Ngo Kim Piu dan si pemburu suami dan isteri telah terbinasa, Pau Kun Lun sudah hilang, Tiat Tiang Ceng rupanya terbinasa juga, tapi aneh, kuda tinggal satu. Kemana perginya yang seekor lagi? Apa bisa jadi, Tiat Tiang Ceng telah tidak terbinasa, dia bisa datang pula ketempat itu, untuk kabur dengan seekor kuda itu? Tak bisa jadi. Tak bisa jadi juga yang kuda itu ngamuk dan telah putuskan tambang tambatannya dan kabur sendirinya.
Untuk sesaat, Siau Hoo berdiri diam. Ia sampai memikir untuk naik keatas, akan pegi kerumah gua, guna ambil nasi, tetapi dilain saat, ia batalkan niat itu. Ia ingat, pelita telah padam, didalam gua ada banyak darah. Bagaimana besok ia bisa buat perjalanan? Pasti orang akan curigai ia dan menyangka jelek terhadapnya! Itulah berbahaya!
Maka ia lantas duduk numprah, ia menahan lapar, ia lawan serangannya angin yang dingin. Sukur, setelah lewat sekian lama, cahaya fajar sudah mulai berbayang, hanya sang angin menghembus-hembus makin dingin. Ia punya kuda, yang berada disampingnya, menderita sangat dari hawa dingin, haus dan lapar, hinga dia berbenger pula berulang-ulang.
Lagi sekian lama, lantas burung-burung pada bangun dari tidurnya dan mulai perdengarkan cecowetannya yang berisik. Sinar terang-pun mulai muncul disebelah timur. Sekarang, tak membuang tempo tagi, Siau Hoo naik keatas. Ia lihat jendea telah rusak, tembok ada bagiannya yang gempur. Didalam situ mayatnya Ngo Kim Piu ada, suami isteri pemburu itu ada sangat mengenaskan terlihatnya, darah yang melulahan sudah menjadi beku.
Jilid 25
SIAU HOO bisa lihat tegas sekarang, luka-luka mereka benar bekas hajarannya toya besi, bekas-bekas toya mana tertampak pada batu dan tanah bekas hajarannya. Menampak itu semua, pemuda ini jadi mendongkol sekali. Nyatalah Tiat Tiang Ceng ada ganas sekali.
Keluar dari gua, Siau Hoo cari tempat dimana ia bisa menggali lobang, untuk pendam ketiga mayat, apa mau, disitu tidak ada tanah yang bisa digali. Sebaliknya, di belakangnya satu batu besar, ia dapatkan ia punya pedang, yang ia telah tinggalkan bekas disampok terpental oleh toyanya si pendeta. Ia jumput itu, ia jalan terus, ia mencari terus. Ia ingin bisa ketemukan pula Pau Kun Lun.
Siau Hoo sampai di satu tempat tinggi dari mana ia bisa memandang ke bawah, ke lembah. Kapan ia sudah melihat nyata, ia terkejut. Di situ, rebah atas sebuah batu, ada tubuhnya Tiat Tiang Ceng. Pada batu itu ada tumbuh rumput. Di samping tubuh kelihatan darah hitam. Mayatnya pendeta itu mirip dengan bangkainya seekor beruang.
Dengan cepat Siau Hoo turun ke bawah, akan mendekati mayatnya itu pendeta liehay, yang selama tiga-puluh tahun kesohor sebagai “Koay-hiap” atau “Pendekar luar biasa.” Biar bagaimana, ia tidak merasa kasihan terhadap bekas lawan yang kosen ini. Hanya, apa yang buat si pemuda terkejut, saking heran, adalah kebinasaannya si pendeta bukan karena jatuh terbanting hanya pada lehernya bagian atas, dimana ada darah berkumpul, ada bekas bacokan senjata tajam, pedang atau golok.
“Sungguh heran!“ anak muda ini berseru sendirinya. “Ketika tadi malam aku tempur dia, aku tidak bersenjatakan pedang, dia-pun rubuh karena tendanganku. Tempo tubuhnya jatuh ke bawah, aku dengar jeritan hebat. Apakah bisa jadi, pada itu waktu, di bawah ada seseorang yang kebetulan lagi pegang senjata tajam, tatkala dia dapati ada orang jatuh, dia terus saja menyerang dan bunuh dia ini?“
Saking heran, Siau Hoo mencari ubak-ubakan di sekitar situ. Ia telah dapatkan orang punya toya besi yang berat, kasar dan berat, ia dupak itu kesamping. Ia mencari terus. Ia telah pergi jauh dari situ. Tiba-tiba di atas rumput, ia dapati suatu benda yang buat ia heran dan hatinya memukul. Itulah kasut sulam, yang tadi malam lenyap, yang ia cari dengan sia-sia. Karena yang kasut itu, kejadian hebat sampai ambil tempat di rumah gua.
Siau Hoo berdiri bengong, pikirannya ruwet. Ia mendongkol, ia gusar berbareng masgul, ia penasaan. Ia tadinya tidak niat pungut kasut itu, tetapi selang beberapa saat, ia toh turunkan buntelannya, ia pungut kasut itu dan masukkan kedalamnya …
Akhirnya, dengan tinggalkan mayatnya Tiat Tiang Ceng, yang membuat ia menduga dengan tak dapatkan pemecahannya, ia jalan, akan kembali ke tempat kuda ditambat. Ia cantel bungkusannya diatas kuda, pedangnya juga dimasukkan kedalam bungkusan. kemudian ia loloskan tambatan kuda. Benar selagi berbuat demikian, kembali ia tampak hal yang mengejutkan hatinya. Kuda yang satunya, yang lenyap, masih ada ujung tambangnya, yang terikat pada batang pohon. Teranglah tambang itu bekas dibabat kutung dengan pedang atau golok. Jadinya kuda itu telah dibawa lari.
“Benar-benar, tadi malam disini ada terdapat satu orang lain!“ akhirnya Siau Hoo pikir. Ia mengarti dan merasa pasti. “Orang itu sembunyi disini, dia bunuh Tiat Tiang Ceng, dia datang kemari, dia ambil kuda dengan apa dia angkat kaki. Dia pergi secara diam-diam, apakah itu tidak aneh? Mestinya dia ada seorang yang liehay ilmu silatnya. Melihat dia bunuh Tiat Tiang Ceng, dia mesti ada seorang gagah mulia … Kenapa dia tonton aku tempur Tiat Tiang Ceng? Kenapa dia tidak bantu aku? Ini ada bukti yang dia tidak punya perkenalan dengan aku. Siapa dia? Dia tentu ada seorang aneh! Mungkin dia kasihan melihat Pau Kun Lun yang sudah tua, dia menolonginya ... Biar bagaimana, teranglah dia telah memandang tak mata padaku! ... “
Akhirnya, Siau Hoo jadi tidak puas.
Dengan naik kudanya, dengan mendongkol, Siau Hoo menuju ke Timur. Ia punya kuda adalah kuda bulu hitam, yang ia dapatkan dari Lau-kee-chung di Giehong. Ia punya kuda putih, bersama kepalanya Liong Cie Khie, entah kemana. Kuda itu bukan kuda jempolan, jalanan-pun sangat jelek, dari itu, binatang itu tidak mampu lari keras. Dua kali kuda itu terpeleset dan ngusruk, dengan banyak susah, barulah jalanan gunung itu dapat dilalui.
Matahari sudah naik tinggi sekarang. Disebelah depan ada tanah tegalan yang luas, ada sawah gandum. Sebuah jalanan kecil, melingkar-lingkar, kelihatannya seperti ular berlugat-legot. Cuma ada beberapa orang kelihatan berjalan disitu. Karena kecilnya jalanan, kuda sukar diberi kabur.
Selagi ia jalankan kudanya, Siau Hoo dengar bunyinya genta, tidak terlalu nyaring. Ia menduga, tidak terpisah jauh dari situ, mesti ada rumah suci. Rupanya, pada itu waktu, penghuni-penghuni kuil sedang sarapan pagi.
Tiba-tiba, pemuda ini ingat suatu apa!
Bukannya mustahil kalau Tiat Tiang Ceng ada punya tempat mondok. Apa itu bukannya kuil dari mana suara genta itu datang? Apakah tak bisa menjadi, setelah tolong Pau Cin Hui, jago Kun Lun itu lantas dititipkan didalam kuil itu?
Maka ia terus pasang kupingnya. Sayang, karena suara ada sangat samar, sukar dicari tahu dari jurusan mana suara itu datang. Maka, dengan terpaksa, ia jalankan terus kudanya, jalan berputar-putar sampai lebih dari sepuluh lie. Barulah itu waktu, di depan ia, ia tampak segundukan rumah, seperti pasar atau dusun.
“Baiklah aku cari tempat singgah dulu, untuk dahar dan piara kuda,” Siau Hoo pikir kemudian. Maka ia larikan kudanya menuju kekampung atau dusun itu. Ia dapatkan suatu tempat yang ramai, ada banyak orang mundar-mandir dengan memikul keranjang. Ia menghampiri satu rumah makan. Setelah loncat turun dari kudanya, ia tambat kuda itu diuar pintu. Kapan ia lihat tuan rumah lagi bekerja didapur. Ada beberapa orang lagi menantikan.
“Kasikan aku satu mangkok mie!” Siau Hoo kata pada tukang warung. Ia terus ambil tempat duduk secara sembarangan saja. Lantas ada orang tanya ia, ia datang dari mana.
“Dari kota Tin-pa,” ia jawab.
Tukang warung telah siapkan mie untuk beberapa tamu yang datang lebih dulu, menurut runtunannya, lalu pada Siau Hoo ia minta supaya tamu ini menunggu sebentaran.
“Tidak apa, aku boleh menunggu,” sahut Siau Hoo. “Aku hanya ingin tanya disini dimana ada warung rumput?”
“Warung rumput tidak ada,” jawab tuan rumah, hanya disebelah utara sana, duduknya madap ke timur ada sebuah bengkel kereta dimana orang biasa mampir untuk piara kuda.”
“Baik,” kata Siau Hoo sambil manggut. “Aku nanti pergi kesana, untuk piara kudaku, sebentar aku nanti datang pula kemari!”
Ia bertindak keluar, ia lepaskan tambatan kudanya yang ia terus tutun keutara dimana ia dapati bengke kereta yang disebutkan. Dimana sudah ada beberapa buah kereta, dibawah gubuk ada belasan ekor kuda dan keledai.
“Tolong piara kudaku, sebentar aku datang pula untuk ambil,” kata ia seraya ia serahkan kudanya pada satu pegawai, kemudian ia pergi pula seraya bawa ia punya buntalan dan pedang. Sembari jalan, ia lihat beberapa warung dengan masing-masing mereknya, serta alamatnya. Itulah Un-sin-tin seperti katanya Ngo Kim Piu.
Ingat nama tempat itu dan Ngo Kim Piu, Siau Hoo jadi ingat sababat itu, ia lantas saja jadi masgul.
“Kim Piu ada asal berandal, ia beluin bisa buang sifatnya itu,” pikir ia, “tetapi kebinasaannya tadi malam ada sangat hebat ... Sepuluh tahun kita bersahabatan, ia ada baik dan bersetia kepadaku, dan sekarang ia binasa-pun sebagian karena urusanku ... ”
Bukan main ia punya berduka.
Siau Hoo bertindak keselatan, dengan niatan balik ke warung mie tadi, untuk dahar mie, tapi ketika ia jalan baru belasan tindak, ia lihat satu toosu atau imam sedang minta derma disatu toko, tangannya sambil membunyikan kelenengan, mulutnya sembari liamkeng dengan pelahan. Ketika ia mengawasi, ia menjadi heran. Imam itu pakai jubah gerombongan dan kondenya konde toosu, akan tetapi mukanya adalah muka perempuan, dan usianya kurang lebih empat-puluh tahun. Ia heran karena segera ia ingat keterangannya Ngo Kim Piu siapa, katanya, pada lima-belas tahun yanh lalu, tepat didusun Un-sin-tin ini, ia sudah dibuat rubuh oleh satu lie-toosu, imam perempuan.
Taripa merasa, Siau Hoo perhatikan imam perempuan itu siapa, setelah diberikan uang oleh tuan rumah, lantas pergi memina derma kelain rumah, demikian seterusnya.
Sebenar kemudian, pemuda ini sudah kewarung mie, tuan rumah lantas sediakan dia satu mangkok mie kuwah serta sumpitnya. Ia lantas aduk itu.
“Aku terlahir di Tin-pa, yang letaknya tidak jauh dari sini, tetapi datang kedusun Un-sin-tin ini, inilah ada untuk pertama kali,” katanya. “Aku Lihat dusun kau ini ada luar biasa, sampai-pun orang suci yang minta derma ada imam perempuan.”
“Eh, kau jangan omong sembarangan!” kata seorang tamu, yang dahar mie bersama-sama. “Dia itu ada too-kounio dari kelenteng Kiu Sian Koan dari bukit In Ciat Nia. Dia itu tidak biasa meminta derma secara sembarangan, dia tidak datangi apabila bukan toko besar atau rumah orang hartawan!“
“Kiu Sian Koan itu dimana letaknya?” Siau Hoo tanya.
“Adanya diatas bukit barat-selatan sana,” sahut orang tadi. “Itulah sebuah kelenteng besar dan imam perempuan itu ada dua puluh lebih.”
“Apakah dikelenteng itu semua imam perempuan, tidak ada pendetanya?“ Siau Hoo tanya, setelah berdiam sebentar.
“Ah, kau ngaco!“ orang itu kata pula. “Dalam kelenteng perempuan mana bisa diterima pendeta? Jangan kata pendeta, walau-pun orang semacam kau, apabila kau pergi bersujut disana orang pasti tolak kau, kau tidak bakal dibukai pintu! Cuma keluarga pembesar, atau orang yang sujut benar-benar, bisa diterima masuk kedalam kelentengnya mereka itu!”
Pembicaraan itu menyebabkan seorang lain tanya si tukang mie, katanya: “Kau tahu tidak, selama ini dua hari, si pendeta yang bertubuh besar ada datang atau tidak?“
Siau Hoo bercekat, ia segera menoleh, ia pasang kuping.
Tuan rumah, yang ditanya, sudah lantas kerutkan alis.
“Bagaimana dia tak datang?“ kata ia dengan jawabannya. “Kemarin dahulu dia makan pada keluarga Tan, dan kemarin rupanya direstoran Hok Goan. Ini hari barang kali dia bakal datang padaku. Sungguh aku takut buat kedatangannya itu. Kesatu aku jerih buat dia punya toya, yang beratnya barang kali dua atau tiga ratus kati, dan kedua, aku ngeri buat dia punya kuat makan. Buat aku punya mie, dia pasti bisa habisi sepuluh mangkok!‘
“Apakah dia tidak membayar sehabisnya dia makan?” tanya Siau Hoo.
“Dia membayar? Hm! pendeta itu datang kemari barangkali sudah hampir satu bulan. Dia berdiam diatas In Ciat Nia, hanya entah di kuil yang mana. Kabarnya, karena dia punya kuat makan, didalam kuil, dia diberikan satu hari hanya satu kali makan. Untuk sarapan pagi, dia mesti minta amal dari mana saja dia bisa dapat. Dia-pun meminta secara paksa, kalau dia memasuki rumah, dia tidak banyak orang lagi, tahu-tahu dia letaki toyanya didepan pintu, menghalangi orang keluar masuk. Siapa berani main gila terhadapnya?“
Tuan rumah itu bicara terhadap sekalian tamunya, tetapi Siau Hoo seorang adalah yang paling ketarik hatinya.
“Pastilah tadi malam Pau Cin Hui dapat ditolong Tiat Tiang Ceng!“ ia menduga secara pasti. “Hanya entah dia sembunyikan dimana jago Kun Lun itu ... Dan orang yang bunuh Tiat Tiang Ceng mestinya ada musuhnya pendeta ini, rupanya musuh itu tadi malam sembunyi di dalam hutan didalam gunung, dia gunai tempo selagi Tiat Tiang Ceng jatuh setengah mampus, dia turun tangan membinasakan musuhnya, kemudian dia curi kudaku dan kabur. Bisa jadi pembunuh ini tidak punya sangkutan dengan Pau Cin Hui. Daerah ini ada bergunung diempat penjuru, ini-pun ada perbatasan antara Sucoan dan Samsay, bisa jadi yang disini ada sembuyi banyak orang-orang pandai. Baiklah hari ini aku geledah gunung ini, aku mesti periksa dengan terang ... ”
Oleh karena memikir begini, Siau Hoo dahar dengan cepat, belum sampai ia dahar cukup, ia sudah lepaskan sumpit dan mangkoknya. Ia membayar uang, lekas ia bertindak pergi, ketempat kudanya dipelihara, untuk ambil kudanya itu, yang sekarang telah jadi sangat segar. Sehabisnya membayar, ia naiki kudanya dan berangkat. Dari selatan ia keluar dari Un-sin-tin, ia ambil jalanan dari mana tadi ia datang. Dalam tempo pendek, ia sampai kembali di kaki gunung. Disini ia jalan berputaran, sampai sekian lama, ia tidak dapati jalanan untuk naik keatas. Sukur ia dapat lihat beberapa rumah, maka ia larikan kudanya ke arah rumah itu.
Itulah ada sebuah dusun kecil. Di depan sebuah rumah, seorang lelaki sedang menggebuk gandum. Didekat tempat itu, ditepi kali, beberapa bocah asyik angon babi. Dan Siau Hoo menghampiri beberapa bocah itu, untuk tanya apa mereka tahu jalanan untuk mendaki bukit, buat bersembahyang di Kiu Sian Koan.
Sambil menggoyang kepala, beberapa bocah itu menyahuti bahwa mereka tak tahu.
Siau Hoo turun dari kudanya, yang ia tambat pada suata pohon.
“Anak-anak, tolong lihat kudaku,” kata ia, yang terus bertindak mengmenghampiri beberapa orang tani itu.
“Numpang tanya,” kata ia pada mereka itu. “Untuk bersembahyang di kuil Kiu Sian Koan diatas nunung In Ciat Nia ini, dari mana jalanan naiknya?“
Beberapa orang tani itu tidak lantas menyahuti, sebaliknya mereka awasi ini pemuda asing, selang beberapa saat, barulah mereka menjawab.
“Tidak tahu,” demikian mereka seraya mereka goyangi kepala.
Siau Hoo heran.
“Aku numpang tanya,” kata ia pula, seraya ia memberi hormat. “Tuan-tuan tinggal didekat gunung, apakah pernah lihat seorang tua dengan kumis-jenggot ubanan yang tubuhnya tinggi sekali serta satu pendeta bertubuh besar yang bawa-bawa toya besi.”
Beberapa orang itu mengawasi pula.
“Tidak,” ada jawaban mereka.
Kemudian, seorang diantaranya, sembari tertawa, menambahkan: “Dari mana sih datangnya seorang tua dan pendeta yang bertubuh besar? Tempat kita ini ada sangat sepi, setahun gelap tidak pernah ada orang asal lain tempat yang datang kemari!”
Siau Hoo melengak, tetapi ia merasa bahwa beberapa petani itu harus disangsikan. Dengan terpaksa, ia kembali pada beberapa bocah itu, ia tanya pula mereka. Seperti juga yang pernah dipesan, walau-pun orang tanya bagaimana, beberapa bocah ini terus main ‘tidak tahu.’
Akhirnya, Siau Hoo bersenyum sindir, ia lolos tambatan kudanya, ia naiki dan pergi. Didalam hatinya, ia kata: “Taruh kata Pau Cin Hui tidak sembunyi didalam dusun ini, dia mesti berada di kuil Kiu Sian Koan. Biar bagaimana, mereka ini mestinya ada ketahui apa! Jikalau hari ini aku beri lolos tua-bangka itu, aku bukan lagi satu laki-laki!”
Siau Hoo tujukan kudanya kekaki gunung, dibagian yang banyak pepohonan dan keadaannya sunyi luar biasa. Disini ia turun dari kudanya, yang ia ikat pada sebuah pohon, buntalannya ia turunkan, untuk digendol dibokongnya. Dengan cekal pedangnya, ia mencari jalan naik. Tentu sekali, sekali ini ia gunai ia punya kepandaian loncat-loncatan, karena disitu tidak ada jalanan sama sekali. Dengan lekas, ia bisa sampai diatas, dipuncak yang datar. Ia dapatkan sedikit pepohonan dan tidak ada kuil juga. Ketika ia memandang kebawah, kelembah, ia dapatkan suatu tempat yang penuh pepohonan jie, pek, siong dan hoay, kelihatannya pepohonan itu tidak pernah dapat gangguan tukang kayu, dari itu ia mau percaya, mesti ada orang yang mempunyainya. Ia-pun percaya, pemilik hutan itu tidak akan berumah jauh dari hutan itu.
Sekarang Siau Hoo mencari jalan turun. Disitu ada banyak macam burung, semuanya kaget dan terbang serabutan, suaranya berisik.
Sesudah bertindak kira-kira limapuluh tindak, Siau Hoo dapati suatu jalanan yang tidak rata. berundakan seperti tangga. Diam-diam, ia menjadi girang. Dengan adanya jalanan itu, ia percaya ia bakal dapat cari kuil Kiu Sian Koan itu. Maka ia lantas berjalan dengan cepat. Ia turun lerus. Ia merandak dengan tiba-tiba tempo ia jalan belum seberapa jauh, ia lihat menggeletaknya selembar tambang ditengah jalan, tambang itu panjang dan kasar berupa seperti ular melingkar. Untuk kegirangannya ia kenali itu adalah tambang yang Kim Piu pakai ringkus Pau Cin Hui. Tambang itu diloloskan dengan dibuka bukan dibuat putus.
Selagi hatinya lega Siau Hoo sekarang maju dengan tindakan hati-hati, hingga tindakannya itu tidak perdengarkan suara apa-apa. Ia cekal terus ia punya pedang. Sebisa-bisa, ia ambil jalan dengan separuh umpatkan diri, agar burung-burung tidak lari kaget, terbang dan cecerewotan. Ia mirip dengan satu pemburu lagi cari gua binatang alas. Kadang-kadang ia-pun mendekam.
Sesudah turun lagi empat-puluh tindak kira-kira, Siau Hoo tampak lebih banyak pohon dan rumput disebelah depan ia. Di situ-pun ada banyak macam bunga harum musim rontok dengan wananya merah dan kuning. Sedangkan ia jalan terus, tiba-tiba ia dengar suara, yang disebabkan dengan bergeraknya dengan tiba-tiba dari pohon dan semak-semak, burung-burung pun berterbangan dengan kaget, setelah itu tertampak larinya seekor menjangan bwee-hoa-lok yang bertanduk besar. Binatang itu lari kearah ia, dari itu, Siau Hoo lantas loncat minggir, untuk mengasi lewat, membiarkan dia lari naik.
Segera Siau Hoo memandang kebawah. Di tempat jauhnya sepanahan, ia lihat dua ekor menjangan lainnya, berada diatas rumput dibawahnya sebuah pohon kayu besar. Binatang itu berada bersama satu orang. Kedua menjangan itu tangal-tongol, seperti mereka sedang cari kawannya yang kabur barusan. Yang tarik perhatiannya pemuda kita adalah itu orang yang berada dengan kedua menjangan itu. Dia adalah seorang dengan rambut ubanan dan berkumis jenggot, matanya jelilatan keempat penjuru, romannya ketakutan, melebihkan kaget dan ketakutannya menjangan tadi.
Dengan tiba-tiba, Siau Hoo tertawa mengejek.
“Hm, Pau Cin Hui, kau hendak sembunyi kemana?“ begitu ia kata dengan lagu suara sangat puas. “Disini kau berkumpul dengan segala menjangan! Apakah kau kira aku tidak sanggup cari padamu?”
Habis berkata begitu, tak bersangsi lagi, Siau Hoo enjot tubuhnya, untuk loncat turun, gerakannya bagaikan seekor garuda terbang menyamber. Dilain pihak, dalam takut yang hebat, Pau Cin Hui, si orang tua itu putar tubuhnya, untuk lari.
Kedua menjangan yang kaget, turut kabur juga.
Siau Hoo mengejar terus, akan tetapi karena terpisahnya mereka berdua ada cukup jauh, ia tidak bisa segera menyandak. Tidak jauh dari situ, ada sebuah tikungan. Cin Hui lari ketikungan itu. Ketika sebentar kemudian si anak muda sampai di tikungan itu, si orang tua telah lenyap tanpa bekas-bekasnya.
“Kurang ajar!“ Siau Hoo berseru, saking murka. “Binatang, kau hendak lari kemana?“
Mengikuti jalanan, pemuda ini menguber terlebih jauh. Ia berlompatan, untuk bisa menyusul. Ia hentikan tindakannya, ketika di depan ia, ia tampak sebuah tembok. Ia berada disebelah atas, tembok itu disebelah bawah, maka itu ia memandang ke bawah. Tembok ada seumpama dibawahan kakinya. Itulah sebuah rumah suci. Ia lantas saja mengawasi.
Berhala itu tidak kecil, semuanya terdiri dari tiga undakan, didirikannya dilamping gunung, turun tangga menurut tinggi-rendahnya tanah pegunungan. Didalam pekarangan, pepohonan siong dan pek hidup subur. Asap kelihatan mengepul keluar dari kuil itu, yang temboknya ada merah bersih.
Disamping tembok sekarang tetah berkumpul ketiga menjangan tadi, yang dua sambil mendekam ditanah, yang besar, mengawasi ke arah pemuda itu, yang dimatanya rupanya ada seorang asing.
Siau Hoo ketarik dengan tempat suci itu, yang suci tetapi agung romannya, maka itu, ia anggap tidak boleh berlaku semberono. Dilain pihak, ia percaya Cin Hui tidak bakal lolos dari tangannya. Maka lantas ia bertindak turun terus, akan hampirkan tembok kuil, yang tertutup rapat. Di depan pintu ia lihat merek “Kiu Sian Koan” dengan tambahan dua huruf yang menyatakan kuil itu didirikan menurut titahnya pemerintah.
“Pasilah ini kulinya si imam perempuan, Siau Hoo menduga-duga, “Hanya aneh, kenapa Pau Cin Hui diijinkan berdiam disini?“
Lantas pemuda itu mengetok gelangan pintu, dengan pelahan, sampai beberapa kali. Ia menantikan sampai sekian lama. Ia tidak peroleh jawaban, tidak ada yang menyahuti, tidak ada yang membukakan pintu. Hal ini membuat ia jadi mendongkol. Maka ia gedor pintu itu, hingga pintu menerbitkan suara nyaring, suaranya sangat berisik. Dengan sebelah tangan menggedor, tangannya yang lain, siap dengan pedangnya. Ia juga memanggil-manggil dengan kaokannya berulang-ulang.
Lewat pula sekian lama, tetap tidak ada yang buka pintu.
Akhirnya Siau Hoo jadi gusar.
“Pastilah imam-imam perempuan disini bukannya imam baik-baik!“ kata ia dengan sengit. Lenyap ia punya rasa menghormat. “Buat apa aku bertaku sungkan lagi terhadap mereka?”
Lantas ia enjot tubuhnya, akan loncat keatas tembok dimana ia berdiri seraya mengawasi kedalam.
Bagian dalam dari kuil ada sunyi sekali, seorang-pun tidak nampak. Hanya di pekarangan dalam, dimana ada sebuah pintu, lantas kelihatan berkelebatnya satu bayangan manusia, yang menuju keluar, kepintu. Dia adalah seorang perempuan biasa, bukannya too-kou atau imam perempuan, dan dia pakai baju hijau celana merah, rambutnya dikepang panjang. Dia jalan sambil tunduk, sebelah tangannya memegang sapu tangan, yang dipakai menutupi mukanya sebab dia sedang menangis.
Siau Hoo terperanjat, tanpa berani mengawasi, ia loncat turun kembali, terus ia berdiri disamping pintu. Ia heran, ia berpikir keras. Kenapa didalam kuil itu-pun ada orang perempuan biasa?
Pada pintu segera terdengar suara beberapa kali, itu disusul dengan dipentangnya sebelah daun pintu, atas mana si orang perempuan lari keluar. Sekarang dia tidak lagi tutupi mukanya, hingga kelihatan air matanya meleleh pada mukanya yang elok, hanya muka itu nampaknya kurus.
Lagi sekali Siau Hoo terperanjat, hingga ia seperti lagi mimpi. Inilah diluar ia punya dugaan. Sebab orang perempuan itu adalah Ah Loan yang lenyap dibukit Cin Nia, yang ia pernah cari dengan sia-sia saja. Ia mengawasi.
“Ah Loan! ... ” akhirnya ia menegor. “Kenapa kau berada disini?“
Nona itu agaknya sangat bersedih, tetapi atas itu pertanyaan, ia angkat kepalanya, ia mengawasi dengan matanya yang dibuka lebar.
“Toh kau yang ajak aku kemari?” ia kata “Kau telah punyakan kepandaian, kau pasti ingin mencari balas! Tapi, mengapa kau mesti ingin bunuh yaya-ku? Dia adalah seorang yang usianya sudah terlalu lanjut! ... Baik kau bunuh aku saja!”
Habis berkata begitu, dengan tiba-tiba nona ini lari pada si anak muda, tangannya menyamber orang punya lengan yang memegang pedang, yang ia cekal dengan keras. Nyata ia ada bergemetaran. Air matanya juga lantas mengucur pula dengan deras.
Siau Hoo menjadi berduka dengan tiba-tiba sampai lengannya hampir tidak bertenaga. Ia menghela napas, ia goyang-goyang tangannya.
“Ah Loan, sabar,” berkata ia. “Kita telah dapat bertemu ini hari, baik kau tenangkan diri, kau dengarkan perkataanku. Kita mesti bicara dengan sabar, karena pembicaraan ada terlalu panjang ... “
Tapi Ah Loan, yang menangis terus masih menyekali dengan keras.
“Aku tahu, aku tahu semua ... “ kata ia suaranya sangat bernapsu. “Itulah ada sakit hati besar sejak sepuluh tahun yang lalu! Tapi cita-citamu tak lebih tak kurang ada untuk membinasakan satu orang she Pau, itulah perkara gampang. Ini hari aku akan biarkan kau bunuh seorang she Pau, satu orang saja, bukannya antero keluarga Pau, karena tak dapat seluruh keluarga dipakai menebus jiwanya satu ayahmu ... ”
Selagi berkata demikian, dengan tiba-tiba Ah Loan rampas orang punya pedang. Ia berhasil.
Siau Hoo kaget tidak kepalang. Ia ulur tangan kirinya, akan cekal orang punya bahu.
Dengan kedua tangannya, Ah Loan pegang keras orang punya pedang itu, ia tidak mau melepaskannya.
“Ah Loan, kau hendak buat apa?” tanya Siau Ho.
Ah Loan tidak nenyahuti, ia menangis.
“Biar bagaimana, aku telah lakukan kewajibanku terhadap kau, terhadap yaya, terhadap Kong … “ kata ia kemudian. Tapi, sebelum ia ucapkan “Kiat,“ dengan sekonyong-konyong, ia geraki tubuhnya, untuk di tubruki pada pedang.
Siau Hoo kaget, tapi ia cepat rampas pedang itu. Ia berhasil, ia angat pedang ketinggi, akan tetapi berbareng dengan itu, tubuhnya si nona rubuh. Kembali ia jadi kaget, ia lempar pedangnya, ia tubruk si nona, tubuh siapa ia peluk dan angkat.
Mukanya Ah Loan lantas jadi pucat bagaikan kertas, kedua matanya ditutup, dari mulutnya keluar rintihan. Tajamnya pedang telah mengenai ia punya dada, dari mana darah mengalir, membuat merah ia punya baju hijau dan celana merah ...
Siau Hoo banting-banting kaki, sampai ia tak dapat kata suatu apa.
“Kau puas, bukan?“ kata Ah Loan kemudian, suaranya separuh merintih. “Jikalau kau belum puas, nah, tikamlah aku lagi satu kali! Jangan kau buat aku tersiksa ... Oh, Siau Hoo, orang dengan hati kejam … Sepuluh tahun aku telah nantikan kau … Benar aku telah menikah dengan Kie Kong Kiat, tetapi dengan dia itu, aku tak menyinta ... Pada sepuluh tahun yang lalu, waktu kita masih kecil, aku telah janji bahwa aku akan menikah dengan kau … Aku. aku tak lupai janji itu ... ”
Siau Hoo banting kaki-kaki, ia sangat berduka dan bingung.
Justeru itu, daun pintu telah dibuka pula yang sebelahnya dan disitu Cin Hui muncul. Sekarang ini, jago tua itu tak lagi ketakutan, malah mukanya ada merah, kumis jenggotnya bergerak-gerak.
“Siau Hoo, lepaskan cucuku!‘ ia membentak. “Aku bisa ijinkan kau bunuh dia, aku tidak ijinkan kau peluk padanya! Siau Hoo, lepas dia! Marilah, kita berterupur pula untuk menentukan, siapa jantan siapa betina!“
Ah Loan telah terluka dengan dadanya terus mengalirkan darah, sampai baju dan tangannya Siau Hoo turut berlepotan, ia menahan sakit hingga tubuhnya bergemetar, kepalanya pusing, matanya kabur, akan tetapi ia masih bisa bicara, walau-pun dengan suara separuh merintih.
“Pikirlah, yaya …“ berkata ia pada engkongnya itu. “Yaya, kau terlalu kejam! Sejak aku umur sepuluh tahun, aku sudah mencintai Siau Hoo, coba kau ketahui itu, tidak nanti terjadi seperti sekarang ini! Kenapa yaya paksa aku menikah dengan Kie Kong Kiat? Siau Hoo, jangan lepaskan aku! Kau peluk aku biar keras sampai aku mati!“
Mendengar perkataan cucunya itu Pau Kun Lun gusar hingga dua baris giginya bercatrukan, matanya mendelik. Dilain pihak ia tampak air matanya Siau Hoo-pun mengembeng, ia dapatkan orang punya roman cakap dan gagah, yang setimpal benar dengan cucunya itu yang elok dan gagah juga. Bagaimana sembabat! Ia-pun lihat, Siau Hoo mirip betul dengan ayahnya, hingga dengan tiba-tiba ia insyaf, dengan bunuh Cie Seng, ia sudah berlaku kejam, ia telah buat celaka orang punya rumah tangga. Lalu dengan sendirinya, hawa amarahnya jadi reda, hilang ia punya bengis. Diakhirnya ia menghela napas panjang …
“Kau berdua ada merdeka sekarang! ... “ kata ia akhirnya, “Aku-pun tidak mau kenal kau sebagat cucuku lagi, Ah Loan! Kang Siau Hoo! Kau punya bugee ada terlalu liehay, aku Pau Kun Lun bukannya tandinganmu, maka jikalau kau bendak bunuh aku, bunuhlah, tidak nanti aku membela diri atau balas menyerang! Hanya perlu aku beritahukan kau, meski juga dahulu ayahmu terbinasa secara sangat menyedihkan, tetapi dia harus terima kebinasaannya. Sesudah dia binasa, dari sakunya aku dapatkan beberapa tail uang perak, semua itu telah aku kembalikan kerumah kau. Memang, beberapa kali aku berniat binasakan kau guna singkirkan rumput berikut akarnya, akan tetapi saban-saban aku tak sampai hati. Aku Pau Kun Lun bukannya tak punya rasa kasihan ... Sekarang kita tidak usah panjang bicara lagi, aku hendak angkat kaki, aku serahkan Ah Loan mati atau hidup pada kau! Aku hendak cari Kie Kong Kiat guna urus dia punya perceraian! …”
Setelah kata begitu, dengan sangat berduka, Pau Kun Lun lantas buka tindakan lebar, akan menuju turun gunung …
Siau Hoo melengak, tetapi dengan tidak perdulikan jago tua itu, ia awasi Ah Loan, yang keadaannya menyedihkan. Nona ini terus merintih dia tak dapat bicara lagi, sepasang matanya mengalirkan air, matanya itu mengawasi saja si anak muda.
Segera Siau Hu pondong orang punya tubuh, buat dibawa masuk kedalam kelenteng, itulah tubuh separuh mati separuh hidup. Ia dapatkan kelenteng ada sangat sunyi seperti tidak ada penghuninya. Sekian lama mereka buat banyak berisik, toh tidak seorang juga yang muncul. Ia memanggil-manggil, ia tanya “Ada orang atau tidak didalam?” tetap kelenteng itu sunyi senyap. Karena ini ia bertindak terus masuk kedalam, sampai dipekarangan dari ruangan yang ketiga. Disitu ia tampak dua kacung too-kou sedang pilih biji cemara.
Dua kacung itu terkejut kapan ia lihat ada orang masuk dengan bawa seorang perempuan yang mandi darah, orang itu bertubuh tinggi dan besar dan berlepotan darah juga. Mereka menjerit, lantas mereka lari kearah pendopo.
Hampir di itu waktu, dari dalam pendopo muncul satu imam perempuan yang usianya sudah lanjut. Ia-pun agak terperanjat melihat kedua tamu tidak diudang itu.
“Kenapa dia terluka?” dia tanya.
“Tolong kasikan dahulu tempat!” sahut Siau Hoo. “Sesudah aku letaki dia, baru aku nanti kasi keterangan! ... ”
“Sebenarnya dia tinggal disebelah luar.” Too-kou tua itu kata. ”Mari!”
Ia lantas mengajak berlalu dari ruangan itu, pergi kebagian dalam dari ruangan kedua, disini ia membuka sebuah pintu sebelah timur. Siau Hoo, sambil pondong Ah Loan mengikuti terus. Itu ada suatu pendopo yang gelap, disitu ada dipuja patung Buddha.
Siau Hoo lihat sebuah pembaringan kayu berikut bantal kepalanya dan selimut. Ia minta si imam itu singkap selimutnya, Ia letaki tubuhnya Ah Loan di atas itu. Sekarang ia kerebengi selimut pada orang punya tubuh itu.
“Nona Pau itu diantar kemari oleh Tiat Tiang Ceng,” berkata Si too-kou tua yang berdiri saja diamping. “Dia tinggal menumpang disini sudah satu bulan lebih. Di kelenteng kita ini, kita biasanya tak terima orang datang menumpang tinggal, tetapi kita terima ini nona saking terpaksa. Karena Tiat Tiang Ceng kenal baik kita punya Too Teng Su-kou. Ini kali ketika dia datang, Tiat Tiang Ceng berlaku galak sekali, dia telah paksa kita terima Si nona, katanya si nona baru datang, dia terluka pada pundak dan pahanya. Kita ada orang-orang suci, tak dapat kita tolak padanya ... “
Siau Hoo menghela napas. Ia tunjuk nona itu.
“Dia adalah seorang yang sangat harus dikasihani,” ia kata. “Kita ada asal satu kampung halaman dimasa kecil, kita suka memain bersama-sama seperti engko dan adik saja. Dia punya egkong ada seorang busuk, adalah dia punya engkong yang sudah buat dia bernasib celaka!”
“Kelihatannya dia tak bakal jadi mati.” berkata imam perempuan itu. “Dimana adanya dia punya rumah? Baiklah dia lekas diantar pulang, agar dia bisa lekasberobat.”
Habis kata begitu, too-kou ini terus bertindak keluar.
Siau Hoo manggut, ia antap orang pergi.
Ab Loan segera buka matanya dengan perlahan.
“Kau juga baiklah pergi,” kata ia dengan lemah.
“Lukamu berat,” kata ia, “bagaimana aku bisa tinggalkan kau? Aku mesti tunggu sampai kau sudah sembuh, nanti aku antar kau pulang, habis itu baru aku pergi.”
“Aku tdak hendak pulang.” Ah Loan menangis. “Baiklah kau lekas pergi, kau jangan datang pula kemari. Selanjutnya aku tidak mau kenal siapa juga, walau-pun engkong datang, aku tetap tak sudi kenal padanya! Umpama kau niat bunuh engkong, bunuhah!“
Nona itu menangis, ia merintih pula.
Kamar itu ada gelap, penglihatan-pun menggiriskan, mengenaskan.
Siau Hoo bingung, hatinya sakit hingga ia berdiri menjublek.
“Aku tidak punya obat, bagaimana lukanya dia ini dapat disembuhkan?“ ia pikir seorang diri. “Jikalau aku pergi cari obat, dia disini tidak ada yang rawati …”
Masih pemuda ini berdiri diam, ia sangsi bukan main.
Sebentar Ah Loan buka pula matanya. Si anak muda mendekati dia.
“Ah Loan, apakah kau tidak haus?“ ia tanya.
“Tidak,” sahut Si nona sesudah ia perdengarkan rintihannya.
“Baiklah kau tunggu disini,” kata Siau Hoo kemudian, “dengan menunggang kuda, aku hendak pergi ke Un-sin-tin, buat beli obat luka. Tanpa diobati, cara bagaimana lukamu ini dapat sembuh?”
Ah Loan tidak menyahuti, ia cuma merintih, kedua matanya ia tutup rapat.
Siau Hoo berduka bukan main, ia goyang kepala, sepasang alisnya mengkerut. Dengan pelahan, ia bertindak keluar. Ia merandek dipintu, ia menoleh, akan awasi si nona, kemudian ia berjalan terus, ke luar, dengan cepat-cepat. Ia dapatkan pintu pekarangan masih dipentang. Ia keluar, ia rapati pintu itu. Selagi tunduk, ia lihat darah cerecetan ditanah, hatinya pepat. Kemudian ia cari pedangnya, ia tidak dapati itu. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak mau mencari lebih jauh, hanya segera ia pergi keundakan tangga dilamping gunung, untuk manjat, akan lewat rimba, akan kemudian bertidak turun dilain sebelah. Ia tampak seekor menjangan asyik makan rurnput, tetapi melihat dia binatang itu kaget dan kabur, hingga burung-burung turtt kaget dan terbang berhamburan.
Selang sekian lama, Siau Hoo sampai dikaki gunung. Disini ia tidak dapatkan ia punya kuda, melainkan tumpukan kotoran dari binatang itu. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak mau banyak pikir. Ia merasa sukur, buntalannya digendol dibebokongnya, kalau tidak, pasti buntalan itu turut lenyap juga.
Diantara berisiknya suara burung, Siau Hoo memandang keempat penjuru ia mengerti, ia punya kuda pasti sudah dibawa kabur olek Pau Kun Lun. Ia menjadi mendongkol sekali.
“Baik, Pau Kun Lun!“ kata ia dalam sengitnya. “Dua kali kau lolos dari tanganku! Ini kali kau ketolong karena hatiku lemah ... Biar kau hidup lagi sekian huri, jikalau di belakang hari kita dapat bertemu pula, itu waktu kita nanti bicara lagi!“
Lantas, tidak ingat apa juga, kecuali Ah Loan, yang lukanya perlu ditolong, Siau Hoo segera menuju ke Un-sin-tin. Ia tidak menunggang kuda tetapi ia bisa jalan separuh lari, cepat sekali ia telah sampai pula didusun yang dituju. Ia dapatkan, waktu itu sudah dekat tengah-hari, keadaan beda daripada waktu pagi. Ia pergi pula ke warung mie tadi. Sekarang warung ada sepi, dan tuan rumah lagi duduk ngelenggut didekat dapurnya.
Dengan satu suara nyaring, Siau Hoo teriaki tuan rumah, hingga dia ini terkejut dan buka matanya dengan lekas.
“Apakah disini ada tabib untuk luka-luka?“ Siau Hoo tanya selagi orang awasi ia dengan mata terbuka lebar. “Dimana ada penjual obat luka yang mustajab? Aku ada punya satu sahabat, yang terjatuh diatas gunung dan terluka parah.”
“Tabib untuk luka-luka tidak ada,” sahut tuan rumah kemudian. “Ada juga disebelah utara sana, dibengkel kereta, ada tabib hewan. Untuk beli obat, kau mesti ke timur, dalam sebuah gang kecil disana ada satu rumah obat.”
Siau Hoo tidak tanya melit-melit, ia segera bertindak kearah timur, benar dalam sebuah gang kecil. ia dapati rumah obat yang dihunjuk. Ditembok sudah kelihatan tulisan reklame: “Kita ada jual obat Pat Pon Twie Hong San buatan turunan dan obat kuat Kim So Kou Ceng Wan menurut resep rahasia.” Dimuka pintu juga ada digantung sebuah buli-buli obat-obatan. Ia lantas bertindak masuk.
Didalam pekarangan ada seorang tua.
“Hendak beli obat?” orang tua itu menegor kapan ia lihat ada orang datang.
Siau Hoo manggut.
“Benar,” ia jawab. “Aku hendak beli obat luka kebacok.”
“Silahkan masuk!“ mengundang orang tua itu.
Didalam kamar kelihatan banyak botol dan guci obat-obatan.
“Kau ada punya obat luka bagaimana? Coba keluarkan!“ Siau Hoo minta.
“Aku ada punya obat sambung tulang.”
“Bukannya tulang patah,” hanya Siau Hoo raba ia punya dada. “Lukanya di bagian anggota ini, dan yang terluka-pun orang perempuan.”
Orang tua itu tarik satu laci, akan keluarkan sebungkus obat.
Siau Hoo lihat tulisan dibungkusan obat itu, yang ada obat tete, ia jadi mendongkol, hingga hampir ia ayun kepalannya.
“Aku inginkan obat luka kebacok! Kau dengar tidak?“ ia bentak.
“Oh, obat luka kebacok ... “ ulangi orang tua itu. “Obat manjur untuk itu ada obat putih buatan In-lam, belinya mesti dikota, disini tempat kecil, tidak ada yang jual. Penduduk disini, siapa tertuka, dia beli aku punya obat salep menyambung tulang atau dia beli saja bubuk pengpian …”
Siau Hoo putus asa. Tapi peng-pian ada bersifat dingin, maka ia anggap, obat itu barangkali bisa pakai mengurangi rasa sakit. Maka itu ia keluarkan uangnya, ia beli beberapa tail peng-pian, sesudah mana, ia lekas berlalu, akan ambil pula jalanan ke In Ciat Nia. Ia berlari-lari, hingga ia mesti keteskan keringat dan jidatnya dan napasnya pun tersengal-sengal. Disebelah itu, ia ada berkuatir, mendongkol dan berduka.
“Dulu untuk tolongi Yo Sian Tay, aku sampai pergi minta obat kegunung Siong San,” ia kata dalam hatinya. “Obat bubuk Kim Kong Keng Seng San dari Thay Bu Siansu ada sangat mustajab dan kesohor, tetapi selagi gusar, ia telah robek surat resepnya dan obatnya dibuang berhamburan ... Kenapa dulu aku tidak ambil barang dua bungkus, untuk disimpan sampai ini hari? Jikalau ada obat mutajab itu mustahil lukanya Ah Loan tidak bakal segera disembuhkan?”
Ingat kejadian dahulu itu, Siau Hoo lalu ingat juga Lie Hong Kiat.
“Sekarang ini dia tentu sudah berumah tangga dengan sempurna, tetapi aku, aku mesti terus merantau …“ ia ngelamun lebih jauh. “Dengan bersusah-payah, baru aku dapat bertemu dengan Ah Loan, siapa tahu, dia sudah dipaksa menikah oleh engkongnya. Ah Loan nyatakan ia menyintai aku, tetapi, jikalau ia sudah sembuh, apa bisa aku nikah dia? Andaikata aku ambil Ah Loan sebagai isteriku, bagaimana apabila Kie Kong Kiat dapat tahu dan dia datang menegor aku? Apa aku mesti bilang padanya? Laginya, pembunuh dan ayahku ada Pau Kun Lun, apa boleh dengan begini saja aku beri dia lolos? Apakah permusuhan bisa disudahi secara begini?”
Pikirannya pemuda ini jadi sangat kusut, maka itu, ia jadi lelah bathin dan lahir. Ketika ia akhirnya sampai di kaki gunung, ia mesti menindak mendaki dengan perlahan-lahan. Ia mesti gunai banyak tempo dan tenaga, untuk sampai dijalanan yang berundakan batu diantara rumput tebal dan pepohonan lebat. Ia-pun meminta banyak tempo akan sampai dimuka pintu Kiu Sian Koan. Ia dapati tanda-tanda darah sudah disingkirkan. Ia punya pedang tetap lenyap. Ia menolak pintu, yang dikunci dari dalam, karena itu, ia apungkan tubuhnya untuk loncati tembok pekarangan, buat masuk kedalam. Belum lagi kedua kakinya injak tanah atau tiba-tiba ia rasakan ada apa-apa yang mengenai ia punya bahu kiri, hingga ia merasakan sakit tak terkira. Tanpa merasa lagi, ia jatuh duduk, numprah ditanah, obatnya terlepas dan jatuh, berbareng dengan mana, benda yang mengenai bahunya pun jatuh sambil beri dengar suara nyaring. Ternyata benda itu ada sebutir peluru besi, atau tiat-sian-wan sebesar biji buah hengtoh.
Bukan main kagetnya pemuda ini, walau-pun tangan kirinya tak dapat diangkat lagi ia toh geraki kedua kakinya, untuk segera lompat berdiri.
Adalah itu waktu, dari jurusan utara, dari dalam pendopo ke satu, dengan beruntun, ada menyamber empat atau lima peluru lain, tetapi karena ia keburu gerak tubuh, semua itu Siau Hoo dapat kelit, hingga semua penyerangan mengenai tembok, sambil terbitkan suara, semua peluru itu jatuh ketanah.
“Siapa kau?” berseru Siau Hoo dengan gusar. “Hayo keluar!”
Dari pintu berdaun dua dari pendopo utara, berbareng dengan suara dibukanya pintu tertampak munculnya satu tubuh yang jangkung dan besar dari satu imam perempuan dari usia kurang-lebih lima-puluh tahun, pakaiannya ringkas, tangan kiri menyekal busur peluru besi, tangan kanan menenteng golok yang berkilauan.
Siau Hoo heran hingga ia melengak
“Too-kou, jangan kau keliru kenali orang!“ segera ia berkata, untuk berikan keterangan, “Aku adalah orang yang tadi keluar dari sini, aku baru saja pulang habis beli obat Aku ada punya satu kenalan perempuan asal satu kampung halaman, yang telah terluka, yang sekarang berada dalam kau punya kuil ini …”
Imam perempuan itu segara perlihatkan romannya yang bengis, sebagai roman Srigala atau rupa kokok beluk, sembari tertawa menyengir, ia kata secara menghina.
“Apakah kau sangka aku tidak kenali kau, Kang Siau Hoo?” demikian suaranya, yang tak sedap didengar. “Kau sudah merantau, kau dapati kepandaian silat, lantas kau malang melintang, berbuat sewenang-wenang di Siam-say Selatan! Kau sudah perhina Pau Kun Lun yang tua dan tidak berkawan, kau sudah cerai beraikan Kie Kong Kiat dan Pau Ah Loan sebagai suami isteri!”
“Ngaco!“ Siau Hoo memotong dengan bentakannya.
Tapi si imam perempuan jadi terlebih sengit, sambil terus hunjukkan romannya yang bengis, ia-pun kertek gigi, “Jangan kau menyangkal! Tiat Tiang Ceng ada aku punya sutee, adik seperguruan, dan dalam gunung Cin Nia, dia telah tolongi Pau Ah Loan, yang dia bawa kemari! Dan kemarin dia juga sudah tolongi Pau Kun Lun! Pada itu malam juga perintah muridnya, Ceng Hian, pergi ke Tin-pa, akan panggil datang orang-orang Kun Lun Pay. Aku punya sutee Tiat Tiang Ceng ada seorang gagah dan mulia, tetapi dia telah kau binasakan didalam gunung! Dan sekarang kau masih berani datang kemari, kekuilku!“
Siau Hoo tertawa dingin, ia mengejek.
“Jikalau Tiat Tiang Ceng ada seorang gagah dan mulia, kenapa dia bunuh itu suami isteri pemburu dengan dia punya tongkat besi?” ia tanya. “Jikalau dia tidak binasakan sepasang suami isteri pemburu itu, aku juga tidak akan buat dia celaka!“
“Suami isteri pemburu iu adalah begal-begal digunung itu!“ Imam perempuan itu terangkan. “Karena adanya aku dan aku punya sutee disini, berdua mereka berlaku sebagai orang baik-baik, mereka hidup berburu untuk berpura-pura saja, asal kita satu waktu berpergian, segera mereka ganggu orang, merampas dan membunuh! Tidaklah kecewa kebinasaan mereka itu ... ”
“Dalam hal itu, barang kali aku keliru,” Siau Hoo akui. “Tapi urusanku dengan keluarga Pau, itu tak dapat dijelaskan dalam tempo yang pendek. Kau cuma tahu Pau Kun Lun sudah tua dan harus dikasihani, tetapi kau tak tahu yang dia ada sangat jahat dan kejam. Sekarang ini aku tidak ingin buat ribut disini berhala yang suci, aku datang kemari untuk tolong obati Pau Ah Loan, aku hendak tungu sampai dia sudah sembuh, aku nati berikan ia sedikit uang, lantas aku akan pergi.”
Sembari mengucap demikian, Siau Hoo berdongkol sambil ulur tangannya yang kanan, untuk jumput bungkusan obat.
Dengan sekonyong-konyong, imam perempuan itu sudah siapkan pula pelurunya dan kembali menyerang, sukur Siau Hoo keburu berkelit, hingga peluru besi lewat disamping kupingnya. Sedikit lambat saja, batok kepalanya pemuda ini bisa ditembusi peluru dan jiwanya pasti akan melayang. Karena ini, ia batal jumput bungkusan obat, ia terus lompat maju.
Imam perempuan itu segera lepaskan busurnya, sebagai gantinya ia lompat sambil membacok.
Siau Hoo egos tubuh dari bacokan, habis itu, dengan tangan kosong, ia melayani berkelahi. Ia ingin rampas orang punya golok kangtoo itu. Diluar dugaan, si imam ada sangat gesit dan liehay, ilmu silatnya berada diatasan Pau Kun Lun dan Kie Kong Kiat. dan tenaganya barangkali lebih besar dari pada tenaga Tiat Tiang Ceng. Dia punya ilmu golok-pun istimewa, hingga sampai selang beberapd jurus, sia-sia saja si pemuda mencoba mendapati orang punya golok.
Melayani musuh yang bersenjatakan gogok, Siau Hoo gunai kepandaiannya berloncat-loncat, saban-saban ia hunjuk kegesitan tubuh, akan berkelit, akan tetapi ia insaf, tak dapat ia berkelahi terus-terusan secara demikian, maka kemudian, ia gunai ketika akan loncat kearah busur besi, untuk segera jumput itu, sesudah mana ia pakai busur itu sebagai senjata, untuk lawan musuh. Ia gunai busur sebagai pedang.
Siau Hoo terhambat oleh ia punya lengan kiri yang sakit, yang terluka oleh peluru besi, dan disebelahnya ia sedang sangat letih, ia juga sibuki Ah Loan, yang membutuhkan pertolongan cepat. Ia benar-benar tidak ingin bertempur lama-lama. Apa mau, imam perempuan ini desak ia dengan hebat, hingga mau atau tidak, ia mesti hunjukkan juga kepandaiannya.
Pertempuran berlangsung lagi dua puluh jurus lebih.
Terus-terusan Siau Hoo unjukkan ia punya kesebatan, sekarang ia tak kuatirkan lagi golok musuh yang ia bisa rintangi dengan busurnya. Saban-saban ia mengancam, ia mencari lowongan. Demikian, dalam serunya pertempuran, sekonyong-konyong ujung busurnya melanggar orang punya iga, atas mana dengan tiba-tiba, goloknya si imam perempuan terlepas dari cekalannya, tubuhnya-pun turut rubuh!
Ternyata, pemuda ini sudah gunai Tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah.
Menampak sang lawan telah rubuh tak berdaya, Siau Hoo tidak memperdulikannya lagi, sesudah lemparkan busurannya, ia lompat pada bungkusan obat, untuk jumput itu, buat ia terus bawa lari kedalam.
“Kang Siau Hoo,” berseru si imam perempuan, sambil rebah saja. “Kecuali kau suruh aku rebah untuk selamanya disini, asal aku sanggup berbangkit. Pasti aku tidak akan ijinkan kau hidup lebih lama pula! Aku mesti balas sakit hatinya aku punya sutee!”
Siau Hoo dengar orarng punya perkataan itu ia tak gubris, ia lari terus, memasuki ruangan kedua, hingga sebentar saja, ia sudah berada dalam kamarnya Ah Loan. Si nona tetap mandi darah, tubuhnya rebah, kedua matanya tertutup, hingga ia nampaknya mirip dengan mayat.
Dengan napas memburu, dengan sepasang alis mengerut, Siau Hoo mendekati orang punya tubuh. Sekarang ia bisa lihat orang punya napas, yang pelahan, dan dengar juga rintihan, yang pelahan luar biasa. Tidak ayal lagi, ia buka bungkusan peng-pian, ia jumput itu, untuk borehkan di lukanya si nona, untuk mana, ia tidak buka lagi orang punya baju. Sembari mengobati, ia awasi nona itu, untuk lihat hasilnya itu obat. Sisanya obat ia bungkus pula.
Justeru itu, imam yang pertama Siau Hoo ketemui, kelihatan mendatangi padanya. Ia ini memberi hormat sambil manggut dalam.
“Sudah berbuat salah apakab Too Teng Su-kou terhadap sie-cu?” tanya ia. “Dia sekarang rebah diluar dengan tak dapat geraki tubuhnya. Dia bilang bahwa siecu sudah totok ia dengan tiam-hiat hoat, maka itu, sie-cu tentunya bisa totok pula dia untuk ditolong merdekakan. Dialah yang suruh aku datang pada sie-cu, buat minta sie-cu tolong padanya. Dia bilang, begitu lekas sie-cu sudah merdekakan dia, dia akan lantas angkat kaki, dia tidak akan ganggu pula pada sie-cu.
Siau Hoo putar tubuhnya, akan hadapi imam perempuan itu.
“Didalam kuil ini kenapa boleh ada imam perempuan semacam dia?“ ia tanya. Dia ada sangat ganas, sukur ini hari akulah yang berhadapan dengan dia, coba lain orang, biarpun ada lima atau enam orang, semuanya pasti bakal terbinasa oleh dia punya peluru besi. Jikalau aku merdekakan dia, pasti sekali dia bakal lakukan pula kejahatannya.”
“Tidak nanti dia berbuat jahat pula,” berkata Si imam. “Dia punya peluru itu sebenarnya tidak pernah digunai secara sembarangan. Dalam usia dia ada terlebih muda daripada aku, akan tetapi dalam tingkatan, dia ada terlebih tua. Didalam kuil kita ini, selama dua-ratus tahun, belum pernah ada anggauta yang tidak hormati aturan kita. Tentang Too Teng, aku bisa terangkan, dulu waktu keluar untuk memungut derma, ia sudah ketemu seorang yang pandai ilmu silat, yang warikan kepandaianya kepandanya, maka itu dia jadi pandai menggunai golok dan panah peluru. Oleh karena ia punya kepandaian silat itu ia tak dapat berdiam lebih lama dalam kuil ini. Selain dua puluh tahun, ia sering merantau kelain-lain tempat, ada kalanya, setengah sampai satu tahun, dia tidak pernah pulang. Tiat Tiang Ceng itu ada dia punya sutee, mereka berdua, sucie dan su-tee, sering datang bersama-sama. Tiat Tiang Ceng ada punya satu murid, kemarin muridnya telah datang bersama-sama dianya, hanya tadi malam entah pada jam berapa guru dan murid itu sudah meniuggalkan kuil ini.”
“Apakah tadi malam Too Teng berada disini dan tidak pernah ketuar?” Siau Hoo tanya.
Imam perempuan itu menggeleng kepala.
“Tidak demikian,” sahutnya. “Dia baru saja datang, ini kali dia pergi untuk belasan hari, baru dia kembali. Dia memang tidak punya ketentuan, satu waktu dia datang dengan tiba-tiba, lain waktu dia pergi dengan mendadakan, dalam halnya itu, kita tidak berani tanya dia. Dia ada tergolong lebih tua, dia punya tabeat-pun buruk. Lain sebab lagi adalah, tadinya kuil ini ada kecil, berkat dia punya pungutan derma, belakangan ia telah perbaiki dan perbesar, maka sejak berpulangnya guru kita kelain dunia, dialah yang menjadi kepala disini, hanya tempo kediamannya disini ada pendek sekali. Dia-pun biasanya, tidak membakar dupa, tidak mensujuti Sam Ceng yang maha suci, malah dia tidak mampu membaca do’a, dia tidak bisa duduk bersamedhi. Disini dia ada punya beberapa ekor menjangan. Menjangan adalah binatang yang ia paling gemari.” Baru saja si imam berhenti bicara, atau terdengar rintihannya Ah Loan. Siau Hoo segera menoleh pada nona itu. Rupanya dia punya keadaan ada mendingan, sekarang dia bisa buka matanya terlebih lebar. Melainkan dari matanya itu masih keluar air.
“Siau Hoo, jangan kau lukai Too Teng Su-kou dan Tiat Tiang Ceng,” berkata si nona. suaranya lemah. “Mereka adalah orang-orang gagah dan mulia hatinya. Aku-pun telah ditolongi mereka, yang bawa aku kemari.”
Siau Hoo manggut.
“Aku pasti tidak akan ganggu mereka!“ ia jawab.
Sembari berkata demikian, pemuda ini menyesal. Ia anggap, ketika ia tempur Tiat Tiang Ceng, seharusnya ia berlaku terlebih murah hati.
“Tetapi, orang yang bunuh Tiat Tang Ceng, curi kudaku dan kepalanya Liong Cie Khie, dia tentu bukannya Pau Ciu Hui dan Too Teng Su-kou,” ia berpikir. “Dia mesti ada seorang lain, yang menjadi pihak lawannya mereka ini. Siapa dia? Inilah aneh! Disini ada perbatasan Su-coan dan Siamsay, terpisahnya tempat ini dengan Tin-pa tidak ada seratus lie, kenapa disini ada orang aneh semacam dia? Sama sekali aku belum pernah dengar tentang dia itu …”
Lantas dia kata pada Ah Loan: “Aku telah totok Too Teng Su-kou hingga dia tak dapat bergerak, aku nanti pergi untuk merdekakan diri, dia akan bisa bergerak pula seperti biasa. Kau sendiri ... kau harus rawat baik-baik dirimu, jika nanti kau sudah sembuh, aku akan tuturkan segala apa dengan jelas padamu. Sekarang ini dalam kalangan kangou orang bisa ciptakan segala apa, dari itu kau tidak boleh dengar saja satu pihak. Too Teng dan Tiat Tiang Ceng boleh sudah tolong kau, akan tetapi belum pasti mereka ada orang-orang gagah budiman. Tapi kau jangan kuatir, tidak nanti aku buat mereka celaka, apa pula Ceng Hian adalah sahabatku sejak sepuluh tahun. Aku biasa lakukan segala apa dengan terus-terang, kapan nanti aku telah menutur, barulah kau akan dapat tahu.”
Setelah mengucap demikian, Siau Hoo putar tubuhnya, untuk bertindak keluar, ia jalan dengan cepat. Diluar, ia dapatkan Too Teng Su-kou sedang rebah ditanah. Ia lantas mendekati.
“Aku dengar kau ada seorang gagah yang mulia, karena itu, aku tidak ingin buat susah padamu,” ia berkata. “Tapi aku hendak beri. tahukan kepada kau bahwa aku, Kang Siau Hoo, bukannya itu orang yang biasa menangkan lain orang dengan andalkan Tiam-hiat-hoat.”
Setelah berkata demikian, Siau Hoo jumput busur yang terletak ditanah. Ia punya bahu kiri sudah terluka, akan tetapi tangannya sendiri masih punyakan tenaga, maka itu, kapan ia telah cekal busur itu dengan kedua tangannya, dengan satu gerakan saja ia telah buat putus tali kawatnya, kemudian dengan lain gerakan ia tekuk melengkung busur itu hingga merupakan satu bunderan besi. Ketika ia lemparkan gelang istimewa itu, gelang itu jatuh ke tanah dengan terbitkan suara nyaring dan berisik. Habis itu, pemuda ini jumput golok kang-too, goloknya Si imam perempuan, yang ia letaki berdiri di kaki tembok, lalu ia jejak dengan kakinya, sampai golok itu menjadi bengkok, kemudian setelah ia baliki golok itu ia menjejak untuk kedua kalinya, dan sekali ini, golok itu lantas patah menjadi dua potong!
Paling akhir, mendekati Too Teng, Siau Hoo angkat ia punya sebelah kaki, untuk dupak imam perempuan itu. Nampaknya ia punya dupakan ada enteng sekali, akan tetapi karena itu, tubuhnya si imam bergulingan dua kali, sesudah mana. Too Teng rasai darahnya jalan pula, hingga ia bisa lantas geraki tangan dan kakinya, untuk bangun berdiri. Diluar dugaan, begitu lekas ia sudah berbangkit, dengan tiba-tiba, dengan gesit sekali, ia ulur sebelah tangannya pada orang punya iga. Da memang mengarti Tiam-hiat-hoat.
Siau Hoo ada waspada, matanya celi, gerakannya sebat, ketka serangan datang, ia mendahului ulur ia punya tangan, akan tolak orang punya tubuh, atas mana Too Teng Su-kou lantas terpelanting dan rubuh di tempat jauhnya dua tumbak!
“Kau masih belum puas?” tanya Siauv Hoo sambil bersenyum ewa, “Kau hendak totok aku? Kau punya kepandaian menotok cuma mirip dengan kepandaiannya Tiat Tiang Ceng, dengan itu kau melainkan boleh permainkan segala bocah cilik!“
Too Teng Su-kou merayap bangun, dengan matanya yang tajam bagaikan mata kokok beluk, ia awasi Siau Hoo dengan bengis, tetapi sekarang ia punya tampang ada bersemu kuning, tanda dari kelemahan tuhuhnya.
Siau Hoo mengawasi terus dengan perdengarkan tertawanya mengejek, lalu ia bertindak untuk mendekati.
Melihat demikian, dengan sendirinya, Too Teng Su-kou bertindak mundur, terus sampai di pintu pekarangan. Disini, dengan sekonyong-konyong, ia enjot tubuhnya ia awasi anak muda dengan tertawa menghina.
“Kang Siau Hoo, apakah kau berani pergi ke Bu Tong San?“ ia menantang.
Siau Hoo tertawa ketika ia menjawab.
“Baru saja bulan yang lalu aku kembali dari sana! Kenapa aku mesti takut?” kata ia.
Too Teng perdengarkan tertawa iblisnya.
“Baik, sekarang aku pergi ke Bu Tong San untuk tunggui kau disana!“ kata ia.
“Kau mesti pergi kesana sebelum tahun baru, apabila kau tidak pergi, kau adalah satu pit-hu!”
Setelah mengucap demikian, imam perempuan itu loncat turun keluar kuil, untuk terus angkat kaki.
Siau Hoo ada sangat mendongkol, hingga ia pikir untuk kejar imam prempuan itu, akan berikan hajaran pula kepadanya baiknya ia segera ingat Ah Loan yang sedang menderita, maka itu, ia bisa kendalikan diri. Ia lantas pungut busur, dengan kedua tanannya, ia buat besi yang melengkung bundar itu menjadi lempang hingga merupakan sebatang tongkat panjang. Ia sudah tidak punyakan golok atau pedang, maka itu, toya ismewa ini ia boleh gunai sebagai senjata. Dengan tengteng toya itu, ia lantas bertidak kedalam, ke kamarnya Ah Loan.
Nona Pau masih tetap buka kedua matanya.
“Akn sudah merdekakan Too Teng,” Siau Hoo beritahu. “Bagaimana kau rasai sekarang? Apakah sakitmu masih hebat? Aku nanti pergi kelain tempat, untuk carikan kau obat lainnya. Atau aku nanti undang tabib untuk periksa lukamu itu …”
“Kau jangan pergi dulu,” sahut si nona, sambil merintih, sedang kedua matanya sudah lantas mengucurkan air suci.
Siau Hoo sangat terharu, ia menghela napas. Ia sebenarnya hendak berikan keterangannya, tentang cintanya, tentang permusuhannya dengan Pau Kun Lun, tetapi ia lihat nona itu meramkan mata, alisnya dikerutkan berulang-ulang, dari mulutnya keluar rintihan, ia batalkan niatnya itu. Ia cuma bisa datang lehih dekat, untuk mengawasi dengan terlebih teliti, kedua tangannya dikepal keras. Ia berdiri diam saja.
Ah Loan beri dengar rintihannya yang pelahan, matanya tidak dibuka lagi.
Siau Hoo berdiam dengan menahan napas.
Kamar itu dengan lekas mulai menjadi guram, hingga darah di dadanya Si nona tidak tertampak nyata lagi. Diluar kuli burung-burung recet dengan suaranya, seperti sekumpulan bocah cilik asik berkelahi.
Kemudian, kapan orang telah sadar, Siau Hoo buka bungkusan peng-pian, untuk borehkan pula lukanya si nona.
Ketika itu, daun pintu di belakangnya, perdengarkan suara, maka Siau Hoo berpaling dengan segera.
Si imam perempuan tua muncul dipintu, tangannya menampa nenampan kayu atas mana ada sebuah mangkok kecil terisikan mie kuning berikut dua batang sumpitnya.
Siau Hoo sambuti makanan itu, ia bawa ke depannya Ah Loan.
Sampai lagi sekian lama, barulah si nona buka kedua matanya.
“Disini ada mie, apakah kau ingin dahar?” Siau Hoo tanya.
Si nona merintih, dua atau tiga kali.
“Tidak,” sahut ia kemudian.
Siau Hoo awasi mie itu, yang untuk ia akan habis dimakan dengan dua-tiga caplokan, ia kerutkan alis, kemudian ia pergi ke jendela, untuk letaki itu. Kemudian lagi, ia mendekati si imam tua, akan bicara padanya dengan pelahan.
“Kuilmu ada tempat suci-murni, tidak seharusnya aku berada disini,” kata ia. “Akan tetapi, apa boleh buat … Lukanya nona ini ada sangat hebat, sedang kau orang, tidak sanggup rawati padanya. Dia-pun tidak bisa lantas dibawa pindah ke lain tempat. Aku ada Kang Siau Hoo. Tentang aku, kau boleh dengar-dengar. Aku ada satu laki-laki sejati, tidak nanti aku ganggu kesucian dan ketenteramannya kau punya kuil ini, aku melainkan hendak tunggu sembuhnya dia punya luka itu dengan lantas aku akan ajak dia pergi. Aku akan menderma kepada kau orang …”
Imam itu bisa bade orang punya maksud.
“Sie-cu,” berkata ia, “kau hendak tinggal sama kita orang disini itulah tak dapat dilakukan. Tidak ada aturannya untuk kita disini menerima tamu-tamu lelaki. Walau-pun Tiat Tiang Ceng yang tidak kenal aturan, apabila dia datang kemari, dia tidak bisa tinggal disini. Dia mondok di kuil Eng Sian Sie di gunung sebelah barat sana. Ini ada aturan kita sejak beberapa ratus tahun, yang tak dapat kita langgar, hingga kita-pun tak bisa memberi kelonggaran. Biar-pun Si nona berdiam disini, kau jangan kuatir, aku nanti titahkan muridku rawati dia.”
Siau Hoo menghela napas, ia manggut. Ia berdiam pula sekian lama, baru ia berkata lagi.
“Masih ada satu hal, sukou,” berkata ia kepada si imam. “Sekarang ini aku tidak lapar, tidak apa untuk aku tidak dahar hari ini, tetapi lukanya si nona membutuhkan perawatan, sepuluh atau lima belas hari, karena itu, selama menungkuli dia, aku juga belum bisa pergi dari sini. Dalam hal tidur ini adalah perkara gampang, aku bisa tidur diluar kuil dibawah pohon, hanya nasi, aku pikir untuk minta dari kau. Nanti diwaktu mau pergi, aku nanti berikan uang penggantian kerugian pada kau.”
“Ini-pun tak dapat aku lakukan,” berkata si imam, “Simpanan beras kita ada sangat terbatas. Kita sendiri setiap hari, setiap kalinya cuma dahar satu mangkok kecil. Mana kita punyakan kelebihan untuk dibagikan kepada kau? Umpama kau beli berasnya, masih kita disini tak dapat tolongi kau memasaknya.”
Siau Hoo mendongkol atas itu penolakan, akan tetapi ia tidak bisa berbuat suatu apa. Orang tak sudi menolongi ia, tak dapat memaksanya, ia malu akan berlaku kasar dan tak pakai aturan.
“Paling benar sie-cu pergi menumpang di Eng Sian Sie saja,” sang imam perempuan tua usulkan. “Orang-orang suci disana semuanya ada pendeta lelaki dan kuil-pun ada terlebih besar daripada kelenteng kita ini.”
“Beberapa jauh pernahnya Eng Sian Sie dari sini?” Siau Hoo tanya.
“Tiga sepuluh lie lebih,” sahut si Imam perempuan. “Kalau kau menuju ke barat, kau perlu lewati dua buah puncak. Kita-pun cuma dengar orang omong saja, belum pernah ada orang kita yang pergi kesana.”
Baru si imam berkata begitu, dari luar sudah terdengar suaranya genta, maka lekas-lekas ia undurkan diri, karena lonceng itu ada anda untuk mereka bersantap malam.
Siau Hoo sengit sendirinya, hingga ia ingin rusaki nenampan, pecahkan mangkok dan patahkan sumpit.
Ah Loan menintih.
“Kau pergilah dulu,“ ia kata dengan lemah.
Siau Hoo terus berdiri diam, hatinya panas. Tapi kemudian ia dekati si nona.
“Ah Loan, aku menyesal,“ kata ia. “Pengalaman kita ada sengsara sekali, ada terlalu pahit getir. Sekarang ini aku tak saja benci engkongmu, aku-pun sesalkan aku punya ayah. Tidak seharusnya ayah berlaku buruk dan langgar pantangannya Kun Lun Pay, coba tidak, tak akan dia binasa secara kecewa dan menggiriskan, dan kita berdua, kita pasti sudah menikah sejak siang-siang ... Ah, rupanya ini adalah kehendaknya hantu ... “
Si anak muda jadi sangat menyesal, hingga ia hampir banting kaki.
“Sekarang ... “ kata ia pula. “Sudah, kita jangan banyak bicara pula ... Asal kau telah sembuh, hatiku akan jadi lega, sesudah itu, aku nanti pergi seorang diri, tidak saja aku tidak akan desak lagi engkongmu, aku-pun tidak ingin ketemui lagi semua sahabatku, aku tidak lagi mau merantau dan menjagoi ... Kau berdiam disini, hatiku tidak tenteram, imam disini ada menjemukan. Juga Too Teng, yang aku baru merdekakan, karena ia punyakan “bugee liehay, kendati-pun aku telah kalahkan dia, aku sangsi apabila di belakang hari ia tidak datang pula untuk menuntut balas. Gunung ini ada terlalu mencil dan sunyi, disini sembarang orang bisa lakukan segala macam perbuatan. Tapi toh aku tidak bisa tinggal disini, untuk rawat dan lindungi kau. Imam perempuan disini tidak hendak tolong sajikan nasi untuk aku, dia larang aku menumpang tinggal disini, hingga lenyap juga ketikaku yang baik untuk carikan kau obat. Maka, umpama kata keadaan kau ada mendingan, aku ingin pondong kau untuk dibawa turun gunung, di kaki bukit ada dua penduduk dimana kita bisa menumpang tinggal selama kau rawat diri, tempat itu tentu ada jauh terlebih baik daripada disini ... ”
Ah Loan kucurkan airmata, ia merintih.
“Kita berdua ada seperti musuh besar satu dengan yang lain ... “ kata ia kemudian dengan pelahan, suaranya terputus-putus. “Dulu diwaktu kita masih kecil, ketika kau pergi aku benci kau, tetapi aku-pun tak dapat melupakan padamu, yang senantiasa aku ingat saja. Aku tak dapat utarakan perasaanku itu ... Benar Kie Kong Kiat telah ... denganku, akan tetapi, kita sebetulnya bukannya suami isteri, jikalau nanti aku telah sembuh, aku tidak bakal ikuti dia ... Walau-pun demikian, aku juga tidak bisa lupai dia, karena dia pernah berkorban untuk aku ... “ ia berhenti untuk sesenggukan. Kemudian ia menambahkan : “Selanjutnya, sekali-pun aku punya engkong, aku tidak akan perdulikan pula. Aku dengar dari muridnya Tiat Tiang Ceng, di Su-coan Utara, engkong sudah binasakan satu anak kecil yang harus dikasihani ... Dia ada sangat telengas!” ia menangis pula, ia merintih berulang-ulang. “Nah, kau pergilah,” ia kata, menambahkan pula. “Jangan kau kuatirkan aku. Aku sudah ditolongi oleh Tiat Tiang Ceng, karena itu tidak nanti mereka perlakukan jelek padaku. Mereka melainkan tak senangi kau dan jerih terhadapmu ... Kau pergi, asal kau sering-sering datang-datang tengok aku … Sekarang aku tidak punya tenaga untuk bicara banyak, nanti saja sesudah aku sembuh, aku akan utarakan segala apa kepada kau. Umpama kata aku mati, aku harap kau tidak lupai aku ... Pada sepuluh tahun, selama aku menderita di rumahku kau tahu bagaimana aku mengasihani kau … Kau juga tahu bagaimana aku berkuatir sebab aku tahu engkong berulang-ulang berniat membunuh kau ... Ketika kau buron, hingga kau tidak ketahuan kau mati atau hidup, bagaimana aku bingung ... ”
Ah Loan berhenti dengan tiba-tiba, ia merasakan sangat sakit pada dadanya, karena itu ia kerutkan alis, ia merintih pula. Tak dapat ia buka mulutnya akan bicara lebih jauh.
“Kau jangan bersusah hati,” Siau Hoo menghibur. “Kita telah ketahui baik hati masing-masing, itu menggampangkan untuk urusan kita di belakang hari. Kau tetapkan hatimu ... ”
Ah Loan berdiam.
Siau Hoo lihat orang punya kasut hijau, ia jadi ingat kasut merah si nona, yang ia ketemukan diselokan, yang ia senantiasa bawa-bawa. Ia pernah duga si nona dibawa lari harimau, siapa tahu, dia telah ditolongi Tiat Tiang Ceng. Ia ingat pula Tiat Tiang Ceng dan Too Teng, ia percaya mereka bukannya orang-orang suci murni sejati, akan tetapi mereka pernah tolongi Ah Loan. Ia menyesal sudah desak engkong dan cucu itu hingga mereka tercerai berai, sampai si nona mencoba membunuh diri dengan kesudahan terluka parah itu. Tapi, apa ia bisa buat?
Akhirnya, setelah menghela napas, pemuda ini bicara pula.
“Baikiah, kau boleh berdiam disini,” kata ia. “Aku nanti cari lain tempat untuk beristirahat.”
Ah Loan beri dengar suara penyahutan yang pelahan sekali.
Siau Hoo pungut dia punya toya istimewa, lantas ia bertindak keluar. Diluar, dibawah payon, ia berdiri diam sekian lama. Ia dengari suara berisik dan gowak dan lain-lain burung di langit, mega ada tebal, ada sisanya sinar matahari sore. Sang angin meniup-niup mendatangkan hawa dingin sekali. Dengan kepala tunduk, bertindak kepekarangan kuil, setiap kali ia menghela napas.
“Biar bagaimana, aku mesti obati Ah Loan hingga sembuh,” ia berpikir. “Sekarang sudah sore, tidak leluasa untuk aku meninggalkan tempat ini, tetapi besok, mesti aku cari obat yang manjur untuknya.”
Itu waktu ia telah sampai di depan tembok, ia enjot tubuhnya akan loncat melewatinya, setelah sampai diluar, ia tampak pepohonan yang lebat, yang gelap seperti malam saja. Disitu ada tiga ekor menjangan yang tadi, yang bertindak kearah dia. Rupanya, sesudah bertemu beberapa kali dan Siau Hoo tidak mengganggu, binatang itu tidak takut lagi, malah yang tanduknya panjang menghampirkan untuk cium tubuhnya pemuda kita, siapa sebaliknya usap-usap orang punya tanduk.
Jilid 26
MENJANGAN jantan itu jalan di muka, dua yang betina, jalan belakangan. Dari situ, mereka mendaki tanjakan bukit, akan pergi ke arah barat.
Siau Hoo gunai toya bekas busur, akan menekan tanah dan mengenjot tubuh, lantas ia mencelat naik ke atas tanjakan, ketika ia injak tanah, ia tampak ketiga ekor menjangan sedang membiluk di tembok sebelah barat. Ia heran, ia terus mengikuti mereka itu.
Diluar tembok sebelah barat itu ternyata ada dua buah rumah tanah yang rendah dan tak berjendela, ketiga ekor binatang itu masuk kedalam rumah tanah itu, untuk rebahkan diri. Adalah menjangan yang lelaki, yang masih saja suka awasi pemuda kita ini.
Siau Hoo bersenyum, hatinya lega.
“Bagus!“ demikian ia dapat pikiran. “Imam perempuan larang aku bermalam didalam kuil, tapi sekarang aku bisa menumpang di kandang menjangan ini, dia pasti tak dapat mencegah. Didalam rumah tanah ini aku bisa menyingkir dari hujan dan angin.
Lalu ia bertindak ke rumah tanah itu dan memasukinya sambil berjongkok. Ia letaki toyanya di pinggiran, ia cabak segumpal rumput kering untuk dijadikan kasur, sesudah mana segera ia jatuhkan diri dan duduk.
Ketiga menjangan itu tidak menyingkir karena orang menumpang kepada mereka.
Tidak lama setelah ia numprah Siau Hoo merasakan perutnya perih meminta makan, sedang bahu kirinya mendatangkan rasa sakit yang hebat, sampai sukar untuk diangkat. Sekarang ia ingat bagaimana tadi ia sudah dibokong oleh Too Teng Su-kou, si imam perempuan yang liehay panah pelurunya. Ia tidak menyangka suatu apa dan datangnya peluru cepat luar biasa, ia telah kena terpanah.
“Benar-benar imam itu sangat menjemukan!“ kata ia dalam hatinya. “Dia telah tantang aku datang ke Bu Tong San, mestinya dia ada bersahabat dengan Cit Toa-kiam-san dari gunung tersebut rupanya dia memikir untuk gunai tujuh imam akhli silat Bu Tong Pay itu untuk buat aku tunduk! Mana aku ada punya kesempatan akan pergi layani mereka itu?“
Habis itu, Siau Hoo ingat Kie Kong Kiat. Ia seperti bayangkan bagaimana orang she Kie itu mengacau diatas Bu Tong San, bagaimana dia itu punya kelicinan dan kecurangan juga, hingga ia kena dikepung dijembatan Pa Kio.
“Hampir jiwaku hilang karena perbuatannya yang curang itu,” ia berpikir. “Dia benar ada suaminya Ah Loan, tetapi Ah Loan sendiri sudah terangkan padaku bahwa ia tidak menyintai suaminya. Pernikahan mereka ada pernikahan paksaannya si tua bangka she Pau, namanya saja mereka suami isteri, kenyataannya tidak ada, dari itu buat apa aku pandang-pandang lagi padanya! Bukankah aku kenal Ah Loan terlebih dahulu daripada dia dan kita ada bersahabat sejak dahulu sampai ini hari? Tadi-pun si tua-bangka bilang, dia tidak sudi kenal lagi cucu perempuannya, maka kenapa aku mesti berpura-pura saja dan tidak mau dekat Ah Loan!”
Kapan ia telah memikir demikian, kegembiraannya anak muda ini terbangun, hingga untuk sementara, ia lupai sakitnya ia punya bahu kiri. Ia terus buka bungkusannya akan keluarkan sepatu merah simpanannya dengan bawa itu, ia lompat keluar dari kandang menjangan, ia lari kembali ke dalam kuil. Baru ia sampai didalam, ia sudah dengar suara liangkeng yang pelahan sekali, ia tidak perdulikan suara itu, ia menuju terus ke kamarnya Si nona.
Kamar ada gelap, sampai sukar kelihatan tubuh orang yang rebah diatas pembaringan. Pemuda ini dengar pertanyaan lemah dari nona itu : “Siapa?”
“Aku!” ia jawab dengan cepat. Diam-diam ia bergirang karena ia dapati nona itu terang pikirannya. Ia-pun mendekat lagi dua tindak. Terus ia kata : “Ah Loan, tidak sempurna untuk kau berdiam lama didalam kuil ini, baik kita berdaya agar lebih lekas kau pindah, maka aku pikir sekarang juga aku hendak turun gunung, buat pergi ke Un-sin-tin, guna mencari kereta, agar besok pagi aku datang menyambut kau. Mari kita pergi, ke Long-tiong, disana aku ada punya dua sahabat kekal, yalah Kimkah-sin Ciau Tek Cun dan Long-tionghiap Cie Kie.
Ah Loan merintih, ia tidak menyahuti.
Selama sepuluh lahun aku merantau, aku mencari ilmu silat, adalah dua keinginanku yang utama,” Siau Hoo lanjutkan. “Cita-cita ku itu adalah pertama menuntut balas untuk ayahku dan kedua supaya bisa nikah kau akan tetapi dua-dua itu, aku belum bisa wujudkan. Aku telah berhasil membengkuk engkongmu, aku sangat benci kepadanya, tetapi aku lihat dia punya kumis jenggot dan rambut ubanan, berbareng aku ingat kau bagaimana diwaktu masih kecil, kau tuntun tangan engkongmu buat ditarik, diajak berlari-lari, lantas aku jadi tidak tega hati. Jodoh kita-pun terhalang, kau sudah menikah dengan Kie Kong Kiat, dia-pun ada satu laki-laki, dari itu, tak dapat aku rampas kau dari tangannya dia itu!“
Sembari mengucap demikian, Siau Hoo rebah tangannya si nona, untuk serahkan kasut merah yang ia bawa. Ia tambahkan, inilah kau punya kasut merah, yang kau buat ketingalan di Cin Nia, yang aku dapat menemuinya sesudah lewat banyak waktu tetapi sia-sia saja aku cari kau. Kasut ini aku telah bawa ke Cie-yang ke Tongkang, dan ke Gie-long juga. Setiap aku lihat kasut ini hatiku duka, aku lantas teringat akan dikau. Sekarang aku sudah ambil putusanku.” Sampai disitu, suaranya jadi sungguh-sungguh sekali. Ia kata, “Liong Cie Khie adalah si penjahat yang telah bunuh ayahku, dia punya kepala aku sudah kutungkan sebatas batang lehernya dengan begitu selsailah sudah aku menuntut balas! Tentang engkongmu, aku berkasihan terhadapnya yang sudah lanjut usianya, bolehlah aku kasi ampun dia punya jiwa, asal di belakang hari dia tidak berbuat jahat pula, aku tidak nanti cari padanya. Kau bilang bahwa kau tidak cintai Kie Kong Kiat, karena itu, baik kau lekas-lekas lupakan padanya! Baiklah kita penuhi janji kita dibawah pohon yang-liu pada sepuluh tahun yang lampau, yalah kau jadi isteriku, lantas besok kita berangkat meninggalkan kuil ini, disepanjang jalan aku nanti obati kau punya luka, bila nanti kita sudah sampai di Long-tiong, kita orang jalankan upacara nikah, buat jadi suami isteri yang sah. Untuk selanjutnya, aku berniat membuka sebuah piautiam. Mengingat aku punya bungee, aku percaya aku bakal jadi piau-su nomor satu untuk Su-coan dan Siamsay!“ Siau Hoo begitu bersemangat hingga ia tertawa. Lalu ia tanya: “ Bagaimana? Kau akur atau tidak? Lekas bilang! Jawab saja dengan satu patah perkataan, secara terus terang! Umpama kata kau membilang tidak mau, aku juga tidak akan menjadi gusar, aku tidak nanti marahi kau!”
Rintihannya Ah Loan berhenti, tetapi ternyata ia sedang berpikir. Selang sekian lama, terdengarlah jawabannya yang pelahan dan lemah: “Aku setuju ... ”
Siau Hoo tertawa pula, ia girang bukan main, semangatnya terbangkit
“Ah, kenapa aku tak bicarakan ini sejak tadi?” ia sesalkan dirinya. “Coba tadi aku bicara, sekarang tentu kita sudah berada dalam perjalanan …”
Lantas ia hadapi pula nona itu.
“Bagus! Bagus!” kata ia berulang-ulang. “Sekarang juga aku akan berangkat ke Un-Sin-tin! Sekarang sudah malam, besok pagi-pagi tentu belum dapat kita orang berangkat, kecuali kereta harus disewa, keretanya-pun mesti dipakaikan kasur istimewa untuk kau. Kau sedang sakit, kau tidak boleh terlalu terkocok-kocok …”
Habis berkata begitu, Siau Hoo lantas saja bertindak keluar. Ia pergi kependopo dimana ada belasan imam perempuan sedang liamkeng. Ia bicara sama mereka itu, bicara separuh mengancam, supaya mereka itu wajibkan satu orang rawat Ah Loan dengan baik-baik, karena besok dia mau bawa kereta untuk papak dan sambut si nona.
“Jikalau malam ini ada terjadi suatu apa atas dirinya Ah Loan, atau pelayanan terhadapnya kurang sempurna, maka besok kau orang mesti tahu sendiri!“ demikian ia punya ancaman. “Aku cuma mau berurusan dengan kau orang!“
Setelah itu, dengan gembira, Siau Hoo pergi akan turun gunung, tak perduli sang waktu sudah mulai malam dan cuaca ada gelap. Ia telah pergi ke Un-sin-tin, untu cari kereta, buat disewa untuk besok pagi, untuk siapkan segala apa.
Tidak lama seberlalunya Siau Hoo, In Ciat Nia telah terbenam dalam gelap gulita. Kawanan kampret sudah pada keluar dan berterbangan serabutan dalam pekarangan kuil. Semua imam telah selesaikan sembahyang mereka, yang terganggu oleh Siau Hoo, dan imam kepala telah tugaskan satu muridnya yang usianya tertua untuk layani Ah Loan.
Nona Pau berdiam dalam kamarnya yang tidak berlampu. Dia punya pelayan tidur di luar, disamping meja pujaan Lu Cousu. Dilahir, nona ini menderita, karena, asal ia geraki tubuhnya, sedikit saja, luka di dadanya mendatangkan rasa sakit sekali bagaikan ditusuk-tusuk. Ia menderita. Ia lelah, akan tetapi semangatnya telah terbangun, Siau Hoo sudah nyatakan akan bawa dia, buat dijadikan isteri, dan ia jadi sangat girang. Hanya kapan ia ingat ia punya pengalaman yang paling belakang, ia punya hati menjadi ruwet pula.
Ah Loan bayangkan ia punya pengalaman di Cin Nia, dalam sarangnya Ou Lip, setelah ia kena ditawan oleh kepala berandalan itu. Ia sudah dimasuki kedalam penjara gua. Disitu, kemudian, ia telah dipenjarakan bersama-sama Kie Kong Kiat, yang-pun rubuh ditangannya Ou Lip yang lihay piaunya. Ia sebenarnya jemu terhadap suaminya itu, akan tetapi belakangan rasa jemu itu pelahan-lahan berubah. Diantara jeruji besi, pernah ia nyatakan kepada suami itu supaya mereka biarlah dibinasakan berandal, agar didunia baka, mereka jadi suami isteri, di waktu mana, ia pasti akan menyintai suami itu. Ketika itu, ia dapat kenyataan, Kie Kong Kia telah hunjuk sifatnya laki-laki, hingga ia jadi lebih ketarik hati dan menyesal tadinya sudah berlaku tak sepantasnya kepada suami itu. Adalah diluar ia punya dugaan, itu malam ia sudah ditotongi oleh Kang Siau Hoo, yang bertenaga kuat, yang sudah kempit ia melalui jalan-jalan berbahaya. Ia kagum bukan main atas orang punya kekuatan dan kegesitan. Ia terharu melihat bagaimana Siau Hoo letaki ia dibatu, ketika pemuda itu suruh ia menunggu, untuk dia itu tolongi Kie Kong Kiat.
Saking terharu, Ah Loan sudah keluarkan air mata. Ia anggap Siau Hoo ada sangat baik hatinya, bahwa pemuda itu bukannya kejam, bahwa kebengisannya terhadap engkongnya adalah disebabkan si engkong tadinya sudah berlaku terlalu telengas.
“Siau Hoo ada satu laki-laki, memang tak bisa menjadi karena menyintai aku, dia lupakan sakit hati ayahnya,” demikian ia pikir terlebih jauh. “Terhadap aku sendiri, dia belum pernah lakukan apa juga yang tak selayaknya, sebaliknya, akulah yang telah tidak perlakukan benar kepadanya. Dia berbuat begini baik terhadap aku, sekarang dia hendak tolongi Kong Kiat, apabila sebentar kita orang berkumpul bertiga, apa aku mesti buat? Jikalau aku tetap ikut Kong Kiat, Siau Hoo pasti bakal merantau pula, ia tetap akan jadi musuh, sukar aku menemui ia pula. Apabila terjadi demikian, aku bisa mati menderita. Sebaliknya, apabila aku tinggalkan Kong Kiat, aku jadi sudah langgar adat-istiadat, aku sudah berlaku kejam, aku ada tak berbudi. Bukankah Kong Kiat sudah berkorban untuk aku? Aku lupakan budi, aku sia-sia Kong Kiat, sebaliknya, aku ikut Siau Hoo, satu musuh, dengan demikian apakah aku ada satu manusia?“
Ah Loan jadi sangat bingung dan bensusah hati kebetulan, diantara sinar rembulan, ia tampak solokan dihadapannya, dengan tiba-tiba, timbul keinginan untuk habiskan saja ia punya jiwa ia ambil putusan dengan cepat. Begitu ia menghampiri tepi jurang dan buang diri kedalamnya. Jurang itu dalam belasan tumbak, siapa terjatuh kedalam situ, dia mesti terbinasa. Tapi tidak demikian dengan Si nona, yang pandai silat, benar ia nekad, tetapi kaki tangannya tetap siap berjaga-jaga. Ia-pun telah nyemplung ke air hingga, ketika ia terjatuh ke air muncrat dan menerbitkan suara nyaring.
Didalam air, tanpa ia merasa, ia geraki kaki dan tangannya, sedang mulutnya, ia tutup, dan napasnya, ia tahan. Beberapa kali ia tenggelam dan timbul, ia rasa ia punya pikiran telah sadar, cuma matanya terus meram. Kemudian, ketika diakhirnya ia buka ia punya mata, ia lihat langit, ia lihat mega antara cahaya rembulan, ia punya tubuh rebah disamping batu, kedua kakinya masih terbenam dalam air. Air-pun saban-saban menyampoki ia. Ia lantas saja coba angkat kedua kakinya. Ia ada sangat berduka, hingga ia menangis seorang diri.
“Kenapa untuk cari mati ada begini sukar?“ ia tanya dirinya sendiri. Ia menangis pula.
Dalam kesunyian, kecuali suara angin, samar-samar Ah Loan dengar panggilan berulang-ulang : “Ah Loan! Ah Loan!” ia terperanjat, tapi pun, ia bersusah hati. Ia bisa duga siapa itu yang memanggil-manggil ia. Ia ambil putusannya : ia diam saja. Ia membungkam, sampai sekian lama, sampai ia tak dapat dengar pula panggilan itu.
Bab 18
LAMA AH LOAN REBAH SAMBIL menangis, pikirannya ruwet sekali akhirnya, ia coba berpikir juga.
“Tak dapat aku berdiam terus disini di mana aku, hidup tidak bisa, mati juga tidak bisa. Baiklah aku pergi kelain tempat. Umpama aku terpeleset dan jatuh mampus, aku tidak harus menyesal. Atau, lebih baik lagi, di daerah Cin Nia ini aku bisa dapatkan kuil dimana aku bisa tumpangkan diri. Biarlah itu ada satu kelenteng, supaya aku bisa cukur rambutku, akan menjadi pendeta, hingga selanjutnya, aku tidak akan bertemu pula dengan manusia biasa …
Dengan air mata masih meleleh, Ah Loan merayap bangun. Ia menahan sakit. Ia jalan dengan sukar, diair, diantara batu, sambil berpegangan. Ia jalan, ia berhenti, untuk beristirahat. Dengan pelahan-lahan, ia toh dapat jauhkan diri dari selokan. Ia jalan terus. Tanpa merasa, sang fajar datang. Ia sekarang berada disebuah jalanan gunung, ia punya pakaian basah anteronya, malah kasutnya-pun lenyap sebelah. Kecuali luka piau dipundak, ia-pun baret disana sini.
Dengan pelahan, matahari naik semakin tinggi.
Kecuali burung atau binatang lainnya, disitu tidak ada barang satu manusia, akan tetapi hatinya Ah Loan tidak tenteram. Ia kuatir Siau Hoo atau Kong Kiat nanti dapat cari padanya, atau si orang jahat nanti ketemui pula padanya dalam ia punya keadaan tidak berdaya itu. Maka, dengan paksakan diri, ia mencoba jalan terus. Ia menderita sekali. Kemudian ia berhenti di satu tempat rendah yang penuh pepohonan dan rumput. Ia rebahkan diri, untuk beristirahat sambil sembunyikan diri. Ia punya air mata mengucur, napasnya-pun memburu. Lewat sekian waktu, letihnya lenyap, tapi pikirannya, bertambah kalut.
“Paling benar aku bunuh diri!” ia ngelamun. “Bagaimana aku dapat hidup dalam dunia yang penuh penderitaan ini?“
Ah Loan ada pakai ikat pinggang hijau, ia loloskan itu. Ikat pinggang itu demak, kotor dan ketempelan rumput halus. Ia angkat kepalanya, mengawasi keatas pohon angco, kemudian ia berbangkit, ia bertindak menghanipirkannya pohon itu. Baru ia ulur tangannya, atau daun pohon telah mengenai tangannya, ia merasa sakit. Tapi ia kertek gigi, ia mencoba membuat kalakan yang tergantung. Kemudian ia awasi angkinnya itu sambil air matanya turun bercucuran.
“Aku masih begini muda, apa aku mesti binasa secara begini?“ ia tanya dirinya sendiri. “Apa tak kececva, setelah belajar silat, aku mesti habiskan jiwaku secara begini menyedihkan?“
Ingat demikian, lemah hatinya si nona hingga ia lantas duduk numprah pula. Kembali ia menangis, sampai sekian lama. Tetapi ia tidak dapat pikiran yang baik.
“Tidak bisa lain!” pikir ia akhirnya, dan ia ambil putusannya. Ia berbangkit dengan segera, ia masuki lehernya kedalam kalakan.
Berbareng dengan itu, dari tempat yang tinggi, terdengar teriakan: “He, jangan bunuh diri!“
Kaget Ah Loan, terus ia memandang ke atas. Maka ia dapat lihat seorang yang umurnya kurang-lebih empat puluh tahun, dibebokongnya ada tergemblok buntalan kayu dan rumput, ditangannya ada sebuah kampak.
Melihat orang itu, Ah Loan lantas loloskan kepalanya, ia turun dari cabang pohon. Ia-pun loloskan angkinnya, untuk dibawa pergi.
Orang diatas tadi, satu tukang ambil kayu bakar, bertindak turun.
“Nona.” ia memangil. “Kau tinggal di mana? Kau masih begini muda, kenapa kau nekat?”
“Jangan usil aku!“ sahut Ah Loan, yang cepatkan tindakannya.
Tukang kayu itu lekaskan tindakannya, ia dapat menyusul ia ulur tangannya, akan cekal orang punya bahu.
Ah Loan coba lepaskan diri, ia menoleh.
“Kau jangan perdulikan aku!“ ia kata pula. “Kau urus saja kayumu! Aku mau berlaku nekat karena ada kesulitan, walau-pun kau mau, kau tak dapat tolong aku!”
“Jangan bilang demikian, nona,” kata Si tukang kayu. “Aku telah bertemu dengan kau, mana bisa aku diam saja mengawasi kau bunuh diri? Siapa tolong satu jiwa, dia berbuat kebaikan untuk tiga penitisan ... Malaekat gunung ada matanya, apabila aku tampak kematian tetapi aku tidak menolong, di belakang hari, siang atau malam, aku bakal mati jatuh dari atas gunung! … Jikalau kau ada punya kesukaran, tuturkan itu padaku, aku nanti berdaya untuk tolong kau. Sebenarnya kau kenapa? Apakah ayah dan ibumu pukul dan comeli kau? Atau … kau bercedera dengan suamimu?“
Ah Loan anggap tukang kayu ini berhati mulia, ia berhentikan tindakannya.
“Tak perlu untuk kau cari tahu urusanku.” kata ia seraya susuti air matanya. “Umpama aku kasihkan keterangan pada kau, kau juga pasti tak akan mampu berbuat suatu apa ... Ah, aku bukannya terdesak kemelaratan, atau karena dihajar atau dicomeli siapa juga, aku … aku memang tidak ingin hidup lebih lama …”
Saking sedih, Ah Loan tunduk, ia menangis.
Tukang kayu itu heran, ia tercengang.
“Kau tinggal dimana?“ tanya ia pula. “Mari aku antar kau pulang. Umpama kau gantung diri di rumahmu, aku boleh tak usah campur tahu lagi, tetapi disini, aku mesti wakilkan Malaekat gunung melindungi dia punya gunung …”
Ah Loan susut air matanya. Pelahan-lahan, pikirannya berubah.
“Rumahku terpisah jauh dari sini, kau tidak dapat antarkan aku,” berkata ia. “Dan di rumahku juga sudah tidak ada orang lainnya. Apa kau tahu dimana didalam gunung ini ada kelenteng pendeta atau imam perempuan? Tolong kau antar aku ke rumah suci itu. Di belakang hari, tidak nanti aku lupai kau punya budi kebaikan.”
Tukang kayu itu mengawasi. Ia duga orang perempuan ini ada satu nona yang oleh orang tuanya sudah ditunangkan kepada seorang yang bila bukannya terlalu miskin, tentu romannya tidak mencocoki, atau dia telah dipaksa ayah-ibunya buat menjadi orang punya gundik, hingga dia buron dari rumahnya buat bunuh diri atau menjadi orang suci.
“Disini memang ada rumah suci yalah Tay Su Am.“ ia menjawab kemudian. “Kuil itu berada belasan lie jauhnya dari sini, untuk pergi kesana kita mesti lewati empat puncak, tetapi kau sendiri belum pernah pergi kesana, untuk pasang hio dan memohon anak … Pendek, begini saja lebih dahulu aku ajak kau kerumahku, nanti aku minia isteriku yang antar kau ke kuil itu. Kau setuju? Isteriku itu kenal baik semua orang suci disana.”
Ah Loan manggut, hatinya menjadi sedikit lega. Ia lantas tanya orang punya she dan nama.
“Aku Thio Loo Sit,” sahut tukang kayu itu. “Disini aku sudah tinggal empat atau lima tahun, sejak kecil aku menjadi tukang cari kayu bakar, malah beberapa kali aku pernah tolong orang-orang yang gantung diri atau yang dilukai penjahat. Oleh karena aku baik hati, Malaekat Gunung sudah hadiahkan aku nasi untuk didahar. Kalau lain orang, apabila dia bukan terpeleset jatuh, dia tentu diganggu binatang buas. Sama sekali belum pernah aku nampak halangan. Kau datang ke rumahku, nona. Boleh jadi isteriku sudah matangi nasi, sehabisnya aku dahar, aku nanti suruh dia pergi antar kau ke Tay Su Am.”
Ah Loan terima baik undangan itu, ia ada sangat bersukur, kemudian ia ikuti si tukang kayu, yang ajak ia pergi kearah utara. Tidak jauh dari situ, mereka membiluk, melalui dua tikungan. habis itu, sampailah mereka di rumahnya Thio Loo Sit. Itu ada sebuah rumah gua dikaki bukit, diatasan itu ada sebuah kuil kecil.
“Itulah San Sin Bio,” kata Loo Sit seraya tunjuk kuil itu, kuilnya malaikat gunung. “San Sin-ya ada lengkam sekali, disiang hari, dia tidak muncul, tapi setelah datang sang malam, dia keluar dengan menunggang harimau suci, dia ajak pembesar Leng koan pergi merondai gunung ... ”
Ah Loan tidak bilang apa-apa hanya ia ikuti orang masuk kedalam rumahnya.
Seorang perempuan umur kira-kira tiga-puluh tahun kelihatan sedang duduk membuat sepatu. Ia heran kapan ia lihat suaminya pulang dengan ajak seorang perempuan yang pakaiannya demak dan kotor, yang kasutnya tinggal sebelah.
Thio Loo Sit, yang telah letaki kayunya diluar dan kampaknya di kaki tembok, lantas kata pada isterinya itu: “Aku ketemu nona yang sedang hendak gantung diri setelah bicara padanya sekian lama, baru putusannya bisa diubah, tetapi dia tetap tidak hendak pulang ke rumahnya, sebaliknya, ia ingin sucikan diri. Aku anggap, niatnya itu ada baik juga. Sekarang lekas kau masak nasi, habis dahar, kau ajak dia ke Tay Su Am.”
Nyonya itu letaki perabot jahitannya, tapi ia duduk tetap ditempatnya, di kepala pembaringan tanah.
“Mana bisa aku antarkan dia?’ katanya. “Kakiku yang sakit masih belum sembuh, jalanan pegunungan ada demikian sukar, mana bisa aku jalan kesana? Apakah kau ada punya uang untuk sewakan aku joli?”
Loo Sit melengak. Benar-benar ia lupa yang isterinya sedang sakit kaki dan tentunya tidak bisa jalan jauh.
“Kalau begitu, tidak apa,” kata ia kemudian. “Ini hari kau tidak bisa pergi, lagi dua hari tentulah bisa.” Lantas ia menoleh pada Ah Loan seraya bilang: “Nona, kau duduk. Isteriku sedang sakit kaki, tunggu sampai dia sudah sembuh, nanti dia antar kau. Atau aku pergi ke kuil diatas gunung disana ada tinggal Yo Jie Piu-cu. Dia tingal seorang diri, tetapi dia ada berhati baik, dia bisa antarkan kau.”
“Tadi malam Yo Jie Piu-cu tidak pulang!” berkata si nyonya. “Sun Hek Cu, yang pulang dan Ma Put Na, bilang bahwa Yo Jie Piu-cu sudah pergi kegunung utara buat satu urusan, barangkali selang dua-tiga hari, baru dia kembali. Untuk berbuat baik, kenapa kau mesti minta pertolongan lain orang? Apakah kau tidak bisa antarkan sendiri padanya?”
“Mana aku kenal jalanan?” Thio Loo Sit baliki. “Ketika dahulu kau pergi ke Tay Su Am dan sampai dua hari tidak pulang, aku kuatir, aku lantas susul kau, tetap aku pergi dari siang sampai sudah gelap, aku masih tak sanggup cari kuil itu …”
“Dasar kau yang buta!” isteri itu menjebi. “Kuil aku demikian besar, tihang benderanya ada begitu tinggi, kenapa kau tidak bisa lihat itu?”
Lantas nyonya itu pandang Ah Loan.
“Kau tinggal dimana?’ tanya ia. “Kenapa kau nekat dan hendak bunuh diri? Kau begini muda, romanmu elok kenapa kau bosen hidup? Orang semacam aku barulah tepat untuk gantung diri!”
Ah Loan menyahuti, terpaksa dengan mendusta.
“Rumahku adanya di Cie-yang,” begitu penyahutannya. “Cie yang itu terpisah beberapa ratus lie dari sini. Kemarin aku sampai disini, lantas kita ketemu … berandal. Semua anggota keluarga-pun mati dibunuh, ketinggalan aku sendiri yang bisa lolos. Karena itu, cara bagaimana aku bisa hidup sendirian saja?”
Nyonya Thio nampaknya terkejut, sedang Loo Sit sendiri lantas goyang-goyang kepala.
“Rombongan diatas gunung itu jadi semakin edan!” berkata si tukang kayu.
Selana ini, kejadian-kejadian jadi makin banyak! Tadinya cuma membegal uang, sekarang setiap hari meminta jiwa manusia! Lambat-laun mesti ada pebalasannya, Malaikat gunung ada matanya!”
Sang isteri tidak gubris suaminya.
“Kau she apa?” ia tanya Ah Loan. “Kau sudah pernah menikah atau belum? Ada siapa saja didalam rumahmu?”
“Aku she Kang …“ si nona jawab. “Aku tidak menikah. Ayahku ada seorang dagang.”
“Ah, kau harus dikasihani ... “ kata nyonya Thio. “Nah, kau tinggallah disini untuk beberapa hari. Perkara makan, kau tidak usah kuatirkan. Lagi dua-tiga hari, apabila kakiku sudah sembuh, aku nanti antar kau ke Tay Su Am. Loo-suhu disana ada sangat murah hati, dia punya kuil ada besar dan ramai, jikalau kau pergi kesana, dia tentu suka terima. Memang, menjadi niekou ada terlebih senang daripada menjadi iseri orang!”
Ah Loan manggut. Ia anggap tidak apa menumpang sama orang she Thio ini, lagi dua hari, dia toh bakal pergi ke kuil dan akan cukuri rambutnya untuk menjadi pendeta. Ia percaya, setelah masuk agama. akan lenyaplah semua kesengsaraan atau penderitaannya. Akan tetapi ia ada sangat berduka, tanpa merasa, air matanya mengucur turun.
“Sudah jangan nangis, jangan nangis,” si nyonya menghibur, agaknya ia sangat menaruh perhatian. “Boleh jadi dasar kau berbakat suci dari Pou-sat sengaja membuat kau sedikit menderita, supaya gampang untuk kau diajak memasuki pintu Buddha ... ”
Thio Lao Sit telah pergi keluar, untuk ikat rapi ia punya kayu.
“Kau lekasan masak nasi!” demikian suaranya, terhadap ia punya isteri. “Si nona tentu sudah lapar.”
Nyonya itu menurut, ia pergi keluar, akan ambil seikat kayu, maka dilain saat, ia sudah bisa nyalakan api didapur.
Ah Loan menghampiri dapur, ia niat garang pakaiannya supaya lekas kering.
Nyonya Loo Sit tuang air kedalam kwali, ia masukkan berasnya, kemudian sehabis tambahkan kayu, ia ambil kipas, untuk kipasi api. Sembari bekerja, ia dapat lihat kakinya Nona Pau. Lantas saja ia tertawa.
“Nona, kakimu ada lebih besar sedikit, jikalau tidak, kau bisa pakai kasutku,” kata ia. “Bagaimana, apakah sepatumu hilang?“
“Orang jahat kejar aku, aku sembunyi di solokan,” sahut Ah Loan. “Sudah pakaianku basah semua, juga sebelah sepatuku lenyap. Aku-pun dapat dua luka, bekas ditumbak penjahat, sukur luka itu tidak terlalu hebat, aku masih dapat menahannya.”
“Oh kawanan berandal itu!” berseru Si nyonya. “Lambat-laun, mereka bakal mampus!“
Selang tidak lama, nyonya rumah sudah masak matang nasinya. Thio Loo Sit juga sudah selesai mengikat kayunya, ia masuk untuk dahar sambil jongkok ditanah. Nasi itu ada nasi perah dan tanpa sayuran lainnya kecuali lobak, tetapi Ah Loan, yang turut dahar, rasai itu wangi dan lezat sekali.
Habis dahar, Loo Sit pergi pikul kayunya untuk dijual, akan uang penjualannya dibelikan beras, isterinya pegang pula penjahitannya, sambil bekerja. Ia pasang omong dengan Ah Loan, hingga si nona dapat perasaan. nyonya itu ada baik hati, melainkan cara bicaranya ada kasar, sebagaimana biasanya orang gunung. Memang, nyonya Thio belum pernah keluar dari gunungnya itu.
Segera Ah Loan merasa tenteram tinggal menumpang di rumahnya si tukang kayu itu. Sekarang ia telah berubah banyak, sebagai akibat pengalaman dan penderitaannya itu. Tadinya ia pandang dirinya kosen dan tak lihat mata dunia kang-ou. Sekarang ia berharap si nyonya lekas sembuh, agar ia lantas diantar ke kuil, untuk sucikan diri.
Nyonya Thio bicara, ia menjahit, tetapi agaknya ia kurang tenterarn, walau-pun kakinya sakit, dan ikatan kakinya kendor, beberapa kali ia turun dari pembaringan, sambil seret sepasang kasutnya yang butut, ia pergi keluar, diluar dengan bergantian, ia memandang ke selatan, ia mengawasi ke utara, seperti ia berharap sangat datangnya suatu orang. -pun pernah sambil dongak memandang berhala San Sin Bio diatas gunung, ia berseru memanggil-manggil : “Siau Gou-cu, kau dimana?“ Tapi panggilan itu tidak memperoleh jawaban dan juga tidak ada orang yang turun dari gunung, untuk jalan dijalan pegunungan yang sangat sempit disitu. Kapan ia kembali ke dalam, dengan roman masgul, dengan uring-uringan ia mengutuk seorang diri : “Orang-orang tak mau mampus! Diwaktu gembira kau orang muncul, lantas di lain waktu, kau orang lupai nyonyamu! Sampai belasan hari kau orang tidak pernah muncul!”
Diam-diam Ah Loan bisa menduga, nyonya ini mesti ada punya kendak, bahwa mesti ada orang atau orang-orang buruk, yang suka datangi rumahnya Loo Sit ini.
“Toa-nio, apa di dekat-dekat sini ada rumah-rumah lainnya lagi?“ ia tanya.
“Mana ada rumah orang lainnya?” sahut si nyonya, dengan suara masih mendongkol. “Hanya diatas gunung, di berhala San Sin Bio ada beberapa bang ... “ ia berhenti dengan tiba-tiba dan merubahnya jurusan : “Aku punya saudara, yang juga menjual kayu bakar, bersama-sama Yo Jie Piu-cu, masing-masing sebatangkara, berdiam dalam berhala itu, meskipun mereka tidak membegal, mereka toh bertulang bangsat, asal ada uang, mereka pergi berjudi di Kwan Ong Bio atau tenggak air kata-kata, sebelumnya uangnya ludas, mereka tak sudi pulang!“
“Apa Kwan Ong Bio jauh letaknya dari sini? Apa itu ada kuil pendeta perempuan?”
Nyonya Thio menggeleng kepala, ia tetap masih mendongkol, ia berdiam saja.
“Kwan Ong Bio bukan kuil perempuan tetapi biara imam,” terangkan ia kemudian, “dan letaknya jauh sekali dari sini, hampir-hampir dimulut gunung sebelah sana. Ini hari ada tanggal empat, Si tolol pergi bawa kayunya untuk dijual di sana!”
Habis mengucap demikian, kembali nyonya itu bertindak keluar.
Ah Loan jumput orang punya sepatu, untuk dilihat bulak-balik.
Sampai magrib, sia-sia saja nyonya Thio tunggui datangnya orang atau orang yang ia berharap, ia masuk kedalam sambil mencaci dengan kutukannya, terhadap tamunya sampai ia tak perlihatkan tampang yang menyenangkan.
Tidak antara lama, Loo Sit pulang dengan pikulaunya yang kosong, mukanya merah seperti bekas habis tenggak susu macan, tangannya menyekal sebungkus beras serta serenteng uang tembaga. Begitu ia bertindak masuk, terus saja ia kata : “Sejak pagi aku menyangka kayu kita tak bakal ada yang beli, siapa tahu setelah memasuki kuil, aku dapati setengah batok beras serta dua ratus chie, habis dahar, aku ketemu si Siau Uy Sam, dia habis menang main, dia pulangkan uangku yang dulu dia rampas. Nah, kau terimalah uang ini!“
Ia benar-benar serahkan uang pada isterinya, sedang dari sakunya, ia keluarkan dua potong kue phia, yang ia kasihkan masing-masing satu pada isterinya itu dan Ah Loan, kemudian ia numprah ditanah untuk betistirahat.
“Apakah kau tidak lihat Siau Gou-cu didalam kuil?” tanya nyonyaThio pada suaminya sambil dahar phia.
“Jangan sebut, jangan sebut-sebut dia!“ sahut Loo Sit seraya awasi isterinya, dengan tangannya digoyang-goyang. “Besok aku tak pergi cari kayu. Biar si nona tinggal dahulu bersama kita. Lain hari saja kita bicara pula.”
Nyonya Thio awasi suaminya dengan mata dibuka lebar.
“Eb, ada apakah, kau kelihatannya ketakutan?“ tanya ia.
“Ini hari orang-orang yang datang ke Kwan Ong Bio tahu semua!” sahut sang suami dengan pelahan. “Di Cui Yau Hong sudah terjadi onar. Kang Siau Hoo dari Kun Lun Pay sudah binasakan Ou Toaciangkui.”
Nyonya itu terperanjat sampai matanya mencilak.
“Eh, orang kun Lun Pay begitu liehay?” berseru ia “Bukannya Ie Tay Piu juga telah terbinasa ditangannya? Bukankah Ou Toa-ciangkui pandai mengunai gin-piau? Kenapa ... ?”
Ah Loan sangat ketarik, hingga ia pasang kupingnya.
“Dasar harus mampus!” sahut Thio Loo Sit, “Sekalipun Siau Gou-cu, Yo Jie Piu-cu, Ang Lian Khau-cu dan Pek Mo Hou, semua mereka bakal peroleh pembalasan mereka! San Sin-ya ada punya mata!” Ia goyangi tangan, ia menambah: “Duduknya hal yang jelas aku tidak tahu, begitu dengar orang bercerita, aku lantas singkirkan diri. Aku takut ketemu orang dari atas gunung. Tunggu sampai sebentar Yo Jie Piu-cu pulang, dia tentu tahu segala apa, kau boleh tanyakan keterangannya ... Apa yang aku dengar, katanya Kang Siau Hoo itu ada Kun Lun Pay punya orang paling liehay, puncak Cui Yau Hong yang demikian tinggi, sekali dia enjot tubuhnya, dia sudah bisa naik keatasnya. Katanya dia ada punya ilmu dan wasiat! Piau dari Ou Lip tak berdaya, belum sampai piaunya mengenai, dia sudah mendahului mampus sendiri!”
Ah Loan lihat Nyonya Thio diam dengan mulut bungkam, diam-diam ia girang sendirinya. Dengan diam-diam juga ia kagumi Siau Hoo. Tapi dilain pihak ia ingat suatu apa.
“Tempat ini dekat dengan Cui Yau Hong, Yo Jie Piu-cu dan Siau Goucu yang dikenal perempuan itu tentu ada begal-begal dari gunungnya Ou Lip, apabila mereka ketahui aku berada disini, aku terancam bahaya. Aku sedang terluka, aku juga tidak punya senjata, cara bagaimana aku bisa lawan mereka itu? Aku gagal berlaku nekat apabila aku binasa ditangan mereka, sungguh kecewa ... ”
Ingat demikian, Ah Loan segera memikir untuk angkat kaki.
“Rombongan itu kehilangan pemimpin, entah mereka akan jadi sewenang-wenang bagaimana!” berkata pula Thia Loo Sit. “Aku kuatir, aku-pun sukar,untuk cari kayu lagi disebelah itu aku dengar disini ada muncul seorang yang terlebih liehay dari pada Kang Siau Hoo,” ia tambahkan. “Dia ini ada satu pendeta, kemarin ada orang lihat dia Cong-hok-tin dimulut gunung sebelah Utara, katanya dia bertubuh jangkung dan besar, senjatanya ada sebatang toya, beratnya tiga sampai lima ratus kati. Tutur katanya Oy gu Hwie Loo Toa si penjual silat yang pandai menggunai golok besar, yang biasa buka pertunjukan di Kwan Ong Bio sepuluh orang biasa tak nanti sanggup angkat toya itu. Pendeta itu sedang minta derma, tidak lama lagi dia tentu bakal naik, ke gunung, maka keadaan diatas gunung mestinya bakal jadi terlebih ramai pula. Pendek, semuanya delapan belas raja muda pemberontak bakal berkumpul diatas gunung!”
Heran Ah Loan dengar keterangan yang belakangan ini.
“Engkong pernah omong padanya bahwa didunia kangou ada satu Tiat Tang Ceng yang dianggap sebagai pendekar luar biasa,” pikir ia. “Dia itu ada punya tenaga yang sangat besar. Engkong belum pernah ketemu sama pendeta itu, hingga ia orang belum pernah bentrok, tetapi engkong pesan semua muridnya untuk berlaku hati-hati bila bertemu sama dianya Pendeta yang Loo Sit sebut-sebut ini mesti dia adanya. Apa dia punya maksud datang kemari? Pasti dia bukan untuk minta derma saja, rupanya dia bertujuan mencari engkong atau Kang Siau Hoo …
Menduga demikian, Ah Loan jadi berbalik berduka.
Thio Loo Sit itu, habis bercerita, lantas menguap, ia ambil selembar tikar rombeng dan ia gelar ditanah, terus ia rebahkan diri. Tidak terlalu lama, ia sudah lantas menggeros.
Nyonya Thio nyalakan pelita, ia tutup pintu yang ia ganjel dengan sepotong batu besar. Nampaknya ia berduka hingga sisa phia ia tak dahar habis. Ia duduk bengong saja, hingga ia tak gembira dan doyan bicara seperti siangnya.
Ah Loan hunjuk sikap yang tenang, ia mendekati pelita dan lanjutkan penjahitannya nyonya rumah. Ruangan ada sunyi kecuali gerosannya Lou Sit dan jalannya jarum. Oleh karena tangannya sakit, baru beberapa tusukan, si nona sudah menunda. Demikian seterusnya ia lewati sang waktu.
Nyonya Thio dari menjublak saja lalu rebahkan tubuh, ia tidur, maka itu Ah Loan pikir, untuk padamkan pelita, ia-pun niat tidur. Tapi hampir berbareng dengan itu, diluar rumah terdengar tindakan kaki yang pelahan sekali, disusul sama suara bunyinya kertas jendela. Cepat tetapi tidak bersuara, Ah Loan rebahkan diri.
Segera juga terdengar suitan, beberapa kali, atas mana ayonya Thio geraki tubuh.
Ah Loan berpura-pura tidur pulas.
Nyonya Thio berbangkit. Pada daun jendela kembali terdengar suara.
“Fui!” terdengar suaranya si nyonya, suara mana disambut dengan suara tertawa ditenggorokan dan orang diluar rumah.
Nyonya Thio turun dari pembaringan tanah, paling dulu ia padamkan pelita, lalu ia geser batu ganjelan pintu untuk buka pintu dan bertindak keluar.
Ah Loan loncat dari pembaringan, ia menghampiri jendela untuk pasang kuping, hingga ia dengar suara nyaring. Rupanya si nyonya gaplok orang punya kuping, atas mana orang itu seorang lelaki tertawa. Lalu terdengar mereka itu bicara dengan pelahan, akan kemudian terdengar lebih jauh suaranya si orang lelaki: “Bukankah romannya sangat elok.”
“Kalau dia elok, habis kau mau apa?” terdengar nyonya Thio. “Apakah kau ketarik padanya?”
Masih nyonya Thio bicara, cuma suaranya tidak terdengar nyata, kemudian apa yang Ah Loan bisa dengar adalah: “Dia terluka, pakaiannya berlepotan darah. Tentulah itu semua ada buah pekerjaan kau orang diatas gunung.”
Rupanya si orang lelaki kaget, ia berdiam tapi tak ama, ia kata: “Ah, jangan-jangan nona di dalam rumahmu ini ada nona Ah Loan, cucunya Pau Kun Lun …”
Ah Loan kaget.
“Bangsat itu kenali aku, jangan-jangan dia bakal menerjang masuk ... “ ia berpikir, “Kalau dia nerobos masuk, inilah lebih baik, aku nanti sambut dia dengan hajaran hingga rubuh! Ada terlebih baik lagi jikalau dia bekal senjata, aku boleh sekalian bunuh padanya seraya rampas dia punya senjata itu ... “
Segera si nona bertindak kebelakang pintu, untuk bersiap sedia.
Sampai sekian lama, dua-dua si lelaki dan si nyonya tidak ada yang masuk, sedang suara makin pelahan, hanya paling belakang terdengarlah suaranya nyonya Thio: “Nah, pergi lekas! Lekasan suruh mereka datang kemari!”
Segeralah terdengar tindakan kaki cëpat dan berisik, rupanya si orang lelaki pergi sambil berlari-lari.
Ah Loau merasa pasti bahwa kenalannya nyonya Thio ada orang-orang jahat, bahwa orang-orang jahat itu mesti ada orang-orangnya Ou Lip, dan bahwa orang lelaki tadi pergi untuk memanggil kawan. Ia jadi sangat gusar, ia lantas ambil putusan.
Nyonya Thio masih berdiam sekian lama diluar rumah, baru ia buka pintu dan masuk. Dengan pelahan-lahan Ah Loan hampirkan orang punya belakang, dengan, tiba-tiba ia hajar orang punya bebokong.
Sambil keluarkan jeritan dari kesakitan, nyonya rumah rubuh hingga tubuhnya menimpa tubuhnya loo Sit, yang sedang tidur nyenyak, hingga suami ini kaget dan mendusin sambil berseru.
Nona Pau tekan tubuhnya si nyonya, leher siapa ia cekek.
“Jangan berteriak!” ia pun ancam Lou Sit, jikalau kau orang berteriak, aku nanti bunuh kau orang!” Kemudian, seraya kendorkan cekelannya, ia tanya nyonya rumah:
“Siapa yang barusan bicara sama kau diluar rumah?”
“Dia ada Lay Siau-cu, orangnnya Ou Lip!’ sahut nyonya Thio dengan suara sukar, tubuhnya-pun gemetaran.
“Apa yang kau orsng bicarakan? Bilang terus terang!”
“Dia omong tentang Pau entah apa Loan ... “ sahut nyonya itu sambil menangis. “Dia sekarang pergi untuk panggil Ang Lian Khau-cu ... ”
Ah Loan gusar hingga ia hajar orang dengan kepalan, hingga nyonya itu menjerit sekali, lalu tak ingat akan dirinya, setelah itu, ia berbangkit.
“Kau orang ada punya tumbak atau golok atau tidak?“ ia tanya Loo Sit, suaranya menyatakan ia masih sedang gusar.
“Tidak ada, ada juga kampak,” sahut Loo Sit, dengan suara gemetar, saking takut. “Nona, urusan mereka tidak mengenai diriku segala, perbuatan mereka aku tidak tahu, isteriku memang harus mampus, aku sendiri ada orang baik ... ”
“Aku tahu kau,” sahut Ah Loan. Ia hendak pinjam orang punya kampak, tapi segera ia urungkan itu. Ia ingat, dengan sebuah kampak tukang kayu, ia bisa buat apa, sedang juga, selagi ia sendiri terluka. sepatunya pula tinggal sebelah. Ia menduga, Ang Lian Khaucu tidak bakal datang sendirian saja.
“Maka paling benar aku segera singkirkan diri dari sini.“ pikir ia kemudian.
Lalu, dengan tidak perdulikan Loo Sit dan isterinya. Ia lari keluar. Ia lihat sinar rembulan ada guram, awan tebal disana-sini, tapi ia jalan terus, ia lari tanpa perhatikan jurusan. Ia mendaki dimana ada jalanan terbuka, ia melapay antara pepohonan oyot, dengan susah-payah, ia sampaikan sebuah puncak. Ia menahan sakit, ia lawan kelelahan. Dari atas puncak, ia memandang kebawah, lantas ia jadi terperanjat. Kebetulan sekali, di kaki puncak ada terlihat beberapa obor, yang terbawa oleh dua-atau tiga-puluh orang.
“Mereka tentu ada Ang Lian Khau-cu dan orang-orangnya,” ia menduga-duga mereka itu. Ia-pun segera dengar suara riuh dari mereka, cuma tidak terdengar nyata apa yang mereka bilang.
Anggap bahwa ia masih berada di tempat yang terancam, Ah Loan kertek gigi, untuk manjat lebih jauh. Ia telah lewatkan banyak waktu ketika kemudian ia dapati sang fajar lagi mendatangi. Ia ada sangat lelah, hingga ia berhenti akan duduk melenyapkan lelah atas sebuah batu. Ia ambil cukup banyak tempo, baru ia merasa sedikit lega, napasnya-pun tidak lagi tersengal-sengal. Sang embun membuat pakaiannya demak, ia punya luka juga menyebabkan ia merasa sangat sakit, tapi yang hebat adalah sisa sepatunya sudah pecah, pada kakinya yang sebelah, kaos kaki juga pecah hingga kakinya mengeluarkan darah, kakinya bengkak, sampai ia sukar berjalan. Tanpa merasa, nona yang tadinya kosen ini lantas kucurkan air mata dan menangis. Kembali ia bayangi penghidupannya dahulu dan sekarang, penderitaannya paling belakang, hingga timbul pula pikirannya untuk berlaku nekat ... Hanya sekarang, ia tidak punyakan ia punya ikat pinggang hijau, dan ia mengerti juga, kalau mati disitu, penjahat bakal dapat cari ia punya mayat.
“Sungguh hina bila mereka dapati aku telah jadi mayat,” pikir ia. “Dengan perbuatanku itu, ludaslah kehormatannya keluarga Pau ... ”
Ah Loan menjublak sekian lama, kemudian ia rebahkan diri diatas batu. Ketika kemudian matahari muncul dan sinarnya mensoroti si nona, dia merasa tubuhnya menjadi hangat. Ia rebah terus, akan tetapi ia tidak berani tidur pulas.
Dalam sedikit tempo, Ah Loan punya pakaian demak telah jadi kering seperti biasa, ia punya kesegaran-pun kembali. Ia paksa berbangkit, ia rapikan pakaiannya, juga kaos kakinya.
“Thio Loo Sit bilang di barat ada kuil pendeta perempuan, baik aku pergi kesana,” ia ambil putusan.
Sekarang nona ini mencari jalan turun, tindakannya pelahan sekali. Ia memerlukan tempo lama akan sampai ditempat yang rata dimana tapinya tetap ada batu gunung. Ia awasi ia punya bayangan, sesudah itu baru ia menuju kearah barat. Ia berhasil melalui dua tikungan ketika dengan tiba-tiba ia dengar suara sultan beruntun hingga ia kaget bukan main. Pada mulanya. Ia menyangka suara burung tapi segera ia tampak di depan ia, diatas bukit, ada belasan orang yang semuanya bersenjata golok dan toya, segera berlari-lari turun kearah ia.
Itulah rombongannya Ang Lian Khaucu Khu Jie.
Dalam kagetnya, Ah Loan segera memutar tubuh, untuk lari. Apa lacur, ia tidak dapat berlari keras, ketika baru menikung satu kali, ia sudah kena dicandak.
“Ah Loan, isteriku, kau masih hendak lari?“ demikian ia dengar ejekan, yang disusul dengan ejekan kasar lainnya, hingga, dalam gusarnya, ia berhenti lari, ia putar tubuh.
“Aku benar tidak punya senjata, mustahil aku tak sanggup lawan mereka?” pikirnya. Dan ia segera jumput beberapa potong batu, satu antaranya dipakai menimpuk, bagaikan piau saja.
Berandal yang paling depan menjerit, kepalanya borboran darah, darahnya mengalir kemukanya. Dia adalab Ang Lian Khaucu sendiri, si monyet muka merah, hingga ia jadi surup benar dengan julukannya itu.
“Serang, serang padanya!“ ia berseru-seru, saking gusar. “Bunuh padanya! Jangan tangkap dia hidup-hidup!“
Belasan berandal itu merangsek, tapi Ah Loan sambut mereka dengan berbagai timpukan, hingga mereka jadi repot, kemudian setelah batunya habis dan ia tak keburu memungut pula, ia rampas sepotong golok dari satu berandal, siapa ia terus bacok hingga rubuh. Kemudian, ia-pun dapat rebut sebatang toya, hingga dengan toya dan golok itu ditangan kiri dan kanan ia terus layani semua musuh.
Kawanan berandal terpaksa mundur. Atas anjurannya Ang Lian Khau-cu, mereka punguti batu, akan turut buat si nona, hingga sekarang adalah Ah Loan, yang jadi ripuh. Beberapa buah batu mengenai juga tubuhnya. Saking kewalahan, ia lempar toyanya, ia lari seraya tengteng goloknya.
“Kejar. Kejar!” kawanan berandal berseru-seru, sambil mereka mengudak.
Ah Loan lari terus, sampai ditikungan yang lain. Apa celaka, ia terpeleset, tidak tempo lagi, ia rubuh terguling. Ia rasakan sakit pada kaki kirinya, seperti kaki itu patah sampai ia tak dapat digerakan lagi. Karena ini, ia tidak mampu lari lebih jauh. Ia jadi sangat kuatir, bingung dan penasaran, hingga tanpa merasa, air matanya mengalir keluar. Ia putar tubuh seraya cekal keras goloknya.
“Aku mau lihat, siapa diantara kau orang yang berani maju?” ia berseru kapan ia lihat orang sudah mendekati ia lagi kira-kira dua puluh tindak.
Ang Lian Khau-cu Khu Jie titahkan orang-orangnya berhenti berlari, ia sendiri berdiri di depan mereka. Ia belum seka darah yang berlumuran, hingga mukanya nampak tak keruan macam. Ia menuding dengan goloknya, ia perdengarkan tertawa menghina.
“Nona manis, letaki golokmu!” kata ia. “Baiklah, dengan baik kau turut aku naik ke gunung, disana kau mesti haturkan maaf kepada Looya, nanti aku perlakukan baik padamu ... Jikalau tidak, segera kita buat habis jiwamu, untuk balaskan sakit hatinya kita orang punya ketua dan ketua muda!”
“Ya, kalau kau dengarlah perkataannya Khu Jie-ya kita!“ rombongan berandal itu turut perdengarkan suara mereka. “Kau masih begini muda, apa benar-benar kau tidak berniat menikah seorang lelaki dengan siapa kau bisa hidup beruntung?“
Ah Loan gusar, ia tak perdulikan ocehan itu.
“Siapa maju, dia mampus!“ ia berseru pula. “Siapa berani maju?”
Rombongan itu mengawasi Khu Jie, dia ini agaknya berat akan serang si nona. Ia lihat orang punya pakaian rubat rabit, muka yang penuh air mata, ia merasa kasihan sambil berbareng tergiur hatinya.
“Lebih baik tangkap ia hidup-hidup!“ akhirnya ia kata pada orang-orangnya.
Belasan berandal itu mulai maju, yang bersenjatakan toya disebelah depan, yang bergenggaman golok disebelah belakang. Mereka mulai menyerang.
Ah Loan tak dapat bergerak, tapi dengan oloknya, ia coba tangkis sesuatu serangan. Tentu saja, dengan tak dapat berlompat atau berkelit, ia tidak bisa berbuat banyak. Segera juga beberapa toyoran atau kemplangan mengenai ia. Benar sedangnya ia sudah putus asa, saking tidak berdaya, dengan sekonyong-konyong dari atas puncak ada jatuh suatu barang berat, rupanya seperti ular hitam. Jatuhnya menerbirkan suara nyaring dan berisk, dan batu gunung pada hancur dan meletik berhamburan.
Kawanan berandal kaget, mereka semua lari mundur. Ah Loan juga rubuh sendirinya, ia jatuh numprah.
Menyusul jatuhnya benda itu, dari atas gunung kelihatan berlari-lari turunnya satu hweeshio atau pendeta yang berewokan, tubuhnya tinggi dan besar.
“Rapat!“ serukan Khu Jie pada orang-orangnya, untuk ia terlindung, kemudian ia pandang dengan bengis pada pendeta itu, yang telah sampai di depannya, diantara mereka.
“Eh, hweeshio, kau buat apa?“ ia menegor dengan kasar.
Pendeta itu tidak sahuti orang punya tegoran, ia hanya jumput benda yang tadi ia lemparkan dari atas puncak, yalah ia punya toya besi yang besar dan berat, lalu dengan tak mengucap sepatah kata juga, ia maju menyerang kawanan berandal itu. Ia berlaku telengas, toyanya mengemplang, menyamber dari kiri dan kanan. Diantara suara beradunya senjata, juga terdengar jeritannya si orang-orang jahat, yang pada rubuh, tidak ada satu diantaranya yang sempat lari, karena hweeshio itu ngamuk dengan hebat, bagaikan seekor singa saja.
Cepat sekali, belasan tubuh malang melintang, jiwanya pada terbang melayang.
Ah Loan heran berbareng berkuatir.
“Jangan-jangan dialah Tiat Tiang Ceng si hweeshio budiman yang luar biasa,” pikir ia. Ia hanya tidak tahu kenapa orang ada demikian kejam. Dan ia tak tahu juga, orang ada bermaksud bagaimana terhadap dirinya.
Selagi nona ini bingung, satu pendeta lari kelihatan berlari-lari turun. Dia ini ada kurus-kering dan kecil, umurnya baru kira-kira duapuluh tahun. Ketika dia sudah datang dekat, pendeta ini menghampiri si nona, untuk rampas goloknya.
Ah Loan curiga. Ia coba berbangkit, untuk buat perlawanan. Tapi tahu-tahu, orang berkelit kesampingnya, ia punya bebokong lantas ditotok, hingga sekejap saja kakulah seluruh tubuh atau anggautanya. Ia cuma bisa meleki mata, akan mengawasi. Ia insyaf, ia sudah jadi korbanaya Tiam hiat-hoat.
Pendeta tinggi-besar itu bertindak kepada muridnya kepada siapa ia ucapkan beberapa kata-kata, yang Ah Loan tidak mengarti, sudah bahasanya ada bahasa daernah lain, suaranya pun keras dan tak tedas. Atas itu si pendeta muda pegang tubuhnya si nona, untuk diangkat terus dipanggul dan dibawa pergi, dengan melewati belasan mayat ia menuju ke barat.
Si pendea tinggi besar mengikuti sepintas-lalu, lantas dengan bawa toyanya sendiri, dia jalan terus mendaki bukit.
Pendeta muda itu jalan terus, sampai beberapa tikungan bukit, rupanya setelah duga si pendeia tinggi besar, atau gurunya sudah pergi jauh, ia berhentikan tindakannya, ia turunkan Ah Loan, tubuh siapa ia totok pula, tapi ini kali untuk buat orang bisa geraki kaki-tangannya dan tubuhnya juga.
Ah Loan sangka si pendeta ada orang buruk, ia lompat bangun sambil terus mengawasi dengan bengis.
“Kaii orang apa? Kemana kau hendak bawa aku?“ tanya dia.
“Jangan curigai aku,” sahut si pendeta muda seraya ia ulapkan tangan. “Kita tahu kau ada cucu perempuan dari Pau Kun Lun, kita sengaja datang untuk tolong kau. Guruku adalah Tiat Tiang Ceng yang kesohor didalam dunia kang-ou, aku sendiri ada Wan Keng Goan dari Wan-kee-chung di Kanglam, tetapi sekarang sebagai pendea, aku bernama Ceng Hian. Aku ada bersahabat dengan Kang Siau Hoo, belum lama ini, aku ketemui dia didistrik Teng-hong. Aku tahu betul, kepandaian dari Kang Siau Hoo ada sangat liehay, kau orang-oang Kun Lun Pay, semua bukannya tandingan dia. Dalam hal kau orang ini, kesalahan ada pada kau. Coba dulu kau tidak menikah dengan Kie Kong Kiat hanya dengan Siau Hoo, tidak nanti dia satrukan kau orang Kun Lun Pay seperti semacam sekarang.“
Ah Loan berduka mendengar orang punya tegoran itu, mukanya menjadi merah.
“Apakah kau tahu, sekarang ini Kang Siau Hoo ada dimana?“ ia paksa tanya.
Ceng Hian mengeleng kepala.
“Sekarang ini, aku tidak tahu,” ia menjawab. “Ketika aku bertemu Kang Siau Hoo, itu waktu kita orang berada di Tenghong di rumahnya Lie Hong Kiat dimana dia orang-pun berpisahan. Sejak itu, aku belum pernah bertemu pula dengannya.”
Ah Loan terperanjat akan dengar disebuinya Lie Hong Kiat, salah satu musuhnya.
“Selama dua bulan ini, aku senantiasa ikuti guruku,” Ceng Hian berkata lebih jauh. “Untuk sekian lama, kita orang berdiam digunung Hoa San. Sebenarnya guruku sudah jenuh dengan penghidupan didalam dunia kangou, ia sudah pikir buat cari satu tempat dimana ia bisa sucikan diri, untuk ia didik terus padaku dalam ilmu silat, apa mau ia telah dengar kabar Kang Siau Hoo membuat onar di Tiang an, seorang diri Siau Hoo rubuhkan Kun Lun Pay, ia-pun berhasil mengalahkan Kie Kong Kiat, hingga semua orang bilang, Kang Siau Hoo ada enghiong nomor satu untuk Kanglam. Mengetahui itu, guruku jadi tidak puas, ia ajak aku, dan dengan bawa-bawa toya besinya, ia turun dari Hoa San, untuk cari Kang Siau Hoo, guna lakukan satu pertandingan yang memutuskan. Tatkala kita orang sampai di Tiang-an, kita dapat keterangan Kang Siau Hoo sudah pergi lagi, sedang Kat Cie Kiang bersama-sama Kie Kong Kiat dan kau telah pergi ke Hantiong. Kita juga lantas menuju ke Selatan. Baru dua hari yang lalu kita orang sampai di Cong-hok-tin, itu dusun diluar mulut gunung sebelah Utara. Dengan berpura-pura memungut derma, guruku cari tahu halnya Kang Siau Hoo, aku sendiri dikirim ke berbagai tempat, guna buat penyelidikan. Aku tidak kenal tempat disini, untuk satu harian, aku berputar-putar di ini daerah juga, tidak pernah aku dengar halnya orang she Kang itu. Belakangan aku dengar cerita hal puteranya Ou Lip terbinasa ditangan kau, lantaran mana, kau kena diawan oleh Ou Lip dan dibawa naik ke atas gunung. Juga ada orang lihat Kat Cie Kiang, dengan luka-lukanya, telah digotong dari mulut gunung Utara. Guruku gusar mendengar hal kau ditawan, ia benci Ou Lip yang dikatakan sudah culik orang perempuan, maka dengan bawa toyanya, guruku pergi dengan niatan menolongi kau. Karena malam dan gelap, untuk setengah malaman, sia-sia saja ia cari kau, ia tak dapatkan sarangnya Ou Lip. Besokannya, ketika ia keluar dari gunung, ia dapat kabar hal Ou Lip pada itu malam binasa di tangannya Kang Siau Hoo, bahwa kau telah ditolongi dan dibawa lari oleh orang she Kang itu. Guruku jadi semakin gusar, ia anggap Kang Siau Hoo ada satu pemogor. Dia percaya, dengan rampas kau dari tangan penjahat, Kang Siau Hoo ada kandung masud busuk …”
Ah Loan susut air matanya ia goyang-goyang kepala.
“Kang Siau Hoo bermusuh dengan keluarga Pau, tetapi malam itu ia naik gunung dan tolongi aku, maksudnya ada baik,” ia terangkan. “Melainkan aku …“
“Itulah aku tahu,” Ceng Hian potong. “Memang Kang Siau Hoo ada satu hoohan sejati. Tapi guruku ingin sekali lakukan pertandingan yang memutuskan dengan Kang Siau Hoo. Kemarin, satu hari lamanya kita cari Siau Hoo diatas gunung kita tidak berhasil. Tadi guruku ajak aku, untuk mencari pula, siapa tahu, ia pergoki kau sedang dikepung orang jahat.”
“Aku berterima kasih yang kau orang, guru dan murid sudah tolong aku.” nyatakan Ah Loan. “Aku menang tahu kau orang ada orang-orang gagah yang budiman, sekarang semua penjahat telah terbinasa tidak akan ada lain orang lagi yang bakal buat susah padaku, maka baiklah aku pergi susul gurumu. Selanjutnya, bagaimana adanya persengketaan kau orang dengan Kang Siau Hoo, aku tak ambil perduli pula. Dan aku hendak minta, tidak perduli kau orang bertemu siapa, jangan sekali-sekali kau orang beritahukan kemana aku sudah pergi!”
Habis kata begitu, Ah Loan putar tubuhnya, untuk berjalan pergi, untuk mana, ia tidak pernah pikirkan tujuan.
”Kau hendak pergi kemana?” tanya Ceng Hian, yang menyusul beberapa tindak.
“Tak perlu kau perdulikan kemana aku pergi!” kata Ah Loan sambil menangis. ”Aku tahu kemana aku mesti pergi …”
Ceng Hian menghalang.
“Itulah tak dapat kau lakukan,” berkata ia. “Guruku pesan aku, untuk antarkan ke suatu tempat. Jangan kau anggap guruku ada seorang kasar. Benar dengan toya besinya itu ia telah bunuh berapa banyak orang, akan tetapi dia punya hati ada pemurah, ia biasa berbuat kebaikan, untuk menolong pada sesamanya, menolong sampai di akhirnya.”
Ah Loan tercengang.
“Habis kau orang hendak bawa aku ke mana?” taya ia.
“Ke suatu tempat yang baik,” Ceng Hian jawab, “Ke Kiu Sian Koan di Ciat Nia digunung Bie Cong San. Itu ada satu kuil dari imam perempuan, imam tua disitu ada Too Teng Su-kou, Su-cie dari guruku, dia ini punya ilmu pedang ada liehay, tak ada disebelah bawahnya Kang Siau Hoo. Barusan guruku kasi tahu padaku, sekalian antarkan kau ke sana, Too Teng Su-kou akan diminta suka datang ke Cin Nia akan membantu ia mencari Kang Siau Hoo. Jikalau Kang Siau Hoo dapat ditaklukkan, kaum keluarga Pau jadi sudah lolos dari musuhnya, habis itu, kau akan diantar pulang kerumahmu.”
Ah Loan menggeleng kepala.
“Aku tidak mau pulang!” ia nyatakan. Lantas ia tanya: ”Kenapa kau orang begitu musuhkan Kang Siau Hoo? Aku tidak percaya yang kau orang dengan benar-benar hendak membantu Kun Lun Pay? Aku punya engkong tidak kenal Tiat Tiang Ceng.”
“Tabiatnya guruku ada luar biasa sekali,” Ceng Hian terangkan, “Dia tidak senang jikalau dalam dunia kang-ou ada orang yang terlebih liehay daripadanya. Long Tiong Hiap, Lie Hong Kiat dan Kie Kong Kiat, semua mereka itu ia tak lihat mata, tidak demikian terhadap Kang Siau Hoo. Turut apa yang guruku dengar, kepandaian dari Kang Siau Hoo ada warisannya Satu siucay tua, siapa tadinya cuma punyakan satu murid yang gagu. Si gagu itu ada gurunya adalah musuh besar guruku selama tigapuluh tahun, entah sudah berapa banyak kali guruku kena dibuat malu oleh mereka itu. Karena adanya itu guru dan murid, walau-pun guruku ada liehay sekali, ia toh melainkan bisa malang-melintang di Su-coan Utara dan Siamsay Selatan, untuk ke Su-coan Selatan dan bagian luar dan Tong kwan, ia sampai tidak berani pergi. Sekarang siucay tua itu telah punyakan lagi Kang Siau Hoo, karena itu guruku jadi tidak dapat bersabar pula, ia telah memikir untuk binasakan Kang Siau Hioo, kemudian dia mau cari Siucay tua dan si gagu, untuk menuntut balas!”
Mendengar demikian, Ah Loan jadi berkuatir untuk Kang Siau Hoo. Disebelah itu, ia insaf bagaimana berbahayanya orang kang-ou, yang gampang sekali memperoleh musuh dan permusuhan seperti tidak ada habisnya. Karena ini, ia punya hati jadi semakin tawar. Ia benar-benar jerih.
“Kelenteng Kiu Sian Koan di In Ciat Nia pasti ada suatu tempat yang sunyi,” kemudian dia berpikir, “dan disana aku terlindung oleh satu imam perempuan yang liehay, pastilah aku tidak bakal terganggu orang jahat. Iniah kebetulan bagiku, aku jadi bisa sekalian sucikan diri …”
Oleh karena ia berpikir demikian, ia lantas nyatakan pada Ceng Hian : “Aku suka pergi ke kuil imam untuk sucikan diri, sekarang baik kau tunjuki jalanannya, supaya aku bisa pergi sendiri.”
“Kuil itu berada di tempat sangat sunyi, tidak nanti kau dapat cari,” Ceng Hian bilang. “Too Teng Su-kou juga ada seorang dengan tabiat aneh sekali, apabila kau pergi sendiri dia tidak bakalan terima padamu. Sekarang kau ikuti aku keluar dari mulut barat dari gunung ini, disana aku nanti sewa sebuah kereta, untuk kau naiki, aku sendiri akan ikuti kau secara diam-diam. Aku tanggung yang aku akan antar kau sampai ke Kiu Sian Koan dengan tidak kurang suatu apa!“
Ah Loan berdiam. Melihat orang bisa bekerja demikian sempurna, ia jadi sangsikan pendeta muda ini.
Ceng Hian rupanya dapat bade orang punya kecurigaan.
“Kau jangan curigai aku,” kata ia dengan hunjuk roman sungguh-sungguh. “Kita orang-orang suci tidak punya pikiran yang tak keruan. Mengenai kau, kita melainkan hendak tolong padamu. Kau ada seorang perempuan, kau juga sedang terluka, berdiam didalam gunung ini, kau terancam bahaya. Disebelah itu, aku tahu benar kau telah dipersukar oleh urusannya kau punya engkong. Tidak seharusnya engkongmu titah kau, seorang perempuan, pergi layani Kang Siau Hoo.”
Ah Loan usut air matanya, sekarang lenyap ia punya kesangsian, maka ia lantas menurut.
“Baikiah,” bilang ia.
Ceng Hian lantas bertindak, menuju kemulut barat dari gunung itu.
Ah Loan ikuti ini pendeta, terus sampai diluar gunung, disebuah dusun. Disini Ceng Hian lantas cari kereta, yang ia sewa. Kepada Ah Loan ia serahkan dua puluh tail perak, untuk ongkosnya nona ini. Sesudah pesan pada tukang kereta, hweeshio ini lantas ngeloyor pergi.
Ah Loan ada sangat berterima kasih pada Tiat Tiang Ceng dan muridnya itu, orang-pun sudah tolong ia dengan sesungguh-sungguhnya hati. Hanya disebelahnya itu, ia berkuatir untuk Kang Siau Hoo. Tiat Tiang Ceng menggunai sebatang toya besi yang sangat berat dan Ceng Hian, Si murid, pandai Tiam-hiat-hoat, walau-pun Siau Hoo lehay, mana dia sanggup layani itu guru dan murid berdua? Maka ia jadi berduka.
Dihari pertama itu, kereta keledai jalan seantero hari, kapan sang sore datang, Ah Loan singgah disebuah pondokan. Disini ia bicara sama isterinya tuan rumah, ia keluarkan sejumlah uang, untuk minla tolong dibelikan pakaian dan sepatu bekas, untuk ia salin dan dandan, benar kemudian ia dapati pakaian yang kurang sepan, tetapi ini ada lumayan. Ia-pun anggap, sesampainya di Kiu Sian Koan, ia bakal tukar pakaian lagi, ia akan pakai jubah suci.
Dihari ke dua, perjalanan dilanjutkan. Ah Loan tidak kenal jalanan, ia antap si tukang kereta jalan sendiri.
Sesudah jalan dua hari setengah, pada itu tengah hari, Ah Loan lihat Tiat Tiang Ceng dan Ceng Hian mendatangi dari sebelah depan, untuk memapak padanya. Sesudah mana, mereka hunjuki kemana tukang kereta mesti menuju lebih jauh, yalah dengan melintasi gunung, akan berbenti di kaki bukit di tempat yang penuh dengan pepohon lebat, hingga kereta tak dapat berjalan lebih jauh.
Oleh karena lukanya tidak terawat dan ia mesti lakukan perjalanan berhari-hari, Nona Pau menjadi lelah, ketika ia turun dari kereta, hampir-hampir ia sukar menindak, oleh karena itu, Tiat Tiang Ceng suruh Ceng Hian gendong kembali nona itu, buat dibawa nanjak keatas bukit, hingga sampailah mereka di Kiu Sian Koan yang mencil sendirian dan sunyi.
Itu hari, Too Teng Su-kou tidak ada di kuil, dari itu Tiat Tiang Ceng titipkan Ah Loan kepada imam perempuan yang urus kuil itu, untuk mana ia minta Ah Laon diberikan satu kamar sendirian serta si nona mesti dirawati, kemudian pendeta ini bersama muridnya turun gunung, akan pergi ke dusun dimana ada sebuah bio dimana mereka menumpang tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar