Perkataan ini lebih berhasil dari pada In In.
Kiu Heng menjadi lunak dibuatnya, berpaling, dan seperti ingin
mengatakan sesuatu. Tapi menjadi urung begitu merasakan lengan si nenek yang
memegang pergelangannya terasa sangat halus dan hangat. Aliran itu menembus
sampai di lubuk hatinya. Ia terkejut dan tidak bisa habis pikir lengan seorang
nenek yang keriput bisa demikian hangat dan lunak.
Tiba-tiba terdengar bunyi: "cring" dua kali dari suara
Kim.
Si orang tua berjanggut indah begitu mendengar suara ini segera
memegang lengan In In dan Ping Ping.
"Lo Sianseng sedang memanggil kalian, hayo lekas pulang!”
In In berontak-rontak.
"Lepaskan lenganku’! Lepaskan! Aku tak maupergi!"
Ping Ping tidak merontak-rontak, Ia menatap Kiu Heng sambil
berkata:
"Kiu Koko, kuharap kau tidak turut dengannya, ia adalah
musuh dari kami, sedangkan Kiu Koko adalah kawan kami. Karena itu, kuharap
jangan turut dengannya!”
"Cring! Cring!" kembali terdengar bunyi Kim.
"Lo Sianseng sudah memanggil kalian, kalau masih membandel
jangan sesalkan tindakanku!"
In In tidak berani merontak-rontak lagi, Ia memandang pada Kiu
Heng.
"Kalau kau ikut si nenek iblis, aku akan membencimu seumur
hidup!"
Sedangkan Ping Plng masih tetap berlaku lemah lembut.
"Kiu Koko, kuharap kau jangan ikut dengannya, bolehkah?”
Sebelun suara dua gadis habis dari pendengaran, orang tua
berjanggut indah sudah membawanya pergi, layap2 masih terdengar suara mereka
yang mengatakan:
"Kiu Koko, kuharap jangan ikut dengannya!" "Kalau
kau ikut dengannya, aku akan membencimu seumur hidup!"
Kalimat2 ini seperti me-ngiang2 di dalam telinga Kiu Heng, di
dalam hatinya merasakan seperti manis dan pahit, seperti kawan dan musuh, ia
tidak dapat membedakan, ia mabuk tak keruan!
Tiba2, ia menatap pada si nenek yang tengah tersenyum.
Senyum kemenangan atau senyum apa, Kiu Heng tidak bisa
membedakan, karena otaknya sudah gelap dan mabok.
"Adik kecil, mari kita berlalu."
Sebelum Kiu Heng bisa berkata baik, terlebih dulu sudah
berteriak : "Aduh!"
Kembali ia muntah darah dan jadi pingsan
Ia tidak mengetahui berapa lama sudah berlalu, tiba2 Kiu Heng
merasakan semacam cairan harum yang manis per-lahan2 masuk ke kerongkongannya.
Ia menelannya dan merasakan nyaman sekali, waktu Ia membuka
mata, tampak sebuah lengan halus yang putih tengah memegang gelas memberikan
obat padanya.
Sesudah minum obat, Kiu Heng merasakan dadanya menjadi lapang,
lengannya pun menjadi baikan Sesudah Kiu Heng menceguk habis, lengan putih yang
halus itu pun bergeser pergi. Ditatapnya lengan itu dengan penuh perhatian,
kiranya adalah lengan seorang gadis berusia tujuh delapan belas tahun.
Si gadis berambut hitam, cantiknya luar biasa, tapi bersifat
dingin dan tidak menarik seperti gadis kebanyakan.
Kiu Heng menatap kepergian si gadis. Setelah itu Ia mendengar
percakapan dari kamar sebelah yang gelap. "Suhu! Ia sudah siuman!"
"Siuman? Kalau begitu lekaslah suruh dia berlalu! Kita tidak bisa
menahannya lama2!" jawab seseorang dengan suara parau.
Kiu Heng mengetahui yang berkata dengan suara parau itu, adalah
seorang berilmu dalam yang tinggi, karena suaranya me-ngiang2 di dalam
telinganya.
Ia kaget, karena mengenali suara itu adalah suara si nenek yang
jelek. Oh, kiranya ini rumahmu, dan kau membawaku kemari!" pikirnya.
Kembali terdengar lagi suara si nenek.
"Tak perlu berkata demikian di depan mukaku, sekali
kubilang tidak tetap tidak. Ia sudah ditolong, boleh merasa beruntung besar!
Karena itu, lekas suruh Ia pergi kalau sudah siuman! Se-kali2 jangan membuat
aku gusar.....”
Perkataan ini tak ubahnya seperti parang yang tajam menusuk ke
hati Kiu Heng membuatnya menjadi gusar.
"Aku tidak meminta datang kemari, kau sendiri yang
membawaku! Aku tidak meminta kau obati, kau sendiri yang mengobati. Aku tak
membutuhkan rasa kasihan orang. Kau ingin kuberlalu, segera aku bisa pergi,
karena akupun tidak berpikir untuk tinggal di sini selamanya! Tak heran In In
dan Ping Ping mencegah aku kemari, kiranya kau adalah nenek jahat! Kau
menolongku karena takut hilang muka di depan orang2 Lian Hoa Hong. Hm! Kau kira
aku bisa meratap? Kau jangan bermimpi, aku tidak membutuhkan belas
kasihanmu...." pikirnya.
Ia berpikir dan berpikir, lalu turun dari pembaringan yang
beralasan rumput kering, suara dari kamar sebelah masih terdengar tapi tidak
setegas semula, karena telinga Kiu Heng seperti menjadi tuli disebabkan gelora
kemendongkolan yang berkobar di dalam hati.
Ia masih merasakan lengan kirinya sakit, menyatakan sakitnya
belum sembuh betul, tapi ia tidak memperdulikan ini. Dengan mengertekkan gigi,
Ia turun terus, tiba2 ia mendengar lagi perkataan dari sebelah.
"Suhu, kau harus berpikir sedikit, aku bukan mencegah agar
ia tak berlalu, tapi karena hal yang tiga tahun ini disebut panjang ya panjang,
disebut pendek sekejap mata bisa berlalu. Tapi, bagaimana dengan kaki suhu,
dapatkah sembuh seperti sedia kala? Merupakan hal yang tidak bisa diramalkan,
tapi kalau tidak sembuh, kita harus bagaimana?"
"Cui-jie, kau bernyali besar berani memakiku?"
"Bruk!" sekali.
Kiu Heng tahu si gadis berlutut sambil mendatuhkan diri. Kini ia
menjadi bingung, dirinya tak perlu dikasihani orang, tapi si gadis itu
membuatnya kasihan. Ia heran kenapa si gadis mau meratap dan meminta kasihan
pada suhunya untuk dirinya?
"Suhu, biar Cui-jie bernyali besar pasti tidak berani
menjumpai kau si orang tua! Suhu harus berpikir dengan cermat, bagaimana
baiknya kalau kaki itu tidak sembuh juga?”
"Biar bagaimana, aku tidak mau menahannya, lebih2
mengandalkan seorang anak kecil!”
"Suhu, kau belum melihatnya bukan?"
Kiu Heng merasa heran, kenapa Cui-jie mengatakan suhunya belum
pernah melihat dirinya? Bukankah Ia membawanya kemari? Kalau begini lebih baik
kupergi saja dari sini, tak perlu mengucapkan segala terima kasih!
Per-lahan2 Ia menarik pintu, baru saja akan keluar dari kamar,
tlba2 di depan pintu menghadang seseorang yang bukan lain dari pada Cui-jie.
"Kiu Heng, percakapan kami mungkin kau sudah dengar semua
bukan? Dapatkah kau menerima sedikit penjelasan? Kini guruku ingin melihatmu
barang sekali, karena itu kau jangan gusar dulu, sesudah suhuku melihatmu, aku
dapat menjelaskan per-lahan2!”
Kiu Heng bertabiat angkuh dan keras, tapi terhadap kelunakan ia
tidak berdaya. Segala kegusarannya seperti hilang begitu mendengar perkataan
halus si gadis.
"Baik! kulihat si nenek jelek itu, apa yang akan dikatakan
padaku, bilamana mendongkolkan, aku segera berlalu. Bilamana ia memohon dengan
halus, aku bisa bertindak melihat suasana!" pikirnya.
Cui-jie segera menuntun Kiu Heng ke dalam kamar. Lengan si gadis
yang lembut mengalirkan hawa hangat merembes ke dalam hatinya, ia pernah
merasakan kehangatan yang demikian unik, tapi ia lupa dimana mengalaminya.
Tanpa terasa lagi Ia menatap dengan penuh perhatian pada wajah Cui-jie.
Begitu mereka masuk ke kamar, si nenek menatap pada Kiu Heng
dengan sinar mata yang tajam, tak henti2nya dari atas ke bawah silih berganti.
Si nenek menarik napas, lalu memeramkan kedua matanya dan berkata seorang diri:
"Aneh! Aneh! Kenapa bisa terjadi hal ini? Kenapa bisa
begini?"
Perkataannya ini diucapkan demikian halus, tapi Kiu Heng dapat
mendengarnya dengan tegas. Ia menjadi heran kenapa si nenek bisa mengucapkan
kata2 yang demikian, agaknya seperti belum pernah melihat dirinya saja. Ia
heran dan tidak habis mengerti apa yang dikandung hati si nenek. Apa yang aneh
apa yang tak mungkin?
"Cui-jie," kata si nenek, "ajaklah ke depan untuk
beristirahat! Segala urusan boleh kau sampaikan sesudah hari terang!"
Cui-jie mengajak Kiu Heng keluar gua, lalu masuk ke sebuah
gubuk.
"Kau tiduran sejenak, tak lama lagi aku datang!” sehabis
berkata Cui-jie segera berlalu.
Sambil menatap kepergian si gadis, di dalam hati Kiu Heng timbul
berbagai pertanyaan. Ia heran kenapa di Thian Tou Hong maupun Lian Hua Hong
berdiam orang yang aneh2.
Si orang tua berjanggut indah, In In dan Ping Ping, si nenek
yang berparas buruk dan Cui-jie, apa sangkutan antara mereka? Semuanya sukar
ditebak dan diraba, semakin diingat semakin kusut otaknya.
Tak selang berapa lama, sesosok bayangan hitam menghampiri
dirinya, pikirnyaa Cui-jie yang datang, tapi ia menjadi kaget, karena yang
datang sesungguhnya adalah si nenek berparas buruk.
"Untuk apa kau datang?" pikirnya heran.
"Adik kecil, kau kira aku siapa?” tanya si nenek dengan
suara parau.
"Kau belum pernah mengatakan dirimu siapa? Mana
kutahu!?"
"Benar2kah kau tidak tahu? Adik kecil, aku akan memberi
tahu!”
"Siapa dirimu? Apa hubungannya denganku, mau kasih tahu
atau tidak, terserah padamu sendiri," pikir Kiu Heng.
"Adik kecil, kalau kau tidak tahu aku siapa, kenapa kau
tidak menjawab?”
"Apa yang harus kuucapkan, aku sudah mengatakan tidak tahu?
Apa hubunganmu denganku, sampai mendesak ber-ulang2!”
"Tolol, kau jangan berpikir yang bukan2!"
Suara ini berubah dari parau menjadi girang.
"Oh, kiranya Cui-jie!" teriak Kiu Heng dengan kaget.
Karena saat ini si nenek sudah mencopot kedoknya dan berubah menjadi Cui-jie.
"Kau berani memanggilku Cui-jie?"
"Ah! Tidak! Tidak! Cui Cici, Heng-jie salah sebut karena
kaget!"
Cui-jie tidak menjawab tapi dari parasnya yang beku dan dingin
berbayang sebuah senyum, tapi dalam seketika menjadi hilang, dan tampak kembali
wajah bekunya yang tidak menarik.
Cui-jie membuka kedok dan seluruh pakaian penyamarannya serta
sarung tangannya.
Kini Kiu Heng mengerti, suhunya Cui-jie tidak mengenalinya,
karena yang membawa dirinya bukan lain dari Cui-jie sendiri. Tapi ia tidak
mengerti kenapa Cui-jie melakukan penyamaran sebagai gurunya.
"Sekarang aku tak perlu menjelaskan lagi bukan? Tapi
kuyakin kau ingin tahu kenapa aku berlaku demikian. Dalam hal ini aku bisa
menerangkan tapi kau harus meluluskan permintaanku, yakni jangan menceriterakan
hal ini kepada orang ketiga, karena hal ini merupakan kelemahan dari Thian Tou
Hong!"
Kiu Heng mengangguk-anggukkan kepala.
"Baik, kau sudah manggut2, aku boleh merasa puas,"
kata Cui-jie. "Sepuluh tahun berselang, antara Thian Tou Hong dan Lian Hoa
Hong terjadi perselisihan dari soal kecil ini mengakibatkan urusan besar,
masing2 bersumpah tidak mau sama2 berdiri di kolong langit ini. Mereka segera
bertarung hebat. Sesudah berkelahi beberapa kali, tidak tampak yang menang
maupun yang kalah. Mereka berjanji lagi sesudah sepuluh tahun akan bertarung
lagi untuk menyelesaikan ganjelan ini. Saatnya tinggal tiga tahun lagi, hal ini
suhu yang mengatakan kepadaku. Ia mengatakan dengan serampangan sehingga aku
tidak mengetahui dengan terang soal ini sampai se-dalam2nya.
Lima tahun yang lalu, guruku selalu diganggu impian buruk. Tengah
nyenyaknya tidur sering men-jerit2. Bilamana menilai kepandaian guruku, pasti
tidak ada yang ditakuti, tapi kenyataannya bukan saja Ia terjaga dari tidurnya,
bahkan setiap kali seperti kaget dan ketakutan.
Karena itulah mengakibatkan guruku terganggu dari latihannya dan
masuk ke jalan sesat, sehingga kedua kakinya tidak bisa digunakan. Berbareng
dengan itu, ia pun tidak suka bermimpi buruk dan ketakutan. Guruku menjadi
cacat disebabkan penyakit jiwa. Kalau ingin mengandalkan obat biasa untuk
menyembuhkan sudah tak bisa lagi. Menurut guruku, kedua kakinya akan sembuh
sendiri sesudah tiga tahun lagi."
Berkata sampai di sini, Cui-jie menarik napas, kedua matanya
mengawasi kepada Kiu Heng, lalu melanjutkan lagi perkataannya.
"Karena Thian Tou Hong dan Lian Hoa Hong mempunyai
sangkutan berat, dalam pertemuan yang terakhir guruku hanya seorang diri,
karena itu dibolehkan kemana saja Ia hendak pergi, sedangkan orang2 dari Lian
Hoa Hong dilarang datang ke Thian Tou Hong. Tapi ada satu larangan, yakni tidak
boleh sembarangan melukai orang bilamana tidak diperlukan, hal ini disebutkan
guruku sewaktu pertama kali aku menyamar sebagai dirinya.
Ia berkata: Kesatu, sesudah kau menyamar, boleh pergi kemana
saja tanpa mendapat gangguan dari siapa pun. Kedua, sesudah menyamar, aku
disuruh sering2 datang ke Lian Hoa Hong, agar mereka mengetahui bahwa guruku
masih dalam keadaan sehat, sehingga bisa merahasiakan cacat guruku.
Karena disuruh menyamar, sejak kecil aku dilatih ilmu Ginkang
dengan keras, di samping itu aku pun harus mempelajari gerak-gerik dan segala
kelakuannya. Cara melatih diriku mendekati kekejaman, tapi aku tidak menjadi
benci, karena kutahu kesukaran guruku. Aku menaruh simpati padanya.
Kuingat pada suatu ketika, aku pernah membuat guruku gusar, Ia
mengatakan tentang diriku. Katanya aku adalah anak malang yang sudah tak
mempunyai orang tua, sewaktu berusia tiga tahun diketemukan guruku. Karena
menganggap aku berbakat untuk mempelajari ilmu silat, dibawanya ke Thian Tou
Hong. Sesudah memaki panjang lebar dan menuturkan riwayatku, kegusarannya masih
me-luap2. Aku diusir turun gunung. Hal ini adalah kejadian beberapa tahun
berselang. Tapi aku tidak pergi karena kutahu guruku tengah sakit dan terganggu
sewaktu tidur, aku berdiam di dekat rumah gubuk tanpa berlalu.
Pada tengah malam bulan purnama, guruku men-jerit2 dari
mimpinya, begitu ia bangun, tidak terdengar lagi suaranya, cepat2 aku hampiri
gubuk itu, tapi tidak berani langsung masuk, saat inilah kudengar guruku tengah
me-nyebut2 namaku, karena itu tanpa memperdulikan sesuatu, aku menerobos masuk.
Guruku pun menjadi kaget, kulihat ia pertama kali mengucurkan air mata, akupun
merebahkan diri dalam pelukannya dan menangis ter-sedu2. Ku mendapatkan kami
seperti juga seorang ibu dan anaknya yang tengah dirundung malang. Aku tak bisa
pergi lagi dari sampingnya, guruku pun tidak pernah menegur atau memaki lagi
sejak hari itu. Bukan saja demikian, diriku dianggap seperti anaknya, aku pun
memperlakukannya seperti ibu, saling sayang dan mengasihi dengan hati ikhlas.
Sayang waktu yang demikian manis itu berjalan terlalu singkat.
Guruku memasuki jalan sesat sewaktu berlatih karena terganggu impian2 buruk. Ia
menderita dan tak ada waktu lagi menghiraukan aku, sebaliknya aku berlebih
telaten merawat dan mengurusnya. Di samping bertambah giat belajar silat.
Demikianlah kisahku yang sudah lampau!"
Kiu Heng mendengari ceritera Cui-jie dengan terharu, sebaliknya
yang ceritera tetap dengan wajah beku tak berubah.
"Mungkinkah sampai wajah beku yang demikian dingin ini dipelajari
juga dari gurunya?" pikir Kiu Heng.
Pada hari itu aku tengah berada di dekat air terjun, kulihat kau
berlalu dengan ginkang yang luar biasa, belakangan kulihat kau dicelakakan si
orang tua berjanggut indah. Karena itu kutolong dirimu, tak kira sesudah kucuci
wajahmu, mendapatkan di mukamu bersemu hijau yang samar2. Menurut guruku,
bilamana seseorang sudah memiliki ilmu dalam yang luar biasa baru bisa berwajah
demikian. Aku heran dan tidak mengerti, benar2kah kau memiliki ilmu yang
tinggi? Kenapa kau bisa dilukakan mereka? Bahkan terhadap pukulan si gadis saja
kau seperti tak tahan?"
Ia menjadi girang mendengar keterangan Cui-jie bahwa dirinya
memiliki ilmu yang tinggi, tapi ia tidak menjawab pertanyaau Cui-jie.
"Cui Cici, bagaimana ilmuku? Aku sendiri tidak tahu, tapi
kuyakin tak bisa seperti yang Cui Cici sebutkan. Karena itu, kumohon di hari2
kemudian mendapat bantuan Cui Cici dalam ilmu silat ini!"
Cui-jie menjadi heran, menurut apa yang dikatakan gurunya maupun
pengetahuannya bahwa Kiu Heng memang memiliki ilmu yang tinggi. Tapi kalau
dilihat wajah Kiu Heng yang demikian wajar, sedikitpun tidak berdusta. Karena
inilah ia tidak mau banyak ber-kata2.
"Kau lekas2lah tidur, lukamu akan menjadi sembuh sesudah
tiga hari. Sesudah itu, mungkin kami akan memohon sesuatu kepadamu!”
Sehabis berkata Cui-jie masuk ke kamarnya, sedangkan Kiu Heng
menatap dari belakang dengan berpikir: "Apa yang hendak kau minta dariku?
Mungkinkah soal Lian Hoa Hong? Mereka melihatmu sudah ketakutan, perlu apa
meminta pertolonganku? Dalam perkelahian menghadapi mereka, tak perlu diminta
pun aku bisa menghajar mereka. Si orang tua berjanggut indah hutang pukulan! In
In juga jahat, hanya Ping Ping si gadis lembut, yang baik hati."
Memikir dirinya Ping Ping, Ia merasa jengah dan menyesal
menggamparnya. Hal ini akan diingatnya seumur hidup sebagai penyesalan terbesar
di dalam jiwanya.
Ber-hari2 turun hujan, Kiu Keng tidur nyenyak di atas rumput. Ia
sering bangun dari tempat tidurnya, tapi tidak pergi ke-mana2 karena gangguan
hujan.
Saat ini Kiu Hepg bukan merupakan jembel yang kotor dan dekil,
tapi ia sudah mengenakan pakaian seorang petani pegunungan yang sederhana. Baju
ini adalah pemberian Cui-jie yang didapatnya di desa, sungguhpun tidak pas,
cukup pantas dipakainya. Ia merasa berterima kasih pada si gadis.
"Sejak kecil aku berlatih silat dan tidak bisa membuat
baju. Karena itu kau pasti memaafkan diriku," kata Cui-jie sewaktu
menyerahkan baju itu.
"Cici, hujan2 kau pergi membelikan aku baju, aku merasa
berterima kasih sekali. Aku mengerti dan mengucapkan syukur di dalam hati.
Kenapa kau harus mengucapkan perkataan yang demikian? Aku yang menjadi adik
mengharapkan kau jangan mengatakan demikian untuk kedua kalinya, bolehkah?”
Wajah Cui-jie menjadi merah, sedangkan matanya menjadi hidup,
tapi dalam seketika menjadi hilang kembali. Kiu Heng ingln bertanya tentang
wajah si gadis yang bisa berubah dengan cepat dan selalu beku dan dingin, tapi
ia tidak berani mengetahui persoalan diri si gadis, hanya di dalam hati, ia
ingin bertanya, sedangkan di mulut tak berani berkata-kata!
Beberapa hari kembali berlalu, cuaca cerah, tak hujan tak
berawan, sinar surya yang ke-merah2an menerangi jagat dari ufuk timur.
Kiu Heng mengikuti Cui-jie dari belakang mendekati sebuah bukit.
Dari sini mereka memandang jauh ke muka. Rumput dan pepohonan yang hijau dan
batu yang berserakan menarik perhatian mereka.
Di sebuah bukit yang rata Cui-jie berhenti. Sewaktu ia menoleh
ke belakang tak alang kepalang kagetnya. Pikirnya Kiu Heng yang ditinggalkannya
itu pasti berada jauh di belakang, tak kira tetap berada di sampingnya.
"Adik, kau memiliki ilmu ginkang yang demikian tinggi,
kenapa bisa dilukai si gadis dari Lian Hoa Hong? Andaikata kau tidak memiliki
ilmu yang tinggi toh bisa mengegos menyelamatkan diri, bukan?"
"Cici jangan menertawakan aku, bilamana Cici tidak sengaja
memperlambat kaki tak mungkin aku menyandak. Sedangkan aku kena dilukai si
gadis, karena berkepandaian lebih rendah darinya.”
"Apakah kau berkata secara sungguh2 atau main2?“
"Oh, sesungguhnya ilmu In In tidak seberapa, aku kalah
karena sedang terluka!"
"Dalam beberapa hari lukamu sudah sembuh seperti sedia kala
karena itu aku ingin mencobamu beberapa jurus, dalam hal ini kau tidak boleh
menggunakan segala kepandaianmu. Bilamana kutahu kau tidak mengeluarkannya
semua, berarti tidak menghargai diriku. Karena itu, akibatnya lebih banyak
buruknya daripada baiknya. Kau mengertikah maksudku?"
"Cici, kalau begitu kau ingin menyaksikan kepandaianku,
dari mana aku harus mulai?"
"Dari manapun baik!"
Kiu Heng tertegun sejenak.
"Kenapa kau ragu2, mungkinkah tidak mau bertanding
denganku?"
"Bukan tidak mau tapi bagaimana jadinya andaikata
keterlepasan tangan, mungkin bisa....."
"Mungkin melukai diriku?" potong Cui-jie.
"Kau legakan hatimu, jika kau bisa berbuat demikian, aku
merasa girang dan tidak akan membencimu. Lagi pula suhu mempunyai obat mujarab
yang luar biasa!"
Begitu selesai berkata, tubunnya segera menyergap keras dan
cepat. Kiu Heng memutar mengegoskan serangan baru ia berbalik kembali serangan
sudah menghajar datang, jurus ini membuat Kiu Heng serba susah.
"Plok!" sekali bahu kanannya terkena pukulan. Sungguh
pun tidak berat tapi terasa sangat sakit.
Kiu Heng menjadi sengit, tubuhnya maju melancarkan serangan
tangan, tiga jurus berlalu.
"Adikku, kiranya kau adalah murid dari Bu Tong San tapi
ilmu kepandaian semacam ini se-kali2 jangan dipertunjukkan di atas Oey San, hal
ini bukan disebabkan aku memandang rendah......."
Kiu Heng merasa tersinggung, ia menggereng keras memutuskan
perkataan Cui-jie. Ia tidak memperdulikan bisa membuat Cui-jie luka berat,
tenaganya disalurkan di kedua telapak tangannya.
"Bert! Bert!"
Dua kali, segera menyerang!
Cui-jie tidak mengira kekuatan Kiu Heng, ia terhempas beberapa
tombak.
Dari pada gusar, Cui-jie menjadi girang.
"Adikku, awas atas serangan balasanku!"
Tubuhnya menggeliat di udara lalu meluncur turun dengan
kecepatan kilat di-sela2 tenaga pukulan Kiu Heng. Ringan sebagai walet lincah
sebagai ular, ia mencelos dalam sekejap mata lalu menepak per-lahan2 di tangan
Kiu Heng, lalu melejit lagi sejauh beberapa tombak.
Gerakan tubuhnya, jurusnya yang dipertunjukkan membuat kagum Kiu
Heng yang beradat tinggi. Tapi Ia tidak mau mengalah, Ia pun mengubah gerakan,
tubuhnya mengejar, lengan kirinya memukul dengan telapak tangan, lengan
kanannya menotok dengan jari2nya, gerakannya sangat aneh dan indah, dikata
cepat tidak seperti kilat, dikata lambat tidak lambat. Sukar diegos dan
dihindarkan, lebih sukar pula ditangkisnya.
jurusnya yang sederhana ini membuat Cui-jie pucat pasi,
keringatnya mengucur, cepat Ia membentangkan ilmu Walet Menerjang Angkasa Luas,
semacam ilmu menolong diri dalam keadaan bahaya.
Gerakan yang Kiu Heng pergunakan adalah salah satu jurus dari
pelajaran di dalam gua yang ditemukan di Pek Tio Hong. Dengan tiepat ia pun
mengikuti tubuh Cui-jie, dengan perlahan dan pasti Kiu Heng berhasil membayangi
si gadis, lalu menotoknya secara ringan.
Cui-jie terpaksa turun dari udara dengan heran, ia menatap pada
Kiu Heng, hatinya berpikir bolak-balik, ia merasa heran Kiu Heng bisa
melancarkan ilmu yang maha luar biasa dan indah!
Kiu Heng menjadi heran melihat Cui-jie tidak ber-kata2, kiranya
ia sudah melukainya dan membuat si gadis menjadi gusar, cepat2 ia minta maaf.
"Dalam seketika aku kurang cepat menarik serangan, sehingga
mengenai Cici, harap jangan gusar."
Cui-jie menarik napas sambil meng-geleng2kan kepala, lalu
berkata. "Aku tidak bisa menyalahkan dirimu, tapi kuminta kau mengeluarkan
jurus yang indah semacam ini se-banyak2nya! Agar kubisa membuka mata mengenal
dunia!"
"Tapi sayang sekali, jurus ini hanya sejurus dan kuperoleh
kepandaian ini dengan tak sengaja sampai namanyapun aku tak tahu, mana bisa
kuperlihatkan lagi yang lainnya?”
"Aku bukan anak kecil berusia tiga tahun yang mudah
dibohongi orang. Caramu yang demikian cupat, menyembunyikan pelajaran tak mau
mempertunjukkan membuat hatiku merasa kesal tapi tak ada lain perkataan yang
dapat kuucapkan. Mari kita pulang!" kata Cui-jie.
"Kau tidak mengetahui namanya ilmu yang kau pergunakan,
sedangkan aku pun tidak tahu, sebaiknya pulang saja menanyakan kepada suhu, pasti
Ia akan mengetahuinya!
Cui-jie segera berlalu begitu selesai berkata.
Kiu Heng merasa girang kalau gurunya Cui-jie bisa mengenali Ilmu
yang dipergunakannya ini, cepat2 ia mengikuti kembali ke gubuk. Lalu ia
mondar-manjr di luar gua dimana si nenek tinggal.
Dinantikannya Cui-jie keluar dengan tak sabaran, ia ingin
mengetahui selekasnya ilmu yang diperoleh dari dinding batu itu termasuk, dari
perguruan mana.
Cui-jie keluar juga sesudah lama. Ia mengajak Kiu Heng ke dalam
gua tanpa ber-kata2.
Kiu Heng kedua kali masuk ke dalam gua. Sekali ini Ia merasakan
jauh berbeda dengan pertama kali ia pergi. Di dalam gua tampak sangat terang.
Dengan penuh perhatian Kiu Heng mencari dari mana datangnya sinar itu, ia
dongak ke sekeliling, dilihatnya dua butir mutiara bersinar tergantung di pojok
ruangan.
"Mungkin mereka ingin melihat ilmu kepandaianku, sengaja
menggantungkan mutiara bersinar, baiklah! Kamu boleh melihat, dengan
tegas!" pikir Kiu Heng.
"Kiu Heng sudah datang," kata Cui-jie.
"Kau boleh mulai dengan ilmumu, jangan mencoba
menyembunyikan, seluruhnya kau keluarkan!"
Kiu Heng segera memasang kuda2 dan mempertunjukkan ilmu yang
dipakainya menghadapi Cui-jie tadi, lalu menambahnya dua jurus ilmu yang
diperolehnya dari dinding gua. Tiga jurus ini tidak bisa dirangkaikannya
menjadi satu seri yang indah, sehingga ia merasa tak enak dan tidak meneruskan
jurus2 yang lain.
"Bocah! Siapa yang menyuruh kau datang ke sini? Lekas
katakan, bilamana kau tidak mengatakan dengan jujur jangan salahkan aku tak
mengenal kasihan!" bentak si nenek, begitu selesai menyaksikan Kiu Heng
memainkan ilmunya.
Perkataan si nenek membuat Kiu Heng dan Cui-jie menjadi kaget.
"Lo Cianpwee jangan salah paham! Heng-jie datang ke sini
tidak diperintah orang lain, melainkan diajak Cui-cici. Karena itu kuharap Lo
Cianpwee bisa mengetahuinya."
"Hm." kata si nenek, "kau mempergunakan jurus
pertama yang bernama Keng Liong Cin Kouw (Naga Terkejut binatang Kouw
Terpental), jurus kedua bernama Hoo Lui Wan Tie (Bangau Menangis Kera
menjerit), jurus ketiga bernama Siong Ma In Coan (Sepasang Kuda Minum di Mata
Air). Ketiga jurus ini adalahpeninggalan orang2 berilmu di dunia Kang Ouw yang
terkenal, kini kusudah memberi tahu kepadamu, mungkinkah kau masih berniat
untuk membohong?”
Kiu Heng seperti pernah mendengar nama ketiga jurus itu tapi Ia
lupa dimana mengetahuinya. Ia terpekur memikir, matanya ber-kilat2 memancarkan
sinar aneh bahna asyiknya, sampai lupa menjawab pertanyaan si nenek.
Tiba2 deruan angin keras mendesak dirinya, berbareng dengan itu
terdengar Cui-jie berseru keras, Kiu Heng tidak berdaya menyingkirkan diri,
terpaksa mengangkat lengannya melakukan tangkisan dengan Ilmu lunak dan keras
seenaknya.
Si nenek yang melihat Kiu Heng menangkis secara demikian, memaki
di dalam hati: Ah, si binatang kecil tak tahu mati, berani betul menyambut
seranganku secara demikian. Biar kau lihaypun akan terluka dan mati!"
Tapi begitu dua tenaga tangan beradu, serangan si nenek menjadi
pudar!
Si nenek menjadi kaget. Ia tak habis pikir seorang muda yang
sederhana bisa mempunyai kepandaian yang demikian tinggi.
Ia berputus asa.
"Sret,” sekali, lengannya dengan mendadak mengusap mukanya,
selembar kedok segera copot dan memperlihatkan parasnya yang sesungguhnya. Ia
merupakan seorang wanita pertengahan umur yang berparas cantik.
Berbareng dengan itu, tubuhnya segera bertiarap di atas tanah,
lalu menangis dengan sedih.
"Ilmu kepandaian Siau-ko sangat tinggi, Na Wan Hoa mengaku
bersalah dan menerima untuk dihukum!" katanya.
Sekali ini membuat Kiu Heng menjadi heran dan tak mengerti.
Cui-jie berseru dengan tiba2, Ia mencelat memayang gurunya
sambil berkata: "Suhu! Suhu! Kenapa kau bisa begini?"
Saat ini, air mata sudah membasahi pipi Na Wan Hoa.
"Cui-jie, sejak hari ini habis sudah perhubungan dan perjodohan
antara kau dan aku! Siauko ini diutus oleh musuh kita! Kau tentu masih ingat
apa yang pernah kuucapkan pada tahun yang lalu! Yakni, orang2 dari Lian Hoa
Hong tidak diperkenankan memijakkan kakinya di daerah Thian Tou Hong, tapi asal
mereka bisa mendidik seorang murid yang lihay dan pasti bisa mengalahkan aku,
boleh datang ke sini. Kini aku sudah menyerah kalah, segala sesuatu mengenai
kau dan aku berarti habis pula, karena aku harus menerima segala syarat yang
dikehendaki musuh!"
Mendengar keterangan ini, Cui-jie memandang kepada Kiu Heng
dengan sinar mata tajam.
"Adikku, apakah benar2 kau diutus oleh orang2 dari Lian Hoa
Hong?”
Kiu Heng sudah terkejut dan terpesona oleh kejadian yang
mendadak ini. Dilihatnya Cui-jie menatap dengan air mata berlinang-linang.
Cepat ia berlutut.
"Cici, mungkinkah sampai kau sendiri tidak percaya
kepadaku? Aku hanya bisa bersumpah kepada yang maha kuasa, aku tidak mempunyai
hubungan dengan orang2 dari Lian Hoa Hong. Bilamana aku berkata salah sepatah
pun, boleh menyuruh aku ..........”
Tiba2 Cui-jie menjerit keras, lengannya membekap mulut Kiu Heng,
sedangkan Na Wan Hoa sudah bangun dan duduk di hadapan Kiu Heng, ia me-nepak2
pundak pemuda kita sambil bertanya: "Haicu, duduklah, mari kita mengobrol!
Jika bukan utusan dari musuh2ku, darimana kau memperoleh pelajaran silat itu?
jika bisa menerangkan, kupersilahkan. Kalau tidak bisa, aku tidak memaksa.
Percayalah bahwa aku sudah percaya betul kepadamu, dan tak mungkin untuk
menegur serta menyalahkan dirimu lagi.”
Kiu Heng enggan menerangkan pengalamannya. Ia hanya
menggelengkan kepala tanpa menjawab pertanyaan Na Wan Hoa.
Malam mendatang Kiu Heng bolak-balik di atas pembaringannya
tidak bisa tidur. Di otaknya mengingat terus tiga jurus ilmu yang bernama Keng
Liong Cin Kau, Hoo Lui Wan Tie, Siang Ma In Coan, yang dipertunjukkan tadi. Ia
tidak bisa melupakan nama2 itu sebab pernah mengetahuinya, tapi lupa dimana dan
kapan melihat atau mendengarnya?
Mulai dari Cit-coat-kiam lalu ke Sam Cee Pan Goat sejurus demi
sejurus ia mengusut, tiba2 ia teringat buku Pai-kut-sin-kang dari Siang Siu.
Cepat2 buku itu dikeluarkannya. Dengan kedua matanya yang bisa melihat di dalam
keadaan gelap, ia membaca dari kepala sampai di akhir dengan cermat dan teliti,
tapi tidak menemui nama2 dari ilmu silat itu.
Lalu Ia teringat kepada Bu Lim Tiap, cepat ia mengeluarkan buku
yang merupakan pusaka rimba hijau itu. Ah! Benar di sini! Aku ingat, disinilah
tertera beberapa kalimat yang ter-putus2 dan tidak kumengerti!
Cepat2 ia membalik lembaran demi lembaran.
"Ah, di sini!” serunya.
Kiranya di setiap nama orang2 yang pernah memiliki Bu Lim Tiap
tertera nama dari ilmu2 silat yang dimiliki orang itu. Di samping itu, masih
terdapat penjelasan2 yang membikin Kiu Heng mengerti dengan mudah!
Ia mengakuri gambar2 yang pernah dipelajarinya dari dinding gua
dengan perkataan2 yang tertera di bawah nama orang itu. Dengan cepat ia
menghapal perkataan2 itu! Berbareng dengan itu ia mendengar suara
"Cring" dari .suara kim. dan menyusul suara orang tua bersuara parau.
"Na Kounio, Tiong-mo minta bertemu untuk merundingkan soal
penting!"
Sungguh pun suara ini datang dari arah jauh, Kiu Heng dapat
menangkapnya dengan tegas, cepat2 ia menyembunyikan Bu Lim Tiap, dan merebahkan
dirinya di atas pembaringan. Karena ia mengingat, malam2 datang, tamu pasti
akan merundingkan soal penting dengan tuan rumah. Sedangkan dirinya merupakan
orang luar, biar bagaimana pun tidak boleh mencuri dengar. Karena itu satu2nya
jalan yang terbaik, lekas2 menjadi pulas!
Tepat di saat Ia akan pulas, mendadak berkesiur angin yang
diiringi berkelebatnya sesosok tubuh di samping tempat tidurnya. Ia melihat
orang itu adalah Cui-jie yang mengenakan kedok buruk keluar rumah.
"Kedok itu hanya sebuah, mereka menggunakan secara
bergilir, untuk mengelabui orang luar tentang keadaan jasmaniahnya. Na Wan Hoa
yang sudah cacat. Entah siapa yang datang ini? Ah, mendengar suara Kim sudah
dapat dipastikan orang itu adalah ayahnya In In! Mungkinkah ayahnya In In yang
sudah tua sebaya dengan Na Wan Hoa yang masih tampak muda dan cantik?
Mungkinkah ia awet muda? .....Sebelum ia bisa berpikir terlebih banyak,
telinganya mendengar suara bentakan keras yang menggelegat seperti petir di
dalam ribut, membuat dirinya kaget dan membalik tubuh.
Tiba2 ia mendengar suara Na Wan Hoa.
"Haicu, pergilah kau lihat Cicimu, jangan sampai orang luar
menghinanya!"
Kiu Heng cepat bangun, pedangnya dibawa.
"Lo Cianpwee tenangkan hatimu, barang siapa berani
mengganggu Cui Cici tidak akan kuampuni!”
Dengan kecepatan luar biasa Kiu Heng sudah sampai di mulut
lembah, dilihatnya Cui-jie tengah berhadapan dengan seorang tua yang sudah
berjanggut putih. Mereka saling tatap tanpa ber-kata2.
Orang tua itu memegang Cit Hian Kouw Kim (alat musik kuno yang
berkawat tujuh), tiba-tiba berkata : "Hm, siapa kau? Berani betul menyamar
sebagai Na Kouwnio mempermainkan Lohu! Kau harus tahu, sudah berapa tahun aku
tidak membunuh, karena itu sadarlah terlebih dahulu, jangan sampai salah paham!
Panggil secepatnya Na Kouw Nio datang!"
Perkataan ini membuat Cui-jie terkesiap, Ia mengira bisa berlaku
seperti biasa, mengelabui orang tanpa ketahuan. Tak kira begitu ketemu musuh
besar gurunya segera diketahui. Mana berani lagi Ia membuka mulut, ia berlagak
gagu dan tidak menjawab pertanyaan itu.
"Na Kouwnio!" teriak si orang tua yang memegang kim.
"Wan Hoa..... hari ini bahaya mengancam di depan matamu, biar bagaimana
aku harus turun tangan. Apakah kau tahu budak kecil yang bernama Kiu Heng itu
siapa? Ia adalah orangnya Gui Sam Seng dari Pek Tok Bun: Ia diutus datang untuk
mencelakakan dirimu!”
Peringatan ini membuat Cui-jie yang menyamar menjadi kaget,
sedangkan Na Wan Hoa yang berada di kamar pun tidak kurang kagetnya. Hanya Kiu
Heng sendiri yang merasa heran.
"Kenapa di Oey San ini dtinggali manusia2 aneh, yang
dikerjakan maupun yang dikatakan selalu perkataan yang tidak melalui otak,
seperti lelucon besar saja..." pikirnya.
Ia tidak bisa berpikir terlalu lama, karena kesiuran angin
keras, lewat di sampingnya dengan kecepatan kilat, Ia melirik dengan tajam.
Orang itu bukan lain dari pada Na Wan Hou yang keluar dengan tongkat di tangan.
"Wah celaka! Angin keributan bisa timbul karena salah
paham. Bagaimana aku harus menerangkan diriku?" pikir Kiu Heng.
"Tiong Peng Hoan, Tiong Ngo-ko. betulkah kata2 yang kau
ucapkan?" tegur Na Wan Hoa.
"Kau mempunyai bukti apa? Ih! Kemana dia? Aku melihat ia
sudah keluar!"
Orang tua yang memegang kim dan dipanggil Tiong Peng Hoan,
me-mentil2 alat musiknya, memperdengarkan irama lembut yang menyedihkan, sehingga
membuat orang mengucurkan air mata.
"Wan Moay, hari ini Ek Lam Siang Sat, Lauw Siong dan Lauw
Pek tanpa sengaja memasuki Thian Tou Hong, dan mereka melihat Kiu Heng berada
di dalam gubuk tengah memegang Bu Lim Tiap sambil memeramkan mata. Sedangkan Bu
Lim Tiap itu kini berada di tangan Gui Sam Seng, tapi mendadak bisa dilihat di
tempat kediaman Wan Moay, keruan saja hatiku menjadi cemas! Sedangkan dua
saudara Lauw yang memasuki daerahmu yang terlarang sudah kuhukum, masing2
kubuntungi sebuah lengannya dan kuusir dari Lian Hoa Hong! Mengingat bahaya
Jyng mengancam Wan Moay, aku tak memperperdulikan larangan dan segala akibat
yang mengancam diriku, kuperlukan datang kemari memberi kabar!"
Pek Tok Thian Kun dan keluarga Tiong serta Na dari Oey San
mempunyai permusuhan yang dalam sebagai lautan, kumohon Wan Moay bisa
menghilangkan ganjelan antara kita, untuk menghadapi bahaya ber-sama2 yang
datang dari luar!
Ah! Wan Moay! Kau........... Kau........ kenapa memakai tongkat?
Bagaimana dengan kedua kakimu? Mungkinkah sudah dicelakakan tangan jahat?"
Sambil herkata ia datang menghampiri untuk melihat, tak kira
baru saja Ia mendekat, sebuah tongkat Na Wan Hoa melayang dan menghantam,
memaksa si orang tua kembali ke tempatnya lagi.
"Tak perlu kau pura-pura baik, urusanku jangan kau
campuri,” bentak Na Wan Hoa.
”Yang kuingin tahu adalah soal Kiu Heng..... Ia...... Ia apakah
benar2 dari Pek Tuk Bun?"
"Siapa yang mengatakan aku dari Pek Tok Bun?” kata Kiu Heng
dengan tiba2 sambil menampakkan diri di antara mereka.
Sekalian orang yang berada di situ menjadi kaget, masing2 mundur
beberapa langkah, agaknya mereka sangat jeri pada Kiu Heng. Selanjutnya keadaan
menjadi sunyi sepi, sesudah lama baru terdengar Tiong Peng Hoan berkata:
"Tak perduli kau orang dari Pek Tok Bun atau bukan, Oey San
melarangmu tinggal terlebih lama lagi! Bu Lim Tiap boleh memerintahkan seluruh
orang2 Bu Lim, tapi keluarga Tiong dan Na tidak pernah melanggar peraturan
maupun mencelakakan jiwa orang2, karena itu Bu Lim Tiap tidak bisa digunakan untuk
menundukkan kami!"
Kiu Heng menjadi gusar, matanya mendelik.
"Siaucu harap kau mengerti, biar Gui Sam Seng si bangsat
busuk yang datang sendiri, tidak mungkin berani mem-bentak2 sembarangan dengan
Tiong Peng Hoan. Kau jangan mengira memiliki Bu Lim Tiap, lalu merasa aman dan
tidak boleh dicelakakan. Kau harus berpikir dirimu berada di Oey San, bilamana
melakukan kesalahan, pasti akan menyukarkan dirimu sendiri, kupikir jalan yang
terbaik untukmu, lekas2 meninggalkan Oey San!”
Kiu Heng mengetahui mereka salah paham karena dirinya memiliki
Bu Lim Tiap, tapi ia tidak bisa menjelaskan dan menghilangkan kecurigaan orang,
melainkan menjadi dongkol.
"Co Lotau (orang tua celaka) untuk apa kau galak2? Pergi ya
pergi, berapa susahnya!"
"Asal kau mau meninggalkan Oey San, biar dimaki pun aku
tidak menjadi gusar. Lekaslah kau berlalu, jangan menimbulkan soal yang tidak
diinginkan. Sepulangnya ke rumah, kau tanyakan siapa sebenarnya Tiong Peng Hoan
ini, Gui Sam Seng pasti bisa menerangkan dengan jelas kepadamu!"
"Kau jangan banyak bicara, aku tak perduli kau siapa, kini
aku berbalik pikir tidak mau berlalu dari Oey San, aku mau lihat, kau bisa
berbuat apa pada diriku?" bentak Kiu Heng dengan aseran
Tiong Peng Hoan merasa heran atas sikap Kiu Heng yang mudah berubah,
ia diam tidak menjawab.
Kiu Heng merasa geli.
"Mereka mengetahui aku memiliki Bu Lim Tiap, sehingga tidak
berani menghajar diriku, dapat dilihat bahwa Bu Lim Tiap mempunyai pengaruh
besar sekali," pikirnya.
"Baiklah, aku pergi juga! Tapi kuminta kalian jangan
mengatakan lagi aku muridnya Gui Sam Seng si jahanam, bilamana bertemu lagi di
hari kemudian!"
Belum makian Kiu Heng hilang dari pendengaran, mendadak
terdengar suara siulan halus yang panjang dan terdengar nyata seperti keras
seperti lunak seperti dekat seperti jauh. Tiba2 berubah di timur, lalu ke
barat, ber-pindah2 tidak teratur, tapi suara itu membuat pendengaran orang
menjadi kacau menusuk hati dan membuat jalan darah tak teratur ber-golak2
seperti ber-debar2.
Sekalian yang mendengar menjadi pucat, mereka mengetahui
kedatangan seorang berilmu tinggi, tapi tidak mengetahui siapa manusianya.
Seiring dengan suara itu berkelebat sesosok tubuh dari udara ke
hadapan orang2 di situ. Pendatang itu merupakan pelajar berusia empat puluhan,
cakap dan keren, bilamana matanya tidak ber-kilat2 siapa pun tidak mengira
memiliki ilmu yang demikian tinggi.
Tiong Peng Hoan, tanpa terasa mengejek dengan mengeluarkan suara
dari hidung. "Hm, kukira siapa tidak tahunya Gui Sianseng dari Pek Tok
Bun, pantasan memiliki Ilmu demikian mengejutkan orang!"
Gui Sam Seng ter-bahak2.
"Tiong Cianpwee, duapuluh tahun kita tidak bertemu, kau
masih sehat2 saja membuat aku girang juga melihatnya, entah bagaimana dengan Na
Toa Kouwnio masih sehat2kah? Jika Na Kouwnio mengalami sesuatu yang tidak baik,
bisa2 Gui Sam Seng merasa tak enak seumur hidup.”
Na Wan Hoa yang sudah duduk bersila di atas tanah, begitu
mendengar Gui Sam Seng me-nyinggung2 namanya segera tertawa.
"Tak kukira kedua mata anjingmu tidak mengenal Kouwnio!
Bagaimana? Murid dan guru berdatangan susul menyusul, apakah akan mempergunakan
Bu Lim Tiap untuk memutuskan peristiwa duapuluh tahun yang lalu?"
Gui Sam Seng tersenjum.
"Biarpun Bu Lim Tiap merupakan pusaka rimba hijau, Gui Sam
Seng tidak perlu menggunakannya! Tapi kuminta penjelasan, apa artinya guru dan
murid? Gui Sam Seng malang melintang selamanya seorang diri dan belum pernah
me-nuntun2 murid!"
Sekalian orang memandang kepada Kiu Heng dengan sinar tajam.
Kiu Heng seperti menang angin, ia ter-senyum2 dilihat orang, ia
tidak mengetahui bahaya besar tengah mengancam dirinya.
"Adik kecil, apakah benar2 kaupun memiliki Bu Lim
Tiap?" tegur Cui-jie.
Pertanyaan ini membuat sekalian orang menjadi kaget dan berubah
parasnya, sedangkan Gui Sam Seng sendiri merasa heran juga. Ia meng-usap2
sakunya, Bu Lim Tiap masih tetap berada di tempatnya, sehingga hatinya menjadi
lega.
"Bu Lim Tiap di dalam rimba persilatan hanya satu, mana
mungkin ada Bu Lim Tiap yang kedua?" katanya.
"Apa anehnya dengan segala. Bu Lim Tiap, kau lihat ini
apa?" kata Kiu Heng.
Sekalian mata yang menyaksikan menjadi silau, di atas sebuah
kotak kumala putih tertulis Bu Lim Tiap dengan batu2 permata biru.
Sebelum Kiu Heng bisa mengangkat tinggi2 kotak Bu Lim Tiap, ada
angin serangan menyambar keras, cepat Ia memutar langkah dan mencelat beberapa
tombak, lalu memasukkan kotak kumala itu ke dalam sakunya, sedangkan matanya
menatap tajam dengan siap sedia.
Tiba2 angin serangan datang lagi, untuk menjaga diri, Ia tidak
memperdulikan siapa yang menyerang, segera mengangkat tangan membalas
menyerang.
"Bung!" dua kekuatan saling tumbuk menimbulkan suara
keras.
Yang menyerang kena didesak mundur beberapa langkah. Kiu Heng
menegasi, kiranya penyerang itu bukan lain dari Gui Sam Seng.
Gui Sam Seng tidak menduga sama sekali, seorang bocah muda
memiliki kotak Bu Lim Tiap yang ber-sinar2, pikirnya dengan kepandaiannya bisa
merampas kotak itu dengan mudah, tak kira kejadian berjalan di luar
perhitungannya, bukan saja benda itu tidak dapat dirampas ia sendiri kena
'digempur mundur, Hal ini terjadi karena Ia memandang terlalu enteng pada Kiu
Heng sehingga mendapat malu di depan banyak orang.
Ia gusar tak alang kepalang.
"Tak kukira di dunia Bu Lim terdapat seorang bocah busuk
yang berani memalsu Bu Lim Tiap dan berani mengaku sebagai murid Pek Tok Bun.
Hm, bocah, lekaslah kau keluarkan Bu Lim Tiap, bilamana tidak, jangan sesalkan
aku menurunkan tangan jahat!"
Kiu Heng tidak menjadi kaget atau gugup, dengan tenang Ia
menjawab.
"Pek Tok Thian Kun, kau mengatakan aku memalsu Bu Lim Tiap,
kalau begitu yang kau miliki masih ada dan belum hilang, bukan?"
"Siapa yang tidak mengetahui bahwa Bu Lim Tiap itu berada
di tanganku. dan siapa pula yang berani berlaku gegabah berani menyamber Bu Lim
Tiap dari tangan Pek Tok Thian Kun. Mungkin juga ada orang berani berbuat
demikian karena sudah bosan hidup?"
Mendengar keterangan itu hati Kiu Heng menjadi lega.
"Asal kau bisa membuktikan bahwa Bu Lim Tiap ini bukan
milikmu, menyatakan aku bukan mencuri darimu, sehingga hatiku menjadi lega. Aku
tidak menginginkan orang2 menghargai diriku karena memiliki Bu Lim Tiap, dan
tidak menginginkan menjadi ketua Bu Lim karena memiliki Bu Lim Tiap, karena itu
kau pun tak perlu mengurus atau mengetahui Bu Lim Tiap yang kumiliki palsu dan
dari mana kudapat, bukankah dengan demikian jadi beres!?"
Perkataan ini membuat Gui Sam Seng bingung.
"Bocah ini tidak memandang mata pada Bu Lim Tiap, membunuh
mati pun tidak ada salahnya."
Begitu Ia berpikir segera ia menjerit panjang. Tubuhnya
menerjang angkasa menyergap datang, tapi ia membatalkan serangannya di tengah
jalan.
"Bagus, apa yang kau katakan tidak salah! Tapi kutanya,
apakah kau terhitung orang Bu Lim bukan? Kau harus mempunyai nama. Nah,
terangkanlah padaku sejujurnya!"
Kiu Heng sudah siap siaga begitu melihat gerakan musuh, tapi ia
tidak mengira serangan itu bisa dibatalkan dengan mendadak.
Ia menjawab dengan cepat: "Aku adalah laki2 sejati, aku she
Kiu nama Heng! Sudah pernah berguru dan menerjunkan diri dalam dunia Kang Ouw,
karena itu sudah tentu sebagai orang Bu Lim!"
Gui Sam Sang ter-senyum2, tiba2 Ia mengeluarkan dan mengangkat
tinggi2 Bu Lim Tiap sambil membentak keras:
"Kiu Heng! Kau lihat ini apa?"
Kiu Heng siang2 sudah melihat Bu Lim Tiap yang hampir serupa
dengan yang dimilikinya, matanya menatap terus kepada Gui Sam Seng yang
menjunjung tinggi Bu Lim Tiap dengan kedua tangannya.
"Buku itu bertuliskan Bu Lim Tiap tiga huruf. kenapa Ia
bertanya lagi kepadaku? Mungkinkah ada soal di balik ini?” pikirnya.
Gui Sam Seng tidak memperdulikan Kiu Heng yang tengah ragu2, ia
membentak lagi: "Kiu Heng, kau bernyali besar, kenapa sesudah melihat Bu
Lim Tiap tidak bertekuk lutut?”
Kiu Heng terkejut, 'a tidak mengetahui ada peraturan demikian.
"Bu Lim Tiap buku yang terbuat dari kulit kambing, sudah
mencelakakan guruku, untuk apa kubertekuk lutut padanya?" jawab Kiu Heng
dengan cepat.
Sekalian yang menyaksikan menjadi pucat mukanya mendengar
jawaban yang di luar dugaan. Karena mereka mengetahui, Barang siapa berani
membangkang atas perintah pemegang Bu Lim Tiap berarti kematian.
"Bocah, terhitung kau berani! Kau berani menghina Bu Lim
Tiap dan tidak menghormati, berarti sama juga menghina Cousumu sendiri. Sejak
hari ini kau menjadi musuh sekalian orang2 Bulim, masing2 orang boleh
membunuhmu!"
Kiu Heng tidak mengira perkataannya itu sama dengan durhaka
besar, ia merasa menyesal berlaku gegabah, sehingga terpekur diam.
"Bangsat, apakah kau mengaku berdosa? Kau masih muda, tidak
mengetahui peraturan Bu Lim Tiap, tambahan pertama kali kau melanggarnya,
karena itu dosamu bisa dientengkan. Lekaslah kau keluarkan kotak Bu Lim
Tiap!"
Kiu Heng yang agak menyesal menjadi gusar mendengar perkataan
itu.
"Kiranya kau berlaku galak, untuk merampas kotak Bu Lim
Tiap yang kumiliki, aku tidak mau tertipu.... aku tidak mau menyerahkannya,
biar aku mendapat nama busuk dan menjadi musuh setiap orang Bu Lim, pada suatu
ketika aku bisa menerangkan dan memperbaiki namaku sendiri!" pikirnya.
"Bocah, apakah kau sudah berpikir dengan baik. Lekas kau
berlutut dan serahkan kotak Bu Lim Tiap!" desak Gui Sam Seng tak sabaran.
Kiu Heng sudah mengambil ketetapan.
"Tidak!“ jawabnya ketus.
"Kiu Heng hidup di atas dunia tanpa sanak tanpa kadang,
juga tidak mengharapkan bantuan orang lain! Dunia Bu Lim gelap dan kotor,
karena itu tidak kuharapkan bantuannya. Kini kau boleh menganggap aku menghina
guru atau dijadikan musuh bersama, aku tak takut, pendeknya Bu Lim Tiap tetap
tidak kuserahkan! Terkecuali kepalaku sudah berpisah dengan leher, kau boleh
miliki yang kau kehendaki itu! Mari maju, terhadap mati aku tidak takut,
apalagi terhadap kamu!"
Perkataan ini diucapkan dengan santer, membuat sekalian orang di
situ merasa bergetar jiwa sukmanya. Mereka memuji bocah yang berumur belasan
ini demikian besar nyalinya, di balik itu mereka menguatirkan pula jiwa Kiu
Heng yang terancam kematian.
Gui Sam Seng ter-tawa2 beberapa kali mendengar jawaban Kiu Heng,
dari suara tawanya itu seperti juga benang halus yang tajam menusuk telinga
membuat yang mendengar merasa gentar sendiri!
Kiu Heng dapat dibilang sudah memiliki Ilmu kepandaian yang
sudah tinggi, sayang belum mengalami latihan lagi, sehingga belum sempurna,
Sungguhpun demikian, ia mempunyai tenaga yang kuat untuk mempertahankan diri.
"Aku sudah dijadikan musuh kaum Bu Lim, untuk apa terus2an
diam di sini? Lebih baik cepat2 berlalu?" pikirnya.
Sewaktu sekalian orang bingung mendengar suara tertawa Gui Sam
Seng, Ia menotolkan kakinya mencelat pergi dengan cepat.
Berbareng dengan itu, Cui-jie pun berseru keras dan memburu pada
Kiu Heng. Mereka berlari ber-sama2 dan satu jurusan pula.
Kenapa terjadi demikian?
Kiranya sewaktu Gui Sam Seng tertawa ia melancarkan ilmu
Lie-seng-toan hun-im yang lihay! Ketiga orang tua yang mendengar segera
bersemedi melawan suara itu, sedangkan Cui-jie yang tidak memiliki ilmu dalam
dari suhunya merasakan darahnya seperti mau membeku, bilamana tidak lari segera
bisa mati seketika juga, karena itu ia berseru dan merat mengikuti Kiu Heng.
Gui Sam Seng tidak mengejar, pikirnya Ia bisa membuat anak muda
itu tunduk dengan mudah, ia terlalu percaya kepada ilmu Lie-seng-toan-hun-im
yang bisa melukai orang dalam jarak puluhan tombak. Ia tertawa terlebih hebat
dari semula!
Apa mau dikata, suara tertawanya yang mengandung kehebatan itu
tidak berguna sama sekali pada diri Kiu Heng! Sebaliknya Cui-jie segera jatuh
ambruk, mukanya menjadi pucat pasi, keringat dingin mengucur se-besar2 kacang
kedelai dari keningnya. Kiu Heng yang mengira sedang dikejar Cui-jie segera
menoleh, ia menjadi kaget melihat keadaan Cui-Cicinya menderita luka parah
demikian macam.
Cepat2 Ia mengempit Cui-jie dan berlari lagi ke atas puncak
dengan kecepatan kilat, ia menuju ke suatu gua yang pernah diketahuinya dari
Cui-jie.
Sewaktu Cui-jie diserang suara Gui Sam Seng, dadanya menjadi
sesak. Karena itu men-cakar2 diri sendiri, tak heran bajunya menjadi cabik2!
Sesudah meletakkan tubuh Cui-jie Kiu Heng memandang dengan cemas
di samping itu, hatinya pun menjadi berdebar melihat dua bukit kecil yang putih
laksana salju. Mukanya menjadl panas. cepat dipelengoskan ke lain jurusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar