Selasa, 13 Mei 2014

Cersil Terbaru : Bu Lim Tiap (Pusaka Rimba Hijau) 1

cover_pusaka_rimba_hijau_bu_lim_tiap_tse_yung.jpg

Bu Lim Tiap (Pusaka Rimba Hijau)

Dituturkan Oleh : TSE YUNG

SCAN IMAGE : Lunjuk's Corner dan Arman
DJVU : Dewi KZ

JILID I

........ sunyi ....... jagat raya ....... dan segala ...... penuh ketenangan dan ketenteraman.

Tatkala ini di tepian danau See Ouw tertera jejak kaki memanjang, diiringi derap suara sepatu di atas pasir. Dalam kesunyian malam, suara itu semakin tegas di pendengaran, membayangkan kesepian seorang diri!

Sinar rembulan menembus celah2 daun liu, sungguh pun suram dan sayu, dapat pula menerangi keadaan di pantai itu. Seseorang berwajah kurus dengan pedang di punggung, mengenakan pakaian kuning panjang, usianya lima puluhan dengan jenggot putihnya ................

............ bukan lain dari seorang Ciangbunjin Bu Tong Pay yang bernama Cie Yang Cinjin.

Tiba-tiba ia menghela napas, ......... dihentikan tiba2 .......... sinar rembulan ter .......... cahaya ....... terbenam ........ nya sendiri.

Dengan mengerutkan kening ia kemak-kemik sendiri: "Mati hidupnya manusia bergantung kepada waktu, ada yang lebih panjang ada juga lebih pendek, akhirnya sama juga.. mati! Dalam sekejap mata telah berpuluh tahun aku menjabat sebagai Ciangbunjin Bu Tong Pay .......... kembali ........ mengadakan pertemuan yang ke............ Aku tak habis ....... dalam pertemuan ........lalu dua kali mengalami ..... dan selalu ...... kunci dalam .......... itu. Aih........ Bu Tong Pay dari berdiri beratus tahun lalu diminta bisa menjadi .......... terkenal seluruh negara .... hancur di dalam .... yang tak berguna ..... puluh tahun ..... Siau Lim Pay ...... Pay..... mend..... dan ber..... Bu-lim ......... girang...... bang.

.....nya kalau aku kalah lagi. Ah, jalan satu2nya harus mati. Dengan mati tentu aku bisa membalas budi kebaikan pintu perguruanku! Ya hanya mati, mati, mati!

Ia tertegun sejenak, wajahnya semakin gelisah dan cemas sekali. Dari dua matanya berlinang air mata haru, sewaktu berkata matanya parau. "Aku mati tak mengapa, tapi... bagaimana dengan dendam kasihku yang dalam sebagai lautan itu? Ah, soal ini benar2 membuat aku sulit, kecuali... kecuali aku bisa merebut Bu Lim Tiap, bilamana tidak tidak, Aku tidak ada muka lagi kembali ke Bu Tong .................. dia?"

............... dan kecemasan ........ muram di dalam ......... seperti mencari .......... untuk dilampiaskan.

Jari-jari tangan kanannya tiba2 dikeluarkan memelintir ranting2 pohon liu, lalu menggentak sambil ber ............

Ia menyadari bahwa ilmu silatnya yang tinggi secara otomatis sudah ......... di jarinya itu.

........ terdengar bunyi ........... ginya pasir dan ..............ngan. Terlihat ........pohon liu di ........ patah, tapi ............ itu sudah ......... roboh.

Mengagumkan dan luar biasa anehnya. Bilamana tidak melihat dengan mata kepala sendiri siapa pun tidak akan mempercayainya, bahwa di dunia Bu-lim terdapat manusia yang demikian lihay.

"...Ilmu ini untuk apa? Apa gunanya!? Aih, Biar aku memiliki ilmu yang bagaimana lihaypun terkekang dengan sumpah tempo hari, membuatku seperti burung yang tidak bisa membentangkan sayap untuk terbang di alam bebas, mengecap kemerdekaan. Sedikitpun aku tidak boleh memakai ilmuku menghajar musuh. Ai! Dalam pertandingan terdahulu, aku melihat dengan mata penasaran Bu Lim Tiap dikuasai mereka. Ah, benar2," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala tanpa meneruskan perkataannya.

Tiba2 Ia menjadi terkejut, karena mendengar suara berkesiur angin, sewaktu dirinya membalik badan, terlihat seorang Hweesio berbaju putih menghampiri dirinya dengan cepat.

Tak terpikir olehku dalam sepuluh tahun Hweesio tua ini sudah memiliki ilmu yang demikian tinggi. Gelagatnya malam ini aku bakal kalah lagi....." pikir Cie Yang Cinjin.

Hweesio itu sudah ................... menggirangkan hati!"

"Hui Go Siansu, perpisahan sepuluh tahun tidak terhitung lama, kemajuan taysu membuatku kagum. Atas ini aku menghaturkan selamat."

Hui Go Siansu adalah Ciang Bun Hong Tio dari Siau Lim Sie, dan pemenang Bu Lim Tiap dalam pertandingan kedua.

"Mana bisa! Toyu terlalu memuji saja, yang benar Lolap sudah semakin tua dan mengalami kemunduran," katanya merendah.

Tiba2 ia melirik kepada pohon liu yang rebah. Hatinya menjadi terkesiap. Ia menghampiri batang pohon dan mengusap di bagian yang patah, terasa licin dan rata.

Hui Go Siansu bukan saja berilmu tinggi, pengetahuannya pun cukup luas. Begitu melihat keadaan segera ia jadi terkejut dan bengong terpekur.

"Bilamana hal ini dilakukan Cie Yang Cinjin, Bu Lim Tiap pada malam ini pasti harus pindah tangan, dan tidak ada bagianku lagi....." pikirnya.

Seketika Hui Go Siansu menahan perasaan kagetnya, dengan lagak seorang berkedudukan tinggi, ia berkata: "Sepuluh tahun telah lalu, kemajuan Toyupun membuatku kagum, tampaknya Bu Lim Tiap takkan lari lagi dari tangan Toyu."

Cie Yang Cinjin seperti tidak mendengar apa yang dikatakan Hui Go Siansu, karena ia terbenam dalam pikirannya sendiri.

"Oh Mie To Hud!" kata Go Siansu dengan pelan.

Cie Yang Cinjin terkejut, segera tersadar dari lamunannya. Ia tahu kurang hormat, cepat2 tersenyum lalu menarik napas panjang dengan wajah kusut pertanda cemas, kepalanya segera tunduk perlahan-lahan.

Hui Go Siansu tertegun.

"Oh Mie To Hud!" serunya. "Toyu sudah memiliki ilmu yang tidak ada bandingannya, mungkinkah masih mempunyai sesuatu urusan yang tidak bisa diselesaikan?"

"Taysu! Sungguhpun kita berlainan partai, tapi satu sama lain mempunyai kecocokan, bukan? Jika sebentar Pinto menginginkan sesuatu pesanan kepada taysu pasti tidak akan ditolak, bukan?" kata Cie Yang Cinjin dengan paras sayu. Matanya menatap menantikan jawaban dengan hampa.

Mimpi pun Hui Go Siansu tidak akan menduga, bahwa kawannya yang terhitung seorang Ciang-Bunjin dari suatu partay besar meminta bantuan dirinya.

Dengan paras kaget ia tertawa keras, lalu berkata: "Jika Toyu menaruh kepercayaan besar pada Lolap, pasti Lolap tidak akan membuatmu kecewa."

Ia tahu hal ini teramat penting dengan mengerutkan kening ia mendesak: "Tapi, hal apakah itu?"

"Tang!"

Dalam kesunyian malam, suara genta dari kuil Leng-in Sie terdengar nyata. Mereka menjadi terkejut dan tanpa berjanji mereka menuju ke tengah danau, entah sedari kapan di danau itu terlihat tiga titik pelita.

"Toyu mari lekas! Liau Tim Sutay sudah sampai duluan, mari jangan sampai kita terlambat," seru Hui Go Siansu.

Belum habis Ia berkata tubuhnya sudah berlari ke tengah danau dengan kecepatan kilat melalui daun2 teratai.

Cie Yang Cinjin dengan tenang menggerakkan tubuhnya mengikuti Hui Go Siansu dengan jarak tertentu. Kepandaian mereka luar biasa tingginya, tubuhnya merapung cepat seperti perahu layar tertiup angin maju ke muka.

Di tengah2 danau yang dikelilingi bunga2 teratai terlihat tiga batu yang bulat, .............. yang dinamai Sam ........... in In Goat, satu sama lain berjarak beberapa tombak, sinar pelita dari atas batu bergoyang2 ke tengah air, membayangkan rembulan bulat indah dilihatnya.

Di salah sebuah batu yang menghadap ke selatan, terlihat seorang Nikoh duduk bersila, di punggungnya terlihat sebilah pedang pendek yang mempunyai bentuk aneh. Parasnya yang tenang dan berwibawa membuat yang melihat merasa tunduk dan kagum.

Nikoh Ini bukan lain dari pada Ciang Bunjin Hoa San Pay yang pernah memperoleh Bu Lim Tiap dalam pertandingan pertama.

Tiba2 Ia membuka matanya yang tajam menatap kepada dua orang tersebut.

"Kukira siapa, kiranya jiwie, sudah lama tak bertemu, terimalah hormatku," katanya.

Hui Go dan Cie Yang berkata dengan berbareng.

"Maafkan keterlambatanku!"

Begitu mereka selesai berkata tubuhnya segera memencar, satu ke timur satu ke barat dan tepat menduduki batu bulat yang masih kosong.

"Rembulan sudah tepat di tinggi langit, suara genta pun sudah berbunyi sekali dan masih terdengar gemanya, mana terhitung telat!" kata Liau Tim Sutay.

Cie Yang Cinjin dan Hui Go Siansu begitu mendengar suara genta menjadi kaget, cepat berlari keras, karena kalau sampai terlambat tidak boleh lagi turun bertanding. Untunglah mereka berilmu tinggi, sehingga masih keburu juga memburu waktu. Tapi dengan demikian, mereka menjadi letih melakukan perjalanan dengan tenaga penuh. Cepat2 mereka duduk memelihara semangat.

"Waktu sudah sampai, belum terlihat dari partay lain datang ke sini, tampaknya malam ini yang turut bertanding seperti dulu saja, hanya kita bertiga," kata Liau Tim Sutay.

Tapi sebelum nada suaranya hilang dari pendengaran, dari tengah2 danau yang terdalam terdengar suara orang berkata dengan tegas.

"Ah enak............ enak betul......... enak........... rasanya......... tidur nyenyak!”

Suara ini menembus air, seperti keras seperti lembut, bergelombang tidak teratur, tiba2 seperti pindah ke timur, juga seperti di barat. Dekat bukan dekat jauhpun tidak, membuat pendengaran sukar menduga dimana manusianya yang berkata itu.

"Siapa dia?" pikir Cie Yang Cinjin. "Ia memiliki ilmu tidak kalah dengan Hui Go Siansu maupun Liau Tim Sutay. Ah, malam ini bertambah lagi seorang musuh tangguh!”

Hui Go dan Liau Tim tidak kurang kagetnya, mereka tahu suara itu adalah semacam ilmu Li-seng-toan-hun-lui (nada suara mematikan ruh) yang sukar dipelajari. Ilmu semacam ini kalau sudah sampai titik sempurna, bisa membuat gema dari empat penjuru dengan keras, lalu mendesak gelombang udara menyerang orang, membuat si terserang mati engap dengan mengeluarkan darah dari tujuh lubang!

"Orang berilmu dari partay manakah yang bergurau? Jika berhasrat turut bertanding, janganlah sampai melewatkan waktu!" kata Liau Tim Sutay dengan Ilmu Coan Im Jut Bie (melepaskan suara terdengar kemana-mana).

"Ha! Ha! Ha!"

Tertawa gila membatu roboh keras sekali, membuat air danau bergelombang tinggi tanpa ditiup angin.

Di tengah2 gelombang yang bergoyang2 terlihat seorang duduk dengan tenang, sedangkan pakaiannya tidak terlihat basah.

Orang ini berusia empat puluhan, tampaknya seperti seorang pelajar, wajahnya bersih, tidak berkumis maupun berjanggut, di balik pakaian hitamnya tampaknya sangat ganteng, tapi sinar matanya yang tajam dan berkilat2 tak ubahnya seperti seekor ular beracun yang ganas.

"Pelajar ini berlaku congkak dan tidak memandang mata sekali pada kami," pikir Cie Yang Cinjin.

"Biar dia lihay aku tidak takut, dan harus kusikat juga, agar ia pun mengetahui di luar dunia masih ada dunia lain, aku harus membentangkan ilmu Kan Sin Cie."

Diam2 Ia mengumpulkan tenaganya di ujung telunjuk kanannya, lengan bajunya tampak tergerak, sesuatu tenaga hebat segera tersalur keluar dengan cepat, makin lama tenaga itu memencar semakin meluas.

Ombak yang bergelombang dengan tiba2 menjadi diam tak bergerak, hening tenang seperti semula. Pelajar itu terkesiap menghadapi perubahan yang demikian mendadak. Hawa Cin-kie yang dipusatkan di Tan Tian menjadi kendur, akibatnya sebagian dari tubuhnya amblas ke dalam air. Cepat2 Ia menenangkan lagi pikiran dan memusatkan tenaganya. Lengannya menepak air, tubuhnya kembali merapung ke udara dan duduk kembali di atas sebuah daun teratai. Tak ubahnya seperti bocah pengikut dari dewi Kuan Im. Sinar matanya yang masih membayangkan kekagetan menyapu kepada tiga orang itu bolak-balik. Dengan perasaan kecewa Ia menarik pandangannya, karena tidak menempatkan sesuatu ciri2 mencurigakan.

"Tiga manusia tua yang tak tahu mampus ini, biar belajar lagi berpuluh sampai dua puluh tahun, tak mungkin mempunyai ilmu yang menggetarkan jagat seperti barusan. Tapi terkecuali mereka bertiga, siapa lagi? Ah... kuyakin terdapat orang ke empat yang bersembunyi," pikir si pelajar.

Semakin ia berpikir semakin kaget, sinar matanya semakin mencorong, berputar ber-dilak2 keempat penjuru, tapi hanya air danau terlihat dan tiga tubuh di batu bulat, lain dari itu hanya kabut di kejauhan.

Diam2 Cie Yang Cinjin tersenyum geli melihat kekagetan orang didahului dengan deheman kecil, ia berkata: "Ilmu kepandaian yang Siecu pertunjukkan luar biasa hebatnya, seumur hidupku belum pernah mendengar maupun melihatnya, benar2 membuat Pinto kagum, bolehkah pinto mengetahui Siecu dari partay mana? Dan memperkenalkan nama?"

"He he," pelajar itu tersenyum kering, wajahnya menjadi merah, tapi cepat berubah ke dalam tenang.

"Tenaga Im Juan Kang Kie yang barusan menyerang diriku tanpa kusadari, mungkinkah dia?" pikirnya.

Hm! tak mungkin kini kau memuji dengan nada mengejek, tunggulah sebentar, kumampusi!"

Ia berpikir dan berpikir, kegusarannya berkerut2 berbayang di keningnya, dua sinar mata galaknya, menyapu sekujur tubuh Cie Yang Cinjin, dengan bengis dan kecut ia berkata: "Aku Pek Tok Thian Kun (si ganteng beracun) Gui Sam Seng, seorang liar dari selatan. Ha ha..... mana bisa dikenali oleh kau si orang Bu Tong yang kenamaan? Ha ha......."

Dari perkataannya dapat diambil kesimpulan bahwa ia kenal pada Cie Yang Cinjin, di balik itu seperti juga masih mempunyai rasa permusuhan dengan kaum Bu Tong Pay.

"Kiranya dia? Tak heran memiliki ilmu demikian hebat!" pikir Cie Yang Cinjin. Hui Go Siansu, Liau Tim Sutay di masing2 hatinya.

Cie Yang Cinjin merasa tertusuk dan gusar mendapat jawaban yang congkak dan kasar, alisnya berkerut, dengan keren Ia bersenyum dan niat berkata:

"Agaknya malam ini tidak bisa mencari sahabat dengan bertanding seperti tahun2 yang silam."

Kiranya yang berlagak sombong dan kasar itu memang seorang Ciang Bunjin dari Pek Tok Bun (perguruan beracun), di balik pintar iapun lihay, karena pernah menjadi murid dari Leng Ku Cu yang lihay. Dengan mengandalkan ilmunya ia malang melintang di sungal telaga, sebegitu jauh belum pernah mendapat tandingan. Kekejamannya sangat terkenal, bukan sedikit orang2 yang dibunuhnya secara buas, membuat kaum Bu-lim pusing.

Tiga puluh tahun yang lalu, masing2 perguruan pernah mengadakan pibu di Thian Tie, ayahnya Pek Tok Thian Kun yang bergelar Lat Ciu Sian Mo (dewa bertangan telengas) mengatur barisan yang bernama Bie-thian-man-tee-pek-tok-tin. Barisan ini tidak sedikit membinasakan kaum Bu Tong Pay. Akhirnya Ia pun meninggal di barisan Bu Tong Pay yang bernama Liok-cu-liau-hong-tin. Akibatnya dua perguruan ini menjadi bermusuhan hingga sekarang.

Begitu Hui Go selesai berkata, dari tengah udara terdengar suara siulan panjang, gelaran nada yang tinggi melengking membuat pengang pendengaran. Disusul sesosok tubuh yang bergerak laksana kilat ke jurusan Hui Go.

Hal ini membuat Hui Go Siansu terkejut, ia tidak mengetahui pendatang itu lawan atau kawan, demi keselamatan lengannya segera bergerak.

"Hai! Hweesio yang mempunyai titik enam di atas kepala, bermurah hatilah, duduklah agak ke sana sedikit, bagi aku tempat!" kata orang itu.

Hui Go mengurungkan serangannnya, ia membuka mata lebar2, karena mengenali suara itu. Pendatang itu adalah seorang pengemis yang berkepala setengah botak, sisa rambutnya sudah menjadi putih, tubuhnya kurus kering dan kasihan melihatnya. Dengan kaki kanannya ia hinggap di atas batu bulat.

Hui Go menggeser tubuh sambil berkata: "Bu Lo-Cianpwe, sejak berpisahan di Eng Hian Teng sudah tiga puluh tahun tidak bertemu.           Kini Lo-Cianpwe datang kemari, mungkinkah untu.........."

"Jangan berkata yang tak berguna!" potong si pengemis, "mungkinkah aku si pengemis datang dari ribuan li tidak untuk hal itu, melainkan ingin melihat kau si hweesio tak berguna?"

Sehabis berkata ia tidak memperdulikan apa2 lagi, segera duduk sambil membanting diri.

"Lo Cianpwee, sayang malam ini kau datang terlambat,” kata Hui Go dengan tenang.

Atas kata2 si pengemis yang kasar dan menyakiti hati seperti tidak digubris.

"Apa?” bentak si pengemis. "Hui Go apa yang kau katakan? Sudahlah, aku si pengemis karena keenakan mencari makan sampai lupa dengan waktu, membuatku sia-sia melakukan perjalanan demikian jauh. Ah, benar2 harus mampus!"

Lengannya segera diangkat dipukulkan kepada kepalanya sendiri, sehingga suara "plak, plak" terdengar nyaring beberapa kali.

Tiba2 Ia berteriak. "Aya! Ha ha ha!"

Seolah-olah mendapatkan sesuatu, lengannya berhenti memukul kepala, dengan nada lemas ia menghibur diri: "Ha ha! Haha! Betul-betul bagus! Aku Si pengemis ditakdirkan bernasib malang, lagi pula benda bau itu tidak bisa dimakan, untuk apa?"

Ia sadar sesudah berkata bahwa perkataaannya itu tidak benar, buru2 meleletkan lidah tanda menyesal, dan memalu-malu dahi sendiri dengan jerijinya yang dituil-tuilkan ke atas. Matanya melirik, dilihatnya empat pasang sedang mata menatap dirinya. ia tahu gelagat buruk, cepat-cepat ia mengumpulkan tenaga dan mencelat pergi.

Hui Go cepat2 mengeluarkan semacam buku berkulit kambing.

"Kay Hiap Bu Tie, dengar perintah!" teriaknya dengan keras.

Cie Yang Cinjin dan yang lain menjadi kaget, mereka memang sudah tahu si pengemis yang tidak karuan dan berlagak lucu itu adalah seorang berilmu tinggi, tapi tidak menduga bahwa dia adalah seorang Liok-lim yang menggetarkan empat penjuru lautan bernama Kay Hiap Bu Tie.

Pengemis ini bertabiat luar biasa, apa yang dikerjakan selalu tidak melalui saringan otak, membuat orang bingung. Ia paling baik dengan gurunya Hui Go, bahkan tiga bagian ilmunya Hui Go diperoleh dari si pengemis ini, karena itu tak heran ia kalau Hui Go menaruh hormat betul kepadanya.

Kay Hiap Bu Tie begitu mendengar seruan Hui Go segera berhenti di atas bunga teratai, wajahnya sangat pucat, tak ubahnya dengan patung yang terbuat dari marmer putih.

Tampak Hui Go mengangkat tinggi sebuah buku yang terbuat dari kulit kambing, yakni barang yang dicaci makinya si pengemis tadi. Di sampulnya tertera tiga huruf emas yang berbunyi Bu Lim Tiap.

Inilah benda yang dibuat sesudah terjadi pertarungan hebat di Thian Tie, masing2 perguruan mengakuinya sebagai pusaka yang harus dihormati segala partay. Bilamana tidak mematuhinya, seluruh partay lain akan bersatu padu untuk menggempurna sampai habis ke akar-akarnya pada pembangkang itu.

Kini Bu Lim Tiap diangkat Hui Go, biar Kay Hiap Bu Tie berkedudukan tinggi, menjadi kaget dan pucat menandakan takutnya.

"Bu Tie! Kau jangan mengandalkan kepandaianmu yang tidak bertara itu untuk menghina ini!" seru Hui Go Siansu.

"Teecu tidak berani, hanya saja.................."

"Tutup mulut!' potong Hui Go, "Kenapa kau tidak berlutut melihat Bu Lim Tiap ini?"

Kay Hiap Bu Tie selalu sombong, seumur hidupnya hanya pernah berlulut kepada gurunya, kini menjadi ragu2, tapi perlahan2 lututnya ditekuk juga, ia berlutut sambil menundukkan kepala.

"Bu Tie, kau bernyali besar, berani menghina pada Bu Lim Tiap, tahukah hukuman apa yang harus kau terima?"

"Teecu tahu salah, terserah padamu menghukumku."

"Sejak hari ini kau harus menghadap tembok selama tiga tahun di puncak Giok-liong Hong di Thay San. bilamana berani melanggar lagi, kau tahu sendiri akibatnya. Hm, kau boleh berlalu!!"

Kay Hiap Bu Tie seumur hidupnya belum pernah mendapat kekangan, ia mengembara sekehendak hatinya. Kini harus menghadap tembok, merupakan hukuman yang sangat berat untuk dirinya.

Tapi Ia menerima keputusan itu dengan girang, dengan tersenyum ia berkata: "Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi ini, dan akan menurut perintah!"

Sehabis berkata segera ia berlalu dengan cepat.

Pek Tok Thian Kun merasa kecewa atas keputusan Hui Go.

"Sayang, sayang," katanya, "Bilamana aku yang menjatuhkan hukuman, sedikitnya, kaki tangannya akan kuputuskan agar seumur hidupnya tidak bisa lagi menjadi jago di dunia Kang Ouw!"

Kay Hiap Bu Tie seolah-olah mendengar perkataan ini, hatinya menjadi dongkol, ia menjawab dari arah jauh: "Benar2 sialan, daging ayam tidak kena dimakan, tulang ayam sudah mengetuk kepala."

"Kini waktu sudah sampai untuk bertanding," kata Hui Go.

Menurut peraturan Bu Lim Tiap, pertandingan ini terbagi tiga macam. Pertama mengadu Lwee-kang, kedua ilmu surat atau sastera, ketiga mengadu senjata."

"Taysu, mungkinkah hanya tiga macam?" tegur Pek Tok Thian Kun. Ia bertanya demikian karena memiliki ilmu melepas senjata rahasia yang ampuh. Ia merasa kecewa sekali, kepandaiannya itu tidak bisa dipergunakan.

"Oh Mie To Hud, Lolap sudah lima puluh tahun lebih menjadi Hweesio, mungkinkah harus membohong. Bilamana Sicu tidak percaya, tanyalah kepada dua Toyu ini!"

"Siaute salah berkata, harap maaf," kata Pek Tok Thian Kun.

"Lolap sebagai pemegang Bu Lim Tiap menentukan pertandingan pertama, adakah pendapat lain dari Ko-kwie?"

Dilihatnya ketiga orang tidak mengeluarkan pendapat, Hui Go Siansu segera berkata: "Dalam pertandingan Lweekang, akulah yang pertama melakukannya."

Sehabis berkata segera Ia bersemadi memeramkan matanya. Dalam waktu cepat dari sekujur tubuhnya mengalir peluh dengan derasnya, urat di atas keningnya makin lama makin tegas terlihat, wajahnya menjadi merah seperti bara, tubuhnya perlahan2 membenam ke dalam. Sebab batu bulat yang kena diduduki perlahan2 kena tertekan masuk ke dalam air, dirinya sendiri hampir terkena air, tapi dengan cepat Ia menarik ilmunya, dan batu bulat kembali muncul ke permukaan air seperti sediakala.

"Maafkanlah atas pertunjukan Lolap yang buruk ini,” kata Hui Go.

"Lihay amat!" pikir ketiga orang yang lain.

"Taysu kenapa mengeluarkan perkataan demikian? Pinni yang bodoh ingin menunjukkan keburukan, harap jangan ditertawakan!" kata Liau Tim Sutay.

Lalu Ia meramkan matanya. Sekian lama Ia duduk tanpa terlihat sesuatu gerakan, anggapan yang lain ia tengah mengumpulkan semangat dan akan mempertunjukkan kelihayan yang tidak bertara, sehingga enam mata semakin membulat, memperhatikan tanpa ber-kedip2. Tak kira sekian lamanya belum juga terlihat ia bergerak, membuat yang lain semakin heran.

Tiba2 tubuh Liau Tim Sutay meninggalkan menara batu, lalu mumbul naik ke atas, mula2 hanya beberapa senti meter, lalu meningkat menjadi beberapa puluh senti meter, kemudian diam tak bergerak.

Matanya dibuka dengan tiba2 dan memancarkan sinar tajam yang ber-nyala2 seperti matahari, tubuhnya turun naik seperti layangan, lalu turun lagi ke tempatnya dengan tenang.

Pek Tok Thian Kun yang biasa tinggal menyendiri di tempat sunyi dan sepi, merasa kagum melihat ilmu kedua orang itu, tanpa terasa bersorak2 kegirangan: "Ilmu yang luar biasa, dua2nya indah dan hebat," katanya, lalu ia melirik kepada Cie Yang Cinjin sambil tersenyum mengejek.

Cie Yang Cinjin tidak meladeni, ia tahu dirinya dianggap sepi dan dihina, tapi tetap berlaku sabar.

Pek Tok Thian-kun melihat Cie Yang Cinjin diam saja, tanpa sebab musababnya segera mencemoohnya : "Ha ha! Sudah sampal gilirannya juara ketiga atau juru kunci dari Bu Tong Pay mempertunjukkan ilmu, tapi kenapa tidak terlihat gerakannya sampai saat ini? Mungkinkah segan dilihat aku si orang liar dari selatan? Ha ha ha ha."

"Ah, kenapa aku bodoh, betul, sedikitpun tidak memikir sampai ke situ. kini biar tengah Pibu, tetapi tidak terhitung menghadapi musuh! Ha ha...... kepandaianku yang luar biasa ini tidak terkekang dalam sumpahku, dan boleh kupertunjukkan!" pikir Cie Yang Cinjin.

Sehabis berkata segera ia berdiri, lalu mendongak memandang bulan sehingga yang menyaksikannya merasa heran, entah ilmu apa yang akan diperttunjukkannya.

Tapi dengan mendadak uap putih segera keluar dan ubun2nya, semakin lama semakin banyak, akhirnya dari mulut dan hidungnyapun mengeluarkan uap pulih yang serupa, dalam waktu sekejap uap itu semakin tebal dan membungkus tubuhnya, merupakan seorang dewa di dalam mega.

Sekalian yang menyaksikan merasa kagum dan tercengang, lebih2 Pek Tok Thian Kun yang mengejek menjadi diam terpaku dengan kagumnya.

Cie Yang Cinjin berseru dengan mendadak: "Naik!"

Suaranya yang keras dan menggelugur seperti petir, membuat air danau be-riak2 jadinya.

Sekalian yang menyaksikan terkejut bangun, cepat2 memusatkan pikirannya sambil memperhatikan, mereka semakin heran dan tercengang, hampir2 tidak percaya atas pandangan matanya sendiri.

Tampak uap putih yang membungkus tubuh Cie Yang Cinjin entah sedari kapan menjadi buyar, tapi batu yang dipijaknya, mengikuti tubuhnya sedikit demi sedikit naik ke atas, seolah2 seperti dicabut raksasa.

"Dunggg!!" sekali terdengar bunyi menggelugur keras, air bergelombang besar, batu itu sudah kembali ke tempatnya lagi, sedangkan Cie Yang Cinjin terlihat tenang, napasnya tidak memburu, wajahnya tidak berubah. Dengan tenang Ia bersila.

"Maaf, maaf, dengan pertunjukan jelek ini!" katanya.

"Bagus, bagus! Dalam hal ini aku dan Sutay tidak bisa berkata lain, kini giliran Thian Kun!" kata Hui Go Taysu.

Wajah Pek Tok Thian Kun menjadi jelek dilihatnya, sebentar pucat sebentar merah, dengan dingin ia berkata: "Dalam pertandingan ini, aku rela mengaku kalah, dan tak perlu bertanding lagi.”

"Thian Kun harus tahu dalam pertandingan silat malam ini, berdasarkan ilmu dan bukan mengadu kekejaman untuk merenggut nyawa orang, dengan demikian Thian Kun sengaja tidak mau memperlihatkan kepandaian bukan?" tegur Liau Tim Sutay.

Wajah Pek Tok Thian Kun berubah semakin buruk, matanya membayangkan hawa membunuh. Ia tahu Liau Tim Sutay mengejek dirinya berdasarkan kata2nya barusan terhadap Cie Yang Cinjin, sehingga membuatnya dongkol.

Dengan tertawa besar ia membesarkan dirinya lagi. "Bagus! Hm, mungkinkah aku kalah denganmu?” katanya.

Dengan cepat Ia menarik napas, perutnya menjadi kempes, lengan kanannya segera menjulur, jeriji2nya sebentar merapat sebentar terbuka. "Datang, sini!" teriaknya.

Semacam tenaga tersembunyi yang mempunyai daya sedot seperti magnit keluar dari telapaknya, bunga2 teratai berikut. daun2nya serentak menjadi patah dan bererot laju ke arah lengannya. Sesudah itu ia berteriak lagi: "Pergi!"

Sedangkan lengannya tidak bergerak, tapi pohon2 teratai seperti ditiup angin pergi lagi ke tempatnya masing-masing.

"Cie Yang Toyu dapat mengeluarkan uap putih yang mengandung kekuatan mencabut gunung, menandakan berilmu dalam tak ada bandingannya, karena itu babak pertama ini' tetap dimenanginya, ada pendapat lain dari jiewie?” tegur Hui Go Taysu.

Yang lain tidak membantah, karena mengakui Lweekang Cie Yang Cinjin sesungguhnya lebih lihay dari mereka.

"Satu pertandingan sudah kumenangi, babak kedua dalam soal sastera, kuyakin dengan pertemuan aneh dan pelajaran yang kudaput di Tie-cu-to (pulau kawa2) sudah cukup untuk memenangi mereka! Asal kumenang berarti Bu Lim Tiap jatuh ke tanganku!" pikir Cie Yang Cinjin.

"Taysu, pertandingan sudah berakhir, babak kedua harus siapa yang mengeluarkan soal? Ditentukankah oleh Bu Lim Tiap?" tanya Pek Tok Thian Kun.

"Di dalam Tiap (buku) tidak tertera peraturan itu, dalam babak kedua dan ketiga tidak ditentukan. Tapi pada tahun2 yang sudah, kami menentukan dengan, menghitung jari, hal ini pun cukup adil. Kini cara itu dapat kita pakai!" kata Hui Go Taysu.

"Siautee masih hijau dalam hal ini, dapatkah meminta keterangan tentang menghitung jari?" tanya Pek Tok Thian Kun.

"Sebenarnya hal ini adalah permainan anak kecil, mudah dan sederhana! Kita mengeluarkan beberapa jari sesuka hati, sesudah itu dihitung dari Lolap memutar timur, bilamana hitungan akhir jatuh ke siapa, dialah yang mengeluarkan soal dalam pertandingan ini," kata Hui Go menjelaskan.

"Baiklah!" kata Thian Kun. "Hayo kita mulai!"

"Satu.. dua.. tiga!" seru Hui Go.

Serentak seluruhnya mengeluarkan jari, jumlah seluruhnya ada delapan. Sesudah dihitung, nyatanya hitungan terakhir jatuh pada Pek Tok Thian Kun.

"Thian Kun, sekali ini kaulah yang mengeluarkan soal dalam pertandingan sastera," kata Hui Go.

Pek Tok Thian Kun tersenyum lebar, se-olah2 sudah mempunyai siasat untuk menjatuhkan lawan-lawannya.

"Siautee mengeluarkan Lian, yang pertama kubuat sendiri, sedangkan pasangannya terserah kepada Ko-kwie," katanya.

"Bertapa di dalam rumah, duduk di permadani, mengenakan pakaian kasa (pakaian biksu). Kala senggang memainkan mutiara, membuat orang muda ingin keluar rumah."

Cie Yang Cinjin bertiga diam2 memaki: "Binatang gila, kau jangan main gila, lihat apakah yang kau akan alami nanti!"

Mereka merasa gusar mendengar Lian yang disebutkan itu.

Serentak mereka bangun berdiri dengan gusar, dan sinar mata ketiga orang seperti berbayangan kegusaran yang ingin menelan hidup2 pada Pek Tok Thian Kun, Tapi Hui Go Taysu seorang Hweesio yang saleh, ia bisa mengekang kegusarannya.

"Mungkinkah mengeluarkan soal pun tidak bebas?" tegur Thian Kun dengan kaget.

"Aku tidak turut lagi dalam pertandingan ini, sepuluh tahun kemudian baru kembali lagi!" seru Liau Tim Sutay seraya mengundurkan diri dan berlalu.

Sebenarnya Lian yang dikeluarkan Thian Kun adalah mudah sekali mencari pasangannya, tapi untuk ketiga lawannya yang masing2 menjadi orang suci merupakan kesukaran besar, karena jawaban lian itu harus berbunyi: "Minum arak, makan daging anjing, berbini cantik, memiara gundik masuk ke kamar berciuman dan bercumbu-cumbu. membuat Hweesio lupa daratan lalu meninggalkan kelenteng mencari pelacuran!"

Kini Liau Tim Sutay sudah gusar dan kabur, tinggal Hui Go Siansu dan Cie Yang Cinjin, tidak bisa menjawab, hal ini membuat Pek Tok Thian Kun kegirangan. Cepat2 memutuskan pertandingan untuk kemenangan dirinya.

"Taysu hanya tinggal yang ketiga, bagaimana harusnya bertanding?" tegur Thian Kun.

"Hm, terhitunglah kau menang dalam pertandingan kedua, karena itu sebagai pemenang boleh memutuskan pertandingan yang ketiga. Kau boleh sesuka hati seperti barusan tanpa batas2nya, Sedangkan Lolap sudah kalah dua kali, dalam pertandingan yang ketiga ini hanya sebagai penonton saja!" kata Hui Go.

"Cie Yang si kerbau tak mau mampus, mempunyai kekuatan yang tidak bertara, aku tidak bisa memenanginya," pikir Pek Tok Thian Kun.

"Aku harus menggunakan siasat tajam, bilamana tidak lebih banyak celakanya dari untungnya."

Sehabis berpikir matanya melirik ke air, hatinya menjadi girang. "Sekali ini pasti kau beruntung! Senjata rahasiaku dan barisan Tin perguruanku tidak bisa digunakan, tapi ilmu Ginkangku yang tinggi boleh digunakan!“ katanya dalam hati.

"Air bening bulan terang, yang kalah mandi..." katanya.

Cie Yang Cinjin merasa geli, tidak menantikan lawannya selesai berkata sudah mengerti apa yang dikehendaki Pek Tok Thian Kun, tubuhnya segera mencelat meninggalkan batu bulat, lalu turun tepat di bunga teratai dengan sikap Kim Kee Tok Lip, tubuhnya tidak menjadi kelelap, melainkan merapung.

"Dalam pertandingan ini sebagai batasnya adalah tiga bunga ini, barang siapa mengeluarkan langkah keluar dari bunga ini, dialah yang kalah!" kata Cie Yang Cinjin.

Pek Tok Thian Kun menjadi kaget.

"Si hidung kerbau ini tampaknya memiliki ilmu meringankan tubuh tidak di sebelah bawahku, benar aku mencari penyakit sendiri. Sial betul!" pikirnya.

Tapi ia seorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam dunia Bu Lim biar bagaimana tidak bisa menarik lagi apa yang sudah diucapkan, dengan mengeraskan hati Ia menjawab; "Benar, apa yang dikatakan Cinjin cocok dengan hatiku."

Setelah berkata segera mencabut kipas yang terbuat indah terukir, kipas itu sangat besar dan jarang terlihat dimanapun juga.

"Aku pernah mendengar bahwa Bu Tong Pay terkenal dengan llmu pedang yang bernama Kiu-kiong-lian-hoan-kiam-hoat, kuyakin Cinjin tidak akan pelit2 mempertunjukkannya." Sehabis berkata Ia mencelat meninggalkan bunga teratai dan hinggap di atas bunga yang ditunjuk.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Cie Yang menghunus pedangnya. Hal ini membuat Hui Go Siansu menjadi kaget, Ia berpikir: "Duapuluh tahun berselang setiap kali pibu belum pernah terlihat Ia menghunus senjata, selalu ia menggunakan pedangnya dengan serangkanya. Tiap kali kutanya, selalu ia tersenyum dan tidak menjelaskan sebabnya, kuyakin pedangnya ini mempunyai keajaiban!"

Matanya memandang tajam, tapi apa yang dipikir dan kenyataan membuat kecewa karena ia melihat pedang itu hanya berwarna emas dan tidak bercahaya.


Pedang itu sangat panjang dan kecil, seperti tidak mempunyai mata yang tajam, membuat orang tak akan percaya bahwa pedang semacam itu bisa membunuh orang. (Untuk jelasnya pedang itu berbentuk seperti anggar jaman sekarang.......... penutur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar