Senin, 12 Mei 2014

cersil terbaru hkkl 24

Berselang dua hari, Too Teng Su-kou pulang, bersama-sama Tiat Tiang Ceng. Ah Loan dapatkan imam perempuan ini ada beroman sangat bengis, mulutnya lancip, matanya bundar seperti mata burung garuda, meski-pun romannya tidak mengasih, dia bersikap ramah tamah sekali.
“Kau baik-baik rawat lukamu disini,” demikian imam itu. “Jikalau nanti kau sudah sembuh, aku akan ambil kau sebagai muridku. Tentang musuh kau yalah Kang Siau Hoo di Cie.yang dia telah bunuh Liong Cie Khie, dari sana dia buron, mungkin ke Su-coan Utara, tapi kau jangan kuatir, lambat atau laun, kita bakal balaskan sakit hatinya kau orang kaum Kun Lun Pay.”
Ah Loan manggut, ia menyahuti, akan tetapi didalam hatinya, ia berkuatir untuk Kang Siau Hoo.
Setelah itu hari, beberapa hari Tiat Tiang Ceng masih suka datang. Adalah Cen Hian, yang belum pernah muncul pula. Setiap kali Tiat Tiang Ceng datang, dia tentu pasang omong dengan Too Teng Su-kou mengenai halnya Kang Siau Hoo. Karena tempat mereka bicara ada disamping ruangan Lu Cou-su, diruangan luar, dekat dengan kamarnya Ah Loan, si nona saban-saban bisa dengar pembicaraan mereka. Lama-lama Ah Loan-pun jadi mengarti juga bahasanya Tiat Tiang Ceng, hingga ia jadi ketahui bahwa Ceng Hian sudah dikirim gurunya pergi buat penyelidikan ke Su-coan Utara, bahwa satu atau dua kali Ceng Hian pulang, terus dia pergi pula. Kabar yang didapat berbunnyi bahwa Kang Siau Hoo sudah membegal keluarga pembesar negeni di Lo Su Nia serta telah membinasakan bahwa hamba negeri pengiring keluarga pembesar itu.
Dua-dua Tiat Tiang Ceng dan Too Teng Su-kou percaya habis kabar yang didapat itu, karenanya mereka jadi sangat gusar dan sengit, ingin mereka bisa segera cekuk Kang Siau Hoo untuk lantas dibunuh mampus. Dengan adanya peristiwa itu sebagai alasan, mereka jadi tak boleh ijinkan orang yang terlebih gagah itu hidup lebih lama pula dalam dunia kang-ou.
Sebaliknya daripada itu imam dan hweeshio, Ah Loan tidak percaya kabar itu. Ia sudah ketahui baik sifatnnya Kang Siau Hoo, dia tahu pemuda itu bukannya seorang kejam, jahat dan pemogor. Sebaliknya, mendengar hal lukisan roman dan potongannya Kang Siau Hoo yang katanya bemuka hitam dan gemuk, kepalanya besar dan senjatanya golok, ia teringat kepala Liong Cie Khie, ia punya susiok, paman.
Oleh karena pikiran keselamatannya Kang Siau Hoo, kendati-pun kuil ada tenteram, hatinya Ah Loan ada tidak tenang, apa pula kemudian ketka ia tak tampak pula Tiat Tiang Ceng dan Too Teng, buat beberapa hari saja, ia jadi semakin kuatir.
Oleh karena ia dapat beristirahat hari lewat hari, luka-lukanya Ah Loan mulal menjadi sembuh, kemudian selang hampir satu bulan, pada suatu sore, Tiat Tiang Ceng datang bersama-sama muridnya, dengan mereka-pun ajak seorang tua yang sudah ubanan, yalah bukan lain dari pada Pau Kun Lun.
Ah Loan menangis sedih sekali kapan ia telah bertemu dengan engkongnya itu, kemudian sesudah tuturkan ia punya semua pengalaman, yang membuat hatinya tawar. Ia benitahukan sang engkong bahwa ia tidak ingin pulang lagi, bahwa ia hendak sucikan diri didalam Kiu Sian Koan, untuk mana, tentu saja ia tidak sudi bertemu pula dengan Kie Kong Kiat.
“Ya-ya,” ia-pun tambahkan, setelah ia utarakan cita-citanya, “kau juga baik menyingkir ke gunung ini saja, jangan kau pergi kelain tempat agi, disini kau boleh bersembahyang dan bersujut kepada Buddha yang maha suci. Tentang aku, yaya jangan buat kuatir. Lagi beberapa hari, kapan Too Teng Su-kou pulang, aku akan salin pakaian, selanjutnya, yaya tak usah cari-cari pula padaku, harap yaya tidak omong kepada siapa juga perihal aku berada disini!”
Ah Loan menangis.
Cin Hui menjublek, ia bungkam.
Engkong ini punya pakaian juga robat-rabit tak keruan, kumis-jenggotnya kusut seperti bulu domba putih, ditubuhnya ada kedapatan tanda darah, sedang kulit mukanya, yang biasanya merah tua, sekarang menjadi putih pucat. Pada muka itu-pun ada baret-baret.
Dengan sangat berduka, Ah Loan tarik tangannya sang engkong.
“Yaya, kau kenapa?” tanya cucu ini sembari menangis. “Yaya hadapi perkara apa? Sekarang dari mana yaya datang?”
Pau Kun Lun menghela napas, ia ada sangat lesu, ia goyang-goyang kepala, ia tidak lantas menyahuti.
Tiat Tiang Ceng sudah lantas keluar pula dari dalam kamar, sesudah mana, kemudian Ceng Hian pegang tangannya jago tua itu, untuk juga diajak keluar.
Mereka itu pergi kepekarangan, Ah Loan tidak mengikuti, akan tetapi ia pasang kuping.
“Kang Siau Hoo telah dapat tangkap kau tetapi ia tidak bunuh padamu, kenapa?” demikian pertanyaan dengan suara yang keras dari si pendeta bertoya besi.
“Melihat dia punya sikap,” sahut Pau Kun Lun, selelah ia menghela napas, “dia rupanya hendak bawa aku ke Tin-pa ke gunung dimana dulu aku bunuh ayahnya, disitu barulah dia hendak bereskan aku. Mungkin secara demikian barulah hatinya bisa puas …”
“Dan siapa yang lakukan kejahatan di Loo Su Nia itu?” Tiat Tiang Ceng tanya pula.
“Itulah aku tidak tahu,” sahut Cin Hui. “Hanya aku berani tanggung dengan jiwaku yang tua ini, itu pasti bukan perbuatannya Liong Cie Khie!”

Jilid 27
MENYAMBUNG itu, terdengar pertanyaannya Ceng Hian : “Bagaimana dengan anaknya Cin Siau San itu bocah, apa benar dia binasa di tanganmu?”
Cin Hui melainkan menghela napas ia tidak menjawab.
“Menurut katanya muridku,” terdengar pula Tiat Tiang Ceng, dengan suaranya yang mendesak, “di Su-coan Utara kau telah bunuh belasan bocah cilik, maka aku pikir, kau bukannya satu enghiong atau hoohan. Coba tadi aku tidak saksikan kau terlalu dikekang oleh Kang Siau Hoo, hingga aku merasa berkasihan terhadapmu, tidak nanti aku tolongi kau. Sekarang lekas bilang, bagaimana kepandaiannya Kang Siau Hoo bila dia dibandingkan dengan aku Tiat Tiang Ceng?”
Kembali jago tua itu menghela napas.
“Kepandaiannya Kang Siau Hoo benar-benar ada sangat liehay,” ia menyahut. “Aku Pau Cin Hui adalah seorang yang tangguh, akan tetapi menghadapi dia, tak dapat tidak, aku mesti mengaku kalah … Suhu, tentang nama kau, sejak tiga piluh tahun yang lampau, aku telah mengaguminya, akan tetapi, apabila kau bertemu dengan Kang Siau Hoo, pasti aku akan ... ”
Tiat Tiang Ceng ada demikian mendongkol, hingga sebelum orang bicara habis, ia sudah banting kakinya, hingga menerbitkan suara keras, sampai pintu dan jendela pada tergetar.
“Ceng Hian, pergilah kau ke Tin-pa.“ berteriak ini guru. “Kau cari dia punya murid supaya muridnya itu datang menyambut dia!“ Tapi selelah itu, ia kata pada jago tua itu: “Aku telah tolongi kau dan cucumu perempuan, aku hendak lihat bagaimana di belakang hari kau orang balas budiku! Sekarang aku hendak pergi cari Kang Siau Hoo, nanti besok aku akan ajak kau turun gunung, untuk kau saksikan mayatnya dia itu yang aku telah buat mampus!”
Sampai disitu, Ah Loan dengar suara tindakan kaki yang riuh, yang terus sirap, seperti juga semua orang sudah berlalu, ia lantas tutupi mukanya, ia menangis dengan sedih sekali. Ia sekarang mengarti tentang kesukarannya ia punya engkong, siapa ternyata baru ditolong dari tangannya Kang Siau Hoo.
Sesaat kemudian, Nona Pau dengar elahan napas panjang diluar jendela. Ia kenali itu ada suaranya ia punya engkong, ia jadi semakin berduka, hingga ia menangis tersedu-sedu.
“Yaya, kau sangat telengas!” berkata ia. “Apakah yang kau telah lakukan di Su-coan Utara? Kejahatan di Lao Sit Nia pasti ada perbuatannya Liong Cie Khie, apa perlunya kau masih lindung dia? Kang Siau Hoo tidak binasakan yaya karena ia tak tega hati, kenapa sekarang kau pancing kemurkaannya Tiat Tiang Ceng untuk dia pergi bunuh Kang Siau Hoo? Kau kejam, yaya … aku …”
Sebenarnya Ah Loan hendak teruskan bilang: “Aku punya penghidupan-pun bukankah telah dirusak oleh kau? Kenapa dulu yaya paksa aku menikah dengan Kie kong Kiat?” Akan letapi, sebelum ia dapat ucapkan itu, ia dengar engkongnya gedruki kaki dan terus bentindak pergi. Ia berhenti menangis, karena ia merasa heran.
“Kenapa tabeatnya engkong berubah jadi begini rupa?” tanya ia pada dirinya sendiri. “Tentang perbuatannya diwaktu muda, aku tidak tahu, akan tetapi ada sialnya yang aku tahu benar, engkong ada berhati murah. Kenapa baru saja keluar merantau pula, lantas ia jadi kejam begini? Apakah mungkin, karena usianya yang tinggi, ia jadi linglung?“
Berbareng dengan itu, Ah Loan-pun berkuatir engkong itu menjadi nekat, timbul pikirannya yang pendek, atau dia akan turun gunung, akan bantu Tiat Tiang Ceng pergi kepung Kang Siau Hoo.
Tidak ayal lagi, nona ini keluar dari kamarnya. Ia pergi kepekarangan dimana ia tidak lihat engkong itu, maka ia terus pergi ke depan, dan mana ia-pun pergi kebelakang, karena di depan, Cin Hui-pun tidak ada. Ia mulai sibuk. Itu waktu, sang malam telah datang bersama cuacanya yang gelap, sedang disitu ada banyak pepohonan yang lebat, sampai-pun sinar bintang-bintang tak dapat menembusnya. Sebaliknya, sang angin menyebabkan pohon-pohon cemara menerbitkan suara berisik.
Dengan air matanya meleleh turun, Ah Loan kembali kekamarnya. Itu antero malamn, ia tidak dapat tidur, ia punya pikiran tidak tenteram, ia berkuatir dan berduka.
Selama satu malam itu juga Pau Cin Hui luntang lantung saja digunung itu. Ia tahu Tiat Tiang Ceng pergi cari Kang Siau Hoo tetapi ia tak tahu, apa hweeshio itu sanggup lawan si anak muda yang gagah. Ia ada sangat menyesal yang ia sudah kesalahan membinasakan Cin Siau Hiong. Ia merasakan tegoran cucunya barusan, ia berduka.
“Jikalau muridnya lihat Tiang Ceng berhasil mengajak Thio Cie Cay atau Ma Cie Hian datang kemari, apa aku ada muka akan menemui mereka?“ demikian ia berpikir. “Umpama kata mereka ajak aku pulang, tetapi selama Kang Siau Hoo masih belum mati, dia tentu masih belum mau sudahi urusannya dengan aku …”
Dengan pikiran yang kusut Cin Hui terus jalan sana dan jalan sini tanpa tujuan, sesudah ia lelah, ia berhenti dibawah sebuah pohon cemara, ketika ia rebahkan diri, ia kepulesan. Ketika ia mendusin, hari sudah bukan pagi lagi. Untuk tangsel perutnya yang lapar, ia munguti buah cemara, ia kepe kulitnya dan dahar itu.
Tidak antara lana datanglah tiga ekor menjangan, yang mendekati ia, akan cium ia berulang-ulang, nampaknya binatang itu jinak sekali, maka itu, ia cabuti rumput, ia kasih binatang itu makan sambil usap-usap tanduknya. Dengan cara demikian sambil main sama menjangan itu, ia lewatkan temponya. Selama itu, ia tidak lihat Tiat Tiang Ceng, dan Ceng Hian-pun tidak kembali bersama ia punya murid atau murid-murid. Ia menjadi heran, ia bersangsi.
“Apa bisa jadi pertempurannya Tiat Tiang Ceng dengan Kang Siau Hoo masih belum ada keputusannya?” ia menduga-duga. “Atau bisa jadi Tiat Tian Ceng telah rubuh ditangannya Siau Hoo dan ia tak ada mudah untuk balik kemari? Apa mungkin beberapa muridku, yang berada tidak terlalu jauh dari sini, seperti Lou Cie Tiong, Ma Cie Hian dan Thio Cie Cay, pada tidak sudi mengaku lagi aku sebagai guru, hingga mereka tidak suka datang menyambut aku?”
Cin Hui terus berada dalam kesangsian, kebingungan, kekuatiran dan kelaparan juga. Ia-pun tidak berani kembali ke kuil, untuk menemui cucunya, buat minta makan.
Adalah selagi Pau Kun Lun berada dalam kedudukannya yang sulit itu, Kang Siau Hoo dapat mencari ia, dan kapan jago tua ini tengok itu musuh, ia kaget bukan kepalang, semangatnya seperti terbang, tidak ayal sedikit juga, ia lari ke arah kuil, ia masuk terus keruangan Lu Cou-su, akan ketemui cucunya.
“Siau Hoo datang! Dia kejar aku. Tolong aku …“ demikian ia mohon pada cucunya itu. Sembari berkata begini, dengan tangan gemetaran, engkong ini cekal tangannya sang cucu.
Ah Loan kaget, ia berduka berbareng mendongkol.
“Kang Siau Hoo, pikiranmu terlalu cupat!“ kata ia seorang diri, dalam hatinya. “Engkong sudah lari ke ini gunung, sudah tinggalkan pergaulan, kenapa kau masih susul ia dan hendak membinasakan juga?”
Selagi Ah Loan berpikir demikian, Siau Hoo menggedor pintu, maka Si nona lantas pergi keluar, dengan kesudahan seperti apa yang kita sudah ketahui, nona itu merampas orang punya pedang, untuk dipakai menikam diri, walau-pun Siau Hoo mencegah , ujung pedang dari tenggorokan lalu mengenai cada. Tadinya Ah Loan pikir, dengan beri keterangan pada engkongnya, sang enkong nanti mengerti duduknya hal dan suka maklum, diluar dugaan engkong itu gusar dan pergi meninggalkan dia, hingga dia jadi bertambah berduka, sedang itu waktu lukanya ada hebat, terpaksa ia antap Siau Hoo bawa ia kedalam kamar untuk rawat ia. Disini ia jadi dapat ketika akan buka rahasia hatinya kepada si anak muda, siapa juga utarakan isi hatinya kepadanya.
Kesuiltan tidak berhenti sampai disitu. Apa mau Too Teng Su-kou datang dengan terus satrukan Siau Hoo, yang ia bokong hingga pemuda itu terluka peluru besi, hingga keduanya jadi bertarung dengan kesudahan imam itu kalah dan mesti angkat kaki sambil menantang musuhnya bertanding pula nanti di Bu Tong San.
Demikan dengan Ah Loan, sesudah Siau Hoo berangkat ke Un-sin-tin, akan cari kereta, ia terbenam sendirian dalam kusutnya pikiran, hingga ia ngelamun dan bayangkan pengalaman atau penderitaannya yang maha hebat, tetapi diakhirnya pikirannya toh terbuka juga hingga ia jadi hanya berduka dan bergirang berbareng. Ia-pun punyakan harapan besar, bagaikan pohon yang sudah kering mendapat air dan jadi segar pula.
“Semua tidak ada yang salah kecuali aku ... “ demikian ia putuskan. “Aku cintai Siau Hoo, mengapa aku tidak utarakan itu, kenapa aku manda yaya nikahkan aku dengan Kong Kiat? Coba aku pisahkan diri dari kaum Kun Lun Pay, aku cari Siau Hoo dan nikah padanya, bisa jadi ia tidak sampai desak yaya ... Ah, kenapa dulu aku tidak berpikir begini?”
Malam itu, sehabisnya semua imam bersembahyang dan masuk tidur, Kiu Sian koan jadi sangat sunyi, apa yang masih terdengar adalah sampokan angin antara pohon-pohon cemara dan kucing hutan. Sekali pun si imam yang rawati si nona sudah tidur menggeros. Cuma Ah Loan sendiri yang masih belum tidur, karena rasa sakinya mengganggu padanya. Justeru itu, diluar Too Teng Su-kou muncul pula di kuil itu.
Too Teng ini, seperti diketahui ada sucie saudara seperguruan dan Tiat Tiang Ceng si Pendeta Aneh. Dia gagah seperti sang sutee, ia biasa merantau tak ketentuan, benar dia bukan satu imam cabul, akan tetapi ia tak pantang mencuri atau membunuh orang. Dua-dua su-cie dun sutee ini pernah lakukan kejahatan, tetapi juga benar, sering merela lakukan perbuatan-perbuatan mulia. Melainkan ada satu cacat luarbiasa dari mereka, yalah mereka tidak senang, mereka tidak mau ijinkan ada lain orang kangou yang terlebih gagah daripada mereka, atau mereka mesti mensatrukannya.
Siok Tiong Liong ada satu jago yang ke sohor, ia menjagoi sejak umur muda, pada sebelumnya Tiat Tiang Ceng dan Too Teng muncul, tapi setelah ia berusia lanjut kedua imam itu desak padanya hingga terpaksa ia pindah kelain tempat, untuk jauhkan diri.
Cuma ada satu orang, yang kedua imam tidak sanggup ganggu, sebaliknya merekalah yang dibuat malu. Dia ini ada satu siucay tua, yang bugeenya liehay sekali, yang tak ketentuan tempat kediamannya. Orang tua ini tidak berniat membinasakan mereka sebagaimana pernah dia menasehati mereka itu, katanya : “Kendati kau orang sudah malang melintang di dunia kangou dan pernah juga membunuh sejumlah jiwa. Tapi karena kau orang juga pernah lakukan berbagai kebaikan, kebaikan itu sukalah aku pakai tebus kejahatan kau orang, aku suka mengasi ampun, hanya mulai saat ini selanjutnya kau orang mesti masuk kedalam gunung untuk sucikan diri, jangan lagi kau orang hidup dalam dunia kang-ou.”
Itu adalah kejadian selang dua atau tiga belas tahun yang sudah. Ketika itu dimulai Tiat Tiang Ceng berikan janjinya, akan tetapi didalam hati ia dan sucienya tidak puas, malah mereka memikir untuk menuntut balas.
Siucay tua itu sering muncul diantara Cin Nia dan Ngo Bie San, karena itu terpaksa Tiat Ciang Ceng berdua perbataskan diri. Berbareng dengan itu mereka berdaya akan menerima murid, supaya kemudian murid-murid itu bisa digunai sebagai kaki tangan mereka untuk mereka lawan musuh besar itu.
Begitulah sejak sepuluh tahun yang lalu Tiat Cian Ceng dapati Ceng Hian sebagai muridnya, dan belakangan ia dapatkan juga Tio Hek Hou, Too Teng Su-kou sebaliknya belum mempunyai murid, ini disebabkan ia ingin dapati murid perempuan serta juga yang sudah mengarti silat. Untuk lebih gampang dididik. Dia dapatkan cuma dua orang perempuan, yang berderajat utuk jadi muridnya, ialah Pau Ah Loan dan Cin Siau San, tetapi mereka ini masing-masing ada cucunya Pau Kun Lun dan nona mantunya Long Tiong Hiap, ia tahu mekipun ada jalan muridnya, mereka tidak bakal ikuti ia terus menerus. Tak dapat ia gunai tenaga mereka, ia batalkan niatnya itu. Adalah sekarang setelah Kun Lun Pay runtuh, Ah Loan terlunta-lunta malah nona itu ditolongi Tiat Tiang Ceng dan dibawa ke kuilnya, lalu timbul pula keinginannya akan ambil nona itu menjadi muridnya. Ia pulang ke kuilnya justeru Kang Siau Hoo-pun datang untuk tolongi si nona.
Kang Siau Hoo adalah musuh besar Too Teng, melulu disebabkan Siau Hoo ada muridnya loo-sinshee, si siucay tua, ia benci orang punya murid ini, justeru ini pemuda disangka olehnya sudah membinasakan Tiat Tang Ceng, ia punya sutee, hingga mau membalas sakit hati. Ia sudah berhasil bokong musuh itu, siapa tahu ia sendiri kena ditotok sampai ia rubuh tidak berdaya, busurnya dibengkoki, goloknya dipatahkan. Ia anggap semua itu ada hal yang memalukan ia, hingga sakit hatinya jadi bersusun tindih. Ketika ia angkat kaki, ia tidak pergi jauh, ia sembunyi diatas sebuah pohon cemara. begitu lekas ia lihat Siau Hoo turun gunung, ia segera kembali ke kuilnya, terus saja ia datangi Ah Loan.
Nona Pau sedang rebah sambil merintih ketika ia dengar tindakan kaki.
“Eh, kenapa kau kembali?” tanya si nona sebelum orang memasuki kamarnya. “Baik kau jangan sewa kereta, aku rasai lukaku ada hebat sekali, barangkali itu tak dapat disembuhkan, hingga aku tak dapat ikut pergi. Kau tetapkan hati, aku sekarang sudah berkeputusan tetap, aku tak menyesal lagi aku akau jadi isterimu!”
Ah Loan menyangka pada Siau Hoo, ia mengucap demikian tanpa tunggu orang muncul, siapa tahu sebagai jawaban, ia dengar suara tertawa aneh yang disusul dengan jengekan : “Kemarin ini kau nyatakan ingin menjadi imam, sekarang kau hendak menikah! Malah kau hendak sia-siakan suamimu! Oh, perempuan cabul!“
Tidak terhingga adalah kagetnya sinona, apa-pun setelah ia kenali orang punya suara dan lihat orang punya roman. Too Teng ada punya bahan api siong-hio, kapan itu ditiup menyala, maka tertampaklah imam ini punya roman bengis dan mata yang mengancam sinarnya. Ia lantas saja menangis.
“Su-kou, kau tidak tahu hal-ikhwal kita …“ ia berkata. “Denan Kang Siau Hoo, aku ada punya perkenalan sejak sepuluh tahun yang lalu ... ”
Too Teng tidak menjawab, hanya tertawa mengejek, terus ia cari dua lembar tambang, sesudah padamkan apinya ia menghampiri si nona, untuk ringkus padanya.
Ah Loan rasai orang punya tangan yang berat dan kuat, sudah begitu, ia sedang terluka, tak berdaya ia ketika imam itu ringkus ia dengan keras, malah saking sakit, ia menjerit, kemudian ia lupa akan dirinya!
“Aku nanti bawa kau pergi!” kata si imam dengan sengit, walaupun orang sudah pingsan. “Aku nanti nikahkan kau! Setiap kali kau nikah, aku nanti bunuh suamimu, supaya kau bisa menikah terus dengan suami yang baru!”
Imam ini tidak dapat kendalikan diri, ia hinai si nona itu yang tidak berdaya. Kemudian ia angkat orang punya tabuh, yang ia beri naik atas panggulannya, terus ia bawa pergi dari kuilnya itu turun gunung.
Ah Loan pingsan, ia tidak tahu segala kejadian atas dirinya, ketika belakangan ia sadar dengan pelahan-lahan, ia dapatkan dirinya masih diringkus dengan keras, ia tetap tergendol imam perempuan yang bengis itu. Hebatnya setiap kali Too Teng menindak yang mana berarti tubuhnya turut bergerak, ia berjengit, karena ia merasakan sakit skali. Too Teng sendiri tidak pernah lalai, jalannya makin lama makin cepat, dia berlari-lari, agaknya dia berkuatir.
Beberapa jauh ia sudah dibawa pergi, Ah Loan tidak tahu, hanya tiba-tiba, ia dengar tindakan kaki berlari-lari dan seekor kuda disebelah belakang ia, habis itu, Too Teng berlompat ke pinggir jalanan.
“Bur!“ demikian satu suara.
Ternyata imam itu sudah loncat ke air yang tidak dalam, tapi kedua kakinya toh terendam di air. Ia dibawa pergi ke kolong jembatan dimana imam ini umpatkan diri.
“Jangan bersuara!“ imam itu-pun mengancam, dengan bengis.
Hal 26 dan 27 Hilang/robek!
… minta banyak tempo. Nyata orang lelaki itu ada liehay sekali, baru tiga gebrak, ia sudah hajar si imam perempuan hingga rubuh, tatkala dia merayap hendak berbangkit, orang itu sudah mendahului mendupak padanya, hingga tidak tempo lagi ia rubuh pula, tubuhnya bergulingan beberapa kali.
Selagi orang bergulingan, si orang lelaki samber Ah Loan, untuk dikempit, kemudian dengin gesit dia lompat naik keatas kuda, yang segera ia kasih kabur meninggalkan si imam perempuan.
Ah Loan kaget dan tidak mengerti, ia merintih bahna kesakitan. Ia punya napas-pun mengorong.
“Siapa kau?“ ia tanya. “Apakah kau ada orang yang Kang Siau Hoo suruh tolongi aku?”
Pertanyaan itu tidak dapat jawaban, itu orang lelaki diam saja, kudanya terus dikasih larat. Terang sekali dia ada bertenaga sangat kuat dan sebat, akan tetapi kempitannya ada enteng. hingga si nona tak usah merasakan sakit.
Sekejap saja, kuda itu sudah kabur melalui tiga atau empat puluh lie. Selama itu, tidak pernah orang itu tukar ia punya tangan, rupanya sama sekali ia tidak merasa pegal.
Tempo cuaca sudah menjadi terang betul, barulah itu orang letaki berhentikan lari kudanya, ia loncat turun, akan letaki tubuhnya Ah Loan diatas rumput, diberi turunnya secara sangat hati-hati. Kemudian, ia keluarkan sebuah pisau kecil, yang ia pakai memotong putus tambang yang meringkus nona itu, hingga dilain saat, Ah Loan sudah merdeka.
Sembari bekerja, orang itu menggoyang-goyang tangan, mengasi tanda supaya Nona Pau tidak buka mulutnya.
Ah Loan ada sadar betul. Ia lihat orang berusia empat-puluh lebih, tubuhnya tidak tinggi. air mukanya tidak terlalu terang, kuncirnya digulung diatas kepalanya. Orang itu punya baju ada pendek, sudah pecah disana-sini, juga kotor, sebagaimana celananya, yang juga pendek, yang asalnya ada hitam, tapi karena tua dan terkena lumpur, warnanya jadi tak keruan macam mirip dengan warna bajunya. Dia punya kedua kaki, yang berlepotan lumpur, ditutup dengan sepatu rumput. Dengan dandanannya itu, dia adalah seorang desa yang melarat atau satu bujang tukang nyalakan api diwarung tegalan.
Masih orang itu tdak bicara, ia hanya antap Ah Loan beristirahat, hanya kemudian, ketika dari kejauhan tertampik ada kereta mendatangi, ia angkat tubuhnya si nona, untuk diberi naik atas kudanya.
Ah Loan diam saja, bagaikan mayat, ia antap dirinya dinaikkan atas bebokong kuda, ia juga tidak bicara. Ia melainkan tahu, kuda dikasi jalan dengan pelahan.
Lama juga mereka sudah ambil tempo, akhirnya mereka sampai disatu tempat di mana segera terdengar suara anjing menggonggong. Ah Loan tidak tahu, berapa lie sudah dilewati. Mereka sekarang memasuki sebuah kampung, kedalam suatu tempat dengan pekarangan yang lebar. Disitu ada sejumlah orang yang menghampiri mereka.
“Eh, apakah artinya ini? Entah dari mana toaya ini bawa-bawa orang perempuan?” demikian Ah Loan dengar orang saling tanya, agaknya mereka itu merasa heran.
Orang itu mengarti bahwa orang herankan dia, dia cuma tertawa, dengan tidak buat suatu apa, ia jalan lerus, sampai di depan sebuah rumah tanah, ia berhenti, ia angkat tubuhnya nona itu, untuk dibawa masuk kedalam rumah itu, yang mirip dengan gubuknya si orang ronda.
Didalam gubuk ada sebuah pembaringan tanah, diatas itu ada tergelar selembar kasur, keatas itu, Ah Lan diletaki. Sampai disitu, orang ini awasi Si nona,
Orang-orang tadi telah datang berkumpul, mereka bergerumuan dimuka rumah tanah itu terus sampai didalam, dimuka pintu, yang menjadi penuh.
Ah Loan merintih, tapi sekarang ia menanya.
“Aku tahu kau ada orang baik, tapi tempatmu ini tempat apa?”
Orang itu tidak menjawab, hanya dengan jari tangannya, ia tunjuk ia punya hidung, ia perlihatkan ia punya jempol, disusul sama dipentangnya, digerakinya kedua lengannya, akan akhirnya, ia tunjuki ia punya kelingking.
Ah Loan tidak mengarti, ia menjadi heran sekali.
Orang banyak, yang menyaksikan itu, pada tertawa berkakakan.
“Dia ada seorang gagu, dia tak dapat bicara,” kemudian seorang tua beritahukan Nona Pau. “Dia juga ada tuli. Melainkan wan gwee kita yang mengarti ia punya pembicaraan dengan gerak-gerakan tangannya itu.”
Ah Loan jadi tambah-tambah heran.
“Bagimana Si gagu tolong aku? Kenapa?“ demikian ia tanya dirinya sendiri.
Si gagu mengarti yang orang tak mengarti dia, agaknya dia sibuk, maka kembali ia geraki ia punya jari-jari tangan dan kedua lenganya itu, sekali ini, ia bersikap seperti menelad burung terbang, hingga kelakualnya itu membuat semua orang yang ada pegawai-pegawai disitu ada tertawa terpingkal-pingkal, hingga mereka tak dapat tutup mulut mereka …
Sementara itu ada orang yang telah pergi memberi kabar pada wan gwee, hartawan yang menjadi tuan rumah atau pemiik dan kampung itu, yang rumahnya besar dia ini sudah lantas muncul. Ia sudah tua sudah kumisan, tangannya menyekal sebatang tongkat, pakaiannya dari sutera, romannya ada manis budi.
Kapan Si gagu lihat wan-gwee itu, segera ia bicara pula dengan kedua tangannya. Ia pentang kedua tangannya, yang ia geraki kembali seperti burung terbang. lalu ia tunjuk Ah Loan seraya terus bersikap sebagai orang memukul tambur dan meniup terompet.
Hartawan tua itu mengawaai, ia berpikir, akhirnya ia manggut-manggut dan tertawa.
Lalu, sambil tunjuk si gagu itu, ia bertanya pada si nona : “Dia ini gagu tetapi ia ada satu hiap-kek, orang gagah yang hatinya mulia. Dia-pun ada punya kepandaian yang liehay. Aku sendiri ada Gan Pek, pada dua puluh tahun yang lalu, aku ada memangku pangkat. Pernah aku menjadi Too-tay di Bu-hu-too di propinsi An hui. Dua kali sudah Si gagu ini tolongi aku punya jiwa. Dia benar gagah dan mulia. Baru belakangan ini dia datang mencari aku disini. Menurut dia punya gerak-gerakan tangan itu, aku duga dia ada punya satu saudara seperguruan, entah suheng atau sutee, dan namanya barangkali Hoo atau Au, dua-duanya berarti burung. Dia datang ke Siamsay Selatan ini, untuk cari saudaranya itu. Aku beri dia tinggal disini. Sering-sering dia pergi dan kembali. Barusan dia hunjuki gerakan memukul tambur dan meniup terompet, rupaya dia beritahukan aku bahwa kau ada isterinya dia punya saudara itu karena mana, dia jadi sudah bawa kau kemari. Aku cuma menduga-duga, nona, dugaanku itu benar atau salah, harap kau tidak buat kecil hati.”
Hartawan ini berdiam sesaat, lantas ia melanjutkan.
“Aku lihat kau terluka, nona, siapa sudah aniaya padamu?” tanya ia. “Nona asal dari mana?”
Sekarang Ah Loan mulai mengarti. Rupanya Si gagu ini adalah suheng, saudara tua dalam perguruan, dari Siau Hoo. Dan ia menjadi sangat berduka, hingga ia lantas saja menangis. Ia-pun merintih. Tapi hartawan itu tanya ia, ia mesti menjawab. Karena ada hal-hal yang ia tak dapat dijelaskan, ia bicara dengan ringkas.
“Aku benar ada isterinya Kang Siau Hoo,” ia aku dengan terpaksa. “Satu penjahat perempuan sudah begal aku, baiknya ada si gagu ini yang tolongi aku ditengah jalan. Aku tidak punya rumah sekarang, aku ingin sekali bisa bertemu dengan Kang Siau Hoo ... ”
Gan Wan-gwee menghela napas, kelihatannya ia sangat menaruh perhatian, ia merasa berkasihan terbadap nona ini.
“Apakah kau tahu dimana adanya Kang Siau Hoo sekarang?” ia tanya.
“Boleh jadi dia berada di kuil Kiu Sian Koan di In Ciat Nia,” sahut Ah Loan sesudah dia merintih.
Gan Wan-gwee berdiam. Ia tidak kenal kuil itu dan gunungnya, ia jadi tidak bisa memberkan lukian apa-apa pada Si gagu. Tidak ada jalan lain, ia lantas geraki kedua tangannya, seperti sayap burung terbang, lalu ia menjambret-jambret ke arah udara.
Si gagu mengerti tanda-tanda itu, yalah ia ia disuruh pergi cari kang Siau Hoo, maka ia lantas manggut-manggut dan segera keluar pula dari rumahnya, nampaknya ia sangat gembira.
Wan-gwee sendiri terus perintah satu orangnya masuk kedalam, untuk panggil beberapa bujang perempuan guna mereka layani dan rawat nona Pau.
Tidak lama nona Wan-gwee bersama nona mantu dan cucunya perempuan-pun muncul, akan tengok itu tamu perempuan. Nyonya rumah dengan manis-budi anjurkan Ah Loan rawat diri baik-baik.
“Ah Loan ada sangat berterima kasih untuk orang punya kebaikan itu. Akan tetapi disebelah itu, ia merasakan lukanya menjadi terlebih hebat akibat penganiayaannya Too Teng dan ia mesti tergendol dan rebah melintang diatas kuda, yang bawa ia larat, maka itu, sambil merintih, ia kucurkan air mata.
Itu waktu, Si gagu telah pergi untuk bersantap pagi. Beberapa chungteng, pegawai wan-gwee, puji ia sambil unjukkan jempolnya. Ia kelihatannya girang ia sampai tepok-tepok dada. Habis dahar, ia pergi tuntun kudanya, akan keluar dari kampung itu, Gan-kee-chung, dengan ikuti jalan besar ia kabur ke barat.
Si gagu ini tidak bisa bicara, ia juga tidak kenal mata surat, akan tetapi, pada dua puluh tahun yang lampau, ia telah ikuti gurunya merantau, karena itu, ia kenal baik berbagai propinsi dan jalanannya, malah ia tahu juga, gunung mana ada beberapa pay atau tugu. Disebelah itu, ia pernah jadi sebagai bayangannya Kang Siau Hoo.
Di hari ke dua setelah Siau Hoo turun gunung, Si gagu telah dapat tugas dari gurunya. Loo-sinshe itu, Si siucay tua, ketahui sampai dimana kepandaiannya Siau Hoo, muridnya yang baru itu, dan ia-pun kuatirkan muridnya ini nanti gunai kepandaiannya untuk main gila. dari itu ia ingin menilik. Untuk ini, ia kirim si gagu. Ketika ia berikan titahnya, ia ambil secabang pohon, dengan itu ia corat coret ditanah, membuat peta jalanan. Si gagu lantas mengarti bahwa ia dimestikan kuntit suteenya.
Buat belasan tahun si gagu kenal sang sutee, akan tetapi sampai segitu jauh ia tidak tahu she dan namanya Siau Hoo, hanya pernah satu kali, diwaktu mereka lihat burung hoo terbang melayang-layang, Siau Hoo hunjukkan huruf itu pada suhengnya, ia tunjuk burung itu, terus ia tunjuk dirinya sendiri, maka barulah Si gagu tahu, sutee ini bernama Hoo.
Si gagu tidak tahu setelah seberangi sungai, Siau Hoo telah beli kuda, ia jalan dengan ikuti penghunjukan gurunya, tapi karena ia berjalan kaki, walau-pun ia jalan cepat, ia tak dapat candak suteenya itu. Inilah sebabnya, baru setengah bulan yang lalu, ia sampai di Gan-kee-chung, dirumahnya si wan-gwee she Gan bekas too tay yang tinggal di distrik Seng-kau. Ia hargai toa-tay itu, yang ada satu pembesar jujur, sedang juga, adalah si too-tay yang paling mengarti ia punya gerak-gerakan tangan. Baru dua hari ia tinggal bersama Gan Wan-gwee, lantas ia lanjutkan perjalanan, menuju ke Tin-pa. itu adalah tempat yang gurunya utamakan dalam corat-coretnya. Sampai didaerah ini, ia lantas singgah, ia segera mulai cari Siau Hoo. Ia sudah pergi ke Pau-kee-cun, ke Bie Chomg San, In Ciat Nia juga, tidak lantas ia berhasil mencari ia punya adik seperguruan. Sebaliknya, ia dapat lihat Tiat Tiang Ceng dan Too Teng Su-kou. Ia kenal itu dua su-cie dan sutee, yang dimatanya adalah orang-orang galak dalam kaum kangou, ia lantas perhatikan mereka, hingga ia curigai mereka. Ia percaya, mereka hendak lakukan sesuatu, ia segera pasang mata, ia ingin dapati Tiat Tiang Ceng punya perbuatan buruk, supaya ia bisa mendahului turun tangan.
Demikian datanglah itu hari, yang Kang Siau Hoo sampai bersama-sama Ngo Kim Piu dengan mengiringi Pau Kun Lun sebagai orang tawanan, dan justeru Siau Hoo pergi meninggalkan kawan dan musuhnya itu dirumahnya si pemburu suami-isteri, Tiat Tiang Ceng yang senantiasa intip Siau Hoo sudah lantas datang, untuk turun tangan. Hweeshio ini tolongi Pau Cin Hui sambil dilain pihak bunuh Ngo Kim Piu dan suami-isteri pemburu itu. Kejadian ini, si gagu ketahui dengan baik.
Si gagu-pun menonton dari tempatnya sembunyi ketika Siau Hoo layani berkelahi pada si pendeta yang tenaganya besar. Ia kagumi ia punya sutee itu, yang kepandaiannya ada sempurna. Dan tempo Tiap Tiang Ceng kena dihajar rubuh, jatuh menggelinding kebawah gunung, adalah ia yang susul pendeta itu, yang ia bunuh, sesudah mana, ia ambil seekor kuda, untuk dibawa pergi. Ia tidak pergi jauh, ia buang kepalanya Cie Khie disatu selokan, kuda itu ditambat, di tempat yang tersembunyi, lalu ia kembali, akan awasi terlebih jauh sepak terjangnya ia punya sutee.
Siau Hoo berhasil menemui sepatu merahnya Ah Loan, pemuda ini telah kawal si nona didalam kamarnya, selagi si nona terluka, semua itu si gagu dapat lihat dengan matanya sendiri. Karena ini juga, ini suheng sangka nona itu adalah isteri atau tunangannya sang sutee. Diam-diam ia tertawai laga-lagunya sutee itu.
Satu hal membuat si gagu ini gusar terhadap sang sutee. Yalah ketika Siau Hoo totok rubuh pada Too Teng Su-kou. Ia anggap perbuatan itu ada semberono, ada menyalai pesan dari guru mereka untuk tidak sembarang gunai Tiam-hiat-hoat. Di saat ia pikir untuk berikan hajaran pada sutee itu, ia justeru saksikan Siau Hoo telah tolongi si imam perempuan, kejadian ini membuat amarahnya reda, apa pula ia lantas lihat sesudah keluar dari kuil, Too Teng umpatkan diri diatas pohon cemara, hingga ia menduga, perkara bakal ada ekornya. Maka itu, ia terus umpatkan diri, ia hendak lihat kejadian selanjutnya, ia juga ingin ketahui Siau Hoo sanggup atau tidak layani terus imam perempuan yang licik itu.
Apa yang terjadi terlebih jauh adalah Kang Siau Hoo sudah berlaku alpa, malam-malam dia pergi turun gunung, untuk mencari kereta, hingga ketika yang baik itu sudah tidak disia-siakan oleh Too Ceng, siapa muncul pula di kuilnya, untuk culik Ah Loan, yang dia bawa lari.
Dan hal ilmu lari keras, Too Ceng ada terlebih lihay daripada si gagu, ia-pun kenal baik jalanan digunungnya itu, maka itu, ia buat si gagu ketinggalan, hingga Si gagu itu terpaksa kembali ketempat sembunyian kudanya, buat dengan menunggang kuda, datang mengejar pula imam yang licin itu.
Si gagu ada cerdik, ia percaya ia sudah lewati si imam, ia lantas saja pakai akal, yalah ia antap kudanya ditepi jalan, ia sendiri umpatkan diri. Ia berhasil, ia kena akali Too Ceng, siapa mengira kuda itu dia bisa culik. Tadinya si gagu pikir untuk binasakan imam perempuan itu, disaat terakhir, ia memberi ampun. Ia ingat Si imam ada orang perempuan dan ia malu untuk berlaku telengas. Demikian, sesudah bebaskan Too Ceng, ia bawa Ah Loan ke Gan-kee-chung, ke rumahnya bekas tootay she Gan itu. Adalah setelah dapat usul dari Gan Wan-gwee, ia berangkat pula akan cari ia punya sutee.
Ditengah jalan, Si gagu ini sudah pikir:
“Kapan aku bertemu sama Siau Hoo, paling dulu aku mesti sentil kupingnya sampai beberapa kali, habis itu aku mesti gusur dia ke hadapan suhu, buat minta suhu tanya padanya, kenapa dia lancang gunai Tiam-hiat-hoat, sesudah dia ditegor, baru aku nanti suruh dia pergi pada isterinya ... ”
Si gagu yalah Ah Hiap, atau Jago Gagu yang kita kenal belakang pandai menunggang kuda, ia larat dengan kudanya hingga dalam tempo pendek sekali, ia sudah sampai di kaki bukt In Ciat Nia.
Tapi ini kali ia sampai justeru ia dapat keadaan ada ramai, yalah ada kereta, ada sejumlah orang. Ia menjadi heran, segera ia turun dari kudanya. Ia menghampiri satu orang kepada siapa ia serahkan ia punya kuda.
“Kau hendak apa?“ tanya orang itu.
Si gagu tidak dengar orang punya pertanyaan, ia tidak mengarti, percuma itu orang ulangi pertanyaannya, ia hanya tepok-tepok kudanya, lalu ia usapi orang punya kepala, habis itu ia tinggalkan kudanya. Ia lari naik keatas bukit, terus sampai di Kiu Sian Koan dimana ia masuk kedalam.
Didalam kuil, beberapa orang sedang bicara dengan berbisik bersama rombongan imam perempuan, seperti juga mereka itu sedang berselisih. Melihat demikian, si gagu nyelak ditengah, terus ia geraki kedua tangannya, ia-pun berlompat-lompat. Terang ia tanya : “Dimana adanya si burung hoo?”
Beberapa orang itu ada Ma Cie Hian bersama Lou Cie Tiong dan Kie Kong Kiat. Kong Kiat punya luka sudah sembuh, pada beberapa hari yang lalu ia ikut Lou Cie Tiong ke Tin-pa.
Sementara itu, Ceng Hian sudah sampai di Tin-pa, untuk jalankan titah gurunya guna cani orang Kun Lun Pay. Di Pau-kee-cun, pendeta ini tidak berhasil mencari keuarga Pau. Sebabnya adalah sejak Thio Cie Cay terluka dan Pau Cie Lim pindah dengan ajak anak isterinya, rumahnya Pau Kun Lun ditinggal kosong, semua dikunci. Ceng Hian mesti tanya penduduk kampung tentang keluarga Pau itu akan tetapi ia ketemu orang-orang yang menggeleng-geleng kepala. karena tidak ada yang ketahui ke mana perginya keluarga yang tadinya tersohor itu.
Itu hari Teng Hian mencari dengan sia-sia , hingga ia mesti putar kayun didalam kota Tin-pa. Adalah malamnya, disebuah rumah makan, selagi ia dahar, ia ketemu seorang muda yang menyoren pedang, ketika ia ajak orang itu bicara, ternyata dia itu ada Kie Kong Kiat, maka lantas saja ia tuturkan ia punya maksud kedatangan.
Mengetahui Pau Cin Hui berada di In Ciat Nia, Kong Kiat tidak terlalu taruh perhatian, tetapi mendear Ah Loan berada di Kiu Sian Koan, ia girang bukan kepalang, segera ia ajak Ceng Hian menemui Ma Cie Hian dan Lou Cie Tiong, buat ajak mereka ini segera menyusul.
Itu waktu sudah malam, mereka tidak bisa lantas berangkat, dengan terpaksa Kong Kiat mesti bersabar satu malaman. Besoknya, pagi-pagi sekali, mereka sudah berangkat. Tapi, ketika akhirnya mereka sampai di Kiu Sian Koan, dua Pau Kun Lun dan Pau Ah Loan sudah tidak ada, dalam sibuknya, Kong Kiat minta keterangan dari imam-imam perempuan dari kuil itu.
Sekalian imam itu memang tidak ketahui kemana perginya Pau Cin Hui dan lenyapnya si nona yang terluka, mereka tidak dapat menerangkan. Mereka sendiri turut merasa heran.
Kie Kong Kiat tidak sabaran, ketika Ceng Hian ajak dia pergi mencari, mereka akhirnya ketemu rumahnya si pemburu suami-isteri dimana mereka dapati mayat suami-isteri itu berikut mayatnya Ngo Kim Piu, yang sudah rusak, dan kemudian lagi, Ceng Hian ketemui toya gurunya serta mayatnya guru itu, yang juga sudah rusak, tinggal dua pahanya serta segundukan daging. Bukan main sedihnya pendeta muda ini, ia tangisi mayat gurunya itu.
Selagi begitu, Kong Kiat lari kembli ke Kiu Sian Koan, ia kumpulkan semua imam perempan, ia tanya mereka, tetapi mereka itu tetap tak dapat memberikan keterangan. Itu waktu, si gagu kebetulan datang
Keterangan yang bisa diberikan oleh rombongan imam itu adalah halnya Siau Hoo datang, bertengkar dengan Pau Kun Lun, bentrok dengan Too Teng Su-kou, yang kena dikalahkan, sesudah Too Teng pergi, malamnya Ah Loan lenyap, lalu paginya, Siau Hoo datang pula. Penuda ini menjadi gusar dan sibuk sebab Si nona lenyap tak karuan paran. Ketika rombongannya Kong Kiat sampai, Siau Hoo baru saja pergi.
Kong Kiat menjadi pusing kepala. Ia sangsikan itu rombongan imam, ia percaya mereka ketahui duduknya hal tetapi tidak mau bicara, ia hendak gunai cambuk untuk hajar dan kompes mereka, tetapi Cie Hian dan Cie Tiong mencegah. Adalah disaat cucunya Liong Bun Hiap hampir kalap, datang si gagu, yang nyelak diantara mereka.
Darahnya Kong Kiat naik dengan tiba-tiba. Ia memang lagi mendongkol dan uring-uringan, dengan tidak mengucap sepatah kata juga, ia angkat kakinya, ia tendang orang yang tidak dikenal ini.
Ah Hiap lolos dari tendangan, ia egos tubuhnya.
“Binatang kurang ajar!“ Kong Kiat mendamprat. “Dari mana datangnya binatang ini, yang mengacau disini?” Terus ia membabat dengan pedangnya yang dihunus dengan segera.
“Sabar Kie Kou-ya!“ Cie Tiong dan Cie Hian berseru, untuk mencegah.
Hampir berbareng dengan cegahannya dua saudara ini ada terdengar suara “Trang!” dan “Buk!“ saling susul. Ah Hiap tidak terluka karena serangan hebat itu, sebaliknya, pedangnya Kong Kiat kena dirampas, dilemparkan ketempat jauh, hingga jatuhnya menerbikan suara nyaring, menyusul mana, kakinya si gagu melayang, kepada orang punya tubuh hingga lantas saja pemuda itu rubuh celentang.
Cie Tiong dan Cie Hian terkejut, sampai muka mereka berubah pucat.
Kie Kong Kiat merayap bangun selagi dua saudara itu tercengang. Ia jerih sekarang, ia berdiri sambil mundur dua tindak, cuma karena ia penasaran dan gusar, ia mengawasi dengan mata melotot.
“Binatang, kau buat apa?” ia menegor pula. “Apa kau punya she dan nama? Kau berani serang Kie Kou-ya?”
Ah Hiap tidak ketahui apa yang orang bilang, ia tidak dengar, hanya, tunjuki ia punya jempol, ia tunjuk dirnya sendiri lalu ia perlihatkan kelingking, kemudian ia beraksi pula seperti burung terbang.
Melihat demikian, Kong Kiat jadi tambah murka
“Binatang, kau permainkan aku!“ ia berseru. Ia maju berbareng dengan kepalannya, akan menyerang pula.
Ah Hiap berkelit kesamping, ia tidak menangkis, hanya ia goyang-goyang tangan sebagai tanda mencegah: “Jangan menyerang!“ Kembali ia hunjuki jempolnya, ia tunjuk dirinya, ia geraki kedua tangannya seperti burung terbang. Ini kali, ia teruskan itu seraya perlihatkan gerakan tangan dan tubuh seperti gerak geriknya seorang perempuan.
Mau atau tidak, Kong Kiat tertawa.
“Apakah kau gila?“ ia tegasi.
Sampai disitu, Cie Tiong majukan diri ia tarik itu baba mantu keluarga Pau.
“Sabar, “ ia bilang. “Aku lihat orang ini gagu. Dia tentu ada punya urusan. Nanti aku yang ajak ia bicara.”
Ma Cie Hian juga lantas maju, ia dekati si gagu, untuk perhatikan orang punya gerak-gerak tangan. Si gagu tunjuk satu imam perempuan, lagi-lagi ia telad gerak geriknya seorang perempun, kemudian ia miringkan tubuhnya, seperti orang lagi rebah.
Pelahan-lahan, Cie Tiong bisa bade orang punya makud.
“Kelihatannya si gagu ini bermaksud baik,“ kata ia. “Dia datang untuk beritahukan bahwa Ah Loan sudah dibawa pergi oleh satu imam perempuan. Aku percaya, imam itu ada Too Teng Su-kou dari kuil ini ... ”
Dugaan ini mauk diakal karena itu Kong Kiat jadi sabar pula.
“Cobalah kau bicara, dengan dianya,” ia bilang pada Cie Tiong. Ia kerutkan alis. “Coba tanya Too Teng bawa Ah Loan ke mana. Minta supaya dia suka antarkan kita pergi menyusul!”
Cie Tiong menurut, ia mainkan ia punya tangan, ia tepuk orang punya pundak terus ia menunjuk pintu, akan akhirnya ia jalan beberapa tindak.
Melihat itu, Ah Hiap goyang-goyang tangan dan kepalanya.
Kembali Kong Kiat jadi gusar, “Terang dia hendak ganggu kita,” kata dia. “Pasti dia gagu berpura-pura! Kalau tidak, kenapa dia tidak pernah buka mulutnya? Kenapa dia tidak bersuara sedikit juga?”
“Sabar,” Cie Hian bisiki kawan itu. “Aku lihat dia benar-benar gagu, dia punya bugee-pun liehay. Kita orang tidak kenal satu dengan lain, pastilah dia bukannya sengaja datang untuk ganggu kita!”
Disaat itu, muncul Ceng Hian. Dia baru saja selesai bakar mayatnya dia punya guru, dia punya air mata masih belum kering.
Ah Hiap sudah lantas lihat hweeshio muda ini, dengan tiba-tiba ia maju mendekati, akan menjambak.
Ceng Hian kaget bukan main, mukanya menjadi pucat dengan tiba-tiba.
Cie Hian dan Cie Tiong segera maju, untuk pisahkan mereka.
An Hiap tidak lebih daripada menjambak, lantas ia tertawa pada hweeshio itu, kepada siapa ia-pun bicara dengan tanda gerakan tangannya.
“Jangan gusar, Ceng Suhu,” kata Cie Hian pada muridnya Tiat Tiang Ceng itu. “Dia ini ada seorang gagu, baru saja dia sampai. Dia telah perlihatkan dia punya bugee, kita dapat kenyataan dia ada liehay. Baru saja da bicara dengan kita dengan ia punya berbagai gerakan tangan, kita tak mengerti itu tetapi kita bisa membade-bade. Rupanya dia beritahukan kita bahwa Ah Loan sudah dibawa lari oleh Too Teng Su-kou. Boleh jadi sekali, tadi pagi Kang Siau Hoo sudah datang kemari, dia tidak dapat ketemukan Ah Loan, dia lantas pergi menyusul. Ceng Suhu, apakah kau tahu kemana perginya Too Teng Sukou?”
Mukanya Ceng Hian masih tetap pucat, ia masih menjublak saja.
“Aku tahu orang ini,” kemudian ia menjawab seraya ia tunjuk Ah Hiap, yang sudah lepaskan jambakannya. “Dia ada suhengnya Kang Siau Hoo. Sebenarnya suhu wafat, dia pernah beritahu aku yang Kang Siau Hoo ada punya satu suheng yang gagu, yang bugeenya sudah hampir sama liehaynya seperti mereka punya guru ... ”
Baru si pendeta berkata sampai disitu, Ce Hian, Cie Tiong dan Kong Kat jadi tercengang, hingga mereka mengawasi dengan bengong saja pada si gagu itu.
Ah Hiap sendiri tidak perdulikan apa yang orang bicarakan, ia hampirkan tembok, Ia jumput sepotong kapur, dengan itu ia menulis ditembok melukiskan seekor burung hoo tetapi yang tak ada miripnya, kemudian ia mencoret lempang dan berlugat legot seperti roman cacing, rupanya untuk hunjuki jalanan.
Ceng Hian bisa bade orang punya maksud.
“Si gagu ini tanya kita apa kita tahu sekarang Kang Siau Hoo ada dimana,” ia kata pada Cie Tiong. “Aku tahu Too Teng Su-kou pergi ke Bu Tong San. Cit Toa-kiam-sian dari itu gunung, semua ada dia punya sahabat-sahabat baik. Pasti dia bawa nona Ah Loan ke Bu Tong San dan pastilah Kang Siau Hoo sudah menyusul kesana.”
Mendengar disebutnya Bu Tong San, semangatnya Kie Kong Kiat jadi terbangun pula.
“Bu Tong San adalah tempat yang aku kenal baik sekali!“ ia bilang. “Bagus! Dia cari dia punya sutee, aku cari aku punya isteri! Biar kita orang berdua pergi ke Bu Tong San!“
Lantas ia hadapi Ah Hiap, ia tepok-tepok dadanya sendiri, ia tunjuk-tunjuk dadanya si gagu itu, kemudian ia perlihatkan ia punya jempol, buat unjuk bahwa ia kagumi suheng dari Kang Siau Hoo itu, bahwa selanjutnya mereka harus menjadi sahabat satu sama lain. Ia juga lantas menunjuk ke tanah, akan melukisan burung hoo, lalu ia manggut seraya ia bilang : “Aku tahu tempat kepergiannya Kang Siau Hoo, mari aku antar kau!“
Dalam gembiranya itu, Kong Kiat lari ke tempat dimana pedangnya terletak, untuk pungut itu. Kemudian, ia menoleh pada Cie Tiong dan Cie Hian.
“Pergi kau orang lekas turun gunung, untuk cari loo-ya-cu!“ kata ia pada itu dua saudara seperguran. “Loo-ya-cu berlalu dari sini dengan tidak pernah pulang ke rumah, tentulah dia malu, tetapi tentulah dia belum pergi jauh.”
Habis berkata demikian, ia berpaling pada Ceng Hian.
“Ceng Suhu,” katanya, “sampai kita bertemu pula!“
Ceng Hian manggut, tetapi ia pesan:
“Jikalau kau orang bertemu dengan Too Teng Su-kou, aku harap kau orang suka bicara secara baik-baik dengan dianya, jagalah supaya tidak sampai terbit bentrokan,” demikian katanya. “Too Teng benar bertabiat keras, akan tetapi jikalau dia tidak didesak, dia pasti tidak akan celakai Ah Loan. Umpama dia diperlukan keras, hingga ia gusar, tidak bisa disangsikan lagi, nona itu bakal tak ketolongan jiwanya. Lagi aku mau minta tolong umpama kau bertemu dengan Kang Siau Hoo, kau boleh terangkan padanya, walau-pun guruku, Tiat Tiang Ceng, binasa ditangannya, pasti sekali aku tidak akan cari dia untuk menuntut balas. Sebabnya dari sikapku ini adalah, ke satu kita berdua dahulu ada bersahabat, ke dua aku sudah ambil putusan akan pergi kepedalaman gunung untuk sucikan diri, aku tak sudi lagi campur tahu segala urusan kangou.”
“Baik,” sahut Kie Kong Kiat, yang tidak sempat lagi untuk bicara banyak, terus saja ia tarik tangaunya Ah Hiap, untuk diajak berlalu dari kuil itu, akan bersama-sama turun gunung. Karena mereka sama-sama bawa kuda, mereka naiki masing-masing punya binatang tunggangan. Kong Kiat jalan disebelah depan, ia lantas bedal kudanya itu.
Ah Hiap, disebelah belakang, ikuti itu pengantar.
Perjalanan dilakukan ke arah timur, dengan cepat telah dilalui tujuh atau delapan puluh lie, hingga matahari sudah doyong kebarat. Ah Hiap belum bersantap tengah hari, ia merasa lapar, ia perdengarkan suara untuk memanggil-manggil kawan itu.
Kie Kong Kiat tidak mengerti, ia masih larikan kudanya, ketika ia menoleh ia geraki tangannya berulang-ulang, ia serukan: “Lekas!”
Au Hiap, mendongkol melihat orang punya sikap itu, ia kaburkan kudanya untuk menyusul, setelah menyandak ia jambret orang she Kie itu sampai Kong Kiat terguling jatuh dari atas kuda. Tentu saja ia jadi mendongkol.
“Oh, orang gagu, orang edan!” ia mendamprat. “Coba aku tak tahu kau liehay, siapa sudi antar kau ke Bu Tong San?”
Ah Hiap tidak tahu apa yang orang bilang, ia tahan kudanya terus ia lantas tunjuk-tunjuk ia punya mulut, ia punya perut.
Menampak demikian, barulah Kong Kiat mengarti bahwa orang lapar dan ingin dahar. Ia sendiri juga segera merasakan perutnya menagih makanan, maka ia lantas manggut berulang-ulang dengan napas tersengal-sengal, ia loncat naik atas kudanya.
“Marilah!“ katanya, yang sekarang beri kudanya jalan pelahan-lahan.
Mereka jalan tidak seberapa jauh, sampailah mereka disebuah dusun.
Kong kiat menghampiri satu rumah makan di depan mana ia loncat turun dari kudanya.
Ah Hiap girang sekali apabila ia lihat rumah makan, ia tertawa.
Setelah tambat kudanya di petatok di depan pintu Kong Kiat mendahului masuk kedalam rumah makan, si gagu ikuti ia. Kong Kiat masih sedikit uring-uringan. Ia lantas pesan arak, sakalian bersama makanan.
Jongos berlaku sebat dengan sajiannya.
Ah Hiap lapar luar biasa, ia dahar secara gembul, tapi tidak demikian dengan si orang she Kie yang masgul. Dia ini hirup araknya ia merasa sukar akan telan nasinya. Ternyata ia dapat pikiran baru.
“Jikalau dari siang aku ketahui Ah Loan ada punya persahabatan dengan Kang Siau Hoo, sejak pertama Kun Lun Pay juga tak sudi aku bantui,” demikian ia ngelamun. “Sekarang menjadi sulit, hingga aku manusia bukan bukan hantu-pun bukan ... Lebih celaka aku sampai peroleh luka-luka, baru sekarang aku sembuh ... Sekarang aku pergi ke Bu Tong, masih belum tentu aku dapat cari Ah Loan, atau umpama kita bertemu juga, barangkali satu pertempuran bebar mesti dilakukan … Apa arti pertempuran itu? Andaikata pihakku peroleh kemenangan, mungkin sekali, Ah Loan akan tetap menjadi kepunyaan Kang Siau Hoo ... Apakah harganya itu? Tapi sudah terlanjur, aku tak bisa tak campur tahu lebih jauh …!”
Pemuda ini menghela napas, ia punya pikiran ruwet, ia bersangsi, tanpa merasa ia gebrak meja.
Ah Hiap lihat orang punya kelakuan itu ia bersenyum, ia tunjuk sayuran maksudnya adalah menganjurkan orang dahar. Tapi Kong Kiat goyang kepala, ia tidak bernapsu, menampak mana Si gagu turut jadi masgul. Nyata agaknya ia tidak mengerti orang punya kemasgulan itu.
Sebentar kemudian Ah Hiap telah dahar habis nasi dan sayuran, ia-pun tenggak beberapa cawan arak.
Kong Kiat hendak bayar uang makan mereka, selagi ia hendak merogo saku Ah Hiap dului ia. Si gagu ini keluarkan sebungkusan kecil yang dekil, ketika ia buka itu disitu ada sejumlah perak hancur serta, tembaga ia pisahkan sejumlah uang yang cukup buat bayar perhitungan, kemudian sembari tertawa ia menunjuk keluar. Seperti ia hendak bilang pada kawannya: “Mari kita berangkat!“
Diam-diam Kong Kiat merasa si gagu ini ada harganya untuk dijadikan sahabat. Ia lantas turut keluar untuk loncat naik atas kuda masing-masing guna lanjutkan perjalanan mereka ke arah Timur.
Mereka jalan pula lagi tiga-puluh lie, lantas mereka singgah dirumah penginapan, besoknya pagi-pagi mereka sudah melanjutkan pula. Mereka jalan sampai tengah hari, baru mereka singgah untuk bersantap.
Ah Hiap tidak bisa bicara, akan tetapi didalam perjalanan itu Kong Kiat mesti turut ia punya kehendak. Hal yang membuat si anak muda masgul adalah si gagu tidak mau jalani segera tetapi juga tidak ayal-ayalan. Sebaliknya Kong Kiat ingin segera sampai di Bu Tong San, dia tidak sabaran hatinya seperti dibakar. Dengan terpaksa Kong Kiat sabarkan diri. ia harap betul. yang bugeenya kawan ini nanti sanggup tandingi tujuh akhli pedang dari Bu Tong San.
Tiga hari lamanya mereka sudah berjalan, baru mereka sampai di Tiok-kie, tempat ini masih terpisah seratus lie lebih dari Bu Tong San. Disini Kong Kiat jalan disebelah depan si gagu. Benar selagi mereka mendekati tembok kota distrik, tiba-tiba dari arah belakang mereka ada terdengar panggilan, “Kie Kong Kiat!”
Heran dan kaget adalah orang she Kie itu, siapa sudah menoleh dengan segera. Ia lihat lari mendatangnya dua ekor kuda yang masing-masing ada penunggangnya, kedua kuda berbulu putih dan hitam. Penunggang kuda hitam ada seorang bertubuh besar berumur kurang lebih dua puluh lahun, dan penunggang kuda putih ada satu pemuda dan sebagai anak sekolah, muka siapa ada putih. Kapan Kong Kiat telah lihat nyata anak sekolah itu, tanpa merasa ia tertawa dingin,
“Aha, Lie Hoag Kiat!” ia berseru. “Ketika bertempur di Wie Sui, kau telah terluka dan kabur, kiranya sampai sekarang kau belum mampus? Sekarang kau mau apa? Apakah kau berniat melakukan pertempuran pula?”
Hong Kiat-pun tertawa ketika ia punya kuda sudah datang dekat, ia tak merasa malu atau gusar karena itu ejekan, ia hanya kata: “Untuk orang Kangou, tubuh terluka belum pasti berarti kematian! Apa pula aku hanya mendapat luka tusukan pedang yang ringan sekali! Umpama kata sekarang aku telah mati, bagaimana dengan kau yang terkena piau dan juga pedang? Pastilah siang-siang kau sudah tidak bernyawa pula!“
Bukan kepalang gusarnya Kong Kiat, yang balik dijengeki, hingga segera ia raba pedangnya dan hunus itu, matanya mengawasi dengan mendelik pada orang she Lie itu.
Hong Kiat bersikap sangat tenang, sama sekali ia tidak undurkan diri.
“Buat apa, eh?” tanya ia sembari tertawa. “Umpama kata kau berhasil menusuk aku lagi sekali, nama kau pastilah tidak akan lewati namanya kang Siau Hoo!“
Kong Kiat tertawa dingin, pedangnya ia terus pegangi, tapi belum ia berhenti tertawa, tiba-tiba si gagu menjerit “ah-ah-uh-uh” hingga ia kaget dan segera loncat turun dari kudanya. Berbareng dengan itu, ia punya kuda berbenger dua kali, terus lompat, baru dua tindak, binatang itu sudah rubuh sendirinya!
Apakah sudah terjadi?
Selagi Kie Kong Kiat ejek Hong Kiat dia ini punya kawan, yang naik kuda bulu hitam, yang kulitnya hitam juga, sudah menghampiri Kong Kiat dari samping, lalu dengan tiba-tiba ia menyerang dengan gembolannya, yang tadinya digantung disamping kuda. Gembolan itu bulat sebagai semangka dan gagangnya panjang dua kaki lebih. Serangan itu diarahkan pada pinggang.
Sukur orang she Kie itu keburu kelit, karena ia dengar suaranya si gagu, maka ia luput dari penyerangan gelap. Akan tetapi dia punya kuda, yang kena terhajar belakangnya, tak dapat ampun lagi.
Menampak demikian, si gagu pentang kedua tangannya, ia tertawa berkakakan.
Kie Kong Kiat mendongkol bukan main, ia loncat maju dan tikam Lie Hong Kiat yang berada diatas kudanya.
Orang she Lie itu keprak lompat ia punya kuda, berbareng dengan itu, ia-pun cabut ia punya pedang.
Si muka hitam loncat turun dari kudanya, ia merangsek kearah Kong Kiat, gembolannya telah diputar.
“Tahan!“ membentak Hong Kiat terbadap kawannya itu, ia bersikap bengis.
Orang tua itu menurut, ia berhentikan gerakannya.
Tetapi Kong Kiat masih gusar, tanpa bilang apa-apa ia maju pula akan serang Si orang she Lie.
Sekali ini, Hong Kiat tangkis orang punya pedang, yang ia terus tahan, lalu dengan lain tanganaya, sambil diulap-ulapkan, ia mencegah.
“Kie Kong Kiat, dengar aku!‘ demikian suaranya. “Bukannya aku niat curangi kau tetapi adalah orang yang ikut aku ini sudah berlaku terlalu sembrono! Aku bukannya jerih terhadap kau, aku hanya tidak ingin bentrok pula denganmu! Jikalau kau henar ada punya kepandaian, mari kita orang pergi ke Bu Tong San, disana Kang Siau Hoo sendirian saja sedang layani Cit Toa-kiam-sian! Sudah selayaknya kalau kita bantui dia!”
Mendengar itu, Kie Kong Kiat tarik pulang pedangnya, ia mundur dua tindak.
Itu waktu ada banyak orang yang berlalu lintas pada merandek, untuk saksikan itu dua orang bertempur, sedang si gagu, diatas kudanya, tetap tertawa ia gerak-geraki kedua tangannya seperti juga menganjurkan: “Hayo, kau orang bertempurlah, untuk aku saksikan kau orang punya kegagahan!“
Lie Hong Kiat sudah lantas masukkan pedangnya kedalam sarung, ia-pun tolak tubuhnya si muka hitam, untuk dikasi mundur, kemudian ia mendekati Kong Kiat, ia tepok-tepok orang punya pundak.
“Kaulah yang harus disesalkan,” kata ia sembari tertawa. “Coba kau tidak mulai hunus pedangmu, sahabatku ini tidak nanti serang kau dengan gembolannya! Dia adalah Ou Jie Ceng, tukang lindungi aku!“
Kie Kong Kiat tertawa menyindir.
“Akun tidak sangka bahwa kau piara tukang melindungi!“ mengejek ia.
Hong Kat tak gubris jengekan itu, ia tidak membalas dengan kata-kata, ia hanya tunjuk si gagu.
“Siapa dia itu?” ia tanya.
“Dia ada seorang gagu, tetapi dia ada suhengnya Kang Siau Hoo,” Kong Kiat jawab. “Aku justeru lagi antar dia ke Bu Tong San untuk cari orang she Kang itu.”
Hong Kiat tertawa pula, kembali ia tepuk orang punya pundak.
“Kau juga pakai tukang pukul!“ ia menggoda.
Mukanya Kong Kiat merah tanpa merasa Hong Kiat segera maju menghampiri Ah Hiap kepada siapa ia memberi hormat.
Si gagu balas hormat itu, kemudian ia loncat turun dari kudanya, untuk ia terus beraksi seperti burung terbang.
Orang she Lie itu heran, ia mengawasi dengan bengong.
“Dia tanya kau, kau kenal Kang Siau Hoo atau tidak,” Kong Kiat beri mengerti.
Mendengar demikian, Hong Kiat terawa, ia terus manggut pada Si gagu itu.
Si gagu lantas saja tertawa.
Hong Kiat lalu berpaling pada Kong Kiat.
“Apakah tidak baik kita cari tempat singgah didalam kota, untuk sekalian bersantap?” ia mengundang.
Kong Kiat menggeleng kepala.
“Bersama-sama Si gagu perlu aku segera pergi ke Bu Tong San, menyesal aku tidak punya ketika untuk layani kau pasang omong,” ia sahuti. “Jikalau kau benar ingin bersahabat denan aku, silahkan kau ganti dahulu kudaku!“
Hong Kiat tersenyum ia manggut.
“Inilah gampang!” kata ia. Terus ia tegor Ou Jie Ceng, kuda siapa ia minta, malah sarung pedangnya Hong Kiat, yang tercantel dikudanya yang terluka, ia yang tolong diambilkan, untuk ia pulangkan kepada pemiliknya.
Diperlakukan demikian Kong Kiat jadi jengah sendirinya.
“Kita hendak lantas berangkat, bagaimama dengan kuda terluka ini?” ia tanya Hong Kiat. “Apakah tidak baik kita jual saja?”
“Jangan jual,” Hong Kiat cegah. “Aku lihat kuda ini masih dapat disembuhkan. Aku nanti suruh Ou Jie Ceng menantikan disini, kita nati pergi bersama, sesudah urusan selesai, baru kita kembali kemari!”
Kong Kiat setuju, ia manggut.
“Sekarang kau singgah disini,” Hong Kiat lantas kata pada kawannya yang sembrono itu. “Kau obati kuda ini, sesudah dia sembuh, kau tunggui aku didalam kota Tiok-kie. Jangan sekali-sekali kau tinggal aku! Sekarang aku hendak pergi ke Bu Tong San, sepulangnya dari sana, aku akan samper kau. Ingat, jangan kau terbitkan onar!“
Jie Ceng menyahuti berulang-ulang.
Lie Hong Kiat tinggalkan sejumlah uang, lantas ia menoleh pada Kie Kong Kiat.
“Mari kita berangkat!“ ia mengajak.
Kong Kiat manggut, terus ia menggapai pada Ah Hiap, habis itu ia loncat naik atas kudanya, yalah kudanya Jie Ceng.
Sebentar saja, tiga orang itu sudah laratkan kuda mereka kearah timur.
Semua orang mengawasi, kemudian mereka tonton Ou Jie Ceng. Dengan susah-payah, si sembrono ini angkat bangun kuda kurbannya ia punya gembolan untuk dituntun pergi ke rumah pondokan.
***
Bab 19
KANG SIAU HOO YANG SUSUL Too Teng Su-kou, sudah sampai di Bu Tong San. Ia tidak segera mendaki gunung itu, ia hanya terlebih dahulu mencari keterangan di dekat-dekat situ.
Di gunung Bu Tong San itu imam-imam yang dipanggil “Cit Toa-kiam-san” atau “tujuh dewa pedang yang terbesar” adalah Yok Hian Ceng, Thio Hian Ceng dan Ka Hian To serta mereka ini punya tiga murid dan satu tamu, yalah Cou Kiam Hong dan Nie Kiam Tiau yang ada murid-muridnya Thio Hian Ceng, dan Tan Kiam Hui, muridnya Ma Hian To. Sang tamu ada Leng In Kiam-kek Lu Cong Giam, satu toosu.
Dantara mereka itu cuma Lu Cong Giam yang suka pergi pesiar, yang gemar ikat persahabatan. Yang gemar berkelahi adalah Cou Kiam Hong berdua Tan Kiam Hui. Empat yang lainnya, semua ada imam-imam yang alim, yang taat kepada agama mereka, tak sembarangan mereka turun dari gunung mereka. Mereka semua tinggal berpencaran. masing-masing di Cin Bu Bio di Thay Kek Hong, di Gie Cin Kiong di Thian Kie Hong, dan di Ngo Liong Hong, Cie Siau Hong dan lain. Dan mereka semua telah mewariskan ilmu silat aseli dan mereka punya Cou-Su Thio Sam Hong.
Sama sekali ada lebih daripada enam ratus toosu yang berada dibawah perintah dari tujuh Kiam-sian itu. Mereka ada punya penghasilan yang lebih daripada cukup, mereka ada tangguh, akan tetapi mereka tidak pernah memandang enteng atau menghinai lain orang. Cuma ada satu pantangan, yang mereka ingin orang indahkan, atau mereka akan hunjuki tangan besi.
Di Bu Tong San itu ada sebuah sumber yang dinamai “Kay Kiam Coan” atau Sumber ini mereka pandang suci, bagaikan keramat. Siapa datang ke sumber itu, tidak perduli pembesar negeri, sipil atau niiliter, atau orang kangou, atau piausu, apabila dia membawa pedang, pedangnya mesti diloloskan. Orang boleh bawa tumbak dan golok, mereka tidak menghalanginya, tapi dilarang orang membawa pedang. Apabila ada kedapatan orang bawa pedang, mereka tak dapat mengasi ampun. Inilah pantangan atau larangan, yang membuat Kie Kong Kiat dan Kang Siau Hoo pernah mengalami peristiwa hebat.
Sekali ini, Kang Siau Hoo telah datangi pula gunung kesohor itu. Ia menduga Too Teng Su-kou pergi ke Bu Tong San ini, sebagaimana si imam perempuanpun pernah menantangnya, akan tetapi sebagai hasil ia punya penyelidikan, katanya diatas gunung tidak ada imam perempuan, sedang juga tujuh kiam-sian pasti tidak ijinkan orang jahat berdiam digunungnya itu. Ia jadi bersangsi.
Akhirnya, setelah berpikir, ia ambil putusannya. Ia memang tidak bekal senjata, ia anggap tidak ada halangannya kalau ia naik terus ke atas gunung, disana ia boleh buat kunjungan kehormtan pada Cit Toa-kiam-sian, untuk sekalian minta keterangan halnya Too Teng Su-kou dan Ah Loan, umpama kata mereka itu berani menanggung benar-benar Too Teng tidak datang bersama nona kurban penculikannya, ia tidak akan terbitkan onar, ia akan pergi mencari kelain gunung.
Ketika Siau Hoo mendaki gunung, itu adalah diwaktu pagi yang mendung, maka juga seluruh gunung telah tertutup dengan kabut, sedang dibawah, es melulahan dengan tak kurang tebalnya, hingga batu-batu gunung salin rupa menjadi serba putih. Angin musim rontok telah mendatangkan hawa dingin sekali kepada tubuh.
Pada waktu itu, Kang Siau Hoo mengenakan baju dan celana warna biru, pakaiannya sepan dan pendek, bahan citanya tipis, ia-pun tidak memakai kaos kaki hanya melainkan ciau-ee, sepatu rumput! Ia naik setindak dengan setindak keatas gunung. Ia sukar melihat segala apa di depannya karena tebalnya kabut, karena sulit akan melihat jalanan, ia bertindak dengan hati-hati. Disitu, jangan kata satu manusia, suaranya seekor burung-pun tak terdengar.
Sekian lama Siau Hoo mendaki, ia punya sepatu telah pecah rusak, hingga terpaksa ia buka itu dan melanjutkan perjalanan nanjak dengan kaki telanjang. Beruntung bagi ia, ia ada punya kaki yang kuat. Malah sekarang ia dapat bertindak dengan terlebih leluasa.
Terus Siau Hoo berjalan naik, sampai kupingnya dengar mengaungnya genta. Dengan sungguh-sungguh ia pasang kupingnya, akan dengari suara itu, akan cari tahu dari mana arah datangnya. Dengan perhatian, ia dapat dengar suara yang tegas sekali, hingga ia merasa, genta atau lebih benar kuil, berada dekat dengan ia. Kemudian, dengan perdatakan tujuan, ia berjalan pula, ia maju terus.
Bertindak belum seberapa jauh, tiba-tiba pemuda ini dapati ia lagi menghadapi sebuah lamping gunung atan jurang, didalam itu kabut ada memain-main bagaikan laut. Ia tak dapat melihat apa juga lainnya. Dari situ terdengar, agaknya suara genta datangnya dari lembah dibawah jurang itu.
Siau Hoo berdiri diam ditepi jurang. Melihat keletakan, nampaknya agak sukar sekali untuk ia turun kedalam lembah itu. Suara genta sudah berhenti, yang masih ada adalah sisa kumandangnya ditengah udara. Ia ingin turun, untuk cari kuil dari mana suara genta datang. Jalan tidak ada, bagaimana?
Tiba-tiba Siau Hoo ambil putusannya yang getas, tanpa bersangsi pula, ia enjot tubuhnya, akan loncat turun ke dalam jurang!
Diantara suara berkeresekan, segera Siau Hoo dapat kenyataan tubuhnya sampai pada sebuah pohon cemara yang besar, ia punya kaki dan tangan kena bentur cabang-cabang hingga ia merasakan sakit, akan tetapi ia tidak perdulikan itu. Terus ia gunai kaki dan tangannya, hingga di lain saat, ia sudah loncat turun ke tanah datar. Dan apa mau ia justeru jatuh ke dalam pekarangan kuil.
Baru saja pemuda ini lempangkan pinggang untuk berdiri, ia lihat jendela pendopo terbuka sedikit, dari situ lompat keluar seekor macan tutul, yang lehernya dikalungi rantai tembaga, lalu dengan pentang kedua kaki depannya yang berkuku tajam, binatang itu loncat menerkam.
Siau Hoo terperanjat, tetapi ia masih punya kesempatan akan loncat naik ke atas pohon cemara.
Macan tutul bisa panjat pohon, demikian dengan binatang ini, mencoba menyusul dengan terus naik juga kepohon cemara itu.
Tidak tunggu sampai ia kena dicandak, Siau Hoo mendahului akan naik terus, akan terus loncat keatas pendopo, yang gentengnya terbuat dari besi hitam.
Macan tutul itu liehay, ia juga naik tinggi, ia-pun loncat keatas genteng akan menyusul, lantas ia angkat tubuhnya, berdiri bagaikan manusia, untuk lompat menerkam.

Jilid 28
Sekarang Siau Hoo tidak menyingkir terlebih jauh, malah ia-pun tidak lompat kesamping atau ke belakang, hanya menantikan serangan, ia mendek, lalu disaat tubuh harimau itu sampai, ia barengi bangun untuk samber leher binatang itu, untuk ditahan. Tidak perduli binatang itu sudah pentang mulutnya yang besar dan gunai kedua cengkeraman depannya, akan mencakar. Tidak sia-siakan tempo lagi, Siau Hoo gunai tangan kanannya, akan hajar dada binatang tersebut.
Selagi mengaung-ngaung, harimau itu keluarkan jeritan keras, rupanya ia merasakan sakitnya serangan, tubuhnya terus saja rubub jatuh mengelinding dari atas genteng.
Siau Hoo unjuk kesebatannya terlebih jauh, ia jumput dua potong genteng, ia loncat turun ke tanah, lalu dengan sebuah genteng ia menimpuk pada itu binatang liar, hingga kepalanya pecah sampai pada matanya, sekejap saja binatang itu putus jiwanya.
Habis itu, dengan sebuah genteng lagi. Siau Hoo timpuk jendela itu jadi rusak.
“Imam tua yang piara macan tutul, lekas keluar!” ia membentak.
Sebaliknya dari pada dipentang, daun jendela itu telah ditutup dengan segera!
Kuatir dari dalam kuil nanti keluar binatang lain, Siau Hoo tidak mau berlaku sembrono. Ia cepat-cepat jumput kedua genteng tadi, dengan bawa itu ia bertindak ke pintu pendopo, sembani jalan ia mendamprat.
Dari dalam pendopo lantas terdengar tegoran : “Kau ada penjahat dari mana? Cara bagaimana kau berani mengacau di tempat Sam Ceng yang suci murni?”
Siau Hoo tidak menjawab, ia hanya gunai sebelah tangannya, akan menolak daun pintu.
Berbareng dengan terbukanya pintu, dari dalam kuil muncul satu imam muda dengan serangannya sebatang pedang.
Siau Hoo berkelit dengan loncat mundur dua tindak, atas mana imam muda itu loncat keluar, akan menyusul, lalu kembali ia menikam, pada orang punya dada.
Dengan loncat ke kiri, Siau Hoo luputkan diri dari tikaman yang berbahaya itu, sambil egos tubuh, ia menimpuk dengan sepotong genteng, yang tepat mengenai dadanya. Si imam,yang tak sempat menangkis atau berkelit, hingga tubuh dia ini limbung. Selagi begitu, pemuda kita maju, akan samber orang punya pedang, untuk dirampas.
Imam itu kaget, ia maju akan mencoba rampas pulang pedangnya.
Sekarang ini, Siau Hoo papaki imam itu dengan ia punya tendangan, hingga orang rubuh dengan duduk numprah. Tapi si imam penasaran, ia lompat bangun, untuk menubruk pula, guna mencoba rampas pulang pedangnya.
Sebat sekali, Siau Hoo membabat kearah lawan empunya kepala, sinar pedangnya itu berkelebat putih. Atas ini, si imam berkelit dengan mundur berbareng pinggangnya-pun dilengkungi.
Menyusul itu, dari dalam kuil loncat keluar satu imam lain.
“Tahan!“ dia berseru. “Kau berani buat kacau disini?“
Siau Hoo tarik pulang pedangnya sambil mundur satu tindak, lalu ia awasi imam yang baru keluar ini, siapa ada punya roman tak sembarangan. Umurnya dikira empat-puluh lebih.
“He, toosu, jangan kau orang tidak pakai aturan!“ ia balas menegor. “Aku datang kemari untuk cari orang, aku sampai-pun tidak membawa pedang, karena aku tahu kau orang punya pantangan disini, tetapi selagi aku hormati aturan kau orang, kenapa kau orang sendiri berlaku sangat galak? Baru saja aku sampai atau kau orang telah lepaskan macan tutul untuk menerkam aku! Coba bukannya aku Kang Siau Hoo, asal lain orang, dia tentu sudah kena digigit mampus oleh macanmu, mayatnya-pun bakal lenyap habis!“
Imam itu, yang kurus tubuhnya, terperanjat dengar nama Kang Siau Hoo.
“Oh, kau kiranya Kang Siau Hoo?” ia tegaskan. “Aku dengar kau-pun ada satu akhli waris dari Bu Tong Pay, maka dengan datang kemari, kau harus sedikit kenal aturan, tidak boleh kau kurang ajar terhadap Cou-su!“
“Tetapi Conw-su tak nanti piara macan tutul!“ Siau Hoo membaliki. “Kau orang, didalam kuil, sudah piara harimau yang dijadikan sebagai anjing, maka kau orang tentunya bukan orang-orang baik-baik!“
“Macan tutul itu adalah aku yang piara,” si imam aku. “Biasanya dia tidak pernah ganggu orang, dia ada seekor binatang yang mengerti manusia ... “
Sembari berkara demikian, imam ini memandang kepada binatang piaraannya, yang sudah jadi bangkai, yang kepalanya pecah dan berlumuran darah, agaknyn ia ada terharu berbareng mendongkol.
Si imam muda, yang tadi kena didupak, lantas turut bicara.
“Orang ini datang kemari dengan loncat turun dari atas jurang,” berkata ia. “Aku anggap dia bukannya orang baik-baik, aku lantas lepaskan macan tutul kita ... “
Siau Hoo tertawa menyindir.
“Kau orang sebenarnya siapa?” ia tanya.
“Aku ada Tan Kiam Hui,” sahut si imam kurus “Dia ini ada muridku.”
“Aku tahu kau, kau ada salah satu dan Cit Toa-kiam-sian,” berkata Siau Hoo. “Diantara kau orang bertujuh, kecuali Leng In Kiam-kek Lu Cong Giam semua ada orang-orang baik-baik, tentang ini selama ditengah perjalanan, aku telah cari tahu sampai jelas. Baik kau orang ketahui, sekarang ini aku datang kemari dengan maksud mencari satu orang.”
“Kau cari siapa?” Kiam Hui tanya.
“Aku cari imam perempuan dari Kiu Sian Koan, Too Teng namanya,” sahut Siau Hoo. “Dia telah culik isteriku, Pau Ah Loan, yang dia bawa kabur kemari!”
“Ngaco!“ bentak Kiam Hui dengan ia menjadi gusar dengan tiba-tiba. “Bu Tong San ada satu gunung suci, dimana ada imam dan orang perempuan yang datang kemari!”
“Kau rupanya tidak tahu,” bilang Siau Hoo. “Diatas gunung kau orang ini ada terdapat banyak kuil, jikalau Too Teng datang kemari dan dia sembunyikan isteriku dilain tempat, mana kau ketahui. Kau cuma seorang kecil didalam Cit Toa-kiam-sian! Sekarang aku hendak ketemui Yok Hian Ceng, Thio Hian Hay dan Ma Hian To, kau ajak aku pergi pada mereka, aku hendak minta orang dari mereka itu, dengan kau tidak ada sangkutannya!“
Tan Kim Hui pandang itu anak muda, ia juga awasi bangkainya ia punya macan tutul lantas ia manggut.
“Baik!“ berkata ia. “Sekarang aku sedang bersantap, kau tunggu sebentar, nanti ajak kau ke Gie Cin Kiong!“
Habis berkata begitu, ia terus putar tubuhnya untuk masuk kedalam.
Imam muda itu, yang telah terima hajaran awasi Siau Hoo dengan mata mendelik dan muka perongosan, setelah itu, ia-pun bertindak kedalam untuk lanjutkan santapannya.
Dipekarangan itu, kecuati Siau Hoo, tidak ada lain orang. Ia lantas saja sembunyikan sebuah genteng, sesudah itu, ia pergi periksa ruangan itu, terus kedalam pendopo, akan tetapi ia tak lihat suatu apa yang mencurigai. Ia mendongkol kalau ia ingat imam disitu piara macan tutul yang galak.
Selang tidak lama sehabis dia mundar mandir, Siau Hoo dapati pintu kuil dibuka, lalu masuk lima imam, yang usianya tidak tinggi, mereka rupanya dengar genta dan datang untuk bersantap. Mereka ini terperanjat apabila mereka tampak bangkainya macan tutul disamping siapa ada berdiri seorang tidak dikenal yang tangannya menyekal pedang.
“Kau lagi buat apa?“ satu imam tanya.
“Pergi kau desak Tan Kiam Hui agar dia dahar lekas-lekas!“ demikian ada jawaban menyimpang dari Siau Hoo. “Bilang supaya dia segera antar aku ke Gie Cin Kiong!“
Menampak orang punya sikap garang itu, itu imam tidak berani banyak omong lagi, bersama-sama empat kawannya, ia masuk kedalam.
Siau Hoo ada mendongkol, ia jalan pula bulak-balik beberapa kali.
Tidak antara lama, Tan Kiam Hui muncul bersama dua imam kecil, sekali ini, ia berlaku sungkan. Begitu menghadapi tamunya, ia membeni hormat sambil menjura.
“Sekarang kita antar kau ke Thian Kie Hong,” berkata ia. “Sesampainya disana, biar bagaimana, menemui guru kita, kau mesti berlaku tahu aturan , jikalau tidak, aku sendiri akan turut-urutan berdosa. Kau juga harus letaki kau punya pedang! Jangan kata orang luar, walau-pun kita, orang dalam tidak diijinkan membawa pedang.”
Siau Hoo manggut.
“Baik!” jawab ia. Lantas ia lemparkan pedang ditangannya hingga senjata itu menerbitkan suara nyaring.
Segera juga kedua kacung imam jalan dimuka dan Tan Kiam Hui lalu temani tamunya itu.
Sekarang ini kabut tidak setebal tadi, maka itu samar-samar mulai tertampak pepohonan dan jalanan disebelah depan, malah suara burung-pun ada terdengar. Tujuan mereka ada arah Utara. Sambil berjalan, Kiam Hui ajak temannya bicara.
“Sampai pada tahun yang sudah, kami masih belum dengar nama kau,” demikian ia kata. “Adalah mulai tahun ini, ketika ada orang kita pergi keluar untuk pungut derma, ia pulang dengan membawa berita bahwa ia telah dengar orang omong bahwa kau adalah muridnya pendekar tua dari Hoa San. Entah kabar itu benar atau palsu. Apakah gurumu masih sehat wal’afiat?”
“Baiklah kita kurangi omong hal yang tak ada kepentingannya!” Siau Hoo sanggapi. “Aku datang kemari untuk cari Too Teng, asal aku dapat cari padanya, dengan kau orang aku tak punya sangkutan suatu apa, pasti sekali aku tidak akan terbitkan onar disini!”
“Dengan sebenarnya kegunung kita ini tidak ada datang imam perempuan,” Kiam Hui berikan kepastiannya.
“Apa yang kau bilang, aku tak dapat segera mempercayainya,” Siau Hoo bilang terus terang. “Tidak dapat tidak, aku mesti ketemu dahulu dengan gurumu, baru beres!”
Kiam Hui lantas saja tutup mulut.
Jalanan dilembah itu ada sukar sekali, malah makin lama makin sukar. Sebaliknya dari situ, orang akan sampai disebuah puncak, entah tingginya berapa banyak tumbak, karena separuhnya telah terbenam dengan kabut. Disitu ada kedapatan tunggak-tunggak batu, yang dilipati dengan rantai-rantai besi, untuk mendaki, orang mesti pepegangan, melapay dengan bantuannya rantai-rantai itu.
Kedua imam kacung naik lebih dahulu, kelihatannya mereka sudah biasa, mereka bisa manjat secara sewajarnya. Tangga ada tangga batu.
“Inilah Thian Kie Hong,” Kiam Hui beri tahu tamunya. “Dengan mendaki bukit ini, kita akan sampai di Gie Cin Kiong. Bagaimana, kau naik terlebih dahulu atau aku?”
“Kau lebih dahulu!” sahut Siau Hoo sambil bersenyum.
Kiam Hul lantas saja pegang rantai, ia mulai naik. Ia berlaku ayal-ayalan, sembari bertindak atau melapay naik, saban-saban ia berpaling kebelakang, kepada tamunya.
“Hati-hati,” ia pesan, “kalau jatuh tentu mampus! …”
Siau Hoo tidak bilang suatu apa, ia diam saja.
Habis ini, barulah muridnya si siucay tua mulai naik. Ia juga gunai dua tangannya, akan menyekal rantai.
Mereka sudah naik dua tiga tumbak, lalu setelah itu, Siau Hoo tidak pegang rantai, ia bertindak naik dengan tubuh hampir nempel dengan tembok gunung, ia mirip dengan cecak.
Satu kali Kiam Hui berpaling pula kebawah, ia tampak perbuatannya tamu ini, ia terkejut hingga air mukanya berubah. Terang sekali, ia kagumi dan herani kepandaiannya pemuda itu.
“Tak dapat kau mendaki sebagai ini!” ia memberi peringatan. “Berbahaya!”
“Jangan kau perdulikan aku, kau naik terus!” Siau Hoo sahuti. “Umpama kata aku jatuh hitung-hitung saja aku ganti jiwanya kau punya macan tutul, tak nanti aku punya roh cari padamu ... ”
Selagi Siau Hoo mengucap demikian, sekonyong-konyong tubuhnya Kiam Hui morosot turun, cepat sekali, menyusul mana, sebelah kakinya dipakai menjejak kepalanya si anak muda.
Tak dapat lagi Siau Hoo perbaiki dirinya, untuk menjambret rantai saja sudah tidak ada ketikanya. Tidak tempo lagi, tubuhnya jatuh kebawah. Akan tetapi, ia punya tubuh tetap berdiri, maka juga, ketika ia sampai ditanah, ia jatuh dengan berdiri, hingga ia tidak kurang suatu apa. Hanya ia ada sangat gusar.
“Bagus, kau hendak celakai aku!” ia berseru, sedang tangannya segera meraba sakunya, akan keluarkan gentengnya dengan apa ia sambit imam itu. Ia telah gunai kepandaiannya, dan tenaganya juga.
Disebelah atas, berbareng dengan satu jeritan ngeri, kelihatan tubuhnya Tan Kiam Hui jatuh turun, lalu jatuhnya itu disusul dengan jeritannya kedua imam cilik, tetapi mereka ini, dalam kagetnya, sudah lantas lari naik keatas, laganya mirip dengan dua anak kunyuk.
Siau Hoo melihat kepada Tan Kiam Hui, dia ini rebah dengan separuh mati, kepalanya borboran darah. Genteng yang dipakai menimpuk terletak tidak jauh dari orang punya tubuh.
Segera juga diatas puncak terdengar suara genta, yang berbunyi dengan tiba-tiba suaranya gencar dan mengaung terus. Siau Hoo insaf artinya bunyi genta itu.
“Sekarang tak lagi dapat digunai aturan!” pikir ia. “Aku telah lukai salah satu dari Cit Toa-kiam-sian, tak mungkin yang lain-lainnya mau mengerti dan sudah saja!”
Oleh karena ini, Siau Hoo segera jumput pula gentengnya akan disimpan lagi dalam sakunya, setelah itu ia jambret rantai besi untuk mendaki puncak. Ia naik dengan cepat luar biasa, sebentar saja sudah hampir sampai di puncak.
Suara genta gencar terus, sekarang terdengarnya nyata sekali, nyaring dan berisik. Disaat pemuda ini lompat naik ke tanab datar, ia lihat tiga atau empat-puluh toosu sedang mendatangi, semua mereka mengenakan pakaian yang pendek dan ringkas, serta tangan mereka mencekal pedang, yang sinarnya gemerlapan. Diantaranya, tiga imam maju paling muka, diantara mereka ini, yang satu ada berewokan. Ia kenali Cou Kiam Hiang, yalah imam yang dahulu sudah desak Kong Kiat hingga si orang she Kie itu terjatuh kedalam jurang ia dengar, walaupun orang she Cou ini dalam rombongannya ada bertingkat lebih rendah tetapi ilmu kepandaiannya termasuk yang nomor dua. Itu-pun sebabnya kenapa ia dipanggil Jie Cin-jin. Dan sebentar saja, Kiam Hong sudah datang dekat. Kelihatan dia ada sangat gusar, selain kumis-jenggotnya bergerak-gerak, mukanya-pun merongos dan kedua matanya melotot.
“Kau Kang Siau Hoo?” ia tanya dengan bengis, “Kau berani datang ketempatnya Bu Tong Cou-su, untuk mengacau? Cara bagaimana kau berani bunuh aku punya sutee?”
“Jangan kau orang tidak pakai aturan,“ sahut Siau Hoo seraya ia menggoyang tangan. Akan tetapi, belum sempat ia tutup mulutnya, atau pedang si imam sudah menyamber. Terpaksa ia berkelit ke kanan. Di kanan ini, pedang sampai pula, hingga ia mesti lekas mengegos kekiri. Tapi juga disebelah kiri lagi-lagi ada pedang menikam, sedang di belakang, jalanan sudah tertutup. Tiga batang pedang, dengan seru merangsek dengan berbareng.
Mendongkolnya Siau Hoo ada bukan alang-kepalang, terpaksa ia enjot tubuhnya, akan loncat tinggi, lewat diatasan pundaknya Cou Kiam Hiong.
Kiam Hiong segera putar tubuh, untuk menyusul dengan tusukannya lebih jauh. Tapi Siau Hoo loncat terus, ke arah rombongan imam.
Dengan serentak, puluhan imam itu geraki pedang mereka masing-masing, mereka menyerang sambil terus mengurung.
Siau Hoo berlaku gesit, ia tubruk satu imam, pedang siapa ia rampas, lalu dengan senjata musuh itu, ia lakukan penyerangan membalas. Disebelah itu, ia-pun bela diri. Ia sekarang berada di tengah-tengah kurungan laganya satu penjual silat antara berkerumunnya banyak penonton.
“Siapa berani maju dia mampus!“ dia berseru. “Dengarlah dahulu perkataanku! Aku hendak menghadap pada Cin Bu Yaya Sam Hong Cousu, untuk mohon maaf yang disini aku mempergunakan pedang, habis itu aku nanti basmi pada kau orang semua, kawanan hantu! Untuk mewakilkan Cousu membersihkan tempat suci ini!”
Baru Siau Hoo mengucap demikian, atau Cou kiam Hiong sudah merangsak dan menyerang ia, terpaksa ia angkat pedangnya, akan menangkis.
Kiam Hiong berlompat, pedangnya maju pula, beruntun dengan tiga babatan.
Siau Hoo ada sangat gesit, mengikuti pedang lawan, ia berkelit berulang-ulang. Dan setiap tindak yang Kiam Hiong mendesak, setiap tindak ia mundur. Dengan ini jalan, ia cari tahu gerak dari musuh. Lalu, dengan sekonyong-konyong, ia balas menyerang, rangsekannya mirip dengan keluarnya si raja hutan bengis dari dalam rimba.
Mau atau tidak, Cou Kiam Hiong mesti mundur, tetapi ia gunai pedangnya, untuk menangkis, akan tahan orang punya pedang, atas mana Siau Hoo gunai ketikanya menekan senjata lawan, sampai imam itu tidak sanggup membuat terpental genggamannya Si anak muda.
Siau Hoo maju, pedangnya dipakai menyamber kebawah.
Kiam Hiong tarik pulang pedangnya, ia berkelit kekiri. Tapi Siau Hoo desak ia, pedangnya kembali menyamber, maka lagi-lagi, ia mesti menangkis. Sekali ini kedua senjata bentrok satu dengan lain, menerbitkan suara nyaring yang melebihkan suara genta hingga mengejutkan siapa yang mendengarnya ...
Masih Siau Hoo tidak mau berhenti, ia mendesak, dua kali pedangnya bekerja, ke atas dan kebawah. Ia telah maju lagi dua tindak, untuk mendesak.
Cou Kiam Hiong, yang dikenal sebagai Jie-cinjin, bisa hndarkan diri dari serangan, akan tetapi, karena hebatnya desakan, nyata ia sudah keteter. Didekat ia ada empat imam, mereka ini lompat maju, akan perbaiki kedudukan sendiri, untuk lagi-lagi maju pula.
Kang Siau Hoo layani lima buah pedang yang mengepung padanya. Ia maju dan mundur, ia bergerak kekiri dan kanan cepat luar biasa. Tapi ia mesti lewatkan dulu sepuluh jurus lebih ketika ia menyebabkan satu imam menjerit kesakitan, tubuhnya terus rubuh.
“Maju!“ berteriak Cou Kiam Hong, yang ada gusar sekali, ia sendiri memberi contoh.
Siau Hoo dikurung rapat sekali, ia melawan seraya main mundur, ketika kemudian ia sudah mundur sampai disamping kuil dengan tiba-tiba ia enjot tubuhnya, akan loncat naik keatas tembok yang diberi warna merah.
Didalam pekarangan juga ada beberapa imam, yang berdiri menjaga dengan pedang mereka siap sedia, tetapi Siau Hoo terus loncat turun, hingga ia mesti layani mereka itu.
Cepat sekali, Cou Kiam Hiong dan rombongannya telah menyusul masuk, akan hubungi diri dengan kawan-kawannya yang di dalam itu.
Kembali Siau Hoo berkelahi sambil mundur, ini kali, ia mundur sampai di samping cionglau, yalah rangon tempat genta, dimana, dengan gesit ia loncat naik seraya lewati kepalanya sejumlah imam.
Diatas cionglau itu ada satu imam, yang sedang membunyikan genta, ia cekuk imam itu, sebelum orang dapat ketika untuk berdaya, tidak ampun lagi. ia tolak orang punya tubuh sampai si imam rubuh dari atas rangon itu.
Setelah berbuat demikian, Siau Hoo tancap pedangnya dikayu jendela, lalu dengan kedua tangannya, ia angkat lolos dan turunkan genta besar, yang beratnya dua-ratus kati, ia bawa itu ke jendela, untuk dilemparkan keluar.
Satu suara hebat adalah kesudahannya itu, akibat jatuhnya genta ke tanah, sampai bumi tergetar, hingga cionglau bergerak, gentengnya berbunyi. Di lain pihak, di bawah, ada terdengar beberapa jeritan menggiriskan.
Genta terbuat dari besi, tetapi waktu jatuh ketanah, saking kerasnya bantingan, dia pecah dengan segera, menjadi beberapa potong!
Habis itu, Siau Hoo ambil pula pedangnya.
“Siapa berani naik?“ ia menantang seraya buat main pedangnya itu.
Dibawah, sekalian imam telah undurkan diri, diantaranya ada yang terluka, yang sudah lantas ditolong oleh kawan-kawannya.
Bahna gusarnya, kumis jenggotnya Cou Kiam Hiong bergerak-gerak. Ia berdiri paling muka.
“Kang Siau Hoo.” ia berseru sambil ia menuding dengan pedangnya. “Jikalau kau tidak turun, aku nanti korbankan kuilku ini, aku nanti bakar ciong-lau ini! Aku hendak lihat, kau mampu terbang atau tidak …”
Selagi imam ini perdengarkan ancamannya, Siau Hoo telah keluarkan dia punya genteng besi, dengan itu ia menimpuk dengan segera. Inilah Kiam Hiong tidak sangka. Ia-pun tidak sempat berkelit, jitu sekali, genteng mengenai kepalanya, maka berbareng dengan terputusnya ia punya ucapan, ia merasakan sakit dan pusing, hingga ia sempoyongan.
Sukur itu waktu, beberara imam sudah pegangi orang punya tubuh, hinga tubuh itu tidak sampai rubuh.
Selagi kawanan imam itu kaget, sibuk dan repot, Siau Hoo lihat mereka dengan tiba-tiba letaki pedang mereka masing-masing, sebagai gantinya penyerangan lebih jauh, mereka pada membungkuk tubuh, pada menjura, kearah pintu.
Lantas, lebih jauh, Siau Hoo lihat dari luar ada mendatangi empat imam, dari yang mana, dua telah putih kumis jenggotnya, yang satu berkumis jenggot hitam, dan yang satu pula, tidak ada kumisnya, umurnya kurang lebih tiga puluh tahun.
“Bagus!“ berseru ini anak muda yang tidak jerih sedikit juga. “Kau orang tentu ada dari rombongan Cit Toa-kiamsian! Tapi kau orang masih kurang satu lagi. Nah, hayolah kau orang maju semua!”
Atas tantangan itu, salah satu imam yang berkumis jenggot ubinan angkat pedangnya, menuding keatas. Ia ini punya potongan tubuh, tinggi besarnya, hampir mirip dengan Pau Kun Lun. Ia kata: “Kang Siau Hoo, kau turun. Mari kita orang bicara!”
Siau Hoo bersenyum.
“Sekarang ini, apa lagi yang mesti dibicarakan?“ kata ia secara tenang sekali. “Jumlah kau orang ada terlalu banyak! Tapi, umpama kau orang maju bergerumutan, aku tidak jerih, aku melainkan tidak tega apabila aku mesti lukai mereka, yang semuanya tidak bersalah dosa. Aku datang untuk hadapi semua Cit Toa kiam sian!”
Imam tua itu bersikap tenang.
“Aku adalah Thio Hian Hay,” ia perkenalkan diri. “Inilah ada aku punya sutee Ma Hian To.“ ia tunjuk imam disampingnya, yang bersamaan usia dengan ia. Kemudian ia tunjuk kedua imam lainnya, dengan bergantian, seraya bilang: “Dia ini Nie Kim Tiau, ini Lu Cong Giam. Kami semua tinggal disini untuk sucikan diri, belum pernah kami hinakan lain orang. Sebutan Cit Toa kiamsian bagi kami adalah sebutan belaka dari orang-orang luar, orang berikan itu kepada kami diluar tahu kami, diluar persetujuan kami juga. Dan di gunung kami ini, selama lima-ratus tahun, belum pernah ada orang yang berani datang untuk mengacau, tetapi sekarang kau, Kang Siau Hoo, kau sudah berlaku malang-melintang, kau sudah langgar keangkerannya Cin Bu Yaya! Kenapa kau berani lukai muridnya Sam Ceng?“
Dari atas loteng, Kang Siau Hoo perdengakan sura tertawanya menghina.
“Dan kau orang, muridnya Sam Ceng, boleh piara macan tutul untuk dipakai menggigit orang! Dan kau orang ijinkan satu imam perempuan liar menggendong-gendong orang perempuan rakyat jelata mendaki gunungmu!”
Thio Hian Hay melengak.
“Eh, urusan apa itu yang kaui sebut-sebut?“ tanya ia saking heran. “Kang Siau Hoo, hayo turun! Mari kita bicara! Kita tidak nanti curangi padamu!“
Tanpa bersangsi sedikt juga, seraya putar pedangnya, Siau Hoo loncat turun. Ia tertawa mengejek.
“Siapa jerih terhadap kau orang?“ katanya, tetap secaya menantang. “Adalah aku yang mengharapi agar aku orang tidak mencari mampusmu sendiri!“
Chio Hian Hay ada cukup sabar untuk tidak menjadi gusar.
“Kau bilang kami piara macan tutul, mana dia macan itu?” ia tanya.
“Pergilah kau turun, akan lihat seudiri,” Siau Hoo jawab, “Didalam kuil dari Tan Kiam Hui ada bangkainya seekor macan tutul. Coba aku tidak mengerti silat, pasti siang-siang aku sudah jadi barang makanannya harimau itu, tidak sisanya lagi dan tulang-ulangku juga!“
Thio Hian Hay kaget, mukanya menjadi berubah. Terang ia ada gusar, ia menoleh kepada rombongannya.
Dua imam segera majukan diri, mereka menjura pada imam tua ini.
“Di kuil bawah ada seekor macan tutul,” berkata satu diantaranya. “Itu binatang dipiara sejak masih kecil oleh Tan Su siok, belum pernah melukai orang ... ”
Mendengar ini, tampangnya Thio Hian Hay tidak semerah padam seperti tadi.
“Kuil dibawah itu ada sangat sepi,” kata ia pada Siau Hoo. “kami kuatir nanti ada orang-orang jahat, yang datang untuk ganggu kami dari itu, kami sudah piara macan tutul. Jikalau kau tidak datang mengacau, tidak nanti binatang itu ganggu padamu. Barusan kau sebut-sebut penculikan perempuan rakyat jelata. Bagaimana duduknya itu? Perempuan siapakah dia itu?“
“Itulah ada urusan kau orang!“ jawab Siau Hoo, dengan mendongkol. “Diantara orang kau disini, ada yang telah buat perhubungan dengan imam perempuan bernama Too Teng dari Kiu Sian Koan dan In Ciat Nia. Imam itu sudah culik isteriku, yang dia bawa lari kemari!“
Begitu dengar keterangan itu, Thio Hian Hay segera berpaling pada Lu Cong Giam, itu imam muda umur kurang lebih tiga puluh tahun yang mukanya putih dan cakap. Dia ini tidak kata suatu apa kepada imam tua itu, ia hanya menghampiri Siau Hoo, untuk terus menjura. Ia ada bawa pedang ditangannya, tetapi ia tidak menyerang, malah ia bersikap tenang sekali.
“Pasti sekali kau telah kena orang pedayakan,” berkata ia. “Memang, pada satu tahun yang lalu, pernah satu kali Too Teng datang kemari, tetapi dia datang ke Cia Bu Bio, untuk bersujut, habis itu, dia sudah lantas pergi pula. Kami tidak punya perkenalan dengan dia itu. Disekitar gunung kami ini, yang luasnya seratus lie, ada banyak rumah-rumah suci lainnya, malah di belakang gunung, ada beberapa kampung, maka pergilah kau cari dia disana, tetapi jangan kau ganggu kesucian dan ketenteramannya tempat kami ini.”
Siau Hoo berpikir sebentar, lantas ia menjawab : “Baik, aku nanti pergi mencari kelain tempat, tetapi ingat, apabila aku tak berhasil mendapatinya, aku nanti datang pula kemari untuk minta keterangan lebih jauh! Nah, sampai ketemu pula! Sampai ketemu pula!”
Setelah mengucap demikian pemuda ini putar tubuhnya. Ia baru bertindak, atau dengan sekonyong-konyong Thio Hian Hay loncat kebelakangnya, gerakannya sangat gesit, jari tangannya yang kiri dipakai menotok orang punya bebokong!
Siau Hoo ada waspada, matanya celi, gerakannya gesit. Melihat orang bokong ia! Ia lekas putar tubuh lagi, berbareng dengan itu, ia membabat dengan pedangnya.
Thio Hian Hay tarik pulang tangannya ia batal menyerang.
Siau Hoo sementara itu tertawa mengejek dan berkata : “Apakah kau masih memikir untuk gunai ini macam cara seranganmu terhadap aku? Hm!”
Thio Hian Hay tidak meajawab, ia tak gubris jengekan itu, hanya dengan pedangnya, ia menyerang.
Dengan pedangnya, Siau Hoo tangkis serangan itu.
Baru sekarang si imam buka mulutnya, dengan mata mendelik.
“Kang Siau Hoo, kau sudah lukai orangku, kau telah mengacau di puncak Thian Kie Hong ini. Apakah kau kira kau bisa dengan begini saja berlalu dari sini?” kata ia.
“Sedikitnya kau mesti berlutut di depan Cou-su untuk kau pasang hio dan hunjuk kehormatan,” jawab Thio Hian Hay. “Habis itu kami nanti ringkus kau, untuk gotong kau turun gunung, buat diserahkan pada pembesar negara.”
“Cis!“ berseru Siau Hoo, yang segera maju menyerang imam itu.
Thio Hian Hay tangkis itu serangan.
Ma Hian To bersama Nie Kiam juga Cou Kiam Hiong segera akan bantu mengepung.
Selagi orang bertempur, satu dikepung berempat, Lu Cong Giam berdiri saja, sambil menonton.
Siau Hoo tidak jerih barang sedikit walau-pun ia dikurung empat musuh yang liehay, lebih-lebih Thio Hian Hay dan Ma Hian To.
Selama itu, dari arah luar, ada datang lain-lain imam, hingga jumlah mereka jadi lima atau enam-puluh orang banyaknya. mereka ini bersikap mengurung.
Pertempuran berjalan terus, dengan seru sekali. Entah bagaimana pikirannya Ma Hian To, ia berseru satu kali terhadap sekalian imam, atas mana, mereka ini, semuanya, segera meluruk maju, akan menyerang pemuda kita.
Sedetik saja, Siau Hoo sudah kena dikurung. Ia tidak mau terjang bahaya, maka itu, segera ia membuka jalan, kemudian dengan sebat, ia loncat pula naik keatas cionglau, disini ia tidak berdiam lama, ia hanya loncat turun, keluar tembok pekarangan.
“Maju!“ berseru Cou Kiam Hiong dan Nie Kiam Tiau, yang terus kepalai rombongannya memburu keluar. Kiam Hiong mendongkol, karena ia ditimpuk genteng. Coba ia tidak kelit, niscaya ia akan terluka parah.
Siau Hoo layani musuh sambil terus mundur dengan perlahan-lahan, ia tidak mau kasi dirinya kena dikurung. Karena ia mundur terus, tidak lama ia sudah mendekati tepi jurang yang kita kenal. Begitu ia sudah sampai ditepi jurang itu, ia tunda tindakannya.
“Mari, maju, maju!“ ia segera menantang sambil menggapai-gapai.
Sekalian imam itu maju terus, bagaikan arus saja. Malah diantaranya ada yang melepaskan panah-tangan.
Siau Hoo gunai pedangnya akan sampok jatuh beberapa batang panah, kemudian ia terjang Cou Kiam Hiong dan Nie Kiam Tau, yang maju paling depan. Ia berlaku gesit sekali, ia mendesak, maka, baru beberapa jurus, ia telah buat rubuh pada imam yang belakangan. Sesudah ini. Ia lompat mundur dengan tiba-tiba, ia tertawa bergelak-gelak sesudah mana, tahu-tahu ia enjot tubuhnya, akan loncat turun kejurang, nampaknya tubuh itu seperti terbang melayang ...
Dengan tidak kurang suatu apa, anak muda ini taruh kakinya didalam lembah, tapi menyusul itu, ada beberapa batang panah dan juga batu, yang menyamber padanya, karena mana, ia terus lari terlebih jauh, kemudian barulah ia berhenti, akan berdiri diam.
Disini kabut sudah lenyap. Kapan ia menoleh kesekitarnya. Ia tampak beberapa tukang kayu sedang bekerja. Ia perbaiki dahulu napasnya yang memburu, kemudian ia bertindak menghampirkan tukang-tukang potong kayu itu. Selagi mendekati ia lihat orang punya rambut digelung sebagal kondenya imam, maka itu ia lantas letaki pedarngnya untuk angkat kedua tangannya akan beri hormat kepada mereka.
“Rupanya kau orang lagi repot sekali!“ kata ia dengan manis.
Beberapa tukang kayu imam itu berhentikan kampak nereka, semuanya awasi anak muda ini.
“Ada urusan apa?” tanya salah satu imam yang balas orang punya hormat.
Siau Hoo menghela napas. Ia membawa aksinya.
“Aku adalah satu penduduk Han-tiong,” ia menjawab, “apa lacur, selagi aku hidup tenteram di rumahku tiba-tiba ada datang malapetaka. Diluar dugaanku, aku kedatangan satu imam perempuan yang memungut derma dari Kiu Sin Hoan dan In Ciat Nia, namanya Too Teng. Entah kenapa ia tertarik oleh isteriku, terus saja ia serang isteriku dan panggul pergi untuk diculik. Aku pergi mengadu pada pembesar negeri, hamba polisi sudah lantas dikirim ke Kiu Sian Koan untuk mencari dan menangkap, akan tetapi sia-sia kita menggeledahnya. Menurut keterangannya orang dalam kuil itu katanya isteriku digondol pergi kemari ... “
Beberapa imam itu nampak kaget.
“Too Teng?” tanya satu diantara mereka. “Kami tahu dia ada su-cie dari Tiat Tiang Ceng. Dia memang bukannya imam baik-baik.”
Habis itu beberapa imam tersebut mulai bekerja pula, kecuali yang barusan bicara, ia bicara terlebih jauh dengan pemuda kita.
“Too Teng itu, duluan memang suka ke sini,” demikian katanya. “Tapi dia tidak berani mendaki Thian Kie Hong, Ngo Liong Hong. Sebabnya yalah beberapa kiamsian yaya larang dia datang naik. Maka itu apabila dia datang kemari, dia cuma berdiam di dekat-dekat Kay Kiam Coan dan gunung belakang. Kemarin ketika aku pergi jual kayu didalam kota, aku dapat lihat dia berada di satu jalan besar …”
“Apakah dia berada didalam kota?” Siau Hoo tanya.
“Boleh jadi dia masih berada didalam kota,” sahut sang imam, “hanya aku tidak tahu dia mondok dimana.”
Siau Hoo rangkap kedua tangannya.
“Terima kasih!” ia mengucap. Ia hampirkan pedangnya untuk dijumput, dengan bawa itu ia turun terlebih jauh dari gunung itu.
Pada waktu itu walau-pun kabut telah buyar akan tetapi matahari masih belum muncul. Puncak kelihatan diempat penjuru berlapis-lapis, hingga sukar untuk mencari arah tujuan. Siau Hoo tapinya jalan terus, turun.
Tidak lama pemuda ini dengar suara air jatuh, ia lantas tahu, ia sudah mendekati sumber air Kay Kiam Coan. Ia jalan pula sampai sedikit jauh di depan ia, ditengah gunung ia lihat ada berdiri satu imam, siapa terus menggape terhadapnya, seraya dia itu terus memanggil: “Kang Sie-cu,disini ada jalanan! Mari naik kemari. Aku-pun ingin omong sedikit denganmu!”
Siau Hoo dongak, ia lantas kenali imam itu, salah satu dari Cit Toa-kiamsian, yalah Leng In Kiamkek Lu Cong Giam. Dengan tidak pikir panjang lagi ia bertindak ke arah imam itu, sambil berlompat kemudian dia datang padanya.
“Sungguh liehay!” memuji imam itu, yang lihat orang punya loncat tinggi.
Siau Hoo bersenyum. Ia bertindak lagi untuk lebih dekat dua tindak.
“Lu Too-ya,” berkata ia. “ketika tadi aku tempur sekalian imam itu, melainkan kau yang tidak turun tangan untuk bantui mereka, kau ada baik sekali!”
“Sebenarnya aku bukanlah kawan mereka itu,” Cong Giam menjawab. “Adalah orang luar yang tarik aku masuk dalam rombongan mereka. Dengan sesungguhnya aku tidak gembira disebut sebagai satu diantara mereka.”
“Mendengar suaramu, kau bukannya asal sini.” Siau Hoo kata. “kenapa kau jadi berada bersama-sama dengan mereka itu?”
“Bukan saja aku bukannya rombongan mereka, malah imam-pun aku bukannya,” Cong Giam berkata pula dengan penjelasannya. “Pada tiga tahun yang lampau, di kampungku aku telah kena bunuh orang, pembesar negeri cari aku, aku kini menyingkir kemari. Tadinya aku tidak bisa liamkeng dan tidak pernah duduk bersamedhi juga.”
“Kau sebenarnya asal dari mana?“
“Aku ada asal distrik Wie-leng dipropinsi Kui-ciu. Dengan Too Teng aku ada berasal satu kampung halaman. Maka itu untuk cari Too Teng kau seharusnya datang padaku, dengan begitu kau jadi bisa hemati tempo dan kesulitan. Sia-sialah tadi kau mendaki Thian Kie Hong, malah kau jadi tanam bibit permusuhan dengan kawanan imam itu. Kau benar liehay akan tetapi kau belum pernah ketemu dengan Yok Hian Ceng, umpama kata imam tua itu muncul pastilah sudah jiwamu tak bakal dapat dipertanggungkan lagi!”
Siau Hoo bersenyum ewa.
“Kau jangan angkat-angkat namanya imam itu untuk gertak aku!” ia bilang. “Aku datang kemari bukan untuk berkelahi. Aku tahu meski-pun kau orang semua ada pada beradat tinggi, kau orang tapinya bukan manusia-sia terlalu busuk. Kau bilang kau kenal Too Teng, nah, apa kau boleh beri tahu dimana adanya dia sekarang? Asal kau bisa ketemui kepadanya, asal dia suka kembalikan isteriku, aku akan buat habis urusan kita, aku janji tidak bakal buat dia celaka.”
“Umpama kau bunuh dia, itulah tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,” Cong Giam bilang. “Kendati-pun dia ada seorang asal satu kampung dengan aku, sebenarnya melainkan aku yang tahu dia siapa, dia sendiri, tidak kenal aku. Aku nanti tunjukkan tiga tempat kemana kau bisa cari dia. Yang pertama adalah Cau-hay-pong didistrik Wie-leng di Kuiciu. Yang ke dua ada kelenteng Thay Kek Koan digunung Heng San, dan yang ketiga di Leng-lam …”
“Kau benar cerdik!” pikir Siau Hoo, yang tertawa dalam hatinya. “Rupanya kau hendak buat aku pergi demikian punya jauh ... “ Tapi ia terus mendengari.
“Too Teng jarang datang ke Bu Tong San ini!” demikian Leng In Kiam-kek tambahkan, “Kalau toh dia datang kemari, dia tak berani naik ke gunung ini. Disini kau pasti tidak bakal dapat cari dia!”
Siau Hoo manggut.
“Terima kasih!” kata ia. “Baiklah, nanti pergi lebih dahulu ke Heng San untuk cari padanya! Sampai ketemu pula! Sampai ketemu pula!”
Lantas saja pemuda ini loncat turun lagi, ia jalan, sampai ia ketemu sebuah puncak. Disini ia mendaki, ia naik ketempat yang tinggi, maka kapan ia putar tubuhnya, ia dapat lihat Lu Cong Giam, yang sekarang berada dibawahan. Dengan ikuti jalanan ditepi gunung, imam itu menuju naik juga, makin lama, dia jalan makin jauh, sampai akhirnya tidak tertam pak pula.
Siau Hoo perhatikan orang punya tujuan, terutama keletakan bukit itu. Segera juga ia ingat, ia kenali bagian gunung itu. Ketika Kie Kong kiat datang dan bertempur sama sekalian imam, itu adalah tempat dimana orang she Kie itu terjatuh dari atas gunung. Itulah tempat kemana barusan Lu Cong Giam pergi. Tempat itu ada lebih lebat pepohonannya, daun merah seperti memenuhi daerah itu.
Oleh karena ini, Siau Hoo lantas dengari suara air, untuk ketahui arahnya, kemudian ia bertindak, akan menuju kearah air tumpah itu. Ia tidak usah jalau jauh akan dapat lihat jurang kemana air tumpah.
Ketika itu ada dimasa musim rontok, air tumpah tidak sehebat seperti dimusim panas.
Dengan cepat Siau Hoo menuju ke tempat dimana tadi Lu Cong Giam menghilang, Ia dicegat oleh sekelompokan pohon angco yang lebat, maka, untuk membuka jalan, ia guai ia punya pedang, akan babat sesuatu rintangan. Disitu-pun ada banyak pohon oyot. Ia mendaki terus, sampai dua puncak, sehabisnya itu, ia lihat sebuah kuil di depannya. Ia ingat betul, itu ada tempat kemana Kie Kong Kiat telah pergi mengacau. Ia lantas berdiam, untuk memikir.
“Diluar keinginanku, disini aku telah binasakan beberapa orang. Dimata orang-orang yang tidak tahu duduknya, aku pasti dikatakan menghina kawanan imam itu, aku sudah mengacau dan permainkan jiwa orang. Apabila anggapan itu sampai tersiar, aku bakal dapat nama jelek, orang akan tertawai dan jengeki aku. Inilah aku mesti jaga. Aku percaya, Too Teng mesti berada disini. Kelihatannya, kecuali Lu Cong Giam, lain orang tak ketahui halnya imam perempan itu. Lain-lain imam tentunya tidak sudi bantu aku. Sekarang baik aku kuntit orang she Lu itu, aku percaya aku bakal dapat cari Too Teng …”
Setelah ambil ketetapan, Siau Hoo mundur, ia mencoba mencari jalanan, untuk mendaki. Dengan cepat ia sampai disitu terpat dimana, sambil duduk beristirahat diatas sebuah batu besar, ia lihat nyata kuil tadi, yang sekarang berada disebelah bawah dia. Ia memperhatikan kuil itu.
Kuil itu terbagi dalam dua pendopo, tapi dari situ, tidak tertampak barang satu imam juga.
Siau Hoo tidak putus asa, ia duduk terus, sambil memasang mata.
Akhir-akhirnya, selang sekian lama, dari pendopo sebelah Barat, kelihatan juga munculnya satu orang. Dia ada memakai jubah gerombongan, tangannya panjang. Itu orang ada satu imam, tindakannya cepat, gesit, jalannya dengan dada diangkat.
Apabila ia telah mengawasi sekian lama, Siau Hoo kenali Lu Cong Giam.
“Benar-benar dia ada disini,” pikir anak muda kita. “Sekarang aku mau lihat, ke mana perginya ini imam tetiron. Dia ada muda, dia beroman cakap, omongnya manis-budi tetapi aku percaya, dia ada terlebih buruk daripada imam-imam lainnya ... ”
Lu Cong Giam berjalan lerus, disebelah bawah, diluar ia punya tahu, Siau Hoo bayangi ia dan sebelah atas. Rupanya, dia tidak curiga sama sekali karena tadi dia lihat pemuda kita sudah pergi. Dia tidak jalan terlalu cepat. Dia mendaki sampai kemudian dia berada sama tingginya seperti penguntitnya. Dia masih tidak curiga atau lengah.
Siau Hoo terpaksa bertindak dengan pelahan, ia pernahkan diri belakangan, ia berlaku sangat hati-hati, agar imam itu tidak dapat lihat padanya.
Cong Giam jalan terus, tidak pernah dia menoleh ke belakang. Dia jalan naik. Jalanan ada bertambah sukar.
Sesudah naik pula sekian lama, mereka berada diatas, ditempat dimana tidak ada pepohonan. disitu awan seperti bergumpal jadi satu dengan kabut.
Entah berapa jauh mereka itu sudah berjalan ...
“Apa bisa jadi Too Teng tidak berada disini?” akhirnya Siau Hoo sangsi sendirinya. “Atau umpama kata ia benar ada disini, tetapi Ah Loan, dengan lukanya itu, mana bisa naik begini tinggi? Apa tak mungkin, Leng In Kiam-kek Lu Cong Giam lagi pancing aku, karena disini ia sedang pasang suatu jebakan?”
Baru Siau Hoo memikir demikian, atau ia sudah bisa lantas legakan diri.
“Ditanganku ada sebatang pedang, apa yang aku mesti buat jerih?” demikian ia kata pula dalam hatinya.
Oleh karena ini, ia lantas bertindak lebih jauh. Semakin ia mendekati kuil, semakin nyata ia lihat kuil itu ada besar, semuanya terdiri dan tiga pendopo. Ketika ia sudah sampai didekat pintu pekarangan, ia dapati pintu itu tertutup rapat, diatas ada galakgasi dimana-pun ada bangkai cecapung dan lainnya kutu, yang menjadi kurbannya kawa-kawa. Seekor kawa-kawa besar sedang mendekam disarangnya.
Melihat keadaan, rupanya kuil itu sudah lama tidak pernah dibuka, didalamnya seperti tidak ada penghuninya. Maka Siau Hoo-pun sangsi, didalam situ ada orang atau tidak. Ketika ia mencoba dengan ujung pedangnya, akan ketok pintu, sampai beberapa kali, ia tidak dengar jawaban suatu apa dari sebelah dalam.
“Sungguh satu tempat yang bagus!“ Siau Hoo berpikir pula. “ Jikalau Too Teng berkongkol dengan Lu Cong Giam dan ia gondol Ah Loan kemari, untuk disembunyikan, pasti sekali tidak ada orang yang sanggup mencarinya!“
Anak muda kita penasaran, dari itu, berbareng mendongkol, ia loncat naik ketembok akan loncat lebih jauh, turun kesebelah dalam. Ia pasang kuping. Ia tidak dengar suara apa-apa dari dalam pendopo.
Jendela dari ketiga pendopo tengah, timur dan barat sudah rusak bobrok, walau pun demikian dari dalam situ ada mengebul keluar asap hio atau dupa. Maka itu Siau Hoo bertindak masuk kependopo tengah. Dari ruangan pertama ia memasuki ruangan kedua. Disini tetap tidak ada orang, dari itu ia maju lebih jauh keruangan ketiga.
Adalah disini, barulah Siau Hoo berhadapan dengan satu imam yang lagi berjalan keluar, rupanya dia hendak pergi mencari kayu. Dia heran melihat ada tamu tidak diundang, segera ia berhentikan tindakannya.
“Kau siapa?“ imam itu mendahului menanya.
Siau Hoo angkat kedua tangannya, untuk dirangkapi.
“Aku ada seorang she Kang.” ia menyahut dengan sabar. “Aku datang kemari untuk cari Lu Cong Giam dengan siapa aku hendak bicarakan suatu urusan. Barusan aku lihat dia mendaki gunung ini dan datang kemari, dari itu aku susul dia kesini.”
Imam itu mengawasi dengan romannya tetap dalam keheranan.
“Kuilku ini adalah kuil Thay Hian Koan di puncak Cie Siau Hong,“ ia lantas kasi keterangan. “Disini melainkan ada aku sendiri yang melayani Hian Ceng Loo hong tiang yang sedang sucikan diri. Tidak ada orang yang ketiga yang bisa naik kemari. Lu Cong Giam tinggal dipuncak Ngo Liong Hong, kau boleh cari dia disana. Laginya, kenapa kau naik kemari dengan bawa-bawa pedang.“
Siau Hoo menjadi mendongkol dengan tiba-tiba, karena ia anggap orang sudah dustakan padanya.
“Toh terang sekali aku lihat dia datang kemari!“ kata ia dengan sengit. “Cara bagaimana kau berani menyangkal? Sekarang aku hendak bertemu sama Yok Hian Ceng! Biar dia ada yang nomor satu diantara Cit Toa-kiamsian, aku tidak takut padanya! Jangan dia berkongkol sama imam perempuan busuk menyembunyikan isteriku disini!“
Lalu, dengan sebelah tangannya, ia tolak kesamping pada imam itu, untuk ia maju melewatkan dia.
Baru Siau Hoo jalan beberapa tindak, lalu dari dalam muilie dari pendopo barat, yang kain penutup pintunya berwarna kuning jeruk, terdengar suara pertanyaan: “Ada apa?“ Itu ada suara orang tua tetapi keren.
Dengan cepat Siau Hoo menghampiri muilie itu, yang ia terus singkap dengan ujung pedangnya, maka itu dengan segera ia berhadapan sama satu imam tua, tubuh siapa terlalu besar dan jangkung, tetapi kumis jenggotnya panjang dua kaki lebih, rambutnya sudah-putih semua, dengan dia punya jubah biru dia nampaknya luar biasa sekali aneh.
Dengan tetap cekal pedangnya, Siau Hoo rangkapkan kedua tanganya.
“Yok Too-ya,“ berkata ia, yang segera menduga, siapa adanya imam tua itu, “sudah lama aku dengar namamu yang besar, karena kau adalah yang pertama diantara tujuh Toa-kiamsian, kau terkenal untuk kesucianmu. Aku sendiri adalah Kang Siau Hoo, muridnya Loo sianshe dari Kiu Hoa San. Aku datang kemari untuk mencari orang. Isteriku, yang bernama Ah Loan, sudah diculik oleh Too Teng Su-kou, dan aku telah dapat keterangan, imam perempuan itu berkongkol dengan Lu Cong Giam, yang juga berdiam di puncak ini. Isterku itu telah disembunyikan disini ... “
“Kang Siau Hoo!” berseru Yok Hian Ceng tanpa tunggu orang tutup mulutnya. Dia-pun segera hunjukan roman gusar sekali. “Kang Siau Hoo, segala perbuatan kau ini hari di Thian Kie Kong, aku telah ketahui semuanya. Bu Tong San ini ada gunung dimana Cin Bu Ya telah peroleh kesempurnaannya, dan sampai sekarang ini, Thong Bie Hian Hoa Cinjin Sam Hong Cousu masih terus hidup ... ”
Siau Hoo pun segera memotong.
“Aku datang kemari bukan untuk mengacau dengan sengaja!“ ia bilang, “Sikapku disebabkan di gunung kau orang ini benar-ada sembunyi orang jahat! Aku juga mengerti aturan, dari itu waktu tadi aku mendaki gunung ini, aku tidak bawa pedang, sedang pedangku ini adalah senjata yang tadi aku dapat rampas dari tangannya kau orang punya murid. Kau lihatlah ini!“
Siau Hoo sodorkan pedangnya pada imam tua itu.
Yok Hian Ceng lihat pada gagang pedang pita warna kuning, ia manggut.
“Baik!” ia jawab. Dan lantas ia membungkuk sedikit, untuk letaki pedangnya itu dipinggiran, hingga senjata itu menerbitkan suara nyaring.
Adalah selagi si anak muda sedikit membungkuk itu, dengan kesebatan luar biasa, Yok Hian Ceng maju sambil ulur sebelah tangannya, hingga jerijinya sudah lantas mengenai orang punya tulang iga!
Ini adalah penyerangan yang Siau Hoo tidak pernah sangka, karena datangnya dari satu imam tua yang tersohor namanya. Segera ia merasakan tubuhnya jadi kaku semua, hingga ia rubuh tanpa berdaya lagi, karena kepalanya membentur jendela, jendela ruji jendela yang bobrok menjadi patah. Ia kaget tetapi sudah kasep. Mesti juga ia sudah tidak berdaya, akan tetapi ia masih bisa tertawa terbahak
“Bagus!” dia berseru. “Baru sekarang aku kenal baik kau orang semua Cit Toa-kiam-sian! Nyatanya kau orang semua ada bangsa tikus yang hina dina!“
Biar bagaimana, pemuda ini toh sibuk juga. Ia segera empos ia punya semangat, ia berniat gunai ilmu kepandaiannya sendiri, akan buat punah orang punya totokan jalan darah itu. Ia ada sangat menyesal, karena kealpaannya, ia telah kena dibokong.
Yok Hian Ceng tidak perdulikan orang punya jengekan, ia segera ambil dua potong tambang terbuat dari rumput, dengan itu dengan sebat ia ringkus Siau Hoo punya kedua tangan dan kaki, dililit pada tubuhnya.
Justeru itu dari luar ada imam, yalah imam yang tadi Siau Hoo tolak mundur.
“Cousu-ya, orang ini bertenaga sangat besar,” ia beritahu, ”jangan tambang rumput itu tidak cukup tangguh untuk mengikat dia ... “
“Pergilah kau cari lain tambang.” Hian Ceng jawab imam tukang cari kayu itu, “Sekalian kau juga suruh kau orang datang kemari. Dengan aku yang menjagai, dia ini tidak bakalan bisa loloskan diri.
Imam itu menyahuti lalu dengan tergesa-gesa, ia undurkan diri.
“Yok Hian Ceng, pikirlah baik-baik!“ kata Siau Hoo sambil kertek gigi, karena ia mencoba menahan hawa amarahnya. “Aku ada muridnya Loo Sinshe dari Kiu Hoa San, maka jikalau kau berani main gila terhadapnya, silahkan kau bunuh aku!“
Air mukanya Yok Wan Ceng berubah dari pucat menjadi merah, menjadi merah padam, kulit mukanya juga bergerak-gerak sampai satu kali, lenyaplah kisutannya. Di akhirnya, ia hunjuk roman murka.
“Janganlah kau gertak aku dengan sebut-sebut nama gurumu!“ ia bilang dalam sengitnya. “Jikalau dia datang kemari, aku juga akan ringkus padanya! Tapi di sni aku telah sucikan diri buat lebih dari pada enam puluh tahun, aku tidak hendak ganggu orang punya jiwa. Kau tunggu saja datangnya muridku, nanti aku perintah mereka gotong kau turun gunung, untuk diserahkan pada pembesar negeri, supaya kau dihukum untuk kedosaanmu sudah mengacau kesucian gunungku ini, buat kau punya pembunuhan terhadap beberapa jiwanya orang-orang suci!”
“Baik, boleh kau buat apa kau suka!” bersecu Siau Hoo dalam murkanya. “Ku jaga supaya aku tidak sampai dapat lolos, umpama aku bisa loloskan diri, sebelumnya aku injak rata kau punya gunung ini, aku belum puas!“
Habis mengucap demikian, Siau Hoo kembali empos semangatnya, ia hendak buat darahnya mengalir pula seperti biasa, dengan begitu, ia akan bebas dari bahaya totokan, dengan gampang ia akan berontak buat buat putus semua tambang yang melibat tubuhnya. Akan tetapi, belum sempat ia gunai tenaganya. Ia lihat datangnya imam yang tadi bersama dua kawannya, yang ada bawa tambang, yang jauh terlebih kasar daripada yang mengikat dirinya, hingga di lain saat, ia sudah dibelenggu terlebih jauh, dilapis dengan belengguannya yang pertama.
Kedua toosu yang baru datang itu adalah Thio Hian Hay dan Lu Cong Giam, maka itu, menampak imam itu, yang disebut imam tetiron, gusarnya Siau Hoo bukan kepalang.
“Lu Tiong Giam, manusia busuk!“ Ia segera mendamprat.
Leng In Kiam-kek berpura-pura tidak mendengar dampratan itu.
“Loo cousu,” ia minta kepada Yok Hian Ceng, “tolong kau serahkan orang ini kepadaku untuk aku yang hukum padanya. Supaya dia tidak mengacau pula di Cousu punya tempat suci ini!”
Yok Hian Ceng menoleh pada imam tamu ini.
“Aku tidak bisa antap dia membunuh orang diatas gunungku ini, tetapi kita orang-orang suci tak dapat langgar pantangan membunuh!” berkata ia dengan suara sungguh-sungguh. “Dia ini berlaku kurang ajar, cukup jikalau kita buat dia tidak berdaya! Kau hendak bawa dia, apa kau niat lakukan terbadapnya? Apakah kau ingin bunuh dia diluar tahuku?“
Lu Cong Giam menjura.
“Tidak, Loo-cousu” jawab ia.
“Yok Hian Ceng, aku lihat kau masih pakai aturan, kau nyata ada satu imam baik-baik,” Siau Hoo bilang. “Sekarang kau merdekakkan aku, aku tidak nanti satrukan pula kau orang. Aku memangnya cuma hendak cari Lu Cong Giam, aku hendak ajak dia cari Too Teng, untuk aku minta pulang isteriku!“
Mukanya Cong Giam menjadi pucat dengan tiba-tiba.
“Jangan merdekakan dia!“ lekas-lekas dia kata pada Yok Hian Ceng. “Aku kenal orang ini! Didalam kalangan kangou, tidak ada kejahatan yang dia tidak lakukan!“
“Fui!“ Siau Hoo berludah. “Tidak ada kejahatan yang tidak dilakukan? Aku bukannya sebangsa kau! Kau sudah berkongkol sama Too Teng, kau bantu imam perempuan itu culik satu perempuan rakyat jelata dibawa lari kegunung ini!“
“Kau punyakan buktinya?“ tegaskan Yok Hian Ceng.
“Pasti!“ sahut Siau Hoo. “Di In Ciat Nia aku telah bentrok dengan Too Teng hingga kami berdua jadi bermusuhan, lantas dia tantang aku datang ke Bu Tong San ini untuk adu kepandaian terlebih jauh! Isteriku telah terlenyap di kuil di In Ciat Nia, imam tua disitu telah kasikan keterangan padaku bahwa isteriku sudah dibawa lari oleh Too Teng, dibawa kesini! Barusan aku telah tanyakan beberapa imam di gunung kau ini, yang sedang potong kayu, antaranya ada yang bilangi aku bahwa kemarin dia pernah lihat Too Teng didalam kota, akan tetapi Lu Cong Giam sebaliknya, dengan mendusta, hendak pancing aku ke Kui ciu! Cong Giam terang sudah berkongkol sama Too Teng, maka itu dia mestinya tahu betul dimana isteriku disembunyikan!“
Yok Hian Ceng melotot terhadap orang she Lu itu.
“Mulai saat ini, aku larang kau turun gunung,“ ia ancam. “Kau mesti berdiam disini, sampai aku sudah selesai dengan penyelidikanku! Andaikata keterangannya Kang Siau Hoo benar adanya, kau harus ketahui aturan digunungku ini!“
Lu Cong Giam menjura pula.
“Semua ini adalah kedustaannya Kang Siau Hoo,” ia masih bela diri. “Aku tidak kenal imam perempuan yang bernama Too Teng itu! Tadi-pun baru saja aku bicara kepada Kang Siau Hoo ini. Silahkan cousu-ya lakukan penyelidikan, jikalau teecu benar ada lakukan suatu pelanggaran, terserah kepada Cousu-ya untuk ambil keputusan!“
Yok Hian Ceng manggut.
“Oleh karena kau kurang ajar, aku terpaksa ringkus padamu,” kata ia pada Siau Hoo kepada siapa ia berpaling. “Percaya, tidak nanti aku buat kau celaka. Kau tunggu disini selama tiga hari, aku percaya aku akan segera dapatkan segala keterangan yang perlu, apabila kau benar, aku akan merdekakan kau, nanti di depan kau sendiri, aku akan hukum Lu Cong Giam. Bagaimana jikalau kau cuma ngaco-belo, untuk membuat kotor dan mengaco disini?“
Siau Hoo tertawa dingin.
“Karena kealpaanku, aku kena dibokong ditotok oleh kau!“ sahut ia. “Terserah pada kau, kau hendak bunuh aku atau tidak!”
Kembali ketua Cit Tua-kiam-sian itu manggut.
“Baik,” kata ia. “Dalam tempo tiga hari, pasti aku akan dapat buat terang urusan kau ini.”
Lantas imam ini perintah imam pelayannya, bersama-sama Lu Cong Giam, gotong Siau Hoo kesebuah kamar dalam pekarangan yang ke dua dari pendopo timur, karena ketiga pendopo memang berhubungan satu dengan lain. Disitu ada patung suci, ada hiolo dan lain-lain. Dan disitu Siau Hoo diletaki ke jubin, bukan dengan diturunkan dengan pelahan-lahan, hanya dilemparkan tubuhnya, digabruki! Tapi justru ini bantingan telah membuat darahnya si anak muda, semua bisa mengalir pula seperti biasa, lenyap kebekukannya bekas totokannya Yok Hian Ceng! Hanya karena ia dibelenggu keras, ia tak dapat loloskan diri.
Lu Cong Giam, dengan tidak berpaling lagi, ajak si imam kawannya keluar pula dari kamar itu, pintunya ia segera kunci. Ia didamprat tapi ia diam saja.
Siau Hoo coba geraki tubuhnya akan mencelat bangun. Ia berhasil berdiri, tapi karena kedua kakinya diikat rapat satu dengan lain, ia tak dapat bertindak. Ia punya kedua tangan juga sukar diulur, untuk dipakai membuka ikatan pada kakinya itu. Maka akhirnya, kembali ia jatuhkan dirinya, akan duduk dengan kaki melonjor.
Di belakang ini anak muda ada tembok, ia gusur lengannya ketembok itu, untuk buat tambang terputus, sampai lama, ia tidak peroleh hasil. Dan terus sampai kamar jadi gelap, ia tetap belum mampu loloskan diri. Ia duduk diam sambil beristirahat, tetapi ia punya hati terus bergolak saking panas.
“Asal aku mampu lepaskan diri, aku nanti bunuh habis mereka semna!“ ia berpikir dalam mendongkolnya.
Tiba-tiba ada terdengr suara dipintu, suara dari dibukanya daun pintu , kemudian muncul bayangannya satu orang.
Siau Hoo kaget, ia mengawasi. Ia diam saja.
Orang itu masuk dengan tidak ambil mumat pada si anak muda, ia menuju langsung kemeja, ia nyalakan api, ia pasang pelita diatas meja, kemudian ia pasang sembilan batang hio dengan apa ia tekuk lutut, akan bersembahyang sambil manggut berulang-ulang, guna hunjuk kesujutannya.
Diantara cahaya pelita, Siau Hoo kenali si imam sebagai imam yang tadi belenggu ia.
“Eh, sahabat!” ia menegor, “Mari kau bukai belengguanku, aku hendak pergi cari Too Teng dan Lu Cong Giam! Dengan kau orang, aku tidak punya urusan apa-apa lagi, jikalau tidak, awas!“
Imam itu tidak menjawab, ia tetap lakuannya ibadatnya, sesudah bersujut, dengan manggut sembilan kali, ia padamkan pelita, terus ia pergi keluar. Pintu segera dikunci pula.
Siau Hoo mendongkol, hingga ia mengumpat-caci. Ia mengawasi ke pintu ia noleh kesekitarnya, tatkala ia lihat sembilan batang hio, yang apinya seperti kelak-kelik. Dalam gelap-gulita, api hio itu tertampak nyata. Tiba-tiba, ia ingat sutatu apa. Tidak tempo lagi, ia geraki tubuhnya, akan loncat bangun pula. Walau kedua kakinya terikat, ia toh bisa berlompotan. Maka itu, sambil berjingkrakan, dalam beberapa kali saja, ia sudah bisa menghampiri meja abu.
Dengan ulur kepalanya, pemuda ini bisa mendekati hio, lalu ia geraki mulutnya, giginya, akan gigit sebatang hio. Kemudian, ia tunduk, ujung hio, yang nyala, ia tujukan pada tambang yang melibat tubuhnya. Api lantas membakar tambang itu. Hanya belum sampai tambang hangus, apinya hio patah dan jatuh. Tetapi Siau Hoo tidak putus asa, kembali ia gigit sebatang yang lain, akan sulut pula tambangnya. Sekali ini, ia berlaku hati-hati, supaya ujung api tidak tertekan dan patah seperti yang pertama.
Banyak waktu dilewatkan untuk buat putus selembar tambang, maka itu, sebatang hio keburu habis, hingga ia mesti ambil sebatang yang lain. Tambang libatan luar ada kasar sekali, tidak gampang akan bakar putus itu, dari itu, beruntun, sampai enam kali hio telah ditukar. Karena tambang menyala, bajunya Siau Hoo turut terbakar, dari itu, kulitnya turut terkena api juga, hingga ia merasakan sakit. Tapi ia ada kosen, ia menahan sakit sebisa-bisa. Api mengenai dadanya. Pundaknya pun pegal bekas tunduk saja.
Masih tambang tidak mau putus, masih Siau Hoo ulangi percobaannya. Selama itu, kembali banyak waktu telah diberi lewat.
Tiba-tiba kunci pintu berkelotak, segera daun pintu menyusul terbuka. Di pintu kelihatan satu tubuh manusia, siapa sudah lantas nyalakan api, hingga sekarang kelihatan dia punya tubuh dan roman dengan jelas.
Siau Hoo kaget. Ia kenali orang itu ada Too Teng Su-kou, roman siapa, yang memangnya bengis, menghunjuki rupa yang menakutkan. Dia ada cekal sebatang golok, berulang-ulang dia beri dengar tertawa dingin, tertawa menghina. Dia diam saja, tapi cepat sekali, ia lompat pada anak muda kita, untuk bacok padanya.
Bukan main ancaman bencana itu, akan tetapi sementara itu, tambang telah terbakar banyak oleh api hio, yang sudah menyala melepas, maka, dalam saat sangat berhahaya itu, Siau Hoo geraki seantero tenaganya, akan beronrak. Ia berhasil, tambang putus dari libatan, tubuh dan tangan. Maka itu, ketika golok sampai, sambil mendek ia bisa ulur sebelah tangannya, akan tahan orang punya tangan sebatas siku.
Too Teng menyerang dengan tanan kanan, sekarang tangan itu kena tertahan, hingga bacokannya gagal, dari itu, untuk menyerang lebih jauh, dengan tangan kirinya, yang masih memegangi apinya yang menyala, ia sampok muka musuhnya.
Untuk loloskan diri dari bahaya terbakar, Siau Hoo tolak orang punya tubuh, tubuhnya sendiri mengikuti, maka tempo Too Teng rubuh, ia pun, rubuh, menimpa orang punya badan, hingga si imam kena ketindihan. Sementara itu, sedang sebelah tangannya terus menahan orang punya golok, tangannya yang lain dipakai akan loloskan sisa libatan tambang, terutama libatan pada kakinya.
Oleh karena ia tidak lagi pegangi api, Too Teng gunai tangan kirinya, akan cari sang lawan punya iga, untuk dicengkeram, untuk ini, ia pakai lima jarinya yang dipusatkan tenaga.
Bahan api dari Too Teng, yang terbuat dari kertas yang tergulung. Apinya tidak lantas padam ketika terlepas dari cekalan dan jatuh, malah api itu sudah samber si imam punya jubah yang gerombongan, terus menyala. Bukan main kagetnya dia ini, hingga dia keluarkan jeritan. Akan tetapi ia sangat benci Siau Hou, ia ada sedang sengitnya, melupai bahaya, ia cari musuh punya jalan darah.
Siau Hoo telah lindungi dirinya seraya ia berkutat akan rampas orang punya golok. Ia bertubuh licin, iganya tidak kena dicengkeram atau ditotok, dilain pihak, ia berhasil merampas orang punya senjata. Maka itu, sambil berlompat bangun, terus saja ia kirim bacokannya.
Too Teng lihat ancaman bahaya, dengan bajunya menyala, ia gulingkan diri, akan kelit serangan yang berbahaya itu.
Siau Hoo lihat bacokannya lolos, ia lompat maju, akan mengejar.
Dengan baju sucinya terbakar, apinya menyala, tubuhnya Too Teng tertampak mirip dengan seekor rase yang lagi dibakar hidup-hidup, ia terus bergulingan, ke satu untuk lolos diri serangan, ke dua akan coba buat padam api itu. Tak usah dibilang bagaimana ia mesti menderita sakit karena panasnya api.
Oleh karena tubuhnya si imam perempuan seperti terbungkus api, gampang sekali untuk Siau Hoo lihat dan susul padanya.
Too Teng bergulingan sampai diluar kamar, kemudian dengan paksakan diri, ia enjot tubuhnya akan lompat naik keatas genteng. Dengan bergulingan ia berhasil membuat api ditubuhnya padam, tinggal api yang melepes dan masih menerbitkan sinar merah.
Siau Hoo mengejar terus, ia berlompat naik dengan tidak kurang sebatnya, begitu ia sudah sampai diatas dan datang dekat musuhnya, ia membacok.
“Aduh!”
Itulah jeritan yang mengerikan dari Too Teng, tubuh siapa segera bergulingan pula, untuk jatuh kebawah, terbanting ditanah!
Sekali ini, Siau Hoo tidak mengejar, dia hanya berdiri diam diatas genteng, untuk keluarkan elahan napas, dan leganya hati untuk sekalian menghilangkan lelah.
Dalam saat-saat itu, ia sudah berkelahi dengan ancaman malaekat maut.
Baru saja pemuda ini menghela napas, atau ia menjadi sangat kaget. Di belakang ia ada datang serangan dengan tiba-tiba. Tidak tempo lagi terutama karena tidak ada jalan lain, ia jatuhkan diri, ia gulingkan tubuh, diatas genteng, hingga ia terus menggelinding jatuh ke tanah, mirip dengan jatuhnya Too Teng tadi.
Itulah Yok Hian Ceng, yang menyerang secara mendadak. Ditangannya imam yang liehay ini ada sebatang bambu mirip dengan tongkat kecil. Ia-pun loncat turun kapan ia dapati orang berkelit seraya jatuhkan diri. Begitu menginjak tanah, kembali ia menyerang. Ia mencari orang punya jalan darah!
Siau Hoo punya golok belum terlepas dari tangannya, ia berlompat bangun sambil tangkis serangan itu. Karena ia ada sangat mendongkol, ia menyerang secara hebat sekali.
Yok Hian Ceng tarik pulang bambunya, atas mana, ia di desak. Ia berkelit mundur, lantas ia maju pula, kembali ia menotok. Ia selalu cari orang punya hiat-too, atau jalan darah.
Siau Hoo lihat orang punya berbagai serangan, ia insaf. Ia tidak mau kalah, ia menangkis, ia menyerang, dengan hebat sekali. Ia tidak sudi kasi ketika akan imam itu kena totok padanya, hingga mau atau tidak, Yok Hian Ceng kewalahan juga, dia sudah menyerang tiga-puluh jurus lebih, hasilnya belum ada.
Selagi layani imam tua yang sangat liehay itu, Siau Hoo lihat cahaya api mendatangi kearah mereka, berbareng dengan mana, suara orang ada riuh. Ia mengerti itulah orang-orangnya si imam, yang sedang cari atau susul ianya. Maka ia pikir untuk tidak berdiam lama-lama disitu. Dengan satu loncatan ia naik keatas genteng.
Ketua Toakiam-sian dari Bu Tong San tidak mau mengerti, ia juga enjot tubuhnya, akan menyusul naik, sembari berlompat, ia membarengi menotok orang punya bebokong. Tapi Siau Hoo tak kurang liehaynya, sambil memutar tubuh, ia membabat, akan tangkis atau halau serangan itu.
“Srat!“ demikian satu suara, dan ujung tongkat bambunya Yok Hian Ceng tersapat kutung!“
Menyusul itu, Siau Hoo maju untuk membarengi menyerang lawan itu.
Yok Than Ceng menyingkir dari golok ia segera loncat turun.
Melihat orang mundur, Siau Hoo tidak mengejar, ia hanya gunai ketika itu akan berlari-lari keatas genteng, untuk menyingkir dari musuh-musuhnya, yang ia tidak sudi layani. Dari lain bagian dari genteng, ia tampak cahaya api dibeberapa tempat, semua menuju kearah dia. Ia mengerti, orang telah cari ia dibeberapa penjuru, rupanya lekas sekali orang dapat tahu tentang lenyapnya.
Untuk menyingkir dari berbagai rombongan itu, Siau Hoo cari tempat yang gelap. Ia turun dari genteng, ia jalan terus, sama sekali ia tidak perdulikan berdesirnya angin musim rontok. Sesudah melalui jurang, yang berselokan, ia cari sebuah batu besar, yang bebas dari serangan angin. Disini ia letaki tubuhnya sesudah ia lepas goloknya dipinggiran, ia menghela napas lega, ia berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar