Jilid 02 bagian
pertama
Mufali lantas mendekati Li Su-lam untuk menanyakan peristiwa
semalam dan memberi tahu bahwa
dia telah mengirimkan belasan anak buahnya dari “pasukan sayap
sakti” untuk mencari jejak
penyatron itu dan diharap tidak lama lagi akan ada hasilnya.
Tengah bicara, Putri Minghui tampak mendekati mereka, katanya :
“Apa yang kalian bicarakan?
Ayah suruh dia mengiringi aku pergi berburu!”
“Baiklah, silahkan,” ujar Mufali. Lalu ia sendiri pergi bicara
dengan Li Hi-ko.
Lantaran menguatirkan penyatron yang terluka itu, perasaan Su-lam
menjadi tidak tenteram
sepanjang mengikuti Putri Minghui berburu. Ia pikir pasukan
perintis Jengis Khan sudah
dikerahkan, serbuannya kepada Kim segera akan dilaksanakan, tentu
ayah dan aku akan ikut serta
dalam pasukannya, maka aku harus cepat2 mengunjungi lembah yang
disebuit orang itu. tapi cara
bagaimana supaya aku ada alasan pergi kesana? Demikian Su-lam
me-nimang2.
Karena pikirannya kacau sehingga cara memanah Su-lam menjadi
ngawur, bebrapa kali panahnya
tidak kena sasarannya. Maka hasil buruan Putri Minghui jauh lebih
banyak daripada Su-lam.
Kau sengaja mengalah padaku atau sedang memikirkan urusan lain,
bila ada urusan bolehlah kau
katakan padaku, mungkin aku akan datap membantu kau,” kata
Minghui.
Selagi Su-lam ragu2 dan belum menjawab, se-konyong2 terdengar
suara auman binatang buas, dari
dalam rimba mendadak lari keluar seekor badak. Begitu melihat
manusia, segera badak itu
menerjang.
Cepat Minghui membidikkan panahnya. Namun badak bercula satu itu
jauh lebih ganas dari pada
binatang liar lain, kulitnya tebal pula. Mesti panah Minghui kena
sasarannya, tapi tidak
menjadikannya terluka parah. Sebaliknya badak itu tambah mengamuk,
dengan culanya yang tajam
itu terus menyeruduk kearah Minghui.
Biarpun Minghui sudah biasa berburu, tapi belum pernah ketemu
badak sebuas itu. Maka ia menjadi
gugup ketika binatang itu menyeruduk kearahnya, sekejap itu
kakinya serasa tidak mau menurut
perintahnya, tampaknya cula badak akan segera menancap didadanya,
hendak mengelak juga tidak
keburu lagi. Pada detik terakhir itu se-konyong2 badannya terasa
enteng, seperti terbang saja
tubuhnya telah mengapung keatas.
Badak itu mengaum keras sehingga bumi seperti tergetar. Minghui
merasa badannya dirangkul
erat2 oleh seorang, kedua kakinya telah menginjak tanah kembali.
Terdengar suara Su-lam berbisik
di telinganya: “Jangan takut, Tuan Putri, badak sudah mati.”
Waktu Minghui memperhatikan, terlihat Su-lam berada di sisinya,
sebelah tangan merangkul
bahunya. Sedangkan badak tadi nampak menggeletak dibawah sebuah
batu karang dengan kepala
tertindih sepotong batu besar.
Kiranya pada detik yang sangat berbahaya tadi Su-lam sempat
merangkul Minghui, berbareng
pedangnya menusuk secepat kilat sehingga mata badak dibutakan.
Untung ginkangnya cukup hebat,
biarpun merangkul satu orang masih mampu meloncat beberapa meter
tingginya, tanduk badak itu
se-akan2 menyerempet lewat dibawah tapak kakinya. Karena mata
badak itu telah dibutakan,
kepalanya lantas menumbuk batu karang, kepala pecah dan badak
itupun mati.
Meski orang Mongol tidak terlalu terikat oleh adat istiadat antara
laki2 dan perempuan, namun
berada dalam pelukan seorang pemuda bagi Minghui barulah dirasakan
sekarang untuk pertama
kalinya. Setelah tenangkandiri air muka Minghui menjadi merah
jengah. Katanya: “Terima kasih
atas pertolonganmu. Hebat benar kepandaianmu. Cara bagaimana kau
telah membunuh badak itu?
Cula badak sangat mahal, sekarang kita dapat memotong culanya.” ~ Dibalik
kata2nya itu juga
mengingatkan Su-lam agar melepaskan pelukannya.
Seketika Su-lam tersadar juga, wajahnya menjadi merah pula. Cepat
ia lepaskan sang Putri, katanya
dengankikuk: “ O, beruntung aku dapat menusuk buta matanya, dia
sendiri menumbuk batu karang
samapai mati.”
“Ternyata kaupun seorang pemburu yang ahli,” ujar Minghui dengn
tertawa. “Kulit daging badak
sangat tebal, kalau tidak membutakan matanya mungkin pedangmu ini
takkan mempan menusuk
mati dia.”
Selagi bicara, tiba2 dari dalam hutan tadi berlari keluar beberapa
orang, yang paling depan dalah
seorang pemuda bermantel bulu, beberapa pengiring dibelakangnya,
sedang bicaranya sambil menuding2
kearah Minghui berdua. Sayup2 Su-lam mendengar kata2 seorang
diantaranya: “Putri
Alehai adalah mutiara kesayangan Khan Agung, hendaknya Ongcu
(pangeran) jangan marah
padanya.”
Su-lam merasa heran pangeran darimana itu? Belum lenyap herannya,
tiba2 pemuda tadi telah
memburu kearahnya. Mendadak ia melolos sebilah golok melengkung
terus membacok Su-lam
sambil membentak: “Kurangajar! Kau berani membunuh badak
buruanku?”
Kiranya pemuda itu adalah pangeran Tin-kok, putra kepala suku
Wangku. Dia adalah tunangan
Minghui yang belum saling kenal muka.
Kulit muka Tin-kok ke-hitam2an, bersiung pula hingga menonjol keluar
bibir, mukanya sangat
jelek, tapi tenaganya ternyata tidak kecil.
Dengan cepat Su-lam menangkis dengan pedang, tapi tidak urung
tergetar mundur dua tiga undak.
He siluman buruk darimanakah berani main gila disini?” damprat
Minghui. Ia tidak tahu bahwa
“siluman” yang dimakinya itu adalah tunangannya sendiri. Segera ia
siapkan panah pula hendak
membidik Tin-lok.
Tuan Putri tidak perlu ikut campur, bihar kuhajae adat padanya,”
seru Su-lam sambil putar
pedangnya, sret-sret-sret beberapa kali, tahu2 mantel bulu yang
dipakai Tin-kok terpapas sebagian.
Keruan Tin-kok terkejut, tanpa terasa iapun terdesak mundur
beberapa tindak.
“Siapakah kau?” bentak Su-lam. “Badak ini kan bukan piaraanmu dan
segala orang boleh
membunuhnya asalkan sanggup. Kenapa kau main menang2an.”
Melihat Su-lam lebih unggul, Minghui sangat senang, serunya: “Tak
perlu banyak bicara dengan
dia, hajar saja dia urusan belakang!”
Alangkah murkanya Tin-kok mendengar ucapan Minghui itu, masakah
tunangannya malah
mengeloni orang lain. Dengan nekat ia terus menerjang maju lagi.
Goloknya membacok dan
menabas serabutan.
Su-lam naik pitam juga melihat kegarangan Tin-kok, ia pikir kalau
orang ini tidak dihajar adat tentu
dia tidak kenal kelihaianku.
Tin-kok hanya kuat dalam hal tenaga pembawaan saja, permainan
goloknya tidak dapat dikatakan
tinggi, sudah tentu dia tidak mampu melawan Tat-mo-kiam-hoat
Siau-lim-pay asli Li Su-lam itu.
Hanya beberapa gebrakan saja, sekali kedua senjata saling tempel
sambil dipelintir dan disendal
terlepaslah golok Tin-kok itu daru cekalan.
Tapi belum lagi Su-lam bertindak lebih lanjut, tampak Cilaun
memburu datang sambil berteriak:
“Berhenti berhenti! Khan besar datang!”
Muka Tin-kok yang hitam itu tambah gelap karena malu dan gusar, ia
jemput kembali goloknya
sambil memaki “Bocah bangsat, jangan lari kau. Akan kuadukan
kepada Khan besar.”
Dalam pada itu Jengis Khan telah muncul dengan naik kuda.
Bentaknya: “Siapa yang mengacau
disini? O, kiranya kau. Apakah ayahmu menyuruh kau kesini? Kenapa
kalian berkelahi?”
Sebelum Tin-kok sempat bicara, Minghui segera mendahului mengadau
kepada ayahnya: “Anak
hampir mati diseruduk badak ini, untuk Li Su-lam telah
menyelamatkan jiwaku dan membinasakan
badak ini. Tapi si hitam mendadak datang mengacau, katanya kami
telah merampok badak
buruannya, sebab itulah dia hendak membunuh Li Su-lam. Coba,
masakah ada aturan begitu? Harap
ayah menimbang secara adil.”
“Jangan sembrono, Alehai,” ujar Jengis Khandengan tertawa. “Apakah
kau tahu siapa dia? Haha,
dia adalah bakal suamimu tahu?”
Minghui terperanjat, ia merasa malu dan mendongkol pula,
teriaknya: “Apa, sia bakal suamiku?
Huh, siapa mau menjadi istri si hitam begitu?”
Jengis Khan mendelik dan mengomel: “ Anak perempuan sembarangan
omong. Perjodohan ini aku
sendiri yang menyanggupi, maskah kau berani membangkang? Minggir
sana?”
Betapapun Minghui rada gentar terhadap sang ayah, ia pikir
sekarang ayah sedang marah, biarlah
aku bersabar dulu, mau menikah dengan si hitam atau tidak kan
tergantung diriku. Walaupun begitu
ia menyingkir juga kesamping, tapi denganrada penasaran ia masih
bicara: “Ayah, seringkali
engkau menegaskan harus adil memberikan hukuman bagi yang salah
dan memberi penghargaan
bagi yang berjasa, maka janganlah engkau pilih kasih.
“Darimana kau tahu aku akan bertindak tidak adil?” ujar Jengis
Khan. “Majulah kau, Li Su-lam!”
Su-lam melangkah maju dan memberi hormat.
“Kau telah membinasakan badak dan menyelamatkan putriku,” kata
Jengis Khan. “Sebagai
penghargaanku terimalah hadiah busur dan panahku ini dan kuangkat
kau sebagai ‘ksatria kemah
emas.’
“Anugerah Khan besar tersebut tak berani kuterima,” jwab Su-lam.
“Apa, kau meremehkan anugrah dariku?” tanya Jengis Khan dengan
gusar.
“Mana aku berani,” kat Su-lam. “Cuma, pertama aku tidak punya
kepandaian, kedua juga aku tidak
berjasa apa apa, gelar ‘ksatria kemah emas’ yang agung itu mana
berani kuterima.”
Jengis Khan pikir sejenak, lalu berkata pula: “ Kau sangat rendah
hati, sungguh jarang ada orang
seperti kau. Baiklah, aku takkan memberi tugas tetap padamu,
sementara ini kuberi jaminan yang
sama tingkat dengan ‘ksatria kemah emas’, nanti kalau kau sudah
berjasa barulah kuberikan gelar
itu. Busur-panahku ini sangat cocok dengan kepandaianmu, tentunya
kau takkan menolak
pemberianku ini.”
Kiranya gelar ‘ksatria kemah emas’ adalah gelar yang sangat agung,
orang yang dianugerahi gelar
demikian semuanya adalah jago2 pilihan Jengis Khan yang telah
banyak jasanya dimedan perang.
Selamanya juga belum pernah dianugerahkan kepada orang Han. Hal
inipun menjadi pertimbangan
Jengis Khan, maka anugerah itu telah dibatalkannya. Ia tidak tahu
bahwa sesungguhnya Li Su-lam
yang tidak sudi mengabdi padanya.
Meski gelar kebesaran dibatalkan, tapi Jengis Khan telah
menyanggupi memberi penghargaan
setingkat ‘ksatria kemah emas’ kepada Su-lam, itu berarti akan menerima
gaji dan penghargaan2
lain yang sama. Apalagi Jengis Khan telah menghadiahkan
panah-busur pribadinya, hali ini adalah
kehormatan yang belum pernah terjadi atas para Bu-su Mongol. Maka
be-ramai2 anak buah Jengis
Khan lantas memberikan selamat kepada Su-lam.
Bagi Su-lam, asalkan tidak menghamba dibawah Jengis Khan sudah
bolehlah baginya, maka iapun
tidak menolak lebih jauh. Ia merasa gembira juga atas panah-busur
pemberian Jengis Khan itu
walaupun ia tidak tertarik oleh gelar agung ‘ksatria kemah emas.’
Sementara Su-lam menerima ucapan dari orang banyak, disebelah lain
pangeran Tin-kok menjadi
seperti terpencil, hal ini membuatnya risih. Tapi Jengis Khan
lantas menyapanya: “Baiklah,
sekarang kemarilah kau!”
Tin-kok menjadi kebat kebit karena tidak tahu akan dipuji atau
akan dimaki. Ia mendekat dan
berkata dengan ragu2: “Maksudku hanya ingin men-coba2
kepandaiannya karena belum
mengenalnya.”
Muka Jengis Khan cemberut, katanya: “Kau cemburu kepada orang yang
berkepandaian lebih
tinggi darimu, inilah tidak betul. Untung kalian sama2 tidak
terluka, anak muda memang suka
menang, perkelahian juga kejadian biasa, maka urusan ini anggap
saja sudah selesai. Hendaklah kau
ikut aku ke medan perang, setelah pulang dengan kemenangan segera
kunikahkan petriku padamu.”
Maksud kedatangan pangeran Tin-kok ini justru hendak berunding
tentang pelaksanaan
pernikahannya dengan Minghui, sekarang dengan mulut Jengis Khan
sendiri telah berjanji secara
pasti, maka hal ini jauh lebih berharga baginya daripada segala
anugerah yang lain. Cepat ia
mengucapkan terima kasih dan berjanji akan membantu calon
mertuanya itu dengan pasukannya.
Maka segera ia mohon diri dan berangkat pulang.
Lantaran peristiwa ini, Putri Minghui menjadi lesu dan tiada minat
buat berburu lagi. Diam2 ia
mngeluyur pulang untuk merenungkan soal perjodohannya itu, ia
ingin memikirkan suatu akal yang
baik untuk membatalkan perjodohannya dengan Tin-ko.
Sementara itu anak buah Jengis Khan masih ramai mengucapkan
selamat kepada Li Su-lam, tiba2
seorang Bu-su muda menyelinap diantara orang banyak dan mendekati
Su-lam, katanya: “Kau telah
menyelamatkan adik perempuanku, aku mengucapkan terima kasih
padamu.” ~ Berbareng sebelah
tangannya terus menepuk bahu Su-lam.
Su-lam mengira pemuda itu hendak menyatakan simpatik persahabatan
padanya, tak terduga
badannya mendadak terasa enteng, tahu2 dirinya telah kena
dicengkeram oleh pemuda itu sehingga
takbisa berkutik.
Dengan kepandaian Li Su-lam biarpun secara mendadak juga belum
tentu orang dapat
mencengkeramnya. Tapi mengapa kini dia begitu gampang kena dibekuk
oleh pemuda itu?
Kiranya orang Mongol paling mahir bergumul, pertarugan dari jarak
dekat seperti gulat sekarang
adalah kepandaian mereka rata2. Pemuda ini bahkan adalah jago
gumul terkemuka daripada kaum
Bu-su Mongol. Jangankan Li Su-lam memang tidak menduga, sekalipun
siap siaga juga belum tentu
mampu mengelakkan cengkeraman penuda itu.
Dalam pada itu setelah Bu-su muda itu berhasil mencengkeram
Su-lam, menyusul terus
membantingnya. Tapi sekali membanting berbalik memberi kesempatan
baik bagi Su-lam untuk
menyerang balas. Baru saja tubuh Su-lam terangkat dengan gerakan
meronta yang bagus ia
melepaskan diri dari cengkeraman lawan, sebelum badan jatuh
ketanah tangannya sudah berhasil
meraih pergelangan lawan. Sekali betot sambil memutar tubuh,
bentaknya sekali: “Pergi!” ~
Dengan tegak Su-lam dapat berdiri ditempatnya, sebaliknya Bu-su
muda itu malah terbanting jatuh.
Li Hi-ko terkejut dan berseru: “He, jangan! Inilah Si-tian-he
(pangeran keempat)!” ~ namun
seruannya sudah kasip, pangeran keempat itu sudah terlanjur
dibanting jatuh.
Pangeran keempat yang dimaksud adalah petra bungsu Jengis Khan,
yaitu Dulai. Meski dia
terbanting, tapi dia tidak menjadi gusar, setelah melompat bangun
ia malah bergelak tertawa.
Katanya sambil menjabat tangan Su-lam erat2: “Anda Su-lam, kau
memang hebat dan pantas
mendapat gelar ‘ksatria kemah emas’. Apakah kau sudi bergaul
dengan diriku?”
Rupanya semula Dulai penasaran karena ayahnya memberi gelar agung
kepada Su-lam,
makasengaja hendak mengujinya. Sekarang setelah diuji barulah dia
merasakan sendiri, ia berbalik
smat kagum terhadap Li Su-lam. Ia sebut “Anda” kepada Su-lam.
“Anda” dalam bahasa Mongol
berarti “saudara angkat , sahabat karib.”
Sebenarnya Su-lam tidak suka mendekati Jengis Khan dan orang2nya,
tapi Dulai sendiri telah
mengajak bersahabat padanya, dengan sendirinya Su-lam tidak enak
untuk menolak maksud
baiknya.
Sebagai orang muda Su-lam rada senang juga terhadap kepolosan
Dulai, maka dengan tertawa ia
menjawab: “Aku hanya rakyat kecil biasa, mungkin tidak pantas
bergaul dengan kau.”
“Seorang ksatria tidak diukur dari asal usulnya,” ujarnya tertawa.
“Dahulu ayahku juga pernah
menjadi tawanan suku Murkit, tapi sekarang beliau malah diangkat
menjadi Khan yang maha
agung.”
Pernyataan Dulai yang simpatik ini membikin Su-lam tidak ragu2
lagi untuk bersahabat dengan dia,
mereka saling menjabat tangan dan saling menyebut “Anda”.
Tidak lama kemudian haripun melai petang, anak buah Jengis Khan
be-ramai2 berkumpul untuk
mempersembahkan hasil buruan masing2. Jengis Khan bergelak tertawa
dan berkata: “Hari ini
bolehlah kita main2 sepuasnya. Beberapa hari lagi bila prajurit
kita sudah bergerak, maka yang
diburu bukan lagi binatang melainkan berburu manusia.”
Ditengah jalan waktu pulang, saking tak tahan akan rasa
gembiranya, dengan ver-seri2 Li Hi-ko
lantas berkata pada Su-lam: “Sungguh tadi aku merasa kuatir
baginya, siapa tahu kau malah
mendapat pahala. Tampaknya Putri Minghui juga rada naksir padamu.”
Namun Su-lam kurang senang, sahutnya: “Aku toh tidak ingin cari
makan di Mongol sini, peduli
apakah dia Putri atau bukan, yang pasti aku tidak sudi disenangi
mereka.”
Li Hi-ko melengak oleh sikap anak muda itu, terpaksa ia berkata
dengan setengah membujuk:
“Janganlah kau menuruti pikiranmu, betapapun kita masih bernaung
dibawah perintah orang. Kalau
kurang sabar sedikit tentu urusan menjadi runyam.
Su-lam menjadi sangsi apakah ayahnya bisa mengorbankan
kedudukannya sekarang untuk
melarikan diri dengan menempuh bahaya mengingat sikap dan tutur
katanya ini? Sudah tentu ia
tidak berani bertanya terus terang, terpaksa ia mengiakan secara
acuh tak acuh.
Setiba kembali dikemahnya, selesai makan malam, tiba2 ayahnya
muncul lagi.
“Mengapa ayah belum tidur? Adakah sesuatu urusan?” tanya Su-lam.
“Aku ingin bicara sesuatu dengankau dan tidak boleh diketahui
orang lain.”
“Apakah barangkali ayah telah mendapatkan akal bagus untuk
melarikan diri?”
“Bukan urusan ini. Telah kukatakan, setelah menginjak daerah
Tionggoan barulah kita mencari
kesempatan bagus untuk lari. Sementara itu kau harus sabar.”
“Lalu ayah ada urusan apa lagi?” tanya Su-lam.
“Aku menjadi teringat suatu urusan.” Kata Li Hi-ko. “Bukankah
siang tadi Khan bicara dengan kau
tentang ilmu militer ajaran Gak Hui dan han Si-tiong. Leluhur kita
adalah panglima perang dibawah
Han Si-tiong dan banyak meninggalkan catatan2 tentang ilmu militer
secara tidak teratur,
diantaranya juga ada petunjuk2 lisan Han Si-tiong dan cara2
mengatur pertahanan, cara2 mengatur
latihan. Waktu masih tinggal dikampung pernah juga aku bertekad
untuk menyusun dokumen2
pusaka itu menjadi suatu kitab ilmu militer yang berguna. Tak
terduga, sebelum cita2ku terkabul
aku sudah ditawan dan jauh meninggalkan kampung halaman. Selama
ini cita2ku belum pernah
punah dalam benakku. Maka aku ingin tanya, apakah kitab militer
yang belum selesai kususun itu
juga kau bawa serta kemari?”
Su-lam menjadi sangsi. Walaupun benar ucapan sang ayah, namun
ayahnya sekarang sudah bukan
lagi ayahnya dimasa yang lalu, sebelum yakin sepenuhnya akan jiwa
patriot ayahnya harus
dirahasiakan dulu tentang kitab yang dimaksud itu. Maka ia
menjawab: “Ya, tentang kitab militer
itu memang pernah juga ibu membicarakannya padaku, Cuma sayang
kitab itu sudah hilang
ditengah kekacauan perang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar