Biar Ia berkata-kata demikian banyak, mulutnya tidak terlihat
bergerak-gerak, karena Ia mengeluarkan suara dari hidung, apa yang diucapkan
kedengarannya, tak sedap sekali dan menusuk pendengaran.
Kiu Heng pertama kali mendengar ia berkata-kata. Bulu romanya
menjadi bergidik dan pada bangun. Sesudah selesai Ia berbicara, Kiu Heng baru
merasa tenteram kembali.
Say Lam San dan Sin Tong Hai merasa malu dan jengah, karena
dalam beberapa bulan ini mereka membayangi pada Siang Siu. Pikir mereka tidak
diketahui, siapa tahu perbuatan mereka, siang2 sudah diketahui. Karena
perbuatannya dibuka dan membuat mereka malu atau dikarenakan perkataan Siang
Siu yang demikian kasar dan sombong membuat mereka gusar. Dengan wajah dongkol
Sin Tong Hai memandang tajam kepada Siang Siu.
Say Lam San lebih tenang dari saudaranya. cepat2 memberi tanda
dengan mata. lalu ia tertawa: "Kalah menang dalam perkelahian adalah soal
biasa, lebih2 kami yang berupa bintang2 kecil berkelap-kelip mana bisa menang
melawan Siang Heng yang terang seperti matahari? Sungguhpun pernah menderita
kekalahan dari Siang Heng, tapi kejadian itu sudah berlalu tiga kali sepuluh
tahun, kini kita bertemu lagi. Kupercaya kalah menang itu tidak bisa ditentukan
terlebih dulu!"
"Siang-heng," kata Sin Tong Hai melanjutkan perkataan
saudaranya, "Saudara kecil ini pasti adalah murid kebanggaanmu bukan?”
Sehabis berkata tubuhnya memiring sedikit, lengannya terangkat
dan menepuk pundak Kiu Heng. Lengannya ini dikerjakan dengan maksud lain dan
bukan untuk melukai!
Orang2 di kalangan rimba hijau mengetahui dengan jelas bahwa
Pek-bu-siang Siang Siu adalah manusia aneh menyendiri, tidak mempunyai kawan
maupun murid, kesana kemari seorang diri. Pendeknya bilamana orang2 yang tidak
mempunyai hubungan dengannya, biar mati di depan matanya, tak akan Ia menolong.
Dibiarkan saja sejadinya, mau mati kek mau hidup kek bukan urusannya.
Kehidupannya itu demikian terus adanya dan belum pernah dilanggarnya atau
dikecualikan.
Sin Tong Hai melihat Kiu Heng yang serupa dengan anak jembel
berada di dalam rumah makan yang mewah dan duduk di sebelah Siang Siu yang
terkenal sebagai orang kejam nomor wahid, sehingga merasa heran dan ingin tahu.
Karena itu lengannya yang ditepukkan pun tidak menggunakan tenaga besar.
"Jika anak ini bukan murid Siang Siu, pasti tidak akan
ditolongnya, mana boleh meninggal dengan konyol di tanganku,” pikir Sin Tong
Hai.
Kiu Heng mana tahu si gemuk mempunyai pikiran demikian, begitu
melihat tangan datang ke arahnya menjadi terkejut, sekali. "Celaka, biar
aku belajar sepuluh tahun lagi mana bisa melawannya," pikirnya.
Ia ingin mengegos tapi menjadi urung, karena ia berpikir lagi:
"Aku ingin melihat apakah Ia akan diam saja melihat kematianku?”
Dengan tenang Kiu Heng berduduk terus seperti tidak melihat apa
yang tengah mengancam dirinya. Entah bagaimana Siang Siu yang biasanya tidak
mencampuri urusan orang segera menggerakkan lengan kanannya dengan kecepatan
kilat. Tentu saja membuat Sin Tong Hai tidak habis mengerti. Ia kaget karena
mengetahui di dalam kuku musuhnya mengandung racun yang luar biasa, bilamana
kena dicengkeramnya sedikit, kulit dan sebuah pukulan segera akan menjadi mati
tak tertolong.
Tanpa ayal lagi Ia mencelat beberapa tombak, sungguhpun berhasil
menghindarkan diri dari bahaya, keringatnya mengucur deras, tanda kagetnya.
"Pengemis kecil ini pasti muridnya Siang Siu," pikir
Sin Tong Hai begitu melihat musuhnya bergerak. Padahal ia tidak tahu bahwa
Siang Siu sudah melakukan kekecualian atas tradisi yang dilakukan. Ia turun
tangan untuk orang yang tidak dikenal. Cepat2 ia menarik tangannya.
"Siu-peng, kau sudah berpuluh tahun hidup di dunia,
mungkinkah muka tuamu itu sudah menjadi tebal?" berkata Siang Siu.
Tanpa menantikan jawaban diserangnya Sin Tong Hai dengan ilmu
Pai-kut-sin-kang, terdengar lengan kirinya berkeretekan dan segera mengulur
agak panjang, ser! sekali, tahu2 lengan itu seperti tidak mempunyai tulang,
lemah gemulai dan bergoyang-goyang. Dapat diputar sesuka hatinya ke mana
jurusan pun, karena tidak terikat engsel2 tulang. Jarinya terbuka lebar,
kukunya yang panjang2 tak ubahnya dengan ujung pedang.
Ia memutarkan tangan seperti menyapu dan mencengkeram, deruan
angin yang ditimbulkan sangat dingin dan langsung menyerang kepada Sin Tong
Hai.
Dengan kecepatan kilat ilmu kipasnya yang bernama
Tay-pu-bu-tee-san-hoat dilancarkan cepat, ujung kipas yang tajam digunakan
seperti pedang, menabas lengan Pek-bu-siang.
Tanpa mengegos atau mengganti jurus, Pek-bu-Siang bersenyum
dingin secara angkuh, seolah-olah serangan musuhnya itu tidak dipandang sebelah
mata. Sehingga membuat Sin Tong Hai bertambah gusar. Sewaktu kipasnya sampai di
tengah jalan, segera mengempos semangat menambah tenaga dan berhasil mengenai
lengan baju musuhnya.
Saat inilah Siang Siu terbahak-bahak. Lengannya bergoyang halus
seperti ranting pohon dan berputar cepat menghindarkan serangan musuhnya,
sesudah itu sebuah lengan kirinya melakukan serangan balasan tidak kalah
cepatnya mengarah tenggorokan.
Sin Tong Hai cukup berpengalaman dan sering menghadapi musuh
besar, begitu merasakan serangannya yang hampir berhasil mengenai tempat
kosong, segera sadar keadaan tidak baik, perutnya segera dikembungkan, bagian
atas dari tubuhnya segera mental ke belakang.
Tak kira lengan Pek-bu-siang kembali berbunyi dan bertambah
panjang lagi. Keruan saja Sin Tong Hai bertambah kaget, untung masih keburu ia
menjalankan jurus Tiat-pan-kiau, tubuhnya melengkung ke belakang dan mental
seperti terlepas dari rintangan.
"Bret!" terdengar suara pecah.
Kiranya Sin Tong Hai biar berhasil menghindarkan diri dari
serangan musuh, tapi bajunya kena tersobek. Sehingga bagian dadanya yang gemuk
tampak keluar, ia kaget dan pucat mukanya, dengan bengong Ia berdiri di
samping.
Kiu Heng merasa kaget dan girang. Ia merasa kagum pada
kepandaian Pek-bu-siang. "Kalau ia mau memberikan beberapa pelajarannya
ini bukan main baiknya,” pikirnya dengan penuh pengharapan.
"Lojie!" kata Say Lam San, "kepandaian Siang-heng
nampaknya bukan menjadi tandingan kila, maka itu tak perlu heran kalau Lo Sam
menderita kekalahan di tangannya.”
"Kulihat jiwie orang2 yang pandai dan pintar, karena itu
kuminta kalau bicara sebaiknya terang2an saja, jangan ngelantur berputar-putar
seperti lagak nenek2!" tegur Pek Bu Siang.
"Bagus!" kata Sin Tong Hai, ”kalau begini tidak sia2
perjalanan kami. Eh, katanya Siang-heng memiliki Sam Cun Giok Cee yang serupa
dengan julukan kami, karena itu......." kata Sin Tong Hai.
"Oh, kiranya kamu jauh2 mengintil terus ingin memperoleh
benda ini," kata Pek Bu Siang seraya tergelak-gelak. "Memang Sam Cun
Giok Cee itu ada padaku."
Lalu dikeluarkan dari dalam kantongnya.
Tatkala ini sekalian orang merasakan mata mereka menjadi terang,
tampak di atas meja berdiri dengan baik sebuah patung kumala hijau yang
tingginya lima dim, ukirannya yang demikian indah membuat patung itu seperti
hidup. Sinarnya yang menyilaukan dan bagusnya yang membuat kagum. Benar2 benda
antik yang tidak ternilai.
Say Lam San dan Sin Tong Hai adalah orang2 Kang Ouw yang
berpengalaman, tapi seumurnya belum pernah melihat benda semacam itu.
"Benar benda langka yang tidak ternilai, kini hitung2 kami
tidak sia2 berjalan jauh, karena bisa membuka mata melihat benda mustika,"
pikir mereka seraya melangkah mendekati.
Pek-bu-siang cepat menyimpan kembali Sam Cun Giok Cee ke dalam
sakunya. "Sebenarnya benda ini adalah warisan dari jieteeku. Kemudian
entah bagaimana bisa berada di dalam istana raja. Beberapa bulan yang lalu
dengan memeras tenaga dan mengadu jiwa aku berhasil mengambilnya kembali,”
katanya sambil larak-lirik.
Sesudah itu melanjutkan lagi perkataannya: "Benda ini
semacam benda pembawa sial. Waktu Jieteeku memperoleh benda ini dua bulan entah
bagaimana tahu-tahu menjadi mati, andaikata kamu tidak percaya bahwa benda
pembawa sial, tidak halangan........ ha ha ha....... karena masing2
memperolehnya bukan dengan jalan yang benar!"
Say Lam San merengut, lalu mengambil teko arak dengan tenaga
lweekangnya dibuatnya arak mendidih dan keluar melalui mulutnya seperti air
mancur masuk ke dalam dua cawan, lalu mengangkat sebuah cawan dan berkata:
"Mari! Siang-heng, Siautee meminjam arak menghormati dirimu dan meminta
petunjuk juga darimu!”
Tanpa bangun atau berdiri Pek-bu-siang mengangkat cawan
menyambut cawan arak itu. "Ah, jangan memberabekan! Ha ha! Arak dari
Say-heng mungkin adalah yang terenak diminumnya katanya mengejek.
Tampak dua cawan dibenturkan tanda dari menghormat, sekali-kali
tidak mnerbitkan suara, melainkan menjadi nempel dan tidak bisa dipisahkan.
Kiu Heng tahu bahwa mereka tengah mengadu Lweekang, masing2
memusatkan tenaganya ke dalam cawan. Seketika berlalu, tampaknya kalah menang
sudah mulai terlihat. Pek-bu-siang masih tetap duduk seperti semula sedangkan
ilmu Pai-kut-sin-kang sudah disalurkan ke dalam cawan sehingga arak itu menjadi
beku.
Sedangkan Say Lam San sudah berkeringat. Ubin yang dipijaknya
sering2 memperdengarkan suara berkeretek. Gelagatnya arak yang dibikin mendidih
oleh tenaga dalam sudah kembali menjadi dingin, dan pasti per-lahan2 akan
menjadi es.
Seketika kembali berlalu tiba2 arak di dalam cawan Say Lam San
mendidih lagi, seperti tenaganya belum dikeluarkan semua, dan kini baru
digunakan.
Pek-bu-siang menggigil juga dibuatnya. Dengan cepat ia
memejamkan mata.
Tampaknya tengah memusatkan tenaga dan semangat menghadapi
musuhnya.
Kiu Heng merasa senang pada Pek-bu-siang, lebih2 sesudah
mendapat pertongannya, begitu melihat keadaan Pek-bu-siang terdesak, segera
timbul akal bulusnya. Dua tangannya menekap mulut seperti mau bersin.
"Hacihhh!” sekali sikut kanannya dengan wajar menusuk ke
bawah ketiak Say Lam San dengan telak. Hal ini di luar dugaannya. Tak ampun
lagi Ma-hiatnya seperti kena ditotok, ia merasakan sekujur tubuhnya menjadi
kaku dan hilang kekuatan tenaganya.
Berbareng dengan ini terdengar "trang", dua cawan yang
merapat tiba2 menjadi berpisah. Say Lam San menjadi pucat, tubuhnya
terhuyung-huyung sesudah berdiri tetap segera meminum araknya.
"Ilmu Siang-heng luar biasa sekali, aku mengaku kalah, tapi
kalau Siang-heng tidak keberatan, esok malam kita bertemu lagi di kuil Kuan Tee
Bio yang berada di puncak Cee In Hong di Oey San! Di situ kami bertiga akan meminta
pelajaran lagi pada Siang-heng dengan menggunakan Sam-cee-pan-goat-tin (barisan
tiga bintang menemui rembulan), bagaimana?" tanyanya terpaksa.
Pek-bu-siang memandang pada Kiu Heng. Ia tidak menjawab, tapi
meminum araknya.
Kiu Heng cukup pintar. Ia tahu bahwa Pek-bu-siang meminta
dirinya menalangi menjawab. Sungguhpun ia merasa heran, tapi dengan cepat sudah
menjawab: "Baik!"
Say Lam San tentu saja percaja pada perkataan Kiu Heng, karena
menganggapnya murid dari Pek-bu-siang.
"Baiklah, sampai ketemu lagi pada hari esok!”
Sehabis berkata, segera ia memutar tubuh mengajak saudaranya
berlalu.
Sesudah mereka keluar dari pintu, Pek-bu-siang Siang Siu baru
menarik napas panjang, lalu bangun. Kursi yang didudukinya sudah hancur seperti
tepung dan berantakan di lantai.
"Oh, kiranya Ia takut bicara, sebab bisa membuyarkan
tenaganya dan menyuruh aku menjawab!" pikir Kiu Heng.
Ia menoleh ke tempat bekas Say Lam San berdiri, di situ tertera
bekas tapak kaki yang dalamnya setengah dim, di belakang tapak kaki itu masih
terlihat pula telapak kaki lagi, itulah telapak kaki Sin Tong Hai.
Kiu Heng memandang pada Pek-bu-siang dengan kagum.
"Lihay betul dia ini: Thian Lam Sam Cee dengan tenaga
bergabung, mereka masih tidak bisa menang!” pikirnya.
Saat ini Pek-bu-siang sudah mengganti kursi lain, sehingga
tempat makan yang ramai ini sudah menjadi sepi. Tamu2 yang demikian banyak
entah kemana perginya, sedangkan pelayan dan pemilik rumah makan, berdiri jauh2
dengan wajah pucat. Sungguhpun Pek-bu-siang mempunyai tabiat aneh, cukup
mempunyai perasaan juga. Ia tahu semua ini akibat ia mengadu silat dan membuat
tetamu ketakutan.
Cepat2 Ia merogo saku mengeluarkan uang perak lalu dilemparkan
kepada kasir.
"Terimalah ini, hitung2 mengganti kerugian kamu hari
ini!" katanya sambil meminum arak lagi.
Pek-bu-siang segera berdiam diri seketika lamanya, membuat Kiu
Heng tidak habis mengerti, tapi ia cukup sabar untuk menantikan terus di
samping tak pergi2.
"Siau-cu (bocah kecil), coba kau terangkan kenapa kau bisa
tahu aku akan turun tangan membantumu?" kata Pek-bu-siang dengan dingin,
sesudah diam diri seketika lamanya.
"Aku tidak tahu. Aku hanya mempunyai keyakinan kau akan
menolong bahaya kematian yang akan terjadi di depan matamu!”
Wajah kaku dari Pek-bu-siang tiba? menunjukkan senyuman, tapi
segera ditarik kembali sebelum Kiu Heng melihatnya.
"Anak ini aneh, berani betul mengadu jiwa dengan
kepercayaannya,” pikirnya.
"Hai,” tegurrnya lagi, "mungkinkah kau sudah tahu
siapa aku? Tapi kau tidak tahu, akan sepak terjangku bukan?”
"Ya,” kata Kiu Heng, "aku sudah tahu semua, tapi
merasa heran kenapa kau memecahkan tradisimu dan membantu diriku?"
"Ya” jawab Pek-bu-siang mengakui. Ia merasa kalah dan si
anak menang. Karena itu tidak menjelaskan terlebih panjang.
Ia tidak habis pikir dalam keadaan yang mendesak bisa membantu
Kiu Heng, karena itu ia terpekur sejenak sesudah itu baru bertanya lagi:
"Siaucu, siapa namamu?"
Kiu Heng mengerutkan kening, dua kali Ia disebut Siaucu, entah
bagaimana sebutan itu membuatnya tersinggung dan tidak senang mendengarnya.
Tapi untuk memperoleh pelajaran dari Pek-bu-siang, Ia bisa berlaku sabar.
"Namaku Kiu Heng,” katanya.
Sesudah itu ia memalingkan muka keluar dan berkata dengan
sombong. ”Lain kali kau jangan memanggil Siaucu lagi sesudah mengetahui nama
itu, belum pernah aku mendengar orang memanggil demikian padaku? Tapi aku dapat
memaafkan dirimu karena tidak tahu namaku!"
Adapun nama Kiu Heng berarti dendam dan sakit hati. Pek-bu-siang
yang kenyang malang melintang di dunia hitam dan membunuh tanpa mengenal belas
kasihan merasa kaget mendengar nama yang demikian itu.
"Anak ini pasti mempunyai dendam dan sakit hati yang
setinggi langit dan dalam seperti lautan!" pikirnya.
Sungguhpun demikian, Ia tidak marah atas kelakuan Kiu Heng,
berbalik semakin merasa suka dan sayang.
"Anak ini pasti akan menjadi seorang jago aneh di kemudian
hari," pikirnya lagi.
Segera ia menganggukkan kepala. "Bagus, lain kali aku tidak
mau memanggilmu Siaucu. Eh, apakah kau sadar, pertolongan yang kuberikan tadi
itu segera membuat kaum Bu Lim menyangka kau sebagai muridku!”
Kiu Heng menganggukkan kepala. Ia tahu maksud Pek-bu-siang ingin
menjadikan muridnya, tapi hatinya berpikir lain.
"Dengan pelajaran yang kuperoleh darimu itu mana bisa
dipakai membalas sakit hatiku? Suhu sudah mengatakan musuhku adalah jago kelas
utama yang tidak ada tandingnya di kolong langit. Aku hanya bisa mempelajari
berbagai ilmu dari macam2 perguruan baru mempunyai harapan melaksanakan
cita2ku. Akupun merasa heran, suhu memiliki ilmu luar biasa kenapa tidak mau
menurunkan kepadaku, dan hanya memberikan pelajaran Bu Tong Pay. Setiap kali
aku memohon untuk mempelajarinya, ia selalu mengatakan: Sesudah kau mengetahui
siapa musuhmu dan sudah menjadi ahli warisku, kau boleh menuntut balas.”
"Kini segala riwayat hidupku berada di dalam pedang yang
tidak bisa kucabut ini.”
Pek-bu-siang salah kira, pikirnya Kiu Heng sudah mempunyai guru
dan tidak mau menjadi muridnya lagi.
"Heng-jie, dari sinar matamu dan pedang yang kau soren,
pasti sudah pernah beladiar silat. Entah siapa gurumu itu?" tanyanya.
"Guruku sudah... sudah meninggalkan dunia ini, lebih baik
jangan menceritarakan soal ini!” kata Kiu Heng.
"Manusia hidup harus mati, hanya waktu yang menentukan,
perlu apa disedihkan. Yang lalu biar berlalu, yang baru harus ditempuh dengan
baik!” kata Pek-bu-siang.
"Caramu berkelana di dunia Kang Ouw kurasa kurang tepat.
Kalau kau tidak mempunyai lain tujuan yang baik, lebih baik kau turut
denganku.”
"Terima kasih banyak atas perhatianmu, tapi aku mempunyai
kesukaran untuk menerangkan bahwa aku tidak bisa mengangkat kau sebagai guru.
Tapi aku menginginkan kau bisa memberikan pelajaran silat kepadaku,” pinta Kiu
Heng.
Pek-bu-siang menjadi kaget.
"Hm! Mungkinkah aku tidak cocok menjadi gurumu? Kau harus
yakin inilah hokkiemu, orang lain biar memberi soja kepadaku tidak akan
kuterima menjadi murid! Katakan... katakan... apa kekuranganku? Siaucu, jika
kau tidak mau akupun tidak memaksa dan jangan 'bebelian' betul, lekas kau enyah
dari mukaku!”
"Lucu! Kau kira dirimu kuperlukan betul? Pergi ya pergi!’’
kata Kiu Heng seraya menjengkat keluar.
Pek-bu-siang berpuluh-puluh tahun malang melintang di dunia Kang
Ouw, belum pernah mendapat kesukaran seperti sekarang, karena dongkolnya sampai
tak bisa bersuara.
Setelah lama baru berkata: "Siaucu! Berani betul kau
melawan Lohu, bosan hidup barangkali!"
Lengannya segera terangkat, tulangnya berkeretek nyaring, ilmu
beracun dari Pai-kut-sin-kang segera akan dilancarkan untuk merenggut nyawa Kiu
Heng.
Dengan gagah dan tidak takut, Kiu Heng berdiri di depan pintu,
seolah-olah mati dan hidup tidak dipikirkan.
Pek-bu-siang menjadi urung melihat keadaan ini. Ia merasa heran
atas dirinya sendiri. Sejak kukenal urusan, belum pernah berlaku seperti
sekarang, kenapa aku bisa ragu2 dan hilang kekerasan hatiku, mungkinkah sebab
berjodoh dengan anak ini?" pikirnya.
Lengannya segera diturunkan.
"Kau pergilah! Tapi awas, kalau kedua kali berjumpa
denganku, jiwa kecilmu akan tamat riwayatnya!"
Dengan cepat Kiu Heng meninggalkan rumah makan.
"Kenapa? Kenapa?” demikian hatinya bertanya-tanya, ”Seorang
golongan hitam yang terkenal kejam dan telengas bisa memperlakukan aku demikian
baik?"
Sebenarnya Pek-bu-siang pun mengalami pertanyaan yang tidak bisa
dijawab, kenapa Ia bisa berbuat demikian. Hatinya menjadi ragu.
"Mungkinkah dalam pertemuan kedua bisa tega menurunkan tangan jahat
kepadanya?” pikirnya.
Sambil menghela napas panjang ia meninggalkan kursinya. Baru
saja sampai di depan pintu, tiba2 dari arah luar datang seorang yang
terhuyung-huyung dan tepat berbenturan dengannya.
Pek-bu-siang mengira sedang diserang, sehingga menjadi kaget.
Tapi sesudah merasakan benturan orang itu demikian lunak tak bertenaga, hatinya
menjadi tenang kembali.
Diawasinya orang itu yang beralis pendek dan hidung kecil, mulut
lebar, badan panjang, usianya lebih kurang empat puluh tahun, matanya saju tak
bersinar, dari mulutnya menyembur bau arak. Pikirnya segala pemabukan ini gila
betul, lalu tidak memperhatikan lagi, cepat minggir dan pergi keluar.
Keledai hitam begitu melihat majikannya keluar segera mendekati,
dengan aleman keledai itu menggosok-gosokkan kepalanya ke pinggang tuannya.
Pek-bu-siang merasakan napas keledainya panas betul. Ia menjadi terkejut,
otaknya segera memikir sesuatu, sedangkan tangannya merogoh saku.
"Celaka!” serunya, karena Sam Cun Giok Cee yang di dalam
sakunya sudah hilang tak berbekas. Dengan gusar Ia mencabut senjatanya yang
berupa eloan hijau. Di atasnya tertulis delapan huruf yang berbunyi:
"Kalau Pek-bu-siang tiba, segala urusan menjadi habis.”
"Copet jahanam, berani betul menimpa barangku!” gumamnya
seraja cepat mencari orang mabuk tadi. Tapi orang yang dicari sudah hilang
tanpa bayangan.
"Tunggulah hukumanmu," katanya di dalam hati.
"Sesudah selesai mengurus pertemuanku dengan Thian Lam Sam
Cee, biar kau lari ke manapun akan kukejar, tubuhmu akan kuhancurkan!"
Cepat2 Ia mencemplak keledainya, kelenengan berbunyi, makin lama
makin jauh dan hilang dari pendengaran.
***
Malam bulan purnama, keadaan di Cee In Hong di depan Kuan Tee
Bio tengah berlangsung pertandingan hebat yang jarang dapat disaksikan di dalam
dunia Kang Ouw.
Pek-bu-siang yang terkenal kejam tengah dikurung Thian Lam Sam
Cee dengan barisan Tiga Bintang Mengitari Rembulan.
Dalam perkelahian ini Pek-bu-siang tidak bisa memecahkan barisan
musuh, sebaliknya Thian Lam Sam Cee pun dengan tiga tenaga mereka tetap tidak
bisa membuat musuhnya luka.
Pertarungan sudah berjalan enam jam, di luar tahu siapa pun
terlihat sesosok tubuh anak tanggung tengah mengintai jalannya pertandingan
dengan penuh perhatian. Anak ini bukan lain dari pada Kiu Heng.
Sejak Ia berpisah dengan Pek-bu-siang segera mendahului datang
ke Oey San dengan harapan dapat mencuri pelajaran Pek-bu-siang dan Thian Lam
Sam Cee. Karena Ia datang terlebih dulu dari yang lain, segera mencari tempat
bersembunyi di dalam bio, lalu tidur. Tiba2 ia terbangun mendengar percakapan
orang. Dengan hati2 ia membalik tubuh dan mendengar percakapan orang2 itu.
Yang ber-kata2 itu adalah Thian Lam Sam Cee, mereka
memperbincangkan soal Sam Cun Giok Cee, sebelum perkataan mereka dikatakan
panjang lebar, dari arah jauh mendatang suara keledai dari Pek-bu-siang.
Mereka tidak banyak bicara lagi segera bertarung. Dari
perkelahian ini terdengar suara deruan angin.
Kiu Heng mengetahui perkelahian berjalan sudah sampai di puncak
sengitnya, cepat ia keluar dari tempat persembunyian.
Apa yang dilihatnya membuatnya heran, karena cara mereka
bertarung itu berjalan lembek, tidak mengadu jiwa dengan sengit, melainkan
seperti bergurau.
Empat orang berada di sebuah lapangan rumput yang lebih kurang
sepuluh meter persegi berputair-putar lalu bergerak, kemudian mengadu tangan
dan demikian seterusnya.
Perlahan-lahan pertarungan masih tetap berjalan ayal-ayalan,
tapi sudah masuk ke dalam ketegangan. Hal ini nyata dari paras keempat orang;
Pek-bu-siang yang pucat beku tidak membayangkan sesuatu tapi kedua alisnya yang
sudah dikerutkan menandakan sudah mengeluarkan tenaga penuh. Sedangkan di
antara Thian Lam Sam Cee terkecuali Say Lam San, yang dua lagi sudah berwajah
merah seperti dibakar.
Tiba2 Thian Lam Sam Cee berpekik keras secara berbareng, lalu
melakukan serangan bertambah gencar, mereka melancarkan serangan tangan, di
balik itu sudah menghunus senjata-senjatanya. Tampaknya Sam Cee Pan Goat Tin
baru memperlihatkan kekuatan sejatinya.
Pek-bu-siang pun tidak mau ketinggalan, senjatanya yang berupa
eloan segera dihunus, dengan kelincahan tubuhnya tiga serangan senjata musuh
kena diegos lalu disingkirkan dengan senjatanya. Pertarungan yang berjalan
demikian cepat tidak dapat terlihat tegas oleh Kiu Heng.
"Apa yang harus kucuri untuk dipelajari?" gumam Kiu
Heng. "Mereka bertarung terlampau cepat, biar seumur hidup kudapat mencuri
lihat pun tak mungkin dapat mempelajarinya barang setengah jurus.”
Sementara itu medan perkelahian sudah berubah keadaannya.
Liok-cee-kong Hok Sam Kong sewaktu membentangkan jurus Kim Tiau
Can (garuda emas membentangkan sayap) menarik lengannya terlampau lambat,
sehingga lengan kanannya kena kesabet senjata musuh nya, segera Ia merasakan
sakit yang pedih. Berbareng dengan itu Siang Siu sendiri pun tidak luput dari
senjata Sin Tong Hai, bajunya tergores pecah.
"Kekagetan dan kegusaran Pek-bu-siang tidak alang kepalang.
Dengan mengerang keras senjatanya berkilat cepat dengan jurus Liu Heng Kan Goat
(meteor mengejar rembulan), geraknya lincah. satu jurus menyerang ketiga
penjuru. Tampaknya seperti di kanan lalu terlihat pula di kiri, sukar menduga
di sebelah mana yang akan diserang.
Say Lam San yang bersenjata tongkat berani melawan keras,
sedangkan kipas Sin Tong Hai dan Giok jie Ie (senjata yang berupa kumala) Hok
Sam Kang, sedikit pun tidak berani melawan keras. Karena itu, mereka terpaksa
mundur beberapa langkah menghindarkan beradunya senjata. Hal ini membuat
Pek-bu-siang memikir untuk menghancurkan barisan musuh dengan cepat dan
kekerasan. Tubuhnya segera merapung ke udara, lalu menyergap turun pada Sin
Tong Hai, ia benci kepada si gendut ini karena merobek bajunya. Begitu
senjatanya menghajar, musuhnya sudah tidak berdaya lagi, tapi mendadak ia
merasakan suatu tenaga kuat yang memaksanya turun dan kembali ke tempatnya
semula.
Tenaga yang bersembunyi itu adalah jurus penyelamat dari
barisan, barang siapa di antara mereka mendapat gempuran dan tidak bisa
menangkis lagi, dua kawannya yang lain meminjam tenaga putaran mereka mendorong
dengan bengis, sedangkan seorang lagi menyedot kuat sehingga kawannya yang
tengah tergencet dapat pertolongan dan mendapat ketika untuk melancarkan
serangan.
Pek-bu-siang tidak mengetahui tenaga kuat dari mana datangnya
itu merasa tidak boleh bentrok, karena jiwany akan berada dalam bahaya.
Dengan ................. Pek-bu-siang .............. kepandaian
............. merasakan tekanan dari musuhnya lebih hebat dari semula. Senjata
tongkat dari Say Lam San ........... kekuatan ............... sedangkan
serangan dari Sin Tong Hai.
Hok Sam Kang............. bung menjadi................ kan
tekanan ............... Pek-bu-siang Siang Siu................ ki senjata eloan
............ lan Pai-kut-sin-kang ............ seketika terdesak dan keteter.
Seketika berlalu, wajah pucat dan beku dari Pek-bu-siang
mengeluarkan keringat, otaknya berputar keras untuk memecah barisan. Ia tahu
bilamana bisa keluar dari kurungan berarti bisa memperoleh kemenangan.
"Siang-heng, sebenarnya kita adalah kenalan lama di dunia
Bu Lim, untuk apa ma............nya, karena ..............gan mendapat..........tiga
musuhnya ............... memperhatikan ............. n2 Ia meng-..............
sehingga berhasil .......... menjadi girang. ...............girangnya selesai
.............dengan matanya silau. Karena Giok-jie-ie musuh hampir tiba di
perutna. Ia mencoba menangkis dengan senjatanya, apa mau dikata serangan musuh
lain sudah berkesiur di belakang tubuhnya.
Dalam keadaan demikian ia tidak berani menangkis, melainkan
mengegos secepatnya. Akan tetapi dengan berbuat demikian ia terkena perangkap
Sam Cee Pan Goat Tin. Tubuhnya segera terjepit dan terkena hajaran kipas Sin
Tong Hai, sehingga membuatnya kesakitan berbareng dengan itu Ia pun membalik
tangan dan berhasil membuat Sin Tong Hai terpental beberapa tombak.
"Ha ha, Pek-bu-siang Siang-sin menjadi jago golongan hitam
dapat menukar jiwanya dengan dua musuh-musuh cukup berharga. Say Lam San apakah
kau masih mau pibu? Siang Siu akan melawanmu dengan tenaga yang penghabisan, ba
gaimana?”
Liok-cee-kong Hok Sam Kang sesudah melepaskan Giok-jie-ienya
segera tidak terlihat bergerak lagi, sedangkan Hok-cee-kong Sin Tong Hai
sesudah terpental tidak merayap bangun. Hal ini membuat Siu-cee-kong Say Lam
San menjadi tertegun, ia tahu lebih banyak celakanya dari pada baiknya nasib
kedua saudaranya itu.
Ia tersenyum meringis.
"Siang-heng, hal ini terjadi benar2 di luar dugaanku.
Kau... silathkan kau pergi, aku biar bagaimana tidak mau mengadu jiwa
habis-habisan!"
"Ya, kalau kau tidak mau memukul aku lagi aku akan berlalu
tapi aku tidak menerima kebaikanmu ini!” jawab Pek-bu-siang.
Sehabis berkata segera ia berlalu sambil terhuyung-huyung.
Perkelahian yang berakhir mengenaskan ini membuat Kiu Heng yang
mencuri lihat menjadi terpaku kaget. Dilihatnya Pek-bu-siang dengan susah payah
naik ke atas keledainya, lalu berjalan pergi di bawah sinar rembulan. Baru
beberapa langkah tampak Pek-bu-siag jatuh tengkurap di atas tunggangannya.
Say Lam San tiba2 mendongak ke atas bio, lalu membentak:
"Siapa yang bersembunyi di atas, lekas turun!"
"Wah, celaka betul, tentu ia mengira aku murid Pek-bu-siang
dan pasti tidak akan memberi ampun," pikirnya.
"Ah, masa bodoh, aku yakin nama besar dari Say Lam San
tidak akan menganiaya seorang Houpwee smacamku.”
Sehabis berpikir Kiu Heng segera turun ke depan Siu-cee-kong Say
Lam San.
Kiu Heng baru berusia lima belas tahun, sungguhpun ilmu
kepandaiannya tidak seberapa tinggi, tapi sudah memiliki ilmu ginkang yang
cukup tinggi.
Say Lam San kaget.
"Siau-ko-jie (sebutan ramah untuk yang lebih kecil), apakah
kau bukan murid dari Pek-bu-siang? Kenapa kau tidak turut pergi? Suhumu luka
parah, mungkin tidak bisa melewatkan malam ini ia akan meninggal!"
"Aku bukan muridnya!"
"Kenapa bukan? Mungkinkah melihat ia sudah mau mati dan
tidak mau mengaku sebagai guru? Kau seorang anak yang tidak berbudi, karena itu
aku harus menyingkirkan kau dari dunia ini sebagai murid durhaka," semakin
berkata Say Lam San semakin gusar, paling akhir Ia menutup perkataan sambil
menghajarkan tongkatnya kepada Kiu Heng.
"Lo Cianpwee jangan salah paham. Aku pertama kali bertemu
dengannya di rumah makan, ia bermaksud mengangkatku menjadi murid tapi aku
tidak mau karena sudah mempunyai guru."
"Hai bocah berani betul kau membohong di depanku,
rasakanlah tongkatku ini!”
Kiu Heng yang angkuh dan bersifat keras merasa gusar sekali
melihat Say Lam San tidak mengerti penjelasannya.
"Lo Cianpwee, kalau kau tidak percaja jangan sesalkan aku
berlaku kurang ajar!"
"Bocah, jangan kurang ajar,” bentak Say Lam San seraya
menyapu dengan tangannya.
Kiu Heng melawan dengan gesit. Ia tidak mau mengadu tenaga,
sesudah beberapa jurus berlalu, Say Lam San menjadi kaget, segera mundur
teratur. "Siaucu, kau pernah apa dengan Cie Yang Cinjin dari Bu Tong Pay?”
"Beliau adalah guruku,” jawab Kiu Heng.
Ia tahu lawannya sudah mengenali dirinya sebagai murid Bu Tong
Pay.
"Kiranya murid dari Cie Yang Cinjin, atas ini kumohon
maaf," kata Say Lam San. "Menurut kabar, gurumu itu sudah meninggal
dunia?"
Kiu Heng menganggukkan kepala.
"Ah, umur orang di tangan yang maha kuasa, seperti dua
saudaraku, tadi masih segar bugar, kini sudah mati,” keluh Say Lam San.
"Dapatkah kau membantuku mengubur jenazahnya saudara2ku ini?”
"Baik," kata Kiu Heng.
Mereka segera menggali lubang, dengan cepat dua jenazah sudah
dikubur dengan rapi. Hari pun sudah menjadi terang, dua kuburan yang baru ini
menemani kesunyian Kuan Tee Bio di Cee In Hong secara menyedihkan.
"Kini kita berkumpul sebentar lagi segera berpisah, entah
kapan bisa bertemu lagi, atas bantuanmu mengurus dan mengubur jenazah2 dua
saudaraku, kuhaturkan banyak terima kasih. Kuserahkan buku ini sebagai tanda
mata dan kenang2an. Kalau kau senang boleh mempelajarinya, kalau tidak suka
boleh kau serahkan lagi kepada orang lain," kata Say Lam San seraya
menyerahkan buku.
Tidak menantikan Kiu Heng menjawab ia sudah berlalu.
Dengan penuh perhatian buku itu ditatap Kiu Heng, disampulnya
tertulis Sam Cee Pan Guat.
"Untuk apa Ia menyerahkan buku ini kepadaku? Dari mana aku
harus mencari dua kawan untuk mempela-jarinya?" pikirnya sambil tersenyum.
Tapi ia menjadi girang sesudah mem-balik2 lembaran buku itu,
karena di dalamnya tertera dengan jelas inti sari pelajaran penting dari ketiga
orang itu. Seluruhnya terdiri dari dua belas jurus, sedangkan Thian Lam Sam Cee
setiap orangnya hanya mempelajari empat jurus. Bilamana seorang mau mempelajari
dua belas jurus, tidak berarti mengurangi kelihayan dari ilmu itu. Ia menjadi
girang dan berjingkrakan, cepat2 Ia masukkan ke dalam sakunya. dan bertindak
pergi.
Langkahnya menjadi berhenti sewaktu ia melihat senjata
Pek-bu-siang mengeletak di atas rumput lalu mengambilnya menoleh kemana keledai
hitam berlalu sambil terpekur.
Ia merasa kesian dan terharu sewaktu melihat Pek-bu-siang jatuh
tengkurap di atas tunggangannya.
"Coba kalau kau melulusi permintaanku memberikan pelajaran
dan tidak mengusir aku pergi, sudah tentu aku bisa mencarimu dan merawat lukamu
itu dan tidak sampai mati tanpa dikubur dan digerogoti binatang buas,"
pikirnya.
Lalu ia ikuti jejaknya keledai.
Dua bukit sudah dilalui, di bawah sebuah tebing curam ia melihat
keledai hitam.
Keledai itu diam menjamajikannya, aku harus ke sana menengoknya,
tapi kalau ia belum mati bisa2 aku dihajarnya dan mati konyol tidak keruan!”
pikirnya.
Ia diam dari kejauhan seketika lamanya, sadikit pun tidak berani
mendekati.
Tiba2 keledai itu meringkik secara mengenaskan membuat Kiu Heng
sedih dan pilu.
"Dari suaranya keledai yang demikian menggoncangkan
perasaan haru, mungkin Siang Siu sudah meninggal dunia,” sehabis berpikir ia
maju dengan memberanikan hati.
Benar saja Pek-bu-siang sudah meninggal dunia sambil
menyandarkan tubuh di tebing gunung.
Kiu Heng menghampiri memegang lengan orang, ia merasakan dingin.
Ia meng-geleng2kan kepala sambil berkata:
"Seorang jago utama rimba persilatan, akhirnya menemui ajal
secara menyedihkan...”
Tanpa banyak pikir Kiu Heng menggunakan senjatanya Pek-bu-siang
menggali lubang dan meletakkan jenazah orang malang itu ke dalamnya dengan
perlahan.
"Lo Cianpwee, tenanglah kau mengaso di sini! Ini senjatamu
boleh kau bawa, sedangkan keledai hitam bisa kuurus, tenanglah... tenanglah kau
mengaso!"
Mulailah ia menguruk.
Mendadak berkelebat bayangan putih, tahu2 tubuh Pek-bu-siang
mencelat bangun dari dalam lubang. Kiu Heng kaget dan hilang semangatnya.
Ia berkata dengan gemetaran: "Lo Cianpwee, aku tidak
berbuat salah kepadamu, kenapa sampai sudah meninggal masih mau mengagetkan dan
memusuhi diriku?"
Pek-bu-siang tersenyum.
"Heng-jie, kuyakin aku bakalan mati, tapi sebelum mati aku
masih mempunjai beberapa hal yang memberatkan. Aku sedih atas hal ini,
kebetulan kau datang. Untuk menguji kebaikan hatimu, aku pura2 mati dengan ilmu
menutup jalan napas. Tak kira kau benar2 seorang yang baik, karena itu aku
ingin memesan satu soal yang belum kuselesaikan kepadamu, yakni carilah seorang
pemabukan, ia mencuri Sam Cun Giok Cee."
Lalu ia menceritakan potongan si pencuri itu dengan jelas.
Mendengar keterangan itu Kiu Heng menjadi berdebar-debar.
"Untunglah dalam urusan ini aku tidak mengetahuinya
terlebih dulu, bilamana tidak diriku bisa2 menemaninya dikubur, dalam belukar
sepi, inilah yang dinamai kemujuran di dalam kemalangan,” pikirnya.
Tak sempat untuknya menjawab, karena melihat Pek-bu-siang tengah
menggigil, ia tahu kematian orang yang dihadapi tak lama lagi. Hanya saja tertunda
karena memiliki ilmu dalam yang tinggi. Cepat ia memayang Pek-bu-siang duduk,
saat inilah Pek-bu-siang menghembuskan napasnya yang penghabisan dengan
memeramkan mata untuk selama-lamanya. Ia berjanji di dalam hati untuk memenuhi
pesanan Siang Siu.
Dari dalam sakunya Pek-bu-siang, Ia mendapatkan kitab pelajaran
Pai-kut sin-kang, ia girang sekali, cepat2 jenazah Pek-bu-siang dikebumikan.
Lalu berdiam seorang diri dalam kesunyian sambil mem-balik2 lembaran kitab
Pai-kut-sin-kang dengan penuh perhatian.
Belum selang berapa lama Ia membaca, tiba2 ia mengerutkan alis,
lalu dibacanya lembaran demi lembaran dengan ter-gesa2, begitu selesai, buku
Pai-kut-sin-kang dibantingnya ke tanah kuat2.
"Biar aku mempunyai dendam setinggi langit dan sakit hati
sedalam lautan, tak mungkin mempelajari ilmu beracun semacam ini karena harus
membunuh seratus manusia untuk berlatih,” pikirnya.
Tanpa menoleh lagi Ia turun gunung cepat2.
Tiba2 ia berhenti, buku itu akan lebih celaka lagi kalau jatuh
di tangan orang jahat, pikirnya, "lebih baik kumusnahkan."
Ia balik lagi sambil menyalakan api, diambilnya buku itu dan
dibakarnya.
Mendadak berkesiur angin keras, api menjadi mati, buku
Pai-kut-sin-kang tahu2 hilang dari tangannya. Sebagai gantinya seorang pelajar
tua berdiri di mukanya sambil mem-balik2 kitab Pai-kut-sin-kang.
"Kembalikan kepadaku, buku itu tak berguna untuk
dibaca!" bentak Kiu Heng seraya menyergap.
Dengan sedikit gerakan si orang tua berkelit dan berkata:
"Bocah, kau jangan cemas, buku ini aku tak mau, lebih2 mempelajarinya,
tapi buku kuno semacam ini terhitung pusaka kaum Bu Lim! Buku ini diciptakan
bukan mudah, kenapa kau mau membakarnya seenak hati?"
"Itu sih kemauanku, apa hubungannya denganmu?" jawab
Kiu Heng.
"Bocah, kau jangan berkeras, dari parasmu sudah kubaca kau
sudah menyesal untuk membakarnya. Hm, ambillah! Kau harus tahu pelajaran
Pai-kut-sin-kang tanpa memakai tulang manusia dapat juga dipelajari asal saja
mempunyai kemauan! Tapi kalau kau mau menjadi muridku, segala ilmu semacam
Pai-kut-sin-kang tak ada artinya untuk dipelajari!”
Kiu Heng menjadi terkejut, Ia memandang terlebih lama kepada si
orang tua yang berani membuka mulut besar.
Tiba2 ia ingat cerita gurunya tentang seorang pendekar tua yang
bernama Jiak Hiap Kong Tat.
"Cianpwee bukankah Jiak hiap Kong Tat Lo Cianpwee? Maafkan
kalau Boanpwee tidak mengenalinya."
"Kau bisa mengenali aku sudah terhitung bukan orang
sembarangan. Bocah kalau kau mau menjadi muridku, lekaslah tuturkan riwayatmu
se-benar2nya!“
Kiu Heng merasa girang dapat bertemu dengan seorang jago Bu Lim,
tapi Ia pun merasa bingung. Ia tidak mau melupakan gurunya yang lalu untuk
berguru pada orang lain, di samping itu Ia pun tidak mau melepaskan jago Bu Lim
tersebut pergi dengan begitu saja.
"Jiak-hiap Cianpwee," katanya sesudah memikir lama
juga, "Bukannya aku tak mau mengangkat kau sebagai guru, tapi aku
mempunyai musuh yang bukan main lihaynya, karena itu sebelum guruku meninggal
menyerahkan sebilah pedang ini, di dalamnya terdapat sesuatu pesanan, boleh apa
tidaknya aku berguru lagi, harus melihatnya dulu pesanan itu.”
Sehabis berkata ia menyerahkan pedang itu.
Begitu jiak-hiap Kong Tat, mengawasi pedang itu, ia berseru
kaget sambil berkata: "Kiranya kau muridnya Bu Tong Pay! Kudengar kabar
Cie Yang Cinjin meninggal dunia sesudah- bertanding silat di danau See Ouw.
Kini aku baru tahu jelas sesudah menemui kau yang menjadi muridnya."
Sedangkan hatinya merasa heran kenapa pedang itu tidak dicabutnya
sendiri untuk dilihat?
Per-lahan2 ia menarik gagang pedang, pikirnya dengan mudah
pedang Kim-liong-cee-hwee-kiam kena dicabut. Tak kira sedikit bergemingpun
tidak, herannnya men-jadi2, cepat ia menyalurkan tenaga dan menariknya keras2,
pedang itu tetap tidak bergerak dari sarungnya, ia menjadi jengah sendiri.
Seluruh gerakannya ini dilihat Kiu Heng dengan tegas, Ia merasa
heran pedang itu kenapa tidak tercabut juga?
Jiak-hiap Kong Tat merasa penasaran, seluruh tenaganya
dikumpulkan, lalu ia berseru keras sambil menggentak pedang dari serangkanya,
berbareng dengan itu terdengar bunyi "njlung" sekali, menyusul tubuh
Jiak-hiap jatuh terduduk di tanah. Di dahinya terlihat keluar keringat dingin,
sesudah lama baru Ia bangun lagi.
"Ko-jie,” katanya mengubah sebutan, terlebih halus,
"Sekali coba ini membuat aku hilang muka, tapi aku tak menyalahkan dirimu,
karena perbuatanku sendirl. Tapi aku tak habis mengerti, mengenai rahasia apa
yang tersembunyi pada pedang ini? Mungkinkah seluruh kekuatan dari Cie Yang
Cinjin ditinggalkan dalam pedang ini?”
"Mungkinkah kekuatan itu disalurkan dan ditaruh dalam
pedang?” tegur Kiu Heng dengan heran.
"Ya, sudah pasti bisa, karena itu tak salah lagi kalau
kuduga begitu! Aku sudah menariknya dengan sekuat tenaga, tapi kena dilawan
tenaga sembunyi yang lebih besar, sehingga aku terpukul sampai jatuh terduduk!
Di samping itu sebagian dari tenagaku sudah masuk juga ke dalam pedang, inilah
rejekimu yang besar. Kini sudah kepalang tanggung aku ingin menjadikan kau
seorang yang lihay!” katanya.
Sehabis berkata jiak-hiap Kong Tat segera memutarkan pedang
berikut dengan serangkanya, lalu menusuk dengan perlahan. Tapi sinar kuning
keemasan segera memancar terang dan menyilaukan pandangan mata.
Kiu Heng menjadi kaget. Inilah ilmu pedang yang bukan main
hebatnya.
Dilihatnya terus Jiak-hiap memainkan pedang, tiap jurusnya
mengandung ilmu yang rapi dan ber-ubah2 secara menakjubkan.
Kiu Heng mengingatnya sejurus demi sejurus apa yang
dipertunjukkan itu, sedangkan permainan pedang jiak-hiap sudah berubah dari
perlahan menjadi cepat. Waktu sampai pada taraf yang tertingginya. dengan tiba2
jiak-hiap melancarkan perubahan yang tidak di-duga2. Sinar pedang tak ubahnya
dengan lembayung senja, memancarkan sinar kemilauan memenuhi angkasa.
Ilmu pedang jiak-hiap Kong Tat ini meliputi tujuh jurus yang
dapat berubah menjadi duapuluh delapan permainan. Tapi sangat aneh dan cermat,
lincah tak bertara. Dari jurus perlahan sampai pada jurusnya yang cepat
mengandung kedahsyatan yang luar biasa.
Dengan napas ter-sengal2 jiak-hiap Kong Tat menghentikan
permainannya.
"Ko-jie, bilamana tidak tiga sampai lima tahun berlatih
lagi, tenagaku yang dihisap pedang tidak bisa kembali lagi. Ilmu Pedang ini
bernama Cit Coat Kiam (tujuh pedang maha hebat). Kau jangan memandang ringan
ilmu yang terdiri dari tujuh jurus ini, karena mengandung kekuatan dahsyat yang
tidak bertara. Karena itu bernama Cit Cuat Kiam, asal kau bisa memainkan dengan
mahir baru bisa menghargai kelihayannya."
Kiu Heng menghaturkan banyak terima kasih atas kesudian
jiak-hiap memberrikan pelajaran pedang.
"Aku sangat heran kekuatan Cie Yang Cinjin demikian hebat,
kenapa dalam tiga kali memperebutkan Bu Lim Tiap selalu gagal? Benar2 soal yang
aneh!" kata Kong Tat.
"Ko-jie, sebaiknya sekarang kau pertunjukkan ilmu yang
kumainkan tadi, kuyakin kau bisa mengingatnya, kalau ada yang salah, boleh
kubetulkan!"
Tanpa diminta dua kali, Kiu Heng mulai memainkan ilmu Cit Coat
Kiam yang diingatnya.
Begitu ia selesai mempertunjukkannya, Kong Tat menjadi girang.
Ia sudah habis tak sangka, si anak sekali lihat bisa memainkan ilmunya. Betul
masih terdapat kekurangan2, tapi tidak berarti apa2. Ia membenarkan atas
kesalahan kecil itu.
"Kau kini sudah bisa mengingat dengan baik, tapi kau jangan
lupakan Cit Coat Kiam dimainkan berdasarkan ketenangan, ganas, cepat. Kuharap
kau dapat mempelajarinya dengan tekun dan mengingat terus kata2ku ini,"
kata Kong Tat sambil menarik napas.
Ini bukan tarikan napas duka, melainkan ia merasa menyesal
seorang anak yang demikian berbakat tidak berjodoh menjadi muridnya.
"Hari sudah hampir senja, aku harus berlalu,” katanya lagi,
"Pek-bu-siang sudah meninggal dunia, orang2 kalangan hitam yang menjadi
anak buahnya tidak sedikit. Bilamana soal kematiannya tidak teruar masih cukup
bagus, bilamana teruar, mungkin kau akan menghadapi banyak kerewelan yang tidak
diinginkan. Tapi kau seorang anak yang baik, pasti akan dilindungi oleh yang
maha kuasa.”
Sehabis berkata segera ia berlalu dengan cepat.
Dengan pandangan mata simpatik dan terima kasih, Kiu Heng
menghantar kepergian jiak-hiap Kong Tat.
Malam mendatang, Kiu Heng dalam suasana girang yang tidak
terhingga, membuatnya lupa makan dan lupa tidur. Ia memainkan terus ilmu yang
baru diperolehnya tanpa jemu2nya.
Tengah asyiknya ia mengulangi pelajarannya, datang dua orang tua
berbaju hitam, mereka berbadan gemuk dan kate, sehingga lebih surup disebut
buntet, pandangan mereka berdua sangat tajam dan ber-api2 seperti mau mencaplok
orang saja.
Kiu Heng menjadi kaget, cepat2 menghentikan latihannya,
pedangnya disimpan di punggung, karena kuatir dirampas dua orang kate itu.
Dua orang tua mendesak semakin dekat dengan sikap jahat.
"Kamu manusia macam apa? Untuk apa datang ke sini?” tegur
Kiu Heng dengan berani.
Orang tua yang di sebelah kiri, memandang pada Kiu Heng sambil
bersenyum kering. "Hei bocah," katanya. "Namamu siapa?"
"Kau tak perlu tahu!”
"Kau tentu murid Bu Tong Pay bukan?"
"Ya bagaimana, tidak bagaimana?”
Orang tua itu segera menggampar, mendapat jawaban kasar.
Kiu Heng berhasil berkelit tapi pipinya merasakan panas yang
pedas. Ia kaget dan gusar, segera melancarkan jurus Kua Pou Ten San (melangkah
besar mendaki gunung) menghajar dada lawannya dengan kepalan, sedangkan
mulutnya turut memaki: "Aku heran di atas dunia ada dua bangsat kejam
seperti kamu! Kamu kira aku mudah dihina?"
Orang tua yang menyerang Kiu Heng mengegos, lalu ter-bahak2.
"Dari gerakanmu ini kau sudah terang dari Bu Tong Pay,
kalau ingin hidup lekas bertekuk lutut dan Koutou (membenturkan kepala
ke-tanah) tiga kali, lalu menurut perintahku!"
"Bert! bert! bert!" tiga kali Kiu Heng melancarkan
kepalannya, sungguh pun tenaganya kecil, cukup membuat pasir dan debu
berhamburan.
Orang tua itu tergentar mundur dua langkah. Begitu mendapat
hasil, keberanian Kiu Heng semakin men-jadi2.
"Bocah, kau tidak mengenal gelagat, tahun depan pasti hari
ulang tahun kematianmu. Bilamana tidak, jangan sebut kami Ek Lam Siang Sat!”
serunya si orang tua sambil menyerang.
Sekali ini mereka melakukan kurungan dari kiri dan kanan.
Menjadikan pertarungan satu lawan dua.
Kiu Heng menjadi kaget begitu mendengar julukan kedua orang tua
itu, karena ia pernah mendengar ceritera gurunya bahwa Ek Lam Siang Sat adalah
dua saudara kembar, bedanya yang tuaan berwajah hitam yang mudaan berwajah
merah. Sang kakak Lauw Siong, mempelajari ilmu Tiat Sat Ciang, si adik bernama
Lauw Pek mempelajari ilmu Cee Sat Ciang, sehingga kalau ditegasi telapak tangan
Lauw Siong hitam, sedangkan telapak tangan Lauw Pek berintilan seperti
berpasir. Bilamana seseorang terkena serangan tangan mereka yang beracun segera
akan mati.
Kini Kiu Heng diserang dengan lengan2 beracun dari dua jurusan
kiri dan kanan, tentu saja menjadi repot. Ia seorang beradat angkuh dan keras
kepala tidak termakan gertakan, biar ia tahu musuhnya lihay sedikitpun tidak
menjadi gentar, de ngan lincah ia melawan terus.
Dalam sekejap pertarungan sudah berjalan sepuluh jurus. Kiu Heng
dapat mengimbangi kedua musuhnya dengan pukulan2 Bu Tong Pay dan kelincahannya,
ia mencelos ke sana ke mari, sebentar ke depan sebentar lagi ke belakang. Dalam
ketika ini dua bersaudara Lauw belum bisa apa2 terhadap musuhnya yang masih
kecil.
Tiba2 Lauw Siong tertawa keras.
"Jie-tee kita kena perangkapnya, kita tidak selincah dia,
untuk apa ber-putar2 terus. Gunakanlah ketenangan untuk mematikannya.
Mereka segera mengganti siasat, membuat Kiu Heng mati jalan.
Untung ia ingat pada pedangnya dengan tiba2, cepat2 dihunusnya dengan segera
dipergunakan dengan ilmu Cit Coat Kiam, dan menyerang ke muka sambil menangkis
ke belakang, menghajar ke kiri mengegos ke kanan, dalam waktu tak lama kembali
Ia berhasil membuat repot kedua musuhnya yang bertangan kosong.
Pertarungan mereka berlangsung terus, Kiu Heng mulai merasa
letih, pedang di tangannya terasaa semakin berat, timbul rasa laparnya yang
tiba2 terus membuanya semakin lelah. Ia ingin kabur, tapi kepungan musuh tidak
bisa dipecahkan dengan mendadak. Ia repot dan terdesak, tiba2 mendengar orang
berkata dengan garing.
"Lauw Siok-siok, taruhlah belas kasihan!”
Lengan Lauw Siong yang bau amis hampir mengenai Kiu Heng, lalu
ditariknya cepat2 setelah mendengar seruan tersebut.
Yang datang itu adalah seorang gadis berusia empat-lima belasan
tahun, herannya Ek Lam Siang Sat menaruh hormat sekali kepadanya.
"In Kouwnio, kenapa malam2 begini meninggalkan lembah dan
datang ke puncak ini, ada urusan pentingkah?” tanya Lauw Song.
Kalian mau mengurus aku?" kata si gadis. "Hai, perlu
apakah, kenapa kamu berdua mengerubuti seorang anak kecil?"
Dalam keadaan malam, sinar matanya tak ubahnya bagaikan bintang
yang berkelip-kelip, menekan dua gembong iblis yang kenamaan yang tak bisa
menjawab.
"Bagus ya!” si gadis membentak lagi, "Kamu tentu tanpa
sebab mengganggu rakyat baik2. Awas, sebentar kuadukan kepada ayah, pasti kamu
akan dibuat cacat dan diusir dari lembah.”
Ketakutan Ek Lam Siang Sat men-jadi2, dengan meratap mereka
meminta agar si gadis jangan melaporkan tentang kelakuan mereka.
"Kamu harus berkata terus terang, aku baru bisa
mengampuni," kata si gadis.
"In Kounio, kami terpaksa berkelahi dengannya karena soal
sejilid buku."
"Buku apa yang demikian berharga sehingga kamu maui sampai
berkelahi? Katakan lekas!"
"In Kounio, kalau kau mau buku itu aku bisa merampasnya
dari bocah ini, tapi jangan kau beri tahu kepada tia-tiamu!" kata Lauw
Siong.
Kiranya dua saudara Lauw mendengar kabar dari orang2 di rumah
makan Cui Hong Lauw bahwa Thian Lam Sam Cee akan mengadu kekuatan dengan
Pek-bu-siang, tapi kedatangan mereka sudah terlambat, sehingga apa yang ingin
disaksikan tidak pernah dilihatnya. Tengah mereka uring2an, dilihatnya Kiu Heng
memegang buku Pai-kut-sin-kang. Segera juga mereka ingin merampas, tapi keburu
datang jiak-hiap Kong Tat, sehingga mereka membatalkan dulu niatnya.
Begitu Jiak-hiap berlalu, mereka segera datang menyerang kepada
Kiu Heng tanpa menyebutkan alasannya, pikir mereka sesudah berhasil menghajar
baru merampas buku itu, lalu mengubur si anak muda.
"Hei, mereka mengatakan kau mempunyai buku, coba keluarkan
untuk kulihat!" kata si gadis seraya mendekati.
Kiu Heng merasa kurang senang atas pertanyaan si gadis yanq
tidak sopan, matanya menjadi mendelik, alisnya berdiri, ia menatap tanpa
menjawab.
"Hm, kau anak kurang ajar, jangan harap dapat jawaban
dengan sikapmu yang kurang ajar," pikirnya sambil buang muka.
Si gadis bertabiat keras kepala, tapi paling menghargai pada
orang2 yang bersikap keras juga. Ditatapnya Kiu Heng yang berbaju
compang-camping, ia ingin membalik badan, tapi wajah keren penuh semangat
membuatnya tergerak, timbullah rasa sukanya seketika.
"Lauw Siok-siok, kamu pergilah sekarang juga! Aku tak akan
mengadukan kepada tia-tia! Tapi kau harus memanggil datang Ping Moy! Sebelumnya
aku mengucapkan banyak terima kasih," kata si gadis separuh mengusir.
"In Kounio, dapatkah buku itu kau miliki?" tegur Lauw
Pek.
"Jangan banyak rewel, bilamana mungkin pasti aku takkan
membuatmu kecewa!"
Ek Lam Siang Sat segera membungkukkan tubuh dan berlalu.
"Hai! Siapa namamu?” tanya si gadis.
Kiu Heng menganggap angin berlalu atas pertanyaan si gadis,
sampai tiga kali ia ditegur masih tidak menyahut. Agaknya si gadis hilang
sabar, segera menghunus pedang yang berupa belati.
"Jika kautetap tidak menjawab, jangan sesalkan aku berlaku
kurang ajar!”
"Apa yang harus kau marahi? Kau pirkir aku takut?"
kata Kiu Heng sambil memalangkan pedangnya di dada.
"Kukira kau seorang gagu, kiranya bisa bicara! Kenapa kau
tidak menjawab pertanyaanku sampai nama pun tak mau memperkenalkan?"
"Kau sendiri manusia macam apa? Sengaja tidak kujawab
pertanyaanmu, lalumau apa? Kalau jago, mari kita tarung, untuk apa berlagak
yang tidak laku?"
"Kau tidak menjawab akhirnya toh menjawab juga, perlu apa
bersikap keras lagi? Soal tarung adalah soal yang mengherankan, belum pernah
ditantang orang! Tapi kau mengatakan tidak takut, akan menghajarmu sampai kau
merasa takut kepadaku!"
Sehabis berkata tubuhnya segera bergerak, belatinya memainkan
kembangan ilmu silat, lalu menikam keras hati dengan kecepatan yang sukar
dikatakan.
Dengan cepat Kiu Heng mengegos seraya menyerang, sehingga
perkelahian menjadi seru dengan mendadak, sepuluh jurus berlalu. Tahu2 Kiu Heng
terdesak mundur beberapa tombak. Hal ini membuatnya berkeringat dingin. Belum
sempat untuknya memperbaiki diri, musuhnya sudah merangsang dengan gencar dari
kiri kanan tak ketentuan.
Pandangan matanya menjadi kabur, ia kewalahan sekali. Lalu
pedangnya pun kena dipukul jatuh.
"Menyerah tidak? Kalau tidak mari kita lanjuti lagi!"
bentak si gadis.
"Tidak nyerah! Boleh berkelahi lagi, aku Kiu Heng adalah
manusia yang tidak takut gebukan maupun bacokan! Hm, kau lihatlah nanti,
sesudah ilmuku rampung, aku bisa mencarimu.”
"Kiu Heng! Kiu Heng! Aneh! Suatu nama yang buruk dan
beracun! Aku tak senang mendengar nama ini, bagaimana kalau kuubah!” kata si
gadis.
"Eh, apa yang kau katakan barusan? Mau mencariku sesudah
rampung dalam pelajaranmu, betulkah kata2 ini?”
Kiu Heng memungut senjatanya.
"Kenapa tidak? Aku akan kembali untuk membalas penghinaan
yang kuderita hari ini, apa kau takut?”
"Urusan nanti itu perlu apa dibicarakan sekarang, yang
penting aku harus menghajarmu sampai tunduk dulu!”
Tiba2 terdengar suara panggilan.
"In In......... In In.........”
Si gadis kaget, cepat menarik serangannya.
"Ayahku memanggil! Aku harus datang. Kiu Heng sesudah ilmu
silatmu rampung, kau boleh datang lagi mencari balas, atau mencari apa kek. Aku
menantikan kedatanganmu!”
Panggilan nama In In semakin gencar terdengarnya.
"Aku harus berlalu, kau lekas tinggalkan gunung ini. Ingat
kelak di kemudian hari,
kunantikan kau di sini........"
Sehabis berkata segera ia turun gunung tak terlihat lagi.
Kiu Heng merasa aneh menghadapi gadis itu, begitu si gadis
hilang dari pandangannya, tanpa terasa mulutnya berkata: "In In...”
Ia tidak habis pikir kenapa bisa demikian? Bukankah barusan
mereka habis tarung dengan sengit, bertengkar mulut dan berpisah secara begitu
saja.
Sesudah ter-pekur2 ia pun turun dari Oey San pada keesokan
harinya.
***
Suatu pagi di akhir musim semi, cuaca terang cerah, langit biru
tak berawan.
Di perbatasan antara Propinsi Ciat Kang dan An Hwee terdapat
sebuah bukit yang agak tinggi, bernama Pek Tio Hong. Di situ terdapat batu
hijau yang datar dan licin. Pagi ini terlihat seorang anak tanggung tengah
duduk di batu itu sambil bersemadi, agaknya tengah menghirup udara pagi yang
segar. Sedangkan lengannya pun memegang pedang panjang yang samar2 memancarkan
sinar emas.
Anak ini bukan lain dari Kiu Heng, ia datang ke bukit ini sudah
sepuluh hari. Sejak meninggalkan Oey San pikirannya tidak seberapa cemas
seperti Ia turun dari Bu Tong Pay. Ia tahu untuk memperlajari ilmu yang
diperolehnya dari jiak-hiap, dan kitab dari Thian Lam Sam Cee harus mempunyai
tempat sunyi untuk belajar.
Di samping itu, sebelum gurunya meninggal pernah memaksa dirinya
mempelajari semacam ilmu. Waktu itu dalam pandangan Kiu Heng ilmu itu tidak ada
gunanya. Cie Yang Cinjin memakinya bodoh. Hal ini masih teringat terus olehnya,
bahwa gurunya memakinya bodoh hanya sekali2nya, kini kalau direnungkan kembali
gurunya itu memaki betul.
Ilmu itu bernama Lwee Put Kui Cin (dari keaslian menghisap
kemurnian) digunakan menyedot isi sesuatu benda untuk menambah kekuatan diri
sendiri. Pelajaran Bu Tong Pay sangat terkenal dengan meminjam tenaga memukul
musuh, lalu digubah menjadi Lwee Put Kui Cin, sehingga di kalangan kebatinan
sangat terkenal.
Kiu Heng mempelajari Ilmu Sam-cee-pan-guat dan Cit-coat-kiam, di
samping itu ia berniat menggunakan Ilmu Lwee Put Kui Cin untuk menyedot
kekuatan di atas pedang, untuk menambah kekuatannya sendiri. Dalam hal yang
belakangan ini bukan soal mudah yang dapat dijalankan sehari dua hari, tapi
harus lama dan tekun.
Dalam sepuluh hari yang lalu, setiap pagi Ia belajar Ilmu Lwee
Put Kui Cin, lalu mempelajari Cit-cuat-kiam, sorenya memburu binatang untuk
menangsel perut, malamnya melatih Sam-cee-pan-goat yang terdiri dari dua belas
jurus. Sedangkan buku Pai Kut Sin Kang sedikit pun tidak pernah dipelajarinya.
Tanpa disadari lima bulan sudah dilalui dengan cepat!
Pada suatu hari, tengah asyiknya suara angin bergedebaran, dari
atas bukit tampak berkelebat sesosok tubuh yang cepat dan aneh luar biasa,
menandakan ilmu ginkangnya sudah sampai di batas sempurna.
Dengan ringan orang itu hinggap di atas batu. Dengan tertawa
kering yang menusuk pendengaran, Ia menatap si anak muda.
Kiu Heng menjadi kaget, ia mengawasi dengan seksama. Orang itu
sudah tua, mukanya merah dan berejulan seperti tumbuh bisul. Alisnya pendek dan
mata sipit. Hidungnya lancip dan mulutnya kecil. Di bawah dagunya tumbuh
jenggot kambing yang jarang.
Wajah yang demikian tak ubahnya seperti daging merah yang masih
segar, membuat yang melihat menjadi kaget.
Kiu Heng menjadi kaget, hampir-hampir ia berteriak
"Aduh!" untung sebelum suara seruannya diucapkan si orang tua sudah
mendahului tertawa lagi, sehingga Kiu Heng menggigil dan urung berteriak kaget.
Dapat dikatakan suara tertawa si orang tua sudah menolong jiwa
Kiu Heng. Jika tidak, tentu Kiu Heng akan berteriak kaget, dengan demikian si
orang tua pasti akan mencabut nyawa kecilnya.
Karena orang tua itu sejak kecil berparas buruk, sering mendapat
penghinaan dan hidup diasingkan, sesudah mempelajari ilmu, Ia menetapkan suatu
aturan, barang siapa melihatnya kaget segera akan dibunuh mati.
Karena hal ini banyak sekali jumlah orang2 yang mati konyol di
bawah tangannya karena tidak mengetahui peraturan si orang tua. Hal ini sudah
sepuluh tahun lebih, sudah tentu Kiu Heng tidak mengetahuinya.
Si orang tua sengaja mencegah Kiu Heng membatalkan teriakannya,
karena memandang si anak muda seorang yang berbakat baik, dan enggan
melukainya.
"Siapa kau? Siang2 berlagak jadi setan me-nakut2i orang,
kau kira aku bocah berusia tiga tahun yang akan lari tunggang langgang?"
bentak Kiu Heng.
"Bocah, kau bukan anak berumur tiga tahunkah? Mungkinkah
sudah tiga puluh tahun? Tampangmu yang masih bau susu ibumu, kalau bukan tiga
tahun, paling banyak lebih beberapa tahun bukan?”
Semakin si orang tua berkata, kekagetan Kiu Heng semakin hilang.
Ia mengetahui bahwa orang tua itu bukan menggunakan kedudukannya
untuk me-nakut2i, tapi memang sewajarnya berparas buruk.
"Lo Cianpwee, dapatkah memperkenalkan nama? Boanpwee Kiu
Heng memberi hormat pada cianpwee!”
"Barusan kusebut bocah, kau berlagak tua, kini apa2an
memakai Cianpwee, Boanpwee segala, aku tidak menerima hormatmu ini. Aku tidak
bernama, untuk kau tahu, akupun tidak mau tahu siapa namamu. Yang paling baik
kita tidak berhubungan!"
Perkataan si orang tua ini hampir2 membuat Kiu Heng tertawa,
tapi si orang tua sudah bersenyum dingin.
Sekali ini nadanya lebih dingin dan menusuk, membuat jalan darah
Kiu Heng seperti beku. Ia terkejut sambil mundur2.
”Kenapa selagi berkata baik2 orang tua ini berbuat galak
lagi!" pikirnya.
"Siapa yang sembarangan naik ke Pek Tio Hong, kalau sudah
datang kenapa tidak menunjukkan muka, men-colong2 dan ber-sembunyi2 seperti
maling, haruskah kuseret keluar?"
Berbareng dengan habisnya Ia berkata, dari balik pohon besar
mencelat keluar seorang berumur empat puluh tahun lebih. Dengan hormat sekali
ia membungkukkan tubuh pada si orang tua.
Kiu Heng sadar bahwa senyum dingin itu bukan ditujukan kepada
dirinya.
"Lo Cianpwee,” kata si orang pertengahan umur sambil
berlutut, "kuminta kau kecualikan aku dan terimalah aku menjadi muridmu.
Aku sudah merasa beruntung!”
"Lagi2 kau, kau si orang tak berguna, kenapa kau mau
menjadi binatang ter-bungkuk2 terus di depanku? Sudah kukutakan, asal kau bisa
tahu namaku dan ilmu yang kupelajari segera memberikan pelajaran. Kini kau
datang tanpa mengetahui syarat2 yang kuberikan, lekaslah kau enyah dari sini.
Bilamana tidak, akan kuhajar!”
Agaknya laki2 pertengahan umur itu sudah beberapa kali menerima
kerugian, buru2 mencelat dan turun ke bawah gunung, gerakannya yang cepat dan
lincah ini membuat Kiu Heng heran sekali.
"Dari Ginkangnya yang demikian tinggi, ia bisa
menggolongkan diri dengan jago2 Kang Ouw kelas satu, kenapa ia me-ratap2 ingin
belajar padamu? Aku tak habis mengerti!”
"Ini namanya perkataan anak umur tiga tahun! Kau sebagai
kodok di dalam tempurung yang tidak mengerti luasnya dunia, apa yang kau bisa
mengerti? Orang2 Kang Ouw kelas utama, hanya beberapa orang yang memiliki ilmu
tinggi, lagi pula dari sudut apa kau menilai orang sebagai jago kelas utama?
Bocah, coba kau saksikan Ginkang ini, bagaimana?"
Habis berkata orang tua itu tahu2 hilang dari pandangan mata,
Kiu Heng yang mendelik pun tidak tahu dengan cara apa si orang tua pergi?
Bahkan suara angin pun tidak terdengar. Ia heran dan kagum bercampur aduk.
"Bocah, apakah kau ingin belajar ilmu kepandaianku? Kalau
benar, lekaslah kau pergi dari sini, aku tidak bisa menerima murid!" kata
si orang tua dari jauh sekali, sehingga suara itu terdengar seperti nyamuk
meng-iang2.
"Oh, ilmunya tinggi betul," pikirnya, tapi ia seorang
anak beradat angkuh yang tidak kena dimakan kekeraaan, segera menjawab keras:
"Kau kira ilmu yang kau pertunjukkan itu sudah luar biasa? Aku datang ke
sini untuk belajar sendiri, jangan kuatir diratapi untuk beri pelajaran padaku,
sesudah latihan selesai aku bisa berlalu sendiri tanpa diusir!"
Kiu Heng tidak mendapat jawaban, waktu ia menoleh tampak orang
tua itu sudah duduk di batu yang dipergunakannya melatih ilmu.
"Tak heran batu itu demikian licin dan mengkilat seperti
kaca, kiranya karya si setan tua ini, kalau begitu batu itu sudah puluhan tahun
di-usap2!" pikirnya.
Tiba2 dari hidung lancipnya si orang tua keluar dua asap putih,
berkumpul tidak buyar, panjangnya beberapa dim, cepat keluar masuk seperti anak
kecil memainkan ingusnya.
Kiu Heng kaget, Inilah ilmu Bu-siang-kie-kang (pelajaran hawa
yang tidak ada tandingannya) yang sudah sampai puncak tertinggi, dapat
digunakan membunuh orang sekehendak hati dalam jarak beberapa meter.
Ia ingat orang tua ini akan memberikan ilmunya kalau dapat
menyebutkan ilmunya dan gelarnya.
Kiu Heng ingin sekali mempelajari ilmu itu tapi tidak dapat
menyebutkan pelajaran apa yang dinamakan Bu-Siang-kie-kang, ia pernah
mendengarnya, tapi tidak bisa ingat dalam waktu sekejap.
Sesudah sejam, asap putih itu segera berhenti, agaknya si orang
tua sudah menghentikan latihannya. Kiu Heng pun tidak mau nonton terus, waktu
sangat berharga untuknya, segera Ia berlatih dengan pedangnya. Dalam beberapa
hari ini Ia sudah mempelajari Ciat-cuat-kiam dengan mahir, dan dapat
memainkannya sesuka hati.
Tiba2 tampak bayangan hitam masuk ke dalam sinar pedang, Kiu
Heng kaget, tahu2 pedangnya kena dirampas orang. Kiu Heng tahu bayangan itu
adalah si orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar