Bu Lim Tiap (Pusaka Rimba Hijau)
Dituturkan Oleh : TSE YUNG
SCAN IMAGE : Lunjuk's Corner dan Arman
DJVU : Dewi KZ
JILID
I
........ sunyi ....... jagat raya ....... dan segala ......
penuh ketenangan dan ketenteraman.
Tatkala ini di tepian danau See Ouw tertera jejak kaki
memanjang, diiringi derap suara sepatu di atas pasir. Dalam kesunyian malam,
suara itu semakin tegas di pendengaran, membayangkan kesepian seorang diri!
Sinar rembulan menembus celah2 daun liu, sungguh pun suram dan
sayu, dapat pula menerangi keadaan di pantai itu. Seseorang berwajah kurus
dengan pedang di punggung, mengenakan pakaian kuning panjang, usianya lima
puluhan dengan jenggot putihnya ................
............ bukan lain dari seorang Ciangbunjin Bu Tong Pay
yang bernama Cie Yang Cinjin.
Tiba-tiba ia menghela napas, ......... dihentikan tiba2
.......... sinar rembulan ter .......... cahaya ....... terbenam ........ nya
sendiri.
Dengan mengerutkan kening ia kemak-kemik sendiri: "Mati
hidupnya manusia bergantung kepada waktu, ada yang lebih panjang ada juga lebih
pendek, akhirnya sama juga.. mati! Dalam sekejap mata telah berpuluh tahun aku
menjabat sebagai Ciangbunjin Bu Tong Pay .......... kembali ........ mengadakan
pertemuan yang ke............ Aku tak habis ....... dalam pertemuan
........lalu dua kali mengalami ..... dan selalu ...... kunci dalam ..........
itu. Aih........ Bu Tong Pay dari berdiri beratus tahun lalu diminta bisa
menjadi .......... terkenal seluruh negara .... hancur di dalam .... yang tak
berguna ..... puluh tahun ..... Siau Lim Pay ...... Pay..... mend..... dan
ber..... Bu-lim ......... girang...... bang.
.....nya kalau aku kalah lagi. Ah, jalan satu2nya harus mati.
Dengan mati tentu aku bisa membalas budi kebaikan pintu perguruanku! Ya hanya mati,
mati, mati!
Ia tertegun sejenak, wajahnya semakin gelisah dan cemas sekali.
Dari dua matanya berlinang air mata haru, sewaktu berkata matanya parau.
"Aku mati tak mengapa, tapi... bagaimana dengan dendam kasihku yang dalam
sebagai lautan itu? Ah, soal ini benar2 membuat aku sulit, kecuali... kecuali
aku bisa merebut Bu Lim Tiap, bilamana tidak tidak, Aku tidak ada muka lagi
kembali ke Bu Tong .................. dia?"
............... dan kecemasan ........ muram di dalam .........
seperti mencari .......... untuk dilampiaskan.
Jari-jari tangan kanannya tiba2 dikeluarkan memelintir ranting2
pohon liu, lalu menggentak sambil ber ............
Ia menyadari bahwa ilmu silatnya yang tinggi secara otomatis
sudah ......... di jarinya itu.
........ terdengar bunyi ........... ginya pasir dan
..............ngan. Terlihat ........pohon liu di ........ patah, tapi
............ itu sudah ......... roboh.
Mengagumkan dan luar biasa anehnya. Bilamana tidak melihat
dengan mata kepala sendiri siapa pun tidak akan mempercayainya, bahwa di dunia
Bu-lim terdapat manusia yang demikian lihay.
"...Ilmu ini untuk apa? Apa gunanya!? Aih, Biar aku
memiliki ilmu yang bagaimana lihaypun terkekang dengan sumpah tempo hari,
membuatku seperti burung yang tidak bisa membentangkan sayap untuk terbang di
alam bebas, mengecap kemerdekaan. Sedikitpun aku tidak boleh memakai ilmuku
menghajar musuh. Ai! Dalam pertandingan terdahulu, aku melihat dengan mata
penasaran Bu Lim Tiap dikuasai mereka. Ah, benar2," katanya sambil menggeleng-gelengkan
kepala tanpa meneruskan perkataannya.
Tiba2 Ia menjadi terkejut, karena mendengar suara berkesiur
angin, sewaktu dirinya membalik badan, terlihat seorang Hweesio berbaju putih
menghampiri dirinya dengan cepat.
Tak terpikir olehku dalam sepuluh tahun Hweesio tua ini sudah
memiliki ilmu yang demikian tinggi. Gelagatnya malam ini aku bakal kalah
lagi....." pikir Cie Yang Cinjin.
Hweesio itu sudah ................... menggirangkan hati!"
"Hui Go Siansu, perpisahan sepuluh tahun tidak terhitung
lama, kemajuan taysu membuatku kagum. Atas ini aku menghaturkan selamat."
Hui Go Siansu adalah Ciang Bun Hong Tio dari Siau Lim Sie, dan
pemenang Bu Lim Tiap dalam pertandingan kedua.
"Mana bisa! Toyu terlalu memuji saja, yang benar Lolap
sudah semakin tua dan mengalami kemunduran," katanya merendah.
Tiba2 ia melirik kepada pohon liu yang rebah. Hatinya menjadi
terkesiap. Ia menghampiri batang pohon dan mengusap di bagian yang patah,
terasa licin dan rata.
Hui Go Siansu bukan saja berilmu tinggi, pengetahuannya pun
cukup luas. Begitu melihat keadaan segera ia jadi terkejut dan bengong
terpekur.
"Bilamana hal ini dilakukan Cie Yang Cinjin, Bu Lim Tiap
pada malam ini pasti harus pindah tangan, dan tidak ada bagianku
lagi....." pikirnya.
Seketika Hui Go Siansu menahan perasaan kagetnya, dengan lagak
seorang berkedudukan tinggi, ia berkata: "Sepuluh tahun telah lalu,
kemajuan Toyupun membuatku kagum, tampaknya Bu Lim Tiap takkan lari lagi dari
tangan Toyu."
Cie Yang Cinjin seperti tidak mendengar apa yang dikatakan Hui
Go Siansu, karena ia terbenam dalam pikirannya sendiri.
"Oh Mie To Hud!" kata Go Siansu dengan pelan.
Cie Yang Cinjin terkejut, segera tersadar dari lamunannya. Ia
tahu kurang hormat, cepat2 tersenyum lalu menarik napas panjang dengan wajah
kusut pertanda cemas, kepalanya segera tunduk perlahan-lahan.
Hui Go Siansu tertegun.
"Oh Mie To Hud!" serunya. "Toyu sudah memiliki
ilmu yang tidak ada bandingannya, mungkinkah masih mempunyai sesuatu urusan
yang tidak bisa diselesaikan?"
"Taysu! Sungguhpun kita berlainan partai, tapi satu sama
lain mempunyai kecocokan, bukan? Jika sebentar Pinto menginginkan sesuatu
pesanan kepada taysu pasti tidak akan ditolak, bukan?" kata Cie Yang
Cinjin dengan paras sayu. Matanya menatap menantikan jawaban dengan hampa.
Mimpi pun Hui Go Siansu tidak akan menduga, bahwa kawannya yang
terhitung seorang Ciang-Bunjin dari suatu partay besar meminta bantuan dirinya.
Dengan paras kaget ia tertawa keras, lalu berkata: "Jika
Toyu menaruh kepercayaan besar pada Lolap, pasti Lolap tidak akan membuatmu
kecewa."
Ia tahu hal ini teramat penting dengan mengerutkan kening ia
mendesak: "Tapi, hal apakah itu?"
"Tang!"
Dalam kesunyian malam, suara genta dari kuil Leng-in Sie
terdengar nyata. Mereka menjadi terkejut dan tanpa berjanji mereka menuju ke
tengah danau, entah sedari kapan di danau itu terlihat tiga titik pelita.
"Toyu mari lekas! Liau Tim Sutay sudah sampai duluan, mari
jangan sampai kita terlambat," seru Hui Go Siansu.
Belum habis Ia berkata tubuhnya sudah berlari ke tengah danau
dengan kecepatan kilat melalui daun2 teratai.
Cie Yang Cinjin dengan tenang menggerakkan tubuhnya mengikuti
Hui Go Siansu dengan jarak tertentu. Kepandaian mereka luar biasa tingginya,
tubuhnya merapung cepat seperti perahu layar tertiup angin maju ke muka.
Di tengah2 danau yang dikelilingi bunga2 teratai terlihat tiga
batu yang bulat, .............. yang dinamai Sam ........... in In Goat, satu
sama lain berjarak beberapa tombak, sinar pelita dari atas batu bergoyang2 ke
tengah air, membayangkan rembulan bulat indah dilihatnya.
Di salah sebuah batu yang menghadap ke selatan, terlihat seorang
Nikoh duduk bersila, di punggungnya terlihat sebilah pedang pendek yang
mempunyai bentuk aneh. Parasnya yang tenang dan berwibawa membuat yang melihat
merasa tunduk dan kagum.
Nikoh Ini bukan lain dari pada Ciang Bunjin Hoa San Pay yang
pernah memperoleh Bu Lim Tiap dalam pertandingan pertama.
Tiba2 Ia membuka matanya yang tajam menatap kepada dua orang
tersebut.
"Kukira siapa, kiranya jiwie, sudah lama tak bertemu,
terimalah hormatku," katanya.
Hui Go dan Cie Yang berkata dengan berbareng.
"Maafkan keterlambatanku!"
Begitu mereka selesai berkata tubuhnya segera memencar, satu ke
timur satu ke barat dan tepat menduduki batu bulat yang masih kosong.
"Rembulan sudah tepat di tinggi langit, suara genta pun
sudah berbunyi sekali dan masih terdengar gemanya, mana terhitung telat!"
kata Liau Tim Sutay.
Cie Yang Cinjin dan Hui Go Siansu begitu mendengar suara genta
menjadi kaget, cepat berlari keras, karena kalau sampai terlambat tidak boleh
lagi turun bertanding. Untunglah mereka berilmu tinggi, sehingga masih keburu
juga memburu waktu. Tapi dengan demikian, mereka menjadi letih melakukan
perjalanan dengan tenaga penuh. Cepat2 mereka duduk memelihara semangat.
"Waktu sudah sampai, belum terlihat dari partay lain datang
ke sini, tampaknya malam ini yang turut bertanding seperti dulu saja, hanya
kita bertiga," kata Liau Tim Sutay.
Tapi sebelum nada suaranya hilang dari pendengaran, dari tengah2
danau yang terdalam terdengar suara orang berkata dengan tegas.
"Ah enak............ enak betul......... enak...........
rasanya......... tidur nyenyak!”
Suara ini menembus air, seperti keras seperti lembut,
bergelombang tidak teratur, tiba2 seperti pindah ke timur, juga seperti di
barat. Dekat bukan dekat jauhpun tidak, membuat pendengaran sukar menduga
dimana manusianya yang berkata itu.
"Siapa dia?" pikir Cie Yang Cinjin. "Ia memiliki
ilmu tidak kalah dengan Hui Go Siansu maupun Liau Tim Sutay. Ah, malam ini
bertambah lagi seorang musuh tangguh!”
Hui Go dan Liau Tim tidak kurang kagetnya, mereka tahu suara itu
adalah semacam ilmu Li-seng-toan-hun-lui (nada suara mematikan ruh) yang sukar
dipelajari. Ilmu semacam ini kalau sudah sampai titik sempurna, bisa membuat
gema dari empat penjuru dengan keras, lalu mendesak gelombang udara menyerang
orang, membuat si terserang mati engap dengan mengeluarkan darah dari tujuh
lubang!
"Orang berilmu dari partay manakah yang bergurau? Jika
berhasrat turut bertanding, janganlah sampai melewatkan waktu!" kata Liau
Tim Sutay dengan Ilmu Coan Im Jut Bie (melepaskan suara terdengar kemana-mana).
"Ha! Ha! Ha!"
Tertawa gila membatu roboh keras sekali, membuat air danau
bergelombang tinggi tanpa ditiup angin.
Di tengah2 gelombang yang bergoyang2 terlihat seorang duduk
dengan tenang, sedangkan pakaiannya tidak terlihat basah.
Orang ini berusia empat puluhan, tampaknya seperti seorang
pelajar, wajahnya bersih, tidak berkumis maupun berjanggut, di balik pakaian
hitamnya tampaknya sangat ganteng, tapi sinar matanya yang tajam dan berkilat2
tak ubahnya seperti seekor ular beracun yang ganas.
"Pelajar ini berlaku congkak dan tidak memandang mata
sekali pada kami," pikir Cie Yang Cinjin.
"Biar dia lihay aku tidak takut, dan harus kusikat juga,
agar ia pun mengetahui di luar dunia masih ada dunia lain, aku harus
membentangkan ilmu Kan Sin Cie."
Diam2 Ia mengumpulkan tenaganya di ujung telunjuk kanannya,
lengan bajunya tampak tergerak, sesuatu tenaga hebat segera tersalur keluar
dengan cepat, makin lama tenaga itu memencar semakin meluas.
Ombak yang bergelombang dengan tiba2 menjadi diam tak bergerak,
hening tenang seperti semula. Pelajar itu terkesiap menghadapi perubahan yang
demikian mendadak. Hawa Cin-kie yang dipusatkan di Tan Tian menjadi kendur,
akibatnya sebagian dari tubuhnya amblas ke dalam air. Cepat2 Ia menenangkan
lagi pikiran dan memusatkan tenaganya. Lengannya menepak air, tubuhnya kembali
merapung ke udara dan duduk kembali di atas sebuah daun teratai. Tak ubahnya
seperti bocah pengikut dari dewi Kuan Im. Sinar matanya yang masih membayangkan
kekagetan menyapu kepada tiga orang itu bolak-balik. Dengan perasaan kecewa Ia
menarik pandangannya, karena tidak menempatkan sesuatu ciri2 mencurigakan.
"Tiga manusia tua yang tak tahu mampus ini, biar belajar
lagi berpuluh sampai dua puluh tahun, tak mungkin mempunyai ilmu yang
menggetarkan jagat seperti barusan. Tapi terkecuali mereka bertiga, siapa lagi?
Ah... kuyakin terdapat orang ke empat yang bersembunyi," pikir si pelajar.
Semakin ia berpikir semakin kaget, sinar matanya semakin
mencorong, berputar ber-dilak2 keempat penjuru, tapi hanya air danau terlihat
dan tiga tubuh di batu bulat, lain dari itu hanya kabut di kejauhan.
Diam2 Cie Yang Cinjin tersenyum geli melihat kekagetan orang
didahului dengan deheman kecil, ia berkata: "Ilmu kepandaian yang Siecu
pertunjukkan luar biasa hebatnya, seumur hidupku belum pernah mendengar maupun
melihatnya, benar2 membuat Pinto kagum, bolehkah pinto mengetahui Siecu dari partay
mana? Dan memperkenalkan nama?"
"He he," pelajar itu tersenyum kering, wajahnya
menjadi merah, tapi cepat berubah ke dalam tenang.
"Tenaga Im Juan Kang Kie yang barusan menyerang diriku
tanpa kusadari, mungkinkah dia?" pikirnya.
Hm! tak mungkin kini kau memuji dengan nada mengejek, tunggulah
sebentar, kumampusi!"
Ia berpikir dan berpikir, kegusarannya berkerut2 berbayang di
keningnya, dua sinar mata galaknya, menyapu sekujur tubuh Cie Yang Cinjin,
dengan bengis dan kecut ia berkata: "Aku Pek Tok Thian Kun (si ganteng
beracun) Gui Sam Seng, seorang liar dari selatan. Ha ha..... mana bisa dikenali
oleh kau si orang Bu Tong yang kenamaan? Ha ha......."
Dari perkataannya dapat diambil kesimpulan bahwa ia kenal pada
Cie Yang Cinjin, di balik itu seperti juga masih mempunyai rasa permusuhan
dengan kaum Bu Tong Pay.
"Kiranya dia? Tak heran memiliki ilmu demikian hebat!"
pikir Cie Yang Cinjin. Hui Go Siansu, Liau Tim Sutay di masing2 hatinya.
Cie Yang Cinjin merasa tertusuk dan gusar mendapat jawaban yang
congkak dan kasar, alisnya berkerut, dengan keren Ia bersenyum dan niat
berkata:
"Agaknya malam ini tidak bisa mencari sahabat dengan
bertanding seperti tahun2 yang silam."
Kiranya yang berlagak sombong dan kasar itu memang seorang Ciang
Bunjin dari Pek Tok Bun (perguruan beracun), di balik pintar iapun lihay,
karena pernah menjadi murid dari Leng Ku Cu yang lihay. Dengan mengandalkan
ilmunya ia malang melintang di sungal telaga, sebegitu jauh belum pernah
mendapat tandingan. Kekejamannya sangat terkenal, bukan sedikit orang2 yang
dibunuhnya secara buas, membuat kaum Bu-lim pusing.
Tiga puluh tahun yang lalu, masing2 perguruan pernah mengadakan
pibu di Thian Tie, ayahnya Pek Tok Thian Kun yang bergelar Lat Ciu Sian Mo
(dewa bertangan telengas) mengatur barisan yang bernama
Bie-thian-man-tee-pek-tok-tin. Barisan ini tidak sedikit membinasakan kaum Bu
Tong Pay. Akhirnya Ia pun meninggal di barisan Bu Tong Pay yang bernama
Liok-cu-liau-hong-tin. Akibatnya dua perguruan ini menjadi bermusuhan hingga
sekarang.
Begitu Hui Go selesai berkata, dari tengah udara terdengar suara
siulan panjang, gelaran nada yang tinggi melengking membuat pengang
pendengaran. Disusul sesosok tubuh yang bergerak laksana kilat ke jurusan Hui
Go.
Hal ini membuat Hui Go Siansu terkejut, ia tidak mengetahui
pendatang itu lawan atau kawan, demi keselamatan lengannya segera bergerak.
"Hai! Hweesio yang mempunyai titik enam di atas kepala,
bermurah hatilah, duduklah agak ke sana sedikit, bagi aku tempat!" kata
orang itu.
Hui Go mengurungkan serangannnya, ia membuka mata lebar2, karena
mengenali suara itu. Pendatang itu adalah seorang pengemis yang berkepala
setengah botak, sisa rambutnya sudah menjadi putih, tubuhnya kurus kering dan
kasihan melihatnya. Dengan kaki kanannya ia hinggap di atas batu bulat.
Hui Go menggeser tubuh sambil berkata: "Bu Lo-Cianpwe,
sejak berpisahan di Eng Hian Teng sudah tiga puluh tahun tidak bertemu. Kini Lo-Cianpwe datang kemari,
mungkinkah untu.........."
"Jangan berkata yang tak berguna!" potong si pengemis,
"mungkinkah aku si pengemis datang dari ribuan li tidak untuk hal itu,
melainkan ingin melihat kau si hweesio tak berguna?"
Sehabis berkata ia tidak memperdulikan apa2 lagi, segera duduk
sambil membanting diri.
"Lo Cianpwee, sayang malam ini kau datang terlambat,” kata
Hui Go dengan tenang.
Atas kata2 si pengemis yang kasar dan menyakiti hati seperti
tidak digubris.
"Apa?” bentak si pengemis. "Hui Go apa yang kau
katakan? Sudahlah, aku si pengemis karena keenakan mencari makan sampai lupa
dengan waktu, membuatku sia-sia melakukan perjalanan demikian jauh. Ah, benar2
harus mampus!"
Lengannya segera diangkat dipukulkan kepada kepalanya sendiri,
sehingga suara "plak, plak" terdengar nyaring beberapa kali.
Tiba2 Ia berteriak. "Aya! Ha ha ha!"
Seolah-olah mendapatkan sesuatu, lengannya berhenti memukul
kepala, dengan nada lemas ia menghibur diri: "Ha ha! Haha! Betul-betul
bagus! Aku Si pengemis ditakdirkan bernasib malang, lagi pula benda bau itu tidak
bisa dimakan, untuk apa?"
Ia sadar sesudah berkata bahwa perkataaannya itu tidak benar,
buru2 meleletkan lidah tanda menyesal, dan memalu-malu dahi sendiri dengan
jerijinya yang dituil-tuilkan ke atas. Matanya melirik, dilihatnya empat pasang
sedang mata menatap dirinya. ia tahu gelagat buruk, cepat-cepat ia mengumpulkan
tenaga dan mencelat pergi.
Hui Go cepat2 mengeluarkan semacam buku berkulit kambing.
"Kay Hiap Bu Tie, dengar perintah!" teriaknya dengan
keras.
Cie Yang Cinjin dan yang lain menjadi kaget, mereka memang sudah
tahu si pengemis yang tidak karuan dan berlagak lucu itu adalah seorang berilmu
tinggi, tapi tidak menduga bahwa dia adalah seorang Liok-lim yang menggetarkan
empat penjuru lautan bernama Kay Hiap Bu Tie.
Pengemis ini bertabiat luar biasa, apa yang dikerjakan selalu
tidak melalui saringan otak, membuat orang bingung. Ia paling baik dengan
gurunya Hui Go, bahkan tiga bagian ilmunya Hui Go diperoleh dari si pengemis
ini, karena itu tak heran ia kalau Hui Go menaruh hormat betul kepadanya.
Kay Hiap Bu Tie begitu mendengar seruan Hui Go segera berhenti
di atas bunga teratai, wajahnya sangat pucat, tak ubahnya dengan patung yang
terbuat dari marmer putih.
Tampak Hui Go mengangkat tinggi sebuah buku yang terbuat dari
kulit kambing, yakni barang yang dicaci makinya si pengemis tadi. Di sampulnya
tertera tiga huruf emas yang berbunyi Bu Lim Tiap.
Inilah benda yang dibuat sesudah terjadi pertarungan hebat di
Thian Tie, masing2 perguruan mengakuinya sebagai pusaka yang harus dihormati
segala partay. Bilamana tidak mematuhinya, seluruh partay lain akan bersatu
padu untuk menggempurna sampai habis ke akar-akarnya pada pembangkang itu.
Kini Bu Lim Tiap diangkat Hui Go, biar Kay Hiap Bu Tie
berkedudukan tinggi, menjadi kaget dan pucat menandakan takutnya.
"Bu Tie! Kau jangan mengandalkan kepandaianmu yang tidak
bertara itu untuk menghina ini!" seru Hui Go Siansu.
"Teecu tidak berani, hanya saja.................."
"Tutup mulut!' potong Hui Go, "Kenapa kau tidak
berlutut melihat Bu Lim Tiap ini?"
Kay Hiap Bu Tie selalu sombong, seumur hidupnya hanya pernah
berlulut kepada gurunya, kini menjadi ragu2, tapi perlahan2 lututnya ditekuk
juga, ia berlutut sambil menundukkan kepala.
"Bu Tie, kau bernyali besar, berani menghina pada Bu Lim
Tiap, tahukah hukuman apa yang harus kau terima?"
"Teecu tahu salah, terserah padamu menghukumku."
"Sejak hari ini kau harus menghadap tembok selama tiga
tahun di puncak Giok-liong Hong di Thay San. bilamana berani melanggar lagi,
kau tahu sendiri akibatnya. Hm, kau boleh berlalu!!"
Kay Hiap Bu Tie seumur hidupnya belum pernah mendapat kekangan,
ia mengembara sekehendak hatinya. Kini harus menghadap tembok, merupakan
hukuman yang sangat berat untuk dirinya.
Tapi Ia menerima keputusan itu dengan girang, dengan tersenyum
ia berkata: "Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi ini, dan
akan menurut perintah!"
Sehabis berkata segera ia berlalu dengan cepat.
Pek Tok Thian Kun merasa kecewa atas keputusan Hui Go.
"Sayang, sayang," katanya, "Bilamana aku yang
menjatuhkan hukuman, sedikitnya, kaki tangannya akan kuputuskan agar seumur
hidupnya tidak bisa lagi menjadi jago di dunia Kang Ouw!"
Kay Hiap Bu Tie seolah-olah mendengar perkataan ini, hatinya
menjadi dongkol, ia menjawab dari arah jauh: "Benar2 sialan, daging ayam
tidak kena dimakan, tulang ayam sudah mengetuk kepala."
"Kini waktu sudah sampai untuk bertanding," kata Hui
Go.
Menurut peraturan Bu Lim Tiap, pertandingan ini terbagi tiga
macam. Pertama mengadu Lwee-kang, kedua ilmu surat atau sastera, ketiga mengadu
senjata."
"Taysu, mungkinkah hanya tiga macam?" tegur Pek Tok
Thian Kun. Ia bertanya demikian karena memiliki ilmu melepas senjata rahasia
yang ampuh. Ia merasa kecewa sekali, kepandaiannya itu tidak bisa dipergunakan.
"Oh Mie To Hud, Lolap sudah lima puluh tahun lebih menjadi
Hweesio, mungkinkah harus membohong. Bilamana Sicu tidak percaya, tanyalah kepada
dua Toyu ini!"
"Siaute salah berkata, harap maaf," kata Pek Tok Thian
Kun.
"Lolap sebagai pemegang Bu Lim Tiap menentukan pertandingan
pertama, adakah pendapat lain dari Ko-kwie?"
Dilihatnya ketiga orang tidak mengeluarkan pendapat, Hui Go
Siansu segera berkata: "Dalam pertandingan Lweekang, akulah yang pertama
melakukannya."
Sehabis berkata segera Ia bersemadi memeramkan matanya. Dalam
waktu cepat dari sekujur tubuhnya mengalir peluh dengan derasnya, urat di atas
keningnya makin lama makin tegas terlihat, wajahnya menjadi merah seperti bara,
tubuhnya perlahan2 membenam ke dalam. Sebab batu bulat yang kena diduduki
perlahan2 kena tertekan masuk ke dalam air, dirinya sendiri hampir terkena air,
tapi dengan cepat Ia menarik ilmunya, dan batu bulat kembali muncul ke
permukaan air seperti sediakala.
"Maafkanlah atas pertunjukan Lolap yang buruk ini,” kata
Hui Go.
"Lihay amat!" pikir ketiga orang yang lain.
"Taysu kenapa mengeluarkan perkataan demikian? Pinni yang
bodoh ingin menunjukkan keburukan, harap jangan ditertawakan!" kata Liau
Tim Sutay.
Lalu Ia meramkan matanya. Sekian lama Ia duduk tanpa terlihat
sesuatu gerakan, anggapan yang lain ia tengah mengumpulkan semangat dan akan
mempertunjukkan kelihayan yang tidak bertara, sehingga enam mata semakin
membulat, memperhatikan tanpa ber-kedip2. Tak kira sekian lamanya belum juga
terlihat ia bergerak, membuat yang lain semakin heran.
Tiba2 tubuh Liau Tim Sutay meninggalkan menara batu, lalu mumbul
naik ke atas, mula2 hanya beberapa senti meter, lalu meningkat menjadi beberapa
puluh senti meter, kemudian diam tak bergerak.
Matanya dibuka dengan tiba2 dan memancarkan sinar tajam yang
ber-nyala2 seperti matahari, tubuhnya turun naik seperti layangan, lalu turun
lagi ke tempatnya dengan tenang.
Pek Tok Thian Kun yang biasa tinggal menyendiri di tempat sunyi
dan sepi, merasa kagum melihat ilmu kedua orang itu, tanpa terasa bersorak2
kegirangan: "Ilmu yang luar biasa, dua2nya indah dan hebat," katanya,
lalu ia melirik kepada Cie Yang Cinjin sambil tersenyum mengejek.
Cie Yang Cinjin tidak meladeni, ia tahu dirinya dianggap sepi
dan dihina, tapi tetap berlaku sabar.
Pek Tok Thian-kun melihat Cie Yang Cinjin diam saja, tanpa sebab
musababnya segera mencemoohnya : "Ha ha! Sudah sampal gilirannya juara
ketiga atau juru kunci dari Bu Tong Pay mempertunjukkan ilmu, tapi kenapa tidak
terlihat gerakannya sampai saat ini? Mungkinkah segan dilihat aku si orang liar
dari selatan? Ha ha ha ha."
"Ah, kenapa aku bodoh, betul, sedikitpun tidak memikir
sampai ke situ. kini biar tengah Pibu, tetapi tidak terhitung menghadapi musuh!
Ha ha...... kepandaianku yang luar biasa ini tidak terkekang dalam sumpahku,
dan boleh kupertunjukkan!" pikir Cie Yang Cinjin.
Sehabis berkata segera ia berdiri, lalu mendongak memandang
bulan sehingga yang menyaksikannya merasa heran, entah ilmu apa yang akan
diperttunjukkannya.
Tapi dengan mendadak uap putih segera keluar dan ubun2nya,
semakin lama semakin banyak, akhirnya dari mulut dan hidungnyapun mengeluarkan
uap pulih yang serupa, dalam waktu sekejap uap itu semakin tebal dan membungkus
tubuhnya, merupakan seorang dewa di dalam mega.
Sekalian yang menyaksikan merasa kagum dan tercengang, lebih2
Pek Tok Thian Kun yang mengejek menjadi diam terpaku dengan kagumnya.
Cie Yang Cinjin berseru dengan mendadak: "Naik!"
Suaranya yang keras dan menggelugur seperti petir, membuat air
danau be-riak2 jadinya.
Sekalian yang menyaksikan terkejut bangun, cepat2 memusatkan
pikirannya sambil memperhatikan, mereka semakin heran dan tercengang, hampir2
tidak percaya atas pandangan matanya sendiri.
Tampak uap putih yang membungkus tubuh Cie Yang Cinjin entah
sedari kapan menjadi buyar, tapi batu yang dipijaknya, mengikuti tubuhnya
sedikit demi sedikit naik ke atas, seolah2 seperti dicabut raksasa.
"Dunggg!!" sekali terdengar bunyi menggelugur keras,
air bergelombang besar, batu itu sudah kembali ke tempatnya lagi, sedangkan Cie
Yang Cinjin terlihat tenang, napasnya tidak memburu, wajahnya tidak berubah.
Dengan tenang Ia bersila.
"Maaf, maaf, dengan pertunjukan jelek ini!" katanya.
"Bagus, bagus! Dalam hal ini aku dan Sutay tidak bisa
berkata lain, kini giliran Thian Kun!" kata Hui Go Taysu.
Wajah Pek Tok Thian Kun menjadi jelek dilihatnya, sebentar pucat
sebentar merah, dengan dingin ia berkata: "Dalam pertandingan ini, aku
rela mengaku kalah, dan tak perlu bertanding lagi.”
"Thian Kun harus tahu dalam pertandingan silat malam ini,
berdasarkan ilmu dan bukan mengadu kekejaman untuk merenggut nyawa orang,
dengan demikian Thian Kun sengaja tidak mau memperlihatkan kepandaian
bukan?" tegur Liau Tim Sutay.
Wajah Pek Tok Thian Kun berubah semakin buruk, matanya
membayangkan hawa membunuh. Ia tahu Liau Tim Sutay mengejek dirinya berdasarkan
kata2nya barusan terhadap Cie Yang Cinjin, sehingga membuatnya dongkol.
Dengan tertawa besar ia membesarkan dirinya lagi. "Bagus!
Hm, mungkinkah aku kalah denganmu?” katanya.
Dengan cepat Ia menarik napas, perutnya menjadi kempes, lengan
kanannya segera menjulur, jeriji2nya sebentar merapat sebentar terbuka.
"Datang, sini!" teriaknya.
Semacam tenaga tersembunyi yang mempunyai daya sedot seperti
magnit keluar dari telapaknya, bunga2 teratai berikut. daun2nya serentak
menjadi patah dan bererot laju ke arah lengannya. Sesudah itu ia berteriak
lagi: "Pergi!"
Sedangkan lengannya tidak bergerak, tapi pohon2 teratai seperti
ditiup angin pergi lagi ke tempatnya masing-masing.
"Cie Yang Toyu dapat mengeluarkan uap putih yang mengandung
kekuatan mencabut gunung, menandakan berilmu dalam tak ada bandingannya, karena
itu babak pertama ini' tetap dimenanginya, ada pendapat lain dari jiewie?”
tegur Hui Go Taysu.
Yang lain tidak membantah, karena mengakui Lweekang Cie Yang
Cinjin sesungguhnya lebih lihay dari mereka.
"Satu pertandingan sudah kumenangi, babak kedua dalam soal
sastera, kuyakin dengan pertemuan aneh dan pelajaran yang kudaput di Tie-cu-to
(pulau kawa2) sudah cukup untuk memenangi mereka! Asal kumenang berarti Bu Lim
Tiap jatuh ke tanganku!" pikir Cie Yang Cinjin.
"Taysu, pertandingan sudah berakhir, babak kedua harus
siapa yang mengeluarkan soal? Ditentukankah oleh Bu Lim Tiap?" tanya Pek
Tok Thian Kun.
"Di dalam Tiap (buku) tidak tertera peraturan itu, dalam
babak kedua dan ketiga tidak ditentukan. Tapi pada tahun2 yang sudah, kami
menentukan dengan, menghitung jari, hal ini pun cukup adil. Kini cara itu dapat
kita pakai!" kata Hui Go Taysu.
"Siautee masih hijau dalam hal ini, dapatkah meminta
keterangan tentang menghitung jari?" tanya Pek Tok Thian Kun.
"Sebenarnya hal ini adalah permainan anak kecil, mudah dan
sederhana! Kita mengeluarkan beberapa jari sesuka hati, sesudah itu dihitung
dari Lolap memutar timur, bilamana hitungan akhir jatuh ke siapa, dialah yang
mengeluarkan soal dalam pertandingan ini," kata Hui Go menjelaskan.
"Baiklah!" kata Thian Kun. "Hayo kita
mulai!"
"Satu.. dua.. tiga!" seru Hui Go.
Serentak seluruhnya mengeluarkan jari, jumlah seluruhnya ada
delapan. Sesudah dihitung, nyatanya hitungan terakhir jatuh pada Pek Tok Thian
Kun.
"Thian Kun, sekali ini kaulah yang mengeluarkan soal dalam
pertandingan sastera," kata Hui Go.
Pek Tok Thian Kun tersenyum lebar, se-olah2 sudah mempunyai
siasat untuk menjatuhkan lawan-lawannya.
"Siautee mengeluarkan Lian, yang pertama kubuat sendiri,
sedangkan pasangannya terserah kepada Ko-kwie," katanya.
"Bertapa di dalam rumah, duduk di permadani, mengenakan
pakaian kasa (pakaian biksu). Kala senggang memainkan mutiara, membuat orang
muda ingin keluar rumah."
Cie Yang Cinjin bertiga diam2 memaki: "Binatang gila, kau
jangan main gila, lihat apakah yang kau akan alami nanti!"
Mereka merasa gusar mendengar Lian yang disebutkan itu.
Serentak mereka bangun berdiri dengan gusar, dan sinar mata
ketiga orang seperti berbayangan kegusaran yang ingin menelan hidup2 pada Pek
Tok Thian Kun, Tapi Hui Go Taysu seorang Hweesio yang saleh, ia bisa mengekang
kegusarannya.
"Mungkinkah mengeluarkan soal pun tidak bebas?" tegur
Thian Kun dengan kaget.
"Aku tidak turut lagi dalam pertandingan ini, sepuluh tahun
kemudian baru kembali lagi!" seru Liau Tim Sutay seraya mengundurkan diri
dan berlalu.
Sebenarnya Lian yang dikeluarkan Thian Kun adalah mudah sekali
mencari pasangannya, tapi untuk ketiga lawannya yang masing2 menjadi orang suci
merupakan kesukaran besar, karena jawaban lian itu harus berbunyi: "Minum
arak, makan daging anjing, berbini cantik, memiara gundik masuk ke kamar
berciuman dan bercumbu-cumbu. membuat Hweesio lupa daratan lalu meninggalkan
kelenteng mencari pelacuran!"
Kini Liau Tim Sutay sudah gusar dan kabur, tinggal Hui Go Siansu
dan Cie Yang Cinjin, tidak bisa menjawab, hal ini membuat Pek Tok Thian Kun
kegirangan. Cepat2 memutuskan pertandingan untuk kemenangan dirinya.
"Taysu hanya tinggal yang ketiga, bagaimana harusnya
bertanding?" tegur Thian Kun.
"Hm, terhitunglah kau menang dalam pertandingan kedua,
karena itu sebagai pemenang boleh memutuskan pertandingan yang ketiga. Kau
boleh sesuka hati seperti barusan tanpa batas2nya, Sedangkan Lolap sudah kalah
dua kali, dalam pertandingan yang ketiga ini hanya sebagai penonton saja!"
kata Hui Go.
"Cie Yang si kerbau tak mau mampus, mempunyai kekuatan yang
tidak bertara, aku tidak bisa memenanginya," pikir Pek Tok Thian Kun.
"Aku harus menggunakan siasat tajam, bilamana tidak lebih
banyak celakanya dari untungnya."
Sehabis berpikir matanya melirik ke air, hatinya menjadi girang.
"Sekali ini pasti kau beruntung! Senjata rahasiaku dan barisan Tin
perguruanku tidak bisa digunakan, tapi ilmu Ginkangku yang tinggi boleh
digunakan!“ katanya dalam hati.
"Air bening bulan terang, yang kalah mandi..."
katanya.
Cie Yang Cinjin merasa geli, tidak menantikan lawannya selesai
berkata sudah mengerti apa yang dikehendaki Pek Tok Thian Kun, tubuhnya segera
mencelat meninggalkan batu bulat, lalu turun tepat di bunga teratai dengan
sikap Kim Kee Tok Lip, tubuhnya tidak menjadi kelelap, melainkan merapung.
"Dalam pertandingan ini sebagai batasnya adalah tiga bunga
ini, barang siapa mengeluarkan langkah keluar dari bunga ini, dialah yang
kalah!" kata Cie Yang Cinjin.
Pek Tok Thian Kun menjadi kaget.
"Si hidung kerbau ini tampaknya memiliki ilmu meringankan
tubuh tidak di sebelah bawahku, benar aku mencari penyakit sendiri. Sial
betul!" pikirnya.
Tapi ia seorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam dunia Bu
Lim biar bagaimana tidak bisa menarik lagi apa yang sudah diucapkan, dengan
mengeraskan hati Ia menjawab; "Benar, apa yang dikatakan Cinjin cocok
dengan hatiku."
Setelah berkata segera mencabut kipas yang terbuat indah
terukir, kipas itu sangat besar dan jarang terlihat dimanapun juga.
"Aku pernah mendengar bahwa Bu Tong Pay terkenal dengan
llmu pedang yang bernama Kiu-kiong-lian-hoan-kiam-hoat, kuyakin Cinjin tidak
akan pelit2 mempertunjukkannya." Sehabis berkata Ia mencelat meninggalkan
bunga teratai dan hinggap di atas bunga yang ditunjuk.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Cie Yang menghunus pedangnya.
Hal ini membuat Hui Go Siansu menjadi kaget, Ia berpikir: "Duapuluh tahun
berselang setiap kali pibu belum pernah terlihat Ia menghunus senjata, selalu
ia menggunakan pedangnya dengan serangkanya. Tiap kali kutanya, selalu ia
tersenyum dan tidak menjelaskan sebabnya, kuyakin pedangnya ini mempunyai
keajaiban!"
Matanya memandang tajam, tapi apa yang dipikir dan kenyataan
membuat kecewa karena ia melihat pedang itu hanya berwarna emas dan tidak
bercahaya.
Pedang itu sangat panjang dan kecil, seperti tidak mempunyai
mata yang tajam, membuat orang tak akan percaya bahwa pedang semacam itu bisa
membunuh orang. (Untuk jelasnya pedang itu berbentuk seperti anggar jaman
sekarang.......... penutur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar