“Hebat sekali pengalamanku hari ini. Satu hari penuh, aku belum dahar, sama sekali, aku belum minum. Kawanan toosu berjumlah besar, Yok Hian Ceng punya ilmu totok ada liehay sekali, cara bagaimana aku bisa layani mereka? Bagaimana aku bisa cari Ah Loan?“
Bukan saja lelah, pemuda ini menjadi pusing kepalanya memikirkan kesulitannya itu. Ia rebah terus. Saking letih, rokhani dan jasmani, akhir-akhirny ia tertidur sendirinya. Berapa lama ia sudah tidur, ia tidak tahu ia hanya tersadar ketika ia rasakan tubuhnya dingin, apabila ia buka kedua matanya, ia lihat cahayanya sang fajar. Sinar matahari sudah telan kabut di puncak gunung. Ia lantas berbangkit, ia jumput goloknya tetapi, selagi berdiri diam ia berpikir.
“Kemana aku mesti pergi?“ demikian ia tanya dirinya sendiri. “Tidak ada gunanya aku layani sekalian imam itu. Paling benar aku cari Lu Cong Giam seorang. Coba Too Teng tidak mampus diujung golokku, aku perlu cari dia, dia pasti tahu di mana adanya Ah Loan ... ”
Lalu, dengan tenteng goloknya, pemuda ini buka tindakannya. Ia berjalan diantara kabut. Ia jalan terus, entah berapa jauh, berapa lama, ia telah lewati beberapa tikungan dan puncak. Selagi kabut jadi semakin tebal, tiba-tiba ia dengar suara orang liamkeng, agaknya dekat sekali. Maka ia merandek.
“Tidak perduli tempat apa, aku mesti cari nasi!“ demikian ia pikir.
Maka ia bertindak pula, sekarang dengan arah tujuan dari mana suara datang.
Tidak jauh dari situ, ada sebuah kuil, yang terkurung tembok. Untuk bia masuk kedalam, ia loncat naik keatas tembok itu, sambil berdiri ia memandang kesebelah dalam.
Suara pembacaan doa keluar dari pendopo kuil itu.
“Tidak perlu aku ketemui mereka itu,” pikir pula Siau Hoo, sesudah mana, ia loncat turun kepekarangan dalam. Selagi ia bertindak maju, ia dengar suaranya pesawat penyedot angin, maka ia menuju ketempat suara angin itu, hingga sebentar kemudian ia sampai disebuah kamar dapur. Disitu ada satu imam sedang masak, berasnya lagi bergolak-golak didalam kwali. Imam itu sedang masak bubur.
Jilid 29 Tamat
SIAU HOO letaki goloknya di kaki tembok, ia tidak terbitkan suara apa juga, hanya kemudian, selagi bertindak masuk ke kamar dapur itu, ia perdengarkan elahan napas. Ia hadapi imam itu sambil angkat kedua tangannya.
“Too-ya, agaknya kau sedang repot!” berkata ia. “Hari ini kabut tebal sekali …”
Imam tukang masak itu terkejut, ia awasi tamu tidak dikenal itu.
“Kau dari mana?“ ia tanya.
“Aku datang dari Kang-lam, sengaja untuk berziarah ke gunung Bu Tong San ini,” Siau Hoo jawab. “Aku ingin bersujud kepada Cin Bu Ya-ya. Sebenarnya aku datang sejak kemarin tengah hari. Sesampainya disini, aku lihat sejumlah too-ya sedang tempur seorang yang bukannya orang pertapaan. Karena takut, aku umpatkan diri. Satu hari satu malam lamanya, aku mengeram didalam sebuah gua. Apa mau, hari ini kabut ada sangat tebal. Dengan memohon kepada Pou-sat, aku berjalan sampai disini. Sekarang aku ada sangat lapar ... ”
“Oh, begitu,” kata si imam, yang kelihatannya percaya orang punya perkataan itu. Malah ia lantas ambil satu mangkok, ia isikan itu dengan buburnya yang baru matang. Ia-pun ambilkan sepasang sumpit.
“Kau duduk disitu, daharlah,” katanya. Ia menunjuk pada sebuah bangku. Kemudian ia terus tarik pula pompa anginnya.
Siau Hoo dahar dengan tidak kata apa-apa. Bubur itu sudah matang tetapi belum cukup lembek, masih seperti nasi, dimakannya keras, sudah begitu, pasirnya tidak tercuci berih, hingga giginya Siau Hoo perdengarkau suara nyaring, tapi baunya harum sekali, hingga anak muda ini minta tambah pula satu mangkok, lagi satu mangkok, sampai akhirnya jadi empat mangkok!
Benar selagi ia dahar, Siau Hoo dengar suara di luar dapur : “Eh, golok siapa ini?“
Ia jadi kaget. Segera letaki mangkok dan sumpitnya, ia bertindak keluar dengan cepat. Diluar, ia lihat satu imam umur kurang lebih empat puluh tahun. Ia rasa seperti kenali si imam sebagai salah satu dengan siapa kemarin ia bertempur. Imam itu sudah jumput ia punya golok, kapan dia lihat pemuda ini, dia terperanjat hingga dia mundur beberapa tindak.
“Jangan takut!“ Siau Hoo lekas bilang, seraya tangannya diulap-ulapkan. “Satu harian kemarin aku tidak dahar, maka itu aku datang kemari untuk mina makanan, baru saja aku dahar bubur, sekarang aku sudah dahar cukup, aku menghaturkan terima kasih kepada kau orang semua. Jangan lakut, asal kau orang tidak desak aku, aku-pun tidak hendak ganggu kau orang, aku tidak akan mengacau disini. Sebenarnya aku hendak cari Li Cong Giam dan Too Teng.”
Mendengar demikian, hatinya imam itu menjadi lega, malah ia lantas saja menjura.
“Jikalau, demikian sikapmu, Kang Siecu, bolehlah aku beri keterangan pada kau,“ berkata ia. “Kami sudah tempur kau karena saking terpaksa. Digunung kami ini sudah ada aturan, jikalau kami dengar genta, kami mesti datang berkumpul, untuk memberikan pertolongon. Kami ada orang-orang suci, apabila tidak terpaksa, kami tidak suka bentrok terutama dengan rakyat biasa. Dalam perkara kau kemarin, disatu pihak aku mesti sesalkan sikapmu yang sembrono, dilain pilak Cau Kiam Hiong terlalu turuti ambekannya, hingga terjadilah onar. Bukankah kau telah kena ditawan Hian Ceng Loo-cowsu?“
Siau Hoo menyindir.
“Selagi aku tidak bersedia, dia bokong aku dengan totokannya!“ dia kata. “Dia cuma bisa ringkus aku untuk sedikit waktu saja, setelah itu, aku bisa lolos sendiri!”
Imam itu manggut-manggut.
“Aku dengar, Loo-cousu juga kagumi bugeemu yang liehay, sie-cu,“ katanya. “Kau telah mengacau diatas gunung, kau sudah langgar undang-undang kami yang dimuliakan selama lima ratus tahun, dari itu, Loo-cousu tidak dapat ampunkan kau. Baiklah sie-cu lekas menyingkir dari sini.”
“Untuk suruh aku berlalu dari sini ada gampang sekali,” Siau Hoo jawab. “Untuk itu, kau orang mesti serahkan Lu Cong Giam dan Too Teng kepadaku, supaya aku bisa kompes mereka, agar mereka beritahukan aku dimana adanya isteriku sekarang!“
“Tadi malam Loo-cousu lihat seorang yang terbakar pakaiannya, yang bergulingan ditanah, setelah apinya padam, orang itu lantas menyingkirkan diri,“ kata pula si imam. “Samar-samar Loo-cousu lihat, orang itu ada satu imam perempuan. Karena ini, Loo-cousu mulai percaya kau punya keterangan. Kabarkan sekarang ini Lu Cong Giam sudah ditahan oleh Loo-cousu. Loo-cousu ada seorang jujur, kau jangan kuatir. Baiklah sekarang kau turun gunung, kau tunggui disana disuatu tempat, kalau nanti Loo-cousu sudah dapat keterangan perihal isterimu, pasti dia akan kirim orang beritahukan itu pada kau.”
Siau Hoo kerutkan alis, ia menghela napas.
“Tapi kau orang bekerja terlalu lambat,” ia nyatakan. “Mana kau orang tahu rasa hatiku! Dimana ditahannya Lu Cong Giam? Aku hendak pergi padanya, untuk tanyakan sendiri kita punya keterangan. Golokku itu aku tinggal disini, aku nanti pergi dengan tangan kosong! Kau jangan kuatir, tidak nanti aku membuat ribut pula.”
Nampaknya imam itu setuju, ia berpaling, tangannya menunjuk.
“Bila kau jalan ke selatan sana dan lewati dua puncak, kau akan sampai di Thian Kie Hong,“ ia beri petunjuk. “Di sana kau minta keterangan lebih jauh, aku percaya kau nanti dapat tahu dimana adanya Lu Cang Giam.”
Siau Hoo manggut, ia memberi hormat.
“Sampai ketemu pula!” katanya. Dan lantas ia bertindak keluar. Ia lompati tembok seperti masuknya tadi, untuk pergi keluar pekarangan, dari situ ia menuju ke selatan.
Kabut masih saja tebal. Pemuda ini seperti terbenam didalamnya. Angin musim rontok ada dingin, tetapi Siau Hoo rasakan tubuhnya panas, itulah disebabkan ia ada sangat tidak sabaran. Ia-pun rasakan sakit dikulit, bekas terkena api, dan lecet disana sini.
Perjalanan dilanjutkan ditempat yang sukar, karena ia mesti berloncatan dan merayap atau melapay, untuk panjat dan lewat puncak. Ia-pun sudah seberangkan beberapa jurang. Sampai sebegitu jauh, tidak berani ia lihat orang. Celakanya, hujan gerimis mulai turun, hingga dilain saat, pakaiannya demak, basah.
Kabut terus bergumpal makin tebal, sampai sukar orang melihat kesekitarnya.
Dalam keadaan sepenti itu. Siau Hoo tidak bisa lanjutkan perjalanannya, maka terpakasa ia cari tebing, untuk lindungi diri dari serangannya angin dan hujan. Ia duduk atas sebuah batu, untuk melenyapkan lelah, guna tunggui langit terang dan hujan reda. Tapi angin dan hujan tidak mau berhenti, terus sampai malam, hingga jagat jadi gelap. Terpaksa, pemuda ini bercokol terus, akan lewatkan sang malam. Kembali ia tidak dapat makan dan minum, malah juga tidak dapat tidur.
Kapan sang fajar akhirnya datang, tidak tunggu sampai langit terang, selagi hujan gerimis, Siau Hoo sudah berangkat, untuk meneruskan perjalanannya yang tertunda semalaman. Jalanan ada becek, batu-pun licin.
Siau Hoo jalan terus dengan ogah-ogahan, karena ia letih dan kedua kakinya seperti beku, tetapi hatinya tidak sabaran, dari itu ia paksakan jalan terus. Ia jalan makin lama makin turun, mudun! Ia tidak tihu, berapa lama ia sudah jalan, atau tiba-tiba, hudan berhenti, kabut-pun mulai buyar. Sekarang ia berada di jalaan buntu, didepan ia ada sebuah lembah didalam mana tertampak pohon-pohon merah, ketika ia awasi, ia lihat beberapa rumah atap. Memandang kebawah, ia dapat melihat dengan nyata.
“Heh, disini ada rumah orang!“ kata ia seorang diri.
Dengan tidak sangsi lagi Siau Hoo loncat turun, sesampainya dibawah, ia bertindak kearah sebuah rumah. Tapi segera ia dipapak oleh dua ekor anjing, yang sambut ia dengan tubrukan dan gonggongan.
“Hus! Hus!“ ia mengusir seraya goyang-goyang juga tangannya.
Disitu ada terdapat empat runah, sesudah Siau Hoo menanya berulang-ulang, pintunya dua rumah telah dibuka, dari dalam mana muncul beberapa orang, diantaranya satu nyonya tua yang sudah bongkok, dan yang lainnya masih muda.
”Jangan kuatir!“ Siau Hoo mendahului membuka mulut sambil rangkap kedua tangannya. “Aku datang kemari untuk cari orang. Kawanan imam diatas gunung sudah rintangi aku, karena itu, kami jadi bertempur buat dua hari lamanya. Malah sudah dua malam aku bermalam didalam gunung ini. Aku datang untuk minta keterangan, apa kau orang disini ada lihat satu imam perempuan?”
Satu pemuda hendak maju tetapi si nenek tarik dia. Nenek ini nampaknya berkuatir. Rupanya anak muda itu ada ia punya anak sulung.
“Kami tidak tahu!” demikian ia jawab pemuda kita.
Siau Hoo tidak perdulikan nenek itu, ia menghampiri si anak muda kepada siapa ia memberi hormat.
“Lauko, jangan curigai aku,” ia kata. “Aku bukannya orang jahat. Aku cari si imam perempuan karena dia sudah culik isteriku. Kau orang ada penduduk sini, barangkali kau orang ada lihat imam itu. Kau orang niscaya insaf berapa hebatnya kalau suami-isteri dipaksa berpisahan ... “
Kelihatannya anak muda itu jadi gusar dengan tiba-tiba.
“Imam perempuan yang jahat itu tinggal disana, di rumahnya orang she Hau!” kata ia seraya ia menunjuk ke arah selatan. “Pergi kau cari dia disana!”
Begitu lekas si anak muda ucapkan keterangannya, ia-punya tetangga menjadi kaget, muka mereka pucat, sedang si nenek, sang ibu, lantas saja menangis.
“Kau telah bocor, kau undang bencana,“ kata nenek ini. “Jikalau si imam perempuan ketahui ini, mana dia bisa kasi ampun padamu?”
“Jangan takut!“ Siau Hoo gantikan si anak muda menyahut. Ia goyang-goyang tangan.
ia tetap aia kosen, gerakannia-pun gesit.
Tera-ng sudah bahwa ia ada singat bergusar,
Habis berkata demikian, pemuda kita segera menuju ke selatan, ke rumah yang pertama, tindakannya pesat sekali, begitu lekas ia sudah sampai diluar pekarangan, ia loncat naik keatas tembok, akan lompat turun kesebelah dalam.
Dari dalam rumah segera muncul seorang kira-kira tiga puluh tahun.
“Kau cari siapa?” orang itu menegor.
“Aku cari Too Teng, si imam perempuan!“ Siau Hoo, jawab dengan murka. “Imam itu sembunyi di rumah kau! Lekas suruh dia keluar!”
Siau Hoo belum tutup rapat mulutnya, atau Too Teng telah berloncat keluar, dia punya rambut riap-riapan hingga mirip seperti satu siluman. Dia cekal dia punya pedang, dengan tidak kata apa-apa lagi, dengan bengis dia serang musuhnya, ia punya muka beroman sangat bengis.
Siau Hoo berkelit, terus ia buat perlawanan. Ia mencoba akan rampas orang punya senjata.
Too Teng berlaku sangat gesit dan telengas, pada tubuhnya masih ada tanda-tanda bekas terbakar dan bacokau, akan tetapi ia tetap ada kosen, gerakannya pun gesit. Terang sudah bahwa ia ada sangat bergusar, sehinga ia jadi nekad. Ia telah gunai semua tipu pukulan yang berbahya, rupanya ia bermaksud segera rubuhkan musuh, yang kebetulan tidak bersenjata itu.
Siau Huu mesti perlihatkan antero kegesitannya untuk layani musuh yang nekad itu. Karena ia lebih banyak berkelit, dengan egos tubuh atau lompat, mundur atau ke samping.
Dimana pertempuran ada hebat, dengan cepat keduanya sudah bergebak belasan jurus. Too Teng keluarkan semua kepandaiannya tenaganya juga, masih sia-sia saja ia dengan niatannya merubuhkan lawan itu. Diain pihak, biar-pun ia rada terdesak. Siau Hoo senantiasa cari lowongan. Setiap kali ia berkelit, selalu ia susul itu dengan rangsekan. Ia memang perlu dengan pertempuran rapat.
Dengani tiba-tiba, Too Teng kena dibuat terkejut, hingga ia melengak. Baru saja ia menikam, atau tahu-tahu Siau Hoo sudah berada disampingnya, lengannya kena dicekal, sebelum ia tahu apa-apa, pedangnya telah pindah tangan. Menyusul itu si anak muda balik menyabet sambil berseru dengan pertanyaannya : “Dimana kau sembunyikan Ah Loan?“
Dalam keadaannya itu, selagi penyerangnya seorang yang liehay sekali, Too Teng tidak berdaya sama sekali, hingga ia tak sempat pikir buat berkelit, ia terluka dam tubuhnya rubuh dengan segera. Tapi, dengan mata mendelik, ia masih sempat memberi jawaban : “Ah Loan kena dirampas oleh suhengmu si Ah Hiap!“
Inilah diluar dugaan, saking heran Siau Hoo berdiri dengan bengong.
“Heran, kenapa suheng boleh muncul?“ pikir ia.
Kemudian, kapan ia telah sadar, Siau Hoo tunduk, akan lihat Too Teng. Nyata imam perempuan itu sudah jadi mayat, napasnya telah berhenti berjalan.
Si orang muda, yang ada satu tukang kayu, kaget dan ketakutan, ia berdiri dengan muka pucat dan tubuh gemetaran.
“Kapan imam ini datang kemri?“ Siau Hoo tanya si tukang kayu, yang ada tuan rumah.
“Dulu-dulu dia sering datang kemari,” orang itu menyahuti, “sekarang, yang paling belakang, baru beberapa hari. Dia ada bersanak dengan Lu Tooya dari atas gunung Bu Tong San. Kita semua takut terhadap Lu Tooya itu …”
Orang ini belum tutup mulutnya ketika ia nampaknya jadi kaget pula dan mukanya pucat, matanya terbuka lebar, mendelong.
Siau Hoo lihat orang punya perobahan sikap itu, ia bersenyum lalu dengan sebat ia putar tubuhnya, pedangnya menyamber kebelakang.
“Trang!”
Dua buah pedang bentrok keras satu dengan lain, habis itu kedua pedang itu lantas saling serang pula.
Ternyatalah Leng In Kiam-kek Lu Cong Giam sudah datang dengan tiba-tiba, ia lompati tembok, ia menghainpirkan dengan diam-diam, apabila ia sudah datang cukup dekat, dengan sekonyong-konyong ia kirim tikamannya membokong. Adalah ia punya kedatang an, ia punya ancaman, yang membuat si tukang kayu jadi kaget, ketakuan dan bengong hingga Siau Hoo menduga jelek, hingga anak muda itu yang waspada lantas menangkis begitu lekas ia dengar suara berkelisik di belakangnya.
Siau Hoo kenali baik penyerangnya itu, siapa ada sangat gusar.
“Jikalau ini hari aku tidak dapat balaskan sakit hatinya Too Teng, aku bukannya si orang she Lu,” ia sesumbar. Ia ternyata tidak takut, ia sudah lantas menyerang pula.
Siau Hoo tangkis sembarangan.
“Aku justru hendak cari kau, imam tetiron!” ia balas berseru.
Pertempuran seru segera berlangsung, ke dua pedang berkeredepan berkilau-kilau. Berdua mereka ini ada laksana orang hutan berloncat dan harimau menerkam, dua-duanya gesit sekali.
Ilmu silat pedang dari Lu Cong Giam benar liehay, gerakan tubuhnyapun gesit sekali, akan tetapi sesudah lawan Siau Hoo lebih daripada duapuluh jurus ia merasa keteter, maka itu begitu lekas ia bisa tangkis satu serangan ia lompat mundur, ia lari kearah tembok dimana ia loncat melewati untuk kabur.
Siau Hoo lihat gerakan lawan, ia loncat menguber.
“Imam tetiron, kau masih memikir untuk meloloskan diri?” ia berseru.
Lu Cong Giam lari terus, pedangnya ia tancap dalam sarung dibebokongya, berlari-lari naik keatas gunung, untuk itu ia bisa merayap dan melapay seperti kera saja. Beberapa kali ia menoleh, melihat ke sebelah bawah akan perdengarkan tertawa mengejek terhadap Siau Hoo.
Muridnya Kiu Hoa Loojin atau Loo Sin She dari Kin Hoa San, tidak biarkan imam tetiron itu kabur, ia terus mengejar. Ia juga ada punya kesebatan yang sama bahkan melebihinya, karena belum terlalu lama ia sudah dapat menyusul, demikian dengan satu gerakan pedang ia menikam.
Lu Cong Giam dapat tahu serangan musuh, ia hunus pedangnya, ia menangkis. Justeru itu ia sudah sampai diatas, maka itu terus saja ia memutar diri akan serang Siau Hoo, siapa sudah candak ia, tinggal naik saja.
Dengan ia berada didepan musuh, Siau Hoo bisa menangkis dengan leluasa sambil berbuat begitu, ia majukan tangan kirinya untuk menotok. Pedangnyapun terus menyerang.
Cong Giam tangkis serangan itu seraya, ia egos tubuh pula, buat lari.
Siau Hoo tidak mau sudah, ia mengejar. Jarak mereka berdua melainkan sepuluh tindak lebih.
Cong Giam bisa lari keras sekali, sebaliknya Siau Hoo terganggu oleh ia punya keletihan selama dua hari, sedang juga ia tidak memakai sepatu, maka itu setelah dua undakan bukit mereka tetap terpisah satu dengan lain.
Ketika itu kabut sudah mulai buyar dan di sebelah depan sinar matahari mulai muncul.
Cong Giam lari naik terus, makin tinggi. Kelihatannya dia menuju kepuncak Thian Kie Hong.
Siau Hoo mendongkol juga karena ia tak dapat menyandak maka akhirnya ia perdengarkan suaranya: “Imam tetiron, jikalau aku berikan lewati lagi sebuah puncak, aku bukannya si orang she Kang!”
“Ah, bocah, kau naiklah!” Cong Giam membalas dengan mengejek. Sambil menghina demikian Leng In Kiam-kek berlari-lari sambil menoleh. Ia-pun keraskan larinya.
Siau Hoopun mengejar semakin keras.
Sebentar kemudiaan mereka sampai disebuah tempat yang banyak semak, disitu Cong Giam lenyap dengan tiba-tiba, entah ia sembunyi kemana.
Siau Hoo berhenti berlari, ia mencari sambil bertindak dengan perlahan, matanya dipasang dengan celi, ia waspada.
Sekonyong-konyong, dari empat penjuru ada terdengar suara genta yang saling susul. Segera Siau Hoo berhentikan tindakannya.
“Pastilah sari tempat tinggi ada orang lihat aku kejar Lu cong Giam.” ia menduga. “Rupanya orang bunyikan genta untuk mengumpulkan kawan buat bantu! Lu Cong Giam ... ”
Menduga begitu, pemuda itu menjadi mendongkol, melupai ancaman bahaya dari musuh yang tersembunyi, ia lantas maju pula. Ia belum jalan jauh, tiba-tiba Cong Giam muncul dari tempat persembunyiannya sambil terus menikam.
Siau Hoo melihat bokongan musuh, ia menangkis, habis itu ia terus balas menyerang.
Leng ln Kiam-kek tidak buat perlawanan kembali ia angkat langkah seribu. Karena ini, kembali ia di kejar oleh lawannya itu.
Lagi satu puncak didepan mereka beradalah Thian Khie Hong. Disana suara genta ada terlebih gencar, sejumlah imam tertampak berlari-lari naik keatas puncak. Cong Giam juga tujukan tindakannya ke puncak itu.
“Biar kau lari pulang kesarangmu, aku tetap akan bekuk padamu!“ Siau Hoo teriaki. “Aku tidak takut jumlahmu yang banyak!“
Demikian mereka berkejar-kejaran, mendaki Thian Kie Hong.
Sementara itu, dari atas puncak juga ada berlari turun sejumlah imam, mereka semua bersenjatakan pedang, yang cahayanya berkeredepan. Karena turunnya mereka, larinya Lu Cong Giam jadi terhalang, sedang di belakangnya, Siau Hoo terus saja kejar ia.
Kapan kedua pihak Cong Giam dan rombongan imam itu sudah datang dekat satu dengan lain, tahu-tahu Leng In Kiam-kek dirubung, malah ada orang yang segera rampas ia punya pedang. Untuk ini, imam she Lu itu tidak buat perlawanan.
Siau Hoo lihat apa yang terjadi itu, ia terus saja memburu naik.
Dari rombongn imam itu, yang sudah tidak berlari-lari lebih jauh, beberapa diantaranya maju, akan papaki pemuda kita kepada siapa mereka menjura.
“Sabar, sie-cu!“ kata mereka ini, yang menghunjuk hormat. “Sekarang ini Loocousu sedang piebu pedang diatas puncak, sehabisnya piebu, dia pasti ada punya daya untuk selesaikan sie-cu punya urusan!“
Siau Hoo menjadi heran, sedang tadinya ia sangka, ia bakal dikepung. Ia berhenti berlari, akan perbaiki ia punya napas. Ketika ia lihat Cong Giam, hawa amarahnya naik pula, dari itu, sebelum layani beberapa imam itu, ia sudah tikam orang she Lu itu.
Beberapa pedang tangkis tikaman ini. Itulah gerakannya beberapa imam, yang lindungi Leng In Kiam-kek.
“Sabar, sie-cu, jangan terburu!“ demikian kata pula beberapa imam tadi. “Peryaya, Loo cousu kita pasti bakal urus perkaramu ini, untuk berikan putusannya yang adil!”
Lu Cong Giam sendiri ada bermuka pucat. Ia bukan cuma dikurung, hanya beberapa imam cekal ia, hingga ia mirip dengan seorang tawanan. Ia punya napas ada mengorong, karena ia telah berlari-lari jauh dan terlalu keras. Ia sampai tak dapat buka mulunya, untuk bicara.
Siau Hoo menahan kemurkaannya, ia awasi orang dengan mata tajam, pedangnya siap sedia. Ia juga perlu ketika akan buat napasnya tidak memburu lagi.
Selagi kedua pihak pada berdiam, dari atas puncak tiba-tiba terdengar suara:
“Saudara Kang! Lekas, lekas naik!“
Cepat sekali Siau Hoo dongak, akan melihat keatas. Li tampak satu anak muda, yang mukanya putih, yang tagannya mencekal pedang. Kapan ia sudah melihat nyata, ia menjadi girang berbareng heran.
Orang muda itu ada Lie Hong Kiat!
Dalam heran dan girangnya, tidak tempo lagi, pemuda kita lari naik keatas.
Dipuncak itu ada sebuah kuil, didalam pekarangan depan, yang lebar, ada berkumpul berbaris sejumlah imam, yang semuanya bersenjatakan pedang. Mereka itu berbaris dengan rapi dan tenang. Adalah didepan mereka, ditengah kalangan, dua orang kelihatan asyik pie-bu, adu kepandaian silat dengan menggunakan pedang. Caranya dua orang ini bertanding ada luar biasa, karena mereka gunai nui-kang, ilmu lemah-lembut, pelahan tetapi gesit, gesit tetapi pelahan. Melainkan dimatanya akhli, pertandingan itu barulah berarti, karena sesuatu gerakan ada sangat berbahaya, itulah hasil buah dari peryakinan beberapa puluh tahun!
Diantara dua orang yang lagi bertempur itu, yang satu ada satu satu imam tua dan ubanan seluruhnya, karena dia adalah tuan rumah dari kuil itu atau ketua dari Cit Toa-kiam-sian, yalah Yok Hian Ceng.
Orang yang ke dua membuat Kang Siau Hoo bengong tercengang. Orang itu, yang pakaiannya sangat sederhana yang sepatunya sepatu rumput, cau-eh, adalah Ah Hiap si gagu, dia punya suheng!
Begitu ia sampai diatas, Siau Hoo sudah lantas menghampiri Hong Kiat, untuk mereka saling jabat tangan, kemudian ia segera mengawasi, hingga dia tak sempat tanya apa-apa dan si orang she Lie-pun berdiam sepenti dia, karena ia ini juga sangat ketarik dengan pertempuran itu.
Segera juga Siau Hoo dengar suara yang ia kenal, yang datang dari sampingnya :
“Eh, orang she Kang, apa kabar dengan isteriku?“ demikian pertanyaan itu.
Siau Hoo menoleh dengan cepat. Di depannya ada Kie Kong Kiat! Cepat ia angkat kedua tangannya.
“Sehentar kita bicara! Kau jangan kuatir,” ia bilang. Kembali ia menoleh ke arah pertempuran.
Pada saat itu, Yok Hian Ceng dan Ah Hiap berada renggang jauh, ada sulit untuk kedua pedang mereka bentrok satu dengan lain, akan teapi Siau Hoo insaf benar bahwa kedua-dua pedang ada punya maksud yang sangat berbahaya.
Yok Hian Ceng maju dengan dia punya tipu pedang “Ciong-pou-hok-tee Keng-ma-kiam” atau “Kuda istimewa yang berlompat dan mendekam,” atas mana, Ah Hiap hadapi dia denan “Lian Hoan Keng-ma-kiam” atau “Kuda berantai.”
Hian Ceng berlompat kekiri, dua-dua kakinya terangkat. Lompatan itu ada lompatan maju, dibarengi dengan sontekan pedang keatas, gerakannya sangat pesat.
Ah Hiap tangkis sontekan itu, ia-pun berlompat, dengan niatan membalas, akan tetapi Yok Hian Ceng mendahului tarik pulang pedangnya, untuk bersiap, dengan begitu, serangannya dapat dibuat punah.
Kembali mereka saling serang secara hebat sekali.
Semua mata ditujukan kearah dua orang yang lagi pie-bu itu, Siau Hoo tidak kecuali, akan tetapi, sekarang ini, napsu berkelahi dari anak muda ini menjadi banyak lebih reda. Ia sudah lantas lihat nyata, ilmu pedang dari Yok Hian Ceng ada setingkat lebih tinggi daripada ia punya kepandaian, akan tetapi kepandaiannya Ah hiap, sang suheng, ada jauh lebih tinggi bertingkat-tingkat, maka itu, ia jadi sangat kagum ia punya saudara itu.
Selagi pemuda ini mengawasi dengan tajam, Kong Kiat hampirkan ia dari belakang dan tolak tubuhnya.
“Eh, orang she Kang, buat apa tonton mereka piebu?“ kata orang she Kie ini. “Mari! Mari bantu aku cari isteriku! Kau sudah tolongi Ah Loan di Cin Nia, sekarang tak dapat kau lepas tangan!“
Oleh karena ia dibetot, Siau Hoo putar tubuhnya dan geraki ia punya tangan dengan begitu, tubuhnya Kong Kiat jadi kena tertoyor.
“Jangan sibuk!“ Siau Hoo bilang. “Aku tahu dimana Ah Loan ada!”
Kong Kiat mendongkol.
“Dimana adanya Ah Loan?“ tanya ia dengan sengit. “Kau bilangi aku, aku bisa pergi mencari sendiri! Aku perlu tegaskan Ah Loan, dia hendak nikah kau atau aku! Jikalau Ah Loan hendak nikah kau, aku Kie Kong Kiat dengan kedua tanganku akan serahkan dia! Aku ada turunan dari Liong Bun Hiap, aku bukannya tak mampu cari lain orang perempuan untuk jadi isteriku!”
Belum sempat Siau Hoo menjawab, atau ia terperanjat, karena kupingnya dengar seruan kaget yang riuh, karena piebu sudah berakhir, sudah ada keputusan siapa menang dan siapa kalah. Ia menoleh dengan segera, tetapi ia telah terlambat, ia cuma bisa saksikan Yok Hian Ceng lagi dipepayang oleh beberapa muridnya, dari pundaknya yang kiri terlihat darah bercucuran keluar, hingga kecuali bajunya, kumis jenggotnya yang putih-pun kecipratan darah merah.
Ah Hiap kelihatannya sangat gembira, ketika ia masukkan pedangnya kedalam sarung, ia tertawa, habis itu dengan pentang kedua tangannya, laksana burung terbang, ia lari kearah diapunya sutee.
Jusieru itu, Ma Hian To menghampiri Lie Hong Kiat, untuk bicara.
“Tadi sudah dijanjikan, asal Cou-su kita kalah, kau orang ada merdeka untuk geledah gunung kami ini,” kata dia, “maka sekarang, pergilah kau buat pemeriksaan, kami tak akan menghalanginya lagi!“
Hong Kiat manggut, terus ia menoleh pada Siau Hoo.
“Bagaimana?” dia tanya.
“Too Teng telah aku binasakan di belakang gunung ini,” jawab orang yang ditanya. “Dia kata bahwa Ah Loan sudah dapat ditolongi oleh aku punya suheng Ah Hiap.”
Orang she Lie itu heran.
“Bagaimana kau bisa buat dia buka mulutnya?” dia tanya.
Baru Siau Hoo hendak menjawab pula atau suhengnya telah sampai di depannya, terus suheng ini gerak-geraki kedua tangannya, mulutnya, dan juga tubuhnya. Dia beraksi meniup terompet, seperti memukul tambur, lantas ia bertindak lemas seperti orang perempuan, kemudian, sambil sebelah tangan menunjuk kearah barat, ia samber tangan suteenya, untuk ditarik, buat diajak jalan.
Siau Hoo beri tanda kepada suheng itu dengan geraki kedua tangannya, kemudian ia menoleh pada Ma Hian To.
“Aku telah dapat tahu tentang isreriku,” ia bilang.
Kie Kong Kiat, yang berada disampingnya si anak muda, dengar itu dengan mendongkol, matanya mengawasi dengan merongos.
Siau Hoo tidak perdulikan cucu-mantunya Pau Kun Lun itu, ia hanya teruskan pada Ma Hian To: “Kau boleh pergi kebelakang gunung, akan lihat mayatnya Too Teng di rumahnya satu penduduk, disana boleh sekalian tanyakan keterangan perihal Lu Cong Giam, dia ada orang macam apa! Umpama kata kau orang tetap antap Lu Cong Giam bernaung didalam gunungmu ini, lambat-laun bakal ada datang lain orang untuk mengacau gunung kau ini!”
“Lu Cong Giam sudah terbirkan onar untuk gunung kita, Cousu pasti bakal hukum dia!” sahut Ma Hian To.
Siau Hoo bersenyum dingin.
“Bagus!” kata ia dengan nyaring. “Terserah kepada liangsim kau orang! Nah, sampai kita orang bertemu pula! Sampai nanti!”
Siau Hoo tidak sempat putar tubuhnya, Ah Hiap sudah betot ia, ajak ia lari turun gunung!
Lie Hong Kiat lantas saja lari, untuk menyusul bersama ia, Kie Kong Kiat-pun turut. Dia ini tetap masih mendongkol.
Ah Hiap si“tolol” bawa katanya sendiri, ia lari begitu keras, sampai ia buat Siau Hoo kewalahan mengikutinya. Hingga Hong Kiat dan Kong Kiat sukar menyandaknya. Kong Kiat tak dapat atasi dirinya, ia sampai mengutuk si gagu, yang ia umpat caci.
Orang terus berlari-lari, tak perduli jalanan ada mudun dan sukar, adalah selang sekian lama, sampailah mereka dikaki gunung. Disitu ada kedapatan tiga ekor kuda yang dijagai oleh beberapa bocah angon kambing.
Ah Hiap tolak tubuhnya Siau Hoo kearah kudanya Kong Kiat. Ia rupanya suruh sutee itu pakai orang punya kuda. Ia sendiri loncat atas kudanya yang ia terus hendak beri lari. Ia tidak kenal cape, napasnya-pun tidak tersengal-sengal.
Sementara itu Kie Kong Kiat sudah menghampiri Siau Hoo, tangan siapa ia jambret.
“Eh, orang she Kang, mari kita bicara!“ kata dia, yang napasnya memburu keras sekali. “Kita harus selesaikan urusan kita! Umpama kata Ah Loan tak inginkan aku, aku setuju, asal segala ada dijelaskan terlebih dahulu, habis itu, kau orang boleh pergi kabur!“
Siau Hoo beri tanda pada ia punya suheng, ia loncat turun dari atas kuda keatas mana ia sudak loncat naik. Ia-pun ada bernapas memburu, hingga ia tak dapat segera bicara.
Tapi Hong Kiat, sambil tuntun kudanya yang berbulu putih, menghampiri mereka berdua.
“Aku telah bertemu saudara Kie ini di Tiok-kie,” kata ia pada Siau Hoo, “dari musuh kami menjadi sahabat satu dengan lain. Saudara Kie ini sudah jelaskan padaku, walau-pun dia telah menikah dengan sah dengan Nona Ah Loan, mereka berdua belum pernah menjadi suami-isteri yang sebenar-benarnya dalam penghidupan suami-iseri, karena itu aku telah beri nasehat kepadanya, umpama kata si nona cintai kau, saudara Kang, baiklah dia mengalah saja!”
“Memang, mengalah tak apa untuk aku.” Kong Kiat turut bicara. “Tapi aku ingin ketemu sama Ah Loan, aku hendak bicara dengan dia, untuk menjelaskan segala apa!“
“Jikalau begitu,” Siau Hoo bilang, “baik kau pinjam kudanya saudara Lie, mari kita sama-sama ikut aku punya suheng itu!”
Mendengar itu, Hong Kiat segera serahkan dia punya kuda putih, kemudian ia kata pada anak muda kita.
“Saudara Kang,” katanya, “sejak kita orang berpisahan di musim semi di Siong San, aku sudah lantas menikah, sekarang ini aku dan isteriku, bersama-sama ibunya Ou Jie Ceng, sama-sama tinggal didalam kota Teng-hong. Bersama-sama saudara Ou, aku lagi buat perjalanan. Kami sudah pergi ke Tiang-an, kami mendaki Cin Nia, kami lewati Han tiong. Maksudku adalah, pertama untuk cari kau, saudara, dan kedua guna pesiar. Sekarang kita orang telah bertemu disini, aku girang sekali. Saudara, pergilah kau orang bertiga kepada Nona Ah Loan, aku sendiri hendak pergi ke Tiok-kie, akan susul Jie Ceng, buat bersama-sama dia pulang ke Tenghong. Kanda Kang, aku harap kau tenang dan sabar, jangan kau berduka. Dan kau, saudara Kie, aku harap kau bisa indahkan kehormatan kita kaum kangou!“
Siau Hoo menghela napas, ia angkat ke dua tangannya.
“Saudara Lie, jangan kuatir,” ia bilang. “Aku Kang Siau Hoo ada satu laki-laki sejati, tidak nanti aku perbuat apa-apa yang bisa mendatangkan malu. Ah Loan benar baik dengan aku tetapi kami belum pernah lakukan apa-apa yang sesat. Dia sudah menikah dengan sah dengan saudara Kie, dia tetap ada isterinya saudara Kie. Kecuali saudara Kie ceraikan dia …”
Siau Hoo bicara dengan gagah, akan tetapi, hatinya sebenarnya karam.
Justeru itu, Ah Hiap perdengarkan suaranya “Ah-ah-uh-uh.“ dan kedua tangannya pun digerak-geraki akan desak suteenya lekas berangkat.
Hong Kiat lantas angkat kedua tangannya.
“Saudara-saudara, persilahkan!” berkata dia. “Harap kau orang nanti melancong ke Teng hong dimana kita orang nanti bicara dengan leluasa!“
Siau Hoo dan Kong Kiat naik atas kuda mereka, berpaling kepada orang she Lie itu, mereka rangkap tangan mereka masing-masing.
Ah Hiap sudah larikan kudanya, maka itu, ia punya sutee dan si orang she Kie mesti lantas kaburkan juga kuda mereka, untuk menyusul.
Meninggalkan Bu Tong San, tiga penunggang kuda ini larat ke barat. Ah hiap tetap jalan di depan, tidak pernah ia mau singgah, selalu kudanya dilarikan keras. Sebenarnya si gagu ini tak setujui Kong Kiat ikut, didalam hatinya, dia kata : “Buat apa kau turut kami? Apakah kau hendak lihat isterinya suteeku?“
Kong Kiat sebaliknya jemu pada si gagu ini, biar ia tahu orang ada liehay, ia tidak takut, saking turuti hawa amarah, beberapa kali ia sudah raba gagang pedangnya.
“Sabarlah, saudara Kie,” Siau Hoo malang ditengah. “Sabarlah untuk sementara waktu. Nanti di depannya Ah Loan, baru kita bicara pula. Percaya, aku Kang Siau Hoo akan hargai Ah Loan!”
Kong Kiat kerutkan alis, ia mendongkol berbareng berduka.
“Aku tidak perduli Ah Loan suka menikah denganku atau tidak!” kata ia dengan penasaran. “Aku hanya hendak tanya Pau Kun Lun kenapa dia nikahkan cucunya dengan aku, sedang dia tahu, sedari masih kecil cucunya itu sudah bergaul rapat dengan kau! Kenapa hal ini tidak pernah terangkan padaku? Kenapa dia pakai Bie Jin Kee, akal perempuan cantik? Kenapa dia dustakanaku, hingga untuk banyak hari aku mesti menjelajah pegi jauh dan menerjang bahaya, sampai aku terluka, sampai aku mendapat musuh? Sekian lama dia permainkan aku. Kie Kong Kiat, apa dengan begitu aku tidak jadi si tolol?”
Pemuda ini berdiam sebentaran saja, lalu ia menyambungi.
“Orang she Kang!” kata ia. “aku tidak halangan akan serahkan isteriku kepada kau, tapi sepatah kata aku hendak tanyakan Ah Loan, aku ingin dia jelaskan, apa artinya dia punya perkataan ketika kami ditawan disarangnya Ou Lip! Ketika itu Ah Loan utarakan padaku, dilain dunia, dia suka kami menjadi suami-isteri. Aku hendak tegaskan, selagi kami sama-sama belum menutup mata, kami ada suami isteri atau bukan! Apabila dia ada satu perempuan tak berharga, segera aku akan tinggalkan dia, anggap saja aku buta-melek dan tolol, aku telah turunkan derajatnya Liong Bun Hiap ...
Siau Hoo kerutkan alis, ia bungkam. Ia merasa soal ada sangat ruwet dan sulit. Ia jadi berpikir keras. Ia terbenam dalam kesangsian, hingga ia larikan kudanya tidak sekeras tadi.
Ah Hiap disebelah depan kembali beri dengar suaranya “Ah-ah-uh-uh!” ia ada begitu tidak sabaran, sampai ia putar kudanya dan gunai cambuknya terhadap kudanya Kie Kong Kiat! Ia mendelik, ia hunjuk sikap kasar. Rupanya ia hendak bilang: “Telur busuk! Buat apa kau ikut-ikut kami? Ada sangkutan apa antara kau dan isterinya aku punya sutee?“
Kong Kiat lagi pusing, ia berduka dan mendongkol, karena itu, hatinya jadi panas, beberapa kali ia hendak serang si gagu, tapi Siau Hoo senantiasa nyelak disama tengah.
Dua hari telah dilewatkan ditengah perjalanan, akhirnya tiga orang ini sampai juga di rumahnya Gan Too-tay di Sengkau, hingga Ah Hiap jadi sangat girang. Ia sudah lantas loncat turun dari kudanya, ia hampirkan Siau Hoo, akan betot sutee ini, kepala siapa kemudian ia usap-usap!
Siau Hoo telah lanta loncat dari kudanya, kalau tidak, ia bisa terpelanting.
Kie Kong Kiat turut loncat turun, Ah Hiap menghampiri ia, dengan niatan ditendang, melihat mana, dia hunus pedangnya.
“Eh, gagu, kau keterlaluan!” ia berseru. Ia terus menggurat tapak jalak diatas tanah, dia ludahi itu, lantas ia menginjak beberapa kali. Itu ada penghinaan untuk Si gagu.
Ah Hiap menjadi gusar, ia melotot, ia pun hendak hunus pedangnya, tetapi Siau Hoo lantas cekal lengannya.
Bab 20
P e n u t u p.
Selagi si gagu ini hendak hunjuk kegusarannya terlebih jauh, dan dalam rumah ada keluar beberapa orang sambil berlari-lari, antaranya terus ada yang berkata: “Oh, gagu, kau sudah pulang? Lekas masuk kedalam, kau lihat! Wan-gwee kita sedang berharap padamu!“
Seorang lain bicara dengan gerak-gerakannya, yalah dia berjalan dengan tindakan eloh, lalu ia balik matanya, seperti orang mendelik, melihat mana, Ah Hiap melengak, lalu sambil beri dengar seruan “Uh!” ia lari kedalam.
Siau Hoo lantas lari, akan ikuti suheng itu.
Kie Kong Kiat masih mendongkol, tapi ia simpan pedangnya, ia-pun lari menyusul.
Dipertengahan, Gan Wan-gwee muncul akan memapak kepada Ah Hiap, ia bicara dengan gerakan tangan, atas mana si gagu melengak, rupanya ia mengerti ada terjadi hal yang penting atau hebat.
Gan Too-tay tidak perdulikan si gagu itu, ia papaki Siau Hoo dan Kie Kong Kiat. Ia jalan sambil pegang tongkat, ia punya air muka ada guram, tanda dari kedukaan.
“Yang mana satu ada sutee dari tamuku yang gagu?“ ia tanya dengan hormat.
“Itulah aku, Kang Siau Hoo,” sahut Siau Hoo sambil membalas hormat.
“Apakah nona Pau itu ada isterimu?” tanya pula tuan rumah.
Siau Hoo melengak, tetapi ia lekas menjawab: “Nona Pau itu ada orang sekampung halaman dengan aku. Apakah sekarang dia lagi berobat di rumah wan-gwee?”
Gan Wan-gwee menghela napas.
“Lukanya si nona sangat parah,” sahut ia. “Pada malam ke dua dari berangkatnya tamu yang gagu, ia sudah hembuskan napasnya yang penghabisan ... “
Siau Hoo kaget, sampai ia melengak, tapi akhirnya, ia banting-banting kaki, air matanya segera mengucur dengan deras.
Kong Kiat, yang berada disampingnya kawan ini, mukanya menjadi sangat pucat, tapi ia kertek gigi.
“Wan-gwee, jenazah si nona sudah dikubur atau belum?“ ia tanya.
“Belum, belum dikubur,” sahut tuan rumah, “Jenazah itu sudah dirawat. Apakah samwie hendak pergi lihat?“
Kong Kiat menghela napas panjang.
“Ya,” ia menyahut dengan lemah.
Gan Wan-gwee segera berjalan dengan, diiringi beberapa bujangnya itu. Siau Hoo dan Kong Kiat mengikuti, sambil menundukkan kepala Ah hiap juga ikut, tapi ia agaknya masih bingung.
Tuan rumah menuju ke timur dimana ada sebuah rumah bertembok tanah dengan dua ruangan, ditengah itu ada meja abu dengan hiolo dan tempat tancap lilin serta dua mangkok teh dingin, di belakang meja ada sebuah peti mati.
Dengan titahnya tuan rumah, beberapa bujang angkat tutup peti mati itu, untuk dibuka, maka itu didalam situ kelihatanlah tubuhnya Ah Loan yang sudah tidak bernyawa, dia punya baju dan kun telah ditukar dengan baju dan kun dari sutera, begitu-pun sepatunya ada sepatu baru, rambutnya telah disisir rapi. Ia punya mata ada sedikit terbuka, hingga kelihatanlah biji matanya yang berdiam, dan sepasang alisnya mengkerut, suatu tanda ia telah menahan sakit. Dia punya mulut ada tertutup sedikit, hingga kelihatan dua baris giginya yang nempel rapat. Biar bagaimana, dia tetap ada elok.
Pepat hatinya Siau Hoo, hingga dengkulnya jadi lemas, hingga ia rubuh disamping peti. Terus saja nangis sesenggukan.
Semua bujang berdiri sambil tunduk.
Ah Hiap berdiri bengong, matanya mengembeng air.
Gan Wan-gwee, dengan tangan bajunya, susuti ia punya air mata.
“Kasihan nona ini,” kata ia dengan pelahan. “Dia dapat empat luka bacokan golok, yang paling hebat adalah yang di dadanya. Disaat hendak tarik napasnya yang penghabian, ia merintih dengan pelahan sekali, samar-samar ia sebut-sebut Siau Hoo.”
Kedua segera ia me
Mendengar itu, Siau Hoo menggerung-gerung.
Kong Kiat sendiri berdiri menjublek, kulit mukanya pucat sekali, biarnya ia ada bersedih luar biasa, ia tidak keluarkan air mata, ia kepal keras kedua tangannya, matanya dibuka lebar-lebar. Ia pandang Ah Loan, ia awasi orang-orang disekitarnya. Tiba-tiba, ia menangis keras.
“Eh, orang she Kang, kau ada satu laki-laki, buat apa kau menangis?” kemudian ia tegur Siau Hoo. “Kang Siau Hoo, sekarang barulah aku takluk kepadamu, tidak percuma kau menjadi muridnya Loo-sinshe dan Kiu Hoa San, karena kau sanggup buat Kun Lun Pay tercerai-berai, inilah satu nona umur dua-puluh tahun, kau juga buat sampai dia mati bersengsara begini. Anggaplah Kang Cie Seng telah peroleh putera yang sanggup membalas sakit hati untuknya! Kau berhasil dengan pembalasan kau, kau boleh merasa puas! Bagus, bagus! Ha-ha-ha!“
Siau Hoo berlompat bangun.
“Saudara Kie, apa sampai sekarang kau masih mengejek aku?“ ia tanya.
Kong Kiat angkat kepalanya, ia tertawa berkakakan.
“Untuk apa aku mengejek kau?“ ia balik tanya. “Aku hanya kagumi kau! Sebelum dia mati, Ah Loan tidak pernah omong satu apa hal kau, dia bungkam terhadap aku, itu tandanya dia tidak mencintai aku, maka itu sekarang, pergilah kau urus dia! Selama dia hidup, aku seperti sedang bersandiwara, katanya saja kami ada suami-isteri, sebenarnya, hal tidak demikian. Dari itu sekarang adalah giliran kau, orang she Kang, untuk jadi suami dari setannya si nona she Pau. Nah, sampai ketemu pula!”
Habis mengucap demikian, Kong Kiat angkat kedua tangannya, ia ngeloyor keluar ...
Siau Hoo berdiam, dia antap orang berlalu, kemudian, setelah menepas air, ia bicara sama ia punya suheng, untuk mana, ia gerak-geraki kedua tangannya, diantaranya, disebelah telapakan tangannya, ia menggaris-garis, membuat peta, dengan itu ia minta suheng ini pergi ke Tin-pa, akan cari satu atau dua sanaknya keluarga si nona, untuk dipanggil datang.
Ah Hiap mengerti, ia suka sekali tolongi sutee itu, maka juga ia sudah lantas pergi dengan cepat.
Ketika itu, peti mati masih belum ditutup, Siau Hoo masih awasi Ah Loan, sampai Gan Wan-gwee perintah orang-orangnya angkat tutup peti, untuk ditutup pula dengan rapi, ia sendiri undang si anak muda pergi kepertengahan rumahnya, buat ia orang duduk beromong-omong, sekalian buat pemuda itu beristirahat. Ia tanya kenapa si nona terluka dan apa huibungannya si anak muda dengan nona itu.
Walau-pun ia sedang berduka, Siau Hoo suka kasi keterangan pada wan-gwee yang baik budi itu, maka itu, ia lantas menutur, mulai hal sakit hati ayahnya, sampai lelakon hidupnya sendiri, bahwa sejak ia kenal Ah Loan dan berdua mereka sudah janji akan jadi suami isteri, siapa tahu, akhirnya peruntungan mereka malang.
Gan Wan-gwee heran dan kagum, ia terharu.
“Nyatalah kau orang telah ditakdirkan,” nyatakan ia kemudian. “Memang, dalam kalangan kangou, permusuhan sukar habisnya. Kau masih muda, tuan, jangan kau berduka, kau masih bisa berbuat banyak, supaya di belakang hari tidaklah kau hidup sia-sia sebagai satu laki-laki!“
Siau Hoo manggut-manggut, ia menghela napas pula.
Setelah dua hari menumpang di rumahnya Gan Wan-wee, Siau Hoo sambut kembalinya Ah Hiap, yang berhasil memanggil Lou Cie Tiong.
Menemui orang she Lou itu, Siau Hoo malu.
“Pehhu,” kata ia sembari memberi hormat dengan terpaksa.
Cie Tiong berduka, kepada anak dan sahabatnya itu. Ia tidak bilang suatu apa, ia hanya tanyakan tentang Ah Loan, perihal sebab dari meninggalkannya kemudian ia menghela napas.
“Dalam hal ini, siapa juga tidak dapat disesalkan,” kata ia kemudian, “cuma dua orang, yalah pertama Pau Loo-suhu dan kedua ayahmu sendiri yang menutup mata pada belasan tahun yang lampau ... “
Siau Hoo tunduk, ia menghela napas pula.
Cie Tiong kucurkan air mata ketika ia urus jenazahnya Ah Loan untuk pantek tutupnya. Ia ada ajak beberapa pegawai, maka dengan dibantu oleh orang-orangnya Gan Wan-gwee, ia tidak terlalu repot. Akhirnya, ia pergi sewa kereta, untuk bawa peti mati pulang ke Tin-pa. Kepada tuan rumah, ia menghaturkan banyak-banyak terima kasih.
Ketika ia hendak berangkat, Cie Tiong pesan pada Siau Hoo, katanya: “Kau harus berusaha, tak usah kau berduka lebih jauh …”
Setelah berada berduaan saja dengan suteenya, Ah Hiap sentil orang punya kuping, hingga Siau Hoo jadi heran. Selagi sutee ini mau minta keterangan, suheng itu menunjuk kegunung, ia usut-usut ia punya kumis, kemudian dengan roman gemas, ia banting-banting kaki. Diakhirnya, suheng ini cekal orang punya lengan, untuk ditarik, buat diajak jalan.
Siau Hoo menahan kakinya, ia geraki kedua tangannya.
“Suheng pulang lebih dahulu,” ia kata. “Aku hendak pergi dahulu ke Tin-pa, dari sana aku akan langsung pulang ke Kiu Hoa San, untuk menghadap suhu. Selanjutnya aku tidak akan gunai pula aku punya Tiam-hiat-hoat!“
Ah Hiap mengerti kehendaknya sutee itu, ia manggut-manggut, tapi ia beraksi pula, seperti meniup terompet dan memukul tambur, lalu ia goyang-goyang tangan, seperti ia hendak memberi nasehat: “Isierinya menutup mata tidak apa, jangan kau berduka.”
Siau Hoo-pun manggut pada suheng itu, kemudian awasi sang suheng, loncat naik atas kudanya, buat berangkat pergi, akan menuju ke timur, ke Kiu Hoa San. Setelah suheng itu pergi jauh, ia cari Gan Wan-gwee kepada siapa ia menghaturkan terima kasih, kemudian ia memberi hormat untuk pamitan. Betum sampai tiga puluh lie, ia sudah dapat susul Cie Tiong serta jenazahnya Ah Loan. Ia menepas air mata diatas kudanya, karena tidak sanggup jalan bersama-sama, ia mengikuti dari kejauhan.
Kereta keledai, kendati-pun keledainya dua, jalan dengan sangat pelahan, maka itu, selang dua hari, barulah rombongan ini sampai di Tin-pa. Ketika kereta memasuki Pau kee cun, Siau Hoo tahan kudanya dimuka kampung, disebelah selatan, dimana ia duduk bengong di atas kudanya. Ia punya sepasang alis mengkerut. Ia memandang langit, ia lihat awan puth melayang-layang. Kapan ia memandang kebumi, ia tampak tegalan dengan rumputnya musim rontok, dan di mana-mana daun-daun pohon telah menjadi merah. Di sungai, sang air mengalir dengan pelahan.
Dari atas jembatan, beberapa bocah lari mendatangi.
“Penunggang kuda, dulu juga nona Loan pandai menunggang kuda!“ kata mereka sambil tangan mereka menunjuk-nunjuk.
Siau Hoo simpangkan kudanya, untuk menyingkir dari bocah-bocah itu. Siapa tahu, ia justeru segera berada berhadapan dengan pohon yangliu yang batangnya bertanda bacokan golok, hingga teringatlah ia pada halnya masih kecil, tempo ia berada bersama-sama Ah Loan. Hampir ia rubuh semaput dari atas kudanya, saking berduka. Maka lekas-lekas ia kuati hati, ia jalankan kudanya memutari Pau-kee-cun. Dengan tidak menoleh pula , ia tinggalkan kampung itu ...
Sebentar pula, Siau Hoo sudah berada didalam kota Tin-pa. Disini ia tidak cari ia punya ie-thio Ma Cie Hian hanya ia pergi pada sebuah rumah penginapan di mana terus ia rebahkan diri, malah terus-terusan ia keram diri sampai dua hari, hingga ia mirip dengan seorang yang sedang sakit. Dahar ia tidak bernapsu. Adalah di hari ketiga, ia mulai nasa hatinya lebih enteng, maka itu, ia minta disediakan barang makanan. Habis bersantap, ia rapikan pakaian, walau-pun ia merasa sangat lelah, tenaganya seperti habis, ia paksakan pergi ke rumahnya Ma Cie Hian.
Sang ie-thio kebetulan ada dibengkelnya.
”Ah, kau kembali?” paman itu menegur, “Anak, kau begitu baik dengan Ah Loan, kenapa kau tidak omong dari siang-siang? Lihat, sekarang orang telah menutup mata, rumah tangganya-pun ludas ... ! Adakah ini yang disebut permusuhan, yang dinamai kecintaan? Tidak, inilah keruwetannya kaum kangou! Kita sebenarnya celakai diri kita sendiri ... “
Siau Hoo menggoyang-goyang tangan, sepasang alisnya mengkerut.
“Sudah, ie-thio, jangari kau sebut-sebut pula hal itu.“ ia bilang. “Semua adalah takdir dan nasib ... Sekarang aku melainkan hendak menemui ibu, satu kali saja, setelah itu, aku hendak pergi pula …”
Cie Hian agaknya terkejut.
“Eh, kau masih belum tahu?” katanya. Ia diam sebentar, akan segera tambahkan. “Ya, aku ingat sekarang ... Ketika itu hari kita orang berpisah, kita lantas tidak bertemu pula ... Kau tahu, sebulan lebih setelah, ibumu menutup mata … Ia memang berat sakitnya, sudah begitu setiap hari ia berselisih saja dengan Tong Toa. Dia itu punya dagangan sangat mundur, dia-pun sering kata-katai ibumu, hingga ibumu jadi sangat berduka, hingga ibumu-pun senantiasa pikiri kau, hingga akhirnya, ia tak kuat menahan lagi … ia telah tinggalkan dua anak untuk Tang Toa, dua anak itu ada berpenyakitan ... ”
Siau Hoo menangis, air matanya turun deras, tapi kemudian ia tanya, dimana ibunya dikubur, habis itu ia pamitan, akan kembali kehotelnya. Disini ia berdiam lagi satu hari, akan tungkuli kesedihannya. Di lain harinya, ia ambil putusan akan tinggalkan kampung halaman itu dimana ia sangat menderita, begitulah ia minta jongos belikan ia kertas dan hio serta lain-lain keperluan sembahyang, yang mana ia gantung disebelah kudanya, sesudah ia minta kudanya itu disiapkan, ia sendiri pergi lakukan pembayaran sewa kamar. Dengan cepat ia sudah menuju keluar kota, ke Pak San, gunung sebelah utara, akan cari kuburan ayahnya, untuk hunjuk hormatnya.
“Ayah,” diam-diam ia kata, “anakmu sudah berhasil membalas sakit hati ayah. Long Cie Khie telah bunuh ayah, aku-pun telah bunuh dia! Beginilah apa yang aku bisa lakukan. Selama ini, aku telah lakukan apa yang bertentangan dengan hatiku sendiri oleh karena itu, sekarang hatiku tawar. Ayah, harap kau merami mata ... “
Habis itu, Siau Hoo pergi cari kuburan ibunya, untuk bersernhahyang pula.
“Ibu, harap kau merasa tenang disini,” ia-pun kata dengan diam-diam. “Ibu tentu merasa lebih senang disini daripada selama hidupmu ... Aku telah berdiri sendiri, aku sudah balas sakit hatinya ayah. Adikku, yang berada di Shoasay dimana ia belajar dagang, ia tak kurang suatu apa. ia hidup terlebih baik daripada aku yang tidak punya guna. Mulai ini hari dan selanjutnya, aku akan berdiam didalam gunung, aku tidak akan perdulikan lagi sekali-pun urusan kaum kangou ...
Dan sini, dengan naik kudanya, Siau Hoo menuju keselatan, kepohon yangliu yang beriwayat baginya, ia turun dibawah pohon, akan bakar habis selebihnya ia punya kertas, hingga api berkobar-kobar, abunya beterbangan naik, melayang bagaikan kupu-kupu. Tak dapat ia tahan kesedihannya.
“Ah Loan, adikku, kau dikubur entah dimana tapi tentunya tidak jauh dari sini, rohmu tentu berada disampingku ... Ah Loan, aku tidak tahu apa aku mesti bilang, aku hanya hendak pergi … Nanti, setiap tiga tahun sekali, aku akan datang kemari untuk sembahyangi kau, maka itu, kau meramilah matamu … Sekarang ini habislah sudah permusuhan diantara kaum Kang dan Pau, dan tubuhmu, bersama hatiku, telah mati bersama. Ah Loan, aku pergi, sampai bertemu pula!”
Ketika itu langit mendung, tandanya mau hujan. Sejumlah bocah berlari-lari pulang, sambil menjerit-jerit: “Mau turun hujan. Mau turun hujan!”
Angin juga meniup deras.
Siau Hoo hunus pedangnya, akan bacok cabang yangilu, untuk keset kulitnya, yang mana ia simpan, kemudian ia loncat naik atas kudanya, terus ia larikan binatang tunggangan itu menuju ke Utara, meninggalkan Tin-pa. Ia jalankan kudanya belum lama, sang hujan turun, tapi dengan hujan-hujanan, ia jalan terus. Ia masih saja berduka, romannya lesu. Ia lanjutkan terus perjalanannya, kecuali diwaktu bermalam. Demikian ia lintasi Cin Nia diwaktu tengah hari, ia sampai dikota Tiang-an, See-an, tetapi ia tidak mau masuki kota, ia singgah saja di Lam-kwan, kota sebelah selatan. Ia dahar dalam sebuah rumah makan kecil.
Ia sudah pikir untuk menuju terus ke timur. Benar sekali ia berjalan sambil tuntun kudanya, akan keluar dari Lam-kwan, tiba-tiba dari depan ia, ia dengar panggilan:
“Kang Siau Hoo!“ ia terperanjat, ia segera angkat kepalanya, tapi segera juga hatinya lega.
Itulah Lau Cie Wan yang memanggil ia. Orang she Lau ini mengenakan pakaia putih, sedang berkabung. Ia lantas angkat kedua tangannya, akan beri hormat pada itu saudara seperguruan dan marhum ayahnya.
“Siau Hoo, apakah kau baru datang dari Tin-pa?” Cie Wan tanya. “Kau lihat, bagaimana mengenaskan kesudahannya Keluarga Pau! Tentang kematiannya Ah Loan, aku sudah dengar, tetapi sekarang, suhu juga telah menutup mata, jenazahnya ditunda didalam kuil Go Liong Sie didalam kota, baru kemarin dia diuruskan, maka lagi dua hari, kembali sebuah peti mati akan diangkut ke Tin-pa ... “
Biar bagaimana, Siau Hoo tercengang.
“Kematiannya gurumu tidak ada sangkutannya dengan aku,” kemudian ia bilang. “Selama di In Tiat Nia aku telah merdekakan padanya!“
“Memang kau tidak ada sangkut pautnya,” kata Cie Wan. “Keluarga Pau jadi celaka begini semua ada perbuatannya suhu, yang makan hasil buatannya sendiri. Terhadap lain-lain muridnya, dia berlaku terlalu keras, kejam, tetapi terhadap persaudaraan Liong, dia lunak luar biasa, dia malah mengeloni. Ketika dahulu kau menumpang pada suhu, umpama kata dia orang yang insaf, dari siang-siang dia mesti cegah kedua anaknya perlakukan kejam kepada kau, supaya kau jangan diperhina, malah selayaknya dia jodohkan Ah Loan kepadamu. Sebenarnya, satu kali telah menjadi sanak dekat, permusuhan akan lenyap sendirinya, tetapi ia tidak berbuat demikian, dia justeru musuhkan kau, malah kemudian muncul lelakonnya Kie Kong Kiat!“
Cie Wan sendiri yang sebut namanya Kong Kiat, tetapi dia juga yang darahnya naik.
“Kie Kong Kiat! Dia makhluk apa!” dia berseru sendirinya. “Kami ikuti dia ke luar dari Tong-kwan, katanya untuk papaki kau, untuk lawan padamu, aksinya baik sekali, dimana dia sampai, dia corat-coret diatas tembok, hendak menangkap kau, akan tetapi kesudahannya, ketika kau mencoret ditubuhnya sendiri, dia tidak mendapat tahu! Lucunya ketika kau orang bertemu di Bu Tong San, dia tidak kenali kau, hingga dia kena kau permainkan, tetapi atas itu ia bencikan kami! Celaka adalah kejadian di Kok-shia, ketika orang-orang polisi dari Ceng yang susul kami, dia telah tinggalkan kami, dia kabur, hingga aku, bersama-sama Cie Yau, kena diangkap, hingga kami mesti wakilkan terancam dengan hukuman tiga bulan. Sukur Lu-ciu-hiap Yo Kong Kiu, cinceng dari Keluarga Kau, ada baik hati, dia suka belai kami hingga kami dibebaskan dan dimerdekakan. Setelah itu aku berdamai denan Cie Yau. Kami ambil putusan buat tidak kembali, kami tidak ingin campur pula urusan kau yang sulit dan menyukarkan kami. Cie Yau mengerti membuat koyo, maka itu, kami buat obat itu, lalu disepanjang jalan, berdua kami beri pertunjukan silat sambil menjual obat tempel itu. Ketika kemudian kami sampai di Lou-sie, di Hoo-lam, kami sudah behasil mengumpul sejumlah uang, disitu kami tetap bekerja sama-sama, dengan bersero kami membuka sebuah rumah obat, menjual koyo buatan kami itu. Baru berselang setengah bulan dengan tiba-tiba suhu datang kepada kami. Ia membawa luka-luka disekujur tubuh, dia tidak punyakan lagi kuda dan goloknya. Suhu bilang bahwa ia sedang dikejar oleh serang perempuan yang minta ganti jiwanya satu bocah terhadapnya. Coba suhu tidak bertemu kami pasti dia sudah rubuh ditengah jalan besar dan akan binasa karena kelelahan dan kelaparan. Kami undang suhu datang kekota kami, kami obati dia punya luka-luka. Selama itu suhu telah jadi seperti orang edan, dia tidak mau dahar, dia menangis saja.
Pada suatu hari, selagi berdua Cie Yau aku repot layani pembeli diluar, suhu dipedalaman sudah gantung dirinya, tempo kemudian kami masuk dan mendapat tahu lalu kami segera turunkan tubuhnya, napasnya sudah berhenti berjalan … “
Siau Hoo berdiam, tetapi, diam-diam, ia terharu. Kematiannya jago tua itu ada hebat.
“Kami sudah lantas urus jenazahnya suhu,” Cie Wan melanjutkan. “Baru kemarin dahulu kami kirim ke Tiang-an. Kemarin telah dilakukan sembahyang di kuil Go Liong Sie. Lagi dua hari, apabla Cie Kiang sudah berhasil mengumpulkan orang dari Han-tiong jenazah itu akan diangkut pulang kekampung halamannya. Aku sendiri akan kembali ke Lousie, untuk usahakan terus toko obat kami. Hatiku telah tawar akan makan nasi kaum kangou, biarnya aku bakal mati kelaparan, aku tak sudi melakoninya lagi! Saudara Siau Hoo, kau sekarang hendak pergi kemana? Ah Loan sudah menutup mata, jikalau kau suka, aku bisa carikan kau satu nona lain. Di Lou-sie ada puterinya satu hartawan, yang sedang mencari jodo yang dicari adalah satu pemuda gagah! Saudara, kau dengar aku, baik kau ubah caranya hidup kau!“
Siau Hoo goyang-goyang kepala.
“Sampai ketemu pula!” berkata ia sambil ia memberi hormat. Ia tidak punya kegembiraan akan layani kenalan ini, ia cambuk kudanya, untuk dikasi lari. Ia tetapi ada berduka.
Cie Wan mengawasi dengan bengong, ia-pun lantas jalan terus.
Siau Hoo menuju ke Ie-sie, disana ia temui adiknya, Siau Loan, dengan siapa ia buat pertemuan. Itu ada pertemuan yang mengharukan hati, tetpi yang membuat sang kanda lega hatinya, karena ia dapat kenyataan, penghidupan adiknya itu ada baik. Ia tidak berkumpul lama dengan adiknya itu, ia terus menuju pula, ke Selatan. Dimana ia sampai, ia tetap tidak terhibur. Maka diakhirnya, ia ambil tujuan pulang, kegunung Kiu Hoa San.
Pada suatu hari Siau Hoo sampai di gunungnya, ia bertemu kepada gurunya, guru ini tidak bicara banyak kepadanya, melainkan berikan nasihat akan muridnya jangan turun gunung lagi, harus berdiam saja di gunungnya itu akan lanjutkan kepandaiannya.
Siau Hoo menurut. Ia punya guru ada punya pelasan kitab ilmu silat, bagian ilmu pedang, tangan kosong dan Tiam-hiat hoat, semua itu ada karangannya sang guru sendiri, dan semua itu ia baca ia yakinkan, gurunya berikan segala petunjuk. Ia belajar terus dengan sungguh-sungguh bersama-sama Ah Hiap, kepada siapa ia suka berikan penjelasan mengenai berbagai petunjuk itu.
Diatas Kiu Hoa San ada ditanam ratusan pohon teh, hasilnya itu setiap tahun sudah cukup dipakai untuk penghidupannya bersama, guru dan dua murid. Setiap hari setelah pelajaran ilmu silat, melukis gambar mengenai gerak-gerakan ilmu silat dan mendaki gunung atau meloncati jurang, Siau Hoo ajak Ah Hiap rawat kebun teh. Mereka tidak pernah turun gunung kecuali disaat membawa teh untuk dijual.
Lima tahun sejak Siau Hoo kembali dari prantauan, Loo-sinshe, ia punya guru, menutup mata, kedua muridnya rawat jenazahnya dengan baik, dikubur diatas gunung.
Kemudian pernah satu kali Siau Hoo turun gunung, akan tengok adiknya di Iesie, dari situ ia pulang ke kampungnya, akan bakar kertas dibawah pohon yangliu, akan “sambangi” Ah Loan ... Dari sini, ia pergi ke Long-tiong dimana ia ketahui Long-tiong-hiap Cie Kie, yang selanjutnya menjadi sahabatnya. Dalam perjalanannya pulang ke Kiu Hoa San, ia ambil jalan mengikuti sungai Tiang Kang.
Sejak waktu itu, setap tiga tahun Siau Hoo turun gunung sekali, dan setap ia turun gunung, ia ambil tujuan perjalanan yang serupa.
Sekarang ia tidak dipanggil lagi dengan nama Siau Hoo, ia ubah itu menjadi Kam Lam Hoo.
Pada waktu itu, diantara orang-orang kangou yang namanya kesohor, di Utara adalah Kie Kong Kiat, di sekitar Hoolam dan Anhui adalah Lu ciu-hiap Yong Kong Kin. ia bekas cinteng dari Kou-keechung di Ceng-yang, di Siamsay adalah Lou Cie Tiong, di Su-coan Utara adalah Lie Hong Kiat. Dia ini punya nama lebih terkenal dari yang lain-lain itu, sebabnya adalah selain ia muridnya Siok Tiong Liong, dia-pun telah peroleh kemajuan pesat. Tadinya, ia cuma kalah sedikit terhadap Kie Kong Kiat, tapi belakangan, selagi ia bekerja pada kantor ciangkun di Ankeng, karena keletakan tempatnya yang dekat dengan Kiu Hoa San ia suka mendaki gunung itu, menyambangi Kang Lam Hoo, dari saudara angkat ini ia minta pengajaran lebih jauh, ia rajin belajar, maka itu ia jadi peroleh kemajuan, terutama ilmu pedang. Karena kemajuannya ini, belakangan ia letakkan jabatan, ia tuntut penghidupan di kalangan kangou, untuk tolong yang lemah. Kalau Kang Lam Hoo ketahui kejadian tidak pantas, Hong Kiat adalah yang di tugaskan pergi mengurusnya, maka itu, namanya terus naik.
Kedndukannya Siau Hoo selama itu adalah mirip dengan “naga diantara manusia” atau “burung hoo diantara binatang bersayap”. Dia tidak mau bentrok dengan siapa juga, sebaliknya orang sungkan tanam bibit permusuhan dengannya. Kalau dia turun gunung, dia turun dengan diam-diam, dia bawa tingkah seperti gurunya dahulu.
Berselang lagi sepuluh tahun, pada satu kali Ah Hiap turun gunung, kemudian lewat satu tahun, dia tidak kelihatan pulang. Kam Lam Hoo heran, ia-pun turun gunung akan susul dan cari suheng itu, tetapi, dia sudah pergi kebanyak tempat, dia tetap tak dapat ketemukan suhengnya. Untuk beberapa tahun, Kang Lam Hoo tidak berhasil mencari suhengnya itu.
Hampir berbareng itu waktu, namanya Kie Kong Kiat di Utara sudah tidak terdengar pula, dia seperti telah menghilang, sedang Yo Kong Kin, karena satu bentrokan, sudah terluka, hingga terpaksa ia undurkan diri, hidup dikalangan kangou. Lou Cie Tiong juga telah menutup mata, tapi ia telah digantikau oleh puterinya Lou Cong Hui, yang masih mewariskan kepandaian Kun Lun Pay.
Di Su coan Utara, Cie Gan In telah digantikan oleh puteranya, yang bernama Kiam Hoo, yang bisa wariskan kepandaian ayahnya.
Sementara itu, Lie Hong Kiat sudah tinggal menetap ditepinya telaga Po Yang Ou, ia tuntut penghidupan tani sambil membaca kitab saja.
Pada waktu itu, orang yang biasa malang melintang di dunia kang ou adalah Kang Lam Hoo punya sahabat kekal, yalah Wan Keng Coan dan Wan-kee chung, muridnya Tiat Tiang Ceng siapa kemudian dikenal sebagai Ceng Hian Siansu, sebab ia telah sucikan diri.
Siang hari berlalu seperti biasa.
Bugeenya Kang Lam Hoo maju terus, tetapi tidak sembarangan ia gunai itu. Ia punya pengalaman diwaktu muda ada hebat sekali, ia lebih banyak terbenam dalam kedukaan, dari itu, dalam umur empat puluh tahun, ia sudah ubanan rambut dan kumis jenggotnya, maka kalau ia sedang pesiar dan ada orang kenali dia, dia dipanggil “Loo Hiap.” jago tua. Dalam usia tinggi itu, selagi lain-lain orang sudah lupa lelakonnya, ia sendiri tetap setiap tiga tahun turun gunung untuk membakar uang-uangan kertas di Tin pa.
Kota Tin pa dan dusun sekitarnya sudah seperti salin rupa, pohon yangliu yang beriwayat sudah tua dan mati, kayunya telah orang pakai sebagai kayu bakar, tapi Siau Hoo tetap ingat itu. Ia toh masih simpan kulitnya pohon itu itu, yang ia pandang sebagai barang kuno …
Di Ie-sie, Shoasay, Kang Siau Loan sudah menutup mata, tapi ia ada punya anak, dan keponakannya ini, Kang Lam Hoo suka sambangi.
Kadang-kadang Kang Lam Hoo pergi ke telaga Po Yang, akan kunjungi Lie Hong Kiat, akan pasang omong pada saudara angkat ini, untuk rundingkan ilmu silat, atau sama-sama diatas air telaga, berenang selulup dan timbul ditelaga itu.
Isterinya Lie Hong Kiat adalah Tan-sie, yalah nona pegunungan yang dulu diatas gunung Siong San, Hong Kiat tolongi dari tangannya satu manusia busuk. Selama tiga puluh tahun menikah sama Hong Kiat, ia telah melahirkan tiga kali. Tapi semua anaknya itu tidak berumur panjang. Adalah setelah usianya meningkat, ia dapati satu anak lagi, satu putera, yang diberi nama Bou Pek.
Adalah cita-citanya Hong Kiat untuk anaknya belajar surat, tidak usah yakinkan ilmu silat seperti ia, adalah karena cita-citanya ini, ia undurkan diri dari dunia kangou, siapa tahu, ia tak mampu wujudkan cita-citanya itu. Pada suatu tahun, daerah Kanglam kena diserang wabah penyakit, Hong Kiat dan isterinya rubuh sebagai korban, kebetulan Kam Lam Hoo datang, dia ini coba menolong, tidak berhasil, bergantian, suami isteri itu menutup mata. Pada itu waktu, Hong Kiat titipkan anaknya, yang baru berumur delapan tahun, pada kanda angkatnya itu. Hong Kiat pesan: “Kanda, sakitku berdua rasanya tak dapat disembuhkan pula, maka itu, ingin aku titipkan anak kami kepada kau, atau kalau tidak, tolong kanda kirim kita pada Hong Keng, adikku, yang tinggal di Lam-kiong, di kampung halaman kami, yang hidupnya dalam kecukupan.“
Dugaan Hong Kiat benar, bersama isterinya, ia tinggatkan dunia yang fana ini, maka itu setelah Siau Hoo rawat jenazah suami isteni itu, yang dikubur ditepi telaga, ia antarkan Bou Pek kepada pamanny di Lam-kiong. Ia berbuat begini karena ia sendiri hidupnya tak ketentuan. ada berabe untuk dia bawa-bawa bocah itu, sedang ia-pun tidak pikir untuk berikan pelajaran silat kepada keponakan angkat ini.
Selang lagi beberapa tahun, setelah Ceng Hian Siansu tinggal menetap di kuil Kang Sim Sie di Tong-ou, keamanan ada terganggu dan di mana-mana siapa mengerti sedikit saja ilmu silat, dia terus menjagoi. Kang Lam Hoo sudah coba tindas orang-orang busuk itu, tetapi ia kekurangan kaki-tangan, karena itu, ia memikir mencari pembantu.
Pada suatu hari, selagi berjala ditanah pegunungan Cin Nia, dari belakangnya, Kang Lam Hoo dengar ada yang teriaki: “Kang Siau Hoo!“ Ia heran, ia menoleh dengan segera. Sudah beberapa puluh tahun, tidak lagi ada orang sebut-sebut dia punya nama itu. Ia dapatkan satu penunggang kuda putih larikan kudanya ke arah ianya, umurnya orang itu tidak berjauhan dengan usianya sendiri, cuma kumis dan jenggotnya dicukur kelimis. Orang itu bertubuh kate dan tegap, romannya gagah seperi anak muda. Empat kaki kudnya perdengarkan suara nyaring. Lekas sekali, dia sudah datang dekat. Nyata dia adalah Kie Kong Kiat!
Kong Kiat ada bawa-bawa pedang, ujungnya berbunyi kebentur dengan besi injakan kaki.
“Kang Siau Hoo!“ berkata dia, yang jumawa sejak mudanya. “Sudah banyak tahun kita orang tidak pernah bertemu siapa tahu, kau masih hidup! Apakah kau masih memikir untuk kita orang adu kepandalan? Sayang sekarang tidak ada Ah Loan yang kita orang bisa perebutkan!“
Kang Lam Hoo, yang kumis jenggotnya memain atas sampokan angin, tidak menjadi gusar.
“Buat apa kau ungkat-ungkat kejadian dimasa kita masih muda?“ ia tanya. “Bagaimana keadaan kau selama beberapa puluh tahun ini?“
”Aku ada terlebih menang daripada kau!” jawab Kong Kiat. “Aku bukannya seperti kau yang sampai sekarang ini masih sebatang kara. Aku telah beristeri, aku ada punya beberapa anak, yang semuanya sudah terlebih besar dari kau dimasanya kau mengacau di Bu Tong San! Aku telah belikan mereka sawah kebun, untuk mereka bercocok tanam, selanjutnya, aku tak perdulikan lagi pada mereka! Selama beberapa tahun ini, aku hidup dalam perantauan. Aku telah pergi ke Mongolia, ke Thibet, ke Kwietang juga. Sekarang aku baru kembali dan Inlam.”
“Sekarang kau hendak menuju kemana?” tanya Siau Hoo yang tak gubris orang punya sikap jumawa itu, “Apakah kau hendak pulang?”
Kong Kiat melotot.
“Pulang untuk apa?“ jawab dia “Apakah orang sebangsa kita bisa nganggur di dalam rumah? Aku punya beberapa anak dan cucu tak berguna semuanya, mereka tak mampu wariskan kepandaian kaum Liong Bun Pay, maka sekarang aku memikir buat cari satu anak muda untuk dijadikan muridku. Supaya aku bisa didik ia hingga dia dapat wariskan bugeeku, supaya jadi jauh terlebih pandai daripada kau!”
Masih Kang Lam Hoo tak gusar atas orang punya kecongkakan itu. Malah dia kata:
“Inilah kebetulan. Aku ada punya satu anak muda puteranya sahabatku, sekarang dia ada di Lam-kiong, pergi kau cari dia, kau ambil dia sebagai muridmu.”
“Anak siapa dia itu?” Kong Kiat tanya. “Kalau dia anaknya Ah Hiap, aku tak sudi! Sampai sekarang ini, aku masih tetap benci sigagu itu!”
“Aku punya kanda itu telah lenyap sekian lama,” Kang Lam Hoo beri tahu. “Dia jauh terlebih tua dari pada aku, jangan-jangan dia sudah tak berada lagi dalam dunia ini. Pemuda yang aku sebutkan itu ada puteranya Lie Hong Kiat, namanya Bou Pek, sekarang dia tinggal menumpang sama pamannya.”
Tiba-tiba Kong Kiat melengak. Terang ia teringat hal dahulu, ketika ia bentrok sama Lie Hong Kiat di Tiang-an, See-an. Ia terharu, tetapi kemudian ia tertawa.
“Baik!“ kemudian ia berseru. “Aku nanti ambil dia sebagai muridku! Nah, sampai ketemu pula! Sampai ketemu pula!“
Walau-pun dia bersikap congkak, tapi sekali ini waktu hendak berpisahan, Kong Kiat memberi hormat, dan Siau Hoo balas hormatnya itu. Dia cambuk kudanya sambil tertawa dan menghilang ...
Kang Lam Hoo antap orang pergi, kemudian ia merantau lebih jauh.
Lagi beberapa tahun telah lewat, lantas Kang Lam Hoo dengar kabar hal Kie Kong Kiat menutup mata di Lam-kiong, sebaliknya, Lie Bou Pek telah dapat kepandaiannya turunan dari Liong Bun Pay itu, dan kemudian, pemuda ini telah angkat namanya di Pakkhia dimana dia telah rubuhkan berbagai jago.
Pernah beberapa kali Kang Lam Hoo pergi ke Pakkhia, dari itu, ia telah dapat tahu halnya Yo Kong Kiu diam menyendiri diluar pintu Eng-teng-mui di Pakkhia, hidup sebagai penjual bunga bersama dua cucunya perempuan ...
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar