Hui Go Siansu seorang yang berpengalaman, Ia mengetahui bahwa
Cie Yang Cinjin menghunus senjata pasti mempunyai sesuatu keistimewaan. Cepat
Ia mengawasi terlebih seksama, samar2 Ia melihat di atas pedang itu terlihat
garis2 yang rapat, dan di ujung pedang terlihat dua butir mutiara hitam yang
tidak bersinar, terkecuali dari itu tidak terlihat lagi yang aneh.
Sehabis menghunus senjatanya Cie Yang Cinjin memeramkan matanya,
kedua lengannya memegang pedang, mulutnya tampak kemak-kemik seperti mendoa,
sehingga Pek Tok Thian Kun menjadi heran.
Tiba2 Cie Yang Cinjin membuka matanya, tampak sinar terang,
memancar tajam dari kedua penglihatannya itu. Ia lalu menundukkan kepala dan
menciumnya dua butir mutiara hitam di atas pedangnya sambil berkata:
"Silahkan!"
Pek Tok Thian Kun, mengetahui musuh berilmu tinggi, kalau tidak
turun tangan terlebih dulu, berarti kesempatan memperoleh kemenangan akan
hilang.
"Baik!" serunya.
Tubuhnya segera loncat serta melancarkan ilmu Hui San Ko hoo
(menerbangkan kipas menyeberangi sungai).
Kipasnya menotok berbareng menebas, menyerang keras baju kanan
musuhnya.
Belum kipas sampai, Cie yang Cinjin merasakan suatu tenaga keras
menggempur dirinya, tanpa membuang waktu tubuhnya bergoyang2, mencelat pindah
ke lain bunga yang terletak di sebelah selatan. Berbareng dengan itu ia pun
melancarkan jurus Cee It Tou Heng (bintang bergeser miring), terdengar suara
keras dan dari deruan angin, pedang itu tampak seperti menabas dan membacok ke
arah perut musuhnya.
Begitu Pek Tok Thian Kun melihat kipasnya menyerang angin dan
pedang musuh menghantam dirinya, kagetnya tidak kepalang, dalam waktu yang
sekilas mata yang tegang, tubuhnya cepat merapung!
Dengan sekali ubah antara kaki dan tangan menjadi rata, pedang
emas musuh menyabat lewat di bawah dadanya, bahayanya bukan main. Tak heran ia
mengaku sebagai ahli Ginkang kelas wahid, memang sesungguhnya demikian.
Saat ini tubuhnya yang berada di udara belum hinggap pada bunga
teratai, tiba2 lengannya berbalik mengebut, kipasnya yang besar sekali lagi dijadikan
senjata rahasia menghajar musuhnya.
Sehabis menyerang Cie Yang Cinjin harus kembali lagi menaruh
kakinya di bunga teratai. Karena itu sewaktu Ia kembali dan baru sampai di
tengah jalan mendengar deruan senjata menebak angin, kagetnya tidak alang kepalang.
Sudah lama ia mengetahui senjata rahasia beracun yang amat hebat dari golongan
Pek Tok Bun, tak ayal lagi, pedangnya diputar keras2 membuat jaringan sinar
kuning yang ampuh.
"Trang!"
Dua senjata bentrok keras.
Cie Yang Cinjin menguatirkan musuhnya tidak menghiraukan
peraturan dari Bu Lim Tiap dan membentangkan Ilmu Bie-thian-man-tee-pek-tok-tin
yang teramat lihay untuk mencelakakan dirinya.
Begitu senjata beradu ia meminjam tenaga tubuhnya segera
mencelat pergi ke bunga teratai di sebelah timur, dengan pedang Ia menjaga diri
lalu memandang ke arah musuhnya tanpa terasa lagi dongkolnya menjadi2.
Tampak Pek Tok Thian Kun tenang2 di atas bunga sebelah barat,
mengawasi ke arahnya dengan ber-senyum2, lagaknya sangat sombong. membuat
dirinya tak tahan lagi. cepat2 menunjuk dengan pedang.
"Pek Tok Thian Kun, kau salah seorang yang sudah terkenal
dan berkedudukan tinggi, kenapa berani melanggar peraturan dengan tak tahu
malu?’’ tegurnya.
"He he! Cie Yang Cinjin kau jangan me-lotot2 me-maki2
orang, pendeknya kita tanyakan saja kepada Hui Go Siansu, siapa yang
salah?"
Hui Go cepat2 berkata: "Masing2 salah paham, yang benar Pek
Tok Thian Kun tidak menggunakan senjata rahasia tapi ..........”
"Taysu tidak boleh banyak bicara, sebegitupun cukup,"
potong Pek Tok Thian Kun dengan ter-gesa2.
”Kini Taysu boleh menjadi saksi terus dalam pertandingan, bahwa
aku tidak menggunakan senjata rahasia melanggar peraturan."
Ciu Yang Cinjin merasa aneh dan bingung ia bungkam tak bisa bicara.
Pek Tok Thian Kun tidak memberikan banyak waktu untuk musuhnya
berpikir segera tertawa menggila, tubuhnya mengiringi suara berkilat cepat ke
udara lalu menyerang dengan jurus Ban liong Cut co (ribuan tawon keluar
sarang)! Kipasnya berputar, ber-kilap2 putih dengan bayangan yang ber-getar2
menotok seluruh jalan darah musuhnya.
Tanpa gugup maupun takut, Cie Yang Cinjin mengebutkan pedangnya
dengan jurus Pohon melintang menghadang angin, mematahkan dengan kekerasan
serangan kipas yang gencar.
Melihat keadaan musuh membuat Pek Tok Thian Kun teringat kepada
babak pertama dari pertandingan ilmu dalam, hatinya menjadi kecut.
"Ia memiliki Ilmu Lweekang yang tidak ada bandingannya, aku
tidak boleh mengadu tenaga dengan musuh," pikirnya.
Cepat2 Ia mengumpulkan tenaga di pusar, lalu mengubah gerakan
dengan Walet Lincah Membalik Awan tubuhnya yang tengah menjorok ke muka tiba2
menjadi poksay ke belakang ke tempat semula.
Cie Yang Cinjin tidak mau membuang, kesempatan dengan begitu
saja, pedangnya maju ke muka dengan jurus Kiam Ko Giok Bun (pedang melalui
pintu Giok Bun) menikam keras pada punggung musuh, begitu pedang akan sampai
tiba2 segera berubah dengan jurus Tiang Hong Kuan Jit (pelangi panjang
mengitari surya), hawa pedang meresap ke tulang2, beralih ke hati Pek Tok Thian
Kun.
Tatkala ini baru saja Pek Tok Thian Kun hinggap di atas bunga
sebelah selatan, tiba2 merasakan kesiuran dingin ke arah dirinya, membuatnya
kaget. Tapi pengalamannya yang banyak tidak membuatnya gugup, lengan kirinya
segera mengebut, kekuatan maha dahsyat mendesak serangan pedang, lalu Ia
menyingkir ke sebelah barat dengan jurus To Pau Koan Wie (membuka pakaian
beralih tempat).
Cie Yang Cinjin kehilangan sasaran menjadi panas, dengan jeritan
panjang tubuhnya berputar dengan lincah seperti naga sakti mengejar dan
menyerang terus. Pek Tok Thian Kun didesak dan digempur sehingga kalah angin.
Untuk memperbaiki dirinya, ia melontarkan lagi kipasnya memunahkan serangan.
"Sekali ini kutangkap kipasmu sebagai buku," pikir Cie
Yang Cinjin dengan gusar lengannya dijulurkan siap menangkap.
"Boleh kau tangkap asal mau mau kipas ini mengandung racun!
Ha, ha, ha!" ejek Pek Tok Thian kun.
Cie Yang Cinjin merasa kaget, cepat2 menarik lengannya. Ia
menjadi heran. karena kipas itu entah bagaimana bisa berbalik lagi ke tangan
Pek Tok Thian Kun.
Dengan mata membulat diawasinya kipas itu terlebih teliti,
terlihat olehnya bahwa kipas itu diikat seutas benang perak dapat dilepas dan
ditarik sesuka hatinya, tak ubahnya dengan Liu-heng-cui. Se-kali2 tidak bisa
digolongkan dengan senjata rahasia. Tak heran bahwa Hui Go Taysu tidak bisa
menyatakan Pek Tok Thian Kun menggunakan senjata rahasia, karena soalnya
demikian.
Dengan kegusaran yang me-luap2 Cie Yang Cinjin menggerak2an
pedang dengan jurus yang telengas dan ganas menghajar musuhya. "Kau jangan
gugup dan cemas! Sebenarnya kipasku tidak mengandung racun! Tunggulah racun
yang sesungguhnya belum kukeluarkan! Ha ha!" ejek Pek Tok Thian Kun dengan
tawar.
Tapi kegirangannya tidak berlangsung lama, karena merasakan
kulit sekujur tubuhnya menjadi dingin tak ubahnya terkena es. Ia tidak mengira
musuhnya demikian tangkas dan cepat, tak bisa lagi ia mengegos, terpaksa ia
mengeraskan hati sambil mengertekkan gigi seluruh kekuatannya disalurkan ke
lengan kanan, segera menangkis dengan keras!
Begitu dua senjata beradu menerbitkan suara keras, masing2
merasa gentar, berikutnya ke-dua2nya mental beberapa tombak, dengan demikian
tampaknya pertandingan seimbang.
Dengan indahnya mereka mengumpulkan tenaga dan mengambil tempat di atas bunga
dengan tenang.
"Awas pedang!" seru Cie Yang Cinjin.
Lagi2 Ia mencecar hebat dengan kepandaiannya. Tiga jurus
dirangkai dengan hebat dilancarkan seketika. "Ser! ser! ser!” tiga
gelombang pedang mengamuk seperti naga membalik lautan meng-gulung2 seperti
ombak menerjang tanggul, kekuatannya terpencar dari delapan penjuru secara
dahsyat.
Pek Tok Thian Kun sesudah bentrok keras tidak menderita rugi,
merasakan kekuatannya seimbang dengan musuhnya sehingga tidak merasa takut
seperti semula. Dengan memutarkan kipas Ia menangkis dan memecahkan serangan
pedang dengan tenang, di samping itu ia pun mencoba melakukan serangan balasan,
akibatnya masing2 bergumul menjadi satu di tengah udara. Sesudah itu segera
kembali lagi ke bunga teratai. Inilah suatu pertarungan yang benar2 mengadu
kekuatan hebat. Begitu hinggap segera melakukan serangan lagi, sehingga
perkelahian berjaalan dengan semakin hebat. Pek Tok Thian Kun melancarkan
serangan dengan hebat di samping itu kipasnya sering dilontarkan sebagai
senjata rahasia. membuat musuhnya repot dan kewalahan.
Satu jurus sudah berlalu, bintang2 mulai menyepi, embun malam
mulai menetes turun membasahi mereka, membuatnya tidak tahu lagi yang mana
keringat yang mana embun.
Entah bagaimana pedang emas yang tidak bersinar dari Cie Yang
Cinjin, tiba2 memancarkan sinar kuning yang menyilaukan mata, terkecuali itu
sinarnya semakin lama semakin hebat, sehingga embun yang meliputi sekujur
dirinya tersapu bersih sinar kuning yang berkilauan. Ia menghantam musuhnya
semakin bersemangat sehingga Pek Tok Thian Kun yang licik dicecar terus
menerus, ia tak berdaya hanya bisa menangkis tanpa bisa melakukan serangan
balasan lagi.
Per-lahan2 Pek Tok Thian Kun merasakan sinar kuning menusuk
matanya, membuat dirinya berkeringat seperti hujan. Seluruh kulitnya terasa
seperti dibakar saja. Darah di tubuh seperti ber-golak2, kepalanya mulai
pening, membuatnya kaget. Tapi Ia seorang pandai, hal ini ia tahu tentu pedang
musuh yang mengakibatkan. Semangatnya segera diempos, serangan musuh ditangkis
terus, sementara otaknya berputar mencari akal.
Kiranya pedang Cie Yang Cinjin itu adalah benda kuno yang
bernama Kim-liong-cee-lwee-kiam (pedang naga emas berapi sakti), bisa menyerap
embun dari udara lalu berkumpul menjadi satu, ditambah lweekang yang tersalur
masuk dari tangan pemiliknya, membuatnya se-olah2 hidup.
Seratus tahun pedang ini tinggal di dalam serangkanya, sebegitu
lama belum pernah menghirup embun, karena itu begitu dikelurkan tidak terlihat
cahayanya. Tapi sesudah dipergunakan dan mulai menghirup embun segera
memancarkan sinarnya yang hebat.
Cie Yang Cinjin melihat ciri2 kekalahan musuh, membuatnya
menarik napas lega. Segala kekuatannya disalurkan pada pedangnya. Ia tidak
membiarkan musuhnya banyak pikir segera menerjang sambil melompat, sinar pedang
yang berkilauan mengeluarkan hawa panas yang hebat, menikam ke arah pusar
musuhnya. Dalam gugupnya Pek Tok Thian Kun mendapat akal, cepat2 Ia merapung
lalu turun dengan cepat, kedua kakinnya tepat memijak pedang musuh lalu menekan
dengan ilmu Cian-kin-tui. Berbareng dengan itu Ia pun mengeluarkan suara aneh,
dan ditambah kipasnya dibuka ke hadapan muka musuh.
Cie Yang Cinjin merasakan pedangnya menjadi berat, kaget tak
alang kepalang, waktu ia mau mengawasi, terlihat kipas musuh merintangi
pandangan matanya. Terkecuali itu di dalam kipas itu terlukis tujuh bidadari
yang tidak berpakaian dengan tubuh ramping dan padat serta menggiurkan membuat
Cie Yang Cinjin gusar dan meluap, sehingga kekuatannya sedikit berpencar, akibatnya
Ia tidak bisa mempertahankan diri, hampir2 kebebes ke dalam air. Tapi dengan
cepat Ia menyalurkan tenaga ke atas pedang, membuat musuhnya terlontar pergi.
"Thian membantu diriku!" pikir Pek Tok Thian Kun.
Begitu terlontar ia membalik tubuh kipasnya segera merapat dan
dikeprokkan kepada punggung musuh dengan telengas.
Cie Yang Cinjin baru saja mau kembali ke atas bunga, segera
merasakan angin dingin menghantam dirinya. cepat mendongak lalu membuang diri
beberapa tombak. Akibatnya punggungnya lolos dari serangan tapi pundak kanannya
terkena juga kipas musuh.
Segera pandangannya menjadi kabur, darahnya meluap gusar dengan
melompat pergi hatinya menjadi risau. Pek Tok Thian Kun ter-bahak2 girang.
membuat Cie Yang Cinjin merasakan hatinya pusing dan gusar bercampur menjadi
satu. Otaknya segera membayangkan Heng Jie murid kesayangannya, memikir gurunya
yang berbudi, mengenang nasibnya yang malang, semuanya menjadi
terpikir.......... hatinya menjadi sedih dan pilu.
Tiba2 di otaknya berkilas ingatan, sebelum kalah, ia ingin
hancur seperti ratna dan tidak mau utuh seperti koral. Tanpa ragu2 lagi segera
ia melancarkan pelajaran gaib yang pernah diperolehnya di Tie-cu-to. Lengannya
membalik, keluarlah jurus Hin Hong Cok Lang (angin santar menjadikan gelombang),
inilah ilmu hebat yang jarang terlihat di dunia Bu Lim. Berikutnya pedang
terlepas dari tangan merupakan seekor naga emas menerjang datang diiringi
gelombang dan angin.
Pek Tok Thian Kun yang memperoleh hasil merasa girang dan
ter-tawa2, tapi sebelum membuatnya terlampau gembira, matanya menjadi silau
melihat sinar kuning.
"Celaka! Hidung kerbau ini mengeluarkan ilmu siluman!”
teriaknya seraya membuka kipasnya menangkis pedang.
Kipasnya dikebutkan dengan tenaga besar, mengeluarkan deruan
hebat. tapi tetap tidak bisa menangkis kehebatan pedang musuh, dengan
menerbitkan suara keras kipas itu kena ditembus. Terkecuali itu sebelah lengan
kirinya segera terpapas putus, darah merah mengucur deras. Dengan mengertekkan
gigi menahan sakit, ia lompat ke atas batu, dan lekas mengeluarkan obat luka.
Matanya meram seketika sambil duduk bersemedi. menjalankan pengobatan.
Sementara itu Cie Yang Cinjin yang tidak menghiraukan dunia
terbalik melancarkan kepandaiannya yang luar biasa, akibatnya luka yang
diderita bertambah hebat. Kekuatan yang berkumpul di Tan Tiannya menjadi buyar,
tubuhnya seperti bintang jatuh separuh tubuhnya masuk ke dalam air dan kalah
dalam pertandingan secara mutlak.
Dengan masgul ia melompat pada batu bulat, tampak air mata
membasahi matanya. Ia menghela napas panjang sambil memandang rembulan,
bertanya kepada langit yang luas dengan perasaan.
Melihat keadaan demikian, Hui Go Taysu turut berduka.
"Bilamana kepandaianmu yang ampuh itu siang2 dikeluarkan,
tidak mungkin kau kalah," sesalnya.
Ia tidak mengetahui bahwa Cie Yang Cinjin mempunyai kesukaran
pribadi yang tidak dapat dituturkan. Dalam keadaan terpaksa ia melancarkan
pelajaran yang tidak boleh digunakan untuk membunuh Pek Tok Thian Kun. Agar Bu
Lim Tiap tidak jatuh di tangan seorang yang suka membunuh secara se-wenang2 dan
mengakibatkan onar di rimba hijau. Tapi maksudnya itu gagal, Ia hanya berhasil
membuntungkan sebelah lengan musuh. Hal ini membuat hatinya pilu dan sedih.
Tiba2 dari udara terdengar suara tangis burung Hoo, suara itu
demikian lembut, untuk pendengaran Cie Yang Cinjin tak ubahnya dengan petir di
siang hari. Tubuhnya menggigil, ia segera dongak memandang ke atas awan. Begitu
ia melihat parasnya segera berubah pucat.
"Kau benar2 datang! Aku sudah melanggar janji..." keluhnya.
Matanya memancarkan cemas dan liar, sukar dibedakan dendam atau
cinta, girang atau cemas.
Tiba2 terdengar suara pengumuman dari Hui Go Siansu.
"Dalam pertandingan ini biar Pek Tok Thian Kun menderita
luka parah tapi tidak jatuh ke dalam air, sedangkan Cie Yang Cinjin jatuh ke
air. Sehingga Pek Tok Thian Kun memperoleh kemenangan dua kali dalam tiga
pertandingan ini berhak untuk menguasai Bu Lim Tiap," serunya.
"Bagaimana dengan Toyu, ada pendapat lain?"
"Tidak!” jawab Cie Yang Cinjin dengan senyum getir. Setelah
berkata ia merobek bajunya lalu menggigit jarinya dan menulis enam belas huruf
secara ter-gesa2. Lalu meminta kepada Hui Go Taysu mengambil kembali pedangnya
dari kipas Pek Tok Thian Kun. Kain itu dipilin menjadi kecil dan ditusukkan ke
dalam tubuh pedang dengan kekuatan Kim Cian In Sian (jarum emas membawa benang)
per-lahan2 kain itu masuk ke dalam tubuh pedang dan hilang tidak terlihat.
"Crang!" sekali terdengar bunyi, tahu2 pedangnya sudah
masuk ke dalam serangka. Dengan terharu Ia meng-usap2 pedangnya, lalu
mengeluarkan jarinya menulis di atas serangka pedang.
"Kalau ingin tahu soalku, terdapat di dalam pedang
ini."
Dengan kesedihan yang tidak terkira air matanya ber-linang2.
Dilihatnya Hui Go Taysu tengah menyerahkan Bu Lim Tiap pada Pek Tok Thian Kun.
Dengan lengan bergetar dan laku hormat, Pek Tok Thian Kun menerima Bu Lim Tiap.
Cie Yang Cinjin menarik napas, hal ini membuat Hui Go merasa
duka juga, cepat2 ia menghampiri untuk menghibur. Tapi kena didahului kawannya.
"Taysu, masih ingatkah kata2 pinto di tepi danau tadi?”
tanya Cie Yang Cinjin.
"Kuminta pedang ini kau bawa ke Bu Tong San dan serahkan
kepada seorang anak yang bernama Kiu Heng, atas ini Pinto sangat berterima
kasih pada Taysu."
Hui Go Taysu menyambut pedang itu.
Pek Tok Thian Kun yang menderita luka mengancam dengan gemas.
"Cie Yang Cinjin, hutang darah ini, kita perhitungkan
sepuluh tahun kemudian," serunya.
"Ha ha ha," Cie Yang Cinjin tertawa. "Hutang
piutang ini jangan baru dapat diselesaikan dalam penitisan yang akan
datang!"
Pek Tok Thian Kun merasa dongkol, pikirnya Cie Yang Cinjin
mentertawakan dirinya, sehingga mukanya menjadi merah matang bahna jengahnya.
Burung Hoo yang berbunyi tadi terdengar kembali, Ia turun
mengitari kepala Cie Yang Cinjin. Lalu, terdengar suara dari punggung burung
itu.
"Yat Hoan! Yat Hoan! Kutunggu kedatangan kau demikian lama
tapi kau salah janji, masih ada kata2 lainkah yang enak dibicarakan? Sebaiknya
lekas2 turut denganku."
Hui Go Taysu dan Pek Tok Thian Kun menjadi kaget, mereka
memandang kepada burung itu. Tampak seorang wanita berada di punggungnya.
Mereka menjadi heran tak mengerti, diawasinya Cie Yang Cinjin.
Sang Tosu diam tak berkata2, sedangkan matanya membulat lebar.
"Bagaimana? Apakah kau tidak mendengar kata2ku?" tegur
wanita di atas burung.
Ia mengenakan kain penutup muka, sehingga tidak terlihat
parasnya, sedangkan suaranya menandakan sudah merasa gusar.
Cie Yang Cinjin merapatkan mata sambil menjawab : "Lie Na!
Kau jangan harap menjadi isteriku pada penitisan sekali ini!"
Wanita itu menjadi kaget mendapat jawaban ketus, terpikir
olehnya penghidupan hampa selama dua puluh tahun untuk menantikan hari ini,
tapi impian manisnya menjadi buyar juga seketika.
Timbul rasa cinta yang bercampur dengan dendam menjadi satu,
giginya berketrekan nyaring. Dengan gemas Ia mengebutkan lengan kanannya,
segera tekanan tenaga keras menyambar turun, Hui Go Taysu yang masih berada di
sisi Cie Yang Cinjin segera mencelat pergi. Sedangkan Cie Yang Cinjin menerima
serangan itu dengan dadanya. Tubuhnya segera ber-goyang2 tapi tidak membuatnya
jatuh ambruk.
Wanita itu tersenyum mengejek melihat keadaan sang Tosu,
tubuhnya ringan seperti walet melayang turun ke atas batu. Jarinya yang putih
bersih seperti perak menunjuk ke arah Hian Kie Hiat Cie Yang Cinjin.
"Hm! Aku tidak percaya kau memiliki ilmu kebal. Kuingin
lihat dapatkah kau bertahan atas sebuah jariku?" katanya dingin.
Tapi lengannya segera ditarik kembali waktu melihat darah
mengucur dari mulut Cie Yang Cinjin. Ia bingung dan ragu2, dengan setengah
memaksakan diri jarinya membuka mulut si Tosu dengan paksa.
Tiba2 ia menjadi terkejut. "Kau... kau... kau..."
katanya kaget.
Kiranya Cie Yang Cinjin sudah menggigit hancur lidahnya membunuh
diri. Si wanita menjadi sedih. Dengan ter-sedu2 Ia memeluki jenazah si Tosu
dengan penuh sesal.
Hui Go Taysu menjadi kaget, pikirnya wanita itu membunuh Cie
Yang Cinjin, dengan gusar Ia membentak dan menghampiri seraya menyerang dengan
tongkatnya.
Dalam sedihnya wanita itu seperti tidak mendengar kejadian di
sekeliling, sewaktu Ia merasakan keadaan tidak benar, tongkat sudah sampai.
Untung ia memiliki ilmu ginkang yang 'luar biasa', cepat2 merapung ke udara
dengan membawa jenazah Cie Yang Cinjin. Lalu hinggap di punggung burung Hoo dan
segera berlalu.
Hui Go Taysu menyerang tempat kosong, padahal Ia melihat tegas
tongkatnya hampir berhasil melukai musuh, dengan heran Ia terpekur sambil
melihati kepergian wanita itu.
"Segera kau tulis kejadian malam ini berikut perempuan yang
tidak terang asal-usulnya di dalam Bu Lim Tiap!” katanya pada Pek Tok Thian
Kun.
"Bagaimana menulisnya?" kata Pek Tok Thian Kun seraya
mengasongkan Bu Lim Tiap dengan lengan kanannya di samping itu Ia mengumpulkan
tenaga penuh kepada Bu Lim Tiap.
Hui Go Taysu tidak tahu dan tidak menduga bakalan dicelakakan
secara pengecut, begitu Ia menyambut Bu Lim Tiap segera merasakan tenaga keras
menyerang dirinya, kagetnya tidak alang kepalang. Tapi apa daya, tidak ada
jalan untuknya mengegos lagi. Karena batu itu kecil sekali, tubuhnya tak ampun
jatuh ke dalam air dari mulutnya keluar darah merah.
Pek Tok Thian Kun ter-bahak2 sambil berlalu.
Berbarengan dengan itu Hui Go Taysu memaki kalang kabut dari
dalam air.
Lalu keadaan menjadi sunyi hanya bunyi genta terdengar beruntun
sebanyak lima kali. Siapa pun tidak akan menduga segala dendam dan permusuhan
sudah tersebar luas.
Sinar surya mulai keluar mengusir kegelapan.
Kebaikan dan kebajikan tidak berhasil mengalahkan kejahatan pada
malam itu, akan demikian teruskah?
***
Musim salju terasa dingin, lebih2 keadaan di gunung Bu Tong,
lereng2 gunung menjadi putih. Sinar matahari yang memancarkan terang menyorot
salju membuat pandangan berkunang-kunang. Di balik pohon2 cemara yang hijau
terlihat seorang Hweesio tua dan dua Hweesio kecil mendaki gunung. Mereka dapat
berjalan cepat seperti di tanah datar, menunjukkan limu ginkangnya sudah
tinggi. Dalam sekejap tibalah mereka di suatu tempat yang bertulisan tiga huruf
"jurang melucuti senjata".
Begitu melihat peringatan "harus melepaskan senjata"
mereka menjadi diam sejenak.
"Supek? Perlukah kita..." tegur salah satu Hweesio
kecil dengan hormat.
"Tidak usah," potong si hweesio.
Dua Hweesio kecil menjawab: "Baik," lalu mengikuti
langkah Supeknya mendaki ke atas.
Di bawah terangnya surya, tiga senjata mereka menjadi
ber-sinar2. Sewaktu mereka melewati (pepohonan cemara terdengar suara seorang
yang tengah gusar: "Sekali ini kau akan lari ke mana? Kalau tak kubunuh
jangan sebut orang, hm, akan kubeset kulitmu, ku-cingcang dagingmu agar kau
selamanya tidak bisa menitis menjadi manusia lagi!”
Kata2 yang kejam dan ganas ini membuat mereka menjadi bergidik.
"Bu Tong Pay dan Siau Lim Sie merupakan partay terbesar
yang dihormati kaum rimba persilatan, kenapa ada yang berani main gila di
sarang harimau?" pikir si hweesio.
Kembali terdengar kata2 orang itu.
"Kau kira sesudah berhasil menggigitku bisa membuatku mati?
Kau jangan bermimpi. Andaikata benar, kaupun harus mati terlebih dulu!"
Semakin mendengar semakin membuat si hweesio heran. Dicobanya
melihat ke dalam, tapi daun yang rimbun membuatnya tidak bisa melihat apa yang
terjadi di dalam situ.
"Sun In, San Ko, kau jaga di sini dan jangan sembarangan
bergerak, aku ingin melihat siapa manusianya yang berani main gila di Bu Tong
San," kata si hweesio kepada dua pengikutnya.
Begitu ia masuk segera memasang lengan di dada dan mengangkat
tongkat siap siaga atas sesuatu yang tidak dikehendaki. Tapi di dalam pepohonan
itu tidak terlihat barang seorangpun, suara yang didengarnya tadi entah dari
mana datangnya? Ia menjadi kesa1 dan balik kembali untuk melanjutkan
perjalanannya. Tapi suara tadi itu mulai terdengar lagi begitu ia menggerakkan
kaki.
"Kulihat kau bisa hidup berapa lama lagi?"
Sesudah meng-amat2i sejenak si hweesio segera mengetahui suara
itu datangnya dari balik batu besar, tak heran ia tidak melihat orang itu.
"Siapa?" bentaknya keras seperti bahana membelah bumi.
"Siapa?" jawaban keras yang menggeledek terdengar dari
balik batu.
"Siapa yang berani mencampuri urusanku?"
Berbareng dengan habisnya perkataan tersebut, terlihat sinar
merah berkilat datang, bercampur pula bau amis menyerang datang. Kiranya seekor
ular yang sudah dibeset kulitnya dan dagingnya hancur dilempar orang menghajar
si hweesio.
Si hweeesio menjadi sadar begitu melihat ular itu, Ia tahu salah
paham, dengan cepat Ia mengebas dengan tangan membuat bangkai ular itu terpukul
dan menghajar batu besar.
Segera terdengar bunyi keras, karena batu itu segera terdorong
roboh.
"Ilmu Pek Pou Sin Kun yang teramat lihay dari Siau
Lim," kata orang itu seraya mencelat keluar dari balik batu.
”Kau jangan sok aksi dulu, mari kita coba dulu dengan Kiam-hoat
Bu Tong Pay, bagaimana?"
Kira si hweesio orang itu seorang yang memiliki ilmu tinggi,
tapi waktu mengawasi ia menjadi heran. Orang itu hanya seorang bocah tanggung
berusia lima belas tahun.
Si hweesio mengetahui bahwa bocah itu adalah murid dari Bu Tong
Pay.
"Ah, aku mana boleh melawannya dan membuat onar, lebih2
kejadian ini karena salah paham....." pikirnya.
Tapi serangan si bocah sudah sampai, membuatnya terpaksa
mengangkat tongkat menangkis. Begitu senjata beradu terdengar bunyi
"krak" sekali.
Anak itu menjadi kaget dan lari dengan kecepatan luar biasa,
menandakan ginkangnya sudah sempurna.
Di atas tanah menggeletak sebilah pedang kayu yang patah. Dengan
menarik napas si hweesio menoleh kepada dua pengiringnya.
"Mari kita berangkat!" katanya.
Sementara itu, anak tanggung tadi kembali menampakkan diri dari
balik pohon, diikutinya tiga Hweesio dari belakang. Tapi Ia tidak bsa berjalan
cepat karena merasakan paha kirinya sakit sekali.
Dengan cepat Ia menggulung celana. Terlihat olehnya warna hitam
yang bengkak pada kakinya. Dengan kaget dan geregetan ia menghampiri kembali
bangkai ular, dengan gemas di-injak2nya sampai hancur.
"Kenapa kau menggigitku, bila tidak akupun tak akan
melakukan demikian macam!" katanya.
"Kau harus tahu barang siapa yang menggangguku, akibatnya
akan begini!"
Tiba2 perasaan sakit menyengat seperti antuk lebah membuatnya
berkeringat menahan sakit, sungguhpun demikian Ia tidak merintih, hanya giginya
berkeretekan.
Ia tahu bisa ular itu sangat berbahaya, tanpa pikir panjang
lagi, dengan cepat tempat yang kena gigit dipotong seketika. Dengan menahan
sakit ia duduk membalut lukanya.
Mendadak dari atas gunung terdengar genta dan tambur ber-talu2,
bunyinya keras dan menggema keseluruh lembah dan jurang.
"Sebal betul! Siang hari malam kalau bukan suara genta
pasti suara tambur, membuat pusing kepala," gerutunya.
"Heh! Beberapa tahun ini aku belum pernah mendengar suara
tambur yang sekaligus dibunyikan dengan genta, mungkinkah di atas gunung
terjadi sesuatu yang hebat? Ya, benar, pasti tiga Hweesio pembawa senjata yang
membikin onar, keadaan ramai ini biar bagaimana harus kusaksikan.”
Dengan ter-pincang2 ia naik ke atas. Belum selang berapa lama
dari atas gunung terlihat seorang Tosu muda menghampiri ke arahnya sambil
memanggil: "Kiu Susiok! Sucun memanggil kau lekas2 masuk ke dalam biara
Sam Goan Kuan.
"Ceng Siong! Apakah kau buta? Bukankah aku tengah menuju
kesana?" jawab si anak.
Ceng Siong biar lebih tua dari si anak tapi berkedudukan lebih
muda.
"Kiu Susiok, maukah kugendong?” karena siang2 sudah
mengetahui si anak ter-pincang2.
"Apa katamu? Menggendongku? Mungkinkah? Pergi! Pergi!
Jangan membuatku gusar," bentaknya seperti orang dewasa.
"Ceng Siong, apakah kau tahu sebab apa aku dipanggil?”
tambahnya.
"Tidak terlalu tegas, tapi seperti tiga Hweesio..."
"Tiga Hweesio yang membawa senjata?" potong si anak.
"Kenapa Kiu Susiok bisa tahu?’’
"Kenapa tidak?" jawab si anak, dilihatnya Ceng Siong
mengawasi pada kakinya yang luka. membuatnya mengerutkan kening, ia kuatir
timbul sslah paham, cepat2 Ia menjelaskan: "Kau jangan sok pintar dan
men-duga2, lukaku bukan karena Hweesio itu melainkan digigit ular! Mungkinkah
mereka datang untuk membuat onar?”
"Bukan, karena Sucun tidak gusar atau memarahi mereka,
melainkan memukul genta dan tambur mengumpulkan sekalian murid2 untuk
menyambut.”
Anak itu yang bukan lain dari pada Kiu Heng tiba2 mengingat
sewaktu gurunya turun gunung pernah mengatakan sesuatu kepadanya, membuatnya
segera tahu maksud kedatangan dari tiga Hweesio itu.
"Celaka,” serunya, seraya berlari cepat2 tanpa menghiraukan
pada luka dan sakit. Dengan napas memburu tibalah ia di dalam biara Sau Goan
Kuan. Dilihatnya Cee Sie Supeknya tengah menemani si Hweesio yang dikemukakan
tadi. Cepat Ia berlutut dan meminta maaf atas kekurangajarannya tadi.
"Tapi guruku pernah mengatakan bahwa Hui Go Taysu sudah
berusia tujuh puluh tahun, tapi kenapa menjadi muda begini, mungkinkah Ia sudah
mempelajari llmu awet muda?” pikir Kiu Heng.
Dengan kedua matanya Ia melihat peninggalan dari pedang gurunya
yang bernama Kim-liong-cee-hwee-kiam terletak di atas meja.
Tak terasa lagi matanya menjadi merah, air matanya pun segera
menggenangi di dalam kelopaknya, lalu mengetel turun.
"Aku tidak boleh menangis, aku laki2 sejati mana boleh di
depan mereka menangis," pikirnya.
Cee Sie Tojin baru melihat tegas bahwa anak yang berdarah dan menderita
luka itu adalah Kiu Heng, dengan kaget ia bertanya: "Heng-jie! Kenapa kau?
Coba sini kuperiksa!” nada suara yang manis dan penuh rasa kasih sayang.
"Supek! aku tidak kenapa-napa!" jawab Kiu Heng.
"Hanya digigit ular."
"Ular apa?”
"Tidak kutahu namanya," kata Kui Heng, "tapi
jangan kuatir tempat yang digigit sudah kupotong."
Dengan kasih sayang Cee Sie Tojin mengelus-ngelus kepala Kiu
Heng.
"Heng-jie! Gurumu sudah ..........."
"Aku sudah tahu, supek tak perlu mengatakan lagi,” potong
Kiu Heng.
"Aku tahu suhu sudah meninggalkan dunia yang fana ini, tapi
tetap hidup di dalam hatiku. Aku tidak senang mendengar perkataan mati atau
meninggal," pikirnya dengan sedih.
"Heng-jie,” kata Cee Sie Tojin, "ini adalah Cun Cu
Taysu, Ciang Bun Hong Tio dari Siau Lim Sie.”
Kiu Heng menjadi kaget. Ia tahu dugaannya tidak salah, bahwa
Hweesio itu adalah ketua Siau Lim Sie, tapi bukan Hui Go Taysu.
Ia heran kenapa Siau Lim Sie bisa mempunyai dua ketua,
mungkinkah Hui Go Taysu sudah meninggal dunia seperti gurunya? Tapi kenapa
pedang Kim-liong-cee-hwee-kiam bisa dibawanya? Tapi Ia seorang anak yang
pintar, tidak mau terpekur terus cepat-cepat maju memberi hormat.
"Terimalah, hormat Siautee," katanya.
Cun Cu Taysu berkedudukan sama dengan Kiu Heng, lekas membalas
hormat. "Sutee tak perlu memakai banyak peradatan.”
Bagaimana dengan Hui Go Supek......?" tanya Kiu Heng.
"Sudah pulang ke alam baka,” potong Cun Cu Taysu.
"Karena itu Pinceng harus mengurus jenazahnya dan
bersembahyang seratus hari, sehingga terlambat datang ke sini.”
"Taysu, dapatkah menjelaskan siapa pembunuh guruku dan
bagaimana kejadiaannya?" kata Kiu Heng.
"Dalam hal ini Pinceng tidak tahu jelas, sewaktu Siansu
(membahasakan guru sendiri yang sudah meninggal) kembali dari See Ouw, sudah luka
parah, beliau tidak bisa bicara seperti sedia kala. Tapi sebelum meninggal
beliau mengatakan dengan terputus-putus seperti berikut: Pedang panjang... Bu
Tong San... Kiu Heng... perempuan. Kata2 dari Siansu ini sudah dipelajari baru
kutahu garis besarnya, begitulah sesudah beres berkabung, kami datang ke
sini."
Kiranya sesudah Hui Go Taysu dicelakakan Pek Tok Thian Kun,
menderita luka hebat. Si hweesio tahu dirinya akan mati, tapi dengan penuh daya
kekuatan dan tak menghiraukan sakitnya, terus berjalan cepat2 menuju Siau Lim
Sie. Begitu tiba di tempat kediamannya, lukanya sudah parah betul, sebelum bisa
menerangkan apa yang dialami dengan jelas sudah keburu menarik napas yang
penghabisan.
Kaum Siau Lim Pay mengetahui Ciang Bun Hong Tio mereka dicelakakan
Pek Tok Thian Kun, tapi sesudah mengadakan rapat untuk sementara tidak boleh
menyebarkan ke luar. Dan mengatakan Hui Go Taysu meninggal dunia karena sakit.
Hal ini dilakukan mencegah terjadinya tumpah darah lebih hebat di dunia Bu Lim.
Sedangkan soal sakit hati akan diselesaikannya di kemudian hari
bilamana ada kesempatan.
Begitu Kiu Heng mengetahui Hui Go Taysu mengatakan perempuan
sebelum matinya, segera mengambil kesimpulan bahwa gurunya pasti dicelakakan
perempuan.
"Tahukah Taysu siapa yang dimaksud dengan perempuan
itu?" tegurnya.
"Pinceng tidak tahu!" jawab Cun Cu Taysu.
"Berapa orangkah yang turut ambil bagian dalam pertemuan di
See Ouw?”
"Terkecuali dari Siau Lim Sie dan Bu Tong Pay, masih ada
Hoa San Pay yang diwakili Liau Tim Sutay dan Pek Tok Thian Kun.’’
"Oh," kata Kiu Heng.
Dalam empat orang hanya satu perempuannya. Hui Go Taysu pasti
menunjuk perempuan itu adalah Liau Tim Sutay!” pikirnya.
Tapi Ia tidak memikir kenapa Hui Go Taysu menyebutkan Liau Tim
Sutay dan hanya mengatakan perempuan?
Cee Sie Tojin menyerahkan pedang Kim-liong-cee-kwee-kiam pada
Kiu Heng.
"Itu adalah pedang peninggalan gurumu, tampaknya di dalam
pedang bersembunyi rahasia besar, baik-baiklah kau jaga."
Dengan hormat Kiu Heng menyambut pedang itu dengan kedua
tangannya. Dilihatnya di serangka pedang tertera bunyi: Kalau ingin tahu soalku
terdapat di dalam pedang ini.
Ia menjadi girang bercampur sedih. Girang karena gurunya tidak
melupakan pada sakit hatinya dan memberi tahu. Sedih karena ditinggal gurunya.
Dalam cemasnya, cepat2 ia mencabut pedang, tapi antara pedang
dan serangkanya yang sudah ditekan Cie Yang Cinjin dengan ilmu Kiu Yang Sin
Kang (sembilan kekuatan sakti), agaknya sudah seperti menjadi satu. Beberapa
kali ia mencoba mencabutnya dengan sekuat tenaga. Sampai tangannya sakit belum
juga berhasil menghunusnya. Ia menjadi malu dan buru2 keluar ruangan.
"Dalam bidang lain anak ini cukup baik, hanya adatnya
terlalu keras dan angkuh," pikir Cee Sie Tojin sambil meng-geleng2kan
kepala.
Cun Cu Taysu melihat apa yang dikerjakan sudah beres segera
mohon pamit. Cee Sie Tojin tidak dapat menahan, terpaksa mengumpulkan semua
murid2 Bu Tong Pay menghantarkan kepergiannya Cun Cu Taysu dan dua
pengiringnya.
Hari ini Kiu Heng merasa tidak enak makan, seharian penuh ia
menyekam diri di dalam kamar, waktu malam mendatang otaknya menjadi kacau dan
berpikir-pikir tentang kejadian yang membuatnya masuk ke dalam suatu hidup
sedih yang memilukan hati.
Waktu itu Ia baru berusia lima tahun, ia masih kecil tapi tidak bisa
melupakan kejadian di suatu malam.
Saat itu tidak ada bintang maupun rembulan, Ia terjaga dari
tidurnya. Sebelum bisa berteriak-teriak kaget, ada seseorang membekap mulutnya.
lalu melemparkannya keluar pekarangan dan tepat masuk ke dalam sumur.
Ia tidak menangis, hanya merasakan bahwa manusia itu terlalu
tidak mempunyai kebajikan. Sampai dimana ia kena ditolong gurunya dari dalam
sumur. Tampak rumahnya yang enak dan hangat sudah menjadi puing2 dan
berantakan. Baris berbaris malang melintang mayat yang tidak berkepala memenuhi
pekarangan tempat bermainnya. Diantaranya terdapat jenazah dari kakeknya,
ayahnya, ibunya, saudara2nya, dan seluruh famili serta pengawal2 yang tidak
kurang dari seratus orang.
Di luar pintu tiang2 bendera yang biasa digunakan untuk
mengibarkan bendera Wie Bu Piau Kie (perusahaan pengawal barang Wie Bu)
berpancungan kepala2 manusia. Ia tidak menangis, hanya merasakan seluruhnya
adalah darah, terkecuali darah masih tetap darah dan kelak ia akan meminta
darah membayar darah .....
Renungannya ber-bayang2 terus, membuatnya tidak bisa tidur.
Bintang2 sudah menyepi hanya tinggal satu masih terlihat berkedip-kedip. Ia
mengerutkan kening sambil mengusap-usap pedangnya, dengan senjata ini Ia akan
melakukan tagihan darah. Ia girang dan mengucurkan air mata, lalu tidur
sejenak, sesudah itu dengan tergesa-gesa ia bangun, tanpa banyak pikir lagi ia
keluar pintu, dilihatnya murid2 Bu Tong belum pada bangun. Dengan tanpa pamit
lagi ia meninggalkan Bu Tong San.
***
Musim semi di Kang Lam indah sekali, burung kenari bersiul2
sepanjang pagi, bunga2 indah menerbangkan bebatuan harum, dunia sudah beralih
dari kebekuan musim salju dan kembali pada kesegaran baru.
Dalam sekejap mata Kiu Heng sudah melewati tiga bulan dengan
penghidupan baru yang tidak karuan. Ia merantau kesana kemari tanpa arah tujuan
dan tibalah di daerah Ciat Kang. Tiga bulan ini membuatnya kecewa, dadanya
seperti ditembus anak panah yang tak mengenal kasihan, hancur luluh
pengharapannya.
Kini, terkecuali dari ilmu pelajaran yang pernah didapat dari
gurunya, tidak ada kemajuan lain yang diperolehnya. Ingin ia mencari orang2
luar biasa guna menuntut ilmu, tapi tidak ada daya untuk menemuinya. Se-waktu2
timbul niatnya kembali ke Bu Tong San, menuntut penghidupan yang menjemukan dan
mempelajari ilmu yang tidak bisa dipergunakan melawan musuh. Tapi perasaan hati
kecilnya terlampau besar. Sehingga pikiran itu sekali timbul segera tertekan
hilang lagi.
Pikirnya berbuat demikian itu tidak berguna dan bisa
ditertawakan kawan2 seperguruan. Ia ingin kembali sesudah berhasil' menjadi
seorang yang berilmu tinggi, agar saudara2 seperguruannya merasa iri dan kagum.
Mengingat demikian kekerasan hatinya semakin hebat, tanpa
mengenal lelah ia maju terus dengan harapan besar.
Pada suatu hari Kiu Heng tiba di kota Sin Cong, pikirnya di kota
besar demikian itu pasti tempat mengeramnya segala harimau dan naga. Tapi Ia
berpikir salah. Terkecuali dari kaum penjual silat, tidak didapatkannya orang2
berilmu tinggi yang dikehendaki. Sepuluh hari ia membuang waktu di kota itu dengan harapan nihil.
Hari ini Ia pergi keluar kofa untuk menghilangkan kesepian
hatinya dan mengharap-harapkan ketemu orang luar biasa. Dengan langkah berat ia
berjalkan perlahan-lahan.
"Mungkinkah cita2ku tidak akan dikabuli alam? Kalau terus
demikian macam, aku harus bagaimana?" pikirnya.
Tiba2 ia mendengar suara kelenengan nyaring yang bercampur
dengan ketoprakan kaki kuda, sungguhpun bukan suara musik tapi cukup menarik
pendengaran.
Dengan cepat penunggang kuda itu sudah tiba di hadapannya dan
berhenti. Kui Heng menundukkan kepala terus sambil minggir membuka jalan.
Anehnya penunggang kuda itu tidak melanjutkan perjalanan. Ia dongak memandang,
tampak seekor keledai yang kokoh dan hitam mengkilap, lalu melihat kelenengan
yang tergantung di leher binatang itu, hal ini membuatnya kaget karena
kelenengan itu terbuat dari kumala yang mahal.
"Penunggang keledai itu kalau bukan kaum bangsawan tentu
seorang saudagar besar. Tapi kenapa berhenti di hadapan mukaku?” pikir Kiu Heng
tidak mengerti.
Untuk mencari jawaban Ia menatap penunggang keledai itu. Ia
menjadi kaget tapi tidak membuatnya berseru.
Tampak penunggang keledai itu adalah seorang tua yang sudah
putih rambut janggutnya, mukanya pucat tidak berdarah, barang siapa melihatnya
pasti akan merasa gentar.
Waktu pandangan mata Kiu Heng bentrok dengan sinar mata orang
tua itu membuatnya menggigil tidak karuan, karena matanya si orang tua lebih
banyak putihnya dari hitamnya, memancarkan sinar terang berkilat-kilat memaksa
membuatnya takut dan menundukkan kepala.
"Dilihat dari Tay Yang Hiatnya yang menonjol demikian
macam, pasti seorang berilmu tinggi yang luar biasa, tapi kenapa demikian adem
dan tawar? Mungkinkah, aku dapat memperoleh beberapa pelajaran darinya?"
pikir Kiu Heng.
"Hm,” kata si orang tua dengan dingin, seolah-olah menghina
Kiu Heng seorang pengecut besar yang melihat matanya saja tidak berani. Mana
bisa menjadi jago Bu Lim di kemudian hari?
Begitu Kiu Heng mendengar suara ejekan, perasaan hatinya segera
tersinggung, cepat2 memandang dengan gusar dan penuh keberanian.
Tapi si orang tua sudah merapatkan matanya, dan menjalankan lagi
keledainya.
Kembali suara keleningan dan ketoprakan kaki keledai terdengar
nyaring.
Entah bagaimana Kiu Heng seperti kena guna2 juga mengikuti terus
di belakang keledai. Sewaktu tiba di sebuah rumah makan yang besar, keledai itu
berhenti sendiri tanpa diperintah. Si orang tua membuka matanya, seolah-olah Ia
tahu bahwa Kiu Heng mengikutinya sedari tadi.
Sedikitpun tidak menjadi heran, akan tetapi dengan sengaja tidak
sengaja Ia melirik beberapa kali pada si anak.
Sekali ini Kiu Heng tidak takut seperti tadi. Ia memandang pula
dengan tersenyum.
suatu senyum persahabatan yang manis dengan harapan mendapat
kesan baik dari si orang tua.
Tapi si orang tua seperti tidak melihat saja, sedikit pun tidak
menunjukkan perasaan apa2, ia berjalan perlahan-lahan ke dalam rumah makan
dengan tenang sesudah turun dari keledainya. Lalu duduk di tempat yang sunyi
dan menghadap jendela.
Kiu Heng menjadi tertegun melihat pengawakan si orang tua.
karena kalau dirinya dibanting tidak sampai sepinggangnya.
Sejenak kemudian ia pun membusungkan dada meniru lagak si orang
tua masuk ke dalam. Sambil jalan otaknya sambil terpikir: ”Orang tua ini
jangkungnya luar biasa sekali. tak ubahnya dengan Bu Siang Kui (setan
jangkung). Oh, yang tepat adalah setan jangkung yang putih."
Berpikir sampai di situ hatinya mengingat: "Oh,"
serunya tak terasa.
Cepat2 ia berhenti melangkah, wajahnya berubah ketakutan, dengan
sinar mata cemas Ia memandang si orang tua jangkung.
"Mungkinkah orang tua ini Cungcu dari Ban Seng Cung yang
bergelar Pek Bu Siang dan bernama Siang Siu?" pikirnya.
Ia adalah seorang dari jalan hitam kelas wahid dan ditakuti
seluruh Kaum Bu Lim.
Teringatlah gurunya sering menceriterakan keadaan dunia rimba
hijau. Ia ingat bahwa Pek Bu Siang dilukiskan gurunya seorang yang berwajah
tawar dan beku, tapi memiliki ilmu tinggi yang hebat. Sewaktu terjadi pertemuan
di Thian Tie ia menjadi jago tanpa tandingan, tapi akhirnya kena dikalahkan
Jiak Hiap Kong Tat. Sejak itulah ia menyembunyikan diri di pegunungan sepi,
sehingga tersebar kabar ia sudah mati.
"Ah, tak mungkin dia,” bantah Kiu Heng pada dirinya
sendiri.
"Hei! Bocah apa perlumu datang ke sini, kau harus tahu
inilah Cui Hong Ciu Lauw (rumah makan burung Hong hijau) yang terbesar dan
kenamaan," kata pelayan rumah makan.
Perkataan yang berbau menghina ini membuat Kiu Heng sadar dari
lamunannya. Cepat2 ia merogo sakunya yang masih mempunyai beberapa gelintir
perak hancur.
"Tak perduli rumah makan yang bagaimana besarpun untuk
makan sekali tidak menjadi soal,” pikirnya.
Lalu ia memandang kepada pelayan dengan garang. Tampak pelayan
itu tengah mengawasi dengan mata yang menghina dan mengejek, hal ini membuatnya
panas, dengan keras ia berkata: "Hai, kau boleh sediakan segala makanan
untuk Siauya makan!”
Tiba2 ia merasakan perkataannya ini kurang tepat, ia kuatir
pelayan itu mempersukar dirinya dan memberikan segala sayuran
sebanyak-banyaknya. Bagaimana jadinya kalau sampai tak kuat membayar? Bukankah
ia harus malu di muka umumn?
Sungguhpun ia masih kecil tapi sudah mempunyai malu, lekas2 Ia
mengubah perkataannya barusan.
"Hai, jangan banyak2, karena Siauya baru makan!"
serunya.
"Kurang ajar, siang2 aku menemui setan!" pikir si
pelayan, ”Mana ada aturan sepiring nasi dibagi dua. Inginkah kau makan perdeo?
Awas kalau kau anglap, perhitunganmu bakal salah. Pendeknya kalau kau tak
bayar, kulitmu akan kubeset,” gerendeng si pelayan di dalam hati.
Tapi sewaktu ia memandang pedang panjang Kiu Heng, pikirannnya
menjadi berubah.
"Ah, bocah ini masih mempunyai pedang yang dapat digadai,
gelagatnya aku tak bisa membeset kulitnya," pikirnya lagi.
Saat ini keadaan rumah makan tengah ramainya, tidak ada tempat
kosong lagi. Hanya ada sebuah kursi yang masih kosong, yakni yang di sebelah
orang tua jangkung. Tanpa memperdulikan Kiu Heng senang atau tidak, segera
menunjuk kursi itu. Hal ini cocok dengan permintaan Kiu Heng, dengan girang Ia
ke sana.
Tak perduli ia seorang jahat yang menggemparkan
Bu Lim dengan kekejaman dan ketelengasannya, yang penting aku
harus mencapai cita2-ku. Tapi harus menantikan ketika baik. Bila tidak, bisa2
aku mati konyol secara kecewa,” pikirnya.
Si orang tua makannya sangat lambat, seperti tengah mempunyai
urusan lain yang maha penting, dan terpancang pula seperti menantikan
seseorang. Sehingga Kiu Heng yang semeja dengannya tidak pernah dianggap ada.
Perlakuannya yang demikian adem dan kecut, seolah-olah di dalam
dunia ini terkecuali dia sendiri tidak ada orang kedua lahir hidup, membuat
sekali pandang sudah nyata bahwa ia bersifat menyendiri.
Sesaat kemudian orang tua itu berdehem dua kali. Kiu Hrng
menengok, hatinya menjadi terkejut: Dua mata si orang tua yang bersinar tajum
dan dingin menatap ke arah pintu tanpa berkedip, mukanya yang beku dihiasi
senyum dingin yang getir.
Kiu Heng yang pintar segera menduga bahwa di rumah makan ini
akan terjadi onar hebat, cepat2 Ia memandang keluar.
Ia menjadi heran karena tidak ada sesuatu yang menimbulkan
kecurigaannya, otaknya menjadi heran tak mengerti.
Tiba2 dari arah luar dua kuda yang berlari cepat datang ke rumah
makan, penunggangnya sudah turun dengan cepat dan berdiri berjajar di depan
pintu. Yang berdiri di sebelah kiri adalah seorang tua botak, yang berwajah
welas asih. Wajahnya merah bersinar. lengannya memegang tongkat besi yang
panjang. Yang di sebelah kanan adalah seorang tua gemuk yang tembem, perutnya
gendut, lengannya memegang kipas yang digoyang-goyangkan.
Sungguhpun mereka sudah tua tapi semangatnya masih gagah,
gerak-geriknya sangat lincah, sinar mata mereka tajam menyapu sekeliling,
sekali lihatpun orang akan tahu bahwa mereka adalah jago yang berkepandaian
tinggi.
(Bukankah mereka ini yang bergelar Thian Lam Sam Cee (tiga
bintang dari Thian Lam), yang botak itu pasti Siu-cee Kong Say Lam San dan yang
gemuk adalah Hok-cee-kong Sin Tong Hai. Mereka tinggal di daerah Thian Lam,
kenapa bisa datang ke Ciat Kang? Ah, apa hubungan mereka dengan si orang tua
jangkung? Kalau begitu biar si orang tua jangkung berilmu bagaimana tinggi pun
mana bisa menang melawan mereka berdua?" pikir Kiu Heng.
Entah bagaimana perasaan kuatir atas keselamatan si orang tua
jangkung timbul di hatinya.
Memang dua orang tua yang baru datang itu adalah dua dari tiga
bintang Thian Lam, sedangkan seorang lagi yang bernama Hok Sam Kang dan
bergelar Liok-cee-kong tidak menampakkan diri.
"Ih, bukankah itu Siang Siu-heng?" kata mereka dengan
kaget.
"Ah, tak kira si orang tua ini benar2 Siang Siu
adanya," pikir Kiu Heng.
Si gendut Sin Tong Hai pura2 terkejut.
"Aiihh,’' serunya, "Kita seperti buta saja! Sesudah
melihat keledai hitam yang bernama Cui-hong-pen-goat seharusnya berpikir bahwa
Siang Heng berada di sini. Benar2 harus mampus, Lo Toa lekas kau minta maaf,
jangan sampai membuat Siang Heng, gusar dan mencengkeram kita, bilamana sampai
begitu urusan jadi berabe!"
Ia seperti berkata-kata pada diri sendiri, tapi mirip pula
berkata pada saudaranya, tapi suaranya cukup terdengar Pek Bu Siang.
Kiu Heng tidak mengetahui persoalan antara mereka dan tidak
dapat menangkap makna2 dari perkataan Sin Tong Hai itu berupa sindiran tajam
untuk Pek Bu Siang.
"Pek Bu Siang ini benar2 kenamaan sekali, sampai Thian Lam
Sam Cee yang menggetarkan empat penjuru masih merasa jeri, pikirnya.
"Siang Heng sehabis berpisah pasti baik2 saja bukan? Masih
ingatkah dengan kawan lama? Tiga puluh tahun kita berpisah, tampaknya Siang
Heng masih tetap sejaya dulu, bahkan kuyakin ilmu Pai Kut Sin Kang (ilmu tulang
kering) sudah diyakinsampai tarap sempurna," kata Siu-cee-kong Say Lam San
sambil membungkukkan tubuh.
Pek-bu-siang Siang Siu membalas hormat tanpa berdiri.
"Tak kukira Thian Lam Cee yang kenamaan di masa lalu bisa
berubah menjadi Thian Lam Sam Ciu (tiga badut dari Thian Lam)! Ha ha ha! jiwi
tidak berasakah lagak yang demikian itu terlalu menyebalkan yang melihat? Hm,
satu lagi kemana? Mungkinkah pulang ke rumah mertuanya? Beberapa hari yang lalu
aku masih melihat ia bersama kamu mengikutiku secara mencurigakan, kenapa kini
tidak terlihat mata hidungnya? Mungkinkah tidak mempunyai muka dan malu karena
kejadian yang dulu? Sebenarnya Ia tak perlu demikian, biar bagaimana kita toh
tetap kawan lama bukan? Ha ha ha!" kata Pek-Bu-siang Siang Siu sambil
ter-tawa2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar