tahu, aku memiliki Bu Lim Tiap?"
pikirnya.
"Apakah kau tetap bersikap keras tak mau menyerahkan?"
desak si pemuda.
"Di dunia hanya ada perampok yang memaui barang orang
dengan kekerasan, kau manusia macam apa berani berlaku keras padaku?"
"Aku Gui Wie, putera dari Pek-tok-thian-kun
bagaimana?" jawab si pemuda.
"Ku kira siapa, kiranya puteranya binatang beracun!"
"Kau sudah dijadikan musuh seluruh kaum Bu Lim, berani
betul memaki pemegang Bu Lim Tiap, sudah bosan hidupkah?"
"Segala binatang beracun, dimaki apa salahnya, bilamana kau
masih gila2an, aku pun bisa memakimu!"
Pemuda itu menjadi gusar dengan cepat, Ia mengebut kepada mata
Kiu Heng memakai jurus Tek Cee Kie Goat (memetik bintang meraih bulan).
Dikata cepat memang cepat, begitu Kiu Heng mengegos, serangan
Gui Wie mengenai angin. Ia penasaran, tapi sebelum bisa memberikan serangan
susulan, punggungnya merasakan angin dingin, sehingga menjadi terkejut. Untung
ia bukan manusia biasa, kakinya menotok genteng dan mencelat beberapa tombak
dengan ilmu Goan Yau Ca Liu (membungkukkan tubuh menancapkan pohon liu).
Gui Wie yang muda berpenyakit memandang ringan kepada musuh,
akibatnya hampir menderita kerugian besar. Kini Ia tak berani ber-lambat2an
lagi begitu turun, lengan bajunya mengebut lagi, tahu2 ia sudah menghunus
pedangnya. Dengan cepat melakukan penyerangan deras ke arah dada musuhnya.
Kiu Heng pun menghunus pedangnya, dengan cepat diputarkan,
sehingga serangan musuhnya kembali kandas! Gui Wie menjadi cemas atas
serangan2nya yang gagal, keringatnya mengucur deras, ia sadar bukan menjadi
tandingan si pemuda cepat2 mencelat keluar gelanggang.
"Jangan bertarung sudah, aku mengaku kalah!” serunya.
Kiu Heng merasa heran kepada pemuda itu.
"Kau yang mengajak berkelahi, kini kau pula yang mengajak
sudahan," pikirnya.
"Aku memukulmu dan menggertakmu dengan aseran, tak lain
untuk me-nakut2i saja, sekadar mencoba ketabahan dan ilmu kepandaianmu!"
kata Gui Wie.
"Aku tak menginginkan kotak Bu Lim Tiap milikmu, tapi
menginginkan persahabatan denganmu!"
Kiu Heng diam tidak menjawab seketika lamanya.
"Apakah kau sudah memakan obat bisu sehingga tidak mau
bicara?”
"Aku heran atas kelakuanmu yang tidak keruan. Kau harus
tahu, ayahmu adalah musuhku dan kubenci dengannya, kenapa kau ingin bersahabat
denganku?"
"Lain bapak lain anak!" jawab Gui Wie dengan tegas.
”Aku menghormati mendiang gurumu yang jujur dan baik budi. Di
samping itu aku tidak senang atas kelakuan ayahku yang tidak patut, karena
itulah aku meninggalkan rumah secara menggelap untuk mengabarkan kepadamu soal
bahaya yang mengancam jiwamu! Kau harus tahu ayahku sudah membagikan selebaran
ke seluruh dunia persilatan dan menitahkan mereka mencarimu dan membunuhmu,
sebab kau sudah dijadikan musuh bersama kaum Bu Lim atas tindakanmu yang tidak
menghargai Bu Lim Tiap.
Kiu Heng meng-angguk2kan kepala.
"Pedangmu itu terlalu menyolok dan mudah dikenali,
sebaiknya kau simpan saja terlebih rapi!"
"Terima kasih atas kebaikanmu, lain kali kita bertemu
pula!" kata Kiu Heng.
Sambil merangkapkan kedua tangannya, Gui Wie segera berlalu
dengan cepat.
Begitu Kiu Heng kembali ke kamar, Siauw Siong segera berkata:
"Apa yang kamu ucapkan sudah kudengar, sesungguhnya kota
Hang Ciu terlalu ramai dan bukan merupakan tempat yang baik untuk ditinggali
terus!”
"Tia, mengandalkan kepandaianmu dan kepandaianku,
mungkinkah takut pada Pek Tok Thian Kun?"
"Bukan soal takut pada Pek Tok Thian Kun, tapi ia sudah
menyebarkan undangan pada berbagai golongan Bu Lim untuk memusuhi dirimu! Kau
boleh merasa tak takut tapi harus ingat, di luar langit masih terdapat langit.
Dapatkah kau menghadapi mereka yang berjumlah banyak? Barusan kumendengar soal
Bu Lim Tiap, benar2kah kau memilikinya?
"Ah, ini kesalahanku, sampai lupa memberi tahu pada Giehu,”
kata Kiu Heng sambil mengeluarkan Bu Lim Tiap dari dalam sakunya.
"Ah, ini adalah Bu Lim Tiap yang sesungguhnya. Sewaktu
kukecil, pernah melihat Sucou memegang Bu Lim Tiap ini. Dari mana kau dapat?"
Kiu Heng menuturkan bagaimana didapatnya pusaka rimba hijau itu.
"Heng-jie, dengan kepandaianmu yang sekarang ini belum
cukup kuat untuk melindungi Bu Lim Tiap dari rongrongan kaum Bu Lim yang
menghendakinya!"
"Habis harus bagaimana?”
"Untuk sementara kita harus menyingkir dari dunia yang
ramai dan harus mengumpet dulu. Bukan berarti takut, tapi untuk melatih diri
terlebih lihay! Kau mungkin tahu Kay-hiap sedang dihukum di Tay San, tak
halangannya kita ke sana! Bagaimana? Apa kau setuju?"
"Aku menurut pada Giehu!” jawab Kiu Heng.
***
Sementara itu kita menengok kepada Cui-jie dan Ping Ping yang
meninggalkan Pek Tio Hong. Sepanjang jalan mereka bergurau dan mengobrol dengan
asyik, sehingga tidak merasa sepi.
Pada suatu hari, Cui-jie mengingat gurunya pernah mengatakan,
bilamana ada waktu ia akan merantau lagi di dunia Kang Ouw, tempat pertama yang
akan dikunjungi adalah Bu Kong San di Kiang Say. Karena itulah mereka menuju ke
sana untuk menemukan Na Wan Hoa.
Beberapa bulan kemudian mereka tiba di Tie-cui di Propinsi An
Hui, lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu menuju Kiang Say.
Perahu yang mereka pakai tidak terlalu besar, tapi cukup
menyenangkan, se-olah2 mereka tengah piknik di atas air untuk menikmati
pemandangan alam.
Beberapa hari kemudian tiba di sebuah pelabuhan kecil yang
bernama Tang Liu Sian. Sebelum perahu bisa melanjutkan perjalanan, angin besar
dan keras menghalangi perjalanan. Mereka terpaksa berdiam beberapa hari
menantikan angin reda. Penumpang2 banyak yang mendarat untuk mencari hiburan
dan jalan2.
"Adik Ping, kenapa kau tampaknya lesu dan lemas?"
tanya Cui-jie.
"Angin sangat besar, perahu ber-goyang2, entah bagaimana
kepalaku menjadi pening dan ingin muntah2!" jawab Ping Ping.
"Sebaiknya kita mendarat beristirahat sambil membeli obat,
bagaimana?"
"Aku tak bisa berjalan lagi, kepalaku bukan main
peningnya."
"Baiklah, kau tunggu sebentar, aku akan mencari obat
untukmu," kata Cui-jie seraya mendarat, sehingga di atas perahu tertinggal
jurumudi dan Ping Ping berdua.
Belum lama Cui-jie pergi, angin keras tiba2 menyampok, air
bergelombang dahsyat, tali pengikat perahu menjadi putus di-koyak2 angin yang
menggila. Si pengemudi perahu mencoba sekuat tenaga mempertahankan perahunya,
tapi kekuatannya sangat terbatas, ia kena disampok ombak dan jatuh ke air,
sehingga perahu terombang-ambing.
Sedangkan Ping Ping yang tengah mabuk kapal dan pening menjadi
pingsan lupa daratan.
***
Menurut tukang2 perahu yang sering melintasi pulau Ce Cu To,
menganggap sebagai pulau iblis yang menakutkan. Setiap kali kapal atau perahu
yang terkena angin ribut pasti tersampok ke pulau itu. Se-olah2 pulau itu
sebagai juga kawa2 yang berjaring kuat, sedangkan perahu2 dan kapal2 merupakan
korban2 dari kawa2 itu. Karena itulah pulau ini bernama Cee Cu To.
Di atas pulau itu terdapat gunung yang indah dan permai.
Anehnya, setiap kali hujan lebat dan angin dahsyat bergelombang tinggi, dari
puncak gunung itu sering terdengar irama merdu yang menawan hati.
Dalam anggapan tukang2 perahu yang sederhana, suara itu
dianggapnya sebagai nyanyian dewa. Banyak juga di antara tukang2 perahu yang
bernyali besar datang ke atas pulau sewaktu terjadi malapetaka atas diri
kawan2nya dan sanak saudaranya, guna menolong. Sayang sekali, setiap yang pergi
belum pernah terlihat pulang, lama kelamaan penduduk yang mencari nafkah
sebagai nelayan atau tukang perahu, menganggap dewa yang berdiam di gunung itu
sangat gusar dan sengaja menghukum orang-orang ini, sebagai peringatan jangan
berlaku gegabah lagi berani datang menyatroni tempat kediamannya.
Kini Ping Ping yang malang berada di dalam perahu dan terhempas
ke atas pulau itu. Sewaktu siuman, ia merasa heran berada di atas perahu yang
kandas di tepi pulau. Ia merasakan peningnya sudah hilang. Tanpa mengenal takut
ia turun dari perahu itu sambil memandankan matanya keempat penljuru.
Saat ini ia baru ingat pada Cui-jie, dan mengingat dirinya yang
malang, sehingga air matanya bercucuran.
Saat ini hari hampir malam, Ping Ping kembali ke perahunya
mencari sisa makanan Kala malam mendatang, angin ribut men-jadi2 lagi, kilat
meng-gelugur2, perahu tergoyang2 dibuatnya.
Ping Ping takut kalau2 angin ribut itu membawa lagi perahunya ke
tengah lautan, cepat2 ia naik ke darat. Lalu berlari-larian ke atas gunung. Ia
dibesarkan di atas gunung, dengan sendirinya sudah merasa biasa berjalan di
tempat yang sukar untuk orang biasa.
Tiba2 ia terhenti sejenak, karena mendengar irama seruling yang
tajam dan merdu.
"Untung terdapat orang, aku bisa bermalam juga,"
pikirnya tanpa curiga barang sedikit pun.
Ia menelusuri jalanan yang ber-liku2 menuju ke atas. Untung
hujan sudah berhenti sehingga sinar bulan yang terang keluar menerangi jagat,
atas bantuan sinar yang redup ini, Ping Ping melanjutkan perjalanan terus.
Semakin lama jalanan semakin lebar, di kiri kanan terlihat
tengkorak2 manusia berserakan.
Ia terkesiap ketakutan. Tubuhnya menggigil, kakinya menjadi
lemas. Ia jatuh duduk sambil memeramkan mata.
Keadaan menjadi sunyi, keresekan pohon dan air berkerucukan
terdengar tegas, waktu berlalu tanpa terjadi apa2.
Ping Ping memberanikan diri membuka mata, dengan hati ber-debar2
Ia mengawasi tengkorak2 yang berjumlah besar itu. Anehnya, di samping
tengkorak2 itu terdapat juga emas2 balokan yang besar2. Tengkorak2 itu setiap
tangannya memegang harta itu erat2 sampai matinya.
Ping Ping seorang gadis yang tidak tertarik kepada segala emas
intan, melihat harta yang berserakan itu, sedikitpun tidak menggoncangkan
hatinya.
"Emas2 ini diambil orang tapi tidak bisa dibawa pergi,
pasti mengandung racun yang maha dahsyat! Agar orang2 yang berani datang kemari
dan kemaruk harta2 menjadi mati konyol," pikirnya.
Lalu Ia berdiri dan meninggalkan tempat yang menyeramkan itu.
Tiba2 dari balik batu terlihat seorang yang tengah borjongkok,
kedua lengannya memegang kepalanya yang sudah berambut putih, ia tengah
menangis dengan menyedihkan. Ping Ping tergerak, ia menghampiri kepada orang
tua itu.
"Popo (nenek), kenapa kau menangis di malam hari, siapa
yang mengganggumu?” tegurnya.
Agaknya si orang tua sangat tajam pendengarannya. Begitu kaki
Ping Ping mendekati, Ia sudah bangun, matanya memancarkan sinar tajam. Orang
tua itu seperti gusar. Ping Ping tidak kenal gelagat. Ia tersenyum manis pada
si nenek.
"Kau datang dari mana?" tegur si nenek dengan galak.
"Aku mendapat nasib malang, naik perahu terkena topan dan
terdampar kemari!”
"Kau murid siapa, menghantarkan kematian ke sini?"
"Kenapa kau mengatakan demikian, aku adalah orang malang.
mati hidup tidak kupikirkan. Mengenai siapa aku, tak perlu kau tahu!”
Ping Ping mengatakan demikian karena berpikir tengah menghadapi
orang jahat.
"Dilihat dari parasmu belum terlihat tanda mati, kenapa
datang kemari. Apakah kau tidak melihat tengkorak2 yang berserakan itu?"
kata si nenek terlebih lunak.
"Sudah kukatakan aku datang karena mengalami kecelakaan,
bila tidak aku pun tidak mau datang kemari! Kini hari sudah malam, begitu siang
tanah dan ada perahu yang lewat, aku akan pergi meninggalkan pulau yang
menyeramkan ini!"
"Aku tak percaya, kau pasti menghendaki emas dan harta2
dari pulau ini!"
"Harta2 itu di pandangan mataku tak ubahnya dengan kotoran
yang menjijikkan. Percayalah padaku, aku datang karena menderita kesialan!”
"Kini kau sudah datang kemari, kematian berada di depan
mata, karena itu sebelum kau mati, kau harus mengerti agar mati dengan
puas!"
Sehabis berkata, si nenek tua segera mengajak Ping Ping menuju
sebuah terowongan tanah yang lebarnya beberapa tombak.
"Hai, anak gadis, apa yang kau lihat tak perlu merasa heran
dan jangan berkata. Jika tidak, dirimu segera mati seketika juga.”
Ping Ping merasa heran, tapi Ia sebal dan tidak mau banyak
bicara, sesudah menjawab "Ya" segera mengikuti si nenek.
Per-lahan2 dari dalam terowongan itu terdengar bunyi air yang
berkerucuk, lalu terdengar pula suara angin yang masuk, disusul suara tajam
seruling. Sebenarnya bukan seruling, tapi lubang2 terowongan yang berliang
terkena tiupan angin sehingga bersuara seperti seruling.
Suaranya demikian keras dan terdengar jauh.
Segala yang dialami ini membuat Ping Ping heran, tapi Ia tidak
mau bertanya, karena sudah dipesan si nenek.
Sesudah melalui terowongan yang aneh, di depan terlihat sebuah
kolam yang bening dan jernih, di tepian kolam penuh dengan pohon teratai yang
berbunga lebat. Wewangian harum semerbak menerjang hidung, keindahan alam luar
biasa, seumur hidupnya Ping Ping belum pernah melihat keadaan yang demikian
mempesona, tanpa terasa ia diam sejenak menikmati keindahan ini.
Tengah asyiknya ia menikmati keindahan itu, tiba2 mendengar
suara seorang perempuan yang halus dan merdu.
"Hei anak gadis, kau datang dari mana?"
Ping Ping celingukan, Ia tidak melihat siapa2 terkecuali si
nenek yang cuci kaki di tepian kolam. Ia heran dan bingung, tahu2 di tepian
telinganya mendengar lagi suara tadi.
"Hei anak gadis, kau datang dari mana?"
Ping Ping kaget dan bertambah bingung, pikirnya kini bukan
berada di dunia lagi, pasti di suatu tempat dewa atau bangsa roh2 berada.
Karena ada suara tanpa terlihat wujud merupakan hal yang terlalu gaib untuknya.
"Mungkinkah yang bicara itu setan?" pikirnya.
Tapi ia tidak menjawab pertanyaan itu hanya meng-angguk2an
kepala.
"Anak gadis, kau jangan takut, aku menggunakan suara Cian
Li Toan Im (berkata dan terdengar ribuan li). Kau tentu tak akan melihat aku,
sebaliknya aku dapat melihatmu dengan tegas.”
Ping Ping hampir2 berkata, Tapi keburu dicegah si nenek tua.
"Kau tidak boleh berkata-kata, sebab bisa dipagut ular2
berbisa dan mati seketika."
Ping Ping menarik lagi kata2nya yang sudah sampai
dikerongkongannya.
Si nenek cepat menarik lengan Ping Ping dan dibawa lari dengan
cepat. Ping Ping hanya mendengar suara angin keras berkesiur di telinganya dan
terasa pedih mukanya. Sebelum Ia bisa membuka mulut, si nenek sudah berkata:
"Sudah tiba!'
Tampak sinar terang berkilas di depan mata, Ping Ping tahu tadi
masih malam dan terlihat bulan, kenapa tahu2 sudah menjadi siang?
Sewaktu matanya mengawasi sekeliling, kembali ia terpesona oleh
keindahan alam. Pohon2 bunga banyjak terlihat di sekelliing lereng gunung.
Pohon2 besar yang sudah berusia tua penuh meneduhi sekeliling. Daunnya yang
hijau bergoyang tertiup angin, sedangkan wewangian terendus lebih harum lagi
dari yang pernah dilihatnya.
Saat ini Ping Ping merasakan otaknya menjadi bening dan segar,
napasnya lapang, sesuatu kerisauan seperti tersapu bersih dari kalbunya melihat
taman indah yang seperti di kahyangan adanya.
Di tengah2 pohon2 bunga yang menebarkan harum terlihat sebuah
gedung indah serupa mahligai. Pintunya terbentang lebar, di dalam ruangan
terlihat perabotan yang indah2. Dinding2 bersinar terang dan berkilauan karena
bertatahkan mutu manikam. Tiang2 rumah yang terbuat dari emas murni
berkelerep-kelerep dengan angkernya.
Ping Ping menggigit jarinya. Ia ingin mengetahui benar2 masih
hidupkah atau sudah berada di alam baka?
Ia merasakan sakit dan percaja masih hidup di dunia yang fana
ini.
Si nenek dengan laku hormat, membungkuk ke hadapan mahligai,
sesudah itu membisiki telinga Ping Ping:
"Di hadapan majikanku, kau jangan banyak bicara, sebab
beliau sedang risau terus2an. Asal kau tidak menyenangkan dirinya pasti akan
dibunuh mati."
Setelah itu ia membuka mulut ke dalam.
"Cujin, ada tamu dari tempat jauh!"
"Aku sudah tahu!" jawab dari dalam.
"Silahkan bawa masuk!”
Ping Ping mengenali suara itu adalah yang tadi bertanya.
Si nenek segera membawa Ping Ping ke dalam mahligai yang
mentereng.
Di tengah ruangan terdapat kursi yang mengkilap, di situ duduk
seorang wanita pertengahan umur yang berpakaian putih.
Ping Ping membungkukkan tubuh memberi hormat. Begitu ia
mendongak memandang menjadi terpesona sekali, karena wajah wanita yang sudah
setengah tua itu masih tetap cantik dan manis, hingga seperti juga seluruh
kecantikan dari yang terdapat di dunia ini berkumpul di parasnya, tak ubahnya
seperti gadis kahyangan yang hanya bisa dijumpai dalam impian.
Di samping wanita cantik itu terdapat pula seorang gadis yang
cantik. Raut wajahnya sangat mirip satu sama lain, bedanya yang satu berusia setengah
umur. yang satu lagi gadis belasan tahun.
Si nenek masuk ke dalam, dan kembali lagi membawa air teh yang
mengepul dan harum.
"Kau datang dari mana, nak?” tegur wanita cantik berbaju
putih.
Ping Ping mengatakan hal yang dialaminya dengan jujur.
Agaknya si wanita sangat sayang pada Ping Ping, dipersilahkan
duduk sambil disuruhnya minum teh dan tak lupa ia memperkenalkan dara manis
yang bukan lain dari anaknya.
"Ini adalah puteriku namanya Soat jie," katanya.
Ping Ping pun memperkenalkan dirinya tanpa segan2.
"Oh, kalau begitu kau pun terhitung sebagai orang Kang
Ouw," kata wanita berbaju putih.
"Dapatkah kau menceriterakan sesuatu kejadian di Tionggoan
setahun belakangan ini? Terus terang aku sudah setahun lebih menyekap diri di
dalam gunung yang sunyi ini. Kini kau datang, membuat aku terkenang lagi pada
masa mudaku.... ah,” katanya sambil menghela napas.
"Sungguhpun aku dibesarkan dalam keluarga Kang Ouw, tapi
sebegitu lama belum pernah menerjunkan diri dan hidup sebagai orang Kang Ouw.
Karena itu, maafkanlah jika aku hanya bisa menceriterakan sekelumit apu yang
pernah kualami,” kata Ping Ping, seraya menuturkan kejadian di Oey San dan
bagaimana keluarganya mengalami malapetaka hebat, dan bagaimana ia meninggalkan
gunung dan berpisah dengan Kiu Heng serta Cui-jie.
Si wanita baju putlih merasa tertarik pada penuturan Ping Ping
yang sederhana. Sedangkan Ping Ping sendiri menjadi berlinang-linang sesudah
menuturkan nasib malangnya.
"Kau tak perlu bersedih hati nak, kini rumah kau sudah
tidak punya, saudara pun tidak, sebaiknya tinggallah di sini. Di samping
menemani aku dan Soat-jie, aku pun bisa membantumu dalam ilmu pelajaran silat.”
Ping Ping seorang gadis yang pintar, cepat2 Ia bertekuk lutut
menghaturkan terima kasih.
Sejak itulah Ia hidup di pulau Cee Cu To menuntut pelajaran
silat sebagai murid si wanita cantik.
Pada suatu hari sewaktu Ping Ping dan Soat-jie ber-main2 di
sekeliling gunung, dikejutkan suara keras dari udara. Ping Ping merasa kaget,
Ia dongak ke atas, tampak seekor bangau putih menukik turun dan hinggap di
dekat Soat-jie.
Dengan aleman, burung itu meng-gosok2an kepalanya di tubuh
Soat-jie.
"Cici Ping, apakah kau senang dengan bangau ini?” tegur
Soat-jie.
"Ya,” jawab Ping Ping.
"Ia mengerti betul, apakah kau sendiri yang memeliharanya?”
"Bukan! Tapi kutahu, sejak aku ingat, bangau ini sudah ada,
entah ibuku atau nenekku yang memelihara."
Bangau itu seperti mengerti perkataan majikannya, Ia diam saja
mendengari.
Sewaktu Soat-jie menyuruhnya mendekati Ping Ping, bangau itu
dengan patuh melompat dan menghampiri.
Ping Ping sangat girang dan tak henti2nya meng-usap2 dengan
kasih sayang.
"Cici Ping, kau belum pernah terbang barang kali?”
"Sudah tentu, orang mana bisa terbang?”
"Mari ikut denganku!"
Soat-jie segera menumplak bangau itu, dan diajaknya Ping Ping
duduk dibelakangnya, dengan cepat bangau itu menerjang angkasa dan ber-putar2
sambil memperdengarkan suaranya yang tajam.
Suara bangau ini membuat Sian Popo kaget, cepat2 Ia keluar dari
dalam rumah dan segera memperdengarkan siulan panjang. Bangau yang tengah
ber-putar2 itu segera turun begitu mendengar suara panggilan.
Ping Ping dan Soat-jie berlompatan turun menghampiri si nenek.
"Sian Popo,” kata Soat-jie, "kenapa kau panggil turun
bangau ini sehingga mengganggu kesenangan kami? Dan aku heran, kenapa setiap
kali naik bangau ini, kau panggil turun?”
Sebenarnya Sian Popo adalah bekas budaknya neneknya Soat-jie,
tapi sejak nenek itu meninggal, Soat-jie memanggilnya Sian popo.
"Sudah kularang kau naik bangau terbang ke sebelah timur,
kenapa kau membandel terus? Nanti kalau Ibumu tahu, aku yang kena maki. Kau
jangan menanyakan sebabnya itu kepadaku, aku hanya menurut perintah yang
diberikan ibumu!"
Sehabis berkata, Sian Popo segera masuk ke dalam rumah. Dari
parasnya tampak benar ia sangat berduka. Hal ini dibenarkan oleh suara
tangisannya yang kedengaran kemudian.
"Soat-jie, pertama kali aku datang, kulihat Sian Popo
tengah nangis seorang diri di bawah rembulan," kata Ping Ping.
"Ya, akupun heran, setiap bulan purnama Ibuku menangis.
Sian popo pun menangis, hal ini terjadi setahun lebih. Setiap kali aku bertanya
selalu tak mendapat jawaban yang memuaskan," kata Soat-jie sambil
terpekur.
Kejadian ini merupakan hal yang aneh untuk Ping Ping, ia pun
turut berpikir apa sebabnya mereka berlaku demikian, walaupun tidak pernah
mengetahui sebab2nya.
Dengan uring2an Soat-jie menemukan ibunya. Didapatkan Ibunya dan
Sian Popo di dalam kamar tengah bertangis-tangisan. Karuan saja ia menjadi
terlebih heran, sehingga turut2an menangis. Sedangkan Ping Ping yang cetek air
matanya turut pula menangis, sehingga keadaan kamar yang mewah dan mentereng
itu banjir air mata. Mereka nangis secara ber-sama2 dengan se-puas2nya
Sedangkan burung bangau di luar rumah pun men-jerit2 keras, tak ubahnya sedang
menangis pula.
Saking asyiknya menangis, satu persatu jatuh tertidur. Sedangkan
waktu yang tidak menantikan orang berjalan terus, tahu2 siang sudah berganti
malam
Per-lahan2 rembulan yang bulat naik ke cakrawala.
Wanita berbaju putih bangun terlebih dulu menyusul yang lainnya.
Dengan lemah lembut ia menyuruh Sian Popo menyediakan meja di pelataran.
Si nenek agaknya sudah mengerti kehendak majikannya, dengan
cepat meja sudah tersedia. Di situ terletak barang sesajian.
Begitu wanita baju putih memasang hio bersembahyang, disusul
oleh si nenek dan Soat-jie.
Ping Ping mengawasi heran
"Nak, kalau kau tidak keberatan, tak halangannya
bersembahyang juga. Kami bersembahyang pada orang yang dicintai, sedangkan kau
hitung2 bersembahyang kepada seorang jago bulim yang luar biasa."
Ping Ping menurut, Ia melakukan sembahyang tapi hatinya
ber-tanya2, siapakah yang disembahyangi itu?
Tampak wanita berbaju putih mengajak pelayan dan anak serta Ping
Ping menuju ke gunung sebelah timur.
Soat-jie merasa girang karena sudah setahun lebih tidak
diijinkan ke sana, padahal ia tahu di situlah letak makam neneknya.
Perjalanan mereka tidak terlalu lama, tempat yang dituju sudah
dekat. Dari jauh terlihat sebuah kuburan indah. Di samping itu terdapat pula kuburan
lain.
Soat-jie merasa heran, karena ia tahu, di samping kuburan
neneknya tidak pernah ada kuburan lagi. Ia ber-lari2 ke depan diikuti Ping Ping
dari belakang.
Di kuburan yang pertama terlihat, tulisan: Di sinilah tempat
beristirahatnya Lie Siu Lan. Sedangkan di kuburan yang baru itu tertulis: Di
sinilah mengaso dengan tenang Cie Yang Tojin dari Bu Tong Pay.
Ping Ping menjadi kaget melihat nama itu, karena ia sering
mendengar nama besar Cie Yang Tojin, dan iapun mengetahui betul bahwa nama itu
adalah nama gurunya Kiu Heng. Cepat2 Ia berlutut memberi hormat di hadapan batu
nisan itu, lalu memberi hormat pula pada kuburan neneknya Soat-jie.
"Soat-jie, berlututlah di hadapan nisan nenekmu dan
ayahmu!" kata wanita berbaju putih.
Dengan heran Soat-jie memandang ibunya, karena baru pertama kali
ini ia mendengar tentang ayahnya. Kakinya tertekuk dengan patuh, diikuti ibunya
dan Sian Popo. Sesudah mereka menghaturkan hormat, kepada orang2 yang sudah
meninggal, segera duduk di tepian nisan itu.
"Kini kau sudah dewasa, kau sudah boleh mengetahui semua
yang ku ketahui,” kata wanita berbaju putih.
"Kejadian dan peristiwa ini sudah berselang puluhan tahun.
Saat itu, aku masih muda remaja sebaya dengan dirimu. Penuh angan2 dan cita2,
tanpa memperdulikan larangan nenekmu, aku men-colong2 menunggangi burung
bangau. Aku menyeberangi lautan berkeliling se-puas2nya menikmati tanah Tiong
Goan yang kaya raya. Hal ini sering2 kulakukan di luar tahu nenekmu, dan
sebegitu jauh hanya Siau Popo ini yang mengetahui, tapi ia sangat sayang
kepadaku, dan membiarkan aku pergi.
Akupun bertambah berani karena sebegitu jauh belum pernah
mengalami sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi karma seseorang itu rupanya sudah
ditentukan oleh alam yang maha kuasa.
Aku masih ingat sewaktu pulang ber-jalan2 menemukan seorang
pemuda yang terkapar di dalam terowongan tanah. Ia terluka digigit ular berbisa
yang dipelihara nenekmu. Untung aku membawa obat dan menyembuhkan
penderitaannya. Nenekmu mengetahui kejadian ini, dan merasa heran kenapa seorang
muda bisa datang ke tempat kediamannya tanpa tertarik barang berharga yang
berserakkan di sekitar pulau ini. Atas dasar inilah ayahmu diterima berdiam di
sini. Akibat dari perhubungan yang erat di antara kami, timbullah benih cinta
yang tidak dapat dirintangi segala kekuatan apa pun. Memang sudah dasarnya
bahwa ayahmu itu memiliki sifat kejantanan yang luar biasa. Pendeknya
mempesonakan kaum gadis, lebih2 aku seorang yang dibesarkan di dalam pegunungan
sunyi, sebegitu jauh belum pernah berhubungan dengan laki2. Sebentar saja
hatiku sudah goncang dan jatuh cinta. Kami saling cinta mencintai satu sama
lain, tahu2 darah muda yang kurang pikir mengakibatkan soal yang memalukan. Aku
hamil sebelum kawin.
Nenekmu mengetahui ini merasa gusar, segera me-maki2 aku dan
ayahmu. Yang paling hebat, aku dilarang melakukan pertemuan lagi. Ayahmu yang
bukan lain dari Cie Yang Cinjin mengetahui perbuatannya salah, lalu
meninggalkan Cee Cu To. Ia bertobat atas kelakuannya terdorong oleh napsu itu,
lalu menjadi tojin di Bu Tong Pay.
Dengan men-colong2 aku sering datang ke Bu Tong Pay dengan
burung bangau itu. Pertemuan kami ini mengharukan sekali, ayahmu tetap dengan
pendiriannya, yakni mencuci bersih dulu keburukannya yang dikeram di dalam
hatinya, hitung2 mencuci noda yang pernah dilakukannya.
Aku menjelaskan bahwa perbuatannya itu sudah menghasilkan
seorang anak yang bukan lain dari kau adanya. Ia tetap membisu. Dan akupun
pulang kembali lagi ke sini.
Belakangan aku mendatangi lagi ayahmu, ia mengatakan akan merebut
dulu Bu Lim Tiap, sesudah itu baru mau pulang lagi berkumpul denganku. Jika
tidak demikian, ia tidak akan menemui aku lagi.
Aku sedih dan berputus asa, tahun demi tahun kulalui merawatmu
sambil menanti kedatangannya yang tak kunjung tiba. Tahu2 pertandingan untuk
merebut Bu Lim Tiap tiba, inilah yang pertama kali, ayahmu gagal, berikutnya Ia
mengikuti lagi pertandingan yang kedua, kembali gagal, demikian pula dengan
pertandingan yang ketiga kembali ia mengalami kegagalan. Padahal kalau ia mau
dengan mudah bisa mengalahkan lawan2nya, tapi nenekmu sewaktu menurunkan ilmu
kepandaian kepadanya, sudah berjanji tidak boleh dipergunakan untuk menjatuhkan
lawan bilamana tidak terpaksa. Ia mematuhi larangan nenekmu.
Aku datang terlambat, sewaktu terjadi pertarungan yang ketiga
kali, ayahmu sudah dilukai Gui Sam Seng. Padahal lukanya tidak berat, tapi,
begitu aku datang ia membunuh diri dengan menggigit lidahnya sendiri. Ia malu
menemui aku lagi dan membunuh diri. Aku menjadi kalap dan bersedih hati. jenasahnya
kubawa pulang dan kukubur di samping makam nenekmu yang sudah terlebih dulu
meninggalkan dunia ini."
Sehabis menuturkan riwayatnya wanita baju putih itu
bersedu-sedan.
"Suhu,” kata Ping Ping. "akupun cukup mengenal Cie
Yang Cinjin, karena beliau adalah gurunya kawanku yang bernama Kiu Heng.”
"Di mana kini anak itu berada?" tanya si wanita.
"Entahlah.”
Cepat2 wanita cantik berbaju putih itu mengeluarkan seikat kain
dari dalam pinggangnya.