Selasa, 13 Mei 2014

cersil terbaru rhp 5

Ia mengetahui kalau Cui-jie bangun dan mengetahui dirinya dalam keadaan demikian, pasti akan menjadi malu, cepat2 ia membuka bajunya sendiri dan menutupi tubuh si gadis.

Tak selang berapa lama, Cui-jie siuman dari pingsannya. Ia merasa aneh berada di dalam gua.

"Adik, kenapa aku bisa berada di sini?”

"Cici, mungkinkah kau menjadikan aku sebagai musuh juga?" Kiu Heng berbalik menanya.

"Legakan hatimu! Aku bukan manusia rendah demikian macam. Aku tetap akan memperlakukan kau sebagai adik kandungku sendiri!" kata Cui-jie.

Tiba2 ia menjadi kaget melihat keadaan dirinya, sehingga menjadi gusar.

"Aku..... kau..... si manusia rendah, kenapa berani berbuat demikian kotor? Aku buta tak mengenal orang!"

Sehabis berkata Cui-jie mendorong dengan tangan diiringi jeritan kerasnya. Akan tetapi sebelum suara itu keluar dari mulut, lengan Kiu Heng terlebih cepat membekapnya.

Ia kuatir suara itu didengar musuh dan mendatangkan bencana yang tidak diinginkan. Tak kira Cui-jie yang tengah gusar tak dapat dilampiaskan, napasnya menjadi sesak, Ia pingsan lagi.

"Cici......... Cici,” panggil Kiu Heng.

Cui-jie tetap tak bangun.

Ia mengetahui untuk menyadarkan si gadis harus memencet sepasang jalan darah yang terletak di bawah buah dada. Tanpa ragu2 lagi, apa yang dipikir segera dikerjakan. Lengannya segera dimasukkan ke bawah baju, lalu menekan dan mengurut agar Cui-jie siuman.

Disebabkan Kiu Heng terlalu cemas dan ter-gesa2, Ia salah tekan! Bukan jalan darah yang kena dijamah, melainkan bukit salju si gadis! "Benda" itu demikian bulat dan segar, sehingga licin dan sukar terpegang!

Kiu Heng seorang anak muda yang baru berangkat dewasa, mana mengerti soal orang dewasa? Tadi ia sudah ber-debar2 melihat sepasang gunung salju, hal itu disebabkan keanehan alam. Kini lengannya menyentuh sepasang benda yang mengandung keanehan itu. sehingga merasa heran tak habis2nya.

Atas desakan keanehan yang ingin diketahuinya, ia me-nekan2, alhasil lengannya itu seperti terkena aliran listerik yang maha dahsyat! Sekujur tubuhnya menjadi gemetar, ia menjadi terkesiap dan kaget. Cepat2 menarik lengannya, tapi sudah terlambat, sesuatu kenikmatan yang sebelumnya tak pernah dirasakan mengalir ke seluruh perasaannya, unik dan segar!

Sesudah menenangkan pikiran dengan bersemadi, mulai lagi Ia me-nekan2 jalan darah, sekali ini ia tidak menyeleweng seperti tadi, sesudah mengurut seketika lamanya. Cui-jie mulai siuman, sedangkan Kiu Heng sudah mandi keringat.

Sewaktu Cui-jie menarik napas yang pertama, Kiu Heng sudah menarik lengannya. Ia bukan letih dan lelah sewajarnya, melainkan lengannya itu mengenai kulit dan daging yang lunak dan licin seperti mengalirkan hawa hangat dan wangi. Di samping itu sering2 lengannya itu salah jalan meraba ke tempat lain sehingga hatinya ber-debar2, untuk menahan perasaan yang aneh ini membuatnya lebih berkeringat.

Per-lahan2 Cui-jie membuka matanya, padahal siang2 ia sudah siuman, tapi tidak mau lekas bersuara, karena merasakan dirinya tengah diurut secara mengasyikkan.

Ia menggunakan kesempatan ini membiarkan diurut terus, achirnya ia mengetahui kesalah-pahaman tadi, ia merasa tak enak pada Kiu Heng.

Ia berpikir pulang pergi harus bagaimana menghilangkan perasaan salah paham ini?

Sementara itu urutan Kiu Heng tetap berjalan, ia sadar menderita luka dan lukanya itu tak mungkin baik di-urut2 demikian, karena itu Ia membuka suara.

Sewaktu matanya dibuka, tampak tubuh Kiu Heng yang mandi keringat, Ia merasa berterima kasih, lengannya tanpa disadari diangkat mengusap keringat2 yang berada di dahi Kiu Heng.

"Adikku, menyusahkan kau saja," kata Cui-jie.

"Lukaku terlampau berat dan tak mungkin sembuh dengan diurut! Mungkin juga bila tidak mendapat obat yang mujarab dalam beberapa hari lagi akan meninggal dunia? Entah bagaimana dengan guruku? Ia mempunyai obat yang bernama Kie-hun-kui-goan-tan yang pernah kau makan juga. Dengan obat itu umurku baru bisa bertambah panjang! Kutahu bisa demikian karena, merasakan seluruh isi perutku seperti bergeser dan pindah tempat, dan tak mungkin sembuh dengan obat biasa!”

"Cici, legakan hatimu! Sebentar malam aku akan mencari gurumu," jawab Kiu Heng.

Tapi kukuatir ia menganggap aku sebagai musuh pula! Kalau sampai demikian, terpaksa aku harus mencurinya. Pendeknya aku harus berdaya sekuat mungkin menolong cici!

Di samping itu, kuyakin pula Na Lo Cianpwee pasti akan memberikan obat itu kepadamu, karena ia sangat menyayang kepadamu seperti menyayang seorang anak kandungnya. Kau rebahanlah dengan tenang!"

"Ah, tidak boleh begitu! Perbuatanmu sangat berbahaya, kau harus sadar Pek Tok Thian Kun tak mungkin melepaskanmu begitu saja. mungkin ia masih berada di sekeliling gunung ini mencarimu!"

"Cici, kau tak perlu kuatir. Aku tak akan berbuat bodoh, Aku bisa berlaku hati2 dan cermat menjalankan pekerjaan ini,"

Cui-jie memandang pada Kiu Heng dengan sinar mata tajam, membuat pemuda kita merasa heran, ia terkejut sejenak, menantikan perkataan Cui-jie.

"Siapa yang pernah mengatakan kau bodoh, hanya mengatakan keadaan sangat berbahaya!”

Kiu Heng menjadi lega, mendengar keterangan itu! Mereka sudah berkumpul lama juga, tapi untuk pertama kali Cui-jie menatap demikian macam. Di samping itu, pertama kali pula Ia melihat wajah Cui-jie yang tadinya beku dan dingin berubah menjadi terang dan manis. Kesemua ini membuat Kiu Heng girang, tak terasa lagi Ia memegang lengan si gadis dan dikepalnya erat2.

Kelakuannya ini sangat wajar, sedikit pun tidak mempergunakan kekerasan. Cui-jie merasa heran, tapi Ia melihat wajah Kiu Heng yang tenang dan demikian wajar, membiarkan saja tangannya di-kepal2, hanya wajahnya menjadi merah seperti kepiting direbus!

Kiu Heng berdiam diri di dalam gua, karena mereka mengetahui musuh2 masih menjaga di luar. Malam pertama dilalui menyusul malam kedua. Orang2 yang mencari mereka masih terdengar suaranya di luar gua.

Kini malam yang ketiga, Cui-jie sudah tiga kali pingsan, Kiu Heng selalu menolongnya dengan cara memijit jalan darah. Setiap kali Cui-jie terbangun, selalu Ia menyebutkan dengan suaranya yang lemah. "Air, air air.......”

Tiga hari tidak keluar gua, tanpa memakan barang sedikit makanan maupun air, masing2 merasa kering dan haus yang luar biasa. Atas ini Kiu Heng sedih dan duka, ia bertekad pada malam ini akan keluar gua untuk mencarj makanan dan air, yakni untuk menolong Cui-jie dan dirinya sendiri.

Sebelum meninggalkan gua, Kiu Heng merasakan dadanya sangat dingin. Ia ingat kepada kotak Bu Lim Tiap, lalu dikeluarkan. Di samping itu, ia pun memegang singa2-an kumala yang didapatnya sewaktu di gua Pek Tio Hong.

Pikirnya dengan batu kumala yang adem bisa menghilangkan haus, lekas2 ia memasukkan singa2an itu ke dalam mulut, benar saja mulutnya yang kering menjadi adem, seperti juga terkena air yang sejuk.

Ia memberikan yang satu lagi kepada Cui-jie. Dengan demikian mereka bisa menahan rasa dahaga dari kasiat singa2an itu.

Sungguhpun demikian rasa lapar tetap tak kunjung hilang, orang yang sakit tidak tahu apa2 dan bisa menahan lapar, tapi tidak demikian dengan orang sehat. Kiu Heng merasakan lapar yang tidak alang kepalang.

***

Rembulan per-lahan2 bergeser ke tengah2 langit yang terang, binatang2 hutan memperdengarkan suara mereka beraneka macam, sedangkan bumi terasa sunyi dan sepi.

Saat inilah dari atas gunung melayang sesosok tubuh yang demikian lincah dan ringan menuju ke dalam lembah. Bayangan ini bukan lain dari Kiu Heng adanya.

Ia berhenti sebentar di atas sebatang pohon Siong, telinganya dipasang, sesudah memastikan tiada musuh lagi di sekitarnya, baru turun ke tanah dan langsung pergi ke rumah gubuk di mana Ia pernah tinggal.

Ia menjadi terkejut karena rumah gubuk sudah tidak terlihat lagi, berganti menjadi satu tumpukan puing dan abu, demikian pula gua di depannya sudah hangus terbakar!

Kiu Heng tertegun sekian lamanya. Ia tidak bisa berpikir kemana perginya Na Wan Hoa dan harus kemana mencari obat untuk Cui-jie?

Sesudah menenangkan pikiran, ia berlalu dari tempat yang membangkitkan kedukaan untuk mencari sedikit makanan. Dalam keadaan malam ia bisa melihat tegas seperti di siang hari. Sungguhpun demikian terkecuali buah2an gunung, tidak ada makanan lain.

Akhirnya ia menggunakan cara yang pallng bodoh untuk mendapatkan binatang hutan, diambilnya batu dan dilemparkan ke semak2 yang rimbun. Dalam sekejap caranya yang tolol ini berhasil membuat seekor menjangan terkejut keluar dari sarangnya.

Tanpa ayal lagi Ia mengejar sambil menyambit dengan batu. Tak kira menjangan itu bisa berlari dengan gesit, ia menghindarkan diri dari batu dan menuju ke atas gunung lalu hilang tak terlihat. Ia mengejar terus dengan penuh harapan. Sesampainya di atas, terlihat tebing, di situ terdapat tikungan, sedangkan menjangan yang sudah tak tertampak menjadi hilang benar2.

Kiu Heng berjalan terus di sebelah tikungan tebing itu terdapat sebuah gua yang besar.

"Ah, kukira ia sudah kabur, tak tahunya pasti bersembunyi di sini?" pikir Kiu Heng.

Dengan cepat ia masuk ke dalam, benar saja menjangan itu terdapat di dalam, ia tengah menekuk kakinya menatap pada Kiu Heng dengan sinar mata bening dan takut, ia diam tak berani bergerak.

Tiba2 Kiu Heng merasa tak tega untuk mencelakakan menjangan itU.

"Jika aku terjun lagi ke dunia Bu Lim, mungkin bisa seperti menjangan ini. Di-kejar2 dan dimusuhi untuk dibunuh!"

Menjangan itu dengan tiba2 mendengking, menyusul terdengar bunyi bergemuruh yang ramai, membuat Kiu Heng kaget dan melompat.

"Mungkinkah blnatang ini pun pintar, sehingga bisa menjebak aku?” pikirnya.

Tengah Ia ragu2, tahu2 ratusan ekor binatang yang bergemuruh atau lebah menyambar dirinya. Ia tidak berani berlaku ayal2an lagi, cepat2 sipat kuping.

Kiu Heng berlari cepat, lebah2 itu bisa terbang lebih cepat pula, sehingga beberapa antukan lebah itu bersarang di atas jidat dan kepalanya. Sehingga ia benjol dan babak belur.

Dengan dongkol Ia kemba1i ke gua sebelum itu ia memetik buah2an gunung lagi dan mengisi kotak Bu Lim Tiapnya dengan air.

Cui-jie merasa girang melihat Kiu Heng kembali tak kurang suatu apa.

"Adikku, apakah Pek Tok Thian Kun sudah pergi?" tegumya.

"Sudah!" jawab Kiu Heng, lalu ia membuka kotaknya, dan memberikan Cui-jie minum.

Buah2an itu dikupas disuapi si gadis sedikit2.

Keadaan malam di dalam gua luar biasa gelapnya, tapi Kiu Heng bisa melihat seperti di dalam siang. Sinar surya masuk ke dalam gua dari celah2 pepohonan, Cui-jie sudah tak sabaran membuka mata untuk menaiap Kiu Heng, karena ia mempunyai firasat buruk tadi malam.

Benar saja Ia melihat jidat Kiu Heng dan pipi yang benjol dan bengkak2, segera Ia menegur. "Adikku, tadi malam kau tidak menemukan guruku bukan?"

Kiu Heng tidak berani mendusta, tapi ia kuatir Cui-jie menjadi 'berduka. "Cici, lebih baik kau merawat dirimu baik2 dan jangan terlalu berduka! Na Lo Cianpwee tidak kutemukan, dan rumah gubuk yang bekas kita tinggali telah....."

"Telah dibakar!" potong Cui-jie.

Ia tidak menjadi duka mendengar kabar buruk itu malahan menjadi girang. "Suhu pernah mengatakan kepadaku, bilamana ia mendapat kesempatan berkelana di Sungai Telaga kembali rumah gubuk itu akan dibakarnya, dengan demikian ia bisa menghilangkan kekesalan dan kedukaan hatinya!

Ia tertegun sejenak sambil memandang kepada Kiu Heng, lalu melanjutkan perkataannya: "Adikku, kau pasti tersengat lebah hitam. betulkah? Bolehkah kau membawaku ke tempat lebah2 itu? Lebah2 itu bisa menolong diriku!”

"Cici, kau jangan mengaco, lebah-lebah itu mana mungkin menolongmu?"

"Adikku, kau lupakah pada madu yang pernah kau minum? Madu itu bisa menambah semangat dan kekuatan, merupakan obat yang mujarab. Madu itu didapat dari lebah2 hitam, Bawalah aku kesana, kau tak perlu kuatir, sebab lebah2 itu peliharaan guruku."

Kiu Heng girang mendengar keterangan ini, tapi ia tidak segera berangkat.

"Cici dapatkah kau menderita seharian lagi? Sekarang sudah siang, aku kuatir dipergoki musuh!"

Cui-jie mengangguk.

Pada malam harinya Kiu Heng menggendong Cui-jie ke gua di mana terdapat lebah2. Ia merasa takut dan tidak berani masuk, Ia terpaku di luar gua, Cui-jie yang digendong membunyikan suara aneh yang terdengar "sing... sing... sing..."

Lebah2 segera mengaung2 datang, binatang2 itu mengitari di atas kepala Cui-jie, sedangkan si gadis semakin seru membunyikan suara gaibnya.

Lebah2 itu ber-putar2 secara teratur, sedikitpun tidak mengeluarkan tanda2 untuk menyengat. Melihat keadaan ini, Kiu Heng menjadi berbesar hati, cepat2 ia masuk ke dalam.

Di bawah petunjuk Cui-jie, Ia masuk terus ke dalam gua. Di slni terdapat dinding batu yang mengelilingi empat penjuru, di situ terletak belasan cangkir yang penuh madu, harumnya semerbak menusuk hidung.

Cui-jie mengajari Kiu Heng harus bagaimana membunyikan suara gaib dan bagaimana mengambil madu2 itu. Kiu Heng yang cerdas dalam sekejap sudah mengerti.

Dengan petunjuk2 Cui-jie, Ia bisa mengambil madu2 dengan mudah, lalu memberikan pada Cui-jie untuk menghirupnya.

Sesudah menghirup dua cangkir, Cui-jie merasakan semangatnya terbangun, hatinya pun menjadi tenang. Disuruhnya Kiu Heng membawa dirinya masuk terus ke dalam, di situ terdapat kamar batu.

"Kamar batu ini adalah tampat yang dipergunakan suhuku melatih ilmu pada mula pertama, ilmu yang dipelajari itu bernama "Ban-hong-cie” atau puluhan ribu jari lebah. Ia membunyikan suara gaib, leba2 keluar dari liang2, pertama suhu hanya melepaskan sepuluh ekor, yang lain liangnya ditutup. Dikeluarkannya lagi suara aneh, berbeda dari yang semula, sehingga lebah2 itu berputar dan menyerang dirinya sekaligus. Ia menggerakkan lengannya menotok lebah2 yang datang. Lebah2 berjatuhan dan mati, ia sendiri terkena antukannya. Tapi pada latihan yang belakangan ia bisa mengatasi keadaan, sehingga ilmunya menjadi sempurna.

"Adikku, kau mempunyai ilmu dalam yang sudah tinggi, tapi ilmu pukulanmu masih terlalu buruk, kau pergunakanlah kesempatan ini untuk melatih diri! Kujamln kau akan memperoleh banyak kemajuan. Bilamana jarimu bisa menjatuhkan seratus lima puluh ekor lebah dengan cepat dan sekaligus, berarti kekuatan dan kecepatan jarimu sudah tidak ada tandingannya lagi di dunia Bu Lim!"

"Baik ya baik, tapi kalau kena diantup sakitnya luar biasa....... Ih? kenapa sakitnya hilang dan jadi sembuh?” kata Kiu Heng.

Ia mendapatkan tempat yang bekas diantup sudah sembuh sama sekali, benjol maupun bengkaknya hilang tak tertampak.

"Kau sangat tolol, itulah berkat madu lebah itu sendiri, karena itu kau tak perlu takut, kena diantup lagi, bukan?"

Kiu Heng menjadi girang, segera ia minta diberi petunjuk2 cara melatih Ilmu Ban Hong Cie.

Kiu Heng baru pertama kali melatih diri, Ia mempergunakan duapuluh ekor lebah. Begitu ia membunyikan suara aneh, lebah2 itu seperti menghadapi musuh, dengan garang mereka me-raug2, lalu meluruk pada kepala pemuda kita.

Dalam sekejap Kiu Heng dibikinnya kalang kabut, kepalanya segera terasa sakit kena antupan2 berbisa, sedangkan lebah itu satu pun tidak ada yang blnasa. Cui-jie yang menyaksikan dari samping segera membunyikan suara "sing... sing... sing..."

Yang gaib, lebah2 segera berserabutan ke atas kepalanya tanpa menyengat lagi.

Kiu Heng sangat penasaran. Ia rajin berlatih terus menerus, sesudah tiga hari, baru ia berhasil memperoleh kemajuan. Dua puluh lebah kena dltotok mati sedangkan ia sendiri tidak kena diantup.

Berbareng dengan itu, madu2 sudah beberapa cangkir diminum Kiu Heng, sehingga otaknya bertambah cerdas. Kegirangannya tak dapat dilukiskan dengan kata2. Ia bertambah rajin dalam latihannya.

Pada hari keempat, Kiu Heng mempergunakan empat puluh lebah untuk melatih diri. sekali ini pun ia berhasil membinasakan seluruh lebah2 itu tanpa menderita luka.

Keesokannya Ia menambah lagi dengan dua puluh ekor. Sungguh pun Ia tidak menderita luka, tapi harus menggunakan seluruh tenaga dan pikirannya baru berhasil membinasakan enam puluh ekor itu.

Sementara itu, Cui-jie yang minum madu biar sudah baikan, belum sehat seperti sedia kala, ia bisa bangun dan duduk. Ia pun turut bergirang atas kemajuan yang diperoleh Kiu Heng. Hari ini ia berdiam diri di dalam goa seorang diri karena Kiu Heng sedang keluar mencari makanan. Inilah untuk pertama kalinya Kiu Heng keluar gua di waktu siang, karena memikir Pek Tok Thian Kun sudah berlalu.

Kiu Heng yang tengah berjalan dan ber-indap2 dengan hati2 menjadi terkejut mendengar gedebaran dari baju orang, agaknya bukan seorang saja, tengah menuju ke tempa ia berada. Cepat2 Ia berjongkok di samping batu besar, telinganya dipasang lebar2, sedangkan matanya pun mengawasi ke jurusan suara tadi.

Ah, sungguh kebetulan sekali, karena yang datang itu adalah In In, Ping Ping dan si orang tua berjanggut indah.

"Hari ini Tia-tia menghapuskan pantangan dan larangan menginjak Thian Tou Hong, sehingga keinginanku datang bermain ke sini dari tahun2 yang lalu terkabul juga. Tapi sesudah, bermain dan ber-jalan2 di sini sejenak, yang terlihat hanya gunung dan pepohonan yang serupa dengan Lian Hoa Hong, sedikit pun tiada yang aneh. Pepatah mengatakan barang yang tidak didapat harum dan manis, sesudah didapat keharuman dan kemanisannya menjadi pudar!" kata In In menggerutu.

Tiba2 terdengar suara rintihan, membuat ketiga orang ini terkesiap, mereka memasang telinga dengan tajam ke empat penjuru.

"Sioksiok. kau mengatakan di sini sudah tak ada orang lagi, baru memberi ijin kami bermain bukan? Kenapa kini terdenngar suaara orang merintih seperti menderita luka berat. Mari kita lihat!" kata Ping Ping.

"Baik," jawab si orang tua berjanggut indah, "menolong jiwa orang lebih berjasa dari pada membuat menara bertingkat tujuh..."

Tiba2 suara rintihan kembali terdengar dengan nyata, seperti juga tengah menderita sakit berat Mereka segera dalang ke belakang batu. Alangkah terkejut mereka, sewaktu melihat yang merintih itu bukan lain dari Kiu Heng adanya.

Kiu Heng memperlihatkan wajah kesakitan yang tidak alang kepalang. Gigi atasnya menggigit bibir bawah dengan erat, seperti mau menggigit masuk saja, kedua matanya agak meram, keringat mengucur dari keningnya.

In In dan Ping Ping dengan cepat menghampiri, yang seorang di sebelah kanan yang seorang lagi dri sebelah kiri. Yang seorang berteriak: "Kiu Koko!" Yang seorang berteriak: "Kiu Heng!"

"Kiu Koko, kau..... kau.... kenapa? Kau katakanlah!" kata Ping Ping sambil meng-goyang2 tubuh Kiu Heng.

"In In, Ping Ping," kata si orang tua berjanggut indah, "kau jangan ber-teriak2, bocah ini mungkin minum air gunung. Menurut kata Tia-tiamu, sebelum Gui Sam Seng berlalu, Ia menyebarkan racun di dalam air. Barang siapa meminumnya pasti akan mati. Bocah ini bisa menghindarkan diri dari tangan Gui Sam Seng, tapi tidak bisa meloloskan diri dari racunnya."

"Siok-siok, bukankah kau masih mempunyai pel Kie-hun-kui-goan-tan? Kau berikan sebutir! Kasihan dia!" pinta Ping Ping sambil mengucurkan air mata.

"Memang obat itu bisa memunahkan segala racun, tapi belum tentu bisa menawarkan racun Pek Tok Thian Kun, tambahan ia sudah terkena lama dan terlambat untuk ditolong!"

"Tidak terlambat!" bantah Ping Ping. "Kau lihat ia masih merintih terus menerus! Berikanlah sebutir!"

In In yang diam saja pun meminta agar si orang tua memberikan obat pada Kiu Heng sehingga si orang tua mengalah juga didesak dari kiri dan kanan.

"Baiklah," katanya.

"Hitung2 bocah ini berhokkie besar. bilamana hari ini Tia-tiamu tidak mengatakan Ia seorang yang baik, pasti tidak kutolong!"

Sehabis berkata segera Ia mengeluarkan peles obat, dengan hati2 dikeluarkannya sebutir dan diberikan ke tangan Ping Ping.

Ia sendiri mengangkat pelesnya dan menutup obatnya yang masih bersisa sebutir.

"Tinggal sebutir lagi! Ah, tinggal sebutir lagi," katanya.

Tiba2 terdengar suara kaget dari In In dan Ping Ping, membuat si orang tua terkejut dan melompat setombak lebih. Berbareng dengan itu ia mendengar suara ter-gelak2.

"Terima kasih banyak! Lo Sianseng, pendeknya obatmu ini sama saja dipergunakan menolong orang! Pada jiwie Kounio pun aku menghaturkan banyak terima kasih juga. Aku tidak mempunyai waktu terlalu lama, karena lebih penting menolong jiwa orang. Sampai ketemu lagi!"

Berbareng dengan habisnya Kiu Heng berkata, ia mencelat pergi dengan cepat, ketiga orang bahna terkejut lupa untuk mengejar. Sewaktu melihat Kiu Heng sudah pergi jauh, In In baru sadar, dan cepat mengejar.

"Kiu Heng, kurang ajar kau, berani betul menipu kami, selamanya tidak akan kuberi ampun!"

Ping Ping pun sudah mengejar. Begitu ia mendengar In In memaki segera menasehatkan:

"Cici tak perlu memakinya, maafkanlah perbuatannya itu! Kuyakin obat itu akan dipergunakan menolong orang juga! Obat itu terlalu mahal dan sukar didapat, untuk mendapatkannya ia menipu kita, kalau tidak demikian pasti tidak akan didapat bukan?"

"Bocah gila, kau bernyali besar betul berani menipuku, bilamana tidak kuhajar jangan panggil aku Lim Peng Sian si berjanggut indah..........."

"Siok-siok, Kiu koko dalam keadaan terpaksa baru berbuat demikian, maafkanlah! Untuk apa bergusar demikian!?" kata Ping Ping.

Mereka mengejar terus, tapi tidak berhasil.

Sewaktu Kiu Heng bersembunji dan melihat datangnya si orang tua berjanggut indah, segera teringat kepada obat Kie-hun-kui-goan-tan yang dimiliki si orang tua. Ia sangat ingin memperoleh obat itu untuk menyembuhkan penyakit Cui-jie, karena itu ia ber-pura2 sakit untuk mengelabui si orang tua. Sesudah memperoleh obat segera berlari dengan kencang ke dalam gua untuk menemui Cui-jie. Begitu ia masuk segera menyumpalkan obat itu ke dalam mulut Si gadis tanpa berkata putih atau hitam.

Cui-jie sangat girang melihat obat itu, tanpa sungkan2 membuka mulutnya. Wewangian yang harum bertebaran. Cui-jie merasakan nyaman, cepat2 ia bersemadi, dengan bantuan obat yang mujarab, dalam sekejap penyakitnya menjadi sembuh.

"Adikku, apakah kau menemukan suhuku? Kini ia berada dimana?" kata Cui-jie sambil mengucurkan air mata haru.

Kiu Heng merasa tak mengerti.

"Cici! Kau kenapa menangis? Mungkinkah obat itu palsu? Mungkinkah kau merasa tidak enak minum obat itu? Cici! Kau katakanlah, aku bisa segera mencari mereka untuk berhitungan!”

"Adikku, mereka itu siapa? Mungkin si orang tua berjanggut indah dan dua gadis dari Lian Hoa Hong bukan? Mereka bisa menipu kau tapi mana mungkin menipuku? Aku mengenali obat itu adalah yang sesungguhnya, hanya saja sesudah meminum obat itu aku merasakan waktu untuk berpisah antara kita sudah dekat sekali........"

Berkata sampai di sini, dipeluknya Kiu Heng erat2, sedangkan air mata terlebih banyak lagi dialirkan.

"Sejak kecil aku menemani suhu, aku mempelajari kehidupannya yang beku dan dingin, sebegitu lama aku tidak mengenal apa namanya menangis, dan tidak tahu pula apa yang dinamai tertawa. Tapi kedua perasaan yang berlawanan itu sudah kucicipinya kini; aku menangis di hati dan tertawa! Aku akan menangis dengan perasaan, dan tertawa dengan perasaan pula. Kutahu perpisahan hari ini teramat berat untukmu maupun untukku, entah kapan kita bisa bertemu kembali untuk merasakan kehangatan sebagai sekarang......."

Tiba2 Kiu Heng berdongak dari pelukan si gadis.

"Cici, Cici, apakah kau akan pergi? Kau harus ingat kau baru sembuh dari luka parah....."

"Karena aku sudah sembuh segera akan pergi, aku harus mencari guruku, aku tidak bisa meninggalkan guruku yang sudah cacat, aku harus merawatnya sampai guruku meninggalkan dunia yang fana ini. Dengan demikian aku baru bisa membalas budi kebaikannya yang dilimpahkan atas diriku."

Kiu Heng tidak menyangka begitu sembuh Cui-jie segera akan berlalu. Bilamana tahu demikian, tak mungkin ia melakukan penipuan untuk mendapatkan obat itu.

Andaikata mendapat obat pun tidak semudah itu memberikannya. Ia berpikir demikian karena untuk kepentingan peribadinya.

Mungkinkah sebab di lubuk hatinya sudah mengenal cinta? Memang cinta itu selalu mementingkan diri sendiri? Memang dalam beberapa hari sesudah berkumpul di dalam satu gua, Ia merasakan sesuatu yang sukar dilukiskan dengan kata2, ia terjerat di kancah pergolakan batin usia remaja yang menginjak dewasa. Ia merasa sayang dan enggan berpisah dari tubuh si gadis.

Hal demikian meresap di jiwanya, mungkin Ia akan membantah kalau ditanya orang lain, tapi ia tidak akan membantah bilamana dirinya sendiri yang bertanya!

"Bilamana Cici ingin mencari Na Lo Cianpwee, bolehkah aku menemani pergi?”

Cui-jie mendorong Kiu Heng dari rangkulannya, Ia mendelik.

"Kau tidak boleh pergi denganku! Ilmi yang kau pelajari belum sempurna, karena itu kularang mempelajarinya sampai di tengah jalan dan berhenti! Di samping itu, kau harus mengerti kesukaran hatiku."

Hampir2 Kiu Heng menangis.

"Aku mengerti kandungan hatimu. Kau takut berjalan sama2 dengan seorang yang dianggap musuh sekalian kaum Bu Lim, bukan? Karena...”

"Ah! Thian!" seru Cui-jie, "kau anggap aku sebagai manusia macam apa? Aku sudah mengatakan semuanya kepadamu! Di depanmu aku mengatakan jiwaku dari beku bisa mempunyai perasaan antara sedih dan duka, ini sudah cukup menerangkan perasaan dan jiwa hatiku. Tapi budi kebaikan guruku tinggi seperti gunung dalam sebagai lautan. Aku harus mengenal budi, baru bisa hidup tenteram! Mengertikah apa yang kukatakan? Sesudah kuketemukan guruku, aku akan mendampinginya sampai ia meninggalkan dunia ini. Sesudah itu aku bisa turun gunung mencarimu!"

Kiu Heng merasa sedih dan kecewa, Ia mengucurkan air mata haru sambil menganggukkan kepala.

"Jika cici berlalu aku pun akan berlalu. Aku tidak mau tinggal di dalam gua ini barang sejenak pun!"

Perkataannya diucapkan demikian tegas.

Cui-jie goncang mendengar ketetapan si pemuda.

"Balklah, aku menemanimu beberapa saat lagi, sesudah kau beres mempelajari ilmu di sini baru kita berlalu. Sebelum itu aku harus berterang dulu padamu; se-kali2 tidak boleh mencegah diriku mencari suhuku. Di balik itu kau sendiri harus tahu diri sendiri pula, sakit hatimu yang dalam, harus kau selesaikan dengan memuaskan. Bilamana tidak, sama dengan kau seorang yang tidak berbakti pada orang tuamu!”

Tiga hari kembali berlalu. Kiu Heng sudah bisa menotok mati seratus duapuluh lebah2, boleh dikatakan ilmunya sudah setarap dengan Na Wan Hoa. Hanya saja kepalanya tidak urung terkena tiga kali antupan, hal ini disebabkan kerisauan hatinya juga.

Malam harinya bulan terang benderang, pemandangan gunung indah sekali. Kiu Heng dan Cui-jie duduk di mulut gua menikmati pemandangan alam yang romantis. Malam semakin larut, tapi tidak terpikir oleh mereka untuk beristirahat.

"Pemandangan bulan yang romantis ini membuat orang mabuk! Entah tahun kapan, bulan kapan kita bisa bergembira lagi seperti sekarang?” kata Cui-jie.

Belum sempat Kiu Heng menjawab dari udara terdengar suara.

"Kiu koko! Kiu koko! Kau dimana? Kau dimana?”

"Adikku, suara ini sudah tiga malam terdengar terus! Kenapa kau tidak mau menemuinya? Mungkin ia mempunyai urusan yang penting dan luar biasa untuk disampaikan kepadamu, lekaslah kau menemuinya !"

Kiu Heng mengenali suara panggilan itu tak lain dari Ping Ping. Ia heran kenapa di malam hari gadis itu mencarinya dan sudah tiga malam me-manggil2 terus.

"Ping Ping adalah gadis yang baik, mari kita ketemukan ber-sama2,“ kata Kiu Heng.

"Kau lihat dandananku semacam ini, mana kotor mana buruk, bagaimana enak menemui dia?”

Kiu Heng menatap pada Cui-jie, tanpa terasa jadi bersenyum. "Lekaslah, kau ketemui Ping Ping," desak Cui-jie.

Kiu Heng terpaksa keluar dari dalam gua.

"Ping Ping Kounio, aku di sini!” teriaknya.

Berbareng dengan habisnya perkataan, tampak Ping Ping datang ke arahnya dengan cepat.

"Kiu Koko! Setengah mati aku mencarimu!” serunya seraya menangis tersedu-sedu.

Kiu Heng merasa Ping Ping seorang gadis yang lucu, Ia tersenyum dan me-nepak2 pundaknya.

"Ping Kounio jangan menangis! Soal apa membuatmu bersedih hati? Katakanlah padaku!“

Ping Ping semakin sedih, ia menangis meng-gerung2, lalu memeluk Kiu Heng erat2, membuat Kiu Heng semakin tak mengerti. Pemuda kita yang belum pernah berkenalan dengan sifat perempuan, tidak bisa mengucapkan sepatah katapun untuk menghibur. Ia pun turut berdiam diri seperti patung melihati Ping Ping yang bersedu sedan.

"Untuk kau Kiu koko, aku tak mempunyai rumah untuk ditinggali lagi!" kata Ping Ping sambil ber-isak2.

Kiu Heng terpekur kaget. "Kenapa menyangkut aku? Kenapa ia tidak bisa pulang lagi? Mungkinkah dikarenakan sebutir pel Kie-hun-kui-goan-tan. Ia diusir Tiong Peng Hoan? Ah tak mungkin!" pikirnya berbantahan di dalam diri sendiri.

"Ping Kounio, menangis tidak bisa menyelesaikan urusan. Mari duduk, kau tuturkan apa yang menyebabkan kau bersedih hati!“

Dengan cepat Ping Ping berhenti menangis.

"Kiu koko, aku tidak menyalahkan padamu, semuanya ini terjadi terlalu mendadak dan di luar dugaan, karena terdorong emosi aku tak bisa ber-kata2 begitu bertemu. Dalam hal ini kuminta kau memaafkan aku!" Kem bali Ia menangis.

Aku paling sebal menghadapi orang yang suka menangis, kalau kau menangis terus, aku tak suka meladeni maka itu diamlah dan teruskan ceriteramu!"

"Baik, aku tak menangis lagi,” kata Ping Ping, "Pek Tok Thian Kun dua hari tiga malam mencarimu di Thian Tou Hong dengan hasil hampa. Lalu Ia datang ke Lian Hoa Hong, dan menuduh ayahku menyembunyikan kau, sehingga terjadi peristiwa yang mengerikan!”

Kiu Heng mengerutkan kening.

"Sesungguhnya aku tidak berada di Lian Hoa Hong, kenapa Pek Tok Thian Kun begitu kurang ajar sekali membuat onar, mentang2 memiliki Bu Lim Tiap!”

"Ya, sebab Bu Lim Tiap dipandang sebagai pusaka rimba hijau yang harus dipatuhi segenap orang Bu Lim makanya ia bertingkah ugal-ugalan. Tanpa alasan ia mendesak ayahku. Katanya Lian Hoa Hong dan Thian Tou Hong di bawah kekuasaan ayahku, membataskan jangka semalaman, untuk menyerahkan kau padanya, bilamana tidak ia bisa menggunakan Bu Lim Tiap mengumpulkan golongan putih maupun hitam untuk menghukum ayahku. Hal ini membuat ayahku sengit, segera ia menghajar Pek Tok Thian Kun, pertarungan seru berkobar seketika juga. Dalam hal ini ayahku hanya ingin memberikan pelajaran saja atas sifatnya yang gila2an. sehingga turun tangan tidak terlampau keras, sebaliknya Pek Tok Thian Kun secara ganas dan kejam menghantam ayahku.”

Ping Ping tak meneruskan perkataannya, karena tersedak sedu-sedannya.

"Lalu bagaimana?" tanya Kiu Heng tak sabaran.

"Dalam keadaan terpaksa ayahku melancarkan serangan dahsyat, membuat Pek Tok Thian Kun terkejut dan merat sambil terbahak-bahak!”

"Dengan demikian, bukan bereskah soal itu?”

"Baru saja Pek Tok Thian Kun berlalu, tak seberapa lama, ayahku gemetar sekujur badan, matanya mendelik, sepatah katapun tak bisa diucapkannya lagi, ia..... ia.... segera meninggal dengan mengenaskan!”

"Apa? Meninggal?”

"Seluruh Lian Hoa Hong menjadi gempar karena kematian ayahku," kata Ping Ping.

"Aku pernah mendengar ceritera ayahku, di Lian Hoa Hong terdapat empang teratai, bilamana airnya kering, menandakan Lian Hoa Hong akan mengalami bencana. Berbareng dengan kejadian matinya ayahku, aku teringat kata2nya itu, aku mencari In In untuk melihat empang itu, tapi tidak menemuinya, terpaksa kudatang sendiri.

Apa yang dikatakan ayahku sedikitpun tidak salah, nyatanya empang itu airnya kering. Tengah kumerasa heran, tiba2 dari atas Lian Hoa Hong terdengar jeritan2 yang memilukan hati. Aku terkejut, cepat2 kembali ke atas.

Kembali terdengar bunyi "beng" yang luar biasa kerasnya, lalu terlihat api menjulang ke langit, sehingga aku terkejut tak alang kepalang, sukmaku seperti hilang, sedangkan hatiku hancur luluh tak kepuguhan.

Kala kusampai di atas puncak, yang terlihat hanya api. Sedangkan ibu, In In, Lim Siok-siok dan jenazah ayahku sudah hilang..... saat inilah kumendengar suara yang menggila, tertawa Pek Tok Thian Kun dan dekat berpindah semakin jauh, lalu hilang tak terdengar..."

Selesai mendengar, Kiu Heng mengerutkan keningnya, matanya bersinar tajam dongkol dan geregetan. menatap pada sebatang pohon besar yang dianggapnya seperti Pek Tok Thian Kun.

"Ping Kounio, kejadian sudah demikian maunya menangis teruspun tidak berguna. Kuatkanlah hatimu dan busungkanlah dadamu menghadapi kenyataan yang getir ini. Aku sendiri sejak kecil kehilangan kasih sayang orang tua dan sanak saudara, karena itu kusudah merasakan penderitaan dan kesengsaraan menjadi anak yatim piatu. Legakan hatimu, hari kemudian aku bisa turut membantu dirimu!"

"Kiu koko! Disebabkan mencarimu, tiga hari tiga malam aku tidak pernah makan, kini aku merasa lapar betul!”

"Ah, kau terlalu bodoh tiga hari tidak makan bukan soal main2, lekas ikut denganku!"

Mereka segera menuju ke gua, jauh2 Cui-jie sudah memandang kedatangan mereka. "Belum terang tanah, kenapa sudah kembali lagi?" tegurnya dengan ter-gesa2.

Cui-jie menguatirkan Kiu Heng ketemu Pek Tok Thian Kun, kini dilihatnya si pemuda kembali sambil bertuntun tangan dengan Ping Ping, hatinya merasa kecut. Sesudah mengatakan perkataan gurau untuk menghilangkan perasaan hatinya, ia terdiam bengong.

Kiu Heng mengerti apa yang menyebabkan Cui-jie demikian. Ia tersenjum saja. Lalu dengan Ping-Ping mukanya menjadi merah kemaluan. Ketiga orang itu masuk ke dalam gua, lalu duduk di tempat masing2. Dengan sungguh2, Kiu Heng berkata: "Cui Cici, kini bukan saatnya bergurau, kau harus tahu dalam beberapa hari ini Lian Hoa Hong mengalami malapetaka hebat, hal ini akan kuterangkan dengan teliti. Sekarang, kau berikanlah dulu secangkir madu pada Ping Kouwnio, karena sudah tiga hari Ia tidak makan."

Cui-jie mengerti keadaan sesungguhnya sangat berat, tanpa banyak tanya ia masuk mengambil madu dan menjerahkan pada Ping Ping.

"Eh, lekaslah kau makan!" Ping Ping menyambut, lalu mengatakan dengan perlahan dan hampir tidak terdengar. Kiu Heng menyaksikannya menjadi geli.

"Ah, kamu sebagai juga anak kecil, kenapa jadi uring2an? Sejak hari ini, kamu harus akur satu sama lain!" kata Kiu Heng di dalam hati.

Sesudah Kiu Heng melihat Ping Ping selesai menghirup madu lalu menceriterakan kejadian di Lian Hoa Hong dengan panjang lebar dan teliti pada Cui-jie. Hal ini membangkitkan lagi kesedihan Ping Ping, sehingga ia menangis. Terkecuali itu Cui-jie pun turut berduka.

"Tian Tou Hong dan Lian Hoa Hong, didiami keluarga Na dan keluarga Tiong yang tadinya serumah, dikarenakan soal salah paham, sepuluh tahun lebih tidak berhubungan satu sama lain. sehingga kini rnengalami bencana yang tidak diinginkan. Ping-moy, legakan hatimu, kau boleh turut denganku untuk melewatkan hari yang akan datang! Aku lebih tua darimu beberapa tahun, sejak hari ini kau boleh membahasakan aku Cici!”

"Cui-Cici, atas kemurahan hatimu aku mengucapkan banyak terima kasih!" kata Ping Ping.

Kiu Heng tersenyum simpul penuh kemenangan.

"Untuk kebaktianmu pada gurumu, aku tidak bisa mencegah," katanya.

"Kau sudah menjanjikan Ping Kounio turut denganmu, kau bawalah dan ajaklah menemui suhumu, agur ia bisa mempelajari ilmu silat terlebih dalam, untuk keperluan di kemudian hari!"

"Aku sudah menyanggupi kamu berdua," kata Cui-jie, "tapi perpisahan ini sampai kapan bisa bertemu lagi, sebelum itu kita berjanji, tiga tahun kemudian, kita berkumpul lagi di See Ouw pada malaman Tiong Ciu. Adikku, kau pikir bagaimana?"

"Bagus, tiga tahun kemudian kita berjumpa, bilamana tidak bertemu tidak akan berlalu!" kata Kiu Heng memastikan.

Hari kedua, ketiga orang itu sudah bangun.

"Ping-moy, kau minum lagi madu ini,” kata Cui-jie. "Di pegunungan ini sukar mendapatkan makanan.”

"Mungkinkah kita akan berpisah secara demikian?" tegur Kiu Heng.

"Ya,” jawab Cui-jie dengan sedih.

"Aku lupa," kata Kiu Heng "kamu pergi, apakah mempunyai uang?”

Cui-jie dan Ping Ping saling menatap.

"Kami selamanya hidup di pegunungan, untuk apa mempergunakan uang?” kata mereka hampir berbareng.

"Tapi sesudah meninggalkan gunung dan masuk ke kota, segalanya harus memakai uang? Lebih2 kamu kaum perempuan. Tidak ada uang akan lebih sengsara! Mari ikut denganku mencari uang, sekalian menghantarkan kamu berangkat!"

"Ikut mencari uang? Di dalam gunung yang sambung menyambung ini, dari mana uang bisa didapat?” tegur Cui-jie.

"Aku mernpunyai daya!" kata Kiu Heng dengan yakin.

Mereka segera meninggalkan gua dengan ilmu meringankan tubuh, puncak demi puncak dilalui mereka. Kala matahari condong ke barat, dan angin senja bertiup nyaman, keadaan di gunung terasa semakin dingin, Kiu Heng mengajak kedua gadis berlari terus dan tiba di Pek Tio Hong.

Pek Tio Hong yang sudah terbakar hangus, masih gundul, tidak ada rumput maupun pohon. Kiu Heng berdiri di atas puncak, ia mengenang kembali pada Ang Hoa Kek, ia menarik napas panjang tanda berduka.

Cui-jie dan Ping Ping merasa heran.

"Kenapa baik2 menarik napas duka?” tegur mereka serentak.

"Aku pernah mengalami bahaya kebakaran dan keracunan di bukit ini, bilamana tidak ada seorang Lo Cianpwee yang menolong jiwaku, siang2 sudah melayang. Aku selamat dan kematian berbalik Lo Cianpwee itu yang binasa. Ia binasa secara menyedihkan sekali, sampai pun tulangnya pun tidak bisa dikubur. Keadaan lalu berbayang membawa kesedihan, hatiku sesak dan menarik napas."

"Kau bersedih karena beralasan, menandakan hatimu yang suci,” kata Cui-jie, tapi hari sudah mendekati malam, bagaimanapun kita harus mencari tempat bermalam. Dan tidak boleh mematung terus di bukit gundul ini sambil menarik napas !"

"Kau percayalah, aku mengajakmu pasti bisa memberikan makanan, untuk bermalam tempat sudah tersedia. Nah, di bawah selokan gunung itulah kita bermalam. Di situ sering2 terlihat binatang hutan minum air, kamu boleh menangkapnya barang dua ekor untuk menangsel perut. Sedangkan aku akan mencari tempat beristirahat di tempat lain, tak lama lagi segera datang!”

Habis berkata Kiu Heng berlalu, Cui-jie dan Ping Ping menurut kata Kiu Heng turun ke dekat selokan.

Dalam sekejap Kiu Heng sudah tiba di dalam gua tempo hari, ia menggeser batu besar. Keadaan di dalam masih tetap seperti sedia kala, menandakan sejak ditinggalkan, gua itu belum ada orang kedua yang memasukinya. Sesudah Ia mengambil segala benda berharga, segera meninggalkan gua dengan cepat.

Cui-jie dan Ping Ping sudah memanggang seekor rusa kecil. Mereka terbahak2 melihat Kiu Heng. Kiranya kantong berikut bajunya sudah dipenuhi emas dan segala benda berharga lainnya sehingga berenggulan tidak rata dan aneh kelihatannya.

Benda2 itu dikeluarkan satu persatu, Cui-jie terkesiap melihat semua itu tak henti2nya Ia memegang dan me-lihat2 dengan girang. Sedangkan Ping Ping seperti tidak tertarik, ia tersenyum saja.

Begitu terang tanah, mereka segera berpisah dengan bersedih hati.

Sejak saat itu, Kiu Heng tinggal di dalam gua. Ia melatih diri memperdalam ilmunya. Ia mempelajari gambar2 di atas tembok dengan tekun di samping melihat keterangan yang tertera di Bu Lim Tiap. Di samping itu, ilmu Cit-Cuat-kiam dan Sam-cee-pan-goat dimatangkan pula, sehingga Ia memiliki ilmu lebih sempurna dari sebelumnya.

Waktu berlalu dengan cepat, setengah tahun dilalui tanpa terasa. Kiu Heng sudah bosan tinggal di dalam gua, Ia meninggalkannya untuk berkelana lagi di dunia Kang Ouw.


***

Musim gugur telah tiba, telaga See Ouw banyak dikunjungi para pelancong dari berbagai tempat. Kupel2 dan restoran2 di pesisir pantai penuh sesak para pengunjung.

Seorang muda tampak di kupel yang terletak di tengah2 danau. Pakaiannya sangat mentereng, Ia menghadapi berbagai hidangan, sambil menundukkan kepala, pemuda itu bukan lain dari Kiu Heng adanya. Ia tidak memperhatikan para tamu lain yang asyik mengobrol ke barat ke timur sambil menikmati pemandangan alam yang maha indah.

Tiba2 tampak sesosok tubuh berkelebat ke meja Kiu Heng, gerakannya sangat cepat. Kiu Heng kagum melihatnya. Sebelum Ia berkata, orang yang datang itu sudah membuka mulut.

"Ha... siluman monyet, rupanya kau sudah kaya! Setengah tahun tidak bertemu, sudah mentereng betul. Kau pasti dipungut anak seorang hartawan, yah!”

Kiu Heng mengenali orang itu bukan lain dari si bungkuk atau To Pei Lojin yang diketemukan di Pek Tio Hong.

Ia merasa tersinggung mendengar ejekan itu, dengan gusar ia membentak: "Tak perlu kau usilan!"

"Oh, kau malu mengatakannya? Mungkin juga kau mendapat rejeki tak halal dengan jalan menimpah!”

Kiu Heng menatap keempat penjuru, untung keadaan sangat gaduh sehingga perkataan si orang tua tidak ada yang dengar.

"Oh, yang jadi maling selalu ketakutan dan tak tenteram, sehingga takut didengar orang!" ejek To Pei Lojin.

"Hei Bungkuk! Kita tidak bermusuhan apa2, kenapa kau mengganggu terus padaku?"

"Ini yang dinamai karena karma, dalam penitisan dulu kita berjodoh, arwah kita menitis kembali sehingga bertemu lagi! Siapa suruh kau memanggil aku si bungkuk! Kau harus tahu yang memaki aku si bungkuk seumur hidup akan kulibat terus, terkecuali ia sadar dan menghaturkan maaf sambil soja dan paykui, aku baru membebaskannya. Siluman monyet, kalau kau merasa takut, lekas2lah soja paykui!"

"Siapa yang takut padamu? Mau berkelahi?"

"Bagus! Itu yang kucari! Siapa yang kalah harus menjadi murid, yang menang menjadi guru! Sebentar malam kita bertemu di Hong Hong San, bagaimana?” kata si orang tua. sehabis berkata segera berlalu.

Malam harinya, Kiu Heng mengenakan pakaian malam, dengan cepat ia berlari ke atas gunung, keadaan sangat, sunyi dan sepi. Ia merasa heran kenapa si bungkuk belum juga datang. Sebelum ia bisa menggerutu, tampak pepohonan bergoyang menyusul terdengar bunyi aneh, tahu2 si orang tua merosot jatuh dan hinggap di atas batu.

Dengan ter-senyum2, Ia berkata: "Siluman monyet, kau bisa tepat datang di sini. Aku mengucapkan syukur!"

"Memang kau kira aku takut dan tidak datang?” jawab Kiu Heng, seraya maju menyerang.

"Sabar, sabar. Kau jangan seperti kunyuk yang tidak sabaran. Kita harus berjanji terlebih dulu, dalam pertandingan ini asal kena kena towel sudah cukup, aku tak mau mengadu jiwa dengan seekor siluman monyet, tahu?”

Kiu Heng tidak menjawab.

"Siluman monyet, mari maju!" tantang si orang tua,

"Tempo hari aku kalah, sekali ini kau jangan harap menang!" bentak Kiu Heng, seraya mengebut dengan lengan kanan, semacam tenaga tersembunyi yang keras menyambar datang.

Si orang tua cepat2 mengangkat lengan kirinya dan didorongkan dengan mendadak, sehingga pukulan keras dilawan keras.

"Blang!”

Angin pukulan yang bentrok berbunyi keras. Masing2 tidak ada yang terpukul mundur.

Satu sama lain maju merangsak tak mau mengalah, kepandaian yang luar biasa dikeluarkan, keadaan mereka berimbang, semakin bertarung kekuatan mereka semakin hebat.

Dalam setengah tahun Kiu Heng sudah mempelajari matang sekalian ilmu silat yang terdapat di dinding gua, tapi belum pernah dipergunakan untuk melawan musuh. Kini Ia bertemu To Pei Lojin yang tangguh, dan merasa tidak terdesak, hatinya girang. Bagaikan ikan yang dapat air, ia semakin bersemangat menghadapi musuhnya jurus demi jurus.

Sejak menerjunkan diri ke sungai telaga, si orang tua belum pernah mendapat tandingan yang setimpal, kini ia heran betul menghadapi si pemuda yang bisa maju pesat dalam jangka setengah tahun; lebih2 pukulan2 yang dilancarkan Kiu Heng membuatnya heran dan tak mengerti.

Tiba2 Kiu Heng mengundurkan diri sewaktu perkelahian berjalan sedang seru2nya.

"To Cianpwee,” katanya mengubah sebutan, "dalam tangan kosong kita seri, bagaimana kalau memakai senjata?"

"Bagus, kenapa sekarang kau tidak memaki aku lagi?" kata si orang tua. "Siau-ko memain senjata bukan soal yang gampang, bisa2 kita mati tak keruan!”

"Biar mati pun aku tidak menyesal!" jawab Kiu Heng dengan getas.

"Ha! Kau masih muda, belum kawin sudah mati, sayang bukan?"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar