PAHLAWAN GURUN (HAN
HAY HIONG HONG)
Karya : Liang I-Shen
Diceritakan : Gan K.L.
Diterbitkan : Pantja Satya Semarang 1970
Jilid 01 bagian pertama
Pasir ke-kuning2an terbentang luas, sinar sang surya panas
terik membakar bumi laksanakan berhenti bernafas,
semuanya serba diam. Yang tidak pernah diam hanya
deburan pasir yang tertiup angin kencang, lalu bertaburanlah
debu pasir mengabut diangkasa menyelimuti bumi.
Begitulah suasana biasanya dimusim paling ganas ditengah
bulan ketujuh digurun Gobi. Akan tetapi keadaan hari itu
ternyata berlainan. Ditengah debu pasir yang beterbangan
itu ada seorang pemuda kekar berusia antara 23 – 24 tahun
sedang melintasi gurun Gobi yang luas itu.
Rupanya pemuda itu belum berpengalaman berkelana digurun pasir. Ia
datang dari Tionggoan (
dataran tengah, daratan Tiongkok ). Namanya Li Su-Lam, aslinya
orang Bu-seng dipropinsi
Soatang. Kedatangannya ke Mongol ini adalah atas perintah ibunya
untuk mencari ayahnya.
Kota Bu-seng tatkala itu sudah seratusan tahun dikuasai kerajaan
Kim (Chin, dari suku Nuchin,
Manchuria), Kerajaan Song hijrah keselatan juga hampir seratus
tahun lamanya.
Li Su-Lam adalah keturunan keluarga panglima perang, tapi sudah
lama bertani dikampung
halaman. Sejak angkatan ayahnya keadaan keluarga sudah tiada
bedanya sebagaimana keluarga
petani biasa. Ilmu silat keluarganya lambat laun juga musnah.
Ayahnya Li Hi-ko, terhitung
terpelajar, selain bertani iapun merangkap membuka sebuah sekolah
pribadi sehingga kehidupannya
tidaklah terlalu susah.
Pada permulaan Song-leng-cong naik tahta (tahun 1206), Timujin
telah mempersatukan Mongol,
Oleh kepala2 kelompok suku ia diangkat menjadi Jenghis Khan dan
mulai memerangi kerajaan
Kim. Pada saat itulah Li Hi-ko ditawan pasukan Mongol dan
dijadikan kuli paksa. Peperangan itu
kemudian tertunda karena pihak Mongol harus berurusan dengan
kerajaan Sehe sehingga negeri
Kim sementara menjadi aman. Namun berakhirnya peperangan itu tidak
berarti dibebaskannya Li
Hi-ko, besar kemungkinan pihak Mongol sangat memerlukan tenaga
sehingga kuli2 paksa tawanan
itu ikut terbawa pula ke Mongol.
Waktu Li Hi-ko ditawan itu usia Li Su-Lam baru 3 tahun. Namanya
~Su-lam~ berarti rindu selatan.
Lantaran ayahnya tetap setia kepada kerajaan Song yang waktu itu
hijrah keselatan, maka dia
sengaja memberi nama demikian kepada puteranya.
Pada usia 7 tahun Su-lam mengalami sesuatu yang luar biasa.
Seorang teman baik ayahnya sejak
kanak2 yang belajar silat di Siau-lim-si waktu itu telah termashur
sebagai seorang pendekar besar
didunia Kangouw, ketika pulang pulang kampung dan mengetahui nasib
malang Li Hi-ko itu, ia
sangat menyesal dan terharu. Melihat Su-lam sangat pintar dan
lincah, pendekar besar itu lantas
mengambilnya sebagai murid kedua.
Dengan cepat 10 tahun telah lalu, Su-lam telah tamat belajar.
Mengingat cita2 sang ayah, Su-lam
pikir kalau ibunya yang sudah tua itu wafat, maka iapun akan
menggabungkan diri keselatan.
Pada musim semi tahun itu, seorang teman ayahnya yang ditawan
bersama ke Mongol tiba2
berhasil lolos dan pulang kampung, menurut keterangannya beberapa
tahun yang lalu masih sering
bertemu ayah Su-lam, tapi kemudian lantas putus hubungan dan tidak
tahu kabar beritanya.
Ibu Su-lam yang sudah tua itu siang malam terkenang kepada sang
suami, maka Su-lam lantas
disuruh mencari ayahnya ke Mongol. Mana wanita itu dapat
membayangkan bahwa sebelum
mengetahui jejak ayahnya ditengah jalan Su-lam sudah terkurung
ditengah gurun pasir yang luas
itu.
Begitulah saat itu Su-lam sedang menahan dahaga karena kehabisan
air, kerongkongannya yang
kering itu serasa terbakar. Namun ia tetap membulatkan tekad: asal
masih bernafas akan tetap maju
kedepan!
Untunglah angin puyuh tadi mulai reda, hamburan pasir juga sudah
tenang, walaupun sinar
matahari masih tetap membakar, tapi udara sudah cerah, bumi sudah
terang kembali.
Perlahan-lahan Su-lam menjalankan kudanya dengan harapan semoga
muncul adegan aneh digurun
pasir itu, munculnya benua hijau. Tak terduga, belum lagi terkabul
harapannya, lebih dahulu telah
ditemukan seonggok tulang2 putih.
Rupanya tulang2 itu tadi nya tertanam dibawah gundukan pasir,
setelah gundukan pasir itu
“diboyong” oleh angin puyuh, terbukalah tulang2 itu dari liang
kuburnya. Dari onggokan tulang2
itu dapat diketahui terdiri dari 2 kerangka mayat. 2 buah
tengkorak yang pecah batok kepalanya
masih tertutup oleh rambut hitam yang ketat. Tampaknya kerangka
mayat itu terdiri dari 2 laki2
setengah umur, bahkan belum lama matinya. Ini terbukti dari
rambutnya yang belum terlepas dari
tengkoraknya.
Hanya sejenak Su-lam berpikir lantas paham duduknya perkara. Ia
tahu dipadang pasir banyak
hidup elang2 pemakan bangkai, tentu saja begitu kedua orang itu
mati segera kulit daging mereka
habis diganyang oleh kawanan elang ganas itu.
Su-lam menjadi merinding sendiri. Ia tahu, asal dirinya tidak
tahan lagi dan roboh, maka akibatnya
akan menjadi onggokan tulang putih seperti itu.
Selagi Su-lam merasa waswas, tiba2 diudara terdengarsuara
“srek-srek” yang aneh dan menusuk
telinga. Waktu ia menengadah, udara diatasnya se-akan2 tertutup
oleh segumpal mega. Kiranya
seekor elang yang amat besar, sedikitnya 5-6 meter panjangnya jika
diukur dari ujung sayap lain
yang terpentang itu. Dia baru saja melihat tulang belulang sebagai
sisa daripada mayat yang telah
diganyang habis dagingnya oleh elang2 buas itu, sekarang juga
elang pemakan bangkai yang buas
itu lantas muncul.
Su-lam mnjadi gusar, pikirnya: “kurang ajar! Aku masih hidup,
masakah kau berani mengganyang
aku?”
Tapi ternyata elang itu terus melayang kedepan, terus menukik
kesesuatu bukitan pasir didepan
sana. Sekilas Su-lam melihat disana memang ada menggeletak satu
orang dengan tengkurap diatas
pasir, entah sudah mati atau masih hidup. Yang jelas badannya
masih utuh, sekalipun sudah mati
juga termasuk mayat yang sempurna. Baru sekarang Su-lam tahu bahwa
sasaran elang itu adalah
orang yang menggeletak disana.
Dengan gusar Su-lam lantas pentang busurnya, “ser” kontan ia
lepaskan panah. Tepat pada saat
cakar elang itu sudah hampir menyentuh sasarannya, panah itupun
mengenai badan elang. Rupanya
saking kesakitan, elang itu kaget terus terbang lagi dan kabur.
Su-lam melompat turun dari kudanya dan mendekati orang itu, ketika
diperiksa, ternyata bagian
kepalanya sudah remuk, jelas sudah lama matinya. Su-lam menduga
setelah kematiannya orang itu
lantas teruruk oleh pasir yang terbawa oleh angin puyuh sehingga
terhindar dijadikan santapan
elang buas. Lantas siapakah orang yang mati ini?
Dilihatnya pinggang orang mati itu ada sebuah kantong kulit.
Timbul pikiran Su-lam untuk
memeriksa isi kantong kulit itu, bilamana bisa ditemukan sesuatu
tanda pengenal orang itu, tiada
jeleknya kelak berita kematiannya ini dapat disampaikan kepada
keluarganya.
Segera Su-lam menggeledah isi kantong kulit itu. Tapi ia menjadi
terkejut. Ternyata isi kantong itu
hanya 3 buah kim-piau (piau emas). Piau yang terbuat dari emas
jarang ada didunia kangouw.
Apalagi bentuk piau itupun sangat aneh, pada ujung piau ada
bercabang dalam bentuk kepala ular.
Yang lebih mengejutkan lagi ketika terendus bau amis daripada
ketiga piau yang dia pegang itu.
Segera ia paham bahwa senjata2 rahasia itu berbisa.
Bahwasanya piau berbisa itu sebenarnya juga tidak nengejutkan,
yang paling membuat Su-lam
terkejut adalah gambar yang terukir dibatang piau itu.
Gambar ukiran dibatang piau itu adalah naga yang sangat indah dan
hidup. Seketika terkilas dalam
benak Su-lam akan nama senjata rahasia itu: “Tok-liong-piau”.
Pemilik Tok-liong-piau (piau naga berbisa) adalah seorang bandit
besar termashur yang biasanya
bekerja sendirian, namanya To Pek-seng, terkenal pula dengan
julukan “Ek-pak-jin-mo”, si manusia
iblis dari utara. Dari julukannya saja dapat dibayangkan dia pasti
seorang iblis yang ganas. Tapi
sebenarnya tidak demikian, meski selama hidupnya banyak membunuh
orang, tapi dia tidak
membunuh asal membunuh, kebanyakan korbannya adalah pembesar2
korup kerajaan Kim atau
perwira2 Kim yang suka mengganas dan menindas rakyat kecil.
Sungguh tak terduga bahwa tokoh
yang termashur itu sekarang dapat ditemukan Li Su-lam dalam
keadaan sudah menjadi mayat.
Su-lam hanya pernah dengar nama To Pek-seng dan tidak pernah kenal
muka. Cuma ia sering
mendengar cerita2 tentang Tok-liong-piau. Diketahuinya piau itu
mempunyai yang lain daripada
yang lain dengan racun yang mematikan seketika asal masuk darah.
Begitulah sambil memegangi Tok-liong-piau itu, Su-lam pikir yang
mati itu tentulah To Pek-seng
adanya. Padahal ilmu silatnya begitu tinggi, siapakah gerangan
yang mampu membunuhnya?
Belum habis Su-lam berpikir, mendadak terdengar suara desiran
kencang sebatang panah tahu2
menyambar tiba. Begitu kencang datangnya panah itu sehingga baru
saja Li Su-lam mendengar
suara desiran angin, tahu2 panah sudah didepan dada. Padahal
Su-lam lagi mengamati Tok-liongpiau,
mimpipun dia tidak menyangka akan diserang orang ditengah gurun
Gobi yang tiada nampak
bayangan seorangpun, karena tak ber-jaga2, hampir saja ia terkena
panah bersuara itu. Untung dia
sempat menjatuhkan diri kesamping dan berguling beberapa kali
kesana.
Terdengarlah suara bergelak tertawa sipemanah. Dalam pada itu
dengan cepat luar biasa panah
kedua dan ketiga susul menyusul sudah menyambar tiba pula.
Biasanya panah bersuara hanya digunakan sebagai peringatan saja.
Menurut kebiasaan kangouw,
orang yang berani menggunakan panah bersuara tentu yakin akan
kepandaian sendiri pasti jauh
diatas pihak lawan, makanya berani memakai panah bersuara, agar
pihak lwan bisa siap sedia lebih
dulu. Bahkan panah pertama biasanya juga tidak diarahkan tempat
yang berbahaya. Akan tetapi
panah bersuara orang ini ternyata secepat kilat datangnya, malahan
susul menyusul 3 panah dan
semuanya mengarah tempat mematikan ditubuh Li Su-lam.
Cara pemanah itu menyerang jelas tiada punya arti memberi
peringatan lagi kepada lawannya, tapi
memang terang2an hendak membinasakan Li Su-lam, sebaliknya sengaja
menggunakan panah yang
bersuara mendesing itu hanya untuk memberi kesan kepada lawan
bahwa diapun tidak menyerang
secara menggelap.
Su-lam menjadi gusar, cepat ia meloncat bangun, kini ia sudah siap
sedia, maka panah musuh yang
menyambar tiba itu meski susul menysul dapatlah dilayani dengan
baik. Begitu bangun tepat kedua
panah juga sudah tiba. Berbareng ia menyampuk dengan busurnya,
“tring-tring”, kontan kedua
panah itu terpukul jatuh.
Waktu Su-lam berpaling, dilihatnya dua penunggang kuda sedang
mendatangi dengan cepat.
Seorang diantaranya adalah Bu-su (jago silat, tukang berkelahi)
Mongol, seorang lagi adalah Lama
berjubah merah dengan muka bengis.
Bu-su Mongol itu tampak tertegun demi melihat Li Su-lam tidak
cedera apa2, katanya dengan
tertawa: “Anak bagus, boleh juga kepandaianmu. Apakah kau datang
kesini untuk mengubur mayat
To Pek-seng? Kukira tak perlu lagi, akan kuantar kau keakhirat
untuk bertemu dengan To Pekseng”.
“Coba tanya dulu siapakah dia?” kata si Lama.
“Bocah ini hendak menanam mayat To Pek-seng, juga bangsa Han, tak
perlu ditanya lagi pasti dia
anak buah To Pek-seng,” ujar di Bu-su sembari melompat turun dari
kudanya dan terus menubruk
kearah Li Su-lam.
Bagi jago silat pertarungan ditanah pasir lebih menguntungkan
dilakukan didaratan daripada diatas
kuda, sebab tanah pasir tidaklah rata padat, berat manusianya
dengan kuda ver-ratur2 kati, bukan
mustahil kaki kuda akan ambles kedalam pasir. Sebaliknya dengan
jalan kaki akan dapat
menggunakan ginkang dengan lebih leluasa. Makanya Bu-su Mongol itu
lebih suka meninggalkan
kudanya untuk menempur Li Su-lam.
Pada benak Su-lam sudah timbul rase hormat kepada To Pek-seng, ia
yakin orang yang membunuh
tokoh she To itu pasti bukan manusia baik2, biarpun tidak mampu
melawan juag akan dihadapinya.
Maka ketika Bu-su Mongol itu sudah menekat, mendadak ia menggertak
sekerasnya, tiga buah Tokliong-
piau yang dipegangnya tadi sekaligus disambitkan.
Su-lam sadar lawan yang mampu To Pek-seng itu pasti memiliki
kepandaian tinggi dan tentu ganas
pula, jika tidak menyerang lebih dahulu mungkin jiwa sendiri akan
celaka. Maka terpaksa ia
menggunakan Tok-liong-piau yang baru saja ditemukan itu.
Ketika Bu-su Mongol itu menubruk maju sebenarnya iapun sudah siap
menghadapi segala
kemungkinan. Dia adalah jago pilihan dibawah Jengis Khan,
kepandaiannya tinggi, nyalinya besar.
Sebaliknya Li Su-lam hanya pemuda 20-an tahun sehingga dipandang
enteng olehnya. Pula ia tidak
tahu kalau Li Su-lam telah memperoleh Tok-liong-piau yang
merupakan senjata rahasia maut itu.
Maka dalam keadaan sedang menerjang kedepan dalam jarak yang Cuma
belasan meter jauhnya,
samberan Tok-liong-piau sekaligus 3 buah itu sungguh sukar baginya
untuk mengelakkan diri.
Cara Li Su-lam menyambitkan ketiga buah Tok-liong-piau itupun
terbagi dari tiga arah, yang
sebuah mengincar Thay-yang-hiat dibagian pelipis, sebuah lagi
menuju Soan-ki-hiat dibagian dada
dan yang lain menyerang Koan-tiau-hiat dibagian dengkul kanan.
Dengan sambitannya yang hebat itu Li Su-lam yakin musuh pasti akan
terjungkal, paling tidak
sebuah diantara tiga Tok-liong-piau itu pasti akan kena
sasarannya.
Diluar dugaan, pada detik terakhir itu tiba2 terdengar suara angin
mendampar, segumpal awan
merah mengapung tiba, seketika To-liong-piau sekaligus kena
digulung semua.
Kiranya Lama jubah merah itu telah melompat dari kudanya dan
sempat mendahului menyela
didepan Bu-su Mongol itu, lengan jubahnya yang lebar itu mengebas
dan ketiga Tok-liong-piau
kena digulung olehnya.
Cara menangkap senjata rahasia demikian sungguh luar biasa. Lama
itu memeriksa sejenak ketiga
Tok-liong-piau rampasannya itu, lalu dimasukkan kantong, katanya
dengan tertawa, “Tok-liongpiau
To Pek-seng ini memang benar2 senjata rahasia berbisa yang paling
lihai, sayang bocah masih
hijau seperti kau ini belum mampu memakainya.”
Dari ucapannya dapat diduga seperti sebelumnya dia juga belum
kenal Tok-liong-piau. Jika
demikian bukanlah dia yang membunuh To Pek-seng atatu sebelum To
Pek-seng sempat
menggunakan Tok-liong-piau sudah terbunuh lebih dahulu olehnya.
Namun Li Su-lam tidak dapat banyak berpikir lagi menghadapi musuh2
selihai itu, cepat ia
meloloskan pedang dan membentak: “Lekas kalian maju semuanya.”
“Ha ha anak ingusan saja berani bermulut besar!” seru si Lama
dengan tertawa. “Aku sih belum
sudi bergebrak dengan kau.”
Sebaliknya Bu-su Mongol tadi menjadi murka karena tadi hampir2
terkena Tok-liong-piau. Segera
ia menerjang maju sambil berteriak: “Jangan garang, bangsat cilik.
Serahkan nyawamu saja!”
“Meski bocah ini tidak seberapa lihai, tapi kaupun perlu hati2,
Cilaun!” seru si Lama.
Cilaun adalah nama Bu-su Mongol itu. Diam2 ia mendongkol akan
ucapan kawannya. “Kau sendiri
memandang enteng bocah ini, sebaliknya kau suruh aku hati2, kan
sama saja kaupun memandang
enteng padaku?” demikian pikirnya. Lantaran kheki, maka begitu
maju ia terus melancarkan
serangan2 mematikan terhadap Li Su-lam.
Namun dengan cekatan Li Su-lam dapat mematahkan serangan2 kalap
Cilaun, bahkan ia balas
menyerang, suatu tusukan maut hampir2 saja menbus dada lawannya.
Keruan Cilaun terkesiap,
untung dia sempat menggeser kesamping, sambil berputar goloknya
lantas menyampuk.
Memangnya tenaga Cilaun tidaklah lemah, “trang”, pedang Li Su-lam
kena disampuk pergi.
Tergetar juga hati Su-lam, diam2 ia mengakui permainan golok jago
Mongol itu cukup lihai dan
berbeda daripada golok didaerah Tionggoan.
Pertarungan kedua orang terus berlangsung, dalam sekejap saja 50
jurus sudah lalu. Li Su-lam
merasa kerongkongannya tambah kering, mata ber-kunang2 dan kepala
pusing. Gerak pedangnya
mulai tak teratur. Maklumlah sebelumnya dia sudah payah begadang
ditengah gurun Gobi selama
dua hari dalam kekurangan air dan makanan, sekarang dia harus
bertempur pula, tentu saja tak bisa
tahan lama.
Sebaliknya Cilaun tidak memberi kelonggaran lagi kepada lawannya,
ia menyerang semakin ganas
tanpa kenal ampun. Terpaksa Su-lam melayani sekuatnya dengan
gerakan yang gesit sambil
menghindar kesana kesini.
Cilaun menjadi murka setelah sekian lamanya masih belum mampu
merobohkan Li Su-lam.
Mendadak ia menggertak sambilmenerjang maju: “Anak keparat,
matilah kau!”
Tapi baru saja goloknya hendak membacok, tiba2 Li Su-lam balas
membentak: “Roboh kau!”
Benar juga, Cilaun menjerit kaget dan kontan terjungkal.
Rupanya ginkang Cilaun tidak semahir Li Su-lam. Tadi ketika Su-lam
main menghindar kesana
kesini, dia telah menjajaki dimana adanya gundukan pasir yang
lunak. Sebab itulah ia sengaja
melompat kesitu dan ketika Cilaun menerjang maju, tahu2 kaki
Cilaun kejeblos kedalam gundukan
pasir yang lunak itu sehinnga ia jatuh terjungkal.
Tampaknya dengan sekali tabaskan pedangnya tentu Li Su-lam dapat
membikin tamat jiwa Cilaun.
Namun si Lama jubah merah tadi sempat menghalangi Li Su-lam,
jengeknya: “Hm, Jangan kau
senang lantaran akalmu yang licik ini. Biarlah aku melayani
pedangmu dengan bertangan kosong,
asalkan kau hampir mangalahkan aku dalam sepuluh jurus, segera aku
akan menjura padamu dan
mengantar kau melintasi gurun ini.”
“Hm, boleh kau coba saja!” dengus Su-lam sambil menusuk. Karena
tenaganya sudah semakin
habis, keadaannya benar2 sudah gawat, terpaksa ia harus berusaha
menyelesaikan pertarungan ini
secepat mungkin, karena itulah ia lantas keluarkan jurus2 serangan
maut Tat-mo-kiam-hoat.
Lama itu benar2 melayani Su-lam dengan bertangan kosong. Tusukan
Li Su-lam yang cepat luar
biasa itu ternyata tidak membuatnya keder, sedikitpun ia tidak
berusaha mengelak, tahu2
terdengarlah “cring” satu kali pedang Li Su-lam kena diselentik
kesamping. Begitu cepat dan tepat
selentikan Lama itu, sungguh amat mengagumkan.
Su-lam terkejut, tangannya tergetar sakit, cepat ia menggunakan
gerakan “Hong-soan-toh-hoa”
(angin puyuh merontokkan bunga), ia menggeser kebelakang lawan
terus menusuk pula ke “Taycui-
hiat” bagian punggung.
Kalau Su-lam terkejut, sebenarnya Lama itupun tidak kurang
kagetnya. Tadinya ia melihat Su-lam
sudah kehabisan tenaga, keadaannya sudah payah, tapi selntikannya
yang hebat itu ternyata tidak
membuat pedangnya terlepas dari cekalan, betapapun si Lama tidak
berani memandang enteng lagi
padanya.
Segera tangan Lama itu meraih kebelakang. Namun Li Su-lam sudah
kenal kepandaian lawan,
dengan cepat ia telah ganti serangan, pedangnya menurun kebawah
terus menabas kaki lawan.
Dalam keadaan meraih tadi memang titik berat si Lama terletak pada
bagian atas tubuh sehingga
bagian bawah merupakan lubang kelemahan. Meski kepandaian Su-lam
tidak lebih kuat dari
lawannya, tapi dalam teori ilmu silat teah cukup masak, sebab
itulah ia selalu mengincar titik
kelemahan musuh.
Lama itupun sangat lihai, punggungnya seperti punya mata, begitu
Li Su-lam ganti serangan iapun
sudah menggeser langkah dan ganti tempat, “cret” , cepat sekali ia
menendang tangan Su-lam yang
memegang senjata itu.
Tapi Su-lam lantas tarik kembali pedangnya, menysul “Ci-li-hiat”
lawan di belakang dengkul terus
ditusuk. Dalam keadaan kaki sudah terlanjur menendang, sungguh
berbahaya amat serangan Li Sulam
ini. Ternyata Lama itu masih sanggup menarik kembali kakinya serta
melompat kesamping.
Menghadapi lawan tangguh itu, Li Su-lam juga tidak berani
sembarangan menerjang maju.
Melihat ketangkasan Su-lam, diam2 si Lama menjadi ragu2 apakah
didalam 10 jurus sanggup
mengalahkannya. Ia menjadi menyesal omongannya tadi terlalu besar.
Tiba2 ia mendapat akal.
Cepat ia menanggalkan jubahnya.
Saat itu Su-lam baru saja hendak melancarkan serangan pula,
se-konyong2 segumpal awan
merahmenimpa dari atas kepala. Cepat pedangnya menusuk, “crit”,
ujung pedang meleset
kepinggir, ternyata tidak dapat menembus kasa atau jubah itu.
Pada detik itulah Su-lam merasa angin keras menyambar tiba,
dadanya seperti kena digodam dan
kesakitan, cepat ia melompat mundur. Untung dia keburu
menghindarkan diri dari jaringan jubah
musuh yang lebar seperti layar itu.
“ Hahaha boleh juga juga kau, anak muda!” seru Lama itu sambil
tertawa. “Masih ada enam jurus
lagi, hati2 kau!”
Lama itu menyatakan takkan memakai senjata, tapi jabah yang dia
gunakan sesungguhnya berupa
senjata yang amat lihai, terpentang seperti jaring, diringkaskan
berwujud pentungan, pedang Li Sulam
sampai tergetar bilamana terbentur.
Li Su-lam bertahan sekuatnya, tapi beberapa jurus lagi keadaannya
tambah payah, darah serasa
bergolak dirongga dadanya, isi perutnya se-akan2 berjungkir balik.
Diam2 ia mengeluh, dengan
ginkangnya ia masih berkelit kesana dan menghindar kesini dengan
harapan Lama itupun akan
tertipu dan dirobohkan seperti Cilaun tadi.
Tak terduga ginkang si Lama jauh lebih hebat daripada Su-lam
malah, bagaikan bayangan saja is
selalu mengikuti gerakan Li Su-lam kemanapun dia menghindar.
Sebisanya Li Su-lam berlaku tenang dan bertahan sekuatnya.
Sebaliknya si Lama mulai gelisah.
Pikirnya: “Untung disini tiada orang lain lagi, kalau tidak tentu
aku akan malu karena tidak mampu
merobohkan bocah ini dalam sepuluh jurus.”
Setelah beberapa gebrakan lagi, Li Su-lam benar2 sudah payah.
Tiba2 ia sendiri lengah, mestinya
bermaksud memancing musuh kegundukan pasir yang lunak, tak tahunya
dia sendiri yang kejeblos
malah. Mendadak Lama itu Membentak” “Hendak kemana lagi kau?” ~
Berbareng jubahnya
laksana layar terus mengurung keatas kepala Li Su-lam.
“Mati aku!” keluh Su-lam didalam hati. Tiada jalan lain baginya
kecuali pejamkan mata dan
menanti ajal. Nafasnya hampir2 berhenti oleh tekanan tenaga jubah
lawan.
Dalam keadaan samar2 itu tiba2 terdengar suara “crit” sekali, lalu
suara Lama itu membentak :
“Siapa itu?”
Menyusul terdengar suara gelak tertawa seseorang dan menjawab:
“Kau pegang teguh ucapanmu
tidak?” Kan sudah lebih dari sepuluh jurus?”
Li Su-lam ingin membuka mata untuk melihat siapa yang datang,
namun kelopak matanya terasa
sangat berat dan sukar dipentang, sayup2 ia merasa seorang memburu
tiba, se-konyong2 Lama tadi
menjerit sekali lalu terdengar suara derapan kaki kuda yang
semakin menjauh.
Su-lam tahu tentu seorang telah menyelamatkan jiwanya dan Lama
tadi telah digebah lari. Dari tadi
Li Su-lam berusaha menahan diri sekuat tenaga, sekarang setelah
tahu bahaya sudah lalu,
longgarlah perasaannya, seketika iapun jatuh pingsan saking
payahnya.
Entah sudah berapa lamanya, ketika tiba2 Su-lam merasa sekujur
badannya dingin2 segar, samar2
seperti ada tetesan air kedalam mulutnya, rasa hausnya sudah
berhenti, nyaman sekali perasaannya,
lambat laun iapun siuman kembali.
Ketika membuka mata, dilihatnya dirinya berbaring didalam sebuah
kemah, didepannya berdiri
seorang laki2 setengah umur dengan ikat kepala kaum pelajar dan
berjenggot cabang tiga,
disebelahnya ada lagi seorang gadis belia berbaju hijau muda,
keduanya berdandan sebagai bangsa
Han. Gadis itu tampak memegang sebuah saputangan basah yang sedang
dipuntir, dari situlah
butiran air menetes kedalam mulutnya.
Saat itu sudah malam hari, hawa digurun pasir sangat berbeda antara
siang dan malam hari. Li Sulam
jatuh pingsan antara siang dan malam hari. Li Su-lam jatuh pingsan
pada saat gurun pasir itu
sedang panas terik luar biasa, kini setelah siuman ia merasa
berada didunia lain karena hawanya
dingin2 segar. Begitu siuman, semangat Li Su-lam lantas terbangkit
terutama rasa nyaman oleh
warna hijau baju sigadis disamping terbasahnya kerongkongannya
yang kering tadi.
Melihat Su-lam sudah siuman, gadis itu berseru senang.
“Ayah, Siangkong (tuan muda) ini sudah sadar.!”
Laki2 setengah umur tadi lantas mendekat, tanyanya kepada Su-lam:
“Siapa namamu? Kau pernah
apanya To Pek-seng?”
Sekilas Su-lam melihat di pokok kemah sana tertaruh tiga buah
Tok-liong-piau. Mungkin sekali
setelah orang itu menggebah lari Lama jubah merah itu, ketiga
Tok-liong-piau itu ditemukannya
kembali, dengan sendirinya mayat To Pek-seng juga telah dilihatnya
pula.
Maka lebih dulu Su-lam mengucapkan banyak terima kasih, katanya:
“Selamanya aku tidak kenal
To Pek-seng, hanya dari guruku pernah kudengar tentang sepak
terjangnya yang mengagumkan,
maka aku tahu beliau adalah seorang kesatria.”
“Siapakah gurumu?” tanya laki2 itu.
Li Su-lam lantas memberitahu nama gurunya. Laki2 itu tertawa,
katanya: “Kiranya kau murid Koktayhiap,
Kok Pek-yang dari Siau-lim-pay, pantas kepandaianmu begitu hebat.”
Su-lam merasa kikuk, malah sahutnya: “Ah, kepandaian Wanpwe
teramat cetek, kalau tiada
ditolong Cianpwe tentu jiwaku sudah melayang ditangan pendeta buas
tadi.”
“Apakah kau tahu siapakah kedua orang tadi?” tanya laki2 itu
dengan sungguh2. “ketahuilah bahwa
Lama itu adalah murid pertama Liong-siang Hoat-ong, itu imamnegara
Mongol yang disegani,
namanya Hulisa. Sedangkan Bu-su itu adalah jago terkemuka bawahan
Jengis Khan, namanya
Cilaun. Jengis Khan punya 12 jago pilihan. Cilaun terhitung jago
kedelapan diantara ke-12 jagoan
itu. Tampaknya kau sangat payah, tentu kau sudah beberapa hari
kesasar ditengah gurun luas ini.
Tapi kau toh mampu mengalahkan Cilaun, bahkan bergebrak belasan
jurus dengan Hulisa, biarpun
kalah kau harus merasa bangga, kenapa kau malah merasa malu?”
Li Su-lam terkejut sendiri demi mendengar keterangan laki2 itu.
Sungguh tidak nyana bahwa kedua
lawannya tadi adalah jago2 terkemuka Mongol. Padahal mereka belum
terhitung tokoh2 tertinggi,
maka dapat dibayangkan betapa lihai jago2 Mongol yang mampu
membunuh To Pek-seng.
“Wanpwe tidak tahu,” sahut Su-lam. “Dugaan Cianpwe memang tidak
salah, kedua orang tadi
memang bukan pembunuh To Pek-seng, sebab sebelum bertempur dengan
aku mereka juga belum
kenal Tok-liong-piau ini.” ~ sepintas lalu ia lantas ceritakan
pengalamannya secara ringkas.
Orang itu menghela nafas, katanya: “ Aku pernah bertemu satu kali
dengan To Pek-seng, meski
tidak mendalam persahabatanku dengan dia, namun kedua pihak sama2
menghargai dan
menghormati. Kudengar dia berangkat ke Mongol sini, maka aku
sedang mencarinya, siapa tahu dia
telah terkubur digurun tandus ini. Seorang kesatria besar telah
binasa dirantau orang, sungguh harus
disesalkan.
Su-lam pikir laki2 ini mampu mengalahkan Lama itu, juga mengaku
sobatnya To Pek-seng, tentu
dia bukan orang sembarangan. Maka dengan penuh hormat ia bertanya:
“Wanpwe telah
diselamatkan oleh Inkong (tuan penolong berbudi), kalau tidak
keberatan mohon tanya nama
Inkong yang mulia?”
“Ah, tolong menolong adalah kewajiban kaum kita, apalagi kita
sama2 orang Han,” jawab laki2 itu.
“ Aku Beng Siau-kang dari Siangyang, dia adalah anak perempuanku,
Beng Bing-sia.”
Setelah mengetahui siapa kedua ayah beranak itu, kembali Su-lam
terkejut.
Beng Siau-kang adalah pendekar termashur didaerah Kang-lam. Pernah
gurunya bercerita suatu
peristiwa tentang Beng Siau-kang, suatu waktu Beng Siau-kang
pernah menyeberang Tiangkang
dan menyusup kegaris belakang negeri musuh (wilayah yang dikuasai
kerajaan Kim). Rupanya
kedatangannya diketahui musuh, pihak kerajaan Kim mengirim lima
jagoan pilihan untuk
menangkapnya. Dalam pertarungan sengit dikaki gunung Hok-gu-san,
dengan bertangan kodong
Beng Siau-kang sekaligus dapat membinasakan kelima musuhnya, tapi
ia sendiripun terluka parah.
Itulah kejadian sepuluh tahun yang lalu. Sejak itu Beng Siau-kang
lantas menghilang, tokoh2 dunia
persilatan sama mengira dia telah meninggal juga karena luka2nya,
ada juga yang mengira dia telah
pulang kandang dan hidup mengasingkan diri setelah mengalami
pertempuran maut itu. Siapa duga
sepuluh tahun kemudian Li Su-lam justru bertemu dengan pendekar
termashur itu digurun Gobi ini.
Agaknya Beng Siau-kang dapat membaca pikiran Li Su-lam dengan
tertawa ia bertanya:
“Barangkali kau sudah pernah mendengar namaku?”
“Ya, dahulu Beng-tayhiap sekaligus telah membinasakan lima jagoan
pilihan kerajaan Kim,
peristiwa luar biasa itu cukup menggemparkan dunia persilatan,
maka wanpwe sering mendengar
cerita Suhuku tentang Bsng-tayhiap. Alangkah beruntungnya sekarang
wanpwe dapat berjumpa
dengan Cianpwe disini.”
Dahulu waktu aku terluka parah untung seorang telah menyelamatkan
diriku, penolong itu adalah
To Pek-seng, tutur Beng Siau-kang.
“Oh, kiranya demikian,” kata Su-lam. Dalam hati ia pikir pantas
dia memburu kesini untuk
menolong aku, ketika aku siuman ia lantas tanya aku pernah apanya
To Pek-seng. Aku yang
menemukan jenazah To Pek-seng, akupun menggunakan senjata rahasia
khas milik To Pek-seng
untuk menyerang si Lama, sehingga Lama itupun menyangka aku
sebagai muridnya To Pek-seng,
mungkin Beng-tayhiap tadinya juga mencurigai diriku.
Terdengar Beng Siau-kang berkata pula: “Akupun sudah lama
mengagumi nama gurumu, sayang
sekali ini akupun lewat daerah Tionggoan secara ter-gesa2 sehingga
tidak sempat mengunjungi
beliau. Tentunya kaupun merasa heran bisa berjumpa dengan aku
disini bukan?”
“Bukankah tadi Beng-tayhiap menyatakan sedang mencari To-tayhiap?”
ujar Su-lam.
“Aku memang berharap bisa bertemu dengan dia disini, sahut
Siau-kang. Tapi tujuan kedatanganku
kesini bukan melulu untuk mencari dia. Kau adalah orang kaum kita,
biarlah aku cerita terus terang
padamu.”
Sementara mereka berbicara, Beng Bing-sia telah memasak dan
menyuguhkan bubur ence r. Kata
sinona dengan tertawa: “Ayah, biarlah tamu kita makan dulu.
Li-toako, kau tentu sangat lelah
setelah bertempur sengit tadi. Sedikit bubur ini tentu lebih cocok
bagimu yang baru kehabisan
tenaga. Silahkan makan saja, kami sendiri sudah dahar, janganlah
kau sungkan2.”
“Memang sudah beberapa hari aku bertahan digurun luas ini hanya
dengan minum satu-dua teguk
air belaka, bubur buatan nini sungguh sangat baik bagiku,” jawab
Su-lam dengan tertawa. Dalam
hati ia sangat berterima kasih atas perhatian sinona.
Diluar kemah terdengar suara ringkik kuda, Su-lam mengenali suara
kuda tunggangannya. Baru saja
hendak tanya, Bing-sia suudah menerangkan: “Kudamu juga sudah kami
selamatkan, sekarang lagi
makan rumput diluar sana. Sebentar lagi akan kugiring pergi minum
air. Tidak jauh dari sini ada
suatu tempat mata air.”
Mengetahui kudanya juga tidak mati kepayahan, Su-lam sangat girang
dan sekali lagi ia
mengucapkan terima kasih kepada Beng Siau-kang berdua.
“Anak Sia, bila kau giring kuda pergi minum air, jangan lupa isi
pula kantong air kita.” Kata Siaukang.
Bing-sia mengiakan. Ia ambil kantong kulit yang tergantung ditiang
kemah, lalu keluar.
Pada umumnya orang Mongol menggunakan kantong kulit untuk
menyimpan air. Maka Beng Siaukang
dan puterinya telah mengikuti kebiasaan Mongol itu.
Setelah Su-lam Menghabiskan bubur yang disuguhkan Beng-sia tadi,
kemudian Beng Siau-kang
kembali kepokokpembicaraan dan melanjutkan ceritanya: “Selama kau
berada diwilayah kekuasaan
Kim, apakah kau pernah mendengar desas desus bahwa pihak Mongol
akan bersekutu dengan Song
untuk menggempur Kim?”
“Selama beberapa tahun ini wanpwe tinggal terpencil didusun
bersama ibu yang sudah tua, maka
tidak tahu tentang desas desus itu,” sahut Su-lam. “Tapi kalau
benar demikian sungguh ini suatu
verita menggirangkan.”
“Berita ini tampaknya memang sungguh2,” ujar Beng Siau-kang sambil
mengerut kening. “Cuma
belum tentu menguntungkan pihak Song kita.”
“Apa barangkali Beng-tayhiap menguatirkan harimau diusir dipintu
depan, serigala masuk dari
pintu belakang?”
Siau-kang manggut2, katanya: “Ya, begitulah pikiranku.” Ia minum
seteguk, lalu menyambung:
“Aku punya seorang sahabat yang bertugas sebagai jago pengawal
dikeraton, menurut beritanya,
pihak Mongol memang benar pernah mengirim utusan rahasia ke Lim-an
(kini Hangciu, kotaraja
Song selatan selama hijrah) untuk merundingkan persekutuan dalam
menghadapi Kim ver-sama2.
Namun sebegitu jauh pihak Lim-an belum ambil keputusan, soalnya
diantara pembesar2nya terbagi
dua golongan yang pro dan Kontra. Yang satu setuju mengembalikan
wilayah Tionggoan yang
diduduki Kim dengan bantuan kekuatan Mongol. Golongan lain takut
akan keganasan pihak Kim,
jangan2 persekutuan dengan Mongol juga tidak mendatangkan
kemenangan, maka nasib negara
tentu akan tambah konyol. Kedua golongan itu sama2 tidak pernah
memikirkan menggunakan
tenaga sendiri untuk mengalahkan musuh, sungguh harus disesalkan.
“Bagaimana kalau menurut pandangan Beng-tayhiap?” tanya Su-lam.
“Bersekutu dengan Mongol untuk menggempur Kim, apakah cara ini
dapat dijalankan, hal inipun
menjadi pembicaraan ramai ditengah tokoh2 persilatan didaerah
Kang-lam”, tutur Siau-kang. “Yang
jelas jarak Mongol dengan Wilayah Song terpisah be-ribu2 li
jauhnya, para pahlawan Kang-lam
pada umumnya belum pernah kenal tanah Mongol sehingga sedikitpun
belum mempunyai
gambaran jelas tentang Mongol. Sebab itulah kawan2 Bu-lim banyak
yang beranggapan tidak
berguna hanya berdebat kosongsaja, yang lebih penting harus
mengenal Mongol lebih dulu, selidiki
dulu keadaannya dan cari tahu latar belakangnya, habis itu barulah
dapat diputuskan apakah
persekutuan demikian memang betul2 atau Cuma tipu muslihat saja.
Untuk soal inilah maksud
tujuan kedatanganku ke Mongol ini.
Serentak timbul rasa hormat Li Su-lam kepada Beng Siau-kang,
katanya: “Beng-tayhiap rela
melintasi gurun luas ini dan dengan susah payah berjuang bagi
negara dan bangsa, sungguh
wanpwe merasa sangat kagum.”
“Orang Kangouw seperti kita sudah biasa berkelana kemana2,
kesukaran2 justru merupakan
gemblengan bagi kita,” kata Siau-kang. “Seperti anak perempuanku,
semula dia juga tidak biasa
dengan keadaan digurun pasir ini tapi lambat laun juga sudah biasa
sekarang.”
Beng Siau-kang hanya punya anak perempuan tunggal itu, berbicara
tentang puteri kesayangan itu
menjadi suka ber-panjang2, maka dengan tertawa ia menambahkan
lagi: “Mestinya aku suruh dia
tinggal dirumah, tapi dia bersikeras mau ikut, terpaksa aku
membawanya serta. Untung dia tidak
menambah kesukaranku dalam perjalanan, sebaliknya dia yang telah
banyak melayani aku dalam
perjalanan jauh ini.”
“Ini adalah rejeki, Beng-tayhiap yang besar punya seorang anak
perempuan yang berbakti,” kata
Su-lam.
“Kau juga anak berbakti,” ujar Siau-kang. “Bukankah tadi kaupun
mengatakan selama beberapa
tahun ini kau hanya tinggal dirumah mendampingi ibumu.”
Yang satu anak perempuan berbakti, ayng lain juga anak laki
berbakti. Yang bicara tidak sengaja,
yang dengar kena dihati. Usia Li Su-lam sudah 23 tahun, selamanya
belum pernah bergaul dengan
kaum wanita, Beng Bing-sia boleh dikata teman dari jenis lain yang
pertama dikenalnya. Walaupun
ia tidak berani berpikir tidak2 terhadap gadis yang cantik dan
gagah itu, tapi didalam hati iapun
sangat suka padanya. Mukanya menjadi merah mendengar Beng Siau-kangmembandingkan
dia
dengan anak perempuannya. Cepat ia menjawab: “Ah mana wanpwe dapat
disamakan dengan
puterimu. Eh tadi Beng-tayhiap bicara maksud tujuan kedatanganmu
ke Mongol sini, apakah sudah
ada sesuatu hasil yang diperoleh?”
“Ya, sudah ada delapan bulan juga kami berada di Mongol, selama
ini sudah banyak tempat yang
kami kunjungi,” tutur Beng Siau-kang. “Banyak juga teman2 dari
macam2 golongan telah kami
jumpai. Dari hasil selidikan kami diketahui bahwa Jenghis Khan
benar2 seorang pemimpin yang
hebat dengan kekuatan pasukannya sekarang dia cukup kuat
mengalahkan kerajaan Kim tanpa
bantuan pihak Song.”
“Jika begitu, buat apa dia minta bersekutu dengan Song?” tanya
Su-lam.
“Menurut dugaanku, kalau dia sudah yakin pasti menang barulah dia
mau mengerahkan
prajuritnya,” kata Siau-kang. “Selain itu iapun bermaksud
mengurangi kekuatan Song.”
“Kalau begitu Jenghis Khan ada rencana setelah menaklukkan Kim,
kemudian mengarahkan ujung
panahnya keselatan untuk menggempur Song?”
“Tepat,” kata Siau-kang. “Dari beberapa tanda2 yang kutemukan
dapat membuktikan maksud
tujuannya itu. Kita mengetahui, daerah Mongol hampir seluruhnya
terdiri dari gurun pasir, pasukan
berkuda mereka paling tangkas untuk menggempur benteng musuh dan
merampas kota yang
diandalkan adalah pasukan berkudanya. Akan tetapi akhir2 ini
mereka mulai melatih pasukan air
Iangkatan laut sekarang). Beberapa danau besar didaerah Mongol
seperti Darpa Nor, Danau Bay,
Cagan Nor dan lain2 telah menjadi pusat latihan. Padahal untuk
menyerang negeri Kim dapat
dilakukan melalui darat secara besar2an, cukup pasukan berkudanya
saja sudah dapat mencapai
tempat tujuan. Maka pasukan air yang mereka latih jelas bukan
dimaksudkan untuk menghadapi
Kim.”
“Su-lam terkesiap, katanya: “Benar, untuk menyerbu ke Kang-lam mereka
harus menyeberangi
Tiangkang. Jelas pasukan air mereka akan digunakan menyerang
Song.”
“Disamping itu,” demikian Siau-kang melanjutkan, Mongol adalah
negara gabungan dri beberapa
kelompok suku bangsa, orang Han yang menetap disini juga tidak
sedikit. Konon orang Mongol,
lebih2 bangsawannya, dahulu sangat kejam terhadap orang Han, tapi
dua tahun terakhir ini sikap
mereka sudah banyak berubah, bahkan Jenghis Khanbanyak pula
menggunakan orang Han sebagai
staffnya. Mereka belajar bahasa Han, ingin mempelajari adat
istiadat dan ilmu bumi daerah KangKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
lam, untuk mana mereka tidak segan2 berguru kepada orang Han. Coba
pikir, apa tujuan mereka
ini? Apakah benar mereka menjadi begitu baik terhadap orang Han
tanpa maksud2 tersembunyi?”
Li Su-lam mengangguk, sahutnya: “ Ya, akupun dengar Jenghis Khan
adalah seorang pemimpin
yang jenius, kemampuannya sungguh2 tidak boleh dipandang enteng.
Tampaknya rencananya
benar2 sangat rapi dan berjangka panjang.” ~ Dalam hati iapun
berpikir kalau benar demikian
perubahan sikap orang Mongol terhadap orang Han, maka ayah
berkurang pula penderitaannya dan
bisa jadi masih hidup di dunia ini.
Selesai Beng Siau-kang bercerita, kemudian ia balas tanya apa
maksud kedatangan Su-lam ke
Mongol ini. Li Su-lam menyatakan tujuannya hendak mencari sang
ayah.
“Ya, memang 20 tahun yang lalu ketika menyerang pihak Kim, pasukan
Mongol telah menawan
suatu rombongan orang Han dan digiring kembali ke Mongol sini
untuk dijadikan kuli paksa,” kata
Beng Siau-kang.
“Apakah Beng-tayhiap pernah mendengar lebih lanjut tentang para
tawanan itu?” tanya Su-lam.
“Kabarnya sebagian diantaranya dikirim untuk menggali daerah baru
yang sebelumnya tidak pernah
didatangi manusia. Orang Han kita mahir bercocok tanam, orang
Mongol hanya mahir
menggembala dan beternak, dalam hal pertanian mereka perlu berguru
kepada bangsa kita.” Lalu
Beng Siau-kang menyebut beberapa nama tempat pertanian baru.
Kemudian sambungnya pula:
“Bagi tawanan2 yang mempunyai keakhlian khusus telah diberi
pekerjaan menurut kepandaiannya.
Tapi ada juga sebagian kecil yang terpelajar telah dipekerjakan
distaff Jenghis Khan.”
Sampai disini Beng Siau-kang merandek sejenak, lalu tanyanya
tiba2: “Siapakah nama ayahmu?”
Lantaran ayahnya bukan tokoh terkenal segala, maka tanpa ragu2
Su-lam memberitahukan, untuk
jelasnya bahkan ia menggores nama ayahnya diatas pasir.
“O, jadi Li Hi-ko adalah ayahmu?” kata Beng Siau-kang dengan nada
acuh tak acuh. Semula air
mukannya rada berubah, tapi sekejap saja sudah tenang kembali.
“He, Beng-tayhiap tahu akan ayahku?” seru Su-lam girang.
“Aku seperti pernah mendengar orang menyebut nama demikian,” kata
Siau-kang.
“Siapakah dia?” Su-lam menegas dengan tdak sabar.
Beng Siau-kang berpikir sejenak, jawabnya kemudian: “Seorang yang
tertawan ver-sama2 ayahmu.
Tiga tahun yang lalu ia masih bercocok tanam disuatu tempat
bersama ayahmu.”
“Tempat mana itu?” Su-lam menegas.
“Disuatu tanah pertanian dilembah danau Airag disebelah barat,
secara kebetulan ditepi danau itu
aku bertemu dengan dia dan mengajaknya mengobrol tentang keadaan
pertanian yang digarapnya.
Ia bilang penghidupannya sangat sulit, banyak orang ingin lari,
tapi setiap kali orang yang lari
selalu dibekuk kembali dan dipukul sampai mati.”
“Dan ayahku, jangan2 dia…… dia……” seru Su-lam kuatir.
“Tidak, orang semacam ayahmu tentu takkan mati !" kata
Siau-kang dengan nada dingin.
Su-lam merasa lega. Karena perhatiannya terpusatkan pada
keselamatan ayahnya sehingga sama
sekali ia tidak sadar bahwa dalam ucapan Beng Siau-kang tadi
mengandung arti tertentu.
“Aneh juga, mengapa orang itu bisa membicarakan ayahku?” ujar
Su-lam.
“Setelah usaha2 melarikan diri sering gagal, banyak diantara
mereka lantas berkumpul dan
berunding, mereka berpendapat untuk keselamatan masing2 sedikit
banyak perlu berlatih silat. Ada
diantaranya yang kenal ayahmu sebagai keturunan panglima perang,
maka ayahmu telah diminta
suka mengajarkan silat kepada mereka. Katanya ayahmu tidak Cuma
mahir silat, bahkan juga
menguasai kesusastraan, iapun terkenal sebagai akhli pertanian,
karena itu pembesar pengawas juga
memberi penilaian lain padanya.”
“Lalu bagaimana kemudian?” tanya Su-lam.
“Kemudian ayahmu telah dipindahkan kesuatu tempat lain, lalu yang
bercerita itu tidak tahu lagi
jejaknya.”
Su-lam sangat kecewa. Berita demikian memang tiada banyak bedanya
dengan cerita yang
didengarnya dirumah, hanya saja cerita Beng Siau-kang ini lebih
jelas sedikit, terutama mengenai
tempat pertanian yang pernah didiami oleh ayahnya tiga tahun yang
lalu. Ia merasa bersyukur
paling tidak telah diperoleh sedikit berita tempat tinggal
ayahnya. Hanya saja hidup-mati sang ayah
masih belum diketahui, mau tidak mau ia merasa kuatir juga.
Kemudian Beng Siau-kang bicara pula: “Aku pernah mencoba
kepandaian orang itu, agaknya ilmu
silat ayahmu jauh sekali dibandingkan kau."
“Ilmu silat keluarga kami memang sudah tidak terpelihara, apalagi
turun temurun keluarga kami
selalu bertani,” sahut Su-lam. “Kepandaianku sendiri seluruhnya
adalah ajaran Suhu. “
Begitulah kedua orang bicara sebentar lagi, namun sikap Beng
Siau-kang sudah tidak semesra
semula. Setiap pertanyaan Li Su-lam selalu dijawab seperlunya
saja. Sampai akhirnya Su-lam
merasa capek sendiri dan menguap ngantuk.
“Kau tentu sangat lelah, silahkan kau tidur saja, aku akan periksa
keadaan diluar,” kata Siau-kang.
Baru Su-lam teringat kepada Bing-sia yang telah pergi sekian
lamanya masih belum kembali. Maka
setelah Beng Siau-kang keluar mencari puterinya, didalam kemah
tertinggal Su-lam sendirian.
Sebenarnya ia sudah mengantuk, tapi teringat kepada Bing-sia yang
masih belum pulang, ia
menjadi kuatir dan tidak dapat pulas.
Sampai sekian lama pula masih belum nampak kembalinya Beng
Siau-kang dan puterinya. Ia
menjadi tidak tahan dan keluar kemah, pikirnya hendak mencari
mereka. Tapi ia tidak tahu dimana
letak sumber air yang dikatakan, kemana ia harus mencari?
Selagi ragu2, tiba2 ditempat kejauhan seperti ada suara orang
berbicara, apa yang dibicarakan
tidaklah terang. Ia pernah belajar cara mendengarkan suara dengan
mendekam diatas tanah. Apalagi
gurun yang luas itu sekarang sunyi senyap, maka suara yang jauhnya
beberapa li dapat didengarnya
dengan cukup jelas.
Semula ia kuatir suara orang2 itu adalah suara musuh. Tapi begitu
mendengarkan secara cermat,
maka giranglah hatinya. Ternyata suara yang didengar itu adalah
suaranya Bing-sia yang
dikuatirkannya itu.
Saat itu terdengar sinona sedang berseru: “Jangan, ayah!”
Lantaran tidak dengar kata2 bagian depan sinona, Su-lam terkejut
sebab tidak tahu apa maksud
“jangan” yang diucapkan Bing-sia itu.
Lalu terdengar pula suara Beng Siau-kang: “Kukira lebih baik
dibereskan saja!”
Apa yang dibereskan? Apakah maksudnya hendak membunuh? Siapakah
yang hendak dibunuhnya?
Demikian Su-lam tidak habis heran, mengapa ayah dan anak itu
bertentangan perndapat.
Sebenarnya ia tidak ingin mendengarkan rahasia orang, tapi
terdorong oleh rasa ingin tahu, ia coba
mendengarkan lagi.
Terdengar sinona lagi berkata: “Ayah, bukankah kau sering
mengatakan pedang kita jangan
digunakan membunuh orang yang tak berdosa?”
“Benar. Tapi orang berkepandaian seperti dia, kalau sampai
melakukan perbuatan busuk tentu jauh
lebihh berbahaya. ”
“Tapi sekarang dia kan tidak berbuat kejahatan apa2.”
“Aku kuatir kelak dia akan bantu pihak yang jahat hingga lebih
jahat daripada sekarang.”
“Apakah begitu jadinya toh belum diketahui. Mana boleh ayah lantas
membunuhnya tanpa bukti
nyata. Apalagi menurut pandanganku dia pasti takkan bantu pihak
yang jahat.”
“Tidak, besar kemungkinan dia akan berbuat demikian. Coba kau
pikir …….” Kata2 selanjutnya
tidak terdengar, mungkin dia bicara bisik2 ditelinga puterinya.
Selang sejenak barulah terdengar seruan Bing-sia seperti tadi :
Jangan ayah!”
Rupanya tentangan puterinya itulah, kemudian Beng Siau-kang
menjawab: “Baiklah, biar
kupikirkan lagi persoalan ini. Sekarang urusan ini jangan kita
bicarakan mungkin kau punya Litoako
belum lagi tidur.”
“Uh, ayah, masakah meng-olok2 anaknya sendiri?”
Terdengar suara tindakan kedua orang itu semakin dekat. Su-lam
menjadi kikuk sendiri, ia pikir
masakah nona itu menaksir padaku dan diketahui ayahnya? Sudah
mendengarkan sejauh itu, tapi ia
masih belum paham orang yang hendak dibunuh Beng Siau-kang itu
siapa? Mencuri dengar urusan
orang lain adalah pantangan orang Kangouw, Su-lam menjadi
menyesal, ia pikir kalau sampai
ketahuan tentu mereka menganggapnya sebagai pemuda buruk
tingkah-lakunya. Seperti pencuri
saja cepat2 ia menyusup masuk pula kedalam kemah dan berbaring.
Selang tak lama, masuklah Beng Siau-kang bersama puterinya.
Siau-kang berdehem, lalu bertanya:
“Li-siheng, tidurkah kau?”
Dasar orang “berdosa”, mestinya Su-lam ingin pura2 tidur, tapi ia
tidak biasa berbuat munafik,
akhirnya ia menyahut juga pertanyaan orang dan berbuat seperti
baru mendusin.
“Ai, Li-toako lagi nyenyak tidurnya, mestinya jangan kau bangunkan
dia,” kata Beng Bing-sia.
“Eh, kau sudah kembali, nona Beng,” Su-lam menyapa.
“Ya, mestinya sedari tadi aku sudah harus kembali, lantaran
melihat dua orang lewat disana, aku
telah berusaha mang-amat2i gerak gerik mereka?” kata Bing-sia.
“Orang2 macam apakah mereka?” tanya Su-lam.
“Entah kawan atau lawan, yang jelas ginkang mereka sangat hebat,
secepat terbang mereka lantas
menghilang dalam sekejap. Sayup2 aku mendengar seorang diantaranya
seperti menyebut “Tokliong-
piau” segala.
“Bukan mustahil mereka adalah kawan To Pek-seng, sayang kau tidk
menegur mereka,” ujar Beng
Siau-kang. Hal ini tadi sudah didengarnya dri Bing-sia, Cuma tadi
dia belum sempat tanya lebih
jelas.
“Lari mereka teramat cepat sehingga wajah merekapun aku tidak
jelas, Cuma dari dandanan mereka
tampaknya terdiri dari seorang laki2 dan seorang perempuan,” kata
Bing-sia.
Siau-kang tahu ginkang puterinya cukup tinggi, kalau dia bilang
orang2 yang dilihtnya itu larinya
teramat cepat, maka orang2 itu pasti bukan orang sembarangan.
Begitulah setelah ver-cakap2 sebentar, kemudian mereka sama
mengaso. Dengan cepat Li Su-lam
lantas terpulas karena Bing-sia yang tadinya dikuatirkan kini
sudah pulang. Dalam tidurnya yang
nyenyak itu, dalam mimpinya ia seperti ikut Beng Siau-kang dan
puterinya pulang ke Kanglam, ia
sedang bermain dan bergurau dengan sinona disuatu tempat yang
indah permai. Tiba2 Bing-sia
bersungut padanya dan lari kedalam hutan. Sembari memanggil Su-lam
lantas menguber. Tapi
mendadak Beng Siau-kang mengadang didepannya dan menghamtam
dadanya. Karena kesakitan,
seketika Su-lam terjaga bangun.
Ketika matanya terpentang, ia menjadi kaget kaget sebab Beng
Siau-kang berdua sudah
menghilang. Bahkan tenda sebesar itupun sudah lenyap, Su-lam
melihat dirinya tidur disuatu tempat
padang rumput. Su-lam merasa sangsi apakah dirinya masih dalam
mimpi. Tapi ketika ia gigit
jarinya sendiri dan terasa sakit, jelas itu bukan alam impian.
Setelah tenangkan pikiran, kemudian Su-lam memeriksa keadaan
sekitarnya. Ternyata barang2
milik beng Siau-kang berdua beserta ketiga Tok-liong-piau juga
telah dibawa pergi. Yang tertinggal
hanya sebuah kantong kulit penuh berisi air.
“Mengapa mereka berangkat begitu saja tanpa menunggu aku?” pikir
Su-lam tidak habis paham. Ia
coba memeriksa lagi, ternyata kudanya tertambat disuatu pohon
sebelah sana. Saat itu kudanya juga
telah mengenali dia dan meringkik senang.
“Tenagamu tentu sudah pulih,” ujar Su-lam sambil mendekati kuda
itu untuk melepaskan tali
tambatan. Tiba2 ia melihat diatas tanah tertulis dua baris huruf.
Ia tercengang demi melihat arti
tulisan itu yang berbunyi: “Kalau ikut melakukan kejahatan, tentu
bikin tamat jiwamu.”
Dari garesan tulisan yang kuat itu jelas ditulis oleh Beng
Siau-kang dengan ujung pedang.
Disamping huruf2 besar itu masih ada satu baris huruf pula, huruf
kecil yang berbunyi: “Kantong
air diberikan padamu, hendaknya kau menjadi orang baik.” Gaya
tulisannya halus, terang ditulis
oleh kaum wanita. Tak perlu disangsikan lagi tentu buahtangan Beng
Bing-sia.
Su-lam ter-mangu2 kesima menghadapi tulisan2 itu, hampir2 ia tak
percaya kepada pandangannya
sendiri. Selang agak lama barulah Su-lam sadar kembali, baru
sekarang ia paham bahwa orang yang
hendak dibunuh Beng Siau-kang itu adalah dirinya.
“Mengapa? Mengapa?” demikian serentetan pertanyaan timbul dalam
benak Li Su-lam dan tak
terjawab. Jika Beng Siau-kang mau membunuhnya, mengapa mula2
menolongnya pula? Apa
dasarnya dia anggap Su-lam akan membanu orang tertentu untuk
melakukan kejahatan? Padahal
sebelumnya mereka tidak saling kenal, mengapa baru pertama kali
bertemu sudah menimbulkan
curiga Beng Siau-kang sedemikian hebat?
Serentetan pertanyaan itu hanya dapat dijawab oleh Beng Siau-kang,
aka tetapibeng Siau-kang
sudah kembali ke Kanglam, digurun seluas itu terang sukar menyusul
mereka, mungkin selama
hidup ini takkan sempat bertemu pula dengan mereka ayah dan anak
dan teka teki yang
membingungkan inipun takkan terjawab selamanya.
Hanya saja masih ada juga yang membuat hati Su-lam terhibur, yaitu
Bing-sia masih percaya
padanya. Nona itulah yang menentang maksud ayahnya sehingga
terhindarlah dia dari bencana
ancaman pedang Beng Siau-kang. Sekarang nona itu meninggalkan
sekantong air pula. Air adalah
barang yang tak berharga ditempat lain, akan tetapi air adalah
benda mestika yang tiada nilainya
digurun pasir, air berarti jiwa.
Sambil membaca kembali tulisan Bing-sia, dalam hati Su-lam
berjanji kepada nona itu pasti akan
menjadi manusia baik sebagaimana diharapkannya.
Setelah mengaso semalaman, tenaga Su-lam kini sudah pulih. Ia
menyemplak keatas kudanya dan
melanjutkan perjalanan kebarat. Tiada setengah hari ia sudah
melintasi gurun Gobi. Rupanya
tempat berkemah Beng Siau-kang itu terletak tidak jauh dari mata
air. Tempat demikian terletak
ditepu Gobi yang luas itu.
Keadaan diluar garis gurun pasir ternyata sangat berbeda,
sepanjang mata memandang adalah
padang rumput belaka. Selagi Su-lam menjalankan kudanya dengan
pelahan sambil menikmati
pemandangan padang rumput itu, tiba2 terdengar suara keleningan
kuda dari belakang diseling
percakapan dua orang.
Waktu Su-lam pasang kuping, didengarnya seorang perempuan sedang
berkata: “Besar
kemungkinan adalah bocah didepan itu!”
“Kejar cepat!” terdengar suara kasar seorang laki2. Suaranya keras
berkumandang, padahal jarak
mereka masih cukup jauh di belakang.
Su-lam terkejut, tak terduga ver-turut2 ia di ketemukan tokoh
Bu-lim ditempat terpencil ini. Ia
heran pula kenapa mereka mengejarnya? Dipadang rumput sunyi ini
hanya terdapat dia seorang,
terang “bocah” yang dikatakan perempuan itu adalah Su-lam.
Cepat sekali lari kuda kedua orang itu, dalam sekejap saja mereka
sudah sampai di belakang Li Sulam.
Su-lam tanpa berhentikan kudanya malah untuk menunggu. Dilihatnya
silelaki brewokan, mukanya
kasar tapi sikapnya gagah. Sebaliknya yang perempuan sangat cantik
meski usianya sudah
pertengahan umur. Keduanya jelas orang Han, melihat gerak-gerik
mereka agaknya adalah suamiistri.
Laki2 kasar itu lantas menegur Su-lam: “He, To Pek-seng punya
Tok-liong-piau apakah berada
padamu?”
“Mohon tanya siapakah tuan?” jawab Su-lam.
“Kau tak perlu urus siapakah kami, yang penting lekas serahkan
Tok-liong-piau,” kata laki2 itu.
Su-lam rada mendongkol akan sikap orang. Tiba2 terpikir olehnya
jangan2 dua orang yang dilihat
Bing-sia malam kemarin itu adalah kedua orang ini? Karena
pertemuan yang tak terduga ini, Sulam
menjadi ingin tahu asal-usul mereka, ia menjawab: “Darimana kau mengetahui
Tok-liong-piau
berada padaku?”
“Kemarin kau baru saja lalu disana, Tok-liong-piau milik To
Pek-seng itu telah lenyap, siapa lagi
yang mengambil kalau bukan kau? Hm, kalau bukan usiamu yang masih
muda dan pasti tidak
mampu melawan To Pek-seng hampir saja aku anggap kau sebagai
pembunuhnya.”
“Ucapanmu ini rada aneh,” sahut Su-lam dengan tertawa. “Apakah
tidak mungkin bahwa Tokliong-
piau telah diambil oleh pembunuh To Pek-seng?”
“Hm, siapakah didunia ini yang mampu membunuh To Pek-seng tanpa
dia sendiri menderita luka
parah?” jengek laki2 itu. “Akupun sudah menyelidiki sebab kematian
To Pek-seng, dia tidak terluka
oleh senjata tajam, maka dapat diduga kematiannya disebabkan
kepayahan berjalan digurun pasir
dalam keadaan terluka dalam. Kalau musuhnya dapat menyelamatkan
diri sesudah melukai To Pekseng
adalah untung baginya, masakah dia masih berani mendekati To
Pek-seng pula untuk
merampas Tok-liong-piau? Hm, tak perlu banyak bicara, lekas serahkan
barangnya!”
“Sabar dulu, Toako, bihar kubicara padanya,” ujar yang perempuan.
“Sebagai orang persilatan tentu
kaupun tahu asal usul Tok-liong-piau. Betapapun senjata rahasia
itu tentu tiada berfaedah bagimu,
sebaliknya hanya akan mendatangkan bencana bila kau memegang
senjata rahasia itu. Maka
kunasihatkan lebih baik kau serahkan kepada kami saja.”
“Baik, kalian bicara secara baik2 padaku, maka akupun akan bicara
terus terang padamu,” sahut Sulam
tertawa. “Memang kemarin aku telah menemukan jenazah To Pek-seng,
Tok-liong-piau juga
aku yang mengambilnya. Tapi sekarang sudah tiada berada padaku
lagi.”
“Siapa lagi yang mengambilnya?” bentak laki2 itu.
“Kanglam-tayhiap Beng Siau-kang yang mengambilnya,” sahut Su-lam.
“hah, Beng-tayhiap? Kaupun kenal dia?” seru laki2 itu terkejut.
“Tidak begitu kenal, Cuma kemarin dia yang menyelamatkan jiwaku,”
kata Su-lam. Lalu iapun
menceritakan pengalamannya kemarin itu.
Dilanjutkan ke jilid 01 bagian kedua
Jilid 01 bagian kedua
Setelah mengikuti cerita Su-lam dan tahu pula dia adalah murid Kok
peng-yang dari Siau-limpay,
sikap laki2 itu menjadi banyak lebih ramah, katanya: “maaf
sebelumnya aku tidak kenal
asal usulmu. Aku she Song bernama Thi-lun. Dia adalah istriku
Soatang Liu Sam-nio, mungkin
kau pernah dengar nama kami.”
Kiranya Song Thi-lun suami-istri adalah bandit2 terkenal didaerah
Soatang. Lebih2 Liu Samnio,
orang menjuluki dia sebagai iblis perempuan yang membunuh orang
tanpa berkedip.
Cuma iapun serupa To Pek-seng, sasarannya hanya hartawan2 rakus
dan pembesar2 korup
dan kejam.
“Sudah lama kagum nama kalian, tentunya kalianpun kenal
Beng-tayhiap,” tanya Su-lam.
“To Pek-seng adalah kepala golongan (bandit) kami, dahulu
Beng-tayhiap pernah berkunjung
kepadanya, maka kamipun pernah bertemu satu kali dengan dia,” kata
Thi-lun.
“Jika begitu urusan menjadi gampang,” ujar Su-lam. “Beng-tayhiap
baru saja berangkat pagi
tadi, kutaksir mereka belum lagi melintasi Gobi, bila kalian kejar
mereka tentu dapat
menyusulnya.”
Tiba2 Liu Sam-nio bertanya: “Apakah Li-siangkong dapat menerangkan
cara bagaimana dia
mengetahui Tok-liong-piau berada padamu dan Li-siangkong yang
minta Beng-tayhiao
membawanya pulang?”
“Memang aku bermaksud menyerahkan Tok-liong-piau padanya karena
Beng-tayhiap telah
menerangkan hubungan baiknya dengan To Pek-seng. Cuma sayang dia
buru2 berangkat
sehingga aku tidak sempat minta petunjuk2 padanya.”
Song Thi-lun adalah laki2 yang polos dan tidak sabaran, segera ia
berkata: “Kami akan segera
menemui beng-tayhiap, kau ada urusan apa boleh kusampaikan
padanya.”
Su-lam merasa tidak enak untuk menceritakan keraguan Beng
Siau-kang yang bermaksud
membunuhnya, maka secara samar2 ia hanya pesan: “Cukup kalian
menyampaikan terima
kasihku kepada Beng-tayhiap, bahwa aku pasti akan berbuat menurut
pesannya.”
Maksud Su-lam hendak menghindarkan rasa curiga mereka, tak tahunya
Liu Sam-nio memang
sudah sangsi, tanyanya: “Jika tidak keberatan dapatlah
Li-siangkong memberitahukan apa
maksud kedatanganmu ke Mongol sini?”
Lantaran ditanya secara ramah tamah, Su-lam merasa rikuh untuk
tidak menjawab. Ia pikir
kalau mereka sudah ketemu Beng Siau-kang toh juga akan tahu, apa
halangannya kalau aku
memberitahukan mereka sekarang?
Tak terduga sesudah mengetahui tujuan Su-lam hendak mencari ayah,
Liu Sam-nio lantas
bertanya pula: “Dapatkah kau memberitahu siapa ayahmu?”
Tanpa ragu2 Su-lam lantas menjelaskan. Se-konyong2 air muka Song
Thi-lun berubah demi
mendengar nama Li Hi-ko. “Hah, kiranya kau adalah anaknya Li
Hi-ko. Hehe, adalah aneh
sekali kalau Beng Siau-kang tidak membunuh kau.”
Su-lam terperanjat. Serunya: “mengapa Beng-tayhiap harus membunuh
akau setelah
mengetahui akau adalah anak orang she Li? Soal ini juga sangat
membingungkan aku,
dapatkah kalian menjelaskan?”
“Haha, jika demikian, jadi beng Siau-kang pernah timbul pikiran
hendak membunuh kau,” kata
Liu Sam-nio tertawa.
Mendadak Song Thi-lun membentak: “beng Siau-kang tidak jadi
membunuh kau, biar aku saja
yang bereskan kau!”
Dia bernama “Thi-lun” (roda besi), senjata yang dia pakai juga
sepasang roda besi. Segera ia
mengepruk kepala Li Su-lam dengan senjatanya itu.
Ternyata serangan Liu Sam-nio lebih cepat dari suaminya, tahu2
cambuknya sudah
menyamber kearah Li Su-lam sambil berseru kepada Song Thi-lun:
“Tangkap dia hidup2 saja!”
~ Ternyata cambuknya hendak dipakai melibat tubuh Su-lam dan
diseret kebawah.
Karena tidak ber-jaga2, Su-lam terkejut. Tapi dia tidak malu
sebagai anak murid Siau-lim-pay,
pada detik bernahaya itulah se-konyong2 ia melompat keatas dan
menyingkir beberapa meter
jauhnya. Walaupun begitu tidak urung ujung bajunya juga terobek
sebagian terkena cambuk
Liu sam-nio.
Song Thi-lun terus melompat turun dari kudanya dan menerjang pula.
“Kenapa kalian ………..” mestinya Su-lam bermaksud minta diberi
kesempatan bicara lebih
banyak. Tapi belum lanjut ucapan nya Song Thi-lun sudah
menyerangnya secara ganas.
Dasar watak Su-lam memang tidak sudi diperlakukan secara kasar,
apalagi serangan Song
Thi-lun sudah tiba, kalau tidak menangkis tentu akan mati konyol.
Maka tanpa pikir lagi ia
melolos pedang buat menangkis terus balas menyerang.
“Creng”, suara beradunya senjata disertai letikan lelatu api,
menyusul lantas “cret” kopiah
yang dipakai Song Thi-lun berlubang oleh tusukan pedang Li Su-lam.
Begitu cepat gerakan Li
Su-lam sehingga sama sekali tidak berkutik, untung saja Su-lam
tidak bermaksud melukainya
kalau tidak sedikitnya kulit kepalanya sudah terkelupas.
Sudah tentu Song Thi-lun tidak dapat melihat kopiahnya sendiri
yang berlubang itu, tapi
istrinya yang terkejut. Cepat iapun melompat turun dari kudanya
untuk membantu sang
suami. Ia sudah tahu kepandaian Li Su-lam jauh lebih hebat
daripada suaminya, maka tanpa
hiraukan peraturan kangouw lagi, segera ia mengerubuti pemuda itu.
“Bocah ini harus dibinasakan!” teriak Thi-lun kalap, sepasang
rodanya menggempur lebih
gencar lagi. Liu sam-nio juga mengimbangi serangan sang suami
dengan cambuknya yang
tidak kalah lihainya.
Karena dikeroyok dua, mau tak mau Li Su-lam kerepotan juga. Ia
coba bertahan dengan
tenang dengan Tat-mo-kiam-hoat sehingga beberapa puluh jurus telah
lalu. Namun cambuk
Liu sam-nio benar2 hebat sebagai naga hidup. Serangan roda Song
Thi-lun meski lebih
lamban, tapi tenaganya lebih besar. Su-lam mulai kewalahan dan
mandi keringat.
“Buang saja senjatamu, masakah kau masih coba melawan?” bentak Liu
Sam-nio. Dibalik
ucapannya itu ia suruh Li Su-lam membuang senjata dan menyerah
saja dan jiwanya mungkin
masih dapat diampuni.
Pedang yang dipakai Li Su-lam itu adalah pemberian gurunya, dia
pernah bersumpah di
hadapan sang guru bahwa “Pedang ada orangpun hidup, pedang hilang
orangnya mati.”
Apalagi senjata sampai dirampas musuh merupakan suatu penghinaan
terbesar di dunia
persilatan, tentu saja Li Su-lam tidak sudi membuang senjata dan
menyerah kalah.
“Seorang laki2 sejati biarpun mati tidak sudi menyerah!” sahut
Su-lam dengan tegas. Dengan
mati2n ia tetap bertahan.
“Hm, kaupun sok laki2 sejati?” jengek Thi-lun sambil menerjang
maju, rodanya menghantam.
Su-lam menjadi murka, sambil menggeser kesamping, baru saja ia
bermaksud balas
menyerang agar lawannya tahu rasa, se-konyong2 cambuk Liu Sam-nio
telah menyabetnya,
“sret”, lengan kiri Su-lam babak belur tersabet.
“Bandel juga kau bocah ini, apa tidak menyerah, sekarang saja?”
Liu Sam-nio tertawa.
“Tidak!” bentak v. Belum lenyap suaranya, “tarr” kembali pundak
kanan babak belur kena
dihajar cambuk lawan.
“Jangan sok kepala batu, tidak sampai sepuluh hajaranku saja tentu
badanmu sudah babak
bundas,” ejek Liu Sam-nio sambil tertawa.
“Bihar kau bunuh aku juga pantang menyerah!” sahut Su-lam dengan
tegas. “Hm, kukira
kalian adalah orang gagah sejati, tak tahunya adalah manusia2 yang
……….” Keadaannya
sudah tambah payah, suaranya makin lama makin lemah, sampai
akhirnya ucapannya menjadi
samar2 tak terdengar.
Liu Sam-nio rada tertegun, cambuknya yang hendak menyabet pula
seketika terhenti diudara,
baru saja ia hendak tanya, tiba2 terdengar suara keleningan kuda
yang riuh, di padang
rumput sana muncul pula dua penunggang kuda.
“Lekas bereskan bocah ini, dia telah kedatangan bala bantuan!”
seru Song Thi-lun.
Tanpa ragu2 lagi cambuk Liu Sam-nio terus menyabet, kontan perut
Li Su-lam kena dihajar,
seketika pandangannya menjadi gelap, bumi dan langit se-akan2
berjungkir balik. Su-lam pikir
sungguh tidak nyana harus mati konyol disini. Tapi yang lebih2 tak
dinyana adalah pendatang
itu ternyata betul adalah bala bantuan baginya.
Su-lam sendiri sudah sudah payah karena hajaran cambuk Liu Sam-nio,
tampaknya kedua
roda Song Thi-lun sudah menghantam pula, karena tidak sanggup
menangkis, Su-lam hanya
pejamkan mata menunggu ajal saja.
Tak terduga pada saat menentukan itulah, tahu2 badannya seperti
kena dirangkul orang terus
dilarikan kesamping. Rupanya kedua pendatang itu sempat
menyelamatkan dia, yang seorang
menangkis hantaman roda dengan palu berantai, yang seorang lagi
menyerobot tubuh Su-lam
kesamping. Kedua penolong ini adalah Bu-su Mongol.
Ketika roda besi terbentur palu berantai, terdengar suara nyaring
disertai letikan api. Tangan
Song Thi-lun kesakitan, ternyata rodanya menjadi gumpil. Biasanya
Thi-lun sok bangga akan
tenaganya yang besar, sekarang baru tahu dia bahwa tenaga lawan
juga tidak lemah.
“Kau bunuh bocah itu, Toako, bangsat ini serahkan daku!” seru Liu
Sam-nio. Berbareng
cambuknya lantas melingkar kedepan.
“Jangan garang!” bentak Bu-su Mongol itu. Sebelah tangannya
memegang palu berantai,
tangan yang lain membawa busur baja. Karena palu berantai telah
digunakan melayani Song
Thi-lun, terpaksa ia melayani Liu Sam-nio dengan busurnya.
Permainan cambuk Liu Sam-nio sangat lincah, begitu ujung cambuk
tersampuk, segera ia
ganti serangan pula dengan gerakan “Tok-coa-tho-sin” (ular berbisa
menjulur lidah),
mendadak cambuknya melurus terus menusuk hiat-to musuh.
“Bagus!” bentak Bu-su Mongol itu sambil angkat busurnya, diputar
dan ditarik, cambuk
melingkar pada busur itu.
Liu Sam-nio cepat membetot cambuknya dengan maksud membikin putus
tali busur lawan.
Tak terduga tenaga lawan jauh lebih kuat sehingga dia yang
terseret maju. Terpaksa Liu Samnio
menubruk maju malah sambul mengendurkan cambuknya sehingga
terlepas.
Pada saat itu, palu berantai disebelah tangan Bu-su itu telah
disambitkan pula kepunggung
Song Thi-lun. Mestinya Thi-lun hendak memburu kesana untuk
melayani Bu-su yang
menyelamatkan Li Su-lam tadi, ketika mendengar samberan angin dari
belakang, terpaksa ia
menangkis ke belakang. “Trang”, kembali rodanya terbentur gumpil
lagi.
Suara ribut itu telah membikin Su-lam tersadar, baru sekarang ia
melihat jelas orang yang
menyelamatkan jiwanya itu. Ia menjadi ter-heran2 dan menyangka
berada dialam mimpi.
Kiranya Bu-su yang menolongnya itu tak lain tak bukan adalah
Cilaun yang telah dikenalnya
kemarin. Hanya selang satu hari saja keadaan sudah berubah, Cilaun
yang kemarin hendak
membunuhnya kini telah berubah menjadi penyelamatnya.
“Mengapa bisa terjadi begini?” demikian Su-lam tidak habis
mengerti. Tapi karena
kenyataannya memang demikian, betapapun ia tidak bisa menyangkal.
Bu-su yang datang bersama Cilaun itu ternyata sangat tangkas,
dengan satu lawan dua dia
masih lebih banyak menyerang daripada bertahan. Lantaran tak bisa
mengalahkan musuh,
pula kuatir akan datang lagi bala bantuan yang lain, Song Thi-lun
berdua tidak berani
bertempur lebih lama lagi, cepat mereka mencemplak keatas kuda dan
melarikan diri.
“Hm, kalian boleh berkeliaran sesukamu diwilayah Kim, tapi di
dareha Mongol sini mana boleh
kau pergi datang sesukanya?” bentak Bu-su itu sambil pasang panah
dan pentang busur.
Susul menyusul ia membidikkan tiga anak panah.
Liu Sam-nio putar cambuknya sehingga sebuah anak panah itu kena
disabet jatuh. Song Thilun
juga putar rodanya, namun dia tidak selincah saang istri, panah
itu masih bisa menyusup
melalui lubang jari rodanya dan mengenai bahunya, seketika darah
mengucur. Padahal jarak
mereka saat itu sudah cukup jauh, namun panah itu masih begitu
jitu dan kuat, sungguh
kepandaian memanah yang luar biasa, sampai Li Su-lam juga melongo
kagum.
Untung lari kuda mereka cukup cepat sehingga setibnya anak panah
ketiga hanya jatuh
dibelakang kuda Song Thi-lun. Lantaran jaraknya sudah cukup jauh
sehingga luka yang
diderita Song Thi-lun juga tidak parah.
Alangkah gemasnya Song Thi-lun, teriaknya dari jauh: “Bocah
bangsat, jangan kau
temberang, sekembaliku tentu aku akan mencari gurumu untuk bikin
perhitungan. Bengtayhiap
tidak membunuh kau masakah Kok Peng-yang juga tidak membunuh murid
durhaka
macam kau ini?”
Yang melukai dia adalah Bu-su Mongol, tapi Thi-lun melampiaskan
rasa dongkolnya atas diri Li
Su-lam. Ia tidak tahu bahwa pada saat itu Su-lam sendiri juga
sedang serba runyam. Ia pikir
kalau kau benar akan mengadu kepada Suhu, itulah sangat kebetulan
baginya. Ia yakin
gurunya pasti cukup kenal wataknya, akhirnya duduknya perkara
pasti akan menjadi jelas.
“Maaf jika kemarin aku berlaku kasar padamu,” demikian Cilaun
telah bicara kepada Li Su-lam
setelah memberikan air minum kepada pemuda itu. “Aku bernama
Cilaun dan ini adalah
Samko (kakak ketiga) Mufali. Kami adalah Kim-tiang-bu-su yang
mengabdi kepada Jenghis
Khan.
Su-lam pernah mendengar dari Ben Siau-kang tentang Kim-tiang-bu-su
(jago tenda emas)
yang merupakan jago pengawal Jengis Khan.
Lantaran Jenghis Khan belum lama mempersatukan Mongol, dia belum
sempat mendirikan
istana, tenda yang menjadi tempat tinggalnyaseringkali harus
pindah kian kemari. Sudah tentu
yang dia pakai jauh lebih besar dan megah daripada tenda umumnya,
sebab itulah disebut
“tenda emas” dan jago pengawal pribadinya juga disebut “jago tenda
emas”. Diantara jago2
pengawalnya itu adapula 12 orang yang berkepandaian paling tinggi
dan disebut “Capji-kimkong”
(duabelas tokoh). Cilaun terhitung nomor delapanmenurut urut2an
jago itu. Ia
menyebut “Samko” kepada Mufali, tentunya Mufali ini termasuk jago
nomor tiga siantara ke-
12 tokoh itu.
Setelah tenaganya rada pulih barulah Su-lam bertanya: “Kenapa kau
tidak bunuh diriku?”
“Ya, tentu ada sebabnya,” sahut Cilaun tertawa.
“Ada sebabnya?” Su-lam menegas. “Sungguh aneh. Dapatkah kau
menerangkan?”
“Negeri kami sedang mengadakan persekutuan dengan kerajaan Song
kalian untuk
menggencet negeri Kim. Khan besar kami juga sedang mencari orang Han
yang pandai. Kalau
pihak Kim adalah musuh bersama kita, maka kita adalah sahabat
bukan? Maka kukira kau
tentu suka membantu kami.”
“Masakah hanya demikian saja sebabnya?” ujar Su-lam ragu2.
“Kau shi Li dan bernama Su-lam bukan?” tanya Cilaun.
“Benar, darimana kau mendapat tahu?”
“Begitu kau masuk wilayah negeri kami, sebelum kau melintasi Gobi,
berita tentang
“Aneh, aku cuma seorang kecil saja, mengapa begitu menarik
perhatian kalian?”
“Itukan kata2mu sendiri yang rendah hati. Padahal setiap orang Han
yang datang kemari
selalu dibawah pengawasan kami, apalagi kau.”
“Apa bedanya aku dengan orang lain?”
“Seorang pembesar kepercayaan Khan kami yang berbangsa Han sangat
ingin bertemu
dengan kau,” kata Mufali. “Kemarin Cilaun memergoki kau ditengah
gurun, dia telah laporkan
padaku, segera aku menduga yang dia pergoki adalah dirimu. Sebab
itulah kami cepat2
kemari untuk mencari kau.”
Su-lam tambah heran, tanyanya: “Siapakah orang Han yang kau
maksudkan?”
“Setelah bertemu tentu kau akan tahu sendiri,” kata Mufali.
Tentu saja Su-lam menjadi sangsi, ia pikir jangan2 orang itu
adalah ayahku. Tapi ayah telah
tersiksa sekian lamanya di negeri orang, mustahil beliau sudi
menjadi pembesar Mongol.
Tapi tujuan kedatangan Li Su-lam ini adalah untuk mencari ayahnya.
Sekarang ada orang Han
yang kenal dia berada di Holin, seumpama orang itu bukan ayahnya,
sedikitnya akan tahu
juga dimana ayahnya sekarang berada. Sebab itulah Su-lam lantas
terima ajakan Mufali ke
Holin. Sudah tentu waktu mengambil keputusan ini timbul juga rasa
sangsi Li Su-lam dan rasa
tidak tentram. Ia Teringat kepada peringatan Beng Siau-kang yang
pernah pula berniat
membunuhnya, baru sekarang ia tahu apa sebabnya.
Diam2 Su-lam me-nimang2: “Suruh aku membantu pihak yang jahat
sudah tentu aku tidak.
Saat ini pihak Mongol sedang berunding dan ingin bersekutu dengan
Song untuk menghadapi
Kim, paling sedikit saat ini Mongol bukan negeri musuh, asalkan
aku pegang teguh keyakinan
sendiri apa jeleknya kalau aku menemui pembesar mereka, bahkan
boleh juga menemui Khan
mereka yang besar. Bahwasanya kalau Mongol sudah caplok Kim tentu
pula akan makan Song,
setiap orang yang punya pandangan tentu dapat mengkira2kan soal
ini. Bilamana orang Han
yang menjadi pembesar Mongol itu betul ayahku, lalu apa yang harus
kulakukan? Ya, akan
kubujuk beliau supaya lari pulang saja ke kanglam, dengan demikian
nama baik ayah akan
dapat dipulihkan. Tapi apakah ayah mau menurut usulku setelah dia
menjabat kedudukan
tinggi di Mongol? Pula sukar rasanya untuk melarikan diri dengan
begitu saja?”
Begitulah pikiran Su-lam menjadi kusut, terpaksa ia menghibur diri
menurut pendapat
pertama tadi: “Tidak, ayah pasti tidak sudi menjadi pembesar
Mongol setelah tersiksa puluhan
tahun disana.”
Sementara itu Cilaun telah mendapatkan seekor unta untuk
tunggangan Li Su-lam. Nama lain
unta adalah “kapal gurun”, meski daerah yang mereka lalui sekarang
sudah diluar gurun, tapi
menunggang unta akan jauh lebih enak daripada naik kuda. Luka
Su-lam juga cuma luka luar
saja, setelah lewat beberapa hari keadaannya sudah pulih seperti
semula.
Ditengah jalan Mufali dan Cilaun juga pernah cerita dengan dia
tentang To Pek-seng. Katanya
larinya To Pek-seng ke daerah Mongol adalah karena sukar bercokol
lagi di wilayah negeri Kim.
Kerajaan Kim telah mengirim 12 jago kelas wahid untuk
menangkapnya, terpaksa ia mesti
menyingkir.
“Kalian siap menggempur Kim, sebaliknya To Pek-seng adalah pahlawan
yang anti Kim,
mengapa kalian malah memburunya juga?” tanya Su-lam.
“Kami juga sudah berunding dengan dia, tapi dia menolak maksud
baik kami,” kata Mufali.
“Kebetulan waktu itu datang utusan Kim yang menjanjikan dua buah
kota untuk menukar
seorang To Pek-seng hidup2, kalau mati hanya akan ditukar dengan
sebuah kota. Karena
itulah kami harus menangkapnya.”
“To Pek-seng itu sungguh licin,” sambung Cilaun. “Dia sendiri
merasa tidak aman setelah
menolak ajakan kami. Maka sebelum datangnya utusan Kim dia sudah
sembunyi lebih dulu.
Kami berusaha menangkapnya, kalau perlu juga membunuhnya. Tapi
sampai sekarang siapa
orang yang membunuhnya kami sendiri malah belum tahu.”
“Namun sekarang kami telah menemukan jenazahnya, paling sedikit
akan mendapatkan
sebuah kota secara Cuma2,” ujar Mufali dengan tertawa.
Mendengar suara tertawanya itu Su-lam menjadi merinding sendir,
pikirnya: “Jika akupun
tidak mau diperalat seperti halnya To Pek-seng, mungkin merekapun
takkan melepaskan aku
begitu saja.”
Pada saat itulah suatu rombongan pemuda berkuda sedang lalu
dipadang rumput itu sambil
menyanyikan lagu yang bernada gagah bersemangat tapi mengandung
pula nada yang rada
memilukan.
“Mereka adalah pejuang2 yang memenuhi panggilan wajib dinas,
asalkan perintah Khan besar
disiarkan segera mereka akan berangkat ke medan perang,” tutur
Mufali. “Coba lihat,
sedemikian banyak pejuang2 kami yang gagah berani, masakan negeri
Kim yang konyol itu
takkan kami tumpas habis?”
Su-lam tahu sesudah Jengis Khan mempersatukan Mongol, wibawa
negerinya disegani oleh
negeri2 tetangga seputarnya, tentu pula bangsa Mongol lebih2
bangga akan Khan mereka
yang maha besar itu. Akan tetapi kalau jengis Khan hanya tahu
menumpuk kekuatan dan
mencaplok negeri orang lain, akhirnya mungkin juga tidak
enguntungkan Mongol sendiri,
demikian pikir Su-lam. Maka iapun sudah ambil keputusan didalam
hati akan lekas2 berusaha
meloloskan diri bila sudah tiba di Holin mengingat peperangan
Mongol dan Kim sudah hampir
berkobar.
Setelah tujuh hari menempuh perjalanan, akhirnya sampai juga di
Holin. Dengan rasa tidak
tenteram Su-lam dibawa mereka ke suatu kemah besar. Mufali berdua
menyerahkan Su-lam
kepada seorang pengawal dan berkata: “Kami tidak masuk, laporkan
kepada Li-tayjin agar
besok lapor kembali ke kemah emas.”
Pengawal itu mengiakan, lalu tanya: “Apakah inilah Li-kongcu?”
“Tuan mudamu datang, tentunya kau mesti melayani dia se-baik2nya
bukan?” ujar Cilaun
dengan tertawa sambil tinggal pergi bersama Mufali.
“Tuan muda”, sebutan ini menyerupai godam yang mengetok kepala Li
Su-lam, kepalanya
menjadi pusing dan jantungnya berdebar. Ia bermaksud tanya, tapi
lidahnya serasa kaku,
sama2 ia mendengar pengawal itu berkata: “Silahkan tunggu
sebentar, Siauya (tuan muda),
Tayjin segera akan keluar.” ~ Ternyata ia telah disambut kedalam
kemah.
Kemah itu dibangun seperti rumah kediam orang Han. Dindingnya
bukan tembok, tapi buatan
kulit. Dalam kemah juga ter-bagi2 ber-kotak2 kamar dengan ruang
tamu segala dengan meja
kursi pula. Diatas meja ada suatu pot yang mengeluarkan bau harum
dupa yang sedap.
Namun perasaan Su-lam tetap gundah, sedapat mungkin ia coba
menguasai perasaannya
dengan mengheningkan cipta.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara sepatu, “Li-tayjin” yang
dikatakan telah muncul. Sulam
melihat yang datang ini adalah laki2 setengah umur dengan mantel
bulu, dandanannya
jelas sebagai pembesar Mongol. Pada usia tiga tahun sudah berpisah
dengan ayahnya, maka
wajah sang ayah sudah tidak berkesan baginya. Hanya menurut
ibunya, katanya muka
ayahnya rada mirip dia. Tapi laki2 di hadapannya ini toh tidak
menyerupainya.
Setelah tenangkan diri, Su-lam tidak anggap orang dihadapannya itu
sebagai ayah, tapi ia
berbangkit dan menegur: “Siapakah kau? Katanya kau mencari aku,
sebenarnya untuk urusan
apa?”
Orang itu mengamat-amati Su-lam sejenak, kemudian berkata: “Kau
bernama Li Su-lam,
berasal Bu-sing di Soatang, bukan?”
“Benar, darimana kau mendapat tahu?” sahut Su-lam.
“Haha,” orang itu tertawa. “Anak Lam, pantas kau tidak kenal aku
lagi. Waktu meninggalkan
rumah kau baru berumur tiga, akupun tidak menyangka kau sudah
setinggi-besar ini.”
Seketika Su-lam menjadi tertegun dan tidak tahu apa yang harus
diucapkan.
Orang itu tepuk2 pundak Su-lam, katanya pula: “Tahun ini kau
berumur 24 bukan? Aku masih
ingat benar hari lahirmu adalah tanggal 2 bulan tujuh, jadi besok
kebetulanadalah hari ulang
tahunmu. Sungguh tidak nyana setelah ver-harap2 selama 21 tahun
baru sekarang aku dapat
ketemu anaknya sendiri. Besok aku akan merayakan hari ulang
tahunmu. Eh, kau tidak
panggil ayah padaku?”
Bahwasanya hari lahirnya dengan tepat telah dikatakan orang itu,
Su-lam tidak bisa bersangsi
lagi, terpaksa ia memanggil “ayah” dengan suara serak.
“Nak, kau tentu tidak menyangka akan bertemu dengan ayahmu disini
bukan? Apalagi ayahmu
sudah punya kedudukan tinggi,” kata Li Hi-ko dengan bergelak
tertawa.
“Benar, tadinya kukira kau masih berada ditempat pertanian dan
sedang menderita disana,”
kata Su-lam.
Air muka orang itu rada berubah, tanyanya: “Siapa yang katakan
padamu?”
“Ditengah jalan aku ketemu seorang kawan she Beng, dia yang
bercerita padaku,” sahut Sulam.
“Apakah orang she Beng yang kau maksudkan itu adalah Beng
Siau-kang?” tanya Li Hi-ko.
“Benar,” jawab Su-lam. Diam2 ia merasa heran dari mana ayahnya
bisa kenal namanya Beng
Siau-kang setelah tinggal sekian lamanya di Mongol, apalagi ketika
di kampung halaman
ayahnya juga jarang bergaul dengan orang Bu-lim, pada waktu itu
Beng Siau-kang juga belum
terkenal.
Li Hi-ko tampak manggut2, katanya: “Benar, aku memang telah banyak
menderita. Syukur
kini aku telah memetik buahnya, Khan besar tidaklah jelek
terhadapku. Coba kau lihat tempat
tinggalku ini, bukankah lebih baik daripada rumah sendiri. Eh,
bicara tentang rumah,
bagaimana dengan ibumu?”
“Ibu sehat2 saja, hanya usianya sudah tambah lanjut, beliau sangat
memikirkan ayah
sehingga rambut sudah mulai ubanan. Beliau berharap aku menemukan
ayah dan dapat
segera pulang kesana.”
“Sekarang aku telah menjadi pembesar Mongol, manabisa pulang
dengan begitu saja. Lagipula
apa gunanya pulang? Kan lebih baik hidup bahagia disini. Kukira
pada saat yang tepat lebih
baik kita jemput ibumu kesini saja.”
“Ayah,” kata Su-lam dengan menahan airmata. “Menurut ibu, engkau
telah memberi nama
yang berarti kepadaku, apakah engkau sendiri sudah lupa?”
Li Hi-ko tampak tertegun sejenak, lalu berkata: “Sudah tentu
akulah yang memberi nama
padamu. Buat apa kau mengungkatnya?”
“Ayah telah memberi nama ‘rindu selatan’ padaku, maksudnya supaya
kita selalu ingat kepada
negara kita yang terpaksa hijrah ke selatan, kenapa sekarang ayah
sendiri malah tidak
memikirkannya lagi?”
“Dimana kita terima budinya, disitulah kita menetap,” kata Li
Hi-ko. “Apalagi hendak pergi
juga sukar. Ketika di Airag akupun pernah bermaksud lari bersama
kawan2 sepaham, tapi
akhirnya banyak kawan yang lari dan tertawan kembali, malahan
mendapat siksaan lebih
hebat. Sekarang aku telah menjadi pembesar dengan dikelilingi
banyak pengawal, jangankan
hendak lari, asalkan mereka mengetahui pikiranku ini mungkin
jiwaku akan melayang.”
“Anak tahu akan keadaan ayah,” ujar Su-lam. “Untuk lari memang
sulit, tapi asalkan ayah
punya tekad demikian betapapun bahayanya juga mesti kita coba dan
aku percaya kita tentu
akan mendapatkan jalan keluar yang baik.”
Rupanya LI Hi-ko tidak sependapat, ia goyang2 kepala dan berkata:
“Apakah ada harganya
kita mesti menghadapi bahaya demikian? Keadaanku disini cukup
baik, daripada pulang untuk
hidup terkekang dibawah perintah orang Kim kan lebih baik menjadi
pembesar di Mongol sini?
Terus terang, biarpun orang Mongol memang kejam, tapi terhadap
bangsa Han kita jauh lebih
baik daripada terhadap tawanan Kim.”
“Apakah ayah tahu mengapa Khan besar mereka mengangkat ayah
menjadi pembesarnya dan
akhir2 ini mengapa sikap mereka jauh lebih baik terhadap bangsa
Han kita. Soalnya mereka
hendak menyerbu Tionggoan, mereka ingin memperalat orang Han dan
mesti mengambil
hatinya lebih dahulu.
“Benar, separoh tanah air kita telah dicaplok Kim, sekarang Mongol
hendak membantu kita
merebutnya kembali, bukankah itu sangat baik? Ingin kukatakan
padamu bahwa perundingan
persekutuan antara Mongol dan Song Raja kita sudah mendekati
persepakatan. Andaikan kau
benar setia kepada Song dan berniat berjuang bagi tanah air maka
tidak perlu jauh2 pulang ke
kanglam, boleh kau bekerja bagi Khan besar disini kan sama juga
berjuang untuk tanah air.”
“Ayah hanya pikir yang satu tapi lupa yang lain,” ujar Su-lam.
“Coba renungkan, setelah
menupas Kim, apakah pihak Mongol mau membiarkan Song kita hidup
damai bersamanya.
Menurut pandanganku, maksudnya bersekutu dengan Song hanya
menunggu kesempatan
untuk kemudian satu per satu menaklukkannya. Maka kalau ayah tidak
ambil keputusan tegas
sekarang, bilamana nanti Mongol telah menjadi musuh Song kita,
tatkala mana ……..tatkala
mana ayah tentu akan dianggap sebagai pengkhianat yang menjual
negara.”
Su-lam sudah nekat menerima akibat dari ucapannya yang kasar ini.
Tak terduga wajah
marah Li Hi-ko tadi mendadak berkurang malah. Dengan lesu orang
tua itu duduk di kursinya.
Wajahnya sebentar merah sebentar pucat.
Su-lam mengira ucapannya telah kena dilubuk hati sang ayah, ia
tidak tahu bahwa saat itu Li
Hi-ko sedang berpikir: “Tampaknya bocah ini sangat kepala batu.
Untuk memaksa dia dengan
sikap keras agaknya sukar tercapai, lebih baik pakai cara halusan
saja.”
Maka kemudian ia berkata dengan menghela nafas: “Ucapanmu memang
beralasan juga, nak.
Cuma urusan ini teramat penting, kita masih harus bicara lagi
secara mendalam. Bagaimana
ilmu silatmu sekarang. Aku sudah tahu, bilamana kelak kita harus
kabur dari sini masih
diperlukan tenagamu.”
“Sungguh memalukan, ayah, ilmu silat keluarga sendiri tak pernah
kepelajari karena tiada
yang mengajar. Untung juga selama ini anak telah belajar ilmu
silat Siau-lim-pay. Guruku
yang berbudi adalah Kok-tayhiap. Beliau datang kerumah dan
menerima anak sebagai
muridnya ketika anak berumur tujuh tahun. Semuanya ini berkat
restu ayah pula.”
Li Hi-ko merasa senang karena Su-lam tidak belajar ilmu silat
keluarga LI sendiri, dengan
demikian tak perlu dia merasa kuatir kalau2 ditanyakan ilmu silat
keluarga sendiri. Segera
iapun bertanya pula: “Siapakah gurumu Kok-tayhiap itu? Mengapa kau
bilang berkat restuku?”
“Suhu bernama Kok Peng-yang, tentu ayah masih ingat beliau bukan?”
“Kok Peng-yang? Siapakah dia?” gumam Li Hi-ko rada bingung.
“Beliau adalah kawan karib ayah, masakah ayah sudah lupa?”
“Aha, ingatlah aku sekarang!” seru Li Hi-ko sambil tepuk dahi
sendiri. “Ya, diwaktu muda
memang aku punya seorang teman she Kok, Ai, setelah sekian
lamanya, semua kejadian
dimasa lampau hampir terlupa seluruhnya.”
Hati Su-lam menjadi pilu. Penderitaan selama 20-an tahun memang
sukar dirasakan, untung
ayahnya masih bertahan sampai sekarang. Tapi setelah menderita
sekia lamanya seharusnya
mesti benci kepada musuh, mengapa jalan pikiran ayah menjadi
terbalik malah? Demikian
pikirnya.
“Suhu juga sangat terkenang kepada ayah, beliaupun harap ayah bisa
lekas2 pulang
ketanahair,” kata Su-lam pula.
“Kau pernah menyaksikan ilmu silat Mufali dan Cilaun bukan? Coba
katakan, dapatkah kau
mengalahkan mereka?” tanya Li Hi-ko.
“Terhadap Cilaun masih bisa melayani, tapi anak harus mengakui
tidak sanggup melawan
Mufali,” kata Su-lam.
“Padahal Khan besar mempunyai 12 jago pengawal kepercayaan, Mufali
hanya nomor 3
diantara mereka. Jago yang nomor satu dan dua itu tentu jauh lebih
lihay. Kalau Mufali saja
kau tidak mampu mengalahkannya, cara bagaimana bisa kabur dari
sini? Oleh karena itu,
daripada kitamati konyol, kupikir kita harus cari jalan yang baik.
Untuk ini hendaklah kau
bersabar. Setahuku, dalam waktu tiga bulan ini Khan besar pasti
akan mengerahkan
pasukannya untuk menggempur Kim dan akupun mungkin ikut serta
dalam ekspedisi ini.
Untuk lari dimedan perang akan lebih leluasa, pula tempatnya nanti
adalah diwilayah tanah air
kita, untuk meloloskan diri tentu akan lebih gampang daripada lari
dari sini dan mesti melintasi
Gobi pula.”
Su-lam merasa uraian sang ayah cukup beralasan, dengan girang ia
menjawab: “Apa yang
ayah pikirkan memang sangat baik. Anak rasanya sanggup bersabar
untuk dua tiga bulan
lagi.”
“Baiklah, kita sudahi pembicaraan kita sampai disini, kau
tentusudah terlalu lelah, bolehlah
kau mengaso saja. Besok akan kubawa kau menghadap Khan besar,”
kata Hi-ko.
“Menghadapi Jengis Khan?” Su-lam menegas. “Kukira kalau bisa
dihindarkan lebih baik tidak
menghadapi saja.”
“Kau dibawa kemari oleh Mufali dan Cilaun, sudah tentu hal ini
telah diketahui Khan besar,
malahan siang tadi kepadaku beliau menanyakan dirimu.”
“Jika demikian, terpaksa anak ikut menghadap.”
“Aku akan peringatkan kau supaya kau bersikap hormat kepada
beliau. Hendaklah maklum
bahwa kita harus berebut kepercayaan Khan besar agar kelak kita
ada kedapatan kabur yang
lebih leluasa. Tentu kau paham kata2ku.”
“Ya, anak paham,” sahut Su-lam.
“Baiklah sekarang boleh kau pergi tidur, besok akan kukatakan hal2
yang perlu kau perhatikan
secara terperinci.” Kata Li Hi-ko. Ia panggil seorang pengawal
agar membawa Su-lam kesuatu
kamar tidur. Rupanya Li Hi-ko telah punya selir pula di Mongol,
maka hal ini sengaja
dirahasiakannya.
Walaupun lelah, namun sukar bagi Su-lam untuk pulas. Semula ia
menyangka akan
mengalami berbagai kesukaran dalam usahanya mencari ayah, siapa
tahu ketemunya
sedemikian gampang. Namun pertemuan yang demikian ini benar2 pula
terlalu diluar
dugaannya.
Dalam kegelapan tiba2 terbayang tulisan peringatan diatas pasir
yang ditinggalkan Beng Siaukang
itu. Sebagai seorang pemuda yang berjiwa kesatria, Su-lam merasa
dirinya tak nanti
membantu pihak yang jahat, bukanlah ia takut terhadap Beng Siau-kang,
hanya soal
peringatan yang mesti ditinggalkan Beng Siau-kang itulah yang
membuatnya mau tak mau
mesti berpikir secara mendalam. Ia menjadi sangsi apakah ayahnya
yang telah menjadi
pembesar Mongolitu telah banyak melakukan kejahatan sehingga
menimbulkan antipati
diantara pahlawan2 bangsa Han, kalau tidak Beng-tayhiap tentu
takkan sedemikian benci
padanya.
Terpikir sampai disini, Su-lam merasa sedih. Timbul pula dalam
benaknya apa yang pernah
didengarnya dari sang ibu tentang diri ayahnya. Seringkali ibunya
mengingatkan agar jangan
lupa akan arti nama pemberian ayahnya itu. Menurut ibunya, biarpun
ayahnya hidup sebagai
petani, tapi jiwa pahlawannya tidak pernah pudar. Selain tetap
mengadakan kontak rahasia
dengan para pejuang melawan Kim, ayahnya juga pernah mengadakan
pekerjaan berat, yaitu
menyusun sebuah kitab militer untuk dipersembahkan kepada seorang
pemimipin
pemberontak. Cuma sayang kitabnya belum selesai disusun beliau
sudah keburu ditawan
pasukan Mongol.
Kiranya leluhur Li Su-lam adalah panglima perang ayng gagah berani
dibawah jendral Han Sitiong,
itu panglima termashur ketika menggempur tentara Kim habis2an
disungai Tinkang.
Leluhurnya telah mencatat semua kejadian serta cara Han Si-tiong
mengatur siasat
menghadapi musuh dengan segala perkembangannya, catatan2 itu tidak
tersusun baik, tapi
ter-pisah2. Catatan itu sampai ditangan Li Hi-ko barulah Hi-ko
bertekad akan meneruskan
cita2 leluhurnya untuk menyusun catatan2 itu menjadi sebuah kitab
militer yang berharga.
Teringat akan cerita2 yang didengarnya dari sang ibu itu, diam2
Su-lam merasa gegetun akan
begitu cepat perubahan jiwa ayahnya itu. Ia tidak tahu apakah
ayahnya masih ingat atau tidak
tentang cita2nya akan menyusun kitab pusaka itu? Kiranya kitab
pusaka yang belum
terselesaikan itu kini telah dibawa serta oleh Li Su-lam, hanya
saja dia belum sempat
bicaratentang soal ini. Ia pikir besok pagi akan coba ditanyakan
kepada ayahnya yang masih
membingungkan itu. Menurut cerita ibunya, dahulu ayahnya tidak
sudi bekerja bagi kerajaan
Kim, tapi sekarang malah mau menjadi pembesar Mongol. Apakah
mungkin ayahnya begitu
pengecut dan terima menyerah dibawah ancaman musuh?
Tapi kemudian iapun bersyukur bahwa sekarang ayahnya mau juga
sadar dan terima usulnya
untuk mencari kesempatan buat lari. Ayahnya sudah 20-an tahun
tinggal di Mongol, tentunya
beliau sangat paham situasi negeri ini. Kalau sudah pulang kembali
keselatan kelak tentu
tenaganya akan banyak berguna bagi Song Raya melawan Mongol.
Dengan tenaga yang sukar
dicari ini, asalkan selanjutnya berjuang bagi negara dan bangsa,
meski sebelumnya beliau
pernah berbuat sedikit kejahatan rasanya cukup untuk menebus
dosanya itu. Demikian Su-lam
rada terhibur setelah berpikir demikian.
Tengah Su-lam tenggelam dalam lamunannya, tiba2 terdengar suara
kresek perlahan, suara
seperti orang menarik tendanya. Ia terkejut dan cepat meloncat
bangun, baru saja hendak
menegur terdengar seorang telah berkata dengan suara tertahan: “Ssst
jangan bersuara, aku
tidak bermaksud jahat. Tapi ada urusan penting hendak kukatakan
padamu.”
Su-lam menjadi ragu2, pada saat itulah mendadak terdengar suara
teriakan: “Tangkap
mata2!” ~ Rupanya jejak orang itu telah dipergoki penjaga.
Orang itu tidak jadi menemui Su-lam, dengan cepat ia melemparkan
sesuatu kedalam kemah.
Dari samberan suaranya Su-lam dapat membedakan barang yang
dilemparkan kepadanya itu
bukan senjata rahasia, segera ia menangkapnya. Ketika diremas, ia
tahu hanya sepulung
kertas.
Dengan penuh rasa sangsi Su-lam tidak memeriksa dulu pulungan
kerta itu tapi ia masukan
dalam saku, lalu memburu keluar. Dilihatnya orang itu telah
melompat keatas tenda, dua
pengawal juga telah menguber keatas dan mulai bergebrak. Tenda
adalah benda yang lemas,
walaupun terbuat dari kulit tebal dan cukup kuat, namun dapat pula
dibayangkan ginkang
ketiga orang yang bertempur diatas itu.
Su-lam menarik nafas panjang, menyusul iapun meloncat keatas
tenda. Dilihatnya sinar
senjata berkelebat kemilauan. Su-lam terkejut, bukan saja ilmu
pedang orang yang berkedok
itu sangat tinggi, jauh diatasnya, bahkan kedua jago pengawal
Mongol itupun bukan jago
lemah, paling sedikit juga tidak lebih lemah dari dirinya.
Agaknya orang berkedok itu tidak ingin terlibat lebih lama dalam
pertarungan, se-konyong2 ia
menggertak: “Kena!” ~ Kontan lengan kiri seorang lawannya terluka
oleh pedangnya dan
terguling kebawah tenda. Tanpa ayal orang berkedok itu lantas
melarikan diri.
Tapi jago pengawal yang lain segera membentak juga: “Kena!” ~
Sekaligus ia menyabitkan
tiga buah pisau daan menyamber kedepan secepat kilat.
Rupanya orang berkedok itu sama sekali tidak menyangka jago
pengawal itu adalah akhli
senjata rahasia, pula ia ingin lekas2 kabur, maka iapun
ter-guling2 diatas tenda.
Meski belum diketahui siapakh orang berkedok itu, tapi dari gerak
geriknya Su-lam yakin pasti
kawan dan bukan lawan. Akan tetapi kedudukan Su-lam benar2 serba
salah, tidak mungkin ia
membantu penyatron itu melawan penjaga. Karena itu ia menjadi
gelisah sendiri melihat
robohnya orang itu dan diuber jago pengawal.
Diluar dugaan, pada saat itulah mendadak penyatron itu membentak
pula: “Ini, terima
kembali milikmu!” ~ Sinar putih berkelebat, tahu2 pisau tadi telah
menyamber balik. Rupanya
orang itu tidak menghiraukan rasa sakit pada lukannya, pisau yang
menancap dibahunya itu
telah dicabut, lalu disambitkan kembali.
Sungguh konyol pengawal yang sedang memburu maju itu sama sekali
ia tidak menduga
senjata akan makan tuannya. Dalam keadaan kepepet itu sebisanya ia
berusaha mengelakkan
diri. Namun tidak urung betisnya dekat dengkul terserempet juga
oleh samberan pisau itu
sehingga sebagian kulit dan daging kaki terkupas.
Cepat Su-lam memburu maju, pengawal itu dirangkulnya, terus dibawa
lompat kebawah.
Tujuannya sih bukan untuk menolong pengawal itu, tapi dengan jalan
demikian ia dapat
menghindarkan diri bertempur dengan penyatron itu. Memang benar,
ketika ia lepaskan
pengawal itu dibawah, sementara itu orang2 lain sudah memburu
datang dan penyatron
itupun sudah kabur.
Untung luka kedua pengawal itu tidak terlalu parah, setelah diberi
obar luka tentu akan
sembuh dalam waktu singkat. Waktu Li Hi-ko keluar, kedua pengawal
itu melaporkan apa yang
terjadi dan minta maaf karena tak mampu membekuk penyatron itu.
Kata mereka: “Namun
bangsat itu telah terkena sebuah pisauku, bahunya terluka. Dengan
ciri ini tentu kita dapat
memeriksa setiap orang Han yang jumlahnya tidak banyak di Holin
ini.”
Kedua pengawal itu adalah kiriman Jengis Khan yang ditugaskan
untuk membantu Li Hi-ko,
tapi sebenarnya untuk mengawasi dia. Sudah tentu Li Hi-ko tahu.
Maka is telah menghibur
mereka dengan kata2 halus, lalu suruh orang lekas lapor kepada
Mufali.
Mufali adalah komandan “Sin-ek-ing” (pasukan sayap sakti) yang
bertugas khusus mencari
dan menangkap buronan. Setiap Bu-su dari Sin-ek-ing menguasai tiga
ekor kuda pilihan agar
dikala menguber buronan jarak kauh kuda2nya dapat dipakai bergantian.
Sebab itulah disebut
“sayap sakti”.
Melihat sikap ayahnya begitu lemah terhadap orang Mongol, diam2
Su-lam merasa tidak enak,
ia pikir entah berapa banyak orang Han akan menjadi korban gara2
peristiwa ini.
Setelah menyelesaikan urusan ini, kemudian Li Hi-ko tanya Su-lam:
“Penyatron itu dipergoki
didepan tendamu agaknya dia menghendaki kau. Menurut pendapatmu
apa maksudnya?
Apakah bermaksud jahat padamu atau ada tujuan lain?”
Su-lam sendiri lagi ragu2 apakah mesti bicara terus terang. Tapi
sekarang ia telah ambil
keputusan akan merahasiakan apa yang telah dialaminya. Jawabnya:
“Aku terjaga bangun
ketika mendengar teriakan penjaga, darimana bisa mengetahui maksud
kedatangan
penyatron.”
Tapi kukira penyatron itu adalah musuh Li-kongcu,” tiba2 pengawal
yang kakinya terluka itu
ikut bicara.
“Darimana kau mendapat tahu?” tanya Li Hi-ko.
“Bukankah Kongcu pernah pergoki begundal To Pek-seng dipadang
rumput sana dan hampir
dicelakai mereka,” kata pengawal itu. “Kulihat penyatron tadi
besar kemungkinan juga
komplotan To Pek-seng.”
Lantaran pengawal itu tado telah diselamatkan oleh Li Su-lam,
sudah tentu ia tidak menaruh
curiga sipenyatron adalah kawan Li Su-lam. Apalagi iapun
mengetahui dikerubutnya Li Su-lam
oleh Song Thi-lun dan istrinya dan Mufali yang telah
menyelamatkannya. Maka tanpa ragu2 ia
berani menarik kesimpulan tadi.
Keruan ucapan pengawal itu serupa pembelaan atas diri Li Su-lam.
Li Hi-ko menjadi hilang
curiganya. Katanya kemudian: “Anak Lam, selanjutnya kau harus
waspada terhadap anak
buah To Pek-seng. Fajar sudah hampir menyingsing, boleh kau
kembali ketendamu buat
mengaso, sebentar lagi ikut aku menghadap khan besar.”
Su-lam mengiakan. Ia pikir tekad ayahnya untuk lari dari Mongol
agaknya belum bulat, maka
sebaiknya tentang salah paham kawan2nya To Pek-seng terhadap
dirinya itu lebih baik
sementara ini tetap dirahasiakan.
Sekembalinya ditenda sendiri, Su-lam coba keluarkan pulungan
kertas kecil tadi, dilihatnya
kertas itu tertulis secara singkat: “Kalau ingin jelas duduk
perkara, datanglah kelembah Sionghong-
kok digunung Alkeh. Sangat rahasia, se-kali2 jangan katakan kepada
orang lain.”
“Duduk perkara? Aneh, siapakah dia? Mengapa dia tahu aku ingin
tahu duduk perkara yang
sedang keragukan?” demikian Su-lam tidak habis paham. Dari peta
Mongol yang telah
dipelajari, ia tahu letak pegunungan Alkeh itu. Ia pikir orang itu
telah sengaja mengantarkan
pulungan kertas sekecil itu dengan menempuh bahaya, pula telah
memberi pesan agar jangan
diberitahukan kepada orang lain, tentunya juga termasuk ayahnya.
Baru saja Su-lam bermaksud membakar surat itu, tiba2 tergerak
pikirannya, ia ccoba
mengamat-amatilebih teliti, ia menjadi heran karena gaya tulisan
itu seperti sudah dikenalnya,
tapi tidak ingat dimana pernah melihatnya?
Selang sejenak, ia ingat sesuatu, cepat ia mengeluarkan kitab
pusaka yang belum lengkap
disusun ayahnya dahulu dan kini disimpan baik2 dalam bajunya itu,
ia coba mencocokkan,
ternyata tulisan kitab itu mempunyai gaya yang sama dengan tulisan
surat itu, hanya saja
gaya tulisan surat itu lebih lemah, mungkin ditulis secara
ter-buru2. Sebab itulah Su-lam
belum berani memastikan kedua tulisan itu berasal dari tangan satu
orang.
Setelah dipikir lagi, akhirnya Su-lam tertawa sendiri, tulisan
orang didunia ini tentu saja ada
yang mirip, apakah mungkin pembesar Mongol ini bukan ayahku,
padahal karena dia ini
ayahku, maka Beng-tayhiap hendak membunuh aku. Ia pikir: “Orang
tadi bermaksud
memberitahukan secara lisan padaku tentang sesuatu yang penting,
mungkin sekali iapun
sadar kesempatan bicara sangat sedikit, maka sebelumnya ia telah
siapkan surat singkat ini.
Mengapa dia tidak tulis lebih jelas agar aku tahu siapakah dia
sebenarnya?”
Ia coba mengenang orang tadi, walaupun berkedok, tapi dapat
ditaksir umurnya pasti belum
lebih 40 tahun, bahkan ilmu silatnya sangat tinggi, rasanya pasti
bukan ayahnya. Lantaran
tidak mendapatkan gambaran yang pasti, terpaksa ia membakar surat
itu, teka-teki ini
sementara disimpannya didalam hati.
Su-lam sangat teliti, untuk menghidarkan segala kemungkinan, ia
aduk abu kertas yang
dibakar itu dengan air dan diminumnya habis. Tidak lama kemudian
pengawal memanggilnya.
Cepat ia ganti pakaian dan ikut ayahnya ke “kemah emas” untuk
menghadap Jengis Khan.
Ditengah jalan Li Hi-ko berkata kepada Su-lam: “Khan besar paling
menyukai pemuda yang
berkepandaian, asalkan kau bisa menarik hatinya, segala usaha kita
selanjutnya tentu akan
menjadi leluasa.”
“Ya, Cuma anak tidak pintar menyanjung-puji,” kata Su-lam.
“Mesti watak, Khan besar juga suka disanjung-puji, tapi beliau
juga paling benci kepada
penjilat,” kata Li Hi-ko. “Yang dia senangi adalah pemuda yang
punya keberanian dan
pendirian. Asal sikapmu terhadap beliau tidak kaku dan juga tidak
terlalu rendah diri sudah
cukuplah. Pertemuan nanti sangat besar sangkut pautnya dengan hari
depanmu, hendaknya
kau berbuat se-baik2nya.
Su-lam merasa tidak enak karena apa yang dikatakan ayahnya itu
bukankah mirip menyuruh
dia manjadi penjilat? Untuk tidak bertengkar sendiri dengan sang
ayah, terpaksa ia diam saja.
Kemudian Li Hi-ko bercerita: “ Khan besar mempunyai empat anak
laki2, yang sulung
bernama Cuja, putera kedua Cahatai, putera ketiga Ogotai dan putra
bungsu Dolai, Cuja
dilahirkan setelah ibunya pulang dari tawanan suku Murkit, suku
yang merupakan musuh
besar Khan. Oleh karena itu saudara2nya anggap asal-usul saudara
tua itu tidak jelas,
menganggapnya sebagai anak haram musuh, maka mereka sama tidak
anggap dia sebagai
kakak. Watak Cuja juga sangat kasar, maka tidak disukai Khan.
Cahatai sangat pintar perang,
tapi wataknya bengis. Putera ketiga Ogotai paling baik tabiatnya,
diapunpaling disukai anak
buahnya. Tapi yang paling disayang oleh Khan adalah puteranya yang
kecil, Dolai. Agaknya
kelak yang dapat menggantikan tahta Khan hanya ada dua, kalau
bukan Ogotai tentulah Dolai.
Usia mereka sebaya dengan kau, boleh juga kau berkawan dengan
mereka.”
“Kita toh tidak bermaksud menetap selamanya disini, rasanya tidak
perlu mendekati kaum
pangeran segala,” ujar Su-lam.
“Bukan begitu soalnya. Justru kalau kita bergaul dengan mereka,
paling sedikit akan banyak
membantu rencana lari kita, sebab orang2 lain tentu takkan
mencurigai gerak-gerik kita.”
Kemudian Hi-ko bercerita pula:”Khan besr punya tiga anak perempuan
pula. Putri sulung dan
kedua sudah menikah, puteri ketiga bernama Alihai, bahasa Mongol
‘alihai’ berarti Minghui
(bijaksana), maka boleh kau sebut dia Putri Minghui.”
Sedang bicara, tampak Cilaun datang berkuda, seunya dengn gelak
tertawa: “Selamatlah
kalian ayah dan anak dapat berkumpul kembali.”
“Semuanya atas bantuanmu, aku harus berterima kasih padamu,” sahut
Hi-ko.
“Puteramu terkenal sebagai kesatria muda perkasa, maka Khan besar
ingin juga melihatnya,
kedatangan kalian sangat kebetulan,” kata Cilaun pula.
“apakah beliau sudah berdinas?” tanya Hi-ko.
“Pagi2 benar Khan besar sudah lantas pergi berburu, aku tahu
kalian pagi ini tentu akan
menghadap Khan kita, maka sengaja menunggu disini. Marilah kita
berangkat bersama. Likongcu,
hari ini adalah kesempatanmu untuk perlihatkan kemahiranmu. Aku
masih ingat
caramu memanah elang di padang Gobi tempo hari. Betapa hebat
kepandaianmu itu sungguh
sangat mengagumkan.”
Wajah Su-lam menjadi merah, sahutnya: “Tapi elang itu sempat mabur
lagi!”
Kiranya tempo hari elang yang terpanah oleh Li Su-lam dan kabur
lagi itu telah diketemukan
Cilaun ditengah jalan, karena itu ia lantas mencari jejak
si-pemanahnya dan akhirnya
ketemukan Su-lam.
Tempat perburuan Jengis Khan adalah pegununganKen yang terletak
belasan li dari Holin,
maka tidak terlalu lama sampailah mereka ditempat tujuan. Li
Su-lam dan ayahnya mengikuti
Cilau keatas gunung, tertampak pengawal2 memenuhi lereng gunung
dengan melepaskan
elang dan anjing untuk mengudak binatang buruan, hakikatnya Li
Su-lam tidak tahu yang
manakah Jengis Khan adanya.
Tiba2 terdengar suara gemuruh di udara, Su-lam menjadi heran cuaca
secerah itu mengapa
ada bunyi guntur. Waktu menengadah, dilihatnya diatas langit sana
ada dua titik hitam yang
makin mendekat menjadi makin jelas, akhirnya tertampaklah kedua
titik hitam itu kiranya
adalah dua ekor burung rajawali yang besar itu.
Su-lam terkejut melihat rajawali yang berlipat besarnya daripada
elang yang dipanahnya
tempo hari itu. Mungkin karena banyaknya orang dibawah, kedua ekor
rajawali itu tidak berani
terbang rendah, tapi ber-putar2 diangkasa.
Selagi semua orang menengadah mengikuti gerak-gerik rajawali2 itu,
tertampak seorang Busu
berjubah perang warna kuning, emas tampil kemuka sambil pentang
busurnya dan berseru:
“Jika aku dapat membalas sakit hati leluhur dan menyapu bersih
negeri Kim, panahku ini akan
tepat mengenai sasarannya!”
Terdengar suara mendesing keras, panah terlepas dari busurnya.
Benar juga, kontan rajawali
yang me-layang2 diangkasa itu terjungkal kebawah. Bahkan tidak
Cuma satu, tapi dua ekor
sekaligus terkena satu panah.
Serentak terdengarlah sorak sorai gemuruh: “Hidup maharaja kita ~
Jengis Khan! Engkau
telah diberkati tenaga raksasa, engkau dikarunia kepandaian
memanah, musuh bertekuk lutut
di hadapanmu! Kaum khianat gemetar mendengar namau! ………
Su-lam terperanjat. Baru sekarang ia tahu Bu-su pemanah rajawali
itulah Jengis Khan adanya.
Mau tak mau ia harus mengakui Jengis Khan memang benar2 seorang
tokoh besar, seorang
yang luar biasa, cukup caranya dia memanah rajawali saja rasanya
tiada bandingannya di
dunia ini.
Begitulah serentak semua anak buah Jengis Khan berjongkok
menyembah, seru mereka:
“Satu panah dua rajawali, Thian telah meluluskan permohonan Khan
besar, pergerakan ini
tidak saja sakit hati akan terbalas dan negeri Kim akan runtuh,
bahkan seluruh jagat mungkin
akan dipersatukan oleh Khan besar. Harap khan besar memilih hari
ayn baik untuk
mengerahkan prajurit kita!”
Mongol dan Kim adalah musuh bebuyutan. Kakek jengis Khan, yaitu
Ampakai Khan pernah
ditawan oleh pihak Kim dan dibunuh secara keji. Sebab itulah selamanya
Jengis Khan
menggunakan semboyan membalas dendam sebagai daya tarik anak
buahnya untuk
mempersatukan berbagai rumpun Mongol. Malahan apa yang diserukan
panglima2nya tadi
tidak saja menghendaki Khan besar mereka menyapu bersih negeri
Kim, bahkan juga berniat
mencaplok kerajaan Song dan negeri2 lain di sekitar Mongol.
Sebenarnya Jengis Khan juga punya ambisi untuk menaklukkan dunia,
seruan panglima2nya
tadi sesungguhnyacuma memperlengkap maksud hati maharajanya saja.
Yang menjadi waswas adalah Li Su-lam setelah mendengar seruan
tadi. Tanpa merasa ia
melirik ayahnya, ia pikir sekarang ayah tentu sadar apa maksud
tujuan pihak Mongol. Melihat
sikap puteranya itu, Li Hi-ko lantas tahu juga isi hati Su-lam,
cepat ia mengedipi sambil
mengerut kening, maksudnya supaya Su-lam jangan sembarangan omong.
“Hahahaha!” demikian terdengar Jengis Khan bergelak tertawa. Lalu
ia tuding empat orang
puteranya dan berseru: “Kemarilah kalian!”
Cuja, Cahatai, Ogotai dan Dolai berempat sama berkumpul didepan
ayahandanya. Jengis Khan
mengeluarkan segebung anak panah, katanya: “Coba kau patahkan,
Cuja!”
Anak panah yang dipakai Jengis Khan berukuran “super”, lebih besar
daripada anak panah
biasa, segebung terdiri dari sepuluh batang. Cuja telah me-muntir2
dan me-nekuk2 tapi
sedikitpun anak panah itu tidak patah.
Dengan muka merah Cuja melapor: “Anak tidak punya tenaga sakti
sebagai ayah, tidak
sanggup mematahkannya.”
“Coba kau, Cahatai!” kata Jengis Khan.
Ber-turut2 Ogotai dan Dolai juga disuruh mencoba, tapi tiada
seorangpun yang sanggup
mematahkan segebung anak panah sekaligus.
Jengis Khan melepaskan anak panah itu secara terpisah, dalam
sekejap saja satu persatu
dapat dipatahkan dengan mudah.
“Sekarang kalian paham tidak dengan filsafat ini?” kata Jengis
Khan.
“Jika kalian bersatu seperti segebung anak panah tadi, maka tiada
sesuatu didunia ini yang
dapat mematahkan kalian. Tapi kalau kalian terpecah belah akan
mudah dihancurkan. Bersatu
teguh, bercerai luluh.”
Rupanya Jengis Khan mengetahui ketidak rukunan diantara keempat
puteranya itu, maka
dengan filsafat anak panah itu dia memperingatkan mereka akan
pentingnya arti persatuan.
“Kalian juga mesti sekuat anak panah yang dibidikkan tadi, secepat
kilat membunuh musuh,”
kata Jengis Khan pula. “Pada suatu hari seluruh dunia ini pasti
akan menjadi padang gembala
bangsa Mongol kita.”
Serentak para panglima bersorak gemuruh pula dan menyanyikan lagu
perang Mongol yang
bersemangat dengan sanjung puji terhadap Khan mereka yang besar.
Mendengr lagu perang itu, diamSu-lam mengakui betapa besar ambisi
Jengis Khan yang ingin
menaklukkan dunia itu. Cuma sayang cara yang diutamakan adalah
dengan kekerasan,
sekalipun benar dapat menaklukkan dunia tentu juga tidak kekal.
“Li-kongcu, marilah ikut padaku, akan kulaporkan kepada Khan
besr,” Kata Cilaun.
Pada waktu semua pembesar menyembah dan menyanjung puji kepada
Jengis Khan, Li Hi-ko
dengan sendirinya ikut menyembah dan baru sekarang ia berbangkit,
katanya kepada Su-lam:
“Kau akan menghadap Khan besar, lekaslah turun dari kudamu!”
Sebagai pemuda Han, memangnya Su-lam telah menarik perhatian,
apalagi sekarang selain
Jengis Khan hanya dia yang tetap berada diatas kudanya, tentu saja
ia lebih2 menjadi sasaran
perhatian orang ramai.
Semetara itu Jengis Khan sudah menerima laporan Cilaun, setelah
mamandang sekejap
kearah Su-lam, diam2 Jengis Khan mengakui akan keberanian Su-lam.
Baru saja Li Hi-ko hendak Su-lam turun dari kudanya, terlihat
Jengis Khan sedang
menggoyang tangan dan berkata: “Tidak perlu turun, kemarilah kau!”
Li Hi-ko tidak tahu apa maksud sang Khan yang besar, hatinya
menjadi kebat-kebit. Tapi Li
Su-lam lantas melarikan kudanya kesana. Saat itu Jengis Khan telah
ambil sebatang anak
panah, ketika Su-lam berada dalam jarak seratusan langkah,
mendadak ia berseru: “Awas
panah!”
Su-lam terkejut. Terdengar suara mendesing yang keras, panah itu
telah menyamber tiba.
Tahu betapa lihainya panah Jengis Khan, Su-lam merasa sukar
mengelak, terpaksa iapun
membidikkan panah secepatnya. Kedua anak panah tepat terbentur
ditengah jalan, panah Sulam
jatuh lebih dahulu, sebaliknya panah Jengis Khan masih meluncur
kearah Su-lam.
Serentak para Bu-su Mongol bersorak sorai pula. Pada umumnya jago2
Mongol paling memuja
orang berkepandaian tinggi, sorak-sorai merek itu tentu saja
ditujukan kepada Khan mereka
yang besar, tapi juga mengandung rasa kagum terhadap Su-lam.
“Kabarnya kau pernah memanah elang digurun Gobi, tampaknya
kepandaianmu memang
boleh juga,” seru Jengis Khan dengan tersenyum. “Ini, sambut lagi
sekali!” ~ Segera ia ambil
lagi sebatang panah dari kantong panah yang dibawa seorang
pengiring yang lain, lalu berseru
pula: “Panah ini tidak sama dengan tadi, kau harus hati2.”
Baru sekarang Su-lam tahu Jengis Khan sengaja menguji ilmu
memanahnya. Panah pertama
tadi telah banyak makan tenaganya, sampai sekarang lengannya masih
pegal, ia pikir panah
kedua ini tentu sukar ditahan. Tapi terpaksa ia berbuat sebisanya
dan memanah lagi.
“Tring”, kembali kedua panah kebentrok ditengah udara dengan
letikan api. Panah Sulampatah
dan jatuh kebawah, sedangkan panah Jengis Khan kembali meluncur
lagi kedepan.
Pada saat yang hampir sama terdengar suara derapan kuda yang cepat
dari tepi rimba
disebelah sana, menyusul terdengar suara jepretan busur dan
desingan anak panah, dari
samping sana menyambar tiba sebatang panah dan tepat membentur
jatuh panah Jengis Khan
itu. Ternyata pemanah itu adalah seorang anak dara yang bermuka
cantik.
Setelah menjatuhkan panah Jengis khan, gadis itu berseru: “Ayah,
kau tidak adil!”
“Tidak adil bagaimana?” tanya Jengis Khan dengan tertawa.
“Ayah sering sesumbar tidak pernah memanah dua kali terhadap musuh
yang betapa
tangguhnya, sekali panah tidak kena takkan memanah lagi untuk dua
kali. Tapi terhadap anak
muda ini mengapa ayah telah memanah dua kali ver-turut2?” seru
nona itu.
“Alihai, kau salah paham,” ujar Jengis Khan tertawa. “Bocah ini
bukan musuh kita, dia adalah
kawan kita. Kudengar dari Cilaun bahwa bocah ini pernah memanah
elang di gurun Gobi,
maka sengaja menguji kepandaiannya. Tidakkah kau melihat anak
panah yang kupakai cuma
dari ukuran yang kecil.”
Baru sekarang pula Su-lam tahu apa sebabnya Jengis Khan mengambil
anak panah
pengawalnya dan bukan anak panah khas miliknya sendiri itu. Diam2
Su-lam membatin bila
tadi Jengis Khan menggunakan panahnya sendiri tentu sebatang saja
dirinya tidak sanggup
melayaninya. Dalam keadaan demikian, sekalipun Su-lam tidak sudi
takluk toh merasa tunduk
benar2 terhadap kepandaian memanahJengis Khan. Terhadap kebebasan
Jengis Khan itu mau
tak mau iapun terpengaruh. Segera ia melompat turun dari kudanya
dan memberi hormat.
Katanya: “Panah sakti Khanbesar sungguh tiada bandingnya, siaucu
takluk benar2.” ~ Cara
memberi hormat Su-lam juga Cuma membungkuk badan saja dan tidak
mnyembah
sebagaimana ayahnya.
Jengis Khan bergelak tertawa, katanya: “kau mampu melayani dua
panahku saja sudah luar
biasa. Ini dia putriku Alehai, dia juga suka menunggang kuda dan
memanah, hari ini kalian
sama ketemukan teman sepaham.”
Li Hi-ko juga sangat senang karena puteranya dipuji Jenghis Khan,
cepat ia mendekat dan
berkata: “Anak Lam lekas kau mengucapkan banyak terima kasih
kepada Putri Minghui. Beliau
yang telah membantu kau, kalau tidak masakah kau mampu menahan
panah sakti Khan besr.”
“Ilmu memanah Putri sangat hebat, akupun sangat kagum,” ujar
Su-lam.
“Janganlah kau rendah hati, kepandaianku belum tentu lebih tinggi darimu,”
kata Minghui.
“Sebentar marilah kita berlomba berburu, coba buruan siapa lebih
berhasil.”
Jengis Khan menyela: “Kau datang dari Tionggoan, menurut
pandanganmu bagaimana
pahlawan2 Mongol bila dibandingkan jago2 Kim? Dapatkah prajuritku
menaklukkan dunia?”
“Prajurit Khan Agung kuat dan panglimanya perkasa, untuk
mengalahkan Kim adalah sangat
mudah,” sahut Su-lam. “Cuma ………”
“Cuma apa?” tanya Jengis Khan.
“Bangsa Han kami megutamakan kebajikan dan tidak mengutamakan
kekerasan. Menaklukkan
orang dengan kebajikan adalah guru daripada setiap raja, tanpa
banyak menimbulkan korban
akan lebih mudah mendapat dukungan rakyat sedunia. Maka disamping
memupuk kekuatan
tentara mohon pula Khan Agung suka menggunakan kebajikan pula.”
Jengis Khan menggeleng kepala sambil bergelak tertawa, katanya:
“Haha, begitulh tentunya
filsafat kaum cendekia bangsa Han kalian bukan?” Hehe, pandangan
kaum terpelajar tengik
demikian mana bisa dibuat pegangan. Tanpa kekerasan mana bisa
menaklukkan dunia? Melulu
omong kosong tentu kebajikan kan sama saja seperti percakapan anak
kecil?”
Karena tiada kecocokan pendapat, baru Su-lam hendak mengundurkan
diri, namun Jengis
Khan telah memanggilnya lagi. Katanya: “Aku telah mencemoohkan
kaum terpelajar
bangsamu, tentunya kau merasa kurang senang bukan?”
“Tidak, pandangan masing2 memangnya ver-beda2,” jawab Su-lam.
Melihat jawaban Su-lam yang kaku itu, anak buah Jengis Khan sama
kuatir kalau maharaja
mereka menjadi marah.
Tak terduga Jengis Khan malah ter-bahak2, katanya: “Hebat benar
kau bocah ini. Sebenarnya,
walaupun aku memandang rendah kaum cendekia bangsa Han kalian,
namun orang yang
benar2 berkepandian juga sangat kupunja. Konon dijaman dahulu
bangsa kalian ada seorang
Sun-cu yang menyusun sebuah kitab militer secara menakjubkan.
Sayang aku tidak pernah
melihat kitab demikian itu. Konon pula ratusan tahun yang lalu
kerajaan Song kalian pernah
tampil panglima2 perang termashur seperti Gak Hui dan Han Si-liong
sehingga pasukan Kim
dihajar habis2an. Semuanya itu menandakan cara mereka mengatur
tentara tentu sangat
hebat. Entah diantara panglima2 perang terkenal itu apakah
meninggalkan ajaran militer yang
baik?”
Tergetar hati Su-lam, pikirnya: “Apakah barangkali ayah pernah
mengatakan bahwa leluhur
kami adalah anak buah Han Si-liong dan juga pernah ikut perang
dibawah pimpinan Gak Hui?”
Sebagaimana diceritakan, kitab pusaka tentang ilmu militer susunan
ayahnya yang belum
selesai itu masih tersimpan baik2 didalam bajunya. Ia coba
tenangkan diri, lalu menjawab:
“Entahlah, aku tidak tahu.”
“Kau sendiri pernahkah belajar ilmu ketentaraan?” tanya Jengis
Khan.
“Tidak, aku adalah anak kampung, untung saja tidak sampai buta
huruf. Tentang ilmu
ketentaraan sama sekali aku tidak becus,” sahut Su-lam.
“Sayang, sayang! Hal2 yang baik dari leluhur kalian tidak kau
pelajari, sebaliknya kau hanya
memahami pandangan tengik kaum cendekia.” (yang dimaksud cendekia
disini adalah paham2
Konghucu dsb.)
Kemudian Jengis Khan memanggil menghadap empat panglimanya yang
bernama Kubelai,
Calmu, Cepe dan Supotai, katanya dengan ver-seri2: “Tadi kalian
telah mendengar doaku,
sekali panah kena dua rajawali, Thian telah berkenan mengizinkan
aku menumpas Kim. Aku
minta kalian menjadi pembuka jalan, lekas kalian menuju ke tapal
batas dan segera berangkat
dengan membawa pasukan. Aku segera akan menyusul dengan pasukan
induk. Nah,
berangkatlah kalian.”
Kiranya adalah sebagian milisi Mongol yang telah disiapkan di
tapal batas untuk setiap waktu
dikerahkan menurut perintah Jengis Khan.
Setelah memberangkatkan Kubelai berempat, jengis Khan berkata pula
kepada anak buahnya
yang lain: “Tidak lama lagi kalianpun akan berangkat ke garis
depan, maka hari ini kalian
boleh bersuka-ria se-puas2nya. Baiklah kalian tidak perlu
mengikuti aku lagi, boleh pergi
berburu secara bebas.”
Cara bagaimana Li Su-lam akan menghadapi penyerbuan Jengis khan ke
daerah Tionggoan
yang diduduki kerajaan Kim?
Rahasia apa yang menyangkut soal ayah Su-lam dibalik kedatangan
penyatron yang tak
dikenal itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar